Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan...

20
Pro siding Seminar Nasional "Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Historiografi Mutakhir." Kampus Tamalanrea, Makassar 13-14 Mei 2016 Diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah Univeritas Hasanuddin, Makassar Bekerja sama dengan Perhimpunan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI)

Transcript of Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan...

Page 1: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Pro siding Seminar Nasional

"Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Historiografi

Mutakhir."

Kampus Tamalanrea, Makassar 13-14 Mei 2016

Diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah Univeritas Hasanuddin, Makassar

Bekerja sama dengan Perhimpunan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI)

Page 2: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Prosiding Seminar Nasional "Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Historiografi Mutakhir."

Kampus Tamalanrea, Makassar, 13-14 Mei 2016

Penyunting Dias Pradadimara

Hidayatullah

Desain Sampul Teguh Wijoyo Kusuma

Lay Out Teguh Wijoyo Kusuma

Cetakan pertama, Mei 2016 ISBN 978-602-1222-82-9

Diterbitkan oleh Penerbit Elmatera (Yogyakarta)

Bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar

Kampus Tamalanrea, Makassar, INDONESIA

2

Page 3: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR KETUA JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS HASANUDDIN

SEJARAH INDONESIA: REKONSTRUKSI, PRODUKSI, DAN SIRKULASI (SEBUAH KRITIK HISTORIOGRAFI)

Anzar Abdullah (Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Emu Pendidikan Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) Makassar)

DART SEJARAH LOKAL SUL-SEL KE SEJARAH LOKAL SUL-SELBAR: MEMIKIRKAN PERSPEKTIF BARU SEJARAH LOKAL Burhaman (Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) Makassar)

ARSIP, ROMAN, SEJARAH DAN KARYA ILMIAH: SUATU SIMBIOSIS MUTUALISTIS

Margriet M Lappia (Jurusan Ilmu Sejarah FIB-Universitas Hasanuddin, Makassar)

JEJAK LANGKAH INDONESIA DALAM SUMBER MELAYU KLASIK: SEBUAH TINJAUAN KARYA LIAW YOCK FANG Yudi Prasetyo (Prodi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo)

JANGAN BIARKAN PETANI SENDIRIAN MEMPERTAHANKAN TANAHNYA (STUD! TENTANG PETANI DI SEKITAR TAMBANG, KUTAI KARTANEGARA) M Nazir Salim (Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta)

BISNIS, PERSAINGAN, POLITIK, DAN KONFLIK DI PABRIK. GULA TAKALAR, SULAWESI SELATAN

Bambang Sulistyo (Jurusan Ilmu Sejarah FIB-Universitas Hasanuddin, Makassar)

MENGUASAI "TANAH" JAJAHAN: PERKEMBANGAN PENGUASAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA DAN MALANG 1917-1942 Reza Hudiyanto (Jurusan Sejarah Fakultas Sosial Universitas Negeri Malang)

ISLAM, PERADABAN DAN PEMIKIRAN DI NUSANTARA (DALAM PERSPEKTIF SEJARAH)

Muhammmad Bahar Akkase Teng (Jurusan Ihnu Sejarah FIB-Universitas Hasanuddin, Makassar)

NEGARA, TEKNOLOGI PERKAPALAN DAN KOMODIT! DALAM PEMBENTUKAN MAKASSAR SEBAGAI POROS MARITIM DUNIA A. Rasyid Asba (Jurusan Ihnu Sejarah FIB-Universitas Hasanuddin, Makassar)

3

Page 4: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

KATA PENGANTAR

Terbitnya buku Indonesia dalam Arus Sejarah (sering disingkat IdAS) di tahun 2011 merupakan muara dari usaha kolektif lebih dan seratus sejawaran Indonesia sebagai "refleksi pertanggungjawaban akademis dan etis" mereka. Dikomandani oleh salah seorang sejarawan Indonesia yang paling penting, Profesor Dr. Taufik Abdullah, dan sepenuhnya didukung oleh pemerintah di masa tidak hanya satu tapi dua presiden, buku ini menjadi karya raksasa dengan sembilan jilid termasuk satu jilid indeks dan tentu saja ribuan halaman. Tapi lima tahun berlalu, rasanya sedikit sekali diskusi formal untuk menghargai buku ini baik dengan menunjukkan kelebihannya maupun untuk membahas hal-hal yang perlu diperbaiki. Belum ada diskusi yang mendudukkan buku penting ini di antara buku-buku sejarah "nasional" Indonesia lainnya.

Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) telah jauh lebih lama terbit, telah muncul dalam 3 edisi, dan sudah menjadi acuan bagi penulisan buku sejarah berikutnya. Karenanya tidak heran buku ini sudah menikmati penghargaan dalam bentuk pujian dan kritikan. Ketika terbit pertama kali di tahun 1977, buku ini langsung memicu perdebatan meski tidak sehebat dan seluas ketika edisi keduanya terbit di tahun 1984. Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto di tahun 1998 membuat kritikan terhadap buku ini meningkat hingga mucul "edisi pemutakhiran" di tahun. 2008 di saat buku IdAS sudah mulai dikerjakan.

Tentu tidak hanya buku sejarah Indonesia yang dikerjakan oleh tim dan didukung oleh pemerintah yang pada kenyataannya dipakai sebagai bahan untuk meneliti dan mengajar. Terjemahan buku Profesor Merle Ricklefs juga tetap menjadi buku penting. Ditulis dengan semangat ensiklopedik dan kronologis yang mencoba untuk lengkap dan disusun menurut babakan sejarah Indonesia (setidaknya menurut pembagian Ricklefs), dan semuanya dimuat "hanya" dalam satu jilid buku ini menjadi pegangan praktis banyak mahasiswa, sejarawan dan umutn. Penerbit Universitas Gadjah Mada pertama kali menerbitkan Sejarah Indonesia Modern karya Ricklefs di tahun 1991 yang merupakan terjemahan dari edisi pertama yang terbit sepuluh tahun sebelumnya. Hingga sekarang buku terjemahan ini sudah mencapai cetakan ulang yang kesepuluh. Tahun 2008, Penerbit Serambi menerbitkan terjemahan buku edisi ketiga (yang terbit tahun 2001) dan sudah mencapai cetakan ulang yang ketiga dan kini sudah habis di pasaran—satu bukti popularitas buku ini.

Tidak hanya buku-buku di atas. Buku karya mahaguru sejarah Indonesia, Profesor Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1992) dalam dua jilid yang diterbitkan oleh Gramedia menjadi sumbangan yang sangat penting dan menunjukkan pendekatan lain dalam menulis sejarah Indonesia. Penerbit Ombak baru-baru ini (2014) menerbitkan ulang kedua jilid buku penting yang sebelumnya sudah lama habis di pasaran. Di tahun 2011, Penerbit Djaman Baroe menerbitkan terjemahan buku lama (aslinya terbit tahun 1979) karya Malcom Caldwell dan Ernst Utrecht, Sejarah Alternati f Indonesia, yang secara terbuka menunjukkan posisi teoretis dan politis kedua penulis—satu hal yang menyegarkan meski tidak jamak di tengah keinginan "obyektifitas" sejarah dan sejarawan

4

Page 5: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Indonesia. Dan masih ada beberapa karya lain yang tidak dibahas di sini tapi kadang digunakan juga di beberapa program studi.

Pada tanggal 13-14 Mei 2016 oleh Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin telah diselenggarakan seminar nasional "Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Historiografi Mutakhir" di Kampus Tamalanrea, Makassar. Sesuai temanya, dalam seminar ini dibahas berbagai makalah yang mendorong pemikiran ulang mengenai penulisan sejarah Indonesia. Dua terra yang muncul adalah persinggungan penulisan sejarah dan karya sastra serta pentingnya sejarah agraria dalam memahami masa lalu Indonesia. Seminar ini dihadiri oleh berbagai peserta dari seluruh Indonesia, dan Banda Aceh sampai dengan Temate. Sesudah seminar nasional akan diselenggarakan juga Rapat Kerja Perhimpunan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI) yang dihadiri juga oleh Dr. Hilmar Farid selaku Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam kesempatan ini selaku ketua panitia, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala peran serta dan bantuannya sehingga seminar nasional ini dapat terselenggara. Secara khusus disampaikan terima kasih pada Rektor Universitas Hasanuddin dan jajarannya atas bantuan fasilitasnya, pada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya atas dukungan logistiknya, Ketua Jurusan Ilmu Sejarah yang menaungi dan mendukung acara ini, serta semua anggota panitia para mahasiswa yang telah bekerja keras mewujudkan acara ini. Tidak kalah pentingnya terima kasih sebanyak-banyaknya pada semua pemakalah dan peserta seminar nasional atas sumbangan pemikirannya.

Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil pada perkembangan penelitian, penulisan serta pengajaran sejarah di Indonesia.

Makassar, 14 Mei 2016

Drs. Dias Pradadimara, MA Ketua Panitia

5

Page 6: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

KATA PENGANTAR KETUA JURUSAN ILMU SEJARAH

Terimakasih kepada Rektor Universitas Hasanuddin dan Dekan Fakultas Ilmu Budaya atas dukungan dan disposisinya sehingga kegiatan ini dapat diselenggarakan dengan baik. Terimakasih kepada segenap anggota panitia yang telah bekerja keras mewujudkan acara ini. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Jurusan Ilmu Sejarah untuk mencapai visi jurusan, fakultas dan universitas.

Saya ucapkan selamat datang kepada para pimpinan Jurusan dan Program Studi Sejarah yang ada di Indonesia yang telah menyempatkan hadir pada acara kali ini. Kami sangat menghargai kehadiran perutusan mulai dari Banda Aceh sampai dengan Ternate. Kita semua berpendapat bahwa Perhimpunan Program Studi Sejarah Se-Indonesia (PPSI) merupakan organisasi yang sangat kita perlukan. Kita belum selesai menyusun berbagai agenda yang hams kita ambil terkait dengan peranan PPSI. Sesudah itu agenda-agenda itu kita susun dan hams bicarakan apa yang akan kita lakukan untuk mencapai berbagai agenda tersebut. Semua ini adalah bagian dari komitmen kita mendirikan PPSI, yang telah menjadi satu badan hukum.

Semoga kegiatan ini berguna bagi kita semua, bermanfaat untuk seluruh mahasiswa dan calon mahasiswa yang menjadi fokus pekerjaan kita tiap hari sampai kita pensiun kelak.

Makassar, 13 Mei 2016

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Dr. Bambang Sulistyo Edi P, M.S.

Page 7: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

MENGUASAI "TANAH" JAJAHAN: PERKEMBANGAN PENGUASAAN TANAH DI KOTA YOGYAKARTA DAN

MALANG 1917-1942'53

Reza Hudiyanto* Jurusan Sejarah Fakultas Sosial Universitas Negeri Malang

Abstrak

Paruh akhir abad ke-19 merupakan titik balik dalam sejarah agraria di Indonesia. Seiring dengan derasnya arus modal asing ke Jawa dan Sumatra, proporsi antara sebidang tanah dan jumlah penduduk semakin tidak seimbang. Ketidakseimbangan proporsi ini semakin tajam di perkotaan. Proses "penciutan" tanah Jawa ini menyebabkan nilai sebidang tanah semakin meningkat. Permintaan jumlah tanah ini tidak hanya terjadi di perkotaan namun di wilayah pedalaman yang memiliki nilai potensi ekonomi tinggi. Jika peningkatan permintaan tanah di pedesaan lebih dilatarbelakangi kebutuhan areal perkebunan, maka peningkatan permintaan tanah di perkotaan. Tulisan ini akan mencoba mengulas perbedaan pola okupasi lahan antara kota Yogyakarta dan. Malang. fenomena apakah yang kemudian muncul di kedua kota tersebut, apa perbedaan dan bagaimana pengaruh kebijakan di sektor agraria ini terhadap perkembangan kedua kota ini ke periode selanjutnya.

Peningkatan-investasi terhadap tanah perkotaaan dan dinamika okupasi tanah sebelum dan setelah Perang Dunia kedua ini telah menjadi interest dari Freek Colombijn dalam berbagai artikel. Artikel tersebut antara lain, Under Construction dan The security of land tenure in Indonesian Cities from 1930-1960. Berbeda dengan Colombiijn dan penelitian sebelumnya, artikel ini merupakan hasil penelitian komparatif antar kedua kota. Kedua kota ini memiliki karakter penguasaan yang berbeda. Sebagai kota pusat Negara Yogyakarta, karakter colonial kota ini tidak sempurna karena tanah di kota ini masih dimiliki oleh Sultan. Status Yogya sebagai zelfbestuur menyebabkan kebijakan pemerintah colonial tidak bisa dijalankan secara bebas karena masih adanya control dari Kesultanan terhadap lahan. Di sisi lain, status Kota Malang yang dikuasai langsung oleh pemerintah colonial telah memudahkan proses peralihan hak milik tanah. Dengan demikian munculnya fenomena kompetisi atas ruang kota merupakan dampak dari perubahan pola ekonomi dan sektor agraris ke jasa yang disertai perpajakan. Proses ini tidak terjadi di Yogyakarta karena status kepemilikan tanah Sultangrond telah menghambat "ekspansi" tanah oleh pemerintah colonial Belanda.

Kata Kunci: Penguasaan Tanah, Kota, Yogyakarta, Malang

153 Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional "Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Sejarah Indonesia, Meninjau Historiografi Mutakhir" di Makassar, 13-14 Mei 2016.

97

Page 8: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Latar Belakang: Perubahan Demografis dan Perkotaan pada akhir abad ke-19

Di sebagian besar kota-kota besar dan menengah di Jawa, penduduk Bumiputera merupakan bagian terbesar dan seluruh penduduk Hindia Belanda. Sekalipun demikian, hanya sebagian kecil saja yang menguasai ekonomi yaitu golongan Timur Asing dan golongan Eropa. Orang Eropa mengenal daerah Hindia Belanda sejak abad XVI yang diawali oleh bangsa Portugis yang kemudian disusul oleh Bangsa Belanda. Penemuan tempat yang barn bagi mereka ini ditindaklanjuti dengan pasifikasi dan migrasi. Migrasi serupa juga berlangsung untuk tujuan Amerika Utara yang sebagian besar disebabkan oleh ketidakpuasa terhadap keadaan di daerah asal di Eropa. Pada umumnya bangsa Belanda berkeinginan datang ke Hindia Belanda setelah mereka sering mendengan cerita-cerita petualangan laut yang penuh dengan kepahlawanan. Para migran yang mempelopori jalan ke Hindia Belanda adalah para pegawai perusahaan dagang Hindia Timur. Pada umumnya mereka mengikut sertakan serdadu dan para juru tulis. Setlah tinggal selama beberapa lama mereka kemudian mengelompok dan membentuk perserikatan organisasi dagang. Mereka tinggal secara berkelompok untuk mengamankan diri mereka dan ancaman penduduk Bumiputera.154

Mereka berdiam di Hindia Belanda selama 10 hingga 20 tahun lamanya untuk kemudian kembali ke Belanda. Oleh karena itu, di kalangan intern penduduk Eropa dikenal istilah trekkers dan blijvers. Trekkers adalah istilah untuk menyebut warga Eropa tidak menetap. Warga tidak tetap ini sebagian besar terdiri dari pengusaha perkebunan, polisi, serdadu,perawat, dokter dan pegawai. Mereka serta keluarganya dan mengikuti tradisi pendahulunya di masa VOC. Sementara itu blijvers adalah istilah untuk warga penetap. Mereka adalah orang-orang Eropa yang memiliki keahlian dan jabatan yang karena beberapa alasan tidak kembali ke Belanda dan menetap di Hindia Belanda. Seringkali dari golongan ini adalah keturunan keluarga tertentu yang memiliki keterikatan dengan tanah atau anak sebagai keturunan yang tak dapat lepas dari leluhurnya. Warga penetap ini sebagian besar terdiri atas golongan indo dan sebagian eropa totok yang memiliki perkebunan di Jawa. Jika sebagian besar blijvers adalah indo sebaliknya trekkers (perantau atau tidak tetap) pada umumnya adalah golongan Belanda totok. Perbedaan iklim yang sangat menyolok antara Belanda dan Hindia Belanda menjadi salah satu sebab banyaknya orang Eropa yang memilih menjadi perantau daripada sebagai warga penetap.I55

Proses migrasi pada awalnya masih mengalami hambatan. Hambatan yang paling utama adalah penyakit-penyakit tropis seperti cacar, kolera, malaria dan disentri yang selama era tersebut masih menjadi malaikat pembunuh orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Bedasarkan laporan Paraviani, pada tahun 1753 Batavia merupakan kuburan bagi orang-orang Jerman. Angka kematian per tahun pada masa VOC berkisar antara 100,7 hingga 412,8 per 1000 orang per tahun. Angka kematian selama 10 tahun pada masyarakat Eropa di Hindia Belanda kurang lebih satu setengah kali lebih besar daripada yang terjadi di Negeri Belanda.156

154 Ch.W.F. Winckel, "De Ontwikkeling de Europeesche Maatschappij in Nederlandsch-Indie Gedurende de Laatse 100 jaren”. Mensch en Maatschappij 1935 No II, hlm. 81

155 Mid, hlm 83 156/bid., hlm. 92

98

Page 9: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Beberapa tahun kemudian, tepatnya dua dasawarsa akhir abad XIX terjadi pertambahan penduduk Eropa yang luar biasa. Ada tiga faktor penyebab terjadinya pertambahan penduduk Eropa di penghujung abad XIX. Faktoer pertama adalah perkembangan pesat industri di Amerika dan Eropa yang mendorong semakin meningkatnya kebutuhan akan bahan mentah yang berasal dari daerah tropis. Faktor kedua adalah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869 yang telah memperpendek jarak tempuh Eropa dan Asia Timur-Tenggara. Ini mendorong semakin banyaknya orang Belanda ke Hindia Belanda. Faktor ketiga adalah semakin disempumakannya kapal laut bertenaga mesin uap.157 Kemajuan teknologi ini mengakibatkan pelayaran tak lagi terlalu bergantung angin dan menjadi tidak begitu lama waktu perjalartannya. Faktor keempat adalah berkembangnya ilmu kedokteran tropis. Selama satu dasawarsa pertama, penyakit tropis menjadi pembunuh nomor satu bagi orang-orang Eropa di Jawa. Perkembangan kedokteran tropis ini mengakibatkan orang Eropa tidak takut ladi terhadap resiko kematian oleh penyekit-penyekit tropis seperti disentri, kolera dan malaria. Ini memberi peluang bagi orang-orang Eropa untuk dapat "berjalan-jalan di antara pohon palm tanpa resiko kematian".158

Kebutuhan akan bahan mentah ditambah dengan semakin lancarnya lalulintas pelayaran laut telah mendorong kemajuan perdagangan dan perkebunan. Kondisi ini didorong dengan kebijakan ekonomi makro Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang membuka pintu bagi kalangan swasta untuk menjalankan usaha di Hindia Belanda. Situasi demikian menyebabkan banyak pengusaha perkebunan berdatangan ke Hindia Belanda. Pembukaan perkebunan tanaman komersil swasta sejak akhir abad ke-19 semakin mendorong pemerintah untuk mengusahakan sektor ekonomi ini agar lebih ekstensif dan intensif. Perkembangan ini diikuti dengan pertumbuhan populasi urban. Perkembangan investasi di bidang properti di pinggiran kota dan pedesaan sangat berpengaruh besar pada kota-kota. Perusahaan dagang, bank dan industri semakin berkembang. Arsitek-arsitek dan kontraktor berdatangan dari Belanda. Kedatangan mereka juga turut menambah jumlah pegawai Eropa dan orang-orang swasta.I59 Sebagian besar dari mereka tinggal di pemukiman tersendiri.

Selain berdampak pada tata pengelolaan ruang dan lingkungan, perubahan demografis itu berimbas pada reformasi pemerintahan. Pada tahun 1906, Pemerintah Kolonial mulai menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi di beberapa kota besar di Jawa. Desentralisasi ini telah mendorong peningkatan kebutuhan tanah untuk perumahan masyarakat Eropa dan prasarana modern di perkotaan. Ini disebabkan setiap pemerintah kota diminta membangun infrastruktur pendukung kota. Pembangunan itu membutuhkan banyak dana karena hams memenuhi syarat-syarat kesehatan.16° Momentum ini menjadi awal peningkatan kebutuhan tanah baik untuk pemukiman maupun infrastruktur penunjangnya.

157Rupert Emerson,"The Dutch arid Brittish in the Eastern Tropice". Kolonial rijdschrift 1938, No 27, hlm. 619 158 op. cz 't him 93 159 W.F. Wertheim, The Indonesian Town. Studies in Urban Sociology (bandung: Van Hoeve, 1958),

hlm vi-vii 160Winckle, op. cit., hlm. 84

99

Page 10: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Munculnya Konsep Tanah Negara

Pada abad ke-7 hingga abad ke-15, tanah masih belum menjadi indikator kesejahteraan sebuah negara. Sebagaimana menjadi karakter yang umum di kawasan Asia Tenggara, penduduk di Jawa kurang berminat mengalihkan hartanya menjadi "modal terpasang" (fixed capital) seperti porperti bangunan, kapal, atau mesin. Mereka lebih banyak menginvestasikan kekayaan dalam bentuk beda yang mudah dibawa seperti perhiasan, pakaian indah. Barang-barang seperti itu lebih aman karena mudah dibawa lari. Ini membuat tanah bukan merupakan standar kekayaan. Di sisi lain, pedagang juga senantiasa dibawah ancaman disita raja. Ini membuat mereka tidak pernah menginvestasikan kekayaan sehingga tidak pernah terjadi akumulasi modal sebagaimana yang terjadi di Eropa. 161 Mereka (para bangsawan) justru menjadikan tenaga kerja sebagai standar kekayaan daripada penguasaan teritorial.

Penguasaan tanah pada umumnya diawali dengan peristiwa babad alas (pembukaan hutan) yang diikuti dengan pembentukan desa. Orang yang pertama kali menghuni kemudian dianggap penguasa tanah. Oleh kaxena itu, penguasaan tanah lebih banyak berada di tangan rakyat dan bersifat komunal. Menurut Jean Wiessman Cristie, di kalangan penduduk Jawa pada kurun abad ke-10 hingga ke-15, setiap kali jumlah penduduk mengalami peningkatan, terjadi peristiwa pembentukan desa baru. Ini menyebabkan pola sentralisasi penduduk di satu titik yang menjadi prasyarat kota tidak pernah terbentuk .162 Di sisi lain, bentuk rumah pada era pra-kolonial masih semi permanen. Tidak ada invetasi di bidang properti sehingga sangat mudah bagi penduduk meninggalkan tempat tinggal jika dirasa tidak lagi "menguntungkan".

Konsep tanah negara pertama kali dikenal dengan isitilah tanah sima. Dalam prasasti Matyasih yang berangka tahun 907 Masehi selain disebutkan sima, juga disebut tanah yang menjadi permulciman orang Jawa yang disebut dengan wanua. I63 Catatan tertua yang menyebut keberadaan sima dan wanua ini berasal dari tahun 803 M namun tidak disebutkan dari nama dari prasasti tersebut. Status tanah sima ini kemudian dilanjutkan pada masa mataram dengan sebutan tanah perdikan. Sementara itu, sebagian tanah yang lain masih ditangan para petani pemilik tanah. Tanah perdikan pada umumnya adalah tanah yang di atasnya terdapat tempat suci atau makam milik Raja.

Kebijakan tentang pertanahan mulai berubah setelah kedatangan bangsa Belanda ke Jawa. VOC yang mulai menerapkan sistem pajak berbasis tanah sebagai pengganti sistem pajak berbasis cacah di daerah Pantai Utara yang baru saja didapat dari Mataram. VOC menyadari bahwa orang Jawa tidak menggunakan unit standar ukuran tanah, sehingga unit pertama yang digunakan sebagai patokan adalah fungi". Setelah VOC bangkrut banyak aset yang dijual kepada swasta sehingga muncul istilah tuan tanah. Perubahan dari pola penanaman pertanian yang subsisten ke tanaman perkebunan komersil yang berorientasi pasar menjadi faktor penting peningkatan nilai tanah. Pada tahun 1870, kebijakan pertanahan

161 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. (Jakarta: LP3ES, 2004), hlm xxi 162 Jan Wiesseman Christie, " State Without Cities: Demographic Trends In Early Java". Indonesia

No 52. October 1991, him 39- 40 163 11,1d, him 32 164 Satu jung hampir sama dengan 2,8 ha. Robert van Niel, A Study in Colonial Encroachment and

Dominance. JCIVCGS Northeast Coast 1740-1840. (Leiden: CNWS Publication, 2005), 74

100

Page 11: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

memasuki tahapan penting setelah swasta diberi peluang secara resmi untuk menguasai tanah selama 75 tahun. Pada umumnya sepanjang abad ke-18 hingga akhir abad ke-19, kebijakan pertanahan lebih banyak terfokus di pedesaan.

Memasuki abad ke-20, permasalahan pertanahan mulai dijumpai di perkotaan. Perkembangan sistem politik dan sentralisasi ke desentralisasi telah berdampak pada peningkatan kebutuhan tanah. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Eropa yang sangat cepat berdampak pada rasio tanah dan manusia semakin tidak seimbang, khususnya di perkotaan. Beberapa kota mengalami pertumbuhan cepat setelah penerapan sistem desentralisasi. Ini ditandai dengan peningkatan kebutuhan tenaga ahli perencanaan kota dan arsitek untuk proyek modernisasi kota. Perubahan dari gaya bangunan manson, indis ke bangunan tipe art deco yang lebih sederhana dan tidak banyak menyita Man menjadi tanda semakin meningkatnya harga tanah.

Tulisan ini akan mencoba melihat proses dan dampak okupasi tanah oleh pemerintah kolonial di dua kota yaitu Yogyakarta dan Malang. Pemilihan kedua kota ini memiliki alasan sebagai berikut. Kota Malang merepresentasikan kota yang dikuasai penuh oleh pemerintah kolonial. Sementara itu, Kota Yogyakarta merepresentasikan kota dimana kekuasaan atas tanah masih dibagi antara pemerintah Kesultanan dan Karesidenan sebagai representasi kekuasaan kolonial. Bagaimanakah perbedaan yang muncul dalam okupasi tanah diantara kedua kota tersebut?

Menurut Colombijn, berdasar Staatsblad 1834 no 27 semua tanah yang mempunyai kepemilikan yang jelas hams didaftarkan ke Kadaster (Kantor Pencatatan Tanah). Pada tahun 1860 muncul istilah hak milik dengan kepemilikan penuh (Recht van Eigendom). Sejak saat itu, tanah dengan status kepemilikan menjadi properti paling aman, dan berharga. Tanah dengan status kepemilikian individual ini sebagian besar dipegang oleh orang Eropa namun sebagian besar berstatus hak menggunakan bangunan dan usaha di atas tanah (Recht van Opstal).

Penguasaan tanah di Dua Kota : Yogyakarta dan Malang

Penguasaan tanah di Kota Yogyakarta ini dianggap unik. Keunikan itu terletak pada banyak hal, salah satu adalah status tanah. Di kota ini perbedaan antara Bumiputera dan non Bumiputera lebih problematic daripada di Malang. Hanya orang Bumiputera yang dianggap menjadi rakyat dari penguasa local. Akses tanah dimediasi oleh keluarga kerajaan. Rakyat di kota dapat memperoleh tanah dengan syarat mereka membangun lapangan dan mau melayani sultan. 165

Menurut G P Rouffaer dalam adatrechtbundell, Yogyakarta merupakan wilayah zelfbestuur atau swapraja. Dengan status ini maka kepemilikan tanah masih berada di tangan Sultan sehingga tanah di kawasan ini berstatus Sultangrond. Akan tetapi sebagaimana kota-kota lain di pulau Jawa pada dasawarsa kedua abad ke-20, Yogyakarta juga mengalami tekanan yang sama yaitu muncul tuntutan akan pengembangan permukiman Eropa. Demi kepentingan memberikan peluang orang Eropa tinggal di kota Yogyakarta, Sri Sultan

165 Freeek: "Solid as a rock, or handful of dust? The Security of land tenure in Indonesian Cities from

1930-1960. Els Bogaerts and Remco Raben (eds), Beyond Empire and Nation. The Decolonization of African and Asian Societies 1930s-1960s. (Leiden: KITLV Press, 2012), 230

101

Page 12: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Hamengkubuwono VII mengeluarkan keputusan yang di muat dalam Rijksblad van Sultanaat Djokjakarta no 12 1917. Isi keputusan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Mulai 1 Juli 1917, personil yang bertindak selaku pengembang - dengan tujuan untuk eksploitasi lahan di wilayah Kesultanan, hams mendapat persetujuan patih dan Residen. Pengertian eksploitasi dalam kalimat tersebut di atas mencakup pembangunan pemukiman, jalan, fasilitas umum dan pemeliharaaannya. Disini juga diumukan ketentuan tentang nama yang berhak atas tanah pemberian sultan

2. Eksploitasi akan dilaksanakan oleh sebuah komisi (perusahaan) pengembang tanah, dimana anggota komisi ini akan ditunjuk atas dasar perssetujuan Residen dan Patih. Komisi ini mendapat pinjaman dari sultan dan hams dikembalikan tiap tahun dengan bunga 5% sekaligus melaporkan kinerja dan penggunaan anggaran ke Sultan. Laporan untung rugi dilakukan tiap bulan Mei.

3. Pihak yang melaksanakan proyek pengembangan lahan ini adalah Direktur Sultanaat Werken sementara aturan-aturan ini akan disusun oleh Komisi Pengembang. 166

Peraturan ini diumumkan di Yogyakarta tanggal 7 Juni 1917 oleh Patih Danoeredjo, dengan persetujuan Residen Yogyakarta Cornelis Canne dan dilegalisasi oleh Sultan. Peraturan itu temyata digunakan sebagai payung hukum Karesidenan Yogyakarata untuk membangun kawasan permukiman Eropa di kota Yogyakarta. Pada masa jabatan Residen Cornelis Canne di tahun 1917, terjadi perluasan personel untuk kepentingan pengawasan pajak, kehakiman dan pendidikan. Pendidikan untuk anak-anak warga Eropa diperluas sebagaimana pendidikan untuk warga bumi putera. Untuk melaksanakan rencana perluasan pendidikan itu, Residen menjalin kerjasama dengan Departemen Pekerjaan Umum, terutama dalam pengadaan buruh telcnis.167

Guna mendapatkan lahan bermukim, Residenan Yogyakarta meminta kesediaan dari Sultan Hamengku Buwono VII untuk rnenggunakan sebagian tanah. Tanah tersebut diperuntukkan bagi pembangunan perumahan khusus warga Eropa dan berbagai sarana social lainnya. Diharapkan melalui adanya perumahan khusus warga Eropa tersebut maka perdagangan dan industri di masa depan akan berkembang, begitu juga munculnya lembaga-lembaga pendidikan. Pada prinsipnya, tanah pemukiman yang sebagian besar terletak di sebelah Timur Sungai Code mempunyai letak geografis yang menguntungkan yaitu berada di dekat stasiun kereta api yang menghubungkan Yogya dengan daerah lain di Jawa. Pelaksanaan pembangunan ini diatur dalam Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta no 12 tahun 1917. Pelaksana dan pembangunan perumahan itu adalah Dienst van Sultanaat Werken yang diketuai oleh Ir. L.V.R. Beekveld. I68

Tahap-tahap pembangunan tersebut pertama adalah penentuan harge sewa minimum dan permohonan awal. Kedua adalah pembayaran bangunan setiap tahun. Ketiga adalah penentuan lokasi dimana bangunan akan didirikan. Dalam realisasi pembangunannya, pada umumnya dipertimbangkan aspek lingkungan dan keindahan. Standar bangunan rumah yang

166 Rijksblad van Stiltanaat Djogjakarta 1917 no 12 1917

167Comelis Canne, Memorie van Overgave 1917. Jakarta: ANRI, him 6-10 I"Dingemans, Gegevens over Djogjakarta 1926 A. (Djogja: FL Buning, 1927), him 111

1

- 102

Page 13: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

didirikan memiliki teras, atap permanen dan memiliki gang. Klas bidang tanahnya dimulai dan klas 1, klas 2 dan klas 3 yang jumlahnya rata-rata berturut-turut 33%, 40% dan 50%.

Dinding depan bangunan harus berada dalam petak tanah yang berturut-turut berjarak 4, 3 dan 2 meter dan batas pekarangan. Perkembangan serupa juga terjadi di Jetis.169 Sekalipun demikian, konsentrasi penduduk Eropa terbesar tetap berada di wilayah Kotabaru seperti yang terdapat pada tabel IV.

Tabel IV Jumlah penduduk Eropa di Yogyakarta 1920

hlm. 138 Sumber: L.F. Dingemans, Gegevens Over Djogjakarta 1925. (Djogjakarta: H Buning 1926),

Untuk keperluan pemeliharaan lingkungan di sekitar Kotabaru, pemerintah kolonial membangun jalan jalandi sekitar Kotabaru dengan metode pengaspalan. Ini disebabkan ramainya kendaraan. 170 Disamping perbaikan jalan, infrastruktur lain yang dibenahi adalah penerangan dan jembatan di sekitar jembatan Tugu, kendaraan kebersihan, perbaikan saluran assainering, penyediaan saluran air minum,pasar dan sarana lainnya. Keseluruhan sarana tersebut ada intinya menunjulckan bahwa sudut kota ini merupakan wilayah yang terbaik baik dari segi kemewahan maupun standar higienisnya.171

Setelah pembangunan Kawasan Kotabaru selesai pada tahun 1927, pemerintah kolonial mengembangkan kawasan Terban yang ditandai dengan permohonan

Recht van Opstal untuk pendirian sebuah Neutraal School Vereeniging, Neutral ELS, dan pendirian sebuah MULO Baru. Pemerintah juga membuka sebuah jalan penghubung selebar 12 meter antara jalan Pakem dan Boulevard Yap. Residen pada saat itu rnengusulkan agar tanah tersebut terlebih dahulu dijadikan vrijrijksdomein terkecuali tanah makam. Tanah kampung yang saat itu besamya 5.507 m2 dibebaskan dengan ganti rugi senilai f.5.270,- atau f.0,98 untuk setiap m2-nya1 72. Ketika tanah tersebut dibebaskan (dari warga Bumiputere) ditetapkan pajak Recht van Opstal sebesar f.0,20,- per m2-nya dengan penanggung jawab Controleur Agrarische Zaken. Mekanisme ini semua didasarkan pada pasal 94 Begrooting 1927.173

103

169 Ibid., hlm 112. 170./bid., hm 17 I71/bid., hlm 20-24

L'''Surat Gubernur J.E. Jasper kepada Patih Danuredjo tanggal 22 Agustus 1927.

Arsip Kesultanan 173Ibicl

Page 14: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Pada kasus yang terjadi di kota Yogyakarta, tidak semua. permohonan Recht van Opstal dan residen dikabulkan oleh pihak Kesultanan. Pihak Kesultanan pernah menolak permohonan Recht van Opstal dan pegawai Vereeniging Conisius karena tanah yang diminta telah ditempati oleh Raden Panewu Kartidiwiryo di kampung Gedong Tengen dan tanah tersebut telah menjadi milik dari kradjan abdi dalem Gedong Tengen. Disamping itu, pada lokasi tersebut telah tinggal 30 penghuni sementara abdi dalem Gedong Tengen berjumlah 40 orang. Dengan demikian masih ada adbis dalem Gedong Tengen yang tidak bisa tinggal di kampung Krajan Gedong Tengen tersebut. Jika RvO tersebut dikabulkan maka akan semakin menyempitkan tanah kradjan Gedong Tengen. Inilah yang menjadi alasan penolakkan permohonan Rv0.174

Dan segi ekonomis, perkembangan kota telah membawa keuntungan tersendiri bagi Kesultanan sebagai penguasa tanah di kota Yogyakarta. Pemerintah Kesultanan mendapatkan pemasukan penghasilan dari pajak verponding dan Recht van Opstal. Disamping itu, pemerintah Kesultanan juga memperoleh tambahan dari perwesaan loji-loji milik Kesultanan yang disewakan kepada orang-orang Eropa. Pemasukan yang didapat dari loji-loji itu setiap tahunnya tercatat sebesar f.282,30,- setiap bulannaya pada tahun 1930. Tarif sewa ini termasuk tinggi untuk ukuran sewa rumah orang Eropa jika dibandingkan dengan Makasar yang berkisar dan f.30 hingga f.100,- tiap bulannya. Tarif sewa rumah untuk kota Semarang berkisar dari f.37,5.- perbulan, dan Kota Surabaya sebesar f.45,5,- hingga f.55,-. Di kota Batavia, uang sewa rumah berkisar f.81,-hingga f,132,5,- per bulannya.175 Terkadang pemasukan dan tarif sewa mengalami penurunan karena potongan pajak verponding, perawatan rumah dan asuransi. Orang Eropa yang pernah menyewa loji Kota bare yang terletak di jalan Kroonprins itu adalah P.H.W. Sitsen dan E.M. Stok. Mereka membayar tarif sewa f.125,15,- tiap bulannya.' 76

Untuk loji-loji di daerah Terban, pemasukan yang diperoleh rata-rata sekitar f.430,-hingga f.580,- pada tahun 1931. Untuk setap rumahnya tarid dikawasan Terban berkisar f.70,-hingga f.100,-. Warga Eropa yang pernah menyewa antra lain Ir. Riis, Th Vermaessen, Th Veenis, H. Oldhoff, A. Schuilenburgh, K.G.E Pistorius, Jouwstra, N.L. Wijmer, Ir.H.A.O.W. Geesink, E. van Galen, H.W.E. lijbrink, van Der Plas, C.A. WeIs, J.A. Perk dan P.Th. Nietzche. Perawatan rumah untuk kawasan Terban ini diserahkan pada R.T. Prodjodipoero dan untuk kawasan Kotabaru diserahkan kepada Djajeng Soeharto.'77

Krisis pada tahun 1932 nampaknya telah membuat para pemegang hak opstal (RvO) di Kotabaru mengalami keresahan sehingga mereka mengajukan permohonan penurunan uang tetempuh Opstal kepada Sultan Hamngkubuwono VIII. Situasi krisis tersebut telah menyebabkan harga rumah turun sehingga sewa rumah pun diharapkan turun. Pada saat yang sama. Penurunan harga itupun menyebabkan para pemegang Recht van opstal tidak dapat menarik keuntungan dari rumah-rumah tersebut. Seperti diketahui bahwa rumah-rumah tersebut menyebabkan mereka gelisah karena jika terus menunggak pembayaran Recht van

174Surat Patih Danureja VII kepada Residen Dingemans tanggal 12 Februari 1922 No 137. Arsip Kesultanan Yogyakarta.

I 7 5J.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralisatie in Nederlandsch-Indie 1905-1930. (Semarang: Vereeniging voor Locale belangen, 1930), hlm. 169-170

176Daftar sewa loji Kagungan Dalem 1930-1933. Arsip Kesultanan Yogyakarta No SN 40. 1771bid

104

j

Page 15: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

opstal dapat menyebabkan mereka dieksekusi. Akhimya pihak kesultanan bersedia mempertimbangkan usulan penurunan Recht van Opstal khusus untuk yang telah rnenghuni selama 10 tahun.' 78

Terlepas dari itu semua, nampalcnya pembangunan rumah-rumah tersebut juga memberi pemasukan baru bagi keuangan Kesultanan. Tercatat kenaikan anggaran pendapatan dari pihak Kesultanan dari tahun 1913-1930.179 Semenjak tahun 1917, Kesultanan mendapat pemasukan dari pembayaran Recht Van Opstal dan semenjak tahun 1918 mendapat pemasukan tambahan dari Perusahaan Pengembang. Semenjak tahun 1923, Pajak Verponding mulai diatur pertama kali. Besarnya pajak Verponding ini adalah untuk pekarangan dan bangunan sebesar 3%dari harga sewa setiap tahunnya.'8°

Penguasaan Tanah di Kota Malang

Berbeda dengan status kepemilikan tanah di tanah aristokrat seperti kota Yogyakarta, status kepemilikan tanah di Malang dapat dibagi menjadi dua yaitu milik pemerintah dan individu. Gemeente Malang menginginkan semua tanah yang berada di dalam batas kota menjadi milik mereka. Sekalipun demikian, pemerintah pusat pada umumnya tidak memberikan secara tanah itu secara cuma-cuma atau memberikan dengan mudah. Oleh karena itu, proses perubahan status desa-desa di sekitar kota untuk dijadikan sebagai wok di dalam wilayah Gemeente, selalu diawali dengan "perdebatan" antara Gemeente dan Binendland Bestuur sebagai "atasan" Kabupaten Malang.

Pemain utama dalam perolehan tanah di kawasan Kota dan sekitarnya adalah perusahaan pengembang (Grondbedrijf) yang masih dibawah Pemerintah Kota. Pembentukan perusahaan pengembang ini memiliki tujuan tertentu dan menjadi bagian dari strategi pengembangan kota. Menurut Colombijn, perusahaan pengembang ini bertindak selaku land bank (Bank Tanah), penyedia tanah untuk masa depan. Tanah itu tidak hanya untuk kawasan pemukiman namun juga jalan, gang, ruang tebuka dan kanal. Mereka memborong bidang tanah tertentu yang kemungkinan dibutuhkan di masa depan, dan sering kali memborong tanah di desa-desa sekitamya.181

Gemeente merupakan sebuah lembaga modem yang dalam berbagai kebijakannya selalu mengedepankan pertimbangan rasional dan ekonomi. Oleh karena itu, berbagai langkah yang diambil cenderung menopang berjalannya sistem yang tepat dan efisien. Hal itu diwujudkan dengan identifikasi dan pemetaan ruang, terutama yang berada di dalam wilayah Gemeente. Setiap petak tanah diukur dengan satuan panjang-lebar berdasar standar yang baku. Hasil pengukuran itu akan menjadi dasar penetapan pajak. Apa yang dilakukan Gemeente itu merupakan sesuatu yang relatif baru di mata orang Bumiputra. Orang Bumiputra, khususnya Jawa sama dengan bangsa Asia Tenggara lainnya yaitu tidak memiliki

178Surat Gubernur Yogyakarta kepada Patih Danurejo

Yogyakarta 79Werkelijk ontvangsten en uitgaven van Sultanaat

(Djo 18gjakarta: NV. Uitgevers- Mij 1-1. Buning) °Sudarisman Purwokusumo, Kadipaten Palatalanmtn. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hhn. 319

INI Freek Colombijn, op. cit, 240

tangal 13 Mei 1934. Arsip Kesultanan

Yogyakarta over dienstjaar 1913-1931

105 —

Page 16: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

mekanisme harga dan satuan luas tanah sebelum datangnya era kapitalisme Barat.I82 Disamping itu, pets dapat menjadi dasar perhitungan operasional kegiatan perdagangan, industri perkebunan dan dapat menjamin kepastian hukum, terutama hak milik tanah 183

Keterkaitan antara pembentukan Gemeente, okupasi lahan dan intensifikasi dalam identifikasi dan standarisasi ruang ini dibuktikan dengan meningkatnya permintaan pengukuran tanah di Kantor Pertanahan Malang sejak tahun 1914. Dari kantor catatan tanah (Kadaster), diketahui sejak tahun 1918 hingga 1923 ada peningkatan jumlah pemohonan pengukuran tanah hingga 55%. Jumlah pemohon pengukuran pada tahun 1914 sebanyak 198, tahun 1917 - saat disusunnya bouwplan I, sebanyak 572 permintaan sertifikat dan setelah itu meningkat hingga 948 pemohon sertifikat. Sejak 1 Mei 1922, kedudukan inspektur kadaster di Weltevreden dipindah ke Malang 184 Peningkatan jumlah pemohon sertifikat ini sangat berkaitan dengan proses realisasi pembangunan di kawasan bouwplan Oranje, Gouvernour Generaal dan Bergenbuurt pada tahun 1917 hingga 1925. Ketiga bouwplan itu merupakan sebagian kawasan perkebunan yang diubah menjadi kawasan permulciman dan sebagian petak dibeli dari penduduk Bumiputera.18'

Disamping bermakna secara fisik, okupasi ruang kota bisa dimaknai secara sosial. Secara fisik tanah di perkotaan tetap di tangan Bumiputera namun secara sistem, mereka berada dibahwa sistem barn. Ini dapat dibuktikan dengan berbagai kebijakan antara lain identifikasi rumah dari kawasan elit hingga perkampungan. Penomoran ini sangat penting karena dapat mempermudah petugas pos dan polisi jika akan mencari tersangka pelaku kriminal. Gemeente juga mulai menempatkan street furniture berupa papan penunjuk arah, lampu lalulintas dan jam kota di beberapa titik strategis. Hasil proyek identifikasi ini dijadikan dasar untuk penetapan besaran pajak, retribusi dan kepastian hukum atas okupasi ruang kota. 186

Bentuk okupasi lahan milik bumiputera yang terjadi di kawasan pinggiran kota ditandai dengan penghapusan beberapa desa yang berada di dalam wilayah Gemeente Malang. Desa-desa yang pertama kali akan dihapus adalah desa Kauman dan Ledok pada tahun 1929. Pada tahun 1930 desa Klojen, Jodipan, Kidul Pasar, Sukorejo dan Kotalama akan dihapuskan. Akan tetapi program penghapusan desa pada tahun 1930 itu masih mengundang polemik di dalam sidang Gemeenteraad. Pada waktu itu, kota Malang terdiri atas 16 desa. Ke-16 desa itu adalah Kidul Pasar, Oro-oro Dowo, Kauman, Bareng, Kottalama, Claket, Sukorejo, Tumenggungan, Lowokwaru, Jodipan, Tanjungrejo, Kebalen, Bunulrejo, Kasri, Penanggungan dan Polean. Penghapusan tidak dilakukan secara serentak namun bertahap dan diprioritaskan pada desa yang berada di pusat kota. Desa di pusat kota dianggap tidak lagi berkarakter desa.187 Sebelum dibahas di tingkat lokal, perwakilan di Volksraad telah menerima mosi penghapusan otonomi desa di wilayah Surabaya dan Malang. Penghapusan desa ini menjadi isu krusial di dalam sidang Gemeenteraad hingga tahun 1937. Ini

182 Antony. Reid, Asia Tenggara di Era Perdagangan.( Jakarta: LP3ES, 2004), LXXI 183 W.R. }lugenholtz, "Landrent Question and its solution 1850-1920. Robert Cribb (ed), The Late

Colonial State in Indonesia. Political and Economic Foundation of the Netherlands Indies (Leiden: KITLV, 1994), 140.

184 Tjahaja Timoer, 7 April 1924 185 P.K.W. Lakeman, Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G Kolff en Co, 1934 186 Tjahaja Timoer, 12 Januari 1940. 187 P.J.W. Lakeman, Stadsgemeente Malang 1914-1934(Soerabia: Uitkolff, 1934), 83

106

Page 17: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

disebabkan penghapusan desa akan diikuti dengan perombakan sistem organisasi, finansial Jan (kemungkinan besar) berakhir pada okupasi lahan. Sebelum terbentuknya Gemeente, pemerintahan desa - yang berada di bawah pemerintahan kabupaten, itu memiliki otonomi.

Dampak yang paling dikhawatirkan dari peleburan desa ke Gemeente adalah lilangnya otonomi desa dan kenaikan pajak sebagai kompensasi perbaikan infrastruktur. Dua, )eleburan desa ke dalam wilayah Gemeente akan memunculkan pos-pos Baru dalam anggaran gemeente berupa biaya perbaikan jalan, kebersihan dan penerangan di desa-desa tersebut. fumlah keseluruhan itu mencapai f.24.000,- tiap tahun. Di sisi lain Gemeente dianggap )elum memiliki cukup dana untuk membiayai perbaikan desa tersebut.I88

Okupasi system sosial yang mengikuti okupasi tanah ini mendapat perhatian dari anggota Gemeenteraad Malang, Dwijooewojo. Dwijooewojo mengatakan bahwa )ermasalahan akan muncul ketika Gemeente akan melakukan intervensi ke dalam kehidupan

dan lembaga desa. Menurut Dwijooewojo, ada beberapa desa yang masih memegang tata cara hidup dan ikatan desa. Dia juga mengkhawatirkan beban biaya perbaikan kampung yang ditanggung oleh penduduk desa. Dia juga memperingatkan bahwa Gemeente akan menghadapi kesulitan dalam menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten. Pemerintah Kabupaten pasti tidak menginginkan ada pihak lain yang ikut campur dalam wilayah kerjanya. Oleh karena itu, dia menyarakan agar pengalihan wewenang atas roda pemerintahan desa tidak diikuti dengan kenaikan pajak. Helsdingen, anggota Gemeenteraad dari IEV menyarankan sebaliknya, agar pemerintahan desa tetap di bawah pangrehpraja, tidak di bawah Gemeente selama belum ada pasal-pasal yang jelas dalam pengaturan keuangan. Setelah melalui voting, Gemeente akhimya memutuskan kedelapan desa di dalam filayah Gemeente itu tetap akan diintegrasikan dalam Gemeentebestuur. I89

Tanah-tanah di desa-desa pinggiran kota itu akhimya diintegrasikan dalam Gemeente an kemudian menjadi kampung Gemeente. Ditinjau dari segi status tanah, kampung dapat ibagi menjadi tiga yaitu kampung pemerintah (Gouvernementskampongs), kampung artikelir, dan kampung Gemeente. Di kampung pemerintah ini adalah kampung yang masih i bawah adminisstrasi Kabupaten dan tidak berada dalam wilayah Onderneming. Di ampung pemerintah, orang-orang Bumiputra memiliki hak tinggal namun tidak diizinkan ntuk dikuasakan kepada orang lain. Kampung particuliere adalah kampung yang terletak di ,nah perkebunan swasta (onderneming). Hak kepemilikan tanah berada pada pemilik Nicebunan swasta. Penghuni rumah-rumah di atas tanah tersebut memiliki hak atas .karangan (recht van erfpacht) dan hak mendirikan bangunan (recht van opstal). Akan tapi, itu semua tidak didaftarkan di kantor Kadaster (Kantor catatan tanah).

Jenis kampung ketiga adalah kampung gemeente (Gemeente-kampongs). Pada numnya kondisi kesehatan lingkungan kampung-kampung itu tidak terawat sehingga sering rjadi perbaikan kondisi kampung yang harus dilakukan dengan biaya Gemeente. Langkah perti ini tidak terlalu diinginkan oleh Gemeente.19° Hak milik tanah pada kampung ini ;rada di tangan Stadsgemeente. Pada umumnya, tanah itu merupakan lahan bagus yang dapatkan dari beberapa orang. Gemeente mendirikan kampung barn di atas tanah tersebut.

188 Tjahaja Timoer, 18 Juni 1930, him. 2 189 Tjahgja Thnoer 20 Oktober 1930, him. 2 190 Gelius Fleiringa, De zorg voor de Volkshuisvesiing in de Stadygemeenten in het bijzonder to Semarang. Rotterdam: NV Rotterdasche Boek en Kunstdrukkerij,1928), hlm 32

.167

Page 18: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Ini dilakukan setelah kampung lama yang ada dianggap terlalu padat. Ini bisa terjadi ketika tanah disewakan kepada orang-orang Bumiputra dalam bentuk persil. Di atas tanah tersebut didirikan rumah menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan bangunan atau Gemeente sendiri yang membangun rumah-rumah kampung untuk disewakan kepada Bumiputra.191

Pada periode yang sama, okupasi tanah diiringi dengan berbagai bentuk komersialisasi. Komersialisasi itu antara lain, penjualan setiap meter persegi untuk kios pasar, papan iklan, pajak bumi bangunan, pajak air dan pajak pemotongan hewan. Okupasi tanah memunculkan berbagai sistem modemisasi lahan antara lain difersifikasi ruang terbuka hijau dan ruang pemukiman. Penegakan sistem hukum yang ketat melalui ancama "porces verbal" telah menahan laju okupasi yang dilakukan oleh pihak penduduk terhadap ruang kota. Ini berakibat hingga saat ini (2016) sebagian penduduk Kota Malang tidak memiliki sertifikat hak milik karena tinggal di lahan milik Pemerintah Kota. Penduduk seperti itu banyak ditemui di bantaran Sungai, dan lahan makam.

Kesimpulan

Berdasar artikel ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Permasalahan tanah di kota-kota di Jawa berawal ketika muncul konsep tanah milik negara dan tanah milik individu. Berbagai konflik yang terjadi berabad-abad dan era Kerajaan Medang (abad VII-X) hingga Kerajaan Mataram (XVI-XVIII) berakar dari perebutan atas penduduk. Sedikit sekali konflik yang dilatarbelakangi tanah mengingat kepemilikan tanah masih komunal. Penduduk terutama usia produktif, dianggap lebih berharga periode pra-kolonial. Seiring dengan perkembangan pasca revolusi Industri, peran tenaga manusia secara perlahan semakin tergantikan oleh mesin. Di sisi lain perkembangan kapitalisme di Jawa pada abad ke-19 telah menyebabkan "penurunan" nilai tenaga manusia sebagai aset. Penurunan "nilai ekonomis manusia" ini menjadi semakin cepat ketika gejala demografis menunjukkan pertumbuhan penduduk sangat cepat pasca berakhirnya konflik, kemajuan di bidang kedokteran tropis dan membanjirnya warga Eropa di Jawa.

Kedua, ada perbedaaan dalam pola okupasi tanah antara Kota Yogyakarta dan Malang. Pada kedua kota ini, proses okupasi lahan terjadi pada periode yang hampir sama yaitu antara tahun 1917-1929. Sekalipun Kota Yogyakarta tidak berstatus sebagai Gemeente dan tidak memiliki otonomi lokal, namun proses okupasi tetap berlangsung namun tidak dapat terjadi dalam skala yang luas. Proses ini sering "terhambat" oleh status tanah yang masih milik Sultan sehingga sering berbenturan dengan status kepemilikan tanah yang telah berada di tangan pegawai Kesultanan. Jika di Yogyakarta proses okupasi berbenturan dengan kepentingan Sultan, maka di Malang okupasi tanah — dalam beberapa kasus, berbenturan dengan kepentingan Pemerintah Kabupaten yang secara administratif juridis tidak berada di bawah Gemeente.

Perkembangan sistem administrasi Pemerintahan pasca 1906 telah menyebabkan kebutuhan akan okupasi tanah oleh pemerintahan secara lebih luas semakin meningkat.

191 Ibid,

108

Page 19: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Tuntutan untuk menggenjot pemasukan dari beberapa unit usaha yang dimiliki badan pemerintah otonom (Gemeente), menyebabkan komersialisasi lahan perkotaan semakin meningkat. Ini ditandai dengan pembentukan unit Perusahaan Pengembang (Grondbedrijj). Perusahaan Pengembang ini ternyata memiliki kerjasama dengan Perusahaan Air Bersih

(Waterleidingbedrijj) untuk sama-sama memperoleh keuntungan baru. Proses okupasi ini juga menghasilkan keuntungan ekonomis bagi pemerintah lokal. Proses pemecahan tanah menjadi persil yang lebih kecil setelah lahan diokupasi oleh pemerintah kota (Gemeente) akan meningkatkan pemasukan dari sektor pajak verponding, penjualan air dan Perusahaan

Pengembang. Sebagai penutup, kajian tentang penguasaan tanah di perkotaan, khususnya kota-kota

berskala menengah masih perlu dilakukan. Berbagai konflik tanah yang terjadi di perkotaan akhir-akhir ini telah menjadi salah satu pendorong pentingnya penelitian tentang sejarah perkembangan penguasaan tanah di kota. Dengan demikian, sejarah dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai permasalahan kota yang semakin berkembang kompleks.

Referensi

Arsip, Majalah dan Surat Kabar

Daftar sewa loji Kagungan Dalem 1930-1933. Arsip Kesultanan Yogyakarta No SN 40.

Surat Gubernur Yogyakarta kepada Patih Danurejo tangal 13 Mei 1934. Arsip Kesultanan

Yogyakarta

Werkelijk ontvangsten en uitgaven van Sultanaat Yogyakarta over dienstjaar 1913-1931 Djogjakarta: NV. Uitgevers- Mij H. Buning, 1931

Surat Gubernur J.E. Jasper kepada Patih Danuredjo tanggal 22 Agustus 1927. Arsip

Kesultanan

Surat Patih Danureja VII kepada Residen Dingemans tanggal 12 Februari 1922 No 137. Arsip

Kesultanan Yogyakarta.

Mensch en Maatschappij 1935 No II, hlm. 81

Kolonial Tijdschrifi 1938, No 27

Indonesia No 52. October 1991

Tjahaja Timoer, 7 April 1924

Tjahaja Timoer, 12 Januari 1940.

109

Page 20: Seminar Nasional Mempertimbangkan Buku-buku Acuan Mutakhir.fis.um.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/Raker-Prosiding.pdf · Diharapkan seminar nasional ini dapat memberi sumbangan kecil

Tjahaja Timoer, 18 Juni 1930

Tjahaja Timoer 20 Oktober 1930

Pustaka

Bogaerts , Els and Remco Raben (eds), Beyond Empire and Nation. The Decolonization of

African and Asian Societies 1930s-1960s. Leiden: KITLV Press, 2012

Canne, Cornelis Memorie van Overgave 1917. Jakarta: ANRI,

Cribb, Robert (ed), The Late Colonial State in Indonesia. Political and Economic Foundation

of the Netherlands Indies. Leiden: KITLV, 1994

Dingemans, L.F.Gegevens over Djogjakarta 1926 A. Djogja: H. Buning, 1927

Elson, Robert,

Fleiringa, Gelius De zorg voor de Volkshuisvesting in de Stadsgemeenten in het bijzonder to

Semarang. Rotterdam: NV Rotterdasche Boek en Kunstdrukkerij,1928

Kerchman, J.W.M. 25 Jaren Decentralisatie in Nederlandsch-Indie 1905-1930. Semarang:

Vereeniging voor Locale belangen, 1930

Lakeman, P.J.W. Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G Kolff en CO, 1934

Reid, Anthony Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 2004

Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta 1917

Sudarisman Purwokusumo, Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 1985

Wertheim, W.F. The Indonesian Town. Studies in Urban Sociology. Bandung: Van Hoeve,

1958

110