SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN · Pengolahan Rengginang Eucheuma cottonii sebagai...

198

Transcript of SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN · Pengolahan Rengginang Eucheuma cottonii sebagai...

i

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

ReviewerProf. Dr. Agus Heri PurnomoProf. Dr. Ekowati ChasanahDr. Singgih WibowoDr. Muhammad NursidDr. Ariyanti Suhita DewiDr. Ellya SinuratDr. SubaryonoDr. Dedi NoviendriDr. Hedi Indra Januar

Editor PelaksanaDr. Dewi Seswita ZildaSyamdidi, M.App., Sc

Sekretariat:Agusman, M.ScVera Rahmasari, S.PiTati Nurhayati, S.Kom

Desain Grafis:Puguh Aji MP

PROSIDINGSEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANANPeningkatan Daya saing Produk dalam Mendukung Terwujudnya Keberlanjutan Industri dan KesejahteraanMasyarakat Kelautan dan Perikanan Gedung Mina Bahari III, Jakarta 24 Oktober 2017

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananJl, KS. TUbun Petamburan VI,Jakarta 10260Telp. (021) 53650157Email : [email protected]

Copyright Desember 2017ISBN: 978-602-73685-3-8

mailto:[email protected]

ii

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya Gelar Hasil Riset danInovasi Teknologi Kelautan dan Perikanan pada tanggal 24 Oktober 2017 bertempat di Gedung Mina BahariIII, Gambir - Jakarta. Seminar dengan tema Peningkatan Daya Saing Produk Untuk MendukungTerwujudnya Keberlanjutan Industri dan Kesejahteraan Masyarakat Kelautan dan Perikanan inibertujuan meningkatkan jalinan kerjasama atau kemitraan antara peserta seminar dari berbagai institusipenelitian dan pengembangan dan perguruan tinggi, industri, pemerintah serta pihak terkait lainnya untukkemudian bersinergi dalam mewujudkan visi dan misi KKP. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk mempercepathilirisasi hasil-hasil riset pengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikanan.

Makalah yang telah dipresentasikan dalam seminar ini sebanyak 88 makalah yang berasal dari berbagaiinstitusi penelitian dan pengembangan, serta instansi pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi. Makalah-makalah tersebut sebagian besar dipublikasikan dalam prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikananyang diterbitkan pada bulan Desember 2017 setelah melalui proses reviu oleh Tim Redaksi dari BBRP2BKP.

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyelenggaraanseminar ini dan kami juga menyampaikan permohonan maaf apabila terdapat kekurangan dalampenyelenggaraan seminar maupun dalam penyajian prosiding ini. Besar harapan kami, prosiding ini dapatbermanfaat bagi pengembangan penelitian kelautan dan perikanan Indonesia serta dapat menjadi komponenpenyusun teknologi yang dibutuhkan masyarakat di Indonesia.

Redaksi

iii

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii

Pemanfaatan Ikan Mujair dalam Pembuatan Bontot Ikan Payus (Elops hawaiensis)Sapira Riasari,Sakinah Haryati,Aris Munandar ...................................................................... 1-10

Pengolahan Rengginang Eucheuma cottonii sebagai Diversifikasi Produk Perikanan BerbasisRumput Laut di UKM Ares Mataram, Nusa Tenggara BaratBachtiar Rivai dan Syahlaini.................................................................................................. 11-18

Pengaruh Penambahan Tepung Beras dan Minyak Sayur Terhadap Karakteristik Fisik KerupukIkan Lele (Clarias batracus) PanggangDiah Ikasari dan Syamdidi..................................................................................... 19-26

Food Footprint Konsumsi Mie Instan Masyarakat Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara TimurUmi Anissah dan Tuti Wahyuni.............................................................................................. 27-34

Diversifikasi Garam Laut Menjadi Garam Mandi Bath BombsTuti Wahyuni........................................................................................ ................................ 35-38

Kadar Abu dan Mineral Zn Rumput Laut dari Perairan Binuangeun, Banten dan Wakatobi,Sulawesi TenggaraRodiah Nurbaya Sari, Agus Heri Purnomo, Ekowati Chasanah, dan Nurhayati ............................ 39-44

Daya Hambat Beberapa Formula Pengawet terhadap Bakteri Pembentuk Histamin padaProduk Ikan PindangIzhamil Hidayah, Farida Ariyani, dan Irma Hermana................................................................. 45-50

Potensi Rumput Laut Ulva sebagai Bahan Pakan IkanLusi Herawati Suryaningrum dan Reza Samsudin.................................................................... 51-56

Kandungan Nutrisi, Senyawa Bioaktif, dan Potensi Pemanfaatan Rumput Laut Hijau UlvaMurdinah .................................................................................................... ........................ 57-64

Sumber Pangan Baru melalui Pengolahan Kulit Kering Ikan Hiu dan Pari di IndonesiaNurmila Anwar...................................................................................... ............................. 65-76

Pemanfaatan Bahan Aktif Asal Rumput Laut pada Budidaya IkanMulyasari, Subaryono, dan Dahlan Makatutu ......................................................................... 77-88

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN

ISBN : 978-602-73685-3-8

iv

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Optimasi Substrat pada Produksi Protease Mikroba dan Uji Aplikasinya untuk PembuatanHidrolisat Protein IkanYusro Nuri Fawzya, Pujoyuwono Martosuyono, dan Dewi Seswita Zilda ................................... 89-96

Efek Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Karakteristik Hedonik Minum AlginatRinta Kusumawati, Jamal Basmal, Bagus Sediadi Bandol Utomo, dan Ellya Sinurat.................. 97-108

Sifat Fisik Tablet Effervescent Probiotik dari Penyalut Tapioka dan MaltodekstrinDevi Ambarwaty Oktavia dan Bunga Rante Tampangallo ......................................................... 109-114

Pengaruh Konsentrasi Garam dan Sodium Tripolifosfat dalam Larutan Perendam terhadapMutu Tuna Loin BekuHari Eko Irianto, Taufik, dan Endang Sudariastuty .................................................................. 115-122

Rancang Bangun Mesin Granulator Sistem Berkelanjutan untuk Pembuatan Pupuk GranulBerbahan Dasar Rumput LautWahyu Tri Handoyo dan Zaenal Arifin Siregar ......................................................................... 123-130

Aplikasi Kitosan sebagai Edible Coating terhadap Karakteristik dan Masa Simpan Sosis NilaWidi Ridwanto, Eddy Afrianto, Atikah Nurhayati, dan Iis Rostini .............................................. 131-136

Seleksi Faktor Perlakuan dalam Proses Pembuatan Nanopartikel Kitosan dari CangkangRajungan (Portunus sp.)Riama Natalia Boru Panjaitan, Syamdidi, Sakinah Haryati, Aris Munandardan Singgih Wibowo... 137-144

Penurunan Kualitas Ikan Kuniran (Upeneus sulphureus) dan Kurisi (Nemipterus nematophorus)selama Proses Pengolahan Produk Otak-Otak Di UKM TegalAjeng Kurniasari Putri, Jovita Tri Murtini, dan Farida Ariyani .................................................... 145-150

Potensi HPI Ikan Petek sebagai Anti HipertensiEkowati Chasanah dan Rini Susilowati............................................................................ 151-158

Ektraksi Fitosterol Secara Langsung dan Tidak Langsung dari Mikroalga Nannochloropsis sp.dan Spirullina sp.Diini Fithriani, Devi Ambarwati Oktavia, dan Nurhayati.............................................................. 159-166

Karakterisasi Fukoidan dengan Maserasi Pelarut yang BerbedaEllya Sinurat dan Nurun Nisa Maulida.................................................................................... 167-172

Keragaman, Tinjauan Ekologi dan Aspek Fisiologi Bakteri HalophilikIfah Munifah, Pujoyuwono Martosuyono, dan Yusro Nuri Fawzya.............................................. 173-180

Populasi Cendawan Pascapanen dan Kandungan Aflatoksin B1 pada Salai Patin di TingkatPengolah dan Pengecer di Kabupaten Kampar, Propinsi RiauTri Indah Yoosianti, Okky Setyawati Dharmaputra, Usman Ahmad dan Santoso......................... 181-188

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

1

PEMANFAATAN IKAN MUJAIR DALAM PEMBUATAN BONTOT IKANPAYUS (Elops hawaiensis)

Sapira Riasari*, Sakinah Haryati, dan Aris Munandar

ABSTRAK

Bontot merupakan salah satu produk gel ikan (fish jelly product) khas Provinsi Banten yangtersebar di beberapa desa khususnya Desa Domas, Kabupaten Serang. Bahan baku dalampembuatan bontot adalah ikan payus. Kelebihan ikan tersebut adalah memiliki daging putih,tekstur lembut, dan mengandung protein sangat tinggi (22,15%) dan lemak rendah (0,33%).Ketersediaan ikan payus yang tidak stabil menyebabkan harga jual yang relatif mahal. Untukmeminimalisir harga bahan baku yang relatif mahal maka dilakukan kombinasi antara ikanpayus dan ikan-ikan yang nilai ekonomisnya rendah seperti ikan mujair yang sering ditemukansebagai ikan ikutan pada budidaya ikan bandeng. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukankarakteristik bontot terbaik kombinasi ikan payus dan ikan mujair berdasarkan sifat fisik, kimiadan mikrobiologi. Konsentrasi yang digunakan dalam pembuatan bontot kombinasi ikan payus pdan mujair m adalah (K1=0%p+100%m), (A=87,5%p+12,5%m), (B=75%p+25%m), (C=62,5%p+37,5%m),(D=50%p+50%m), (E=37,5%p+62,5%m) dan (K2=100%p+0%m). Tahapan penelitian terdiri daripengukuran morfologi, rendemen, proksimat, nilai pH dan TVB pada ikan payus dan ikan mujair.Bontot kombinasi yang dihasilkan diuji organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur), fisik (uji lipatdan gigit), TPC dan proksimat. Karakteristik bontot terbaik dari kombinasi daging ikan payus danmujair berdasarkan sifar fisik, kimia, dan mikrobiologi diperoleh pada perlakuan A (87,5% Ikan Payus+ 12,5% Ikan Mujair). Karakteristik sifat fisik produk tersebut adalah uji lipat (2,70), gigit (7,03), warna3,90 (putih kehitaman), aroma 3,80 (khas ikan), rasa 3,83 (gurih) dan tekstur 3,47 (kenyal).Karakteristik kimia bontot kombinasi yaitu kadar air 47,48%, protein 6,28%, lemak 0,55%, abu1,68%, karbohidrat 44,01%, dan mikrobiologi yaitu 3,3 102 (2,49) CFU/g dibawah batas ambangsehingga layak untuk dikonsumsi.

Kata kunci: bontot, kombinasi, produk gel ikan, ikan payus, ikan mujair

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan*email: [email protected]

PENDAHULUAN

Bontot merupakan salah satu produk gel ikan (fish jelly product) khas Provinsi Banten yang tersebar dibeberapa desa khususnya Desa Domas, Kabupaten Serang. Istilah bontot berasal dari sisa potongan bahankerupuk ikan payus yang sudah tidak layak diiris, kemudian digoreng. Bahan kerupuk ikan payus tersebutternyata memberikan rasa yang cukup enak sehingga sampai sekarang bahan kerupuk ikan payus dalamkondisi basah kemudian digoreng dikenal dengan nama bontot meskipun bukan lagi berupa sisa potonganbahan kerupuk ikan payus (Haryati & Munandar, 2010).

Keunggulan produk bontot adalah makanan sehat dan halal karena kaya gizi (kadar air 48,35% bb, kadarprotein 4,30% bb, kadar lemak 0,195 % bb, dan kadar abu 1,675%bb, serta karbohidrat 45,48% bb) sehinggabaik untuk kesehatan. Bahan baku dalam pembuatan bontot adalah ikan payus. Kelebihan ikan ini berdagingputih dan mengandung protein sangat tinggi (22,15%) dan lemak rendah (0,33%).

Ketersediaan ikan payus yang tidak stabil menyebabkan harga jual yang relatif mahal sekitar Rp. 25.000-27.000/kg. Untuk meminimalisir harga bahan baku yang relatif mahal maka dilakukan kombinasi antara ikanpayus dan ikan-ikan yang nilai ekonomisnya rendah seperti bulan-bulan dan mujair.

Ikan mujair merupakan salah satu ikan hasil ikutan tambak tradisional selain ikan payus dan bulan-bulanserta bernilai ekonomis rendah. Ikan ini sudah banyak dibudidayakan, mudah ditemukan pada habitat airpayau, air tawar hingga air laut (Luna, 2012). Ketersediaan ikan yang mudah ditemukan, menyebabkan hargaikan cukup terjangkau sekitar Rp. 13.000-15.000/kg. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka ikan mujair

mailto:[email protected]

2

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

dapat dijadikan sebagai bahan baku alternatif dengan mengkombinasikan ikan mujair dan ikan payus menjadiolahan bontot. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan karakteristik bontot terbaik dari kombinasi ikanpayus dan mujair berdasarkan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi. Manfaat penelitian ini adalah mengoptimalkanpemanfaatan ikan mujair (Oreochromis mussambicus) sebagai ikan hasil samping budidaya tambak untukmenghasilkan nilai tambah terutama dalam pembuatan bontot di Desa Domas

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2016. Pembuatan bontot dilakukan di Desa DomasSerang Banten. Analisis mikrobiologi uji Total Plate Count (TPC) dan uji proksimat (kadar air, lemak, abu danprotein) dilakukan di Laboratorium UPT Pusat Produksi Inspeksi dan Sertifikasi Hasil Perikanan Dinas Kelautan,Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi timbangan analitik, kelakat (alat pengukus), plastik, pisau,talenan, kompor, labu alas bulat, gelas ukur merk Iwaki, beaker glass merk Iwaki, indikator pH, meat grinderelektrik, kertas saring, alat penjepit, alat destilasi, erlenmeyer merk Iwaki, labu destruksi, hot plate merkStuart CR302, labu soxlet, cawan porselin,

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bontot adalah daging ikan payus dan mujair (berasal daripengepul ikan payus (Elops hawaiensis) dan mujair (Oreochromis mossambicus) yang diperoleh dari tambakikan dari Desa Domas), tepung tapioka, bawang merah, bawang putih, baking powder, lada, gula putih,garam, penyedap rasa, telur, air, larutan asam borat, indikator methyil red dan bromcresol green NaOH,,H2SO4, H2O2, HCl dan diethyil eter.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental skala laboratorium. Rancanganpenelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan.

Pembuatan bontot kombinasi ikan payus dan ikan mujair

Proses pembuatan bontot dilakukan di pengrajin bontot di Desa Domas. Pengolahan bontot dilakukan diDomas agar bontot yang dihasilkan menyerupai bontot asli khas Domas baik dari cara mengolah, bentukserta rasa yang dihasilkan. Proses pembuatan bontot meliputi penyiangan ikan payus dan mujair. Penyiangandilakukan untuk memisahkan daging dari tulang atau duri kulit (filleting skinless), kepala serta isi perut.Daging digiling secara manual menggunakan alat pemisah tulang dan daging, untuk mendapatkan dagingikan lumat (minced fish). Daging ikan payus dan mujair diberi pelakuan sesuai kombinasi yang telah ditentukan.Daging dan tepung tapioka dicampurkan sesuai perlakuan yang telah ditentukan. Bumbu dan air 50% dariberat tepung tapioka, dan kemudian diaduk hingga rata menggunakan alat penggiling. Adonan dibentuk sesuaiukuran (bentuk lenjer) dan dimasukkan ke dalam panci pengukus selama 1-2 jam. Bontot diangkat dandidinginkan (modifikasi dari metode Haryati & Munandar, 2010).

Analisis fisik

Uji lipat (Suzuki, 1981)

Uji pelipatan dilakukan dengan cara bontot diiris setebal 3-5 mm, kemudian diletakkan diantara ibu jaridan telunjuk dan dilipat untuk diamati keretakannya. Setiap perlakuan diulang 3 (tiga) kali.

Uji gigit (Suzuki, 1981)

Uji ini memberikan taksiran secara subjektif terhadap panelis, pengujian dilakukan dengan cara menggigitsampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel memiliki tebal 5 mm dan diameter 30 mm. Melibatkanpanelis tidak terlatih sebanyak 30 orang.

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

3

Uji Organoleptik (Setyaningsih et al., 2010)

Uji organoleptik terhadap bontot kombinasi meliputi uji warna, aroma rasa dan tekstur. Pengujianorganoleptik yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah uji hedonik (tingkat kesukaan) dengan skala 1(satu) sampai 5 (lima) yang bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap bontot dengan parameterwarna, tekstur, rasa, dan aroma bontot yang telah digoreng. Panelis diminta untuk memberikan penilaianpada score sheet yang telah disediakan, melibatkan 30 orang panelis.

Analisis kimia

Uji total volatil base (TVB) (BSN, 2009)

Analisis kadar air dihitung menggunakan metode conway, perhitungan TVB menggunakan persamaansebagai berikut :

Analisis mikrobiologi (BSN, 2013)

Analisis mikrobiologi dilakukan dengan penentuan nilai TPC (Total Plate Count) dengan metode agartuang. Nilai TPC dapat dihitung dengan rumus berikut :

Analisis data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental skala laboratorium. Rancanganpenelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangandengan menggunakan analisis ragam (ANOVA), apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh nyatamaka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan dan LSD. Data yang diperoleh dari uji organoleptik dianalisisdengan menggunakan statistik non parametrik dengan kruskal-wallis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kimia Bahan Baku

Kandungan protein ikan payus memiliki nilai yang sangat tinggi dan mujair memiliki kadar protein lebihrendah, tetapi tergolong ikan berprotein tinggi. Stansby (1963) menyatakan bahwa ikan dapat digolongkanbeberapa kelas berdasarkan komposisi proteinnya, dikatakan berprotein sangat tinggi jika kadar protein>20%.

Parameter Uji Ikan Payus Ikan Mujair BSN, 2006

Kadar air (%) bb 73,29 74,02 70-80Kadar lemak (%) bb 0,33 3,05Kadar protein (%) bb 22,15 19,43Kadar abu (%) bb 1,08 1,12

4

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Uji Organoleptik

Warna

Uji organoleptik dengan parameter warna pada bontot kombinasi ikan payus dan mujair setelah digorengdilakukan uji hedonik (uji kesukaan). Berdasarkan analisis kruskal wallis menunjukan perlakuan yang diberikantidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna bontot kombinasi. Hal ini dipengaruhi oleh prosespenggorengan yang menyebabkan bontot kombinasi mengalami reaksi maillard sehingga semua perlakuanbontot cenderung berwarna sama setelah dilakukan penggorengan. Rauf (2015) menyatakan reaksi maillardmerupakan pencoklatan non-enzimatik yang disebabkan karena adanya pemanasan campuran gula danprotein.

Gambar 1. Uji organoleptik warna bontot pada berbagai perlakuan

Aroma

Bedasarkan analisis Kruskal Wallis, perlakuan kombinasi daging ikan payus dan mujair tidak memberikanpengaruh nyata terhadap aroma bontot kombiansi. Hal ini disebabkan oleh ikan dan bumbu-bumbu yangditambahkan pada pembuatan bontot.Winarno (2008) menyatakan timbulnya aroma pada daging yang dimasakdisebabkan oleh pemecahan asam-asam amino dan lemak.

Rasa

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis parameter rasa bontot menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikantidak memberikan pengaruh nyata terhadap rasa bontot kombinasi. Penambahan bumbu-bumbu dapatmempengaruhi rasa bontot kombinasi yang dihasilkan. Yuliana et al. (2013) meyatakan bumbu-bumbu sepertibawang putih, garam, lada, dan penyedap rasa yang ditambahkan kedalam adonan dapat mempengaruhi citarasa pada produk olahan.

Gambar 2. Uji organoleptik aroma bontot pada berbagai perlakuan

3.80 3.90 3.70 3.70 3.50 3.60 3.47

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

K-2 A B C D E K-1Perlakuan

War

na

4.00 3.80 3.53 3.573.80

3.533.80

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

k-2 A B C D E K-1Perlakuan

Arom

a

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

5

Tekstur

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, perlakuan konsentrasi daging ikan yang berbeda tidak memberikanpengaruh nyata terhadap tekstur bontot kombinasi dan tekstur yang dihasilkan dapat diterima oleh panelis.Hal ini berarti bahwa tekstur bontot kombinasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh kandungan protein padakonsentrasi daging ikan payus dan mujair. Chairita et al. (2009) menyatakan daya ikat air sangat berperandalam pembentukan gel, protein miofibril yang terdapat pada ikan payus dan mujair dapat memperbaikitekstur bontot kombinasi. Menurut Wiraswanti (2008) produk bakso ikan yang memiliki protein myofibrildapat memperbaiki tekstur produk menjadi lebih baik

Analisis fisik

Uji lipat

Hasil nilai rata-rata uji lipat bontot kombinasi antara 2,17-4,70. Hasil analisis uji Kruskal Wallis menunjukkanbahwa uji lipat bontot kombinasi ikan payus dengan mujair memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P

6

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Uji gigit

Hasil nilai rata-rata uji gigit bontot kombinsi antara 5,73-7,37. Hasil analisis uji Kruskal Wallis menunjukkanbahwa uji gigit bontot kombinasi ikan payus dengan mujair memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

7

Analisis Kimia

Kadar airNilai rata-rata kadar air bontot kombinasi antara 45,19%-47,48%. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa

kadar air bontot kombinasi ikan payus dengan mujair memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P

8

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Kadar abu

Nilaii rata-rata kadar abu bontot kombinsi antara 1,58-1,87%. Hasil analisis ragam menunjukan bahwakadar abu bontot kombinasi ikan payus dengan mujair tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata(P>0,05). Hal ini dipengaruhi oleh tepung tapioka pada bontot kombinasi. Nuraeni (2014) menyatakan bahwakadar abu berasal dari bahan baku dan bahan tambahan seperti garam, bawang merah, bawang putih, lada,dan tepung tapioka yang dicampurkan ke dalam adonan, taipoka mengandung senyawa anorganik yang tidakterbakar pada saat pengabuan.

Kadar karbohidrat

Nilai rata-rata kadar karbohidrat bontot kombinsi antara 23,81-46,1%. Sugito dan Hayati (2006) menyatakansemakin tinggi kadar senyawa lain maka kadar karbohidrat akan semakin rendah.Hasil analisis ragammenunjukan bahwa kadar karbohidrat bontot kombinasi ikan payus dengan mujair tidak memberikan pengaruhyang berbeda nyata (P>0,05). Hiariey (2015) menyatakan bahwa pegukuran kadar karbohidrat ditentukandari 100% dikurangi total dari kadar air, abu, lemak, dan protein sehingga nilai kadar karbohidrat tergantungpada faktor pengurangannya.

Gambar 11. Kadar abu bontot pada berbagai perlakuan

Gambar 12. Kadar karbohidrat bontot pada berbagai perlakuan

Perlakuan terbaik

Perlakuan terbaik berdasarkan hasil anlisis statistik fisik dan kimia bontot ikan payus dengan kombinasiikan mujair yaitu konsentrasi A (87,5p+12,5% m). Mutu bontot dilihat berdasarkan kandungan protein yangdihasilkan. Kandungan proksimat bontot kombinasi ikan payus (Elops hawaiensis) dan mujair (Oreochromismossambicus) perlakuan terbaik pada konsentrasi A (87,5 p+12,5% m) yaitu kadar air 47,48%, kadar lemak0,55%, kadar abu 1,68, kadar protein 6,28% dan kadar karbohidrat 44,01%.

1.58 1.681.81 1.87

0

0.5

1

1.5

2

2.5

K2 A D K1

Nila

i Kad

ar A

bu (%

)

Perlakuan

31.57

44,01 46,1

23,81

0

10

20

30

40

50

K2 A D K1Perlakuan

Nila

i Kad

ar

Kar

bohi

drat

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

9

Kandungan gizi pada bontot kombinasi ikan payus dan ikan mujair lebih tinggi dilihat dari kadar proteinnyayaitu 6,28% dibandingkan dengan bontot kombinasi ikan payus dan ikan bulan-bulan yaitu 5,67%, dan berkadarlemak rendah yaitu 0,55% dibandingkan dengan bontot kombinasi ikan payus dan ikan blodok yaitu 0,82%.Ikan mujair merupakan ikan dengan harga ekonomis rendah, berprotein tinggi dan rendah lemak. Kandunganprotein dan lemak mempunyai peranan yang sangat penting guna menghasilkan bontot yang bergizi.

Tabel 3.Nilai rata-rata analisis kimia pada perlakuan terbaik bontot kombinasi.

A D K1 K2Kadar Air 47.48 45.19 45.55 45.23Kadar Protein 6.28 5.93 5.93 5.93Kadar lemak 0.55 0.97 22.84 15.64

ParameterPerlakuan

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Karakteristik bontot terbaik dari kombinasi daging ikan payus dan mujair berdasarkan sifar fisik, kimia,dan mikrobiologi diperoleh pada perlakuan A (87,5% Ikan Payus + 12,5% Ikan Mujair). Karakteristik sifat fisikproduk tersebut adalah uji lipat (2,70), gigit (7,03), warna 3,90 (putih kehitaman), aroma 3,80 (khas ikan), rasa3,83 (gurih) dan tekstur 3,47 (kenyal). Karakteristik kimia bontot kombinasi yaitu kadar air 47,48%, protein6,28%, lemak 0,55%, abu 1,68%, karbohidrat 44,01%, dan mikrobiologi yaitu 3,3102 (2,49) CFU/g dibawahbatas ambang sehingga layak untuk dikonsumsi.

Saran

Penelitian karakteristik bontot dengan kombinasi daging ikan payus dan mujair mujair merupakan penelitiantahap awal. Oleh karena itu, perlu dilakukannya penelitan lanjutan tentang masa simpan pada suhu ruangdan beku, ikan kombinasi yang digunakan sebaiknya memiliki tekstur daging mendekati tekstur daging ikanpayus agar bontot yang dihasilkan tidak mudah retak, serta perlu adanya penerapan kepada masyarakattentang bontot kombinasi ikan payus dan mujair.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2013). SNI 7756.2013. Siomay Ikan. pp 1-12.Buckle, K. A., Edward, R. A ., Fleet, G.H., & Woodon, N. (2009). Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-

Press). pp. 365.Chairita, Hardjito, L., Santoso, J., & Santoso (2009). Karakteristik Bakso Ikan Dari Campurkan Surimi Ikan Layang

(Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp) pada Penyimpanan Suhu Dingin.Jurnal PengolahanHasil Perikanan Indonesia, 12, 46-58.

Haryati, S. & Munandar, A. (2010). Identifikasi Keragaman Produk Bontot Sebagai Upaya Diversifikasi ProdukPerikanan di Desa Domas Kecamatan Pontang Kabupaten Serang Provinsi Banten. Prosiding seminarpengolahan produk dan bioteknologi kelautan dan perikanan II, Jakarta, 9 Agustus 2010. pp. 145-151.

Hiariey, S. & Lekahena (2015). Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Atung Sebagai Pengawet Alami Terhadap PerubahanNilai Mutu Ikan Tongkol Asap.Jurnal Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia), 18, 329-339.

Lawrie, R. A. (1995). Ilmu Daging. Jakarta: UI-Press. pp 106.Luna, S. (2012). Oreochromis mossambicus. http://www.fishbase.org/summary/Oreochromis-mossambicus.html.[Diaksespada tanggal 15 september 2015].Nuraeni, N. (2014). Karakteristik Kamaboko Ikan Payus (Elops Hawaiensis)dengan Penambahan Konsentrasi

Tepung Tapioka yang Berbeda [SKRIPSI]. Serang: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas SultanAgeng Tirtayasa.

Rauf, R. (2015). Kimia Pangan. Yogyakarta: Andi. pp 225.Setyaningsih, D., Apryantono, A., & Sari, M. P. (2000). Analisis Sensori Bagian I. Bogor:IPB Press, pp 1-12.Sugito, & Ari, H. (2006). Penambahan Daging Ikan Gabus dan Aplikasi Pembekuan pada Pembuatan Pempek

Gluten. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia, 8, 147-151.

http://www.fishbase.org/summary/Oreochromis-mossambicus.html.

10

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Perrtanyaan :- Ikan Payus seperti apa,?- Apakah namanya memang bontot, apakah tidak ada nama yang lain karena bisa menjadi komersialisasi.

Tanggapan :- Seperti ikan Bandeng, dan Tinggi akan protein dan merupakan ikan predator ikan bandeng, di temukan di

tambah tradisional,dan musiman menjadi ikan musiman- Ini Istilah menamaan orang jawa Bontot yang berati terakhir jadi Bontot dalam hal ini menjadi potongan

ikan yang terakhir, dan menjadi inovasi produk dan menjadi brand baru.

Suseno, S.H., Suptijah, P. & Wahyuni, D. S. (2004). Pengaruh Penambahan Daging Lumat Ikan Nilem (Ostheochilushasselti) Pada Pembuatan Simping Sebagai Makanan Camilan.Jurnal Buletin Teknologi Hasil Perikanan,7,44-55.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein Processing Technonogy. London: Applied Science Publisher Ltd. 260 hlm.Stansby, M. E. (1963). Proximate Composition of fish. Dalamfish in nutrition. Fishing News (Books) London: Ltd.

Ludgate House. pp 416.Wilson, N. R. P. (1981). Meat and Meat Product: Factor Affacting Quality Control. London: Applied Science Publishers.

pp 207.Winarno, F. G. (2008). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. p. 286.Wiraswanti, I. (2008). Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus

nematopharusi) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku [SKRIPSI]. Bogor: Program Studi Teknlogi HasilPerikanan Fakultas Pertanian dan Ilmu Kelautan Institiut Pertanian Bogor. p. 95.

Yuliana, N., Pramono., Yoyok, B., & Hintono, A. (2013) Kadar Lemak, Kekenyalan dan Cita Rasa Nugget Ayam YangDisubstitusi Dengan Hati Ayam Broiler (The Fat Content, Elasticity And Flavour Of Livers-Substituted ChickenNugget). Animal Agriculture Journal, 2, 301-308.

Yunizal & Wibowo, S. (1998). Penanganan Ikan Segar. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

11

PENGOLAHAN RENGGINANG Eucheuma cottonii SEBAGAIDIVERSIFIKASI PRODUK PERIKANAN BERBASIS RUMPUT LAUT DI

UKM ARES MATARAM, NUSA TENGGARA BARAT

Bachtiar Rivai1* dan Syahlaini2

ABSTRAK

Rumput laut atau yang lebih dikenal dengan sebutan seaweed merupakan salah satu sumberdaya hayati yang sangat melimpah di perairan Indonesia yaitu sekitar 8,6% dari total biota di laut.Produksi rumput laut di Provinsi Nusa Tenggara Barat sendiri pada tahun 2013 mencapai 596.348ton. Namun sampai sekarang dari jumlah tersebut baru sekitar 50% yang secara efektifdimanfaatkan dan akan terus dimanfaatkan kedepannya sehingga target produksi pada tahun2017 sebesar 13,4 juta ton tercapai. Salah satu jenis rumput laut yang melimpah di perairanIndonesia adalah Eucheuma cottonii. Rumput laut yang satu ini banyak dimanfaatkan olehmasyarakat sebagai produk pangan. UKM Ares adalah salah satu UKM di Kota Mataram yangmemanfaatkan E. cottonii sebagai rengginang. Rengginang E. cottonii yang diproduksi di UKMAres dikombinasikan dengan ubi ungu yang merupakan salah satu bahan pangan yang cukupterkenal di Indonesia. Teknik pengambilan data pada penulisan ini meliputi data primer dan datasekunder. Perolehan data primer dilakukan dengan cara observasi, wawancara, partisipasilangsung dan dokumentasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara melakukanpencatatan data dari instansi terkait. Hasil perolehan data dari pengolahan rengginang E. cottoniidi UKM Ares adalah proses pengolahan yang meliputi persiapan bahan baku dan bahan tambahan,proses pengolahan dan packaging. Sedangkan untuk analisa proksimat dilakukan di LaboratoriumKeamanan Hasil Perikanan Universitas Brawijaya. Diperoleh kadar nutrisi rengginang E. cottoniiubi ungu yakni: kadar protein sebesar 1,75%, kadar lemak 0,5%, kadar air 11%, kadar abu 1,5%dan kadar karbohidrat 85,25%. Analisa massa simpan rengginang E. cottonii ubi unguberdasarkan persamaan regresi y =-0,0208x+6,1667 dengan R2=0,3333 didapatkan umursimpannya selama 104 hari. Sedangkan untuk analisa HACCP ditemukan CCP pada pengolahanrengginang E. cottonii ubi ungu adalah pada proses pengadonan. Rengginang E. cottonii ubiungu adalah inovasi produk perikanan yang sangat menguntungkan. Berdasarkan analisaekonomi didapatkan keuntungan sebesar Rp. 28.757.600 per tahun dengan R/C ratio sebesar1,75. Oleh karena itu, diharapkan adanya peningkatan inovasi pengolahan E. cottonii untukmenambah diversifikasi produk perikanan yang berdaya saing.

Kata kunci : rengginang, Eucheuma cottonii, diversifikasi, UKM Ares

1 Universitas Brawijaya, Jalan Veteran, Ketawanggede, Malang, Jawa Timur, Indonesia2 Universitas Pandjajaran, Jl. Raya Bandung Sumedang KM.21, Sumedang, Jawa Barat

*email: [email protected]

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan ketahanan pangan yang tinggi di dunia baik dari hasil pertanianmaupun perikanan (Kaminarsih, 2007). Dalam dunia perikanan banyak sekali sumber pangan yang terkenalsalah satunya adalah rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu sumber daya hayati yang sangatmelimpah di Perairan Indonesia yaitu sekitar 8,6 % dari total biota di laut (Dahuri, 1998). Nusa Tenggara Baratmerupakan salah satu provinsi yang memiliki produksi rumput laut yang melimpah yakni sekitar 596.348 tonpada tahun 2013. Namun sayangnya baru sekitar 50% yang secara efektif dimanfaatkan dan akan terusdimanfaatkan kedepannya sehingga target produksi pada tahun 2017 sebesar 13,4 juta ton tercapai (Elta,2017).

Salah satu rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah Eucheuma cottonii (Susanto & Mucktianty,2002). Kebanyakan masyarakat hanya menjadikan E. cottonii sebagai teman nasi ketika sarapan. Belumbanyak pengetahuan tentang potensi dan manfaat E.cottonii sebagai produk industri, padahal E. cottoniimempunyai nilai ekonomis yang penting dalam industri kosmetik, pangan dan lain-lain. E cottonii dapat

mailto:[email protected]

12

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

diolah dalam bentuk kering setelah melalui proses penjemuran atau diolah menjadi makanan siap konsumsiseperti rengginang, dodol, manisan dan minuman (Nursanto, 2004).

Usaha Kecil Menengah (UKM) Ares merupakan salah satu UKM yang terdapat di Kota Mataram yangmengolah E. cottonii menjadi makanan ringan seperti tortilla, dodol, dan rengginang. Rengginang E. cottoniiyang diproduksi di UKM Ares banyak dikombinasikan dengan pangan lokal lain seperti ubi ungu sehinggaproduk ini merupakan salah satu contoh bentuk usaha diversifikasi olahan-olahan perikanan yang akanmeningkatkan nilai produk perikanan berbasis rumput laut di Indonesia. Studi ini memaparkan mengenaikeadaan pengolahan rengginang E. cottonii yang dikombinasikan dengan ubi ungu di UKM Ares ProvinsiNusa Tenggara Barat. Diharapkan dengan studi ini mampu menambah wawasan inovasi diversifikasi produkperikanan yang berdaya saing dan memiliki nilai ekonomis.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada study ini dibagi menjadi bahan pengolahan rengginang dan bahananalisis proksimat. Bahan-bahan pembuatan rengginang E. cottonii ubi ungu diantaranya ubi ungu, E. cottonii,tepung beras, air, minyak goreng, bawang putih, ketumbar dan garam. Bahan-bahan untuk analisa proksimatdiantaranya adalah K2SO4, HgO, H2SO4, H2O, larutan NaOH-Na2S2O3, kloroform, petroleum eter, etil eter,benzena, heksana dan aseton.

Metode

Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metodedalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupunsuatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode deskriptif adalah untuk membuat suatudeskriptif tulisan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarafenomena yang diselidiki (Nazir, 2003).

Metode pengambilan data dalam pelaksanaan studi ini meliputi data primer dan data sekunder daripengolahan rengginang E. cottoni ubi ungu. Perolehan data primer dilakukan dengan cara observasi, wawancaradan partisipasi langsung, serta dokumentasi. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan cara melakukanpencatatan data dari instansi terkait.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan Rengginang E. cottonii Ubi Ungu

Pengolahan rengginang E. cottonii ubi ungu diawali dengan persiapan bahan baku. E. cottonii yang masihkotor dicuci dan direndam selama 12 jam hingga tidak lagi berbau amis. Perendaman ini mengakibatkan E.cottonii menjadi lunak, berwarna putih dan beratnya menjadi 5-6 kali berat kering. Setelah itu, E. cottoniiselanjutnya dikeringkan untuk memperlama masa simpan.

Setelah bahan baku disiapkan, selanjutnya E. cottonii yang telah kering tersebut direndam dan ditimbang1 kg untuk dihaluskan bersamaan dengan bawang putih sebanyak 250 g. penghalusan dilakukan denganmenggunakan blender. Mekanisme penghalusan adalah bawang putih dimasukkan terlebih dahulu kemudianditambahkan dengan air hingga bawang putih terendam seluruhnya dan dihaluskan. Setelah itu ditambahkanE. cottonii sedikit demi sedikit. Kemudian pembuatan adonan dengan menyiapkan rumput laut dan bawangputih yang telah halus dimasukan dalam bak plastik ditambah ketumbar halus 50 g, garam 1 sdm dan merica10 g. Adonan kemudian diaduk merata sampai adonan menjadi kalis. Selanjutnya ditambahakan ubi unguyang telah direbus dan dihilangkan kulitnya serta tepung beras rose brand 2 kg ke dalam adonan.

Setelah adonan disiapkan selanjutnya dicetak menggunakan alat pencetak. Pencetakan dilakukan dengancara adonan dibentuk gumpalan kemudian diparut dengan cetakan cendol untuk memberikan bentuk bulatmemanjang seperti rengginang. Hasil parutan kemudian diratakan pada alat cetakan untuk selanjutnya siapuntuk dikukus. Pengukusan dilakukan selama 2 menit. Setelah dikukus kemudian rengginang didinginkan,dilepas dari cetakan dan disusun dalam tampah untuk dijemur selama 2 hari.

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

13

Analisa Proksimat Rengginang E. cottonii ubi ungu

proksimat dilakukan untuk mengetahui komponen utama dari suatu bahan. Untuk makanan komponenutama umumnya terdiri dari air, kadar abu, karbohidrat, protein serta lemak. Analisis ini menjadi perlu untukdilakukan karena menyediakan data kandungan utama dari suatu bahan makanan. Faktor lain adalah karenaanalisis proksimat dalam makanan berkenaan dengan kadar gizi dari bahan makanan tersebut. Kadar giziperlu diketahui karena berhubungan dengan kualitas makanan tersebut. Selain itu, analisis proksimat umumnyatidak mahal dan relatif mudah untuk dilakukan (Ensminger, 1994).

Analisis proksimat pada produk rengginang E. cottonii ubi ungu dilakukan dengan parameter kadar protein,kadar abu, kadar air, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Analisa proksimat dilakukan di Laboratorium KeamananHasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Hasil analisa proksimatrengginang E. cottonii ubi ungu dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil proksimat rengginang E. cottonii ubi ungu

*Khalishi, 2011

Kadar protein pada rengginang E. cottonii ubi ungu adalah sekitar 1,75%, kandungan ini lebih rendah daristandar kadar protein rengginang komersial yakni, 8,44%. Kandungan protein yang rendah dari kandunganprotein komersial disebabkan oleh kadar protein bahan baku yang rendah yaitu E. cottoni sebesar 2,29% danubi ungu sebesar 0,51%.

Kadar lemak yang terkandung dalam rengginang E. cottonii ubi ungu yaitu sebesar 0,5 % sedangkankandungan lemak rengginang komersial yaitu sebesar 0,2%. Kandungan lemak yang tinggi dibandingkanproduk komersial bisa jadi disebabkan karena penambahan ubi ungu dan rumput laut E. cottoni. MenurutDjami (2007) kandungan lemak ubi ungu yaitu 0,81%. Sedangkan kandungan lemak pada E. cottoni menurut(SNI, 1992) sebesar 0,58%.

kadar air pada rengginang E. cottonii ubi ungu sebesar 11% sedangkan kadar air pada rumput laut E.cottoni dan ubi ungu sebesar 18,62 % dan 7,28 %. Kadar air rengginang komersial sebesar 9,67 %. Analisakadar abu rengginang E. cottonii sebesar 1,5 % sedangkan pada rumput laut E. cottoni dan ubi ungu adalahsebesar 15,13% dan 5,31%. Rengginang komersial memiliki kadar abu sebesar 1,09% hal ini menunjukkanbahwa kadar air dan kadar abu rengginang E. cottonii ubi ungu telah memenuhi standar.

kadar karbohidrat rengginang E. cottonii ubi ungu sebesar 85,25% sedangkan kadar karbohidrat rengginangkomersil sebesar 80,60%. Tingginya kadar karbohidrat pada rengginang E. cottonii ubi ungu dipengaruhi olehbahan baku E. cottonii dan ubi ungu yaitu sebesar 58,29% dan 87,29% selain itu juga ditambah dengantepung beras yang memiliki komponen pati (karbohidrat) sehingga menambah kadar karbohidrat pada produkregginang E. cottonii ubi ungu.

Perhitungan Umur Simpan

Pada pengujian umur simpan produk rengginang rumput laut ubi ungu dilakukan pada indikator parameterbau. Produk diletakkan pada suhu lemari kayu sekitar 32 oC dalam keadaan terbuka dan dilakukan pengamatan4 hari sekali selama 1 bulan menggunakan metode scoring dengan skor 1 sampai 6. Hasil penilaian parameterbau dapat dilihat pada Tabel 2.

E. cottonii Ubi ungu Rengginang E. cottonii ubi unguRengginang

komersil*Kadar protein 2,29 0,51 1,75 8,44Kadar lemak 0,58 0,81 0,50 0,20Kadar air 18,62 7,28 11,00 9,67Kadar abu 5,31 15,13 1,50 1,09Kadar Karbohidrat 58,29 87,29 85,25 80,60

ParameterKomposisi Gizi (%)

14

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Dari hasil yang didapatkan kemudian dibentuk grafik hubungan antara waktu penyimpanan (hari) danperubahan tekstur rengginang E. cottonii ubi ungu sehingga akan didapatkan masa simpan produk. Sumbu xmenyatakan waktu simpan produk (hari) dan sumbu y menyatakan perubahan bau yang terjadi pada produk(skor). Langkah selanjutnya menentukan regresi linearnya. Dari grafik yang telah dibuat akan dihasilkanpersamaan garis linear. Persamaan garis linear rengginang rumput laut ubi ungu adalah y =-0,0208x+6,1667dengan R2= 0,3333. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan (hari) dan perubahan bau rengginang rumputlaut ubi ungu dapat dilihat pada gambar 1.

Tabel 2. Penilaian parameter bau

(hari ke-) Skor Bau0 6 Tidak bau4 6 Tidak bau8 6 Tidak bau12 6 Tidak bau16 6 Tidak bau20 6 Tidak bau24 6 Tidak bau28 5 Sedikit bau

Ket.Skor 1: Amat sangat bau Skor 4: BauSkor 2: Sangat bau Skor 5: Sedikit bauSkor 3: Cukup bau Skor 6: Tidak bau

Perhitungan umur simpan jika diketahui persamaan: y = -0,0208x+6,1667, dimana x = waktu, a = slope,b = koefisien, Maka:

y = -0,0208x + 6,16674 - 6,1667= -0,0208x-2,1667 = -0,0208x

x =

x = 104,168 atau 104 hari

Berdasarkan perhitungan regresi tersebut diduga bahwa rengginang E. cottonii ubi ungu memiliki masasimpan selama 104 hari dengan suhu lemari 32 oC dalam kondisi lemari tertutup. Perubahan bau pada produkrengginang E. cottonii ubi ungu diduga karena suhu lemari tertutup yang mengakibatkan suhu meningkat danterjadi penguapan bahan-bahan volatil dari bumbu-bumbu rengginang E. cottonii ubi ungu. Sehingga produkmengalami penurunan terutama dalam citarasa.

-2,1667-0,0208

Nila

i

Waktu Penyimpanan (hari)Gambar 1. Grafik hubungan antara waktu penyimpanan dan bau

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

15

Analisa CCP

Critical Control Point/CCP ditetapkan pada setiap tahap proses mulai dari awal produksi suatu makananhingga sampai ke konsumsi. Pada setiap tahap ditetapkan jumlah CCP untuk bahaya mirobiologis, kimia,maupun fisik. Pada beberapa produk pangan, formulasi makanan mempengaruhi tingkat keamanannya, olehkarena itu CCP pada produk semacam ini diperlukan untuk mengontrol beberapa parameter seperti pH,aktivitas air (aw), dan adanya bahan tambahan makanan (Sudarmaji, 2005). Penentuan titik kritis dari tahapanproses dapat dilihat pada tabel 3.

No Tahapan Proses CCP/Bukan CCP- Kontaminasi air- Pertumbuhan mikroba- Kontaminasi peralatan- Kontaminasi pekerja

3 Pengadonan - Kontaminasi pekerja CCP- Kontaminasi peralatan- Kontaminasi pekerja

5 Pencetakan - Kontaminasi peralatan Bukan CCP6 Perebusan - Lama perubusan Bukan CCP7 Pengepakan - Kontaminasi pekerja Bukan CCP

- Kontaminasi mikroba dari lalat

- Kontaminasi debu9 Pengemasan dan pelebelan - Kesalahan pelabelan Bukan CCP10 Penyimpanan - Kontaminasi oleh hewan

pengeratBukan CCP

Bukan CCP

Penjemuran Bukan CCP

Peredaman bahan baku E. cottoni

Penghalusan bahan baku dan bawang Bukan CCP

Bukan CCP

Bahaya Potensial1

2

4

8

Pemarutan

Tabel 3. CCP pengolahan rengginang E.cottonii ubi ungu

Berdasarkan tabel titik kritis diatas yang menjadi CCP adalah pada saat pengadonan. Hal ini diamatiketika saat pengadonan harus sesuai dengan analisa prosedur yang telah ditetapkan. Adonan yang memilikibanyak air maka akan sulit untuk menjadikan rengginang mengembang saat digoreng. Selain itu rengginangyang kelebihan tepung maka akan timbul bercak-bercak putih pada saat pengukusan. Kontaminasi pekerjajuga dapat terjadi pada saat pengadonan. Sehingga pekerja diharuskan untuk melakukan sanitasi pekerjadan sanitasi peralatan.

Analisa Ekonomi

Biaya produksi menurut Hermanto (1991) adalah biaya yang dikeluarkan suatu perusahaan dalam prosesproduksi sampai menjadi produk yang siap dipasarkan. Biaya produksi ini meliputi biaya tetap (fixed cost)dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam suatumasa produksi. Pada awal produksi, biaya tetap yang dikeluarkan adalah Rp. 15.462.000. Biaya tidak tetapadalah biaya yang tidak berubah, besar kecilnya tergantung biaya skala produksi. Biaya variabel pada produksirengginang E. cottonii ubi ungu adalah Rp. 13.295.600. Besarnya biaya penyusutan pada usaha rengginangE. cottonii ubi ungu di UKM Ares sebesar Rp. 152.500. Menurut Widyanto (2010), biaya total merupakanpenjumlahan dari total biaya tetap dan total biaya variabel. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:Dimana:TC = Total Biaya Industri RengginangTFC = Total biaya Tetap Industri RengginangTVC = Total Biaya Variabel Industri RengginangPerhitungan total cost dapat dilihat sebagai berikut:Produksi per hari : 70 bungkusProduksi pertahun : 3.360 bungkus (96 hari kerja)

16

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Total Revenue (TR)TR = Produksi per tahun x harga jual per bungkus

= 5760 x Rp. 15.000= Rp. 50.400.000

Total Cost (TC)TC = FC + TC

= 15.462.000 + 13.295.600= 28.757.600

Keuntungan usaha atau pendapatan bersih adalah besarnya penerimaan setelah dikurangi biaya produksiyang meliputi biaya tetap dan biaya variable (Soekartawi, 1991). Sehingga keuntungan dapat dirumuskansebagai berikut

= TR-TCDimana: = KeuntunganTR = Total revebue (Total Volume penerimaan)TC = Total Cost (total biaya Produksi)Perhitungan keuntungan dapat dilihat sebagai berikut = TR - TC

= 50.400.000 28.757.600= 21.642.400R/C ratio menurut Soekarwati (1991), merupakan perbandingan antara total penerimaan (TR) dan total

biaya (TC). Kelayakan usaha dapat diketahui dengan menggunakan formula Return Cost Ratio (R/C)berdasarkan kriteria sebagai berikut:1. Jika R/C >1 usaha yang dijalankan adalah layak2. Jika R/C < 1 usaha yang dijalankan tidak layak3. Jika R/C = 1 usaha yang dijalankan adalah impas (tidak untung dan tidak rugi).

RC =

TRTC

50.400.00028.757.600

=

= 1.75

Jadi usaha ini R/C rationya menguntungkan karena mempunyai nilai lebih dari 1, maka usaha yang dijalankanadalah layak. Nilai R/C ratio sebesar 1,75 mempunyai arti bahwa setiap biaya produksi yang dikeluarkansebesar Rp. 1.000,00, maka akan diperoleh penerimaan sebesar Rp. 1.750,00.

Analisa Break Even Point (BEP) menurut Hernanto (1991) adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahuibatas usaha yang masih memungkinkan agar tidak mengalami kerugian. Dalam perhitungan menggunakananalisa BEP diperoleh hasil bahwa BEP berdasarkan unit sebesar 1917 bungkus. Secara matematis rumusBEP adalah sebagai berikut:

Perhitungan BEP dapat dilihat sebagai berikut :

BEP unit TCHarga/Bungkus

BEP harga TCTotal Produksi

=

=

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

17

28.757.60015.000

KESIMPULAN

Dari hasil studi yang telah dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Proses pengolahan rengginang E. cottonii ubi ungu meliputi persiapan bahan baku, bahan tambahan,proses

pengolahan dan packaging. Persiapan bahan baku meliputi persiapan rumput laut E. cottonii, persiapanubi ungu, dan persiapan tepung tapioka. Persiapan bahan tambahan meliputi persiapan bumbu sepertibawang putih, merica, garam dan ketumbar. Proses pengolahan meliputi proses perebusan, penghalusan,pengadonan, perataan, pemarutan, pencetakan, perebusan dan penjemuran.

Dari analisa proksimat yang dilakukan di Laboratorium Keamanan Hasil Perikanan diketahui kadar nutrisirengginang E. cottonii ubi ungu yakni: kadar protein sebesar 1,75 %, kadar lemak 0,5 %, kadar air 11 %,kadar abu 1,5 % dan kadar karbohidrat 85,25 %. analisa massa simpan rengginang E. cottonii ubi unguberdasarkan persamaan regresi y = -0,0208x + 6,1667 dengan R2= 0,3333 didapatkan umur simpannyaselama 104 hari.

CCP pada pengolahan rengginang E. cottonii ubi ungu adalah pada proses pengadonan Berdasarkan analisa usaha yang telah diamati didapatkan keuntungan dari usaha rengginang E. cottonii

ubi ungu di UKM Ares sebesar Rp. 28.757.600 per tahun dengan R/C ratio sebesar 1,75 mempunyai artibahwa setiap biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp. 1000,00, maka akan diperoleh penerimaansebesar Rp. 1.750,00.

DAFTAR PUSTAKADahuri, R. (1998). Coastal Zone Management in Indonesia: Issues and Approaches. Journal of Coastal Development,

1(2),97-112.Djami, S. A. (2007). Prospek Pemasaran Tepung Ubi Jalar di Tinjau dari Potensi Permintaan Industri Kecil di

Wilayah Bogor. SKRIPSI. Institut Pertanian Bogor. Bogor.Elta, W. (2017). KKP Naikkan Target Produksi Rumput Laut di tahun 2017. Masyarakat Aquakultur Indonesia. http:/

/aquaculture-mai.org.Ensminger, A. (1994). Foods and Nutritions Encyclopedia. CRC Press, 1(2).Hernanto. (1991). Analisis Laporan Keuangan. Edisi Pertama. YKPN. Yogyakarta.Karminarsih, E. (2007). Pemanfaatan Ekosistem Mangrove bagi Minimasi Dampak Bencana di Wilayah Pesisir.

JMHT., 13,182-187.Khalishi, Z. (2011). Karakteristik dan Formulasi Rengginang Tepung ikan Kembang. SKRIPSI. Program Stui Teknologi

Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor.Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.Nursanto, I. (2004). Pembuatan Minuman Sebagai Usaha diversifikasi Rumput Laut Eucheuma Cottonii. SKRIPSI

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.Badan Standardisasi Nasional (BSN), (1992). SNI. 01-2891-1992. Komposisi Gizi Eucheuma cottonii. Badan

Standart NasionalSoekartawi, (1991). Agrobisnis Teori dan Aplikasinya. Rajawali press: Jakarta.Susanto, A. B., & Muctiany. A. (2002). Strategi Pengembangan Rumput Laut Pada SMK dan Community Collage.

Pros. Seminar Riptek Kelautan Nasional.Widyawnto, P. S. (2010). Evaluasi Aktivitas Antioksidatif Ekstrak Daun Berluntas (Pluchea Indica Less) Berdasarkan

Perbedaan Ruas Daun. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut PertanianBogor. Bogor

BEP unit TCHarga/Bungkus=

BEP unit =

= 1.917,17 atau 1.917 bungkus

BEP harga TCTotal Produksi=

= 28.757.6003.360= Rp. 8.558, 809 atau Rp. 8.600

18

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

19

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG BERAS DAN MINYAK SAWITTERHADAP KARAKTERISTIK FISIK KERUPUK IKAN LELE

(Clarias batracus) PANGGANG

Diah Ikasari* dan Syamdidi

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung beras danminyak sawit terhadap karakteristik fisik kerupuk ikan lele (Clarias batracus) panggang. Perlakuanyang dilakukan yaitu penambahan tepung beras 0, 5 dan 10% dan minyak sawit 0,3 dan 6% padaformulasi adonan kerupuk. Proses pengolahan kerupuk meliputi pencampuran bahan,pembentukan adonan menjadi lenjeran, pengukusan selama 30 menit dan pendinginan padasuhu kamar. Lenjeran kerupuk kemudian diiris tipis dengan ketebalan 2 mm dan dilakukanpenjemuran di bawah sinar matahari hingga kerupuk kering. Kerupuk yang telah kering kemudiandihancurkan hingga menjadi tepung dan dibentuk menjadi kerupuk panggang menggunakanalat pengepres kerupuk pada suhu 220 C selama 20 detik. Parameter yang diamati meliputidaya kembang, tekstur/kerenyahan dan uji sensori yaitu uji hedonik. Hasil penelitian menunjukkanbahwa penambahan tepung beras dan minyak sawit berpengaruh nyata terhadap mutu kerupuklele panggang. Penambahan tepung beras 5% dapat meningkatkan daya kembang sekaligustingkat kekerasan kerupuk panggang, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi nilai tersebutmenurun. Penambahan minyak sawit dengan konsentrasi 3 dan 6% dapat meningkatkan dayakembang kerupuk panggang tanpa mempengaruhi nilai kekerasannya. Uji sensori menunjukkanbahwa penambahan tepung beras dan minyak sawit dapat memperbaiki kenampakan dan tingkatkerenyahan kerupuk panggang. Perlakuan terbaik diperoleh dari penambahan tepung beras 5%dan minyak sawit 3%, dengan nilai uji sensori yang tinggi untuk kenampakan, tingkat kerenyahandan kesukaan serta nilai daya kembang sebesar 396,4%.

Kata kunci : kerupuk lele panggang, tepung beras, minyak sawit

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan IV, Jakarta, Indonesia*email: [email protected]

PENDAHULUAN

Kerupuk merupakan salah satu makanan ringan yang sudah dapat dikonsumsi sebagai pelengkap dalammenu makanan utama. Berdasarkan bahan pengisinya kerupuk dikenal dengan kerupuk ikan, kerupuk tempe,kerupuk singkong, kerupuk sagu dan lain-lain (Djumali & Shalihah, 1982). Kerupuk ikan merupakan salahsatu jenis kerupuk yang disukai oleh masyarakat karena citarasanya yang lebih gurih dan nilai gizinya yangtinggi. Beberapa jenis ikan telah umum digunakan sebagai bahan baku kerupuk ikan, seperti ikan belida, ikangabus, ikan tongkol, ikan kakap, ikan tenggiri, ikan putah dan ikan jambal roti (Wiriano, 1984). Jenis makananini umumnya dihasilkan melalui proses penggorengan menggunakan minyak, sehingga diperoleh produkyang mengembang dan renyah. Kandungan minyak yang tinggi pada kerupuk seringkali menjadi penghalangbagi konsumen untuk mengkonsumsinya karena alasan kesehatan. Hasil analisis laboratorium menunjukkanbahwa kandungan lemak kerupuk yang telah melalui proses penggorengan meningkat dari sekitar 1,40-12,10% menjadi sekitar 14,83-25,33% (b/b) (Koswara, 2009). Dalam upaya untuk mengatasi hal tersebut,saat ini telah dikembangkan kerupuk panggang yang diperoleh tanpa proses penggorengan, namun melaluiproses pengepresan pada suhu tinggi (200 C). Berbagai keunggulan produk kerupuk panggang diantaranyamemiliki tekstur yang lebih renyah, rasa yang lebih disukai konsumen, serta lebih sehat karena tidak memilikikandungan minyak tambahan(Suryaningrum et al., 2013).

Ikan lele (Clarias batracus) merupakan salah satu jenis ikan yang dapat dikembangkan pengolahannyamenjadi kerupuk karena rasa dagingnya yang gurih, nilai gizinya yang tinggi serta mudah dibudidayakan.

mailto:[email protected]

20

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Penelitian mengenai penggunaan daging lumat ikan lele untuk bahan baku kerupuk telah dilakukan olehSuryaningrum et al. (2013), yang menyatakan bahwa bahwa kerupuk yang dihasilkan disukai oleh paneliskarena rasanya yang gurih dan tekstur yang renyah. Namun kerupuk yang dihasilkan masih memiliki dayakembang, kenampakan dan kerenyahan yang masih kurang. Oleh karena itu diperlukan penggunaan bahantambahan lain pada formulasi kerupuk agar dapat menghasilkan kerupuk dengan tingkat mutu yang lebihtinggi, baik dari segi daya kembang, kerenyahan maupun kenampakannya.

Tepung beras memiliki komponen utama berupa pati yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Kandunganamilosa-amilopektin yang berbeda-beda dari pati dapat mempengaruhi tekstur dan sifat pengembangan produkpangan (Munarso, 1998; Winarno, 1981). Penambahan tepung beras pada pengolahan produk pangan yangmelalui proses penggorengan diketahui dapat berpengaruh pada tingkat kerenyahan dan kekerasannya(Supriyadi, 2012). Sementara itu, minyak dan lemak dikenal sebagai zat makanan yang penting bagi tubuhkarena merupakan sumber energi selain karbohidrat dan protein. Minyak yang berasal dari nabati umumnyamengandung asam lemak esensial yang bermanfaat bagi kesehatan selain juga sebagai pelarut vitamin-vitamin A, D, E dan K (Winarno, 1997). Penambahan minyak dan lemak pada proses pengolahan bahanpangan selain dapat memperbaiki tekstur juga dapat meningkatkan cita rasa bahan pangan (Ketaren, 1986).Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik kerupuk lele panggang yang dihasilkan dari pengaruhpenambahan tepung beras dan minyak sawit.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah ikan lele (Clarias batracus) ukuran 300gr. yangdiperoleh dalam keadaan hidup, kemudian dimatikan dengan menggunakan air es bersuhu 0-4 C, difillet dandilumatkan menggunakan penggiling daging. Bahan lain yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalahtepung tapioka, gula, garam, perisa dan baking powder. Sementara itu sebagai bahan tambahan digunakantepung beras dan minyak sawit.

Metode

Formulasi kerupuk panggang menggunakan bahan utama daging lumat ikan lele. Daging lumat ikan leledibuat adonan dengan ditambahkan tepung tapioka 90%, gula 10%, garam 4%, perisa 0,5% dan bakingpowder 1. Sebagai perlakuan ditambahkan tepung beras dengan konsentrasi 0,5 dan 10% dan minyak sawitdengan konsentrasi 0,3 dan 6%. Adonan kerupuk kemudian dibentuk menjadi lenjeran, dikukus selama 30menit dan didinginkan pada suhu kamar selama satu malam. Lenjeran kerupuk kemudian diiris tipis denganketebalan 2mm dan dijemur dibawah sinar matahari hingga kerupuk kering. Kerupuk yang telah keringkemudian dihancurkan hingga menjadi serpihan. Pencetakan kerupuk panggang dilakukan dengan memasukkan14 gram tepung kerupuk ke dalam alat pengepres kerupuk pada suhu 200 C selama 15 detik (Suryaningrumet al., 2013). Pengamatan yang dilakukan meliputi daya kembang dan tingkat kerenyahan kerupuk sertatingkat kesukaan panells terhadap kerupuk melalui uji hedonik. Daya kembang kerupuk diukur denganmembandingkan volume kerupuk sebelum dan setelah pengepresan (Ikasari & Muljanah, 2014). Tingkatkerenyahan kerupuk dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer-TAXT dengan memperhatikan nilaikekerasannya (hardness). Pengamatan parameter diatas dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Data yangdiperoleh dianalisis keragamannya secara statistik menggunakan ANOVA dengan selang kepercayaan 5%dan dilanjutkan dengan uji Tukey jika terdapat perlakuan yang berbeda nyata. Analisis statistik dilakukanmenggunakan program PASW Statistics 18.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor utama dari kerupuk yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen adalah tekstur. Bagianpenting dari tekstur kerupuk adalah tingkat pengembangan dan tingkat kerenyahannya. Kerupuk dengankualitas lebih tinggi umumnya memiliki daya kembang dan tingkat kerenyahan lebih tinggi pula.

Daya Kembang Kerupuk Panggang

Daya kembang kerupuk panggang bervariasi dengan adanya penambahan proporsi tepung beras danminyak sawit, yaitu berkisar antara 250-439,3% (Gambar 1). Kerupuk dengan daya kembang tertinggi diperoleh

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

21

dari perlakuan penambahan tepung beras 5% dan minyak sawit 6% yaitu sebesar 439%, sedangkan kerupukdengan daya kembang terendah diperoleh diperoleh dari perlakuan penambahan tepung beras 5% tanpapenambahan minyak (0%) yaitu sebesar 250%.

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan tepung beras dan minyak sawitberpengaruh nyata terhadap daya kembang kerupuk lele panggang yang dihasilkan (p

22

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Tingkat Kerenyahan Kerupuk Panggang

Faktor lain yang mempengaruhi mutu kerupuk adalah tingkat kerenyahan. Pengukuran tingkat kerenyahankerupuk ditentukan berdasarkan jumlah energi (force) yang dibutuhkan untuk memotong kerupuk. Semakinbesar energy (force) yang dibutuhkan untuk memotong kerupuk menunjukkan tingkat kekerasan yang semakintinggi. Nilai kerenyahan kerupuk diketahui dari nilai kekerasan kerupuk (hardness) yang terukur.

Hasil penelitian tingkat kerenyahan kerupuk lele panggang dengan penambahan tepung beras dan minyaksawit terlihat pada Gambar 2. Rata-rata nilai kekerasan kerupuk lele panggang berkisar antara 1551,7- 6610,7g/cm2. Kerupuk dengan tingkat kerenyahan tertinggi (1551,7 g/cm2) diperoleh dari perlakuan penambahanminyak sawit 3% tanpa penambahan tepung beras, sedangkan kerupuk dengan tingkat kerenyahan terendah(6610,7 g/cm2 ) diperoleh dari perlakuan penambahan minyak sawit 6% tanpa penambahan tepung beras.Namun demikian, hasil analisa statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantaraperlakuan penambahan minyak sawit yang diberikan terhadap tingkat kerenyahan kerupuk lele panggangyang dihasilkan (p>0,05). Sebaliknya, penambahan tepung beras berpengaruh nyata terhadap tingkatkerenyahan kerupuk panggang (p

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

23

nenunjukkan agak suka hingga suka (Gambar 3). Nilai tertinggi diberikan pada perlakuan penambahan tepungberas 5% dan minyak sawit 3% yaitu 6 (suka), sedangkan nilai terendah diberikan pada perlakuan penambahantepung beras 5% tanpa minyak sawit dengan 5,25 (agak suka). Kerupuk dengan perlakuan penambahanminyak sawit lebih disukai panelis karena memiliki tekstur permukaan yang lebih halus dan rapi bila dibandingkandengan kerupuk tanpa penambahan minyak sawit. Namun demikian, penambahan minyak sawit dengankonsentrasi tinggi menghasilkan kerupuk dengan daya kembang yang lebih rendah sehingga mempengaruhipenilaian panelis yang semakin menurun.

Untuk parameter kerenyahan, panelis memberikan nilai rata-rata 4,5-6,63 (netral hingga suka) (Gambar4). Nilai tertinggi diberikan pada perlakuan penambahan minyak sawit 3% tanpa penambahan tepung berasyaitu 6,63 (sangat suka), sedangkan nilai terendah diberikan pada perlakuan penambahan tepung beras 5%dan minyak sawit 6% dengan 4,5 (agak suka). Panelis memberikan nilai yang tinggi terhadap kerupuk denganperlakuan penambahan minyak sawit 3% tanpa penambahan tepung beras karena memiliki tingkat kerenyahanyang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil uji tekstur menggunakan Texture Analyzer yang dimana kerupukdengan perlakuan penambahan minyak sawit 3% tanpa penambahan tepung beras memiliki tingkat kerenyahantertinggi, yang ditunjukkan dengan nilai kekerasan yang rendah, yaitu sebesar 1551,7 g/cm2.

Gambar 3. Hasil uji mutu hedonik terhadap paramter kenampakan kerupuk lele panggang

Gambar 4. Hasil uji mutu hedonik terhadap parameter tingkat kerenyahan kerupuk lele panggang

24

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Secara keseluruhan, tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk lele panggang berkisar antara 5,13-6(agak suka hingga suka) (Gambar 5). Penambahan minyak sawit dengan konsentrasi 3% pada formulasikerupuk panggang cenderung disukai oleh panelis. Hal ini dapat dilihat dari nilai kesukaan yang diberikanyang cenderung lebih tinggi, baik pada kerupuk dengan penambahan 0,5 maupun 10% tepung beras, yaitudengan skor mutu hedonik keseluruhan masing-masing 6,0; 6,0 dan 5,75. Nilai yang tinggi pada uji mutuhedonik secara keseluruhan tersebut selaras dengan hasil yang didapatkan pada uji mutu hedonik terhadapparameter kenampakan dan tingkat kerenyahan, yang menunjukkan bahwa kerupuk dengan penambahanminyak sawit 3% lebih disukai panelis secara kenampakan serta memiliki tingkat kerenyahan yang tinggibila dibandingkan dengan perlakuan yang lain.

KESIMPULAN

Penambahan tepung beras dan minyak sawit berpengaruh nyata terhadap karakterisik fisik kerupuk ikanlele panggang. Penambahan minyak sawit dengan konsentrasi 3 dan 6% dapat meningkatkan daya kembangkerupuk panggang tanpa mempengaruhi nilai kekerasannya. Penambahan tepung beras dengan konsentrasi5% meningkatkan daya kembang sekaligus tingkat kekerasan kerupuk panggang, namun pada konsentrasiyang lebih tinggi nilai tersebut menurun. Kombinasi perlakuan penambahan tepung beras 5% dan minyaksawit 3% merupakan formulasi terbaik berdasarkan uji sensori untuk parameter kenampakan, kerenyahandan kesukaan secara keseluruhan. Penelitian lebih lanjut mengenai optimasi formulasi kerupuk lele panggangmenggunakan bahan baku tambahan lain sangat dibutuhkan untuk menghasilkan kerupuk lele panggangdengan karakteristik yang diinginkan oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Anindita, W. H., Sukardi., & Santosa, R. S. S. (2013). Pengaruh perbandingan tepung tapioka dengan telur asin danlama pengukusan pada pembuatan kerupuk telur terhadap daya pengembangan dan tingkat kerenyahan.Jurnal Ilmiah Peternakan, 1(1),307-313.

Djumali, Z. N., & Shalihah. (1982). Teknologi Kerupuk. Buku Pegangan Petugas lapangan penyebarluasan teknologiPadat Karya IPB, Bogor.

Ikasari. D., & Muljanah I. (2014). Pengaruh penambahanrumput laut dan telur terhadap daya kembang dantingkatkerenyahan kerupuk ikan lele (Clariasbatracus) tanpa goreng. Prosiding Seminar Nasional Perikanan UGMJilid III, pp.303-309.

Istanti, I. (2005). Pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat fisik dan sensori kerupuk ikan sapusapu (Hyposarcuspardalis) yang dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ketaren, S. (1986). Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta, UI-Press.

Gambar 5. Hasil uji mutu hedonik keseluruhan terhadap kerupuk lele panggang

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

25

Koswara, S. (2009). Pengolahan Aneka Kerupuk . Diakses pada tanggal 11 September 2014 dari http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/PENGOLAHAN-ANEKA-K-E-R-U-P-U-K.pdf

Kusumaningrum, I. (2009). Analisa factor daya kembang dan daya serap kerupuk rumput laut pada variasi proporsirumput laut (Euchema cottonii). Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawarman, 4(2),63-68.

Munarso, S. J. (1998). Modifikasi sifat fungsional tepung beras dan aplikasinya dalam pembuatan mi beras instan.Tesis. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nurhayati, A. (2007). Sifat kimia kerupuk goreng yang diberi penambahan tepung daging sapi dan perubahanbilangan TBA selama penyimpanan. Skripsi. IPB. Bogor.

Siswantoro. (2009). Perubahan Volume dan kadar Air Kerupuk Selama Penggorengan Dengan MenggunakanPasir. Makalah Seminar Nasional. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Diakses pada tanggal 05 Juni2014 dari http://sis07w.wordpress.com/2009/03/23/model-matematik-perubahan-volume-dan-kadar-air-kerupuk-goreng-pasir/

Supriyadi, D. (2012). Studi pengaruh rasio amilosa-amilopektin dan kadar air terhadap kerenyahan dan kekerasanmodel produk gorengan. Skripsi. IPB. Bogor.

Suryaningrum, T. D., Peranginangin, R., Irianto, H. E., Muljanah, I., Syamdidi & Octavini, H. (2013). Penelitianpeningkatan nilai tambah dan diversifikasi produk olahan ikan air tawar. Laporan Teknis Penelitian danPengembangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautandan Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Winarno, F. G. (1981). Padi dan Beras. Bogor: PUSBANGTEPA, Institut Pertanian Bogor.Winarno, F. G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.W iriano, H. (1984). Mekanisme teknologi Pembuatan Kerupuk . Jakarta : Departemen Perindustrian, Balai

pengembangan Makanan Phytokimia, Balai Penelitian dan pengembangan Industri.

http://http://sis07w.wordpress.com/2009/03/23/model-matematik-perubahan-volume-dan-k

26

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

27

FOOD FOOTPRINT KONSUMSI MIE INSTAN MASYARAKATKABUPATEN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

Umi Annisah* dan Tuti Wahyuni

ABSTRAK

Perbedaan pola konsumsi manusia mengakibatkan tekanan yang berbeda terhadaplingkungan termasuk penggunaan lahan baik darat maupun laut. Konsumsi pangan manusiahendaknya mempertimbangkan faktor keberlanjutan sehingga dampak buruk yang diakibatkanterhadap sumber daya alam dapat diminimalkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuibesarnya tekanan terhadap lahan baik darat maupun laut yang diakibatkan oleh konsumsi mieinstan oleh masyarakat di Kabupaten Kupang melalui perhitungan food footprint. Nilai food footprintdihitung untuk produk mie rumput laut yang dapat diproduksi secara mandiri dibandingkan denganmie instan kemasan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Kupang. Hasilperhitungan didapatkan bahwa nilai food footprint masyarakat Kabupaten Kupang untuk konsumsimie rumput laut adalah 565,259851698 ha, sedangkan untuk konsumsi mie instan adalah13051,854880085 ha. Hal ini menandakan bahwa konsumsi mie instan lebih memberikan tekananterhadap lahan daripada konsumsi mie rumput laut.

Kata kunci : konsumsi, food footprint, rumput laut, mie

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan IV, Jakarta, Indonesia*email: [email protected]

PENDAHULUAN

Pertumbuhan penduduk selalu diiringi dengan peningkatan jumlah bahan-bahan pemenuhan kebutuhan,sedangkan kualitas sumber daya alam di dunia mengalami penurunan kualitas secara terus menerus. Penurunankualitas ini lebih cepat daripada kemampuan bumi untuk meregenerasi. Saat ini, lebih dari 80% pendudukdunia hidup di negara yang telah mengalami defisit sumber daya alam (lha et al., 2015). Apabila tidakdiwaspadai maka degradasi ini akan semakin cepat dan akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagikehidupan manusia. Segala pemenuhan kebutuhan manusia bersumber dari penggunaan sumber daya alam,demikian pula dampak kegiatan manusia kembali kepada alam. Penggunaan sumber daya alam yangmenyeimbangkan faktor-faktor ekonomi, sosial dan ekologi menjadi penekanan utama dalam kerangka aplikasipembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, perhitungan dampak akibat kegiatan manusia terhadapsumber daya alam menjadi hal yang penting untuk dilakukan dan menjadi salah satu ukuran apakah kegiatanyang dilakukan memperbaiki atau memperburuk kualitas kehidupan (Niccolucci et al., 2012).

Saat ini, konsep pembangunan yang berkelanjutan menjadi fokus utama isu nasional dan global (Pillarisetti& Bergh, 2010). Pertumbuhan penduduk memberikan tekanan terhadap ekosistem dan dapat dikalkulasidengan perhitungan footprint (Krausmann et al., 2009). Pemenuhan kebutuhan pangan manusia memberikontribusi besar pada degradasi lingkungan. Galli et al. (2017) menyatakan bahwa konsumsi makananmemberikan andil yang sangat besar terhadap terjadinya degradasi lingkungan dimana kebutuhan terhadapsumber daya alam dan layanan ekologi telah melebihi kapasitas ekosistem untuk menyediakannya. Perbedaanpola konsumsi manusia mengakibatkan tekanan yang berbeda terhadap lingkungan termasuk penggunaanlahan baik darat maupun laut. Perhitungan luasan lahan yang dibutuhkan untuk menopang kehidupan manusiadapat diperhitungkan menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Weckernagel et al. (2002) bahwa seluruhaktivitas konsumsi sumber daya alam oleh manusia dapat dilacak dan dikonversikan ke dalam luasan lahan.

Kecenderungan pola produksi barang baik pangan maupun non pangan dan konsumsi masyarakat saatini semakin mendegradasi lingkungan (Clay, 2011). Kecenderungan pola konsumsi makanan instan kemasantidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Sarkim et al. (2010) telah melakukan penelitianmengenai pola konsumsi mie instan kemasan oleh masyarakat Kabupaten Kupang. Dari penelitian ini

mailto:[email protected]

28

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

didapatkan frekuensi masyarakat dalam mengkonsumsi mie instan sehari-hari dan merk mie instan yangpaling dominan dikonsumsi, dimana mie instan yang dikonsumsi merupakan produk yang diperoleh dari luardaerah NTT.

Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur merupakan daerah penghasil rumput laut jenis Eucheuma cottoniidengan nilai produktivitas 1,8 ton/km2 (BPS, 2017). Selain dipasarkan dalam bentuk kering, rumput laut diKabupaten Kupang diolah menjadi makanan tradisional seperti manisan dan jelly. Rumput laut Eucheumacottonii dapat diolah menjadi berbagai produk olahan yang selain dapat meningkatkan daya jual juga akanmenopang kebutuhan pangan masyarakat. Rumput laut dapat diolah menjadi mie rumput laut yang dapatmensubstitusi konsumsi mie instan yang selama ini didatangkan dari luar Kabupaten Kupang sehinggadapat menurunkan angka kebutuhan bahan pangan dari luar Kabupaten Kupang. Saat ini, masyarakatKabupaten Kupang mengkonsumsi mie instan pabrikan dari luar Kabupaten NTT padahal sebagai daerahpenghasil rumput laut, Kabupaten Kupang dapat memproduksi mie untuk memenuhi kebutuhan pangan secaramandiri. Penggunaan bahan lokal menurunkan ketergantungan terhadap sumber daya daerah lain. Selain itu,pendeknya jalur distribusi dan transportasi juga akan menurunkan tekanan terhadap lahan akibat bahanbakar kendaraan pengangkut dan dekomposisi cemaran yang ditimbulkan oleh kendaraan dan pabrikpembuatan mie instan pabrikan.

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tekanan lahan akibat pola konsumsi mie oleh masyarakatKabupaten Kupang dengan menghitung kebutuhan lahan yang digunakan untuk memproduksi biomassa(Food Footprint) bahan pembuatan mie. Perhitungan ini didasarkan pada konsep yang dikemukakan olehWeckernagel et al., (2002) mengenai ecological footprint. Perhitungan food foodprint dilakukan untuk duajenis mie yaitu mie instan dan mie rumput laut dengan pola konsumsi sesuai dengan hasil penelitian yangdilakukan oleh Sarkim et al. (2010) di wilayah Kabupaten Kupang. Nilai food footprint yang dihasilkanmenunjukkan luasan lahan yang diperlukan untuk menyokong pola konsumsi mie instan dan mie rumput lautindividu/masyarakat di Kabupaten Kupang. Semakin luas lahan yang dibutuhkan maka tekanan terhadaplingkungan semakin besar karena bila wilayah domisili tidak mampu menyediakan kebutuhan lahan tersebut,maka akan terjadi penggunaan lahan di daerah lain. Pertukaran sumberdaya merupakan sesuatu yang tidakdapat dihindari, akan tetapi menjaga pertukaran ini tidak melebihi daya dukung lingkungan adalah sesuatuyang harus diusahakan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian penghitungan food footprint konsumsi mie instan masyarakat Kabupaten Kupang, Nusa TenggaraTimur ini dilakukan menggunakan data primer dan data sekunder. Subyek yang diambil adalah masyarakatKabupaten Kupang dengan umur 20-24 tahun. Data pola konsumsi didasarkan pada penelitian yang dilakukanoleh Sarkim (2010) mengenai perilaku konsumsi mie instan pada mahasiswa di Kabupaten Kupang, NTT.Pola perilaku konsumsi mie yang dikemukakan oleh Sarkim et al. (2010) diverifikasi dengan data primer yangdidapatkan dari tokoh masyarakat sebagai sumber informasi utama di Kabupaten Kupang, NTT pada BulanSeptember 2017. Pengambilan data pola konsumsi meliputi data frekuensi konsumsi mie instan per individudan jenis (merk) mie instan yang banyak dikonsumsi.

Perhitungan food footprint didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh Weckernagel et al., (2002)mengenai ecological footprint di mana seluruh aktivitas konsumsi sumber daya alam oleh manusia dapatdilacak dan dikonversikan ke dalam luasan lahan. Nilai ecological footprint bahan/produk makanan seringdisebut sebagai nilai food footprint. Perhitungan nilai food footprint mie instan dalam penelitian ini hanyadilakukan pada jumlah lahan yang digunakan untuk memproduksi biomassa bahan alam yang digunakandalam proses pembuatan mie instan, tidak termasuk bahan kimia yang ditambahkan.

Perhitungan nilai food footprint mie instan dilakukan dengan membandingkan jumlah bahan baku pembuatanmie instan untuk konsumsi selama satu tahun (kg) dibandingkan dengan produktivitas bahan baku tersebutdalam satu tahun dengan satuan kg/ha. Konsep perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui nilai food footprintakibat konsumsi mie instan maupun mie rumput laut. Perhitungan food footprint dapat disajikan dalam rumusberikut :

Konsumsi (kg) Food Footprint (Ha) =

Produktivitas (kg/ha)

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

29

Data pola konsumsi mie instan yang didapatkan kemudian digunakan sebagai data dasar perhitunganfood footprint konsumsi mie instan untuk masyarakat Kabupaten Kupang. Hasil penelitian pola konsumsimie instan oleh masyarakat di Kabupaten Kupang (Sarkim et al., 2010) menghasilkan data frekuensi konsumsimie instan per individu dan jenis (merk) mie instan yang paling banyak dikonsumsi. Pola jumlah konsumsimie instan per individu kemudian dikorelasikan dengan data jumlah penduduk di Kabupaten Kupang sesuairentang umur responden sehingga didapatkan pola jumlah konsumsi mie instan untuk masyarakat KabupatenKupang. Jenis mie instan yang dikonsumsi memberikan informasi komposisi bahan alam penyusun produkpangan tersebut. Perhitungan food footprint selanjutnya juga dilakukan untuk produk mie rumput laut denganpola konsumsi yang sama. Hasil dari perhitungan ini dapat diketahui nilai luasan lahan yang digunakan untukmenopang kebutuhan konsumsi mie masyakarat Kabupaten Kupang yang meliputi mie instan produksi pabrikdan mie yang diolah dari rumput laut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur

Kabupaten Kupang memiliki wilayah seluas 5.298,13 km2 dimana seperenamnya berupa daratan. Jumlahpenduduk di Kabupaten Kupang pada tahun 2016 sebanyak 360,228 jiwa dimana sebanyak 62,26% pendudukKabupaten Kupang merupakan tenaga kerja usaha pertanian dan peternakan. Kabupaten Kupang dikenalsebagai daerah penghasil rumput laut dengan luas area budidaya 1.255 Ha dan produksi 1.342.582 ton padatahun 2017 (BPS, 2017). Saat ini rumput laut di Kabupaten Kupang dijual dalam bentuk kering dandiperdagangkan ke pabrik pengolahan rumput laut di Surabaya.

Pola Konsumsi Mie Instan

Pola konsumsi mie instan oleh masyarakat Kabupaten Kupang untuk penelitian ini mengacu pada hasilpenelitian yang dikemukakan oleh Sarkim et al. (2010) mengenai pola konsumsi mie instan denganmenggunakan data jumlah penduduk Kabupaten Kupang pada rentang usia 21-24 tahun yaitu 31.789 jiwa(BPS, 2017). Data pola konsumsi hasil penelitian Sarkim et al. (2010) digunakan sebagai dasar perhitunganfood footprint setelah dilakukan validasi data melalui wawancara dengan tokoh masyarakat di KabupatenKupang pada tahun 2017 dan didapatkan hasil bahwa pola konsumsi mie instan di Kabupaten Kupang tahun2017 sama dengan pola konsumsi pada tahun 2010. Sarkim et al. (2010) melakukan penelitian pola konsumsimasyarakat Kabupaten Kupang yang berusia 21-24 tahun dengan kategori frekuensi konsumsi mie instansebanyak 1, 2, 3-5 kali dan setiap hari dalam satu minggu. Pola konsumsi mie instan masyarakat KabupatenKupang disajikan dalam tabel 1, sedangkan persentase merk dagang mie instan yang dikonsumsi masyarakatKabupaten Kupang tersaji dalam tabel 2.

Tabel 1. Pola Konsumsi Mie Instan Masyarakat Kabupaten Kupang

Sumber : Sarkim et al. (2010)

Frekuensi Konsumsi Persentase *(per minggu) (%)

1 kali 52,7 16,7532 kali 33,79 10,7423-5 kali 12,16 3,866Setiap hari 1,35 429

Jumlah Penduduk Usia 21-24** (jiwa)

Tabel 2. Merk Dagang Mie Instan yang Dikonsumsi Masyarakat Kabupaten Kupang

Merk Mie Instan Persentase (%)Mie sedap 68,92Indomie 27,03Lain-lain 4,05

30

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

Tabel 1 menunjukkan persentase tertinggi konsumsi mie instan adalah 1 kali per minggu. Penelitian inijuga menghasilkan data bahwa merk dagang mie instan yang paling banyak dikonsumsi adalah Indomie danMie Sedap. Merk dagang mie instan memberikan informasi komposisi bahan baku yang digunakan untukmemproduksi mie instan, sedangkan frekuensi konsumsi per minggu digunakan untuk mengetahui jumlahbahan baku yang digunakan untuk konsumsi mie instan. Data frekuensi konsumsi, persentase merk dagangmie instan yang paling banyak dikonsumsi dan jumlah penduduk Kabupaten Kupang yang berusia 21-24tahun merupakan data yang digunakan sebagai dasar perhitungan food footprint mie instan masyarakatKabupaten Kupang.

Food Footprint Mie Instan

Sarkim et al. (2010) menyatakan bahwa merk mie instan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakatKabupaten Kupang adalah Indomie dan Mie Sedap dimana keduanya diproduksi di Pulau Jawa. Gambaranumum mie instan dengan merk dagang Indomie dan Mie Sedap disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Gambaran Umum Mie Instan yang Banyak Dikonsumsi

Uraian Indomie Mie Sedap

Berat mie 85 gram 91 gram

Bahan pembuat mie tepung terigu, minyak nabati, tepung tapioka, garam tepung terigu, minyak sayur, garam

Lokasi pabrik Banten Jawa Timur

Nilai food footprint mie instan yang dikonsumsi oleh masyarakat Kabupaten Kupang dihitung denganterlebih dahulu diketahui jenis dan jumlah bahan alami yang digunakan untuk membuat 1 bungkus mie instan(kg) kemudian dibagi dengan produktivitasnya dalam satu tahun (kg/ha). Food footprint individu mie instanmenurut pola konsumsi masyarakat Kabupaten Kupang disajikan dalam tabel 4.

Tabel 4. Food Footprint (FF) Individu Mie Instan

Frek. Konsumsi FF Mie Instan 1 Tahun(per minggu) Indomie Mie Sedap ( ha)

1 kali 0,181181001 0,049002164 0,2301831652 kali 0,362362003 0,098004327 0,460366333-5 kali 0,724724006 0,196008655 0,920732661Setiap hari 1.268.267.010 0,343015146 1.611.282.156

0,805641078

FF Mie Instan 1 Minggu (ha)

Rata-rata

Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk satu individu, konsumsi Mie Sedap memiliki nilai food footprint yanglebih kecil daripada konsumsi Indomie. Hal ini disebabkan jenis bahan yang digunakan untuk membuat MieSedap lebih sedikit daripada Indomie. Pada Tabel 4 disajikan juga data food footprint konsumsi mie instanselama 1 tahun untuk kedua merk dagang mie instan dengan persentase konsumsi sebagaimana pada padaTabel 2. Data food footprint mie instan yang terlihat dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa konsumsi lahan yangdigunakan untuk menopang pola mengkonsumsi mie instan setiap hari selama satu tahun sebanyak 1,6 haper orang. Kedua merk dagang mie instan ini diproduksi di luar wilayah Kabupaten Kupang sehingga secaratidak langsung masyarakat Kabupaten Kupang menggunakan lahan daerah lain untuk menopang kebutuhankonsumsinya. Data kebutuhan lahan yang digunakan untuk menopang pola konsumsi seperti terlihat dalamTabel 4 tidak memasukkan kebutuhan lahan untuk pabrik, transportasi dan luasan lahan yang digunakanuntuk menyerap cemaran yang dihasilkan dari proses produksi mie instan dan transportasi hingga keduamerk dagang mie instan tersebut sampai ke tangan konsumen di Kabupaten Kupang. Bila keseluruhankebutuhan lahan tersebut dihitung maka nilai footprint akan semakin besar.

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

31

Food Footprint Mie Rumput Laut

Nilai food footprint mie rumput laut diperhitungkan dengan mengetahui terlebih dahulu jenis dan jumlahbahan pembuat mie rumput laut. Bahan pembuat mie rumput laut adalah tepung terigu, tepung tapioka, buburrumput laut dan garam. Tabel 5 menyajikan food footprint individu mie rumput laut menurut pola konsumsimie di Kabupaten Kupang.

Tabel 5. Food Footprint Individu Mie Rumput Laut

Frek. Konsumsi FF Mie Rumput Laut 1 Minggu FF Mie Rumput Laut 1 Tahun (per minggu) (ha) (ha)

1 kali 0,000000115 0,0099689512 kali 0,000162682 0,0199379023-5 kali 0,000001550 0,039875804Setiap hari 0,000027364 0,069782657

0,034891329Rata-rata

Nilai food footprint individu mie rumput laut tertinggi adalah 0,069782657 ha artinya lahan yang dibutuhkanuntuk menopang pola konsumsi mie instan individu yang mengkonsumsi mie rumput laut selama satu tahunadalah 0,069782657 ha. Bila dilihat dari komposisi bahan pembuatan mie rumput laut, maka bahan-bahanyang digunakan merupakan bahan alam yang tersedia di Kabupaten Kupang kecuali tepung terigu. Tepungterigu merupakan bahan makanan yang tidak dapat diproduksi di Indonesia. Dengan demikian, bila masyarakatKabupaten Kupang mengkonsumsi mie rumput laut, maka sebagian besar kebutuhan lahan yang digunakanuntuk menopang kebutuhan konsumsi mie dapat dipenuhi dari wilayah Kabupaten Kupang. Jalur distribusiyang pendek antara lahan produksi rumput laut, produksi dan masyarakat pengkonsumsi mie rumput lautmenghasilkan nilai footprint yang lebih rendah dibandingkan dengan footprint mie instan bila perhitunganfootprint memasukkan luasan lahan akibat transportasi, pabrik dan lahan penyerap cemaran limbah.

Mie rumput laut merupakan salah satu jenis olahan rumput laut Euchema cottonii. Bentuk olahan inimemungkinkan untuk diintroduksikan di wilayah Kabupaten Kupang mengingat daerah ini merupakan daerahpenghasil rumput laut Euchema cottonii. Selama ini rumput laut diperdagangkan dalam bentuk kering untukkepentingan ekspor dan produk olahan makanan tradisional seperti manisan dan jelly. Diversifikasi produkolahan rumput laut tersebut selain dapat meningkatkan nilai ekonomi dapat pula mendukung ketahananpangan lokal. Pembuatan mie rumput laut dapat dilakukan dalam skala rumah tangga menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan di wilayah Kabupaten Kupang yaitu tepung terigu, tepung tapioka, buburrumput laut dan garam. Tabel 6 menunjukkan nilai food footprint apabila seluruh masyarakat KabupatenKupang yang berumur 21-24 tahun mengkonsumsi mie rumput laut dengan sebaran frekuensi sesuai hasilpenelitian yang dilakukan oleh Sarkim et al. (2010).

Tabel 6. Nilai Food Footprint Konsumsi Mie Masyarakat Kabupaten Kupang

Frekuensi Konsumi FF Mie Instan FF Mie Rumput Laut (per minggu) (ha) (ha)

1 kali 3.856.213.220.724 167.007.872.3132 kali 4.945.026.365.398 214.163.036.2603-5 kali 3.559.131.139.582 154.141.611.182Setiap hari 691.484.154.380 29.947.331.942Jumlah 13.051.854.880.085 565.259.851.698Sumber : Hasil Perhitungan (2017)

Dari hasil perhitungan, nilai rata-rata food footprint individu yang mengkonsumsi mie instan sebesar0,805641078 ha (Tabel 4), sedangkan nilai rata-rata food footprint individu yang mengkonsumsi mie rumputlaut 0,034891329 ha (Tabel 5). Nilai food footprint individu yang mengkonsumsi mie instan 23 kali lebih tinggi

32

Prosiding Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan

daripada food footprint individu yang mengkonsumsi mie rumput laut. Dengan demikian tekanan terhadaplahan akibat konsumsi mie instan 23 kali lebih besar daripada individu yang mengkonsumsi mie rumput laut.Bila dibandingkan dengan nilai food footprint per kapita di Portugal (1,5 gha), Malta (1,25 gha) dan Inggris(1,22 gha) (Ghalli et al., 2017) maka food footprint rata-rata akibat konsumsi mie baik mie instan (Tabel 4)maupun mie rumput laut (Tabel 5) di Kabupaten Kupang masih di bawah nilai food footprint tertinggi yangdimiliki negara kawasan Mediterania. Perhitungan ecological footprint secara keseluruhan, Indonesiamenyumbangkan sebanyak 34% dari keseluruhan nilai ecological footprint untuk wilayah ASEAN, kemudianThailand (15%) dan Vietnam (14%) (Iha et al., 2015). Bila faktor-faktor yang menyebabkan tingginya konsumsisumber daya alam di Indonesia tidak segera diupayakan langkah-langkah kebijaksanaannya maka nilaiecological footprint Indonesia akan semakin tinggi yang artinya akan semakin cepat mendegradasi lingkungan.

Perhitungan nilai food footprint mie instan menunjukkan luasan lahan yang dibutuhkan untuk memproduksibiomassa bahan pembuat mie instan maupun mie rumput laut. Perhitungan nilai food footprint mie instan danmie rumput laut berdasarkan pola konsumsi yang dikemukakan oleh Sarkim et al. (2010) menghasilkan nilaifood footprint akibat konsumsi mie oleh seluruh masyarakat Kupang yang berusia 21-24 tahun (Tabel 6).Lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat Kabupaten Kupang dalam satu tahun bila mengkonsumsi mie rumputlaut adalah 565,259851698 ha, sedangkan bila mengkonsumsi mie instan adalah 13051,854880085 ha (Tabel6). Jika dibandingkan dengan Kabupaten Kupang yaitu 5.298,13 km2 (BPS, 2017), maka kebutuhan lahanakibat pola konsumsi mie rumput laut dapat ditopang oleh wilayah Kabupaten Kupang. Wilayah KabupatenKupang tidak bisa menopang kebutuhan pangan masyarakatnya bila memiliki pola konsumsi mie instansehingga mengambil sumber daya dari wilayah lainnya.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS (2017) pengeluaran rata-rata masyarakat Kabupaten Kupanguntuk makanan & minuman siap saji sebesar 12,73% dari total pengeluaran per kapita dalam satu bulan danmerupakan porsi pengeluaran terbesar setelah pengeluaran untuk padi-padian yaitu sebesar 39,44%. Dariprofil ini terlihat bahwa masyarakat Kabupaten Kupang merupakan masyarakat yang konsumtif karenamengalokasikan pengeluaran yang besar untuk menyediakan makanan dan minuman siap saji. Makanandan minuman siap saji yang tersedia di Kabupaten Kupang merupakan produk yang dihasilkan dari daerahlain di Pulau Jawa. Produk-produk ini sampai ke Kabupaten Kupang menggunakan jalur distribusi daratmaupun laut. Banyaknya permintaan konsumsi makanan dan minuman siap saji memperbesar jumlahdistribusi dan pemakaian sumber daya alam dari daerah lain. Selain it