Seminar Bani Buwaihi
Transcript of Seminar Bani Buwaihi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelemahan Para khalifah Abbasiyah yang selalu memberi kesempatan
yang tidak sewajarnya, kepada pihak asing misalnya bangsa Persia, turki termasuk
Bani Buwaihi yang berasal dari Dailam. Adalah penyebab keruntuhan Dinasti
Abbasiyah yang walaupun pada saat berdiriya dinasti-dinasti kecil yang berdiri
diluar wilayah Bagdad Dinasti Abbasiyah masih eksis, terutama pada saat
berdirinya Dinasti Buwaihi dan Dinasti Saljuk. Kekuasaan khalifah Bani Abbas
hanya dijadikan penguasa simbolik (dejure). Dan pengendalian pemerintahan
secara defacto berada ditangan para amir.yaitu Bani Buwaihi.
Pada Masa Al-Manshur – salahs satu khalifah Dinasti Abbasiyah- orang-
orang persia diberi kesempatan untuk menduduki jabatan karena kedekatan secara
emosional salah satunya adalah Khalid bin Barmak ia diangkat menjadi wazir
yang membawahi kepala-kepala Departemen. Bahkan Al-Manshur mengangkat
tentara Persia sebagai pengawalnya. Meskipun demikian, orang-orang Persia
masih saja tidak merasa puas, mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja
dan pegawai dari Persia pula.Hal itu tampak ketika terjadi perang antara al-Amin
dengan al-Ma’mun. Perang tersebut bisa disebut perang antar etnis, yaitu Arab
dan Persia. Al-Amin adalah adalah anak Harun al-Rasyid dari Zubaidah, istrinya
yang keturunan Arab, sedangkan al-Ma’mun adalah putra Harun al-Rasyid dari
Marajil, istrinya yang keturunan Persia. Lebih dari itu al-Amin dalam mengambil
keputusan banyak dipengaruhi oleh Sahal bin Rabi’ dan pembesar kerajaan yang
lain yang didukung oleh orang-orang Arab. Sementara itu Sahal bin Badal yang
merupakan penasihat al-Ma’mun adalah orang Persia, demikian pula dengan
pejabat-pejabat lain yang mayoritas berlatar belakang Persia.dukungan orang
Persia sangat tampak ketika mereka menyebut al-Ma’mun sebagai “anak dari
saudar perempuan kita” atau salah seorang diantara kita.1 Keadaan tersebut segera
berubah ketika al-Mu’tashim saudara al-Ma’mun, naik tahta. Ia
mentransformasikan orang-orang Turki, dari budak menjadi pengawalnya.Hal ini
dilakukan karena ia dilahirkan dari seorang ibu berkebangsaan Turki. Dengan
kekuatan militer yang baru, al-Mu’tashim berharap kedudukan pemerintahnya
semakin kuat. Namun setelah khalifah-khalifah yang kuat meningal dan kemudian
digantikan oleh khalifah-khalifah yang lemah, roda pemerintahan pun
dikendalikan oleh tentara-tentara Turki itu2
Tujuan Khalifah Al-Mu’tashim(833-842) Salah satu Dinasti Abbasiyah ke
– 8, pertama kali mengekspor ribuan orang Turki ke Bagdad tujuannya adalah
untuk melindungi diri dari serbuan bangsa Khurasan – malah menjadi ancaman
besar bagi khalifah yang ternyata menandai awal berakhirnya kekuasaan khalifah.
Dimana orang Turki dengan seenaknya menurunkan dan menaikan para khalifah.
Apalagi ketika kekhalifahan dipimpin oleh al-Mutawakil (847-861) kekhalifahan
Abbasiyah semakin merosot bahkan dikatakan pada saat khalifah al-Mutawakilah
dimulainya periode kemerosotan3
1 Fahsin M. Faal, Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), cet. Ke-1, hal 892 Ibid.3 Philip. K Hitti, The History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu.202) cet. Ke-1, hlm 593
Pada saat seperti itulah Muncul Bani Buwaihi Dimana pada saat khalifah
Al-Mustakfi (944 – 946 M) Dinasti Buwaihi mendapatkan angin segar untuk
memegang peranan penting dalam sebuah kancah peperangan. Gayung bersambut
dari pihak Buwaihi yang memang mereka adalah seorang tentara bayaran.
Disebutkan sebagai tantara bayaran sangat terlihat ketika Tiga saudara Buwaihi
yaitu, Ali, Hasan dan Ahmad pernah membelot pada salah satu peperangan yang
terjadi antara Makan Ibn Kaki Al-Dailami dengan Mardawij. Dimana Ketiga
saudara Buwaihi yang tadinya mendukung Makan Ibn Kaki Al-Dailami membelot
ke pihak Mardawij dengan alasan Makan tidak mampu membayar mereka4.
Kepiawaian Bani Buwaihi mengundang perhatian Al-Mustakfi salah satu
khalifah Dinasti Abasiyah- untuk menyelesaikan konflik internal yang sering
terjadi dikalangan luar maupun dalam istana yang sering terjadi konflik baik itu
antar etnis maupun konflik antar kalangan istana sendiri. Kemungkinan
mengundang Bani Buwaihi disebabkan karena kekurangan dana pada saat dinasti
Abbasiyah untuk membayar militer karena kondisi keuangan yang tidak bisa
menggaji para pasukan setiap bulan akibat dari kemerosotan ekonomi pada saat
itu. Sehingga Al-Mustakfi menggunakan tentara bayaran salah satunya Bani
Buwaihi tetapi akhirnya Bani Buwaihi mampu mengambil simpati Khalifah untuk
memberikan jabatan kepada salah satu Dinasti Buwaihi yaitu Ahmad Ibn Buwaihi
menjadi komandan perang (amir-al-umara) dan berkuasa sekitar 7 tahun (334-356
H/945-967 M) dan diberi gelar Mu’iz al-Dawlat dan ia ternyata lebih berpengaruh
dan khalifah berada di bawah kendali mereka5 bahkan bukan kepada Ahmad saja
4 Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka Islamika.2008), cet. Ke-1, hlm 1695 Ibid.
ternyata kedua saudara Buwaihi yang lain al-Mustakfi juga memberikan
kewenangan untuk menguasai sebagian wilayah Abbasiyah misalnya Ali Ibn
Buwaihi dan Hasan Ibn Buwaihi.
Pada saat pengangkatan para bani Buwaihi keadaan Dinasti Abbasiyah
dalam keadaan kemunduran dan kekacauan dimana dinasti Abbasiyah pada saat
itu dipimpin oleh orang-orang yang kurang memiliki kekuatan berikut adalah para
khalifah Dinasti Abbasiyah Yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi (945-
1055)6.
Al-Mu’tadhid
Al-Muktafi Al-Radhi Al-Muqtadir
Al-Muttaqi
Al-Qodir
(991-1031)
Al-Qahir
Al-Muthi’
(946-974)
Al-Tha-I’
(974-991)
Al-Mustakfi
(944-946)
Al-Qa’im(1031-1075)
Kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh para khalifah tersebut Bani
Buwaihi menguasai keadaan di kekhalifahan Abbasiyah yang akhirnya dapat
menentukan kebijakan-kebijakan dinasti Abbasiyah bahkan mereka menurunkan
dan mengangkat seorang khalifah dari dinasti Abbasiyah.
6 Philip k. Hitti,History Of Arabs, (Jakarta: Serambi
B. Batasan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
1. Munculannya Dinasti Buwaihi dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah
2. Kemajuan Dinasti Buwaihi
3. Kemunduran dan akhir Dinasti Buwaih
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan sejarah secara umum adalah untuk mengetahui peristiwa masa lalu
yang kemudian diadakan proses analisa yang hasilnya selalu ada dua pilihan yaitu
kebaikan dan keburukan. Tentu saja manusia sebagai makhluk yang beradab akan
mengambil sisi yang terbaik sebagai hikmah untuk melanjutkan peradaban yang
lebih mulya.
Begitu pula tujuan pembahasan masalah Dinasti Buwaihi adalah untuk
mengetahui peristiwa perkembangan sejarah pada Dinasti Buwaihi disaat
kekhalifahan Dinasti Abbasiyah masih berdiri, sehingga hal ini menjadi
peringatan bagi kita bahwa adanya Negara dalam Negara suatu hal yang
membahayakan bagi Negara berdaulat. Karena berdirinya Dinasti Buwaihi bisa
dikatakan Negara dalam Negara kekhalifahan Abbasiyah pada waktu itu hanya
sebuah Negara boneka yang kekuatan kenegaraan dipegang oleh Bani Buwaihi.
Walaupun dalam keadaan demikian Dinasti Buwaihi masih bisa membangun
sebuah peradaban yang dicatat oleh Dunia walaupun cyclus of history selalu
berjalan. Selain itu akan dibahas pula faktor-faktor kemajuan yang dicapai oleh
Dinasti Buwaihi juga factor-faktor yang menyebabkan kemundurannya.
II. PEMBAHASAN
A. Munculannya Dinasti Buwaihi dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyyah
Ada beberapa riwayat tentang asal usul Bani Buwaihi diantaranya:
1. Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr
Nursi.
2. Ada yang mengatakan Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat suatu
dinasti di Arab.
3. Buwaihi adalah keturunan raja Persi.
4. Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu
Syuja’ yang hidup di negeri Dailam sebelah barat daya laut Kaspia
yang telah tunduk pada kekuasaan islam pada masa khalifah Umar
Bin Khatab
Para ahli sejarah lebih mempercayai pendapat ke empat hal ini
dibuktikan perkataan Ahmad Bin Buwaihi yang sering melontarkan kata-kata “
Aku pernah menjunjung kayu api di kepala ku” untuk mengenang masa-masa
pahit sebelum menjadi pembesar kala itu.
Abu syuja’ memiliki 3 orang putra yaitu Ali Ibn Buwaihi, Hasan Ibn
Buwaihi dan Ahmad Ibn Buwaihi. Ketiganya oleh ayahnya didik menjadi seorang
tentara dan bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima
terkenal di negeri Dailam. Mereka mendapatkan simpati dari Makan karena
kecakapannya sebagai tentara
Makan Ibn Kali ialah panglima kedua di Dailam sesudah Laila bin An-
Nu’man yang menjadi panglima pertama. Ketika Laila terbunuh sewaktu
memmimpin tentara, Zaidiyah menentang raja Samaniyah. Makan telah
mengambil tempatnya sebagai panglima yang pertama. Tetapi salah seorang
bawahannya bernama Asfar Bin Syiruwaih telah berkhianat dengan dibantu
Mardawij bin Ziyyar. Mereka mendapat kemenangan menentang Makan. Ketika
Asfar terbunuh maka kekuasaan berpindah ke Mardawij dan saudaranya
Wasyamkir. Ketiga saudara Buwaihi ini akhirnya berpihak ke Mardawij, setelah
Makan mengalami kekalahan, Namun mereka terlebih dahulu meminta izin
kepada Makan dengan alasan untuk meringankan beban Makan dalah hal
Finansial, dan akan membantu kembali setelah kekuasaan pulih kembali.
Mardawij pun menyambut keberpihakan ketiga saudara Buwaihi
kepadanya dengan senang hati diberi imbalan kepada mereka wilayah wilayah
kekuasaan. Misalnya Ali diberi kekuasaan memimpin daerah Kurj, Ahmad
dipercayai memimpin daerah Kirman dan Hasan dipercayai memimpin daerah
Asbahan, Rayy, dan Hamazdan.7
7 Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka Islamika. 2008), cet. Ke.I, hal. 169
Ketika Ketiga saudara Buwaihi ini akan memulai perjalanan menuju
wilayah kekuasaannya masing-masing Mardawij merasa menyesal telah
memberikannya kepada mantan tentara Makan ini yang akhirnya Mardawij
memerintahkan kepada saudaranya – Wasyamkir- untuk menahan mereka terlebih
dahulu di Rayy. Tetapi terlambat surat itu terlebih dahulu telah sampai di
Abdullah Al-Amid seorang kepala wazir dan surat itu diberikan Abdullah al –
Amid kepada Ali ibn Buwaihi dan memerintahkan agar secepatnya pergi menuju
Kurj yang kemudian wilayah itu menjadi kekuasannya8.Ketika Mardawij terbunuh
maka Bani Buwaihi semakin kuat, kekuasaan semakin luas yaitu Isfahan, seluruh
Fars, Ray, Jibal, Propinsi Kirman, dan Khuzastan. Dimana Ali menguasai Isfahan
dan Fars, Hasan Menguasai Ray dan Jibal sedangkan Ahmad menguasai wilayah
pantai selatan yaitu Kirman dan Khuzastan
Sementara di Bagdad ketika khalifah al-Mustakfi’ (944-946)
memimpin pada waktu itu sering terjadi konflik internal. Dimana Golongan
mamalik dan amir umara tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik.
Akhirnya al-Mustakfi’ mengundang Ahmad Ibn Buwaihi yang ketika itu masih
menguasai kirman dan Khuzastan untuk diangkat menjadi Komandan Militer
(amir al-umara) (945-967) dan diberi gelar Mu’iz al-Dawlat (orang yang memberi
kemulyaan pada Negara) dan saudaranya Ali Ibn Buwaihi diberi gelar Imad ad-
Dawlat (tiang Negara) dan Hasan Ibn Buwaihi diberi gelar Rukn ad-Dawlat (pilar
Negara)9. Setelah waktu berjalan para khalifah Abbasiyah tunduk kepada Bani
8 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 (Jakarta: Pustaka Alhusan.1993) halm. 3249 Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal-591
Buwaihi, sehingga pada zaman tersebut khalifah tidak memiliki kekuasaan dan
pengaruh lagi seolah-olah para khalifah adalah para pegawai para Amir.
Ketika Ahmad Ibn Buwaihi mengausai Bagdad para pengawal Turki
melarikan diri. Khalifah bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (dejure) dan
pengendalian pemerintahan secara defacto barada ditangan para amir. Tiga
saudara ini memilki daerah kekuasaan masing-masing pada saat al-Mustakfi
berkuasa. Ahmad ibn Buwaihi menguasai Bagdad, Ali Ibn Buwaihi Berkuasa di
Fars, dan Hasan Ibn Buwaihi berkuas di Jibal, Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti kekuatan politik dan sumber-sumber material
para khalifah mereka menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus
alat untuk mencapai ambisi mereka. Keunikan Dinasti Buwaihi adalah mereka
tidak menghapus sistim kekhalifahan Ababasiyah, salah satu alasannya adalah
mereka khawatir akan mendapatkan penentangan dan perlawanan dari para amir
yang masih mengakui khalifah Bani Abbasiyah10. Para penguasa Buwaihi tidak
lain sebatas gubernur, bukan khalifah, Dimana wilayah kekuasaan Dinasti
Buwaihi memang lebih menyerupai sebuah federasi ketimbang kerajaan. Unit –
unit kekuasaan lebih dipusatkan di kota-kota besar, seperti kekuasaan di Parsi
dupusatkan dikota Syiraz dan Isfahan, Kekuasaan di Rayy dipusatkan di kota Al-
Jibal dan di Irak dipusatkan di kota Bagdad, Bashrah dan Mosul.
Sekalipun tidak menghapus khilafah, buwaihi yang beraliran syi’ah
selalu mengkampanyekan symbol-simbol Ahlul Bait, suatu tanda bahwa pengaruh
Buwaihi begitu kuat dalam kekhalifahan Abbasiyah, simbol-simbol Syi’ah sama
10 Hasan Ibrahim Hasan , Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang,1997) hal 205.
sekali tidak ada niat dari khalifah yang Suni untuk memberangus aliran Syi’ah
tersebut. Gerakan – gerakan syi’ah itu berupa; pertama Buwaihi menginstruksikan
kepada pengelola-pengelola mesjid agar menuliskan kalimat berikut: “ Allah
melaknat Mu’awiyah Ibn Abi Supiyan yang merampas hak Fatimah ra., yang
melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan dengan makam kakeknya
SAW11, dan kedua Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syi’ah dijadikan
perayaan resmi Negara, seperti perayaan 10 Muharam untuk memperingati kasus
Karbala, dan peringatan 12 Dzulhijjah sebagai Yawm al-Ghadir yang dalam
keyakinan kaum Syi’ah, Nabi SAW mewasiatkan kepada Ali Bin Abi Thalib
sebagai penguasa duniawi dan agama sepeninggal beliau12.
Pada suatu saat Ahmad Ibn Buwaihi mendengar desas-sesus bahwa al-
Mustakfi akan memecatnya dari jabatan amir al-umara. Dengan Segera Ahmad
Ibn Buwaihi bersama dua pegawainya yang berasal dari Dailam datang kepada
khalifah, lalu Ibnu Buwahi sujud dan mencium tangan khalifah, tidak lama
kemudian dua pengawal tadi datang menuju khalifah menurut dugaan al-Mustakfi
dua pengawal itu akan melakukan hal yang sama seperti tuannya. Ternyata kedua
pengawal tadi malah menyeretnya sambil mencekik leher khalifah dan
menyerahkannya kepada Ahmad Buwaihi. Kemudian al-Mustakfi dipenjarakan
dan diconkel matanya dan ia meninggal di dalam penjara. Kemudian Ahmad Ibn
11 M. Syalabi dalam prof.Dr. Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 170
12 KH. Sirajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah Waljama’ah,(Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1979), cet.ke-1, Hal.117
Buwaihi mengangkat Abu al-Qosim al-Fadhl Ibn al-Muqtadirsebagai khalifah
dengan gelar al-Mu’thi (946-974)13.
Selama abad atau masa-masa kejayaan mereka (945-1055), Dinasti
buwaihi menaikan dan menurunkan khalifah sekehendak hatinya, Irak sebagai
sebuah provinsi diperintah dari ibukota Buwaihi, yaitu Syiraz di Fars. Bagdad
bukan lagi sebagai pusat dunia muslim, karena keunggulan internasionalnya kini
ditandingi bukan saja oleh Syiraz, tapi juga oleh Ghaznaz, Kairo dan Kordova14.
Ahmad Buwaihi meninggal karena sakit (356 H) dan digantikan oleh
anaknya, Bakhtiar (356 – 367 H/ 967 – 978 M) dengan gelar Izz al-Dawlat.
Berikut adalah beberapa amirul umara periode Bani Buwaihi yang memerintah di
Bagdad yaitu :
a. Mui’iz ad-Dawlat (945 M)
b. Izz ad-Dawlat (967 M)
c. Adud ad-Dawlat (978 M)
d. Samsan ad-Dawlat (983 M)
e. Sharaf ad-Dawlat (987 M)
f. Baha ad-Dawlat (989 M)
g. Sulthan ad-Dawlat (1012 M)
h. Musharif ad-Dawlat (1020 M)
i. Jajal ad-Dawlat (1025 M)
j. Imadudin Abu Kalijar (1044 M)
13 Muhhamad Jamal al-Din Surur dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171
14 Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal-591
k. Al-Malik ar-Rahim (1044-1055)
Tindakan Mu’iz ad-Dawlat menurunkan al-Mustakfi dikarenakan
pemikiran Mu’iz dengan al-Mustakfi sudah tdak sejalan lebih dari itu Mu’iz ada
keinginan lebih menguasai pemerintahan. Sepeninggal ahmad Buwaihi
pengantinya Bakhtiar berselisih deng al- Mu’thi karena khalifah tidak
mengizinkan penggunaan dana Negara untuk melwan pasukan Romawi. Akan
tetapi, ia terus memaksa khalifah sehingga khalifah terdesak sehingga terpaksa
khalifah menjual Qumashnya(?) seharga 4 ribu dirham dan direbut oleh Bahtiar
untuk biaya perang. Khalifah al-Mu’thi meninggal dan diganti oleh al-Tha’i.
Pengganti Bakhtiar adalah Adud ad-Dawlat (367-372 H). Pada masa Kalifah al-
Tha’I Adud memperlakukan khalifah dengan baik, dimana Adud ad-dawlat
menikahkan putrinya sendiri dengan khalifah al-Tha’I sedangkan putri khalifah
dinikah oleh Adud denga cara itu dia berharap memilki keturunan yang akan
meneruskan kekuasaannya15. Pada masa Adud ad-dawlat lah kemajuan –
kemajuan dapat dicapai.
B. Kemajuan Buwaihi
Kemajuan – kemajuan Buwaihi ditandai dengan
1. Pembangunan rumah sakit Bimaristan al-Adhudi yang memiliki24
tenaga medis dan rumah sakit ini dijadikan pusat studi kedokteran.
Rumah Sakit ini didirikan pada tahun 978 M.Pembangunan rumah
sakit tersebut menelan biaya 100.000 dinar15 Ibid. Hal.600
2. Pembangunan Sekolah-sekolah di Syiraz, |Rayy, dan Isfahan
3. Pembangunan Observatorium di Bagdad
4. Gerakan penterjemahan
Pada saat Adud memimpin menetapkan 2 cara pemilihan menteri-menteri
yaitu: pertama kemampuan manajerial, kedua kemampuan retorika oleh karena
wajar bila pada saat itu menteri-menteri pandai dalam sastra.Pada masa itulah
muncul sejumlah pakar yang hingga kini masih ada diantaranya
a. Ibnu Sina : Filosof dan pernah menjadi hakim pada Dinasti Buwaihi
b. Ibn Maskawih, pakar sejarah dan kemudian menjadi filosof dengan
karyanya yang sangat terkenal Hayy Ibn Yaqjan
c. Istakhri ; ahli ilmu bumi
d. Nasarwi ; pakar matematika yang memperkenalkan angka india
sehingga matematika berkembang pesat
e. Al-Kharizmi; ahi matematika bidang al-jabar
f. Ibn Haistam (al-Hazen 1039) pemilik teori cahaya yang lebih
sempurna dibanding teori cahaya sebelumnya yang dibangun oleh
Euclid dan Ptolemius16
g. Para Penyair seperti al-Muntanabbi, Abu Ali al-farisi yang mereka
membuat karya-karya yang dipersembahkan untuk Adud
16 Ibn Atsir dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171
Dalam menciptakan perdamaian Adud bekerja sama dengan seorang wazir
Kristen yang cukup terampil, Nashr Ibn Harun, - yang atas otoritasnya dari
khalifah –mendirikan dan memperbaiki sejumlah gereja dan biara17.
Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam
memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa decade sebelumnya
mengalami kehancuran, setelah perekonomian pulih Adud melakukan perbaikan-
perbaikan seperti perbaikan irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan
pemiliknya. Staf-staf Negara mengumpulkan pendapatan Negara dari daerah-
daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi pada Negara
secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut distribusi
Iqtha’ yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan
pengeluaran atas pendapatan Negara dan pada dasarnya hak tanah Iqtha’ hanya
diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer dan hanya berlaku sebatas
kehidupan orang yang sedang menjabat18.Dibawah kendali Adud pulalah dia
berhasil mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil yang sudah muncul sejak
sejak periode kekuasan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu
Negara yang besarnya menyerupai Imperium19.
Teladan yang diperlihatkan Adud ad-Dauwlat diperlihatkan oleh putranya
Syaraf ad-Dawlat (983-989) yaitu dengan membangun Observatorium terkenal
putra Adud yang lain yaitu Baha ad-Dawlat (989-1012) menjatuhkan khalifah al-
Tha’I karena merasa iri melihat khalifah memilki kekayaan yang sangat luar
biasa. Disamping itu al-Tha’I memiliki seorang wazir cerdas berkebangsaan
17 Miskawayh dalam Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.60018 Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ( Jakarta : PT Rja Graphindi, 1985) hal. 23119 Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.599
Persia yakni Sabur Ibn Ardsyir yang mampu membangun sebuah perpustakaan
lengkap yang menyimpan 10.000 buku. Dalam pada itu Dinasti Buwaihi menuju
kehancuran yang disebabkan pertikaian kalangan keluarga yaitu, Baha, Syaraf dan
saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan
penentuan penerus mereka20.
C. Kemunduran dan Akhir Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi Sepeninggal Mu’iz ad-Dawlat dilanda konflik,
diantaranya adalah :
1. Konflik internal dimana perebutan kekuasan didalam tubuh dinasti
Buwaihi menyebkan kemunduran misalnya perebutan kekuasaan antara
Baha, Syaraf, dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang
memperebutkan penerus mereka selanjutnya. Konsep Diansti yang
sebelumnya adalah ikatan kekeluargaan antar keluarga menjadi hancur
2. Pertentangan aliran-aliran keagaamaan. Sebagaimana diketahui bahwa
Dinasti Buwaihi penyebar mazhab Syi’ah yang bersmangat sedangkan
rakyat Bagdad kebanyakan beraliran Suni, pada periode awal pertentangan
Sy’ai dan Suni tidak begitu Nampak. Hal ini disebabkan sewaktu
kekhalihan Abbasiyah pimpinan Al-qodir (991-1031) memimpin
20 Ibn al-Atsir dalam Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.601
peperangan antar syi’ah dan suni ia menggemborkan Hanbalisme sebagai
mazhab resmi negara21
3. Bizantium yang mulai melakukan serangan-serangan kembali ke dunia
islam.
4. Dinasti-dinasti kecil luar bagdad yang mulai memanfaatkan situasi dengan
melepaskan diri dari kekuasaan Bagdad dan menaklukan wilayah lain
seperti Fatimiah di Kairawan menaklukan Mesir dan Sudan. Fatimiah yang
diundang Arselan Basasiri - panglima perang pada masa pimpinan Malik
Abd al-Rahim sebagai amir al- umara dan khalifahnya yaitu al-Qa’im –
untuk menyerang dan menguasai Bagdad . Dari kejadian inilah bermula
dimana al-Qa’im akhirnya mengundang Tugril Bek (salah satu Bani Saljuk
dari Turki yang berkuasa di Jibal) untuk datang melawan kekuasaan
Fatimiah.
Malik Abd al-Rahim waktu sebagai dinasti terakhir dari Bani Buwaihi
menderita kekalahan atas Tugril Bek. Malik Abd al-Rahim (1048 – 1055)
akhirnya dipenjara dan mengakhiri hidupnya dalam kurungan. Selanjutnya Dinasti
Buwaihi berkahir dan Tugril Bek salah satu keturunan Bani Saljuk bekerja sama
dengan Khalifah Dinasti Bani Abbas22.
III. Penutup
21 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, hal. 20422W. Montgomery watt dalamProf. Dr Jaih Mubarok M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Ilmu,2008), cet. Ke-1, hal 174
Bani Buwaihi yang awal kehidupannya miskin dan tinggal di sebuah
pesisir Laut Kaspia menjadi sebuah klan yang mampu menguasai sebuah
kekhalifahan besar dunia. Hal ini pada mulanya adalah system pemerintahan yang
dilaksankan oleh bani Buwaihi atas dasar kekeluargaan yang akhirnya mencapai
sebuah peradaban yang dianggap cukup maju, selain itu ada segelintir amir al-
umara yang sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan yang akhirnya pada masa ini
- Adud ad-Dawlat – berkuasa mencapai klimaknya. Para sejarawan berpendapat
apabila membangun sebuah Negara yang diiringi dengan pembangunan kultur
masyarakat maka dipastikan Negara itu akan dapat mencapai peradaban yang
tinggi. Dibuktikan oleh Dinasti Buwaihi Pembangunan Fisik diiringi juga dengan
pendirian mesjid, sekolah, sarana ilmu pengetahuan; perpustakaan, observatorium
yang memang pada saat itu kultur masyarakatnya sedang membutuhkan dan
bergeliat dalam hal tersebut.
Kehancuran sebuah Negara bukan diawali oleh bangsa lain tetapi
kehancuran itu sebenarnya dilakukan oleh dirinya sendiri; itulah ungkapan yang
mungkin dapat menjelaskan keruntuhan Dinasti Buwaihi. Percekcokan dikalangan
amir al-umara sendirilah yang memulainya kehancuran dimana pertiakaian Baha,
Syaraf dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang
mempermasalahkan penentuan penerus mereka. Sehingga Dinasti tersebut mulai
melemah dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melepaskan diri dan berusaha
untuk menggulingkan kepemimpinan mereka, misalnya kedatangan Bani Saljuk
atas undangan khalifah yang ternyata mengakhiri kekuasaan dinasti Buwaihi
dalam kekhalifahan Abbasiyah.
Daftar Pustaka
1. Fahsin M. Faal, Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), cet. Ke-1, hal 89
2. Ibid.3. Philip. K Hitti, The History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu.202) cet.
Ke-1, hlm 5934. Fahsin M. Faal, Sejarah Kekuasaan Islam, (Jakarta: CV Artha Rivera,
2008), cet. Ke-1, hal 895. Ibid.6. Philip. K Hitti, The History of Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu.202) cet.
Ke-1, hlm 5937. Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung:
Pustaka Islamika.2008), cet. Ke-1, hlm 1698. Prof. Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung:
Pustaka Islamika. 2008), cet. Ke.I, hal. 1699. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3 (Jakarta: Pustaka
Alhusan.1993) halm. 32410. Hasan Ibrahim Hasan , Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta:
Kota Kembang,1997) hal 205.11. M. Syalabi dalam prof.Dr. Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,
(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 17012. KH. Sirajudin Abbas, I’tiqod Ahlus Sunnah Waljama’ah,(Jakarta:
Pustaka Tarbiyah,1979), cet.ke-1, Hal.11713. Muhhamad Jamal al-Din Surur dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 17114. Ibn Atsir dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban
Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 17115. W. Montgomery watt dalamProf. Dr Jaih Mubarok M.Ag, Sejarah
Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Ilmu,2008), cet. Ke-1, hal 174