Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

35
Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi * Oleh: Timbul Haryono** Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. Seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan (Israr, 1995:2); dan merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia (Langer, 1982:73-74). Penginderaan rasa kalbu seseorang dapat diciptakan dengan berbagai saluran, seperti: seni rupa, seni bangun, seni musik, seni tari, seni drama, seni sastra, dan lain-lain. Oleh karena itu kesenian mempunyai bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan beragam (Koentjaraningrat, 1974:107-109). 1 Sementara itu menurut Richard L. Anderson (1989:6-27; Sedyawati, 1992:8) seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun. Sifat-sifat tersebut adalah: 1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan, 2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti, 3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dari orang dewasa. Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup dan berkembang pada masa Jawa kuno. Membicarakan kesenian yang hidup pada masa Jawa kuno, khususnya seni pertunjukan, tidaklah semudah membicarakan kesenian masa sekarang. Seni pertunjukan masa sekarang masih dapat disaksikan dan kita mungkin masih terlibat di dalamnya baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat (penonton). Sumber-sumber informasi tentang itu masih lengkap. Namun untuk seni pertunjukan masa Jawa kuna, bukti-bukti yang masih ada tinggal bukti-bukti tertulis dan butki-bukti relief dan itu pun tidak lengkap. Seni pertunjukan masa Jawa kuno sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Untuk merunut dan mengetahui informasi * Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta , 17-18 Mei 2006 ** Guru Besar Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Transcript of Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

Page 1: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif Arkeologi* Oleh: Timbul Haryono**

Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya

sangat diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. Seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan (Israr, 1995:2); dan merupakan kreasi bentuk-bentuk simbolis dari perasaan manusia (Langer, 1982:73-74). Penginderaan rasa kalbu seseorang dapat diciptakan dengan berbagai saluran, seperti: seni rupa, seni bangun, seni musik, seni tari, seni drama, seni sastra, dan lain-lain. Oleh karena itu kesenian mempunyai bidang-bidang cakupan yang cukup luas dan beragam (Koentjaraningrat, 1974:107-109).1

Sementara itu menurut Richard L. Anderson (1989:6-27; Sedyawati, 1992:8) seni mempunyai sifat umum yang dapat dijumpai dimanapun. Sifat-sifat tersebut adalah:

1. mempunyai arti yang bermakna budaya, seperti menjadi sarana hubungan dengan kekuatan adikodrati, menjadi sarana komunikasi dan pendidikan,

2. memperlihatkan gaya, yaitu gaya yang dipandang sebagai tradisi milik bersama dalam suatu kebudayaan dan sebagai tanda agar seni dapat menyampaikan arti,

3. memerlukan kemahiran khusus untuk menghasilkan suatu karya seni sehingga seseorang seniman dapat dibedakan dari orang dewasa.

Sifat-sifat seperti tersebut kiranya juga dimiliki oleh kesenian yang hidup dan berkembang pada masa Jawa kuno. Membicarakan kesenian yang hidup pada masa Jawa kuno, khususnya seni pertunjukan, tidaklah semudah membicarakan kesenian masa sekarang. Seni pertunjukan masa sekarang masih dapat disaksikan dan kita mungkin masih terlibat di dalamnya baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat (penonton). Sumber-sumber informasi tentang itu masih lengkap. Namun untuk seni pertunjukan masa Jawa kuna, bukti-bukti yang masih ada tinggal bukti-bukti tertulis dan butki-bukti relief dan itu pun tidak lengkap. Seni pertunjukan masa Jawa kuno sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Untuk merunut dan mengetahui informasi

* Makalah disampaikan pada Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah Seni

Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta , 17-18 Mei 2006

** Guru Besar Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Page 2: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

2

2

seni pertunjukan masa Jawa kuna memerlukan sumber-sumber data yang dapat digolongkan ke dalam sumber data arkeologis. Karangan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang lengkap dan menyeluruh, tetapi pemaparan secara deskriptif berdasarkan data arkeologis yang ada. Yang dimaksud dengan ‘masa Jawa kuno’ dalam pergertian ini adalah suatu masa yang cukup panjang ketika kebudayaan Jawa mendapatkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan India.2) Ditinjau dari dimensi waktu, masa yang dibahas adalah sejak abad VIII sampai abad XVI. Selama kurun waktu yang panjang tersebut secara hipotetis seni pertunjukan di Jawa mengalami perkembangan dan perubahan. Data-data yang dipakai adalah data-data verbal serta data-data piktorial. Data verbal adalah data yang diperoleh dari sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesastraan. Adapun data piktorial adalah data yang berwujud gambar yaitu relief pada bangunan candi-candi di Jawa. Di dalam sejarah kebudayaan Indonesia kuno, masa yang panjang tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu (a) periode klasik tua atau periode klasik Jawa Tengah dan (b) periode klasik muda atau periode Jawa Timur. Periode klasik tua berlangsung dari sejak datangnya pengaruh Hindu sampai abad X; sedang periode klasik muda sejak abad XI sampai abad XVI. Pembagian menjadi dua periode seperti tersebut selain berdasarkan langgam atau gaya seni juga adanya perpindahan aktivitas politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Agar gambaran kehidupan seni pertunjukan Jawa kuno dapat dilihat dalam perspektif historis maka pembicaraannya akan dibagi menjadi dua bagian berdasarkan periode yang telah disebut.

Sejarah Seni Pertunjukan pada abad VIII - X

Sumber-sumber untuk mengetahui kehidupan dan keberadaan seni pertunjukan masa ini adalah prasasti, kitab kesastraan, dan relief pada bangunan candi. Sumber-Sumber yang berupa prasasti Prasasti adalah pertulisan kuno yang dituliskan pada lempengan logam atau batu. Prasasti Jawa kuno biasanya berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan) oleh pejabat kerajaan. Meskipun uraian di dalam prasasti itu secara singkat namun kita memperoleh gambaran tentang jalannya upacara sima, perlengkapan dan alat-alat upacara, siapa saja yang hadir, pesta makanan dan minuman, seni pertunjukan yang menyertainya (Haryono, 1980). Prasasti Gandasuli II tahun 769 Saka Di dalam prasasti yang berasal dari desa Gandasuli, Temanggung, tidak banyak keterangan tentang seni pertunjukan kecuali hanya

Page 3: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

3

3

penyebutan alat musik 'curing' dalam kaitannya dengan perlengkapan upacara. Kutiban singkat kalimatnya adalah:

8. (hu) minamahkan pangliwattan 9. 1 padamaran 1 pamapi(r)nya

10. ngan 6 curi (ng) 1 … Prasasti Kuti tahun 762 Saka (18 Juli 840)

Prasasti yang ditemukan di Joho, Sidoarjo (Jawa Timur) ini terdiri atas 12 lempengan. Pada lempengan IVa dijumpai kata 'juru bañol' bersama-sama dengan para pejabat lainnya seperti tuha dagang, misra hino, misra hanginangin (baris 3). Keterangan tenteng seni pertunjukan dijumpai

pada lempengan IVa sebagai berikut: 1. hanapuk warahan kecaka tarimba hatapukan haringgit abañol salahan. 2. tanparabyapara samangilalā drbya haji sawakanya manganti i sang hyang

dharmā simanira cañcu 3. makuta sira cañcu manggala ring kuti. Mangkana yan pamujā

mangungkunga curing hamaguta payung. Istilah hanapuka, hatapukan, berasal dari kata ‘tapuk’ yang berarti ‘topeng’, sedangkan kata ‘haringgit’ berasal dari kata ‘ringgit’ yang berarti ‘wayang’. Kata ‘ringgit’ sampai sekarang masih ada di dalam bahasa jawa baru yang artinya juga ‘wayang’ atau bentuk bahasa Jawa krama ‘wayang’. Kata ‘abañol’ artinya lawak atau dagelan. Mereka termasuk di dalam kelompok 'sang mangilala drbya haji' yaitu pejabat kraton yang memperoleh gaji dari kraton (abdi dalem).3 Kalimat 'mangkana yan pamuja mangungkunga curing' dapat diartikan: 'demikianlah jika mengadakan pemujaan supaya menabuh curing'. Dari kalimat tersebut dapat dinyatakan bahwa membunyikan curing dalam kaitannya dengan upacara pemujaan. Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (20 April 873)

Prasasti ini berupa satu lempengan tembaga ditemukan di desa Keboan Pasar, Sidoarjo, dan merupakan salinan yang dibuat pada jaman Majapahit. Pada sisi belakang (Ib) di jumpai kata: widu mangidung dan mapadahi, yang termasuk di dalam daftar para pejabat kerajaan yang tidak boleh 'masuk' di daerah 'sima'. Beberapa di antaranya seperti kutipan berikut: a. … tuha dagang juru gusali mangrumbe manggunje tuha nambi tuha judi. b. tuha hunjaman juru jalir pabisar pawung kuwung pulung padi misra hino

wli tambang … tpung c. kawung sungsung pangurang pasuk alas payungan sipat jukung

pānginangin pamawasya hopan pangurangan skar tahun kdi walyan widu ma-

Page 4: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

4

4

d. ngidung mapadahi sambal sumbul hulun haji amrsi watak i jro ityewamādi kabeh tan katamana ikanang sīma…

Dari kalimat tersebut, kata yang menunjukkan adanya jenis seni pertunjukan adalah kata ‘widu mangidung’ dan ‘mapadahi’. Widu mangidung dapat diterjemahkan dengan penyanyi wanita. Kata ‘widu’ sekarang ini berubah menjadi ‘biduan’. Adapaun kata ‘mapadahi’ berasal dari kata ‘padahi’ yang berarti ‘kendang. Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa 'widu mangidung’ dan ’mapadahi’ termasuk dalam 'watak i jro' yaitu golongan dalam (abdi dalem). Dalam prasasti Waharu I (B) diperoleh keterangan pula bahwa seniman mapadahi (pengendang) hadir dalam upacara penetapan sima dan

melakukan tugasnya menabuh kendang setelah acara pesta makan: "sakrama ni manadah ring dangu umangse ta jnu skar, manabêh ta sang mapadahi". Artinya: "setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu

skar (?) maju dan sang penabuh kendang menabuh instrument musikknya.

Prasasti Mulak tahun 800 Saka (3 Oktober 878)

Prasasti yang terdiri dari 4 lempengan tembaga ini ditemukan di desa Ngabean (Magelang). Dalam salah satu baris kalimatnya (lempeng III a brs 5) disebutkan bahwa seniman tuha padahi bernama si Kuwuk hadir dalam upacara sebagai saksi dan kepadanya diberi hadiah (pasêk-pasêk) berupa kain: III.a.5… tuha padahi si kuwuk rama ni mitra wdihan rangga yu 1 Artinya: … pimpinan pengendang (yang bernama) si Kuwuk ayahnya

Mitra (diberi) kain wdihan rangga 1 pasang" Prasasti Kwak I (Ngabean II) tahun 801 Saka (27 Juli 879)

Prasasti Kwak yang berasal dari desa yang sama dengan prasasti Mulak di atas berupa 1 lempeng tembaga. Dari prasasti tersebut diperoleh pula informasi tentang seniman yang hadir dalam upacara sima: I.b.3… tuha padahi si dhanam/maregang si sukla/mangla 4. si buddha/madang si kundi/mawuai si pawan kapua wineh mas mā 1

wdihan ragi yu 1 sowang sowang.4 Artinya: 3."… pimpinan pengendang, bernama Si Dhanam, penabuh rêgang (kecer)

(bernama) si Sukla/ 4. tukang masak sayur (bernama) si Buddha, tukang menanak nasi

(bernama) si Kundi, tukang memasak air (bernama) si Pawan semuanya diberi emas 1 mãsa dan kain wdihan ragi 1 pasang masing-masing.

Page 5: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

5

5

Dalam kutiban tersebut selain seniman tuha padahi juga seniman yang lain yaitu 'marêgang’ (penabuh regang – simbal atau kecer?).

Prasasti Taji tahun 823 Saka (8 April 901)

Dalam prasasti tersebut upacara penetapan sima diuraikan dengan lengkap. Dalam pada itu tuha padahi juga hadir sebagai saksi. Pesta yang diadakan adalah selain makan minum juga menari atau mangigêl, serta adu ayam. Menarik perhatian adalah tarian dilakukan oleh semua yang hadir termasuk para pejabat kerajaan secara bergantian: IV.a.9."… i sampun tanda rakryan masawungan mangigêl ikanang rama kabeh

molih

10. patang kuliling gumanti renanta mangigal …" Prasasti Panggumulan 902 M (Titi Surti Nastiti, 1982)

Di dalam prasasti tersebut selain disebutkan tarian juga disebutkan gamelan yang ditabuh yaitu padahi, rêgang, dan brêkuk, seperti dapat dibaca dalam kutiban berikut: III.a.20. "…samangkana ng ingêlakên hana mapadahi marêgang si catu rama ni

kriya mabrêkuk si

III.b.1 wara rama ni bhoga winaih wdihan sahlai mas ma 1 ing sowang sowang//

Artinya: "…adapun (yang) akan ditarikan ada mapadahi, marêgang (bernama) Si Catu ayahnya Kriya, mabrêkuk (bernama) si Wara ayahnya Bhoga, (mereka) diberi sehelai kain bebed dan emas 1 masa masing-masing".

Prasasti Poh tahun 905 M (Stutterheim, 1940:3-28)

Di dalam prasasti Poh selain disebutkan adanya seni musik gamelan dan juga seni tari dan lawak. Mereka (para seniman) diundang untuk menghadiri upacara penetapan sima sebagai saksi. Barangkali mereka juga menggelar pertunjukan. Gamelan yang ditabuh adalah padahi, rêgang, tuwung; sedangkan tariannya adalah tari topeng dan lawak: IIb.13."…mapadahi matuwung si pati rama ni turawus ana

14. kwanus i rapoh winaih wdihan yu 1 mas mā 1 ku 1 muwah mapadahai syuha rama ni wakul anakwanua i hinangan watak luwakan winaih mas ku 2 marêgang si wicar rama ni wisama anakwanu

15. a i hijo watak luwakan winaih wdihan yu 1 mas mã 1//matapukan 2 si mala anakwanua 1 sawyan watak kiniwang muang si parasi anakwanua 1 tira watak mdang kapua winaih mas mā 1

16. ing sowangsowang mabañol jurunya 2 si lugundung anakwanua i rasuk watak luwakan muang si kulika anakwanua i lunglang watak tnep winaih wdihan yu 1 mas mā 6 kinabaihannya

17. ruang juru //"

Page 6: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

6

6

Artinya 13. "…penabuh padahi penabuh tuwung (bernama) si Pati 14. ayahnya Turawus penduduk desa Rapoh diberi kain 1 yugala dan

emas 1 mãsa 1 kupang, dan penabuh padahi (bernama) Syuha ayahnya Wakul penduduk desa Hinangan wilayah Luwakan diberi emas 2 kupang, penabuh regang (bernama) si Wicar ayahnya Wisama penduduk desa

15. Hijo wilayah Luwakan diberi kain 1 yugala dan emas 1 masa // penari topeng ada 2 (bernama) si Mala penduduk desa Sawyan wilayah Kiniwang dan Si Parasi penduduk desa Tira wilayah Medang, semuanya diberi emas 1 masa.

16. Masing-masing, juru pelawak ada 2 (bernama) si Lugundung penduduk desa Rasuk wilayah Luwakan dan si Kulika penduduk desa Lunglang wilayah Tnep semuanya diberi kain 1 yugala dan emas 6 mãsa

17. untuk 2 orang juru Prasasti Lintakan tahun 841 Saka (12 Juli 919)

Dalam prasasti Lintakan ini diperoleh data tentang instrumen gamelan yaitu padahai, tuwung, rêgang, brêkuk, gandirawana hasta. Gamelan

tersebut digunakan dalam perlengkapan upacara sima. Selain itu di antara seniman yang hadir dalam upacara adalah atapukan dan tarimwa (tarimba). Sangat menarik dalam hal ini adalah jumlah atapukan (penari topeng) ada 30 pasang: III.8…. pinda atapukan 9. prana 30 hop rarai winehan pirak dha 1 kinabaihannya. Tarimwanya

winehan pirak ma 1 kinabaihannya

Artinya: 8…. Jumlah penari topeng 9. ada 30 pasang semuanya anak muda diberi perak 1 dharana,

(adapun) tarimwa (penari?) diberi perak 1 masa semuanya.5

Prasasti Mantyasih III (OJO CVIII) Dalam prasasti ini nama instrumen gandirawana hasta yang disebut dalam prasasti Lintakan ternyata merupakan 2 macam instrumen yang berbeda, terbukti dari nama penabuhnya disebut terpisah:

b.4. widu si majangut matapukan si barubuh juru padahi si nanja maganding si ksrni rawanahasta si mandal kapua winaih hlai 1 pirak ma 8 sowang-sowang //

Artinya: widu (penyanyi) bernama Majangut, penari topeng bernama Si Barubuh, juru kendang bernama si Nanja, maganding (penabuh gending?) bernama si Kusni, penabuh musik rawanahasta bernama si Mandal semuanya diberi kain bebed 1 helai dan perak 8 māsa masing-masing

Page 7: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

7

7

Di antara nama-nama pemusik tersebut, Krsni adalah nama wanita. Dalam prasasti yang lain kata widu sering diikuti oleh kata mangidung, atau hanya kata mangidung tanpa didahului kata widu. Prasasti Paradah tahun 865 Saka (OJO XLVIII) Dalam prasasti tersebut selain disebutkan padahi dan widu mangidung sebagai watak i jro, mabañol bernama si Kalayar. Selain itu dalam acara sajian tarian disebutkan:

46. … i tlas ning manamah mangigal yathakrama tuwung bungkuk ganding rawanahasta sampun sangkap ikanang iniga.

47. lakên malungguh sira …

Artinya: … sesudah melakukan sembah menarilah mereka yaitu tuwung, bungkuk, ganding, rawanahasta. Sesudah selesai semua yang ditarikan mereka kemudian duduk …

Dalam kutiban tersebut terdapat kata 'bungkuk' yang mungkin sekali artinya sama dengan 'brekuk' pada prasasti lain. Kalau di dalam prasasti sebelumnya ditemukan istilah tuha padahi, juru padahai, di dalam prasasti yang berasal dari tahun 853 M (prasasti Air) ditemukan istilah padahi manggala (pemimpin pemain kendang). Selain itu juga disebutkan adanya 'muraba'. Barangkali perlu disebutkan juga jenis seni pertunjukan yang lain ialah 'rara mabhramana tinonton' pada prasasti Poh IIb.5: "rara mabhramana tinonton si karigna si darini muang si rumpuk

muang wêrêwêrêhnya si jaway si baryyut". Artinya: 'dara (anak gadis) yang berkeliling ditonton bernama si Karigna, si Darini, dan si Rumpuk serta tunangannya bernama si Jaway dan si Baryyut". Kata ‘tinonton’ jelas menunjukkan bahwa gadis-gadis tersebut tentu gadis penari. Perlu dijelaskan bahwa nama orang yang didahului kata sandang si menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah rakyat biasa atau gadis desa. Prasasti Tajigunung tahun Sanjaya 194 – 910 M

Dalam prasasti tersebut selain disebutkan tuha padahi dan arawanāsta juga disebutkan jenis pertunjukan dengan istilah 'memen': 'memen rakryan mangigal ri susukkan sima i taji gunung si angkus'. Istilah 'memen' juga dijumpai pada prasasti Jrujru tahun 852 Saka (930 M): 16. ytaha sakamenmen rakryan ta 17. hada rikang kala kapua amintonakên

18. . . . . matapukan wuwup pramukha 19. winaih ma 4 kinabaihannya awa 20. yang ki lungasuh grawana winaih ma 21. 4 sowang abañol si liwuhan

Page 8: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

8

8

Dalam kutiban prasasti tersebut selain pertunjukan 'menmen' juga 'matapukan', 'awayang', dan 'abañol'. Istilah seni pertunjukan seperti

tersebut juga ditemukan di dalam prasasti yang berasal dari tahun 902 M (van Naerssen, 1941): 'muang menmen si patinghalan, mabañol si pati bancil, muang si bari paceh, atapukan si giranghyasen . . . . ’ Prasasti Wukajana

Prasasti ini tidak berangka tahun, akan tetapi berdasarkan bentuk huruf diperkirakan berasal dari masa Balitung (van Naerssen, 1937: 444-446). Uraian tentang pertunjukan yang dipentaskan dalam upacara penetapan sima adalah:

9. "…hinyunakan tontonan mamidu sang tangkil hyang si nalu macarita bhimma kumara mangigal kica-

10. ka si jaluk macarita ramayana mamirus mabañol si mungmuk si galigi mawayang buatt hyang macarita ya kumara …"

Artinya: 9. "…diadakan pertunjukan (yaitu menyanyi oleh sang

Tangkilhyang si Nalu bercerita Bhima Kumara dan menari 10. Kicaka, si Jaluk bercerita Ramayana, menari topeng (mamirus)

dan melawak dilakukan oleh si Mungmuk, si Galigi memainkan wayang untuk hyang [roh nenek moyang] dengan cerita “bhima kumara".

Kutipan tersebut tidak hanya menyebutkan jenis-jenis pertunjukan mamidu, mamirus, mawayang, mangigal, tetapi juga lakon yang diceritakan yaitu Bhima Kumara (masa muda Bhima) dan nama tarian: tari Kicaka.6 Adapun ungkapan 'mawayang buatt hyang' dapat berarti 'pertunjukan wayang untuk arwah nenek moyang'. Masih ada beberapa prasasti yang menyebut tentang seni pertunjukan secara singkat. Di antara prasasti-prasasti tersebut adalah prasasti Ratawun 881 M (tuha padahi), prasasti Ramwi 882 M (tuha padahi), prasasti Er. Hangat (tanpa tahun) menyebutkan: mangigêl, tuha padahi, widu, mangidung: prasasti kembang 941 M menyebut: kecaka, tarimba, tapukan. Menarik pula untuk disinggung adalah penyebutan 'tabêh-tabêhan' di dalam prasasti Waharu IV (931 M):

IIa.2. "…tabêh-tabêhan umiring bala paduka sri ma- 3. haraja …

Artinya: "bunyi-bunyian mengiringi bala tentara Paduka Sri Maharaja". Keterangan tersebut menunjukkan bahwa bunyi-bunyian musik dipakai dalam menambahkan semangat bala tentara. Setelah dikutip beberapa keterangan tentang seni pertunjukan dari beberapa prasasti sampai abad X, berikut ini akan dikutip pula sumber tertulis yang berupa kitab sastra pada masa itu. Sementara ini hanya ada

Page 9: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

9

9

dua kitab kesastraan yang diambil yang diperkirakan berasal dari abad X ialah Ramayana Kakawin dan Wirataparwa. Sumber-Sumber Kesastraan Kitab Ramayana

Kitab Ramayana tidak diketahui angka tahunnya. Menurut pendapat H. Kern, kitab Ramayana ditulis pada permulaan abad XIII. J.L.A. Brandes sebaliknya mengatakan bahwa kita Ramayana berasal dari abad X. Sementara itu Poerbatjaraka berpendapat bahwa kita Ramayana berasal dari akhir abad IX atau awal abad X. Beberapa kutiban yang menyebut alat musik atau kesenian lainnya adalah sebagai berikut (Dwi Anna Sitoresmi, 1984). III.39. Anakkebi ring indraloka manurun lawan apsarī ya teka

makuren-kuren ri sira sang tamuy kadbuta Mabangsi mangidung makinnara malaw wina mangigêl . . .

Artinya: Para wanita di indraloka turun bersama hapsari mereka itu menjamu (hidup bersama) dengan para tamu yang istimewa. Pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina menari …

VII.3. Megha mogha mapupul ya ring langit tulya kendanganirang manobhawa …

Artinya: Serentak berkumpul di langit seperti kendangnya dewa asmara ...

VIII.28. Hana manggupit hana mabangsi waneh Suraloka tulya nikanang nagara

Artinya: Ada yang bercerita ada yang bermain bangsi 47. Hana tambak ujwala pinikya kabeh Padahi prasada ri dalm tinabêh

Artinya: Ada tanggul yang cemerlang rapi tersusun semuanya. Padahi bangunan tinggi di dalam ditabuh.

100. Tinabêh tikang bahiri ring taman

Artinya: Dipukullah segera bahiri di taman 151. Atitibra ring lara wimoha bapaku tuwi bangsi kinnara ya …

karnnassula ya

Artinya: Sangatlah sakit bingung bapakku, segala yang kulihat setiap yang kudengar itu bangsi, kinnara, menyebabkan sakit telinga lagi pula …

166. Nya ta len maweh uneng atita manglare winarawanāsta

Artinya: Ada yang lain lagi memberikan kerinduan winarawasta XII.23. … bwat hajinya mangidung saha wina sawadana Artinya: …untuk tuannya tugasnya menyanyi dengan wina

65. Sawêtu nira rikang sabha sighra monikanang kahala

Artinya: Sekeluarnya di tempat pertemuan segera berbunyilah kahala

Page 10: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

10

10

XVI.10. …sacarana hanapsari wara ta kinnari kinnara mabangsi mangidung makinnara malawuwina …

Artinya: …ada hapsari ada juga kinnari kinnara, pemain bangsi, penyanyi, pemain kinnara, pemain lawuwina.

12. Asangghani ya manggupit hana sedeng sadarppasiwo Artinya: Memainkan sangghani, bercerita, ada juga yang sedang sangat

girang berkelakar. XVII.111. mangkin ika manahnya magirang saharsa ya kabeh len mangidung

makinnara mabangsi len tang angigêl.

Artinya: Semakin hatinya girang gembiralah semua, ada yang menyanyi, bermain kinnara, bermain bangsi, yang lain menari.

XIX.13. Len kendang koti-kotyada niyuta humung ghroragambirasabda … trus twas ning wang pwa denyanarawata kumeter katarang kala-kala monikang mardaladres saha pataha mahasara masrang makangsi

Artinya: Lagi pula kendang berkoti-koti jumlahnya gemuruh menggelegar suaranya … bergetar kala-kala mengerikan berbunyilah mardala deras serta dengan pataha mahasara saling berlomba-lomba, pemain kangsi

19. sangkat ning wira mahya padahi pada humung tutu hawan sangka tinyup …

Artinya: Seberangkatnya para perwira berbunyilah padahi, semua bergemuruh sepanjang jalan sangka ditiup…

XXI.207. Len sangkat ning manunggang saha ratha lawan nadhorana muka gambirang bheri ginwal murawa kala-kalaraweng dasadisi.

Artinya: Lagi pula seberangkat mereka yang berkendaraan serta berkereta serta penunggang gajah di depan menggelengar bheri murawa kala-kala dipukul disegenap penjuru.

XXII.3. … teka manabeh ta kendang anulup kalasangka waneh murawa tuwung regang padahi mandra mahaswara

Artinya: …maka manabuhlah kendang meniup kalasangka dan lagi murawa, tuwung, regang, padahi, mahaswara.

XXVI.23. …tumindak umundakmidik ring paras yabrebet bap mahsara masrang makangsinusi ramya bandung lawan kinnara

Artinya: … berjalan maju terus naik dengan hati-hati di batu karang membunyikan brebet bersuara bersama-sama membunyikan bangsi dengan indah bersama dengan kinnara

24. … suling sing magending salangsang Artinya: suling yang bergending salangsang

Page 11: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

11

11

Kitab Wirataparwa Kitab Wirataparwa merupakan bagian keempat dari ceritera epos Mahabharata dan menguraikan kehidupan para pandawa di Istana raja Wirata. Kitab tersebut diperkirakan berasal dari tahun 996 M (Juynboll, 1912). Selama di istana raja Wirata tersebut para pandawa melakukan penyamaran: Yudhistira menyamar sebagai seorang guru brahmin, Bhima sebagai juru masak dan ahli gulat, Arjuna sebagai guru tari, Nakula sebagai sains, dan Sadewa sebagai seorang gembala. Beberapa kutiban tentang alat musik gamelan antara lain (Dwi Anna Sitoresmi, 1984): I.11. Sajna haji: Nihan iking patik haji sandakarupa temahana kedi,

makasajna Wrhannala, anggucaranakna mantrakayika, tarmolaheng kanakbyan, marahana stri haji ring gitanrttawaditra.

Artinya: Ampun tuanku raja: Demikianlah hamba tuanku akan menjadi kedi, dengan nama Wrhannala, akan mengucapkan mantra dalam upacara, tinggal di keputren, mengajar para putri raja dalam hal gita, tarian, dan musik.

IV.30. Hanan kadi lawuwinamyakta kathanikang swara Artinya: Ada yang seperti lawuwina berbunyi nyaring VI.49. … prasamanggwal bheri mrdangga, ajemur arok silih-wor

ikang prang silih cidu Artinya: … sama-sama memukul bheri mrdangga, bercampur saling

berbaur mereka yang berperang saling menyiasati. 52 manulingãngidungãnabeha mahãsãra … Artinya: supaya membunyikan suling, mengidung, dan menabuh

mahãsãra VII.55. … humung kendanganya padahinya kadi angara kala ning

pralaya kahidepanya … Artinya: … riuh kendangnya, padahinya, seperti laut ketika pralaya

rasanya 85. … bheda sangka ring angilwaken bangsi tala panawa muddhama.

Hana tamawa wina rawanahasta, … humung tang bheri murawa tan pantara …

Artinya: … yang lain lagi membawa serta bangsi, tala (simbal), panawa, mudahama (alat musik?). Ada yang membawa wina rawanahasta … riuh suara bheri dan murawa tak ada antaranya

96. … humung tang tabeh-tabehan makadi sakweh sangkha kahala muangsarwwaditra, umadang sakweh nikang natopataka menmen sarwwa bhandagina

Artinya: … riuhlah suara tetabuhan terutama segala macam sangkha kahala dan segala macam bunyi-bunyian, menghadanglah segenap penari.

Page 12: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

12

12

Dari beberapa kutipan yang dikumpulkan dari sumber prasasti dan kitab kesastraan diperoleh berbagai nama atau istilah yang menunjukkan keberadaan seni pertunjukan yang telah ada ketika itu adalah: 1. Seni musik gamelan, 2. Seni tari, 3. Seni pertunjukan wayang (pedalangan), 4. Seni suara (tembang), 5. Lawak (dagelan).

Seni Musik Gamelan Keberadaan gamelan ketika itu dibuktikan oleh penyebutan nama-nama instrumen gamelan. Instrumen gamelan yang sangat umum dan banyak disebut-sebut dalam berbagai sumber adalah kelompok idiophone dan membranophone. Kelompok aerophone dan chordophone juga disebut meskipun tidak begitu banyak. Ensambel gamelan pada saat itu masih cukup sederhana, terutama sekali adalah 'musik keras'. Instrumen gamelan kelompok idiophone adalah: tuwung, curing, regang, brekuk, bungkuk, kangsi. Sedangkan untuk kelompok membranophone adalah: padahi, muraba, pataha, mardala, murawa, bahiri, mrdangga,7 dan kendang. Kelompok aerophone adalah: sangkha, kahala, atau sangkhakala, suling. Kelompok chordophone adalah: lawuwina, winarawanashasta, rawanahasta.

Masih ada beberapa istilah atau nama instrumen musik yang belum begitu jelas seperti mudhama, panawa, tala, bangsi. Tala mungkin sekali sejenis simbal.8 Panawa merupakan jenis kendang dan bangsi adalah suling (Kunst, 1968:85). Istilah bangsi di tempat lain disebut wangsi; dalam bahasa Sanskerta: vamsi berarti suling atau bambu. Istilah ganding masih belum jelas pula. Dalam beberapa prasasti ka 'ganding' selalu diikuti dengan kata 'rawanahasta'. Di dalam prasasti Mantyasih III disebut dengan 'maganding', sebagai kata kerja aktif yang berarti 'memainkan ganding'. Oleh karena itu istilah 'ganding' tentunya menunjuk pada nama instrumen musik seperti terlihat dalam konteks kalimat dalam prasasti Paradah yang menyebut nama instrumen gemelan: "tuwung, bungkuk, ganding, rawanahasta". Kata 'gendhing' dalam bahasa Jawa baru menunjuk pada komposisi lagu pada karawitan, dapat pula berarti gamelan secara umum seperti tampak pada toponim Gendhingan sebagai nama desa tempat para pembuat gamelan (Jacobson & Hasselt, 1975). Adapun kata 'rawanahasta' atau 'rawanasta' secara harafiah sering didahului dengan kata 'wina' (alat musik petik). Di India 'ravanahasta' adalah alat musik petik (Kunst, 1968:17). Cukup menarik perhatian bahwa dalam prasasti Tajigunung 910 M disebutkan adanya 'panday arawanasta' yang berarti 'pembuat alat musik rawanasta' yang termasuk sebagai

Page 13: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

13

13

anggota 'sang mangilala drabya haji'. Hal ini berarti bahwa pada abad X instrumen musik kecapi sudah dibuat di Jawa.

Di dalam prasasti Mantyasih III disebutkan bahwa 'maganding' dan 'rawanahasta' dimainkan oleh orang yang berbeda: 'maganding' oleh si Krsni� (dengan tanda panjang pada vokal i) menunjuk pada nama wanita. Dalam bahasa Jawa kuno, kata 'wina' kadang diterjemahkan sebagai 'seruling' (Wojowasito, 1977). Namun demikian karena konteksnya dengan kata 'lawu' – Lawuwina, maka yang dimaksudkan tentunya kecapi dengan resonator berbentuk seperti buah labu.

Nama curing ternyata hanya dijumpai dalam prasasti dari tahun

840 M dan 847 M. Sesudah masa-masa tersebut sampai akhir abad X 'curing' tidak pernah disinggung keberadaannya. Pada hal, nama gamelang 'culuring' sekarang ada di kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Nama curing disebut lagi pada masa-masa abad XII.

Kunst (1968:52) berpendapat bahwa 'curing' dan 'tuwung' adalah alat musik yang sama (sinonim). Memang di dalam prasasti 'curing' dan 'tuwung' tidak disebut bersama-sama dalam satu prasasti. Demikian pula barangkali antara 'brekuk' (prasasti Panggumulan 902 M dan prasasti Lintakan 919 M) dan 'bungkuk' (prasasti Paradah 943 M) juga penyebutkan untuk instrumen gamelan yang sama karena kedua instrumen tersebut tidak pernah disebut bersamaan. Kunst (1968:63) berpendapat bahwa baik 'brekuk' maupun 'bungkuk' adalah jenis kenong atau kemong.

Berikutnya yang perlu dibahas adalah kendang. Kata 'kendang' baru muncul pertama kali dalam sumber tertulis sekitar abad X akhir. Namun bukan berarti bahwa instrumen kendang baru muncul pada abad X. Pada masa klasik awal (tahun 821 M) instrumen jenis kendang sudah disinggung dalam prasasti dengan nama 'padahi'. Bahkan jauh sebelum itu, yaitu pada masa prasejarah instrumen jenis kendang sudah ada (Haryono, 1986).

Istilah 'padahi' (atau padaha, pataha) cukup populer pada masa Jawa kuno terbukti dari 14 prasasti menyebut padahi semua (sampai abad X). Sementara itu istilah 'muraba' dan 'mradangga' hanya disebut sekali. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata 'mrd' yang berarti 'tanah'. Di dalam kitab Ramayana selain dijumpai kata 'murawa' juga ada 'mrdala' dan tampaknya berasal dari akar kata yang sama. Di India kendang yang paling umum dan bentuk paling kuno dinamakan 'mridangga' atau 'mardala'. Dalam mitologi kendang bentuk mridangga diciptakan oleh dewa Brahma untuk mengiringi tarian dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986).9 Di dalam kitab Wirataparwa disebutkan 'Bheri mrdangga', juga 'Bheri-murawa'. Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa bheri atau bahiri adalah termasuk jenis kendang atau genderang.

Page 14: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

14

14

Instrumen gamelan seperti diuraikan di muka kadang-kadang secara umum disebut dengan istilah 'tabetabehan' (bhs. Jawa baru: tetabuhan). Di dalam kitab Wirataparwa selaian tabehtabehan juga disebut 'waditra' (bahasa Sanskrta). Di India instrumen musik secara keseluruhan disebut 'vaditra'. Vaditra dibedakan menjadi 5 kelas (Walker, 1983:88). a. tata = instrumen gesek b. betat = instrumen petik c. sushira = instrumen tiup d. dhola = kendang e. ghana = instrumen pukul

Adapun ritmennya (irama) dalam musik India dibakukan dengan menggunakan pola tala yang dilakukan dengan kendang (drum). Irama itu sendiri di India disebut laya yang dibagi menjadi 3 yaitu: druta (cepat), madhya (sedang) dan lamban (vilambita).10 Seni Tari Keberadaan seni tari pada abad VIII-X ditunjukkan oleh prasasti dengan kata 'mangigel', 'angigel', 'inigelaken' (dari kata dasar 'igel' = tari). Tidak banyak informasi yang diperoleh dari sumber tertulis tentang jenis-jenis tarian ketika itu. Beberapa istilah yang menunjukkan jenis tari yang dipertunjukkan adalah: tapukan, kicaka (kecaka), tarimba (tarimwa), memen (menmen), mamirus, dan rasa mabhramana tinonton. Kata tapukan, atapukan, berasal dari kata tapuk yang dalam bahasa Bali kuno berarti topeng, kedok. Oleh karena itu atapukan yang disebut di

dalam prasasti dapat berarti pertunjukan topeng (tentu saja dengan menari). Tari topeng ini pada abad VIII sudah dipertunjukkan dalam kegiatan upacara sima. Sampai abad X tapukan masih disebut dalam prasasti. Kata mamirus dapat diartikan pula menari topeng, dapat pula berarti 'melawak' (melawak dengan topeng?). Pirus dalam bahasa Jawa berarti seni pertunjukan (Zoetmulder, 1982). Sementara itu kata kecaka dan tarimba dalam prasasti belum jelas

benar artinya. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konteks kalimatnya kata-kata tersebut mengacu pada jenis seni pertunjukan. Di dalam prasasti Wukajana (abad X) disebutkan 'mangigel kicaka', mungkin menunjukkan jenis tarian yaitu tari kicaka. Apakah nama

tersebut kemudian menjadi nama 'tari Cak' di Bali, perlu penelitian lagi. Soalnya ialah bahwa sesudah kata mangigel kicaka kalimat berikutnya berbunyi macarita ramayana. Di Bali tari Cak mengambil cerita Ramayana. Ungkapan kalimat 'rara mabhramana tinonton' menarik untuk dimasukkan dalam seni tari. Kata 'rara' = dara, gadis, kata 'mabhramana' = berjalan keliling, dan 'tinonton' = ditonton. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa para gadis berjalan keliling (dari desa ke desa) mengadakan

Page 15: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

15

15

pertunjukan tari (penari jalanan atau mbarang). Sampai sekarang masih dijumpai pertunjukan keliling yaitu tledhek mbarang dari desa ke desa.

Sementara itu kata 'menmen' dalam prasasti Tajigunung (910 M) dan prasasti Jrujru (930 M) berkaitan pula dengan pertunjukan kesenian. Dalam bahasa Jawa kuno kata 'amen' berarti 'menghibur'; menmen = penghibur dengan pertunjukan seni (Zoetmulder, 1982) atau permainan topeng (Wojowasito, 1977). Dalam bahasa sekarang dijumpai pula kata 'ngamen' yang berarti mengadakan pertunjukan musik. Pertunjukan Wayang Pertunjukan wayang sudah ada sejak abad IX dibuktikan oleh adanya istilah 'haringgit' dalam prasasti Kuti 840 M. Padanan kata 'haringgit' adalah 'awayang' dijumpai dalam prasasti Tajigunung 910 M. Sampai sekarang kata ringgit dan wayang masih digunakan. Pertunjukan wayang tentu saja menggunakan media (wayang), namun sumber tertulis ketika itu tidak memberikan keterangan. Barangkali media dalam pertunjukan wayang pada waktu itu semacam boneka-boneka kecil. Keterangan menarik diberikan oleh prasasti Wukajana bahwa pertunjukan wayang waktu itu adalah 'mawayang buatt hyang' = pertunjukan wayang untuk hyang. Hyang adalah dihormat yaitu dewa atau nenek moyang. Hal ini berarti bahwa pertunjukan wayang bukan semata-mata hiburan tetapi lebih bersifat seremonial keagamaan. Cerita Bhima dan cerita Ramayana sudah cukup populer pada abad X sebagaimana dijelaskan di dalam prasasti: 'macarita bhima kumara' dan 'macarita ramayana'. Dalang terkenal waktu itu bernama si Galigi karena namanya disebut-sebit dalam sebuah piagam yang dikeluarkan oleh raja. Kata 'macarita' dalam prasasti mungkin sekali tidak berhubungan dengan mawayang. Pelaku atau seniman untuk masing-masing tersebut berbeda: macarita bhima kumara dilakukan oleh si Nalu sedangkan mawayang buat hyang oleh si Galigi. Dengan demikian dapat diajukan dugaan bahwa 'macarita' adalah cabang seni pertunjukan yang lain, yaitu profesi seni khusus menyampaikan cerita prosa atau 'story teller'. Seni Suara

Berbeda dengan profesi 'macarita' yang tugasnya membacakan ceritera prosa, adalah profesi penyanyi yang menyampaikan cerita puisi. Di dalam beberapa prasasti profesi tersebut dikenal dengan nama 'widu' dan mangidung' atau 'widu mangidung'. Sejak abad IX (prasasti Waharu I 873 M) kata widu dalam bahasa Indonesia kemudian menjadi 'biduan' = penyanyi. Profesi 'mamidu' pada masa Jawa kuno mungkin sama dengan 'pesindhen' jaman sekarang. Mangidung berasal dari kata 'kidung' artinya 'lagu', 'tembang'. Dalam bahasa Sanskerta untuk lagu atau nyanyian adalah 'gita'. Menurut kitab Wirataparwa cabang-cabang seni yang dilakukan

Page 16: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

16

16

oleh Arjuna dengan nama samaran Wrhannala adalah gitanrttawaditra yaitu nyanyian, tari, dan musik (gita, nrtta, dan waditra). Kalau ada profesi

penyanyi pada masa Jawa kuno tentu ada jenis-jenis nama lagu. Namun sayang, pada periode abad IX – X belum ada sumber-sumber yang dapat diungkap. Barangkali jenis lagu seperti nama-nama bentuk kakawin di India. Lawak Pertunjukan lawak sudah ada sejak abad IX. Kesan yang diperoleh dari prasasti bahwa kedudukan seniman lawak sejajar dengan seniman-seniman yang lain. Mereka juga diundang dalam upacara sima sebagai saksi. Menurut prasasti Wukajana, lawak juga ditampilkan dalam acara kesenian bersama dengan kesenian lainnya. Di dalam prasasti Kuti ada istilah abãnol salahan. Kata salahan mempunyai arti salah, keliru. Kalau kata salahan tersebut termasuk dalam satu ungkapan dengan kata abanol berarti fungsinya menerangkan 'abãnol'. Oleh karen itu dapat ditafsirkan jenis lawak yang temanya adalah permainan kata yang sengaja dibuat 'keliru' agar sengaja membuat keliru arti kata-kata. Seandainya kata salahan memang untuk menerangkan kata 'abãnol' berarti 'lawak plesetan' sudah ada sejak jaman dulu. Masalahnya akan lain jika kata 'salahan' terpisah dengan kata 'abãnol'. Namun sampai sekarang belum ada jenis seni pertunjukan yang dinamakan 'salahan'. Seni Pertunjukan dalam relief bangunan candi Sumber Relief Setelah ditinjau sepintas tentang berbagai jenis seni pertunjukan dari sumber-sumber tertulis, berikut ini akan diuraikan berbagai seni pertunjukan yang ada menurut sumber relief. Bangunan candi yang akan dipakai sebagai sumber pembahasan adalah candi Borobudur dan candi Prambanan (Haryono, 1985). 1. Relief Karmawibangangga – Seri O:

0.1. : penggambaran suasana pasar. Alat musik yang ada ialah kendang bertali yang dikalungkan di leher. Kendang dipukul dengan menggunakan alat pemukul.

0.20. : seseorang menabuh kendang, dan tokoh lain membunyikan alat musik petik.

0.39. : dua orang sedang membunyikan alat musik tiup dan memegang tongkat geserk (scraping stick).

Mungkin yang dilukiskan ini adalah gambaran suasana ngamen.

Page 17: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

17

17

0.53. : alat musik yang digambarkan adalah alat musik tiup dan sejenis alat musik perkusi.

0.52. : alat musik yang digambarkan adalah semacam kendang. Di sini digambarkan pula tokoh bangsawan yang menyaksikan.

0.72. : adegan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang menari diiringi dengan musik jenis simbal dan kendang yang bentuknya seperti periuk.

0.101. : dua kinnara sedang bermain musik. Alat musik yang digambarkan adalah alat musik petik (bar-zither) dan suling.

0.102. : tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat yang ada adalah kecapi berdawai dua dan simbal.

0.117. : adegan yang mungkin menggambarkan pemusik jalannya (ngamen). Alat musik yang ada ialah suling.

0.125. : adegan tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat musik yang digambarkan adalah alat musik petik dan kecapi berdawai tiga.

0.137. : penggambaran tokoh bangsawan yang menyaksikan pertunjukan musik siter dan simbal.

0.143. : tokoh bangsawan yang sedang mendengarkan musik, siter. 0.147. : dua kinnara sedang memainkan alat musik siter dan simbal. 0.149. : adegan pertunjukan tari oleh seorang penari wanita yang

disaksikan oleh para bangsawan. Alat musik yang ada ialah kendang bentuk periuk, simbal mangkuk, simbal pipih, dan siter.

0.151. : pertunjukan musik yang disaksikan oleh tokoh bangsawan. Alat musik yang ada yaitu: dua buah siter, dua buah kendang ukuran kecil, kecapi berdawai 4.

0.157. : penggambaran tokoh bangsawan dan alat musik siter.

2. Relief Lalitawistara – Seri Ia (Deretan Kesatu) Ia.1 : Tokoh bangsawan menikmati puji-pujian, alat musik yang

digambarkan adalah empat buah kendang silindris lurus, tiga buah kendang cembung, simbal besar, suling, dan kecapi.

Ia. 32 : Tokoh bangsawan sedang mendengarkan musik. Alat musik yang digambarkan adalah kecapi, harpa, simbal, dan suling.

Ia.19 : Adegan yang menggambarkan seorang penari wanita dengan diiringi musik simbal mangkuk, simbal besar, suling, dan kendang bentuk periuk.

Ia.95 : Adegan yang menggambarkan Mara dan pengikutnya yang menggoda Bodhisatwa yang sedang bermeditasi dengan tarian-tarian erotis, diiringi dengan alat musik lima buah simbal kecil, dua buah kendang silindris cembung.

Page 18: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

18

18

Ia.98 : Dalam relief ini digambarkan alat musik yang mungkin dapat diidentifikasi sebagai saron.

3. Relief Lalitawistara dan Jataka-Awadana – Seri Ib (Deretan Kedua)

Ib.19 : Adegan tokoh bangsawan sedang menyaksikan pertunjukan tari yang ditarikan oleh penari wanita. Alat musik yang dimainkan lima buah simbal kecil, sebuah simbal besar, kendang berbentuk periuk, dan dua buah suling.

Ib.70 : Penggambaran para prajurit yang sedang mengikuti seorang tokoh mendendarai gajah. Mereka diiringi pula para pemusik yang membunyikan terompet kha (keong).

Ib.83 : penggambaran sebuah pelaksanaan upacara. Ada pemusik yang membunyikan kendang silindris dan simbal besar.

4. Relief Lalitawistara dan Jãtaka-Awadãna (Deretan Ketiga) (Seri IBa)

IBa.V.42. : Suatu adegan sandiwara yang dibawakan oleh lima orang laki-laki. Tampak seorang melambai-lambaikan sehelai saputangan, sedang tiga orang lainnya mengangkat tangannya di atas dadanya seolah-olah menirukan gaya seorang pendengar yang tekun. Seorang lainnya memainkan sebuah kendang silindris lurus.

IBa-XI.46. : Adegan sebuah permainan orkes musik yang didukung oleh beberapa orang yang tampaknya berdiri dengan memakai pakaian yang serba mewah, sedang pemain-pemain musik yang duduk di bawah kelihatannya terdiri dari orang-orang kebanyakan. Alat-alat musik yang ada, terdiri dari: tiga buah simbal kecil, sebuah simbal besar, sebuah kendang seperti jambangan dan dua buah seruling.

IBa.XXVI.233a. : Suatu pertunjukan tari yang dibawakan oleh seorang penari wanita, yang didampingi oleh seorang pendeta/brahmana yang ikut penari pula. Dengan diiringi sebuah orkes musik. Alat-alat musik yang mengiringinya terdiri dari tujuh buah simbal kecil, sebuah kendang berpasangan. Sayang relief bagian kanan sudah aus, sehingga tak begitu jelas alat-alat musik yang sedang dimainkan.

IBaXXX.260. : Adegan seorang raja dan brahmana berdiri menyaksikan orang-orang yang berarak-arak mengusung sebuah rumah-rumahan kecil. Di sebelah kanan tampak iringi-iringan para pemain musik yang sedang memainkan musiknya. Alat musik yang

Page 19: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

19

19

tampak yaitu: dua buah kendang silindris dan sebuah simbal besar.

IBaXXXIV.300. : Suatu adegan tarian dibawakan seorang penari wanita yang didampingi seorang brahmana (ahli tari). Alat-alat musik yang mengiringinya yaitu: dua simbal kecil, sebuah kendang berbentuk pot dan sebuah seruling.

IBa.XXX.318. : Seorang raja seorang menyaksikan suatu pertunjukan tari yang dibawakan seorang penari wanita yang didampingi ahli tari (brahmana). Pertunjukan ini diiringi sebuah orkes musik, yang terdiri dari sebuah kendang tangan berpinggang (berukuran kecil), sebuah seruling, sepasang kendang berbentuk cembung besar dan sebuah kendang bentuk jambangan.

5. Relief Lalitawistara dan Jãtaka-Awadãna (Deretan Keempat) Seri IBb. Keadaan semua relief bagian atas telah hilang. IBb.I.1 : Melukiskan seorang penari wanita sedang

mempertunjukan kebolehannya. Musik pengiringnya terdiri dari sebuah kendang berbentuk seperti pot.

IBb.V.30 : Terlihat suatu iringan arak-arakan dengan binatang gajah ikut serta dalam barisan tersebut. Terlihat alat kendang dengan alat pukul mengiringi barisan tadi.

IBb.VII.43b. : Suatu adegan pertunjukan tarian yang diiringi sebuah grup musik. Alat musik yang mengiringi yaitu: sebuah kendang yang berpasangan berbentuk cembung besar, dua buah seruling dan dua buah simbal kecil.

IBb.VIII.51. : Melukiskan suatu adegan tarian yang dibawakan seorang penari wanita. Kelihatannya sedang disaksikan oleh seorang raja atau bangsawan yang ditemani dua orang puteri, di sampingnya para abdi sedang duduk menghadap. Alat musik yang ada yaitu: sebuah kendang berbentuk jambangan, sebuah kendang berpasangan berbentuk cembung besar (seperti tong).

IBb.X.65 : Terlihat seorang laki-laki terhormat sedang duduk dihadap oleh para abdinya. Alat musik yang ada yaitu sebuah siter bar.

OBb.X.66 : Suatu adegan upacara ritus bagi stupa, yang diberi hiasan dan diletakkan di atas sebuah batur dengan diiringi oleh para dayang yang membawa saji-sajian.

Page 20: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

20

20

Terlihat seorang biksu sedang khidmat melakukan sembahyang. Alat musik yang terlihat yaitu: tiga buah kendang, dua di antaranya berbentuk silindris lurus dengan alat pukulnya sedang satu di antaranya berbentuk lebih kecil, sebuah kendang cembung berukuran sedang.

IBb.XIV.89. : Suatu adegan tari berpasang-pasangan pria dan wanita, dengan iringan sebuah orkes musik. Alat-alat musik yang mengiringinya ialah: sebuah (semacam) calung, sebuah bel/genta bertangkai dengan alat pukulnya dan sebuah (semacam) gambang dengan dua buah alat pukul.

IBb.XIV.90. : Suatu adegan pemujaan terhadap Caitya, dimana terlihat seorang pendeta sedang memberi hiasan untaian bunga. Dibelakangnya duduk para dayang yang membawa sesaji dan para abdi melakukan sembah. Tampak di sebelah kiri pemain musik sedang mengiringi upacara pemujaan tersebut. Alat musik yang ada, yaitu: dua buah kendang silindris lurus yang digantungkan di bahunya dengan alat pukul.

6. Tingkat II Relief Gandawyu �ha (Deretan keenam) (Seri II) yaitu:

II.I.1. : Adegan di kahyangan. Di mana Budha sedang menguraikan pelajarannya yang didengar oleh para pendengarnya. Sedang memberi pelajaran kepada Budhana. Di sekelilingnya para hambanya sedang melakukan puji-pujian dengan iringan musik atas kebesarannya. Alat musik yang mengiringi puji-pujian itu adalah: dua buah siter-bar, sebuah terompet dari keong besar, dua buah kecapi bertali tiga, sebuah simbal berukuran sedang, sebuah wina, sebuah simbal kecil dan sebuah seruling.

II.IX.18. : Suatu adegan Sãgaramegha (sebagai bhiku) sedang memberi pelajaran kepada Sudhana. Di dekatnya turut mendengarkan pula para hambanya. Di sebelah atas terlihat penghuni surga sedang memainkan musiknya. Alat-alat musik yang dimainkan, yaitu: sebuah kendang kecil "berpinggang", sebuah simbal besar, terompet dari tanduk binatang, sebuah simbal berukuran sedang, dan sebuah kendang seperti

II.XIII.25 : Sebuah adegan dari Sudhana yang sedang mendengarkan pelajaran dari Maitroya. Di angkasan para penghuni surga sedang mengalunkan bunyi-

Page 21: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

21

21

bunyian. Alat-alat musik yang dimainkan yaitu: sebuah kendang cembung berukuran sedang, sebuah terompet dari keong dan sebuah siter-bar.

II.XXVIII.55. : Adegan Sudaha sedang duduk dihadap para hambanya. Sedang di angkasa penghuni-penghuni surga memainkan musiknya. Alat musik yang dimainkan, yaitu: sebuah kendang "berpinggang" berukuran besar, dua buah simbal besar, dan sebuah kendang silindris lurus.

II.LIII.105. : Melukiskan seorang dewi di istana, sedang duduk di balairung memberi pelajaran kepada Sudhana. Dan di atas angkasa penghuni surga sedang bermain musik. Alat-alat musik yang ada, yaitu: sebuah kendang yang dipanggul berbentuk seperti tong, dan sebuah simbal berukuran sedang.

II.LVIII.116. : Suatu adegan dari dewi Wasanti yang sedang duduk di paseban, memberi 'penerangan' kepada Sudhana. Alat musik yang ada, yaitu: sebuah siter-bar.

II.LIX.118. : Dilukiskan seorang Brahmana duduk memberi pelajaran kepada Sudhana. Sementara itu penghuni-penghuni surga memainkan musik. Alat-alat musik yang ada, yaitu: sebuah kendang bentuk seperti tong berukuran sedang, dua buah simbal kecil.

II.IX.120. : Suatu adegan di kahyangan, dimana Surendrãbhã sedang memberi pelajaran kepada Sudhana. Alat musik yang, yaitu: sebuah siter-bar dan terompet dari keong.

II.LXI.121. : Adegan Sudhana sedang menghadap Wicamitra, sementara itu di angkasa terlihat seekor kinnara membawa alat musik siter-bar.

II.LXI.122. : Lukisan dari Sudhana yang sedang mendengarkan pelajaran dari Surendrã. Di angkasa para penghuni surga memainkan musiknya. Alat musik yang dipakai sebagai pengiring, di antaranya: sebuah kendang berbentuk seperti tong, sebuah kendang tangan 'berpinggang', sebuah simbal ukuran sedang dan sebuah kecapi bertali tiga.

II.XXII.124. : Suatu adegan dimana Sudhana sedang mendengarkan wejangan dari Brahmana Siwirãtra. Sementara di angkasa terlihat seekor kinnara membawa sebuah siter-bar.

II.LXIII.126. : Adegan pemujaan terhadap bangunan suci, dimana di sebelah kanan terlihat Sudhana sedang duduk

Page 22: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

22

22

berjongkok menghadap bangunan tersebut. Sementara di awan terlihat di antara penghuni surga sedang memainkan musiknya. Alat-alat musik yang dimainkan, yaitu: sebuah siter-bar dan sebuah simbal berukuran kecil.

II.LXIV.128. : Suatu adegan pemujaan terhadap Maitreya, di kanan-kirinya para abdi dalem dalam sikap hormat sedang menghadap, di antaranya para dayang yang membawa sajian buat Maitreya. Sementara itu terlihat ensambel musik memainkan musik-musiknya. Alat-alat musik yang ada, yaitu: sebuah simbal besar yang berukuran sedang, sebuah kendang bentuk seperti tong berukuran sedang, sebuah kendang berpasangan, dua buah kecapi bertali tiga dan sebuah bertali dua.

7. Relief Gandawyu �ha (Deretan Keenam) Seri II B:

II.B.IX.44. : Suatu pertunjukan tarian berpasangan yang dibawakan para penari wanita yang diiringi oleh sebuah orkes musik. Pertunjukan itu disaksikan oleh seorang raja beserta empat orang isterinya, yang duduk di balairung. Alat-alat musik yang mengiringinya, yaitu: sebuah seruling, sebuah (semacam) gambang, sebuah kendang berbentuk jembangan, dua buah simbal kecil.

II.B.X.53b. : Sebuah iring-iringan dimana tampak diantaranya seorang pendeta. Iring-iringan tersebut membawa sebuah peti besar yang diusung oleh dua orang laki-laki. Tampak dibelakangnya seorang laki-laki memukul kendang yang berbentuk silindris lurus.

8. Tingkat III Relief Gandhawyu �ha (Deretan ketujuh, delapan, sembilan) Seri III) III.III.5. : Suatu adegan seorang raja sedang dihadap oleh para

pembantunya, duduk di tempat batur yang agak tinggi. Alat musik yang ada, yaitu: sebuah siter-bar, dan terompet dari keong yang besar.

III.XII.24. : Seorang raja sedang dihadap para pembantu dan abdi dalem, sementara di angkasa terlihat penghuni surga membawa sebuah siter-bar.

III.XXV.50. : Melukiskan seorang raja sedang menyaksikan sebuah arak-arakan yang di dalamnya terdapat sebuah orkes musik sedang memainkan musiknya. Arak-arakan itu

Page 23: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

23

23

kelihatannya sangat meriah, terbukti dengan dibawanya serta beberapa panji-panji serta terlihat seekor gajah ikut serta di dalam barisan tersebut. Alat-alat musik yang ada yaitu: sebuah simbal besar, sebuah terompet keong, dua buah kendang silindris lurus dengan alat pukulnya, sebuah kendang berbentuk tong berukuran sedang.

9. Relief Gandwyu �na dan Bhadracari (Deretan kesepuluh (Seri IV)

IV.IV.7. : Suatu adegan puji-pujian terhadap sang Budha, puji-pujian tersebut diiringi dengan berbagai bunyi-bunyian. Alat-alat musik yang ada sebagai pengiring, yaitu: empat buah kendang silindris lurus (satu di antaranya berbentuk kecil), sebuah kendang dengan alat pukulnya, sebuah kendang berbentuk seperti tong berukuran sedang, dua buah genta bertangkai dengan alat pukulnya, tiga buah terompet bambu, sebuah seruling, dan sebuah kendang tangan 'berpinggang', dan sebuah simbal besar berdawai tiga, simbal mangkuk, simbal besar, dan suling. Sedangkan pada bidang dalam yaitu yang melukiskan cerita Ramahaya hanya ada satu panil yang menggambarkan adegan tari dan alat musik kendang.

Dari relief yang sudah dibicarakan di muka diperoleh suatu gambaran umum tentang seni pertunjukan secara visual yang dapat dikaitkan dengan keterangan tertulis. Dari relief pun tampak jelas bahwa musik Jawa kuno dapat dibagi menjadi kelompok membranophone, chordophone, idiophone, dan merophone. Kendang yang dalam sumber prasasti disebut dengan berbagai nama, di dalam relief juga dijumpai kendang dalam berbagai bentuk seperti silindris lurus, cembung. Demikian pula simbal yang disebut dengan berbagai nama dalam prasasti juga dapat ditemui bermacam bentuk simbal dalam relief. Yang masih sulit dilakukan adalah untuk mensejajarkan antara masing-masing nama alat musik dalam prasasti dan kitab sastra dengan masing-masing bentuknya yang terdapat dalam relief. Informasi yang menarik yang diperoleh dari relief adalah bahwa ada dua kelas masyarakat seniman yaitu seniman dari kalangan atas dan seniman dari kalangan bawah (rakyat biasa). Hal ini tampak jelas dilukiskan oleh relief pada candi Borobudur. Instrumen musik yang selalu khas digambarkan dalam konteksnya dengan masyarakat bangsawan adalah siter, kecapi, dan harpa. Instrumen-instrumen tersebut jarang sekali dilukiskan dalam konteksnya dengan masyarakat bawah. Pada seni

Page 24: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

24

24

pertunjukan yang dilaksanakan oleh rakyat bawah, instrumen musik yang digunakan pada umumnya jenis kendang dan simbal.

Dalam hal seni tari diketahui ada jenis tarian tunggal dan ada pula tarian berpasangan. Tarian dilakukan oleh penari wanita maupun penari pria. Menurut hasil penelitian Edi Sedyawati (1985:3-11) ternyata kaidah-kaidah tari klasik Hindu (di India) dikenal benar di Jawa Tengah abad VIII – X Masehi. Melihat konteksnya tari-tarian pada relief candi Jawa Tengah yang sesuai dengan kaidah tari India Klasik digambarkan selalu dalam hubungan dengan lingkungan orang bangsawan atau orang berada. Sebaliknya, di kalangan rakyat kebanyakan, digambarkan tari-tarian yang tidak mengikuti kaidah tari India klasik.

Seni Pertunjukan Periode Abad X-XVI Sumber Prasasti Prasasti Kakuragan 945 Saka (26 September 1023)

Dalam prasasti ini hanya ditemukan istilah widu mangidung dan istilah 'wnang angungkunga curing': VI.a.2. …wnang a

3. manabuh curing siang malam … Prasasti Gandakuti 964 Saka (24 Nopember 1042) Prasasti ini pun hanya menyebut: 'angungkunga acuring tlung wngi' –"(diijinkan) menabuh curing tiga malam". Prasasti Pupus 1022 Saka Di dalam prasasti ini dijumpai istilah: Ib.14. "… apadahi si manunggang abãnol si barangkung menmen si nung

wineh IIa.1. wdihan syani himihimi brat mã 4 ing sowangsowang citrakara

maraket sowati wineh ma 10 Artinya: "…pengendang bernama si Manunggang, pelawak bernama

si Barangkung, pengamen bernama si Nung diberi bebed wdihan syani himihimi (?) seberat 4 masa masing-masing, Citrakara pemain topeng Sowati diberi (seberat) 10 masa.

Selain keterangan tersebut juga dijumpai keterangan tentang 'juru bãnol', sebagai anggota Sang mangilala drbya haji. Prasasti Tuhañaru 1245 Saka (13 Desember 1323) Di dalam prasasti ini disebutkan adanya ijin yang berhubungan dengan seni pertunjukan: VIIIa.2. "…tuhu nikang kinawnangaken samāsanak ing tuhañaru muang

kusambyan 3. …curing kinangsyan, …apangharêp gênding

Page 25: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

25

25

VIIIb.3. anggênding gênding …" Data-data yang dapat diperoleh dari prasasti tersebut antara lain: curing kinangsyan dan gending. Prasasti Waharu III (tidak berangka tahun) Dalam prasasti ini juga masih ditemukan istilah: curing dan menmen

dalam kaitannya dengan anugrah raja. VIIIb.3. …muwah anugraha pāduka 4. sri mahārāja ri wnanga dyah kaki para warga akolahulahana.

Acuringa rahina sawegong Artinya: "…dan anugrah paduka sri maharaja akan kewenangan

dyah kaki (dan) para warga untuk melaksanakan (menabuh) curing sepanjang siang".

IVb.3. …mwang ananggapa me 4. n men ring galanggang. Artinya: … dan (diijinkan) menanggap pertunjukan ngamen di

gelanggang. Prasasti Leran (tidak berang tahun)

Dalam prasasti ini juga disebutkan anugrah yang berupa kewenangan untuk menabuh curing: IIIb.2. kunêng anugraha bhatara wisnu irika anungkunga curing sawngi

rwang wngi

Artinya: "adapun anugrah dewa Wisnu (adalah) menabuh curing semalam dua malam".

Prasasti Panumbangan 1062 Saka (1140 M) Dalam prasasti tersebut masih dijumpai pula ungkapan 'wnang ananggapa men men' kewenangan untui menanggap men men. Selain itu diterangkan bahwa 'widu mangidung' sebagai anggota sang mangilala drbya haji. Prasasti dari desa Kemulan (Trenggalek) tahun 116 Saka (1194 M)

Prasasti Kemulan juga menyebutkan bahwa 'widu mangidung' adalah watêk i jro (golongan dalam) dan ungkapan yang berhubungan dengan kewenangan menabuh curing. Ungkapan yang sama ternyata juga ditemukan dalam prasasti raja Srangga (OJO LXXVII) yaitu kewenangan 'angungkunga curing'. Dari kutiban prasasti-prasasti masa klasik Jawa Timur tersebut tampak jelas bahwa kehidupan seni pertunjukan periode abad X – XVI relatif sama dengan masa sebelumnya. Suatu hal yang menarik adalah ungkapan 'wnang angungkunga curing' yang banyak disinggung. Hal tersebut mungkin menunjukan betapa pentingnya instrumen 'curing'

Page 26: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

26

26

ketika itu. Instrumen gamelan yang disebut dalam prasasti sampai abad XVI adalah: padahi, curing, kangsi. Adapun pertunjukan yang lain adalah: abãnol, widu, mangindung, dan gending. Kitab Kesastraan

Jaap Kunst (1968:93-117) telah membuat tabel nama alat-alat musik gamelan dari berbagai kitab kesastraan. Dari berbagai nama alat musik tersebut ada yang belum dijumpai di dalam sumber-sumber tertulis abad X dan sebelumnya. Di antara nama yang baru ditemukan pada masa sesudah abad X adalah: gerantung gong Tarayan redep mongmong selukat sundari Ronji gamelan gubar selunding tabang-tabang rojeh barebet kamanak bende reyong saragi guntang calung

Dari beberapa contoh nama instrumen gamelan tersebut jelas bahwa gamelan sebagai satu ansambel agak lengkap.11 Ada beberapa instrumen yang sampai sekarang masih dapat dijumpai di Jawa maupun di Bali. Nama 'salunding' sudah ada sejak abad XII.12 Meskipun gong baru dijumpai secara jelas sebagai alat musik pada abad XII bukan berarti bahwa masa sebelumnya belum ada. Menuruit berita Cina, gong sudah ada dan digunakan sebagai musik mengiringi raja pada jaman Mataram Hindu (Groeneveldt, 1960). Kamanak dan gerantung juga sudah dikenal sejak abad XII Kitab Nāgarakrtāgama (1365 M). Kitab Nāgarakrtāgama adalah kitab puja sastra yang digubah oleh Mpu Prapanca. Meskipun sebagian besar syairnya menceritakan perjalanan keliling raja Hayam Wuruk (Majapahit) namun ada beberapa pupuh yang memuat tentang seni pertunjukan masa Majapahit.13 Pupuh 27:2. Tan tunggal tikanang wilāsa ginawe naréndrā kasukhan, sing wastwasunga tustacitta rikanang pradesa winangun, baryyan karaktan sramasrama maweh jngêr ning umulat, Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan, berbuat segala apa yang membuat gembira penduduk menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum, Pupuh 31:3 mrdangga padahātri megêliglan magingan dina genderang dan kendang bergetar mengikuti gerak tandak,

Page 27: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

27

27

Pupuh 65:1 enjing purnnamakāla kālani wijilnira pinark i madyaning sabhā, ghurnnang kahala sāngka lan padaha ganjaran i harp asangkya mangdulur,

Pagi purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara, gemuruh disambut dengan dengung salung, tam- bur, terompet serta genderang Pupuh 66:5 nang wduwamañcangah rakêt anganti sahāna para gi�tada pratidina Nyanyian, wayang, topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara Pupuh 84:2 ghu �rnang padata mrdangga trutika dudung sãng- ka tarayan atri Mengguntur gaung gong dan salung disambut terompet meriah sahut-menyahut Pupuh 87:2 rikā nggwan sri� nãthan parahita maweh netrã- wisaya, hanan prang tanding prang pupuh i- kang atembok kanin adu,

Di situlah Baginda memberi rakyat santapan mata: pertunjukan perang tandaing, perang pu- kul desuk mendesuk Pupuh 91:4 ãn para handyan ãpti miha- te siran arakhe�t Rakhe�t, bahwa para pembesar ingin beliau menari topeng, Pupuh 91:5 sri � krtawarddaneswara memañjaki sira rumuhun, ngkãna rika witana ri tngah rinacana dinadak, sorinireki susrama nirukti lituhayu wage �d, gita nikanghiribhirib aweh rsepaning umulat, Sri Kertawardana tampil ke depan menari pan- jak, bergegas lekas panggung disiapkan di tengah mandapa,

Page 28: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

28

28

Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyi- kan lagu, luk suaranya mengharu rindu, tingkahnya me- mikat hati Dari kutipan Nagarakrtagama tersebut diperoleh gambaran bahwa seni pertunjukan yang ada adalah seni musik (gamelan), seni tari, wayang, topeng, dan seni suara. Beberapa instrumen musik yang disebut dalam Nagarakrtagama adalah padaha, mrdangga, kahala sangka, gong, tarayan, trut, gañjuran, bubar

(gubar). Tarayan juga sudah disebut di dalam kitab Sumanasantaka (dari masa Kediri). Tarayan dan trut adalah sejenis terompet. Sementara itu yang dimaksud deganjuran belum jelas benar, mungkin termasuk dalam kelompok membranophone. Gubar diperkirakan jenis simbal dalam perang (Juynboll, 1923). Dengan berdasar pada data-data seperti telah terkutip di muka, maka dapat dijelaskan bahwa macam seni pertunjukan pada periode abad X – XVI tidak terlalu jauh bedanya. Yang tampak jelas adalah perbedaan perbendaharaan instrumen gamelan lebih banyak. Hal tersebut terlihat juga dalam pelukisannya pada relief candi. Sumber Relief Candi Jago (abad XIII): Instrumen musik yang ada pada relief di candi Jago adalah kelompok chordophone yang berupa kecapi berleher panjang dan celempung. Candi Ngrimbi (abad XIII): Berbeda dengan di candi lain, pada candi Ngrimbi terdapat relief reyong. Candi Kedaton (abad XIV): Pada candi Kedaton dilukiskan gong besar Candi Tegawangi (abad XIV): Pada candi Tegawangi dilukiskan relief kendang silindris panjang. Candi Jawi (abad XIII): Pada candi Jawi hanya ditemukan relief terompet Candi Panataran (abad XIV): Instrumen musik yang digambarkan pada candi ini adalah gong, bendhe

(gong kecil), kemanak, genderang, semacam gambang reyong, dan simbal. Candi Sukuh (abad XV): Instrumen musik pada candi Sukuh adalah bendhe dan terompet.

Page 29: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

29

29

Candi Penanggungan (abad XV) Pada asalah satu bangunan di lereng penanggungan ada relief yang menggambarkan wina. Setelah dikumpulkan data-data tentang seni pertunjukan pada periode abad X – XV maka dapat diuraikan sebagai berikut. Seni Musik (Gamelan) Istilah gamelan untuk menyebut seni musik ditemukan dalam

naskah Sri Tanjung. Kidung Sorãndaka, Kidung Pamañcangah dan Bharatayudha. Demikianlah dapat dikatakan bahwa mulai abad XII istilah gamelan terus disebut-sebut sampai masa-masa berikutnya sampai sekarang. Sedangkan istilah gangsa yang dikaitkan dengan musik ada

pada abad XIII awal yaitu di dalam kitab Smaradahana. Sebenarnya kata gangsa yang dalam bahasa Jawa baru berarti gamelan adalah perkembangan atau perubahan dari kata kamsa, kangsa (Sanskrta) yang sudah disebut pada abad IX atau X, yang berarti 'perunggu'. Sampai pada abad XV instrumen 'curing' masih selalu disebut. Bahwa ungkapan yang tetap adalah 'wnang anggungkunga curing' disebut dalam prasasti. Nama 'reyong' yang sebelumnya tidak ada, mulai abad XVI disebut dalam sumber tertulis. Meskipun demikian keberadaannya sudah ada pada abad XIV. Demikian pula 'rojeh' mulai disebut pada abad XII. Tuwung yang sudah dikenal sejak abad X ternyata sampai abad XVI masih disebut. Masih banyak instrumen musik yang perlu dibicarakan. Namun dari data yang sudah terkumpul tersebut secara sekilas terlihat adanya perkembangan instrumen musik secara kwantitatif. Tentu saja perkembangan secara kuantitatif tersebut juga dibarengi dengan perkembangan secara kualitatif. Secara fungsional, seni musik masa itu dipakai untuk mengiringi seni pertunjukan yang lain dan untuk pertunjukan yang lain dan untuk pertunjukan tunggal dalam arti tidak untuk mengiringi atau melengkapi pertunjukan yang lain. Seni Tari Pertunjukan tari yang dapat dikenali dari sumber yang ada adalah: tari Topeng, tari Pinjak, pertunjukan tari dengan ngamen. Adanya tari topeng dibuktikan oleh kata 'rakêt dalam Nagarakrtagama dan prasasti tahun 1100 M. Istilah 'panjak' dapat berarti penabuh gamelan untuk mengiringi tari. Dalam pertunjukan tari topeng mungkin sekali juga menggunakan dialog. Di dalam sumber tertulis yang lain yaitu kitab Wangbang Wideya disebutkan jenis pertunjukan rakêt bernama ‘rakêt lêngkara':

"ndan linge pukulun le�mah telampakanira milwa

Page 30: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

30

30

aningalana raket lalangkaran lingnira raden mantri/ (I:60a) ne�nggeh ta gambuh anyar pangrake �tira apañji wireswara punang linuhung me�ne�ng raden Warastra- sari/" (I:60b)

Artinya: "Ia berkata: Yang mulia hendaknya menonton raket lelangkaran. Kata raden Mantri, sungguh pertunjukan tersebut adalah sejenis gambuh, dan pertunjukan topeng oleh panji Wiraswara adalah

pertunjukan yang terbaik". Raden Warastrasari tidak berkata apa-apa.

Menarik pula bahwa ronggeng pun telah ada pada sekitar abad XVI. Di dalam kitab Kidung Sunda (3:49) dikatakan: "ronggeng solahe angrawit, pawayangan asri lawan patape�lan". Pertunjukan menmen yang sudah ada sejak abad X masih berlanjut sampai masa Jawa Timur. Seni Pertunjukan Wayang Kalau pada abad X sudah ada pertunjukan wayang maka tentu saja pertunjukan wayang masih berlangsung sampai masa berikutnya khususnya naskah sastra banyak menyebut tentang pertunjukan wayang. Bahkan menarik untuk disinggung adalah tentang wayang Cina.14 Istilah tersebut muncul dalam naskah yang lebih muda seperti Malat dan Nawaruci. Di dalam Nawaruci misalnya, dikatakan: 'anggambuh, amañcangah, alalangkaran mwang awayang Cina". Di dalam Malat disebutkan: 'amañcangah, angringgit cina'. Hal tersebut menunjukkan bahwa wayang cina sudah masuk ke Jawa sekitar abad XVI atau XVII. Seni Suara Sehubungan dengan perkembangan seni sastra yang pesat pada masa itu yaitu mulai jaman Kediri, memungkinkan pula membawa perkembangan seni vokal. Seniman yang disebut 'widu' dan 'mangidung'

dalam prasasti abad IX – X masih dijumpai pada prasasti abad XII. Di dalam Nagarakrtagama pun masih pula disebut. Kalau pada masa yang lebih tua disebut istilah 'widu mangidung' maka dalam masa Majapahit dikenal 'widu amancangah' (Nag. 66:5b). Pigeaud menterjemahkan kata tersebut sebagai 'story-tellers' (Pigeaud, 1960-1963, vol. III:78). Menurut Stuart O. Robson (1971:18-19) menjelaskan bahwa 'widu mangidung'

adalah orang yang tugasnya bercerita tentang kesabaran raja.

Page 31: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

31

31

Lawak Pertunjukan lawak dengan istilah 'abãnol' masih ditemukan dalam prasasti abad XI. Istilah amirus seringkali diterjemahkan sebagai 'melawak'. Bahkan untuk menarik tawa para penonton sering dengan lawakan yang berbau porno seperti terungkap dalam kitab Sumanasãntaka (CXIII:6):

pirus-amirus men-men denyamet pacêh acê�mê �h rabi nika bisa pante �s denyabhawa kamangê �yê �h laki nika mulat angdreêng kahyunhyun mangungas-ungas kadi we �dus anut anjyan yan te�ngā te�ka muringis

Artinya kurang lebih (Sukarto K.Atmodjo, 1979):

Bermain pirus (lawak) dan menmen (topeng) ia berusaha orang tertawa cabul, isteri tersebut pandai sekali membawakan peranan (tontonan) asmara, para lelaki (suami) melihatnya dan terangsang terengah- engah, bagaikan seekor kambing yang dikawinkan (ketakutan) datang dengan mulut meringis

Istilah: mawayang buat hyang yang berati 'pertunjukan wayang untuk hyang (dewa atau nenek moyang). Jelaslah bahwa pertunjukan tersebut merupakan pertunjukan yang bersifat sakral. Selain itu pertunjukan masa Jawa kuno juga ada yang semata-mata bersifat hiburan. Hal ini tercermin dalam uraian tentang upacara sradha di kerajaan Majapahit oleh Raja Hayamwuruk. Dalam kesempatan tersebut disajikan berbagai tontonan untuk menghibur rakyat. Pada abad X tontonan yang bersifat hiburan semata (profan) adalah 'rara mabramana tinonton' yaitu pertunjukan keliling yang dilakukan oleh para gadis (tledhek mbarang). Istilah 'menmen' mungkin sekali juga termasuk jenis tontonan yang bersifat hiburan. Kata ‘menmen’ masa sekarang ini menjadi seniman ngamen Pada masa Bali kuno disebutkan istilah 'ambaran' yang berarti juga pertunjukan keliling yang sekarang disebut menjadi kata ‘barangan’. Di dalam prasasti Julah dari Raja Anak Wungsu yang bertarikh 1065 M disebutkan adanya dua jenis seni pertunjukan yaitu untuk raja dan pertunjukan keliling dari desa ke desa. Mereka juga mendapat honor, hanya saja seniman yang mengadakan pertunjukan untuk raja (golongan atas) upahnya lebih tinggi dari pada seniman keliling. Patulak (upah) untuk agê�ndhing i haji yang datang ke desa Julah sebesar 1 mā (māsa); sedangkan untuk agênding ambaran hanya sebesar 2 ku (kupang), dimana 1

masa = 4 kupang. Jumlah 1 masa sama dengan emas sekitar 2,48 hram dan

Page 32: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

32

32

1 kupang sama dengan sekitar 0,60 gram. Kutiban kalimat dalam prasasti Julah tersebut adalah: …mangkana yan hana bhandagina salwiranya maranmak irikanang karāman i julah sadhikara, yan pagênding i haji ma 1 paweha iriya agênding ambaran ku 2 paweha iriya (…demikianlah kalau ada rombongan kesenian dan semacamnya datang ke desa Julah, apabila pagênding i haji supaya diberi 1 masa dan untuk agending ambaran 2 kupang). Pagêndhing i haji adalah pertunjukan untuk raja sedang agênding ambaran adalah untuk rakyat biasa. Selain itu dalam prasasti Bali kuno disebutkan juga adanya dua jenis pertunjukan wayang yaitu: awayang i haji dan awayang ambaran (Sukarto, 1979). Meskipun pertunjukan kesenian di Jawa kuno tidak disebutkan adanya dua jenis seperti tersebut di dalam sumber prasasti ataupun naskah sastra, namun kemungkinan pembagian menjadi dua golongan untuk raja dan untuk rakyat juga ada. Sehubungan dengan hal tersebut maka seniman dan seniwatinya pun ada dua golongan yaitu seniman golongan keraton dan seniman golongan rakyat. Prasasti-prasasti abad IX-X menyebutkan dengan tegas bahwa seminan seperti widu mangidung, mapadahi, dan yang lainnya adalah termasuk 'watĕk i jro' golongan dalam (kraton) atau seniman 'jeron beteng'. Dari namanyapun terlihat seperti: mamidu sang tangkil … mamidu yang bernama Sang Tangkil. Nama Sang

Tangkil jelas menunjukkan nama untuk orang golongan atas karena dengan kata sandang 'sang'. Sementara itu untuk seniman dari kalangan rakyat biasa seperti 'rara mabramana tinonton' adalah gadis dari desa. Namanya adalah si Rumpuk menunjukkan nama rakyat golongan bawah, dengan kata sandang: si. Demikianlah sekilas tentang seni pertunjukan yang dapat diungkapkan melalui data-data arkeologis. Catatan: 1. Bidang-bidang seni tersebut menurut Koentjaraningrat adalah seni

rupa yang terdiri atas: seni bangunan, arca, relief, lukis, rias, kerajinan, olah raga. Adapun seni suara termasuk: seni vokal, instrumental, dan seni sastra yang dibagi dalam prosa dan puisi. Seluruh bidang seni rupa ditambah dengan seni vokal dan instrumental akan membentuk seni tari.

2. Masa Jawa Kuno di dalam sejarah kebudayaan sering disebut dengan

masa Hindu Budha atau masa klasik. Masa tersebut dibagi menjadi dua periode yaitu masa Klasik Tua (abad VII – X) dan masa Klasik Muda (XI – XVI).

3. Sang mangilala drwya haji adalah petugas kerajaan yang tugasnya

mengumpulkan pajak atau penghasilan untuk kerajaan. Petugas

Page 33: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

33

33

tersebut jumlahnya cukup banyak dan mereka sering disebut sebagai 'watek i jro'.

4. Ma adalah kepangan dari māsa. Emas 1 masa = sekitar 2,48 gram. 5. Dha adalah singkatan dari dharana ukuran berat untuk perak.

6. Kata 'mangigel kicaka' dapat berarti 'menari kicaka'. Dalam wayang

sekarang ada nama tokoh ‘Kencaka’, mungkinkah nama tersebut dari ‘kecaka’?

7. Kata "mrdangga" kemudian menjadi kata 'pradangga' bahasa Jawa baru yang berarti para niyaga atau penabuh gamelan.

8. Pada seni musik moderen dikenal nama 'Garputala'. 9. Selain merdangga di India dikenal berbagai macam kendang: pakhawaj,

nagara, bheri, damaru, tabla.

10. Istilah 'laya' masih dipakai dalam seni karawitan sekarang. 11. Untuk penjelasan masing-masing instrumen gamelan periksa Jaap

Kunst (1968). Tentang 'kemanak' periksa karangan Jaap Kunst, "The Origin of the Kemanak" BKI CXVI, 1960: hlm. 263-269.

12. Di Bali gamelan slonding adalah gamelan sakral terbuat dari logam besi

dan terdapat di Karangasem, di Tenganan Pagringsingan, dan di Bongaya. Dalam prasasti Bulihan di Bali tahun 1181 M telah disebutkan adanya gamelan salunding wsi. Sementara pendapat mengatakan bahwa kata slonding berasal dari kata salon dan ning yang berarti tempat suci, atau dari kata saron dan ding. Menurut hemat kami kata slonding berasal dari kata selunding.

13. Teks Negarakrtagama dikutip dari edisi tahun G.th. Pigeaud, Java in the 14 th century. Vol. I (The Hague: M. Nijhoff, 1960. Terjemahan dikutip dari Slamet Mulyono, Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta: Bhratara, 1979).

14. Pada masa klasik muda abad XII bentuk wayang kulit sudah jelas

yaitu dari kulit yang diukir sebagaimana diuraikan di dalam kitab Arjunawiwaha dari masa Airlangga.

Page 34: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

34

34

KEPUSTAKAAN Diah Purwanti, 1985, Seni Tari pada Relief Cerita Jata-Awadana Candi

Borobudur. Skripsi Sarjana Muda Jurusan Arkeologi, Fak. Sastra UGM Yogyakarta.

Dwi Anna Sitoresmi, 1984, Alat Musik di Jawa Tengah dalam Periode Klasik

(Abad IX – X). Skripsi Sarjana Jurusan Arkeologi Fak. Sastra UGM Yogyakarta.

Edi Sedyawati, 1985, Pengaruh India pada Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan

Proses Akulturasi. Dalam Soedarsono dkk (ed.) Pengaruh India, Islam dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Proyek

Javanologi. Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled

From Chinese Sourcea. Djakarta: Bhratara. Haryono, Timbul. 1985, Instrumen Gamelan dalam Relief Candi di Jawa.

Dalam Soedarsono dkk (ed.), Pengaruh India, Islam dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Proyek Javanologi, halm. 15 – 48.

___________, 1986, Kendang dalam Dimensi Waktu, Ruang dan Bentuk, Proyek Javanologi, Yogyakarta.

___________. 2004 Seni Pertunjukan Jawa Kuno. Yogyakarta: Pustaka Raja Israr, C., 1955, Sejarah Kesenian Islam I, Djakarta: PT Pembangunan. Jacobson dan J.H. Van. Hasselt., 1975, The Manufacture of Gongs in

Semarang. Indonesia No. 19. Hlm. 126 – 161. Juynboll, H.H., 1923, Oud-Javaansch-Nederlandsche Woordenlijst. Leiden. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia. Kunst, Jaap, 1968, Hindu-Javanese Musical Instruments. The Hague: M.

Nijhoff. Panji, Drs. I G B N., 1979, Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah Bali. Jakarta:

Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Page 35: Seni Pertunjukan Dalam Perspektif Arkeologi-Timbul

35

35

Popley, H.A., 1950, The Music of India. Calcutta: YMCA Publishing House. Robson, Stuart, O., 1971, Wangbang Wideha. Proefschrift. 's-Gravenhage Stutterheim, W.F., 1940, Oorkonde van Balitung uit 905 AD (Randoesari I).

Dalam Inseripties van Nederlandach Indie I, halm. 3 – 28.

Sukarto K. Atmodjo, 1979, Struktur Masyarakat Jawa Kuna pada Jaman

Mataram Hindu dan Majapahit, Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Studi Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Titi Surti Nastiti, dkk., 1982, Tiga Prasasti Masa Balitung, Jakarta:

Puslitarkenas. Van Naerssen, F.H., 1937, Twee Koperen Oorkonde van Balitung in het

Kolonial Instituut te Amsterdam, BKI, XCV: 444-461.

Walker, Benjamin, 1983, Hindu World. Vol. II New Delhi: Munshiram

Manoharlal Publishere pvt, Ltd. Zoetmulder, P.J., 1982, Old-Javanese – English Dictionary. 2 Jilid. 's-

Gravenhage: M. Nijhoff. _________, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta:

Djambatan.