SELEKSI IN VITRO, DIAWALI PADA MEDIA POLIETILENA … · dalam media selektif,dan kultivar kacang...
Transcript of SELEKSI IN VITRO, DIAWALI PADA MEDIA POLIETILENA … · dalam media selektif,dan kultivar kacang...
17
DIAGRAM ALIR PERCOBAAN BAGIAN I :
(Seleksi in vitro, diawali pada media selektif polietilena glikol = PEG)
Seleksi I dlm PEG Proliferasi ES pd media MS -P16 Seleksi I filtrat kultur Regenerasi planlet Seleksi II dlm PEG Regenerasi planlet Regenerasi tanaman Regenerasi planlet Regenerasi tanaman Regenerasi tanaman Keterangan : = ES insensitif Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diuji responsnya pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30% = Planlet yang berasal dr ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diuji responsnya pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30% = Tanaman akhir hasil seleksi ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diamati tipe & macam variasi somaklonal, diuji responsnya pada cekaman larutan PEG 15% dan cekaman kekeringan
ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I)
ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I) 50 clump
ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I)
ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I) 50 clump
ES INSENSITIF PEG & Filtrat kultur , seleksi
ganda (PFi-I)
Planlet dari ES PFi-I
ES INSENSITIF PEG Siklus II (Pi-II)
Planlet dari ES Pi-II
Planlet dr ES Pi-I
Kalus ES (50 clump)
Tanaman dari ES PFi-I Generasi R0, R1, & R2
Tanaman dari ES Pi-I, Generasi R0, R1, & R2
Tanaman dari ES Pi-II, Generasi R0, R1 & R2
SELEKSI BERULANG DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH YANG INSENSITIF
POLIETILENA GLIKOL DAN FILTRAT KULTUR Sclerotium rolfsii
Abstrak
Percobaan dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas seleksi berulang dalam media polieilena glikol (PEG) untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya embrio somatik (ES) kacang tanah yang insensitif PEG serta seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur S. rolfsii untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES yang insensitif sekaligus pada media PEG dan filtrat kultur. Regenerasi planlet R0 dan evaluasi respons setek pucuk planlet R0 terhadap PEG atau filtrat kultur juga dilakukan untuk menentukan keberhasilan mendapatkan tanaman varian. Embrio somatik diseleksi selama satu, dua siklus dalam PEG, dan satu siklus dalam PEG dan satu siklus dalam filtrat kultur (3 bulan per siklus seleksi). Selanjutnya, ES yang insensitif terhadap kondisi cekaman diproliferasi dan dikecambahkan menjadi tanaman R0. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ES dan tunas R0 cv. Singa dan Kelinci yang diseleksi dua siklus dalam media PEG lebih insensitif terhadap PEG. Sebaliknya, ES dan tunas R0 cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi ganda lebih insensitif terhadap filtrat kultur.
Kata kunci : seleksi berulang, embrio somatik, PEG, S. rolfsii
19
REPEAT CYCLING SELECTION AND IDENTIFICATION OF POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) AND Sclerotium rolfsii
CULTURE FILTRATE INSENSITIVE SOMATIC EMBRYOS OF PEANUT
Abstrak
The objectives of this experiment were to evaluate effectiveness of repeat cycling and double in vitro selection to increase frequency of obtaining PEG and S. rolfsii culture filtrate insensitive somatic embryos (SE) of peanut. Regeneration of the R0 plants and their evaluation against PEG and culture filtrate were conducted to determine the success of identifying tolerance variants. Peanut SE was subjected to one, two cycles of PEG selection, and one cycle of PEG and culture filtrate selection (3 months per cycle). The identified insensitive SE was proliferated and regenerated into R0 shoots and plantlets. Results of the experiments showed after two cycles of in vitro selection, PEG insensitive SE and its R0 shoots of peanut cv. Kelinci and Singa were more tolerance against stress due to PEG. While ones identified from double selection were more tolerance to culture filtrate. Key words : repeat cycling selection, somatic embryos, PEG, S. rolfsii
20
Pendahuluan
Peningkatan keragaman genetik yang merupakan komponen penting
dalam program pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,
yaitu hibridisasi, introduksi plasma nutfah, mutagenesis, dan induksi variasi
somaklonal dalam kultur in vitro (Neal et al. 1993). Induksi variasi somaklonal
yang diikuti dengan seleksi in vitro dilaporkan efektif untuk mengidentifikasi
varian tanaman dengan sifat unggul, seperti toleran cekaman kekeringan pada
kacang tanah dan kedelai (Rahayu et al. 2005; Widoretno et al. 2003a), resisten
terhadap S. rolfsii pada kacang tanah (Yusnita et al. 2005) dan resisten terhadap
Septoria glycines pada kedelai (Song et al. 1994).
Efektivitas seleksi in vitro ditentukan dengan keberhasilan menghambat
pertumbuhan sel/jaringan normal yang tidak diinginkan dan memproliferasikan
sel/jaringan varian yang diinginkan menggunakan agens penyeleksi (selective
agents) tertentu. Seleksi in vitro dengan menggunakan media selektif polietilena
glikol (PEG) telah dilakukan untuk mengembangkan galur yang toleran cekaman
kekeringan (Rahayu et al. 2005; Widoretno et al. 2003a) dan dengan filtrat kultur
S. rolfsii untuk mendapatkan kacang tanah resisten terhadap infeksi S. rolfsii
(Yusnita et al. 2005). Dalam penelitian tersebut, seleksi in vitro hanya dilakukan
terhadap embrio somatik (ES) selama satu siklus seleksi (tiga bulan per siklus
seleksi). Sebagian besar tanaman kedelai hasil seleksi in vitro dengan PEG atau
kacang tanah dengan filtrat kultur S. rolfsii masih peka terhadap cekaman
kekeringan atau rentan terhadap infeksi S. rolfsii (Widoretno et al. 2003b; Yusnita
et al. 2005). Diduga periode seleksi atau kondisi selektif yang digunakan belum
cukup efektif untuk menghambat sel/jaringan normal dan memproliferasi
sel/jaringan varian.
Penggunaan seleksi in vitro berulang (repeat cycling-in vitro selection)
selama beberapa siklus seleksi diharapkan dapat mengatasi tingginya kesalahan
identifikasi. Sel/jaringan normal yang lolos dari siklus seleksi sebelumnya dapat
dihambat perkembangannya dalam siklus seleksi berikutnya. Selain itu, dengan
melakukan seleksi ganda dalam media dengan penambahan PEG diikuti dengan
yang mengandung filtrat kultur diharapkan diperoleh ES kacang tanah yang
21
toleran cekaman PEG dan filtrat kultur. Dalam seleksi ganda, sel/jaringan
pertama-tama diseleksi dalam media dengan penambahan PEG. Kalus embriogen
dan ES yang insensitif PEG selanjutnya diseleksi dalam media dengan
penambahan filtrat kultur untuk mendapatkan varian sel/jaringan yang insensitif
cekaman PEG dan filtrat kultur. Sel/jaringan varian hasil seleksi ganda tersebut
diharapkan mempunyai sifat toleran terhadap cekaman kekeringan dan resisten
terhadap infeksi S. rolsii.
Efektivitas seleksi berulang dan seleksi ganda untuk mendapatkan ES
varian tersebut perlu dievaluasi. Menentukan pengaruh seleksi berulang dan
seleksi ganda terhadap keberhasilan mengisolasi ES yang insensitif PEG atau
filtrat kultur merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Percobaan
dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas seleksi berulang dalam media dengan
PEG untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES kacang tanah yang
insensitif cekaman PEG serta seleksi ganda dalam media dengan PEG dan dengan
filtrat kultur untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES kacang tanah yang
insensitif sekaligus pada cekaman PEG dan filtrat kultur. Regenerasi tanaman
kacang tanah R0 dari hasil seleksi dan evaluasi respons tunas R0 terhadap
cekaman PEG atau filtrat kultur S. rolfsii juga dilakukan untuk menentukan
tingkat keberhasilan mendapatkan tanaman varian dari ES kacang tanah hasil
seleksi berulang dan seleksi ganda.
Bahan dan Metode
Induksi ES Kacang Tanah
Dalam penelitian ini digunakan kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang
telah diuji ketahanannya terhadap S. rolfsii dan cekaman PEG (Yusnita &
Sudarsono 2004; Rahayu et al. 2005). Kalus embrio somatik (ES) diinisiasi dari
eksplan daun embrio biji kacang tanah yang sudah tua. Biji kacang tanah
disterilisasi dengan perendaman dalam larutan NaOCl (clorox) 0.5% selama dua
menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Daun embrio secara
hati-hati dipisahkan dari poros embrio dan ditanam dalam media untuk
menginduksi ES primer. Induksi ES kacang tanah dilakukan dalam media MS
22
(Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan pikloram 16 µM (media MS-
P16), campuran vitamin dan asam amino (glisin, tiamin, piridoksin, dan niasin)
0.1 mg/l, sukrosa 2%, dan agar 8 g/l (Sulichantini 1998; Edy 1998). Kalus
embriogen dan ES yang didapat diproliferasikan dalam media MS-P16 secara
terus-menerus dan selama periode proliferasi diinkubasikan dalam kondisi gelap.
Setiap bulan sekali eksplan yang ditanam dipindahkan ke media regenerasi yang
masih segar. Sub kultur eksplan dilakukan terus menerus sampai terbentuknya ES
primer. Untuk menginduksi pembentukan ES sekunder, eksplan ES primer
disubkultur lebih lanjut dan terus menerus dalam media MS-P16. Kultur kalus
embriogen dan ES sekunder yang telah berumur enam bulan digunakan dalam
percobaan seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda.
Seleksi Berulang dalam Media Selektif dengan Penambahan PEG
Ke dalam botol kultur dengan volume 150 ml dituangkan media MS-P16
cair dengan penambahan PEG 15% (media selektif) sebanyak 25 ml. Di atas
permukaan media cair diambangkan busa sintetik dan satu lembar kertas saring
untuk mencegah agar eksplan kalus embriogen dan ES yang ditanam tidak
tenggelam. Konsentrasi PEG 15% yang ditambahkan merupakan konsentrasi sub-
letal (Rahayu et al. 2005) yang menghambat proliferasi ES kacang tanah = 95%
dibandingkan proliferasi dalam media tanpa PEG (PEG 0%). Media selektif
disterilkan dengan suhu hingga 121oC pada tekanan 17.5 psi selama 20 menit.
Dalam siklus I seleksi berulang, sebanyak 5 kalus embriogen masing-
masing dengan 8-10 ES ditanam dalam setiap botol kultur dan diinkubasikan
dalam ruangan bersuhu 26oC dalam kondisi gelap. Total kalus embriogen dan ES
yang dievaluasi dalam siklus I sebanyak minimal 500 kalus embriogen atau 4000
ES. Embrio somatik di sub-kultur dua kali ke dalam media selektif yang masih
segar selama periode tiga bulan. Biomasa kalus embriogen dan ES yang berhasil
tumbuh serta berkembang dalam media selektif setelah tiga bulan periode seleksi
diperbanyak dalam media MS-P16 tanpa PEG dan selanjutnya disebut sebagai ES
yang insensitif PEG hasil seleksi siklus I (Pi-I). Setelah didapatkan cukup banyak
biomasa kalus embriogen dari ES Pi-I, sebagian digunakan untuk mengevaluasi
respons kalus embriogen terhadap cekaman PEG dan filtrat kultur dalam
23
percobaan berikutnya dan untuk percobaan seleksi ganda dalam media yang
mengandung filtrat kultur. Sebagian ES Pi-I yang ada dikecambahkan untuk
membentuk planlet Pi-I.
Sebagian ES Pi-I yang tersisa digunakan sebagai eksplan dalam siklus II
seleksi berulang selama tiga bulan, menggunakan media selektif MS-P16 dengan
penambahan PEG 15%. Kalus embriogen dan ES yang mampu bertahan hidup
dari siklus II seleksi berulang diproliferasi dalam media MS-P16 tanpa PEG untuk
meningkatkan biomasanya dan selanjutnya disebut sebagai ES yang PEG
insensitif hasil seleksi siklus II (Pi-II). Setelah proliferasi, ES Pi-II yang didapat
sebagian digunakan untuk evaluasi respons ES Pi-II terhadap cekaman PEG dan
filtrat kultur dalam percobaan berikut dan sebagian yang lain dikecambahkan
untuk mendapatkan planlet Pi-II.
Seleksi Ganda dalam Media dengan PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii
Penyiapan filtrat kultur S. rolfsii dilakukan sebagaimana yang telah
dilaporkan sebelumnya (Yusnita et al. 2005). Isolat S. rolfsii ditumbuhkan dalam
media potato dextose agar (PDA) padat dan kultur cendawan umur 7 hari
dipotong-potong dengan ukuran 0.5 x 0.5 cm. Potongan agar dengan hifa
cendawan S. rolfsii ditanam dalam media MS padat dengan penambahan
campuran (glisin, tiamin, piridoksin, dan niasin) 0.1 mg/l, sukrosa 2%, dan agar 8
g/l. Setelah membentuk sklerotia (± 14 hari), media bersama cendawannya
disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210, tekanan 17,5 psi selama 20 menit.
Filtrat kultur S. rolfsii yang didapat disaring dan digunakan sebagai agens
penyeleksi. Media selektif disiapkan dengan menambahkan 30% filtrat kultur S.
rolfsii ke dalam media MS-P16 dan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, 30% filtrat kultur S. rolfsii merupakan
konsentrasi sub- letal yang dapat menekan perkembangan ES kacang tanah = 95 %
(Yusnita et al. 2005).
Embrio somatik Pi-I digunakan sebagai eksplan dalam seleksi ganda dan
ditumbuhkan dalam media MS-P16 dengan penambahan filtrat kultur dan di sub-
kultur dua kali ke dalam media selektif yang masih segar selama periode tiga
bulan. Kalus embriogen dan ES yang mampu bertahan hidup setelah seleksi ganda
24
(siklus I dengan agens penyeleksi PEG dan siklus II dengan filtrat kultur, masing-
masing selama 3 bulan) diproliferasi dalam media MS-P16 untuk meningkatkan
biomasa dan selanjutnya disebut sebagai ES yang insensitif terhadap PEG dan
filtrat kultur (PFi-I). Setelah proliferasi, ES PFi-I yang didapat sebagian
digunakan untuk evaluasi respons ES PFi-I terhadap cekaman PEG dan filtrat
kultur dalam percobaan berikut dan sebagian yang lain dikecambahkan untuk
mendapatkan planlet PFi-I.
Respons ES Hasil Seleksi terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan dua faktor perlakuan (populasi ES Pi-I, Pi-II, PFi-I, ES tanpa diseleksi
dalam media selektif, dan kultivar kacang tanah). Efektivitas seleksi berulang
selama satu atau dua siklus seleksi dalam media dengan PEG 15% untuk
mengisolasi ES yang insensitif terhadap PEG ditentukan dengan mengamati
respons ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I hasil seleksi terhadap cekaman PEG. Eksplan
kalus embriogen yang diproliferasikan dari ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I (masing-
masing 50 eksplan atau 5 eksplan per botol) ditanam dalam media selektif dengan
PEG 15% dan pertumbuhan kalus embriogen yang dikulturkan diamati setelah
dua bulan. Persentase keberhasilan ES hasil seleksi untuk bertahan hidup dalam
media selektif, rataan jumlah ES yang terbentuk per eksplan, dan total ES yang
didapat diamati selama periode pengamatan.
Efektivitas seleksi ganda (siklus I dalam media PEG 15% dan siklus II
dalam media filtrat kultur S. rolfsii 30%) untuk mengisolasi ES yang insensitif
terhadap PEG dan filtrat kultur S. rolfsii ditentukan dengan mengamati respons ES
Pi-I, Pi-II, dan PFi-I hasil seleksi terhadap cekaman filtrat kultur. Eksplan kalus
embriogen yang diproliferasikan dari ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I (masing-masing 50
eksplan atau 5 eksplan per botol) ditanam dalam media selektif dengan
penambahan filtrat kultur 30% dan pertumbuhan kalus embriogen yang
dikulturkan diamati setelah dua bulan. Persentase keberhasilan ES hasil seleksi
untuk bertahan hidup dalam media selektif, rataan jumlah ES yang terbentuk per
eksplan, dan total ES yang didapat diamati selama periode pengamatan.
25
Respons Planlet terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii
Embrio somatik yang insensitif dari seleksi berulang (ES Pi-I dan Pi-II)
dan seleksi ganda (ES PFi-I) dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi planlet
Pi-I, Pi-II, dan PFi-I dengan metode yang telah dilaporkan sebelumnya (Yusnita
et al. 2005). Tunas planlet yang didapat dari perkecambahan ES insensitif
selanjutnya diperbanyak secara vegetatif. Sebagian tunas digunakan untuk
menguji responsnya terhadap cekaman PEG atau cekaman filtrat kultur cendawan.
Sebagian yang lain diakarkan dan diaklimatisasi untuk ditanam di rumah kaca.
Setek pucuk (dua buku, dengan 3-4 daun) dari planlet Pi-I, Pi-II, dan PFi-I
yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya dipisahkan dan ditanam dalam media
selektif yang mengandung PEG 15% atau filtrat kultur S. rolfsii 30%. Pengamatan
perkembangan setek pucuk yang meliputi jumlah daun layu, pertambahan tinggi
tunas, jumlah akar, dan tingkat kerusakan tunas, dilakukan 4 minggu setelah
penanaman dalam media selektif. Setek pucuk dari kecambah kacang tanah yang
tidak melewati tahapan seleksi in vitro digunakan sebagai pembanding (Pi-0).
Skor kerusakan tunas yang ditanam dalam media dengan PEG ditentukan
menggunakan kriteria: skor 0 = eksplan mengalami kerusakan < 5%, skor 1 =
eksplan mengalami kerusakan antara 5% – 25%, skor 2 = kerusakan antara >
25% – 50% , skor 3 = kerusakan antara > 50% – 75%, dan skor 4 = kerusakan
>75%. Untuk skor kerusakan tunas yang ditanaman dalam media dengan filtrat
kultur S. rolfsii ditentukan menggunakan kriteria : skor 0 – jika pucuk tunas sehat
dan setek berakar; skor 1 – pucuk sehat tetapi tidak berakar; skor 2 – pucuk sehat
dengan 1 atau 2 daun menguning (mengering); dan skor 3 – pucuk mengering,
daun nekrosis atau mengering dan tunas mati.
Hasil
Embrio Somatik Hasil Seleksi In Vitro Berulang pada Cekaman PEG
Eksplan kalus embriogen dan ES kacang tanah diseleksi secara berulang
dalam media selektif yang mengandung PEG untuk simulasi cekaman kekeringan
dan seleksi dalam filtrat kultur untuk penyakit busuk batang. Hasil analisis varian
26
menunjukkan bahwa siklus seleksi dan cv. kacang tanah berpengaruh nyata
terhadap persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan total ES (Tabel 1).
Kultivar Singa dan Kelinci yang diseleksi dalam PEG selama dua siklus
cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan
total ES lebih banyak dan persentase penurunan total ES yang lebih sedikit
dibanding dengan satu siklus dan seleksi ganda (dalam PEG satu siklus dan
filtrat kultur satu siklus).
Pada Tabel 1 terlihat bahwa cv. Singa yang diseleksi dalam PEG selama
dua siklus secara nyata menghasilkan rataan ES per eksplan dan total ES yang
terbanyak, sedangkan pada parameter proliferasi ES dan persentase penurunan
total ES, cv. Singa yang diseleksi pada PEG selama dua siklus tidak berbeda
nyata dengan cv. Kelinci yang diseleksi pada PEG selama dua siklus.
Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa seleksi yang dilakukan selama dua siklus
menghasilkan pertumbuhan eksplan kalus embriogen dan ES yang lebih baik.
Kultivar Kelinci menghasilkan proliferasi ES 75%, rataan ES per eksplan 2.66,
total ES 9.94 dan persentase penurunan total ES 85%, sedangkan cv. Singa secara
berturut-turut menghasilkan 75%, 3.02, 11.28, dan 83%.
Tabel 1. Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Kelinci atau Singa hasil seleksi satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG, dan setelah seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur S. rolfsii (PFi-I)
Pertumbuhan ES Kultivar Siklus seleksi Proliferasi ES
(%) Rataan
ES/eksplan Total ES PP total
ES* Kelinci P0 100 a 13.7 a 68.5 a - Pi-I 25 d 1.78 de 2.3 e 97 Pi-II 75 b 2.66 c 9.94 c 85 PFi-I 48 c 1.97 d 4.91 d 93 Singa P0 100 a 13.0 a 65.0 a - Pi-I 30 d 1.81 de 2.96 e 95 Pi-II 75 b 3.02 b 11.28 b 83 PFi-I 45 c 1.57 e 4.0 d 94 *Persentase penurunan (PP) total ES dihitung dengan persamaan PP=[(X0–Xt)/X0]*100%. X0 adalah total ES pada media tanpa seleksi (P0) dan Xt – total ES untuk masing-masing siklus seleksi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kultivar dan peubah pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.
27
Sebagian besar eksplan yang diseleksi hanya dalam media PEG atau yang
dilanjutkan diseleksi lagi dalam filtrat kultur S. rolfsii menjadi coklat kehitam-
hitaman dan yang tidak tahan akan mati. Pada sebagian eksplan yang lain,
diantara jaringan yang mati masih ada jaringan yang berkembang membentuk
struktur embrio somatik atau kalus embriogen yang berwarna putih kekuningan
(Gambar 2). Kalus embriogen dan embrio somatik yang terseleksi ini diduga
berkembang dari sel/jaringan varian yang dapat hidup dalam kondisi selektif
akibat penambahan PEG 15% atau dalam filtrat kultur.
Respons Embrio Somatik Hasil Seleksi terhadap PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii
Eksplan kalus embriogen yang telah diseleksi dalam media selektif PEG
selama satu dan dua siklus dan seleksi ganda dievaluasi kembali pertumbuhan
embrio somatik pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30%. Pada Tabel 2
terlihat bahwa seleksi in vitro tidak menunjukkan beda nyata terhadap persentase
proliferasi ES namun seleksi ES yang dilakukan pada PEG selama dua siklus
cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES yang lebih banyak pada saat
dievaluasi dengan media PEG 15%. Embrio somatik cv. Singa yang diseleksi
dengan PEG 15% selama dua siklus cenderung menghasilkan rataan ES per
eksplan dan total ES yang lebih banyak dibanding dengan siklus seleksi yang lain
terutama pada akhir evaluasi (Tabel 2).
Gambar 2. Respons pertumbuhan ES dalam media MS-P16 atau media selektif PEG ( = ES insensitif). Proliferasi kalus embriogen dan ES kacang tanah dalam media MS-P16 (a) tanpa PEG, (b) dengan PEG 15% setelah satu siklus seleksi dan (c) dengan PEG 15% setelah dua siklus seleksi (seleksi berulang), serta (d) dengan PEG selama satu siklus dan filtrat kultur selama satu siklus (seleksi ganda)
a b c d
28
Tabel 2. Respons terhadap cekaman PEG dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
Bulan I evaluasi Bulan II evaluasi ES hasil seleksi Kelinci Singa Kelinci Singa
Persentase proliferasi ES (%) Pi-I 85.7 aA 86.8 aA 85.3 aA 83.9 aA Pi-II 90.5 aA 89.5 aA 89.5 aA 88.9 aA PFi-I 82.2 aA 80.9 bA 86.2 aA 79.5 aA
Rataan ES per eksplan Pi-I 3.1 aA 3.6 aA 2.9 abA 3.0 bA Pi-II 3.1 aA 3.4 aA 3.0 aA 3.5 aA PFi-I 2.8 bA 3.0 bA 2.6 bB 2.9 bA
Total ES Pi-I 12.4 aA 14.8 aA 10.6 aA 11.1 bA Pi-II 13.0 aA 14.5 aA 11.3 aB 13.9 aA PFi-I 9.4 bA 10.5 bA 8.1 bB 10.0 bA Keterangan: Untuk setiap peubah pengamatan dan kultivar kacang tanah, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.
Embrio somatik yang telah diseleksi dalam media selektif PEG 15%,
selanjutnya dievaluasi pada media selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%. Hasil
analisis varian menunjukkan bahwa seleksi in vitro berulang berbeda nyata
terhadap persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan total ES. Embrio
somatik cv. Kelinci dan Singa yang telah diseleksi dalam media PEG satu siklus
dan kemudian dilanjutkan diseleksi dalam media filtrat kultur satu siklus (seleksi
ganda) cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES yang lebih banyak
dibanding ES yang hanya diseleksi dalam media PEG. Namun, ES cv. Kelinci
yang telah diseleksi dalam media PEG satu siklus dan kemudian dilanjutkan
dalam media filtrat kultur satu siklus (seleksi ganda) menghasilkan rataan ES per
eksplan dan total ES yang lebih banyak dibanding ES cv. Singa yang telah
diseleksi hanya pada media PEG (Tabel 3).
29
Tabel 3. Respons terhadap cekaman filtrat kultur dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
Bulan I evaluasi Bulan II evaluasi ES hasil seleksi Kelinci Singa Kelinci Singa
Persentase proliferasi ES Pi-I 83.8 bA 59.0 bB 73.9 bA 76.2 bA Pi-II 73.9 bA 60.0 bB 90.3 aA 72.7 bB PFi-I 86.5 aA 84.2 aA 92.6 aA 100.0 aA
Rataan ES per eksplan Pi-I 3.1 aA 2.3 bA 2.7 aA 2.0 bB Pi-II 3.3 aA 2.3 bA 2.8 aA 2.2 bB PFi-I 3.0 aA 2.6 aB 3.0 aA 2.6 aA
Total ES Pi-I 10.8 aA 5.9 bB 6.4 bA 4.4 bB Pi-II 11.2 aA 6.1 bB 8.7 aA 4.7 bB PFi-I 12.0 aA 9.2 aB 9.7 aA 7.9 aA Keterangan: Untuk setiap peubah pengamatan dan kultivar kacang tanah, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.
Regenerasi Planlet R0 dari ES Hasil Seleksi Berulang dan Seleksi Ganda
Embrio somatik yang toleran terhadap media selektif PEG satu siklus, dua
siklus dan seleksi ganda dikulturkan dalam media maturasi MS dengan
penambahan 2 g/l arang aktif. Embrio somatik yang telah masak ditandai dengan
terbentuknya struktur embrio lengkap dengan kotiledon dan radikula. Embrio
somatik yang telah masak dikecambahkan terus dalam media perkecambahan MS
dengan penambahan 2 g/l arang aktif. Setelah dikecambahkan selama satu bulan
dalam media perkecambahan, embrio somatik yang telah masak mengalami
pemanjangan epikotil dan lebih kurang tiga bulan kecambah mulai membentuk
akar dan daun primer. Embrio somatik hasil seleksi in vitro membentuk kecambah
normal antara 54 - 63 %, kecambah abnormal 22-29%, dan sisanya adalah
kecambah mati (Tabel 4). Kecambah abnormal ditandai dengan ketidakmampuan
untuk membentuk akar primer atau daun primer. Embrio somatik yang telah
berkecambah dipindahkan lagi ke dalam media MS dengan 2 g/l arang aktif. Pada
media ini, kecambah yang ditanam berkembang menjadi planlet, yang ditandai
dengan semakin memanjangnya epikotil, terbentuknya akar dan daun baru.
30
Setelah terbentuk sistem perakaran dan daun yang baik, planlet diaklimatisasi
pada media campuran tanah, pasir dan kompos yang telah disterilkan, dan
disungkup dengan botol untuk menjaga kelembaban. Persentase keberhasilan
mendapatkan tanaman yang dapat hidup dari tanaman aklimatisasi mencapai 80 -
90%. Planlet dipindahkan ke pot yang berisi media tanah setelah dua minggu
dalam tahapan aklimatisasi. Tanaman generasi R0 yang diperoleh dari ES
insensitif PEG adalah 99 tanaman. Tanaman ini mampu untuk tumbuh normal,
berbunga dan membentuk polong berisi.
Tabel 4. Perkecambahan dan regenerasi planlet dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG atau insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
Persentase kecambah ES hasil seleksi
Rataan ES yang dikecambahkan Abnormal Normal
Regenerasi planlet (tanaman R0)
Kacang tanah cv. Kelinci Pi-I 13.8 29 57 20 Pi-II 13.0 27 56 20 PFi-I 13.0 27 56 12
Kacang tanah cv. Singa Pi-I 12.4 23 63 22 Pi-II 13.5 28 56 15 PFi-I 13.0 22 54 10
Gambar 3 Regenerasi ES insensitif PEG dan filtrat kultur untuk membentuk planlet. (a) planlet dalam media MS + arang aktif, (b) planlet sedang diaklimatisasi (c) tanaman di rumah kaca, dan (d) polong dari tanaman R0 hasil seleksi in vitro
a b c d
31
Respons Planlet R0 terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii
Planlet R0 yang berkembang dari ES insensitif PEG diuji toleransinya
pada media selektif PEG 15% dan filtrat kultur S. rolfsii 30%. Planlet R0 yang
terbentuk dari ES insensitif PEG yang diseleksi selama dua siklus cenderung
lebih toleran terhadap PEG 15% dan cv. Singa lebih toleran dibanding cv. Kelinci.
Seleksi ES insensitif PEG selama dua siklus cv. Singa menghasilkan 100%
planlet membentuk tunas, jumlah daun layu 0.3, tinggi tunas 10 mm, jumlah akar
1.0, dan skor kerusakan tunas 1.0 (kerusakan tunas 5 – 25%) (Tabel 5).
Tabel 5. Respons terhadap cekaman PEG dari stek pucuk planlet R0 kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil regenerasi dari ES insensitif PEG satu (Pi-I) atau dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
Respons kacang tanah cv. Tunas R0 dari ES hasil seleksi Kelinci Singa
Persentase keberhasilan eksplan yang membentuk tunas (%) : Pi-0 0 (0 – 100) *) 33 (0 – 100) *)
Pi-I 75 (0 – 100) 75 (0 – 100) Pi-II 100 (0 – 100) 100 (0 – 100) PFi-I 100 (0 – 100) 100 (0 – 100)
Jumlah daun dengan gejala layu : Pi-0 2.7 (2 – 3) *) 2.3 (2 – 3) *)
Pi-I 1.0 (0 – 2) 0.5 (0 – 1) Pi-II 0.4 (0 – 1) 0.3 (0 – 1) PFi-I 0.8 (0 – 1) 0.3 (0 – 1)
Pertambahan tinggi tunas (mm) : Pi-0 0 (0 – 0) *) 0.6 (0 – 2) *) Pi-I 5 (0 – 10) 4.5 (0 – 7) Pi-II 6.4 (4 – 10) 10 (8 – 12) PFi-I 2.8 (0 – 6) 8 (7 – 10)
Jumlah akar Pi-0 0 (0 – 0) *) 0 (0 – 0) *)
Pi-I 0.8 (0 – 2) 0.3 (0 – 1) Pi-II 0.8 (0 – 2) 1 (1 – 1) PFi-I 0.3 (0 – 1) 0,3 (0 – 1)
Skor kerusakan tunas: Pi-0 4 (4 – 4) *) 3.7 (3 – 4) *)
Pi-I 1.8 (1 – 3) 1.5 (1 – 2) Pi-II 0.8 (0 – 2) 1.0 (1 – 1) PFi-I 1.8 (1 – 2) 1.7 (1 – 2)
*) Angka dalam kurung tiap peubah adalah nilai kisaran dari terkecil sampai terbesar
32
Sebaliknya pengujian pada filtrat kultur S. rolfsii 30% ternyata planlet R0
yang dihasilkan dari ES hasil seleksi selama satu siklus PEG dan diikuti dengan
seleksi filtrat kultur (seleksi ganda) lebih resisten terhadap filtrat kultur. Planlet
yang dihasilkan dari ES insensitif PEG satu siklus dan dua siklus lebih rentan
terhadap filtrat kultur dan menghasilkan jumlah daun layu yang lebih banyak,
tinggi tunas dan jumlah akar yang lebih sedikit dibanding seleksi ganda (Tabel 6).
Tabel 6. Respons terhadap cekaman filtrat kultur dari setek pucuk planlet R0 kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil regenerasi dari ES insensitif PEG satu (Pi-I) atau dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
Respons kacang tanah cv. Tunas R0 dari ES hasil seleksi Kelinci Singa
Persentase keberhasilan eksplan yang membentuk tunas (%) : Pi-0 0 (0 - 100) *) 0 (0 - 100) *)
Pi-I 50 (0 - 100) 25 (0 - 100) Pi-II 67 (0 - 100) 33 (0 - 100) PFi-I 67 (0 - 100) 67 (0 - 100)
Jumlah daun dengan gejala layu : Pi-0 2.7 (2 - 3) *) 2.3 (2 - 3) *)
Pi-I 1 (0 - 2) 1.5 (1 - 2) Pi-II 1 (0 - 2) 1.7 (1 - 2) PFi-I 0.3 (0 - 1) 0.3 (0 - 1)
Pertambahan tinggi tunas (mm) : Pi-0 0 (0 – 0) *) 0 (0 – 0) *)
Pi-I 1.3 (0 – 3) 0.5 (0 – 2) Pi-II 2.3 (0 – 5) 0.6 (0 – 2) PFi-I 2.8 (0 – 6) 2.3 (0 – 4)
Jumlah akar Pi-0 0 (0 - 0) *) 0 (0 - 0) *)
Pi-I 0 (0 - 0) 0 (0 - 0) Pi-II 0 (0 - 0) 0 (0 - 0) PFi-I 0.3 (0 - 1) 0,3 (0 - 1)
Skor kerusakan tunas: Pi-0 3 (3 - 3) *) 3 (3 - 3) *) Pi-I 1.8 (1 - 2) 2.3 (2 - 3) Pi-II 1.3 (1 - 2) 2.7 (2 - 3) PFi-I 0.7 (0 - 1) 1 (0 - 2) *) Angka dalam kurung tiap peubah adalah nilai kisaran dari terkecil sampai terbesar
33
Pembahasan
Pertumbuhan eksplan embriogen kacang tanah cv. Singa dan Kelinci pada
akhir tahapan seleksi dalam media selektif PEG 15% atau dalam filtrat kultur S.
rolfsi 30% berbeda nyata antara siklus seleksi. Media selektif PEG 15%
menghambat perkembangan embrio somatik terutama eksplan embriogen yang
hanya diseleksi dalam satu siklus. Eksplan ES yang telah mengalami proses
seleksi in vitro dua kali seleksi (Pi-II) lebih insensitif terhadap PEG 15%
dibanding dengan eksplan ES yang hanya diseleksi satu kali dalam PEG 15% (Pi-
I). Embrio somatik yang telah mengalami proses seleksi lebih lama dalam PEG
mempunyai daya adaptasi terhadap media selektif dan adanya kemungkinan
muncul sel atau jaringan varian yang toleran selama tahapan seleksi. Sel atau
jaringan varian yang toleran tersebut akan mengalami proliferasi sehingga pada
akhir seleksi akan menghasilkan sel/jaringan klonal yang lebih banyak dibanding
dengan embrio somatik yang hanya diseleksi dalam satu siklus (Pi-I). Embrio
somatik yang telah diseleksi satu siklus seleksi dalam PEG 15% terjadi juga
penghambatan perkembangan embrio somatik selama proses seleksi dalam media
selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%. Eksplan cv. Singa yang diseleksi selama dua
siklus dalam PEG menghasilkan proliferasi embrio somatik, rataan embrio
somatik per eksplan dan total embrio somatik yang lebih banyak dibanding cv.
Singa dan Kelinci dengan siklus seleksi yang lain (Gambar 2).
Potensial osmotik media tumbuh merupakan faktor penting yang
berpengaruh terhadap proses pembentukan embrio somatik dalam kultur in vitro.
Penurunan potensial air media karena penambahan PEG menyebabkan
menurunnya proliferasi jaringan eksplan, pertumbuhan dan regenerasi tunas
(Kong et al. 1998; Tewary et al. 2000). Keadaan tersebut terjadi antara lain
diduga karena perlakuan PEG dapat mempengaruhi kandungan poliamin endogen.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa poliamin berperan penting dalam proses
morfogenesis dari sel tanaman yang ditanam secara in vitro, antara lain dalam
proses pembentukan embrio somatik pada tanaman Picea glauca (Kong et al.
1998), dan wortel (Bastola & Minocha 1995).
34
Setelah dilakukan seleksi in vitro embrio somatik dalam PEG 15% selama
satu siklus (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dan seleksi ganda dalam PEG 15% selama
satu siklus dan diikuti dengan filtrat kultur S. rolfsii 30% selama satu siklus (PFi-
I), selanjutnya pertumbuhan embrio somatik kacang tanah cv. Singa dan
Kelinci dievaluasi responsnya dalam media PEG 15 % dan filtrat kultur S. rolfsii
30%. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa ES yang telah diseleksi dalam
PEG selama dua siklus pada cv. Singa dan Kelinci cenderung menghasilkan
perkembangan embrio somatik yang lebih baik pada media selektif PEG
dibanding dengan siklus seleksi lain. Hal ini terjadi karena hasil seleksi in vitro
menyebabkan terjadinya akumulasi sel/jaringan mutan yang toleran terhadap
cekaman PEG. Sel/jaringan varian yang toleran selama periode seleksi akan
mengalami proliferasi sehingga akan diperoleh embrio somatik dalam jumlah
yang banyak. Selama dalam evaluasi perkembangan embrio somatik dalam PEG
15%, varian ES toleran hasil seleksi selama dua siklus (Pi-II) lebih toleran dari
siklus seleksi lain. Perkembangan ES cv. Singa hasil seleksi selama dua siklus
(Pi-II) terutama setelah evaluasi selama dua bulan menghasilkan persentase
proliferasi ES 88.9%, 3.5 ES per eksplan dan total ES adalah 13.9.
Embrio somatik hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan
seleksi ganda (PEG dan filtrat kultur) menghasilkan respons yang berbeda
terhadap media filtrat kultur S. rolfsii. Embrio somatik hasil seleksi ganda
cenderung lebih tidak sensitif terhadap media filtrat kultur S. rolfsii dibanding
dengan seleksi in vitro berulang pada media PEG satu dan dua siklus. Embrio
somatik yang telah terseleksi dalam seleksi ganda menghasilkan sel/jaringan
varian yang toleran sekaligus terhadap media PEG dan filtrat kultur.
Embrio somatik yang hanya diseleksi pada PEG cenderung menghasilkan
ES yang tidak sensitif hanya pada PEG dan sangat sensitif pada filtrat kultur S.
rolfsii 30%. Embrio somatik cv. Singa lebih toleran terhadap media PEG 15% dan
embrio somatik cv. Kelinci lebih resisten terhadap media filtrat kultur 30%.
Kacang tanah cv. Singa adalah varietas toleran terhadap kekeringan (Hidajat et al.
1999). Embrio somatik cv. Kelinci diduga mempunyai sel/jaringan yang mampu
beradaptasi terhadap media filtrat kultur S. rolfsii.
35
Embrio somatik cv. Singa dan Kelinci yang telah diseleksi dalam seleksi
ganda (PFi-I) mempunyai perkembangan ES yang lebih baik pada filtrat kultur
30%. Embrio somatik yang telah terseleksi dalam seleksi ganda menghasilkan
sel/jaringan varian yang toleran sekaligus terhadap media PEG 15% dan filtrat
kultur 30%. Embrio somatik toleran hasil seleksi ganda diharapkan akan
menghasilkan tanaman yang toleran terhadap kekeringan dan resisten penyakit
busuk batang S. rolfsii.
Embrio somatik toleran hasil seleksi berulang dalam media selektif PEG
15% dan seleksi ganda dalam PEG 15% dan filtrat kultur 30% dikecambahkan
dalam media MS + arang aktif. Embrio somatik tersebut mempunyai kemampuan
berkecambah yang sama dan sebagian embrio somatik yang ditanam
menghasilkan kecambah abnormal dan mati. Kecambah normal tersebut
diregenerasikan untuk membentuk planlet. Planlet diaklimatisasi dan ditanam
pada pot plastik untuk ditanam di rumah kaca untuk memproduksi biji generasi
R1 dan R2. Biji generasi R1 dan R2 inilah yang akan digunakan untuk
mempelajari keragaman morfologi dan agronomis yang mungkin muncul dan
responsnya terhadap cekaman kekeringan dan serangan S. rolfsii .
Setek pucuk planlet R0 cv. Singa dan Kelinci hasil regenerasi ES dari
seleksi PEG selama dua siklus cenderung lebih toleran terhadap cekaman PEG
15%. Planlet tersebut mampu menghasilkan pertumbuhan tunas yang lebih baik
dibandingkan dengan planlet yang berasal dari ES hasil seleksi PEG satu siklus
dan seleksi ganda. Namun, planlet tersebut tidak resisten setelah ditanam dalam
media filtrat kultur S. rolfsii 30%. Planlet R0 yang berasal dari ES hasil seleksi
dalam media PEG dan filtrat kultur (seleksi ganda) lebih resisten terhadap media
filtrat kultur S. rolfsii dibanding planlet yang berasal dari ES yang hanya diseleksi
dengan PEG. Hasil pengujian respons tunas planlet R0 ini memberikan indikasi
bahwa ES yang insensitif hasil seleksi selama dua siklus dalam media PEG dan
seleksi ganda akan menghasilkan juga planlet R0 yang tidak sensitif terhadap
PEG dan filtrat kultur S. rolfsii.
36
Kesimpulan
Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci setelah diseleksi pada
media selektif yang mengandung PEG 15% selama dua siklus (seleksi berulang)
lebih insensitif setelah diuji responsnya terhadap media selektif PEG 15%
dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda (dalam media selektif PEG dan
diikuti seleksi pada media selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%).
Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci setelah diseleksi
masing-masing satu siklus pada media selektif PEG 15% dan diikuti dengan
seleksi pada media selektif filtrat kultur 30% (seleksi ganda) lebih insensitif
setelah diuji responsnya terhadap media selektif filtrat kultur 30% dibanding
dengan pertumbuhan ES hasil seleksi satu dan dua siklus pada media PEG 15%.
Embrio somatik insensitif pada media selektif PEG 15% hasil seleksi satu
dan dua siklus serta seleksi ganda (dalam media selektif PEG 15% dan filtrat
kultur) mampu berkecambah dan membentuk planlet. Setek pucuk planlet R0
kacang tanah cv. Singa dan Kelinci yang berasal dari ES insensitif hasil seleksi
pada media selektif PEG 15% dua siklus (seleksi berulang) lebih toleran terhadap
media selektif PEG 15%. Sedangkan setek pucuk planlet R0 yang berasal dari
hasil seleksi ES pada seleksi ganda (dalam media selektif PEG dan diikuti seleksi
pada media filtrat kultur) lebih resisten pada media selektif filtrat kultur.
TIPE VARIAN SOMAKLONAL YANG DIAMATI DIANTARA POPULASI TANAMAN KACANG TANAH HASIL SELEKSI
IN VITRO BERULANG DAN SELEKSI GANDA
Abstrak
Percobaan bertujuan untuk mengidentifikasi tipe varian karakter kualitatif dan kuantitatif yang muncul diantara populasi tanaman kacang tanah yang diregenerasikan dari embrio somatik (ES) hasil seleksi in vitro selama satu siklus (ES Pi-I) atau dua siklus (ES Pi-II) dalam media yang mengandung polietilena glikol (PEG) (seleksi berulang) serta ES hasil seleksi selama satu siklus dalam media dengan PEG, diikuti satu siklus dalam media dengan filtrat kultur S. rolfsii (ES PFi-I, seleksi ganda). Embrio somatik hasil seleksi in vitro yang didapat diregenerasikan menjadi tanaman lengkap (generasi R0) dan dipelihara di rumah kaca hingga panen. Karakter kualitatif tanaman R0 diamati selama periode pemeliharaan dan benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomer tanaman R0. Tanaman R1 zuriat tanaman R0 ditanam menjadi tanaman R1. Karakter kualitatif tanaman R1 diamati selama periode pemeliharaan dan benih R1:2 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomer tanaman R1. Benih kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang tidak melalui tahapan seleksi in vitro ditanam sebagai tanaman standar. Hasil percobaan menunjukkan diantara populasi tanaman hasil seleksi in vitro diamati keberadaan varian jumlah anak daun, daun variegata, dan jantan steril yang dikendalikan secara genetik dan varian cabang majemuk, tunas majemuk, daun bergelombang dan batang menjalar yang dikendalikan secara epigenetik. Varian jumlah polong bernas dan bobot polong kering yang lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan tanaman standar merupakan indikasi keberadaan varian karakter kuantitatif. Kata kunci : embrio somatik, mutasi in vitro, PEG, filtrat kultur, S. rolfsii.
38
TYPE OF SOMACLONAL VARIANTS AMONG PEANUT PLANTS REGENERATED FROM SOMATIC EMBRYOS
RESULTED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO SELECTION AND DOUBLE SELECTION
Abstract
The objective of this study was to identify types of qualitative and quantitative character variants among peanut plant s regenerated from somatic embryos (SE) resulted from one cycle (Pi-I) or two cycles (Pi-II) of repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium, and from one cycle of selection on PEG containing medium, followed by one cycle of selection on S. rolfsii culture filtrate containing medium (PFi-I, double selection). Somatic embryos resulted from in vitro selection were regenerated into R0 plants and maintain in glasshouse until maturity. The qualitative and quantitative characters of the R0 plant populations were recorded and the R0:1 seeds were separately harvested from each of the R0 plant. The R0:1 seeds were planted and the R1 plants were maintained in the glasshouse. The qualitative and quantitative characters of the R1 plant populations were recorded and the R1:2 seeds were separately harvested from each of the R1 plant. Peanut cv. Kelinci and Singa were planted as standar peanut. Results of the experiment showed abnormal leaflet number, leaf variegations, and male sterile were the observed genetically controlled variance characters among population of R0 and R1 plants while multiple shoots, multiple branching, waving leaf and runner types were the observe epigenetically controlled variance characters. Variation in number of filled pods and dry pod weight, either higher or lower than the standar peanut cultivars were indication of the existance of somaclonal variation for the quantitative characters.
Keywords : somatic embryo, in vitro mutation, PEG, culture filtrate, S. rolfsii.
39
Pendahuluan
Keragaman genetik merupakan komponen yang esensial dalam program
pemuliaan tanaman terutama untuk memperbaiki karakter tanaman. Penggunaan
kultur jaringan dapat merubah dan meningkatkan variasi genetik tanaman.
Perubahan genetik yang terjadi selama seleksi in vitro disebut variasi somaklonal
(Larkin & Scowcroft 1981). Variasi genetik dapat teramati pada fenotip yang
muncul pada generasi turunannya. Variasi fenotip yang muncul dapat berupa
karakter yang tidak diinginkan atau novel characters yang merupakan sifat unggul
tanaman (Landsmann & Uhrig 1984).
Variasi somaklonal yang diikuti dengan seleksi in vitro diketahui dapat
menghasilkan karakter unggul seperti kedelai tahan penyakit becak coklat
(Septoria glycine) (Song et al. 1994), padi toleran kekeringan (Adkins et al.
1995), padi tahan cekaman salinitas (Bouharmont et al. 1993) dan tahan tanah
masam (Miller et al. 1992), dan kedelai tahan cekaman kekeringan (Widoretno &
Sudarsono 2004). Perubahan genetik telah dilaporkan menjadi penyebab
terjadinya perbedaan tipe variasi somaklonal pada tanaman (Peschke & Phillips
1992). Perubahan genetik meliputi mutasi gen pada genom nukleus dan
sitoplasma, trasnlokasi, delesi, inversi, gene rearrangement, gene amplification
dan transposable element. Pewarisan Mendel pada karakter hasil variasi
somaklonal dapat dikendalikan secara multigenik, monogenik dominan,
semidominan dan resesif (Evans & Sharp 1986). Namun Skirvin et al (1993)
melaporkan bahwa tipe varian somaklonal bersifat epigenetik (genetic instability),
yaitu tipe varian yang tidak akan diwariskan ke keturunan secara seksual, dan tipe
varian yang bersifat stabil (genetic stability) yang diturunkan secara seksual pada
keturunannya.
Faktor-faktor penting yang memperngaruhi munculnya perubahan genetik
yang bersifat stabil selama regenerasi tanaman dalam kondisi in vitro adalah
bahan awal material atau sumber eksplan, susunan genetik setiap spesies tanaman,
dan faktor selama kultur jaringan (Karp 1995; Skirvin et al. 2000). Regenerasi
tanaman yang berasal dari berbagai tipe sumber eksplan menghasilkan variasi
genotipik dan fenotipik yang berbeda (Ramulu 1990). Kultur jaringan yang
40
melalui fase kalus dan kultur protoplas menunjukkan variasi genetik lebih besar
dibanding dengan sel yang belum mengalami diferensiasi. Pengaruh komposisi
hormon dalam media juga ikut memperngaruhi perbedaan stabilitas genetik.
Variasi genetik juga lebih sering terjadi pada sel yang berada lebih lama
dalam kultur (Compton & Veilleux 1991). Lamanya kultur dalam media sangat
berpengaruh terhadap munculnya karakter baru pada tanaman. Jayasangkar (2005)
menyatakan juga bahwa jaringan tanaman yang berada lebih lama dalam kultur in
vitro dapat menyebabkan metilasi pada DNA dan menimbulkan gene silencing.
Seleksi in vitro berulang mempunyai potensi lebih besar untuk menghadirkan
perubahan genetik dibanding seleksi yang hanya dilakukan dalam jangka pendek.
Selain itu, seleksi in vitro berulang menyebabkan hilangnya beberapa karakter
varian karena adanya tekanan seleksi selama seleksi in vitro.
Karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman hasil variasi somaklonal telah
banyak diketahui. Daun variegata, bentuk dan jumlah daun abnormal telah
ditemukan pada kacang tanah hasil seleksi in vitro pada filtrat kultur Sclerotium
rolfsii dan sifat tersebut diwariskan secara genetik (Yusnita et al. 2005). Karakter
yang muncul akibat adanya variasi somaklonal pada tanaman kedelai meliputi
kandungan protein dan minyak biji (Komatsuda 1991), tinggi tanaman dan hasil
biji (Wright et al. 1986), jantan steril dan perubahan morfologi dan jumlah daun
serta pertumbuhan yang memendek (Barwale & Wildholm 1987; Amberger et al.
1992a). Perubahan sifat morfologi dan agronomi tanaman dapat diamati pada
generasi awal (R0) dan generasi R1, tergantung pada tipe variasi apakah genetik
stabil atau genetik tidak stabil.
Fenomena variasi somaklonal bersifat spontan dan random untuk
menghasilkan beberapa karakter. Untuk itu, munculnya karakter baru tidak selalu
merupakan novel characters bahkan muncul karakter yang merugikan atau
karakter yang masih sama seperti karakter induknya (Karp 1995). Variasi
somaklonal memungkinkan untuk merubah satu atau beberapa karakter tertentu
dan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh
induknya. Dengan melakukan seleksi pada media selektif memungkinkan untuk
mengidentifikasi varian-varian yang diinginkan.
41
Pada penelitian sebelumnya telah diidentifikasi ES yang insensitif
terhadap media selektif polietilena glikol (PEG) dan filtrat kultur S. rolfsii.
Embrio somatik yang diseleksi secara berulang (siklus II) pada PEG lebih
insensitif pada media selektif PEG 15% dibanding siklus I dan yang diseleksi
pada seleksi ganda (pada PEG dan kemudian pada filtrat kultur S. rolfsii)
menghasilkan ES yang insensitif sekaligus pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii.
Untuk mengidentifikasi lebih lanjut karakter-karakter yang muncul akibat seleksi
in vitro berulang dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii perlu
dievaluasi keberadaan variasi somaklonal pada berbagai sifat kualitatif dan
kuantitatif, persentase variasi somaklonal yang diamati, dan pengelompokkan sifat
varian yang diamati apakah dikendalikan secara genetik atau epigenetik.
Bahan dan Metode
Regenerasi, Evaluasi Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman R0
Embrio somatik hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II, dan ES PFi-I)
diregenerasikan menjadi planlet dan tanaman R0 melalui tahapan : maturasi,
perkecambahan, serta pemanjangan dan pengakaran tunas dilakukan dalam media
MS (Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan 2 g/l arang aktif. Setelah
mempunyai akar dan daun tetrafoliat, planlet diaklimatisasi pada media campuran
tanah, pasir dan arang sekam, disungkup dengan botol untuk menjaga
kelembaban, dan diinkubasikan secara bertahap dalam lingkungan terkontrol ke
rumah kaca.
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Fi-I, Fi-II,
FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah). Populasi tanaman R0 yang
mampu bertahan hidup dari tahapan aklimatisasi ditanam dalam pot plastik berisi
9 kg campuran tanah dan pasir dan dipelihara di rumah kaca hingga panen.
Tanaman disiram setiap pagi dan sore hingga kapasitas lapang, dijaga dari
serangan hama dengan penyemprotan insektisida Confidor (0.25 ml/l) dan
Kelthane (1 ml/l), dan dari patogen dengan fungisida Dithane M-45 (1 g/l).
Karakter kualitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman R0 yang
42
berbeda dengan tanaman standar dicatat sebagai karakter varian. Pada saat penen,
benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing tanaman R0 dan
dikeringkan. Karakter kuantitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman
R0 diamati dan dibandingkan dengan tanaman standar.
Evaluasi Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman R1
Benih R0:1 yang dipanen dari masing-masing tanaman R0 dalam
percobaan sebelumnya ditanam untuk menghasilkan tanaman R1.Tanaman R1
ditumbuhkan dalam pot plastik yang berisi tanah 9 kg dan dipelihara di dalam
rumah plastik sebagaimana dalam percobaan sebelumnya. Karakter kualitatif
tanaman dari masing-masing populasi tanaman R1 yang berbeda dengan tanaman
standar dicatat sebagai karakter varian. Pada saat panen, benih R1:2 dipanen
secara terpisah dari masing-masing tanaman R1 dan dikeringkan. Karakter
kuantitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman R1 diamati dan
dibandingkan dengan tanaman standar.
Analisis Data Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman
Karakter kualitatif yang diamati diantara populasi tanaman R0 dan R1 dan
berbeda dengan populasi tanaman standar dicatat sebagai karakter varian. Tipe
dan persentase karakter kualitatif varian untuk masing-masing populasi dicatat
dan dianalisis. Karakter varian yang hanya muncul pada populasi tanaman R0 dan
tidak dijumpai kembali pada populasi tanaman R1 dikelompokkan sebagai varian
yang dikendalikan secara epigenetik. Karakter varian yang muncul pada populasi
tanaman R0 dan dijumpai kembali pada populasi tanaman R1 dikelompokkan
sebagai varian yang dikendalikan secara genetik. Sedangkan karakter varian yang
tidak muncul pada populasi tanaman R0 tetapi muncul pada populasi tanaman R1
dikelompokkan sebagai varian yang dikendalikan secara genetik, oleh gen resesif.
Karakter kuantitatif yang diamati untuk masing-masing populasi tanaman
R0 dibandingkan dengan rataan tanaman standar, dan nilai pengamatan yang
nyata lebih rendah atau lebih tinggi dengan rataan tanaman standar dianggap
sebagai varian. Rataan karakter kuantitatif untuk masing-masing populasi
tanaman R1 dibandingkan dengan rataan tanaman standar, dan nilai pengamatan
43
yang nyata lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan rataan tanaman
standar dianggap sebagai varian. Selanjutnya, varian kuantitatif yang diamati
dikelompokkan sebagai dikendalikan secara genetik atau epigenetik menggunakan
kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hasil
Evaluasi Karakter Kualitatif Tanaman R0 dan R1
Hasil evaluasi tanaman R0 menunjukkan tidak semua tanaman mampu
berbunga, menghasilkan polong, dan benih R0:1. Sebagian tanaman R0
merupakan tanaman varian yang tidak menghasilkan bunga hingga tanaman mati
atau menghasilkan bunga tetapi jantan steril. Berdasarkan perbedaan morfologi
dengan tanaman standar, fenotipe varian yang diamati diantara populasi tanaman
R0 adalah varian jumlah anak daun (trifoliat, pentafoliat, heksafoliat, heptafoliat,
oktafoliat, nanofoliat), varian fusi pangkal anak daun, varian daun bergelombang,
varian daun variegata, varian cabang dan tunas majemuk, varian batang menjalar,
varian steril jantan partial, dan varian steril jantan total (tidak berbunga). Contoh
fenotipe varian untuk berbagai karakter kualitatif yang diamati diantara populasi
tanaman R0 dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada Tabel 7 disajikan persentase varian karakter kualitatif diantara
populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro berulang
dalam media dengan penambahan PEG atau hasil seleksi ganda dalam media
dengan penambahan PEG diikuti media dengan penambahan filtrat kultur S.
rolfsii. Pengamatan juga menunjukkan seleksi ganda menghasilkan tipe varian
kualitatif yang lebih sedikit jika dibandingkan seleksi berulang. Pola tersebut
diamati baik pada populasi tanaman R0 dari kacang tanah cv. Kelinci maupun
Singa (Tabel 7).
Varian jumlah anak daun, varian daun variegata, dan varian steril jantan
partial yang ditemukan pada populasi tanaman R0 pada umumnya juga diamati
diantara populasi tanaman R1 zuriat dari masing-masing tanaman R0 (Tabel 7).
44
Gambar 4. Contoh fenotipe varian yang diamati diantara populasi tanaman generasi R0 dan R1 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro berulang dalam media selektif PEG 15% atau hasil seleksi dalam media dengan PEG, diikuti dengan media filtrat kultur (seleksi ganda). Varian jumlah anak daun: (a) trifoliat, (b) pentafoliat, (c) heksafoliat, (d) heptafoliat, (e) oktafoliat, (f) nanofoliat; (g) varian fusi pangkal anak daun; (h) varian daun bergelombang; (i) varian cabang majemuk; (j) varian tunas majemuk, (k) varian cabang menjalar, dan (l) varian daun variegata.
Varian daun bergelombang, cabang dan tunas majemuk, serta batang menjalar
hanya diamati diantara populasi tanaman R0 dan tidak ditemukan diantara
populasi tanaman R1 (Tabel 7). Varian fusi pangkal daun yang tidak ditemukan
diantara populasi tanaman R0, ditemukan diantara populasi tanaman R1. Tanaman
varian tidak menghasilkan bunga diantara populasi R0, tidak dapat dievaluasi
fenotipenya pada generasi R1 karena tidak menghasilkan benih (Tabel 7).
45
Tabel 7. Macam dan persentase varian kualitatif yang diamati diantara populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media PEG serta hasil seleksi ganda dalam media PEG dan diikuti dalam media filtrat kultur (PFi-I) serta populasi tanaman R1
Kacang tanah cv. Singa Kacang tanah cv. Kelinci Populasi dan karakter kualitatif Pi-I Pi-II PFi-I Pi-I Pi-II PFi-I
Populasi tanaman R0 : Daun trifoliat - - - 10 (2/20) 15 (3/20) - Daun pentafoliat 32 (7/22)* 42 (8/19) 45 (5/11) 30 (6/20) 45 (9/20) 33 (4/12) Daun heksafoliat 14 (3/22) 21 (4/19) - 5 (1/20) 15 (3/20) 25 (3/12) Daun heptafoliat 9 (2/22) 16 (3/19) - - 10 (2/20) 25 (3/12) Daun oktafoliat 9 (2/22) 5 (1/19) - - 10 (2/20) - Daun nanofoliat 9 (2/22) - - - 10 (2/20) - Fusi anak daun - - - - - - Daun bergelombang 14 (3/22) 11 (2/19) - 25 (5/20) - - Cabang majemuk 64 (14/22) 32 (6/19) 73 (8/11) 60 (12/20) 55 (11/20) 33 (4/12) Tunas majemuk 18 (4/22) 21 (4/19) 36 (4/11) - 25 (5/20) - Batang menjalar 9 (2/22) 16 (3/19) - - 10 (2/20) - Steril partial 4 (1/22) 11 (2/19) - - 5 (1/20) - Steril total 14 (3/22) - - - 15 (3/20) - Daun variegata - - - - 10 (2/20) -
Populasi tanaman R1 : Daun trifoliat - - - 10 (2/20) 19 (3/16) - Daun pentafoliat 37 (7/19) 42 (8/19) 36 (4/11) 25 (5/20) 50 (8/16) 25 (3/12) Daun heksafoliat 16 (3/19) 16 (3/19) 18 (2/11) 10 (2/20) 19 (3/16) 25 (3/12) Daun heptafoliat 11 (2/19) 16 (3/19) - - 13 (2/16) 25 (3/12) Daun oktafoliat 5 (1/19) 5 (1/19) - - 13 (2/16) - Daun nanofoliat 11 (2/19) - - - 13 (2/16) - Fusi anak daun - - - - 13 (2/16) - Daun bergelombang - - - - - - Cabang majemuk - - - - - - Tunas majemuk - - - - - - Batang menjalar - - - - - - Steril partial 5 (1/19) 11 (2/19) - - 6 (1/16) - Steril total - - - - - - Daun variegata - - - - 13 (2/16) - Keterangan: *Data x (y/z) adalah x= persentase varian somaklon (%), y= jumlah tanaman dengan karakter varian, dan z= total tanaman yang diuji. (-) = Karakter varian tidak ditemukan Evaluasi Karakter Kuantitatif Tanaman R0 dan R1
Untuk kacang tanah cv. Kelinci, jumlah cabang dan daun per tanaman
pada populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi berulang
46
(ES Pi-I dan ES Pi-II) nyata lebih banyak sedangkan hasil seleksi ganda (ES PFi-
I) tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8). Tanaman R0 yang
diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (Pi-I, Pi-II, dan PFi-I) mempunyai
umur mulai berbunga yang nyata lebih lama dibandingkan tanaman standar (Tabel
8). Sedangkan untuk tinggi tanaman, jumlah polong bernas, dan bobot polong
kering, tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I,
Pi-II, dan PFi-I) tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).
Untuk kacang tanah cv. Singa, populasi tanaman R0 yang diregenerasikan
dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II, dan ES PFi-I) mempunyai umur
mulai berbunga nyata lebih lama serta jumlah cabang dan daun per tanaman nyata
lebih banyak dibandingkan tanaman standar (Tabel 8). Tanaman R0 yang
diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I dan ES Pi-II) mempunyai
tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata, sedangkan yang dari ES hasil seleksi
ganda (ES PFi-I) nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).
Tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II,
dan ES PFi-I) mempunyai jumlah polong bernas dan bobot polong kering yang
tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).
Rata-rata jumlah cabang tanaman R1 zuriat tanaman R0 dari kacang tanah
cv. Kelinci dan Singa tidak berbeda nyata dengan kacang tanah standar (Tabel 8).
Rata-rata tinggi tanaman R1 zuriat tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES
kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil seleksi in vitro nyata lebih pendek
dibanding kacang tanah standar (Tabel 8). Sedangkan umur berbunga tanaman
R1 secara umum mendekati nilai tanaman kacang tanah standar dan jumlah daun
lebih banyak daripada tanaman standar (Tabel 8). Rata-rata bobot polong kering
dan jumlah polong bernas tanaman R1 yang diuji lebih rendah atau lebih tinggi
dibandingkan kacang tanah standar (Tabel 8).
Analisis individu tanaman untuk karakter kuantitatif bobot polong kering
per tanaman R0 dan R1 menunjukkan adanya individu tanaman yang mempunyai
hasil polong lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan tanaman kacang tanah
cv. Kelinci atau Singa standar (Gambar 5 dan 6).
47
Tabel 8. Jumlah cabang (JC), tinggi tanaman (TT), umur berbunga (UB), jumlah daun (JD), bobot polong kering (BPK) dan jumlah polong kering (JPK) yang diamati pada tanaman cv. Kelinci dan Singa standar (Std), serta tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro pada media seleksi PEG siklus I (Pi-I), siklus II (Pi-II), dan seleksi ganda pada media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)
cv. Kelinci cv. Singa Populasi & peubah Std Pi-I Pi-II PFi-I Std Pi-I Pi-II PFi-I
Populasi Tanaman R0 : JC 5.0 b 10.3 a 11.4 a 7.5ab 5.0 b 7.6 a 8.5 a 8.5 a TT (cm) 70.9 a 65.4 a 73.1 a 68.4 a 76.2 b 86.2ab 75.7 b 92.5 a UB (hari) 25.0 b 55.7 a 55.1 a 48.9 a 25 b 46.7 a 45.9 a 44.7 a JD 50.2 b 88.5 a 92.1 a 61.5ab 55.6 b 106.2 a 116.6a 110.6 a BPK (g) 10.8 a 8.3 a 7.0 a 7.6 a 12.6 a 13.5 a 11.7 a 14.1 a JPK (g) 8.0 a 8.1 a 8.8 a 7.3 a 8.0 a 9.7 a 9.1 a 11.3 a
Populasi Tanaman R1: JC 5.0 a 4.8 a 4.7 a 4.9 a 5.0 a 4.7 a 4.8 a 4.7 a TT (cm) 70.9 a 55.4 b 56.9 b 59.4 b 76.2 a 64.7 b 55.7 c 54.5 c UB (hari) 25.0 b 26.2 a 25.1 b 26.1 a 25.0 b 25.5ab 25.0 b 25.9 a JD 50.2 b 55.7ab 60.1 a 56.9 a 55.6 a 58.7 a 56.9 a 56.3 a BPK (g) 10.8 a 8.9ab 11.6 a 7.2 b 12.6 a 8.7 b 12.0 b 14.6 a JPK (g) 8.0 b 7.7 b 10.2 a 6.3 b 8.0 b 7.6 b 9.2ab 10.9 a
Keterangan : Dalam satu kultivar dan untuk masing-masing peubah, angka pada baris diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.
48
Gambar 5. Jumlah tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES cv. Kelinci hasil seleksi in vitro selama satu atau dua siklus dalam media PEG serta satu siklus dalam media PEG, diikuti media filtrat kultur (seleksi ganda) dan R1 zuriat dari tanaman R0 yang menghasilkan kisaran bobot polong kering tertentu. ( ) populasi tanaman R0 dari ES Pi-I atau zuriat R1-nya, ( ) dari ES Pi-II atau zuriat R1-nya, dan ( ) dari ES PFi-I atau zuriat R1-nya. Tanda anak panah menunjukkan kisaran hasil tanaman kacang tanah cv. Kelinci standar.
3
7 8
1 13
11
31
2
5 5
0
10
20
<4.9
4.9-
8.1
8.1-
11.2
11.2
-14.
4
14.4
-17.
6
17.6
-20.
8
20.8
-24
24-2
7.1
27.1
-30.
3
>30.
3
Jum
lah
tan
aman
R0
14
28
16
107
2 14
1015 17
8 7
1
9
22
12
3 10
10
20
30
40
50
<4.9
4.9-
8.1
8.1-
11.2
11.2
-14.
4
14.4
-17.
6
17.6
-20.
8
20.8
-24
24-2
7.1
27.1
-30.
3
>30.
3
Jum
lah
tan
aman
R1
Kisaran bobot polong kering/tanaman (g)
49
Gambar 6. Jumlah tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa hasil seleksi in vitro selama satu atau dua siklus dalam media PEG serta satu siklus dalam media PEG, diikuti dengan media filtrat kultur (seleksi ganda) dan R1 zuriat dari tanaman R0 yang menghasilkan kisaran bobot polong kering tertentu. ( ) populasi tanaman R0 dari ES Pi-I atau zuriat R1-nya, ( ) dari ES Pi-II atau zuriat R1-nya, dan ( ) dari ES PFi-I atau zuriat R1-nya. Tanda panah menunjukkan kisaran hasil tanaman kacang tanah cv. Singa standar.
42 2 2
1
42
13
43
1 1 1 1 1
4
12
12
1
0
10
20
<4.9
4.9-
8.1
8.1-
11.2
11.2
-14.
4
14.4
-17.
6
17.6
-20.
8
20.8
-24
24-2
7.1
27.1
-30.
3
>30.
3
Jum
lah
tan
aman
R0
5
25
36
8
1 14
10
17
24
16
53 48
47
126
0
10
20
30
40
50
<4.9
4.9-
8.1
8.1-
11.2
11.2
-14.
4
14.4
-17.
6
17.6
-20.
8
20.8
-24
24-2
7.1
27.1
-30.
3
>30.
3
Jum
lah
tan
aman
R1
Kisaran bobot polong kering/tanaman (g)
50
Pembahasan
Untuk membuktikan lebih lanjut munculnya karakter varian pada ES yang
insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur S. rolfsii pada generasi R0 dan R1 telah
diidentifikasi tipe variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif
populasi tanaman hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda. Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa variasi somaklonal berhasil diinduksi pada kacang
tanah dengan seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda dengan menggunakan
media selektif PEG untuk menstimulasi cekaman kekeringan dan filtrat kultur S.
rolfsii untuk ketahanan terhadap penyakit busuk batang S. rolfsii. Karakter
kualitatif yang teramati pada generasi R0 yaitu jumlah anak daun trifoliat,
pentafoliat, heksafoliat, heptafoliat, oktafoliat, nanofoliat, fusi pangkal anak daun,
daun bergelombang, cabang majemuk, pucuk majemuk, batang menjalar, steril
partial, steril total dan daun variegata. Pada penelitian sebelumnya, keberadaan
berbagai varian somaklonal tersebut pada populasi tanaman kacang tanah hasil
kultur in vitro telah dilaporkan (Yusnita et al. 2005).
Karakter varian kualitatif yang diamati tidak semuanya muncul kembali
pada generasi R1. Beberapa karakter yang hanya muncul pada populasi tanaman
generasi R0 dan tidak muncul kembali pada generasi R1 adalah cabang majemuk,
tunas majemuk, daun bergelombang, dan batang menjalar. Macam varian
kualitatif yang muncul pada generasi R0 lebih banyak dibanding generasi R1. Hal
ini diduga karena beberapa varian yang ada pada generasi R0 adalah varian yang
bersifat epigenetik yang tidak diwariskan pada turunan generasi R1. Varian yang
teramati kembali pada generasi R1 diduga dikendalikan secara genetik.
Varian kualitatif jumlah anak daun trifoliat, pentafoliat, heksafoliat,
heptafoliat, oktafoliat, nanofoliat, variegata, dan steril partial merupakan sifat
yang diwariskan dari generasi R0 ke generasi R1. Hal ini menunjukkan bahwa
varian kualitatif tersebut dikendalikan secara genetik oleh gen dominan,
sedangkan fenotipe varian dengan fusi pangkal anak daun yang hanya muncul
pada generasi R1 dan tidak muncul pada generasi R0 merupakan indikasi bahwa
fenotipe varian tersebut dikendalikan melalui gen resesif. Keberadaan varian
karakter kualitatif yang muncul pada zuriat tanaman hasil kultur in vitro (generasi
51
lanjut) merupakan fenomena yang umum ditemukan (Barwale & Widholm 1987;
Larkin & Scowcroff 1981). Identifikasi varian somaklonal pada generasi R0 tidak
akan mampu menghasilkan tanaman yang mempunyai karakter tertentu. Oleh
karena itu, seleksi karakter harus dilakukan pada populasi lanjut (R1 atau R2)
yang merupakan turunan dari tanaman hasil kultur in vitro (generasi R0).
Selain varian kualitatif (morfologi), teramati juga varian karakter
kuantitatif (agronomi). Pada generasi R1, seleksi in vitro menghasilkan karakter
agronomi yang beragam. Beberapa varian agronomi yang memberikan varian
yang beragam antara lain tinggi tanaman, jumlah daun, umur tanaman berbunga,
bobot polong kering, dan jumlah polong, sedangkan jumlah cabang pada generasi
R0 memberikan nilai yang beragam tetapi pada generasi R1, karakter tersebut
tidak berbeda antar tanaman hasil seleksi in vitro berulang, seleksi ganda, dan
tanaman standar. Beberapa karakter kuantitatif dari generasi R1 hasil seleksi in
vitro berulang dan seleksi ganda ada yang lebih kecil atau lebih besar
dibandingkan dengan tanaman standar. Beberapa seleksi in vitro yang
memberikan bobot dan jumlah polong kering lebih rendah dari tanaman standar
adalah tanaman yang berasal dari cv. Kelinci dari ES yang diseleksi dengan PEG
siklus I, seleksi ganda, dan cv. Singa dari ES yang diseleksi dengan PEG siklus I.
Individu tanaman dengan daya hasil polong lebih rendah atau lebih tinggi yang
dibandingkan tanaman standar tersebut diduga merupakan varian untuk karakter
kuantitatif. Menurut Stephens et al. (1991) dan Hawbaker et al. (1993) berbagai
sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal namun karakter lain tetap
menyerupai induknya.
Dalam percobaan ini, perubahan karakter kuantitatif telah terjadi pada
tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro. Namun demikian,
kebanyakan tanaman R0 atau zuriat R1-nya mempunyai daya hasil yang tidak
berbeda dengan tanaman standar. Sebaliknya, sejumlah tanaman R0 atau zuriat
R1-nya mempunyai karakter kuantitatif yang sama dengan tanaman kacang tanah
standar tetapi mempunyai daya hasil yang lebih rendah atau lebih tinggi
dibandingkan kacang tanah standar (varian untuk karakter kuantitatif). Dengan
demikian, variasi somaklonal dapat digunakan untuk memperoleh tanaman varian
yang hanya berubah untuk satu atau beberapa karakter tertentu dan tetap
52
mempertahankan karakter unggul yang dipunyai oleh tanaman asalnya.
Kemampuan untuk mengidentifikasi dengan akurat tanaman varian yang
diinginkan diantara populasi tanaman hasil kultur in vitro dapat meningkatkan
efektivitas pemanfaatan induksi variasi somaklonal untuk meningkatkan
keragaman tanaman.
Rendahnya nilai beberapa karakter agronomi pada beberapa tanaman R0
yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro juga merupakan fenomena
yang sering dijumpai. Variasi somaklonal yang dihasilkan diantara populasi
tanaman hasil kultur in vitro atau hasil seleksi in vitro seringkali menyebabkan
munculnya varian untuk karakter yang lebih jelek dibanding tanaman awalnya
(Karp 1995). Variasi somaklonal juga telah dilaporkan dapat menyebabkan
terjadinya variasi untuk karakter kualitatif maupun karakter kuantitatif
sebagaimana yang diamati pada tanaman sorgum yang dihasilkan dari kultur in
vitro (Duncan et al. 1995; Maralappanavar et al. 2000).
Dalam penelitian ini telah diregenerasikan tanaman kacang tanah dari ES
hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan PEG atau dalam media
dengan penambahan PEG diikuti dengan media dengan penambahan filtrat kultur
S. rolfsii. Hasil eva luasi menunjukkan adanya karakter varian somaklonal diantara
populasi tanaman R0 dan R1 yang didapat. Dalam percobaan ini seleksi in vitro
dilakukan menggunakan PEG dan filtrat kultur S. rolfsii sehingga diharapkan
dapat dihasilkan galur kacang tanah varian yang toleran cekaman kekeringan
sekaligus resisten terhadap infeksi S. rolfsii. Evaluasi lebih lanjut untuk sifat
toleran cekaman kekeringan dan resistensi terhadap infeksi S. rolfsii diantara
populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro tersebut
masih perlu dilakukan. Pengujian respons populasi tanaman hasil seleksi in vitro
berulang dalam media PEG dan seleksi ganda terhadap cekaman kekeringan dan
infeksi S. rolfsii akan dilakukan dalam penelitian selanjutnya.
53
Kesimpulan
Analisis populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari masing-masing
ES hasil seleksi satu dan dua siklus (seleksi berulang) pada media selektif PEG
15% serta seleksi ganda (pada media PEG 15% dan kemudian pada media filtrat
kultur 30%) dan zuriat R1-nya menunjukkan adanya karakter varian jumlah anak
daun, fusi pangkal anak daun, daun variegata, dan jantan steril yang dikendalikan
secara genetik, serta varian cabang majemuk, tunas majemuk, dan batang
menjalar, dan daun bergelombang dikendalikan secara epigenetik. Karakter
kuantitatif bobot polong kering dan jumlah polong bernas yang meningkat atau
menurun dibandingkan tanaman standar juga merupakan karakter varian diantara
populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi satu dan dua siklus
(seleksi berulang) pada media selektif PEG 15% serta seleksi ganda (pada media
PEG 15% dan kemudian pada media filtrat kultur 30%).
.
PENAMPILAN TANAMAN KACANG TANAH HASIL SELEKSI IN VITRO BERULANG DAN SELEKSI GANDA PADA POLIETILENA GLIKOL DAN FILTRAT KULTUR
Sclerotium rolfsii TERHADAP CEKAMAN LARUTAN POLIETILENA GLIKOL
Abstrak
Percobaan bertujuan untuk mengidentifikasi penampilan tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda terhadap polietilena glikol (PEG) dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG. Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi generasi R2 turunan dari R1. Selain itu digunakan juga tanaman standar cv. Singa dan Kelinci. Tanaman ditanam pada media campuran arang sekam dan coco peat yang telah disterilisasi. Tanaman pada umur 15 - 50 hari disiram dengan larutan PEG 15%. Identifikasi tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG dengan menghitung indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan peubah yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan gejala nekrosis pada daun lebih sedikit. Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan Kelinci mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG. Tanaman hasil seleksi embrio somatik dua siklus cv. Singa pada media selektif PEG 15% menghasilkan individu galur kacang tanah agak toleran dan toleran lebih banyak.
Kata kunci : embrio somatik, generasi R2, PEG, filtrat kultur.
55
THE PEANUT PLANT PERFORMANCE REGENERATED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO SELECTION AND DOUBLE SELECTION ON POLYETHYLENE GLYCOL AND Sclerotium rolfsii CULTURE FILTRATE AGAINST
POLYETHYLENE GLYCOL SOLUTION STRESS
Abstract
The objective of this research was to identify peanut performance resulted
from repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium and double selection (one cycle of selection on PEG, followed by one cycle of selection on S. rolfsii culture filtrate containing medium) against drought stress with using PEG solution. The R2 generation peanut plants were used in this experiment. Peanut cv. Kelinci and Singa were also tested as control peanut plant. The peanut plants were planted on sterilized coco peat medium. The peanut plants that 15 to 50 days old were watered with PEG 15% solution. Identification of tolerant peanut plant on PEG stress was calculated with using drought sensitivity index value (S) on observed parameter. Results of the experiment showed cv. Singa and Kelinci peanut plant performance produced from repeat cycling in vitro selection to PEG was better plant growth, lesser leaf necrosed symptom and more survive under PEG stress. The cv. Singa peanut plant regenerated from selected somatic embryos (SE) two cycles against polyethylene glycol containing medium produced higher number of moderate and tolerant peanut line.
Keywords : somatic embryo, R2 generation, PEG, culture filtrate
56
Pendahuluan
Air merupakan pembatas utama untuk produksi tanaman di lahan kering.
Cekaman kekeringan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman karena
dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Cekaman kekeringan
berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan tanaman meliputi anatomis, morfologis,
fisiologis dan biokimia tanaman (Raper & Krapmer 1987). Pada fase
pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh terhadap menurunnya
kecepatan fotosintesis dan luas daun. Tanaman yang terkena cekaman kekeringan
menyebabkan potensial air daun menurun, pembentukan klorofil terganggu
(Alberte et al. 1977) dan struktur kloroplas mengalami disintegrasi (Van Doren &
Reicosky 1987).
Penggunaan varietas toleran merupakan alternatif dalam budidaya kacang
tanah di daerah lahan kering, karena lebih efisien dan praktis penerapannya.
Untuk mendapatkan varietas toleran kekeringan dapat dilakukan melalui induksi
variasi somaklonal dan diikuti dengan seleksi in vitro. Seleksi in vitro dapat
dilakukan dengan menggunakan polietilena glikol (PEG) sebagai selective agent
untuk mengidentifikasi sel atau jaringan tanaman kacang tanah yang tidak mati
karena PEG. Senyawa ini merupakan senyawa osmotikum untuk perlakuan
cekaman air pada tanaman (van der Weele et al. 2000). Polietilena glikol dapat
menurunkan potensial air dan dapat ditambahkan dalam media untuk seleksi in
vitro.
Hasil penelitian pada Bab sebelumnya telah didapat bahwa ES dan planlet
hasil seleksi dua siklus pada PEG lebih insensitif pada cekaman PEG 15%
dibanding seleksi satu siklus. Begitu pula dengan ES dan planletnya yang
merupakan hasil seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii lebih
insensitif sekaligus pada cekaman PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Planlet-planlet
hasil seleksi in vitro telah menghasilkan benih generasi R0 dan R1 dan pengujian
sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan perlu dilakukan.
Pengujian sifat toleransi varian somaklonal galur kacang tanah hasil
seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda dapat dilakukan dengan menggunakan
larutan PEG. Penggunaan larutan PEG diharapkan untuk mendapatkan tekanan
seleksi yang homogen untuk masing-masing galur kacang tanah sehingga
57
kesalahan identifikasi individu yang peka sebagai toleran cekaman kekeringan
dapat dihindari.
Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi penampilan tanaman
kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda terhadap PEG dan
filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan
PEG.
Bahan dan Metode
Galur Kacang Tanah
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah populasi
generasi R2 turunan dari R1 hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda pada
media selektif PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Selain itu digunakan juga tanaman
standar cv. Singa dan Kelinci. Beberapa populasi tanaman varian somaklonal
yang diuji pada percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Nomer galur tanaman generasi R2 zuriat dari generasi R1 kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda yang dievaluasi pada cekaman larutan PEG Kultivar Populasi tanaman dari
seleksi ES Nomer galur
Pi-I 121-4, 121-1, 122-4, 23-3, 123-3, 123-4, 124-3, 124-1, 22-2, 22-4, 232-1, 232-3
Pi-II 82-2, 82-1, 121-4, 32-4, 32-3, 141-1, 141-2, 12-1, 12-2
PFi-I 132-1, 52-1, 52-3, 171-4, 171-2
Singa
FPi-I 212-2, 182-2, 201-2 Pi-I 11-2, 11-3, 13-4, 14-4, 14-1, 12-3, 12-2,
72-4 Pi-II 11-2, 11-4, 81-2, 81-4, 22-1, 32-4, 32-2,
84-2, 84-4, 22-2 PFi-I 22-1, 22-2, 21-2
Kelinci
FPi-I 32-1, 22-1, 31-1, 32-2, 22-3
58
Penyiapan Media Tanam, Penanaman dan Rancangan Percobaan
Media tanam yang digunakan merupakan campuran arang sekam dan coco
peat (1:1) yang telah disterilisasi. Media tanam (500 g) dimasukkan dalam polibeg
yang berukuran 15 x 25 cm. Benih kacang tanah ditanam satu biji per polibeg.
Tanaman disiram setiap hari dengan 20 ml larutan Hyponex (15-15-20 NPK)
dengan konsentrasi 1g/liter air, sampai kecambah berumur 14 hari. Pupuk NPK
diberikan sebagai pupuk dasar sebanyak 0.5 g per polibeg.
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Pi-I, Pi-II,
PFi-I, FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah).
Perlakuan Cekaman dengan Larutan PEG
Kondisi cekaman diberikan dengan menambahkan larutan PEG dengan
berat molekul 6000 ke dalam larutan Hyponex (konsentrasi 1 g/liter air). Larutan
PEG yang digunakan berkonsetrasi 15%. Perlakuan tanpa cekaman PEG (kontrol)
dilakukan dengan menyiramkan tanaman hanya dengan larutan Hyponex.
Penyiraman larutan PEG sebanyak 20 ml per polibeg dilakukan mulai umur
kecambah 15 HST dan dilakukan setiap hari sampai tiga hari berturut-turut. Pada
hari ke-4, tanaman hanya disiram dengan larutan Hyponex. Penyiraman dengan
20 ml larutan PEG dilakukan sampai umur tanaman 30 hari. Penyiraman
berikutnya sebanyak 40 ml larutan PEG dan dilakukan sampai umur 50 hari.
Identifikasi tanaman somaklon yang toleran terhadap cekaman PEG
dilakukan dengan menghitung : persentase tanaman mati, pertumbuhan tanaman,
dan indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan peubah yang diamati.
Perhitungan persentase tanaman mati dilakukan dengan menghitung jumlah
tanaman mati per jumlah tanaman yang diuji.
Indeks sensitivitas kekeringan (S) dihitung berdasarkan rumus Fischer dan
Maurer (1978), yaitu : S = (1-Y/Yp) / (1-X/Xp), dengan (Y) = nilai rataan peubah
tertentu (misal : panjang akar, bobot kering akar, tinggi tanaman, dan lain- lain)
pada satu genotipe yang mengalami cekaman kekeringan, (Yp) = nilai rataan
peubah tersebut pada satu genotipe lingkungan optimum, (X) = nilai rataan
peubah tersebut pada semua genotipe yang mengalami cekaman kekeringan, dan
(Xp) nilai rataan peubah tersebut pada semua genotipe lingkungan optimum.
59
Genotipe dikatakan toleran terhadap cekaman kekeringan jika mempunyai nilai S
< 0.5, agak toleran jika 0.5 = S = 1, dan peka jika S > 1.
Hasil
Kondisi Fisik Tanaman pada Cekaman PEG
Cekaman PEG pada tanaman kacang tanah menyebabkan kondisi tanaman
menjadi terhambat pertumbuhannya. Kenampakan awal yang terjadi pada
tanaman akibat cekaman PEG adalah kerusakan yang terjadi pada permukaan
daun. Kerusakan daun diawali dengan timbulnya klorosis yang dimulai dari tepi
lamina daun dan selanjutnya terjadi nekrosis dari tepi lamina menuju tulang utama
daun. Gejala nekrosis ini menyerupai daun seperti terbakar (leaf firing). Gejala
lanjut setelah nekrosis adalah daun menggulung seperti “kerupuk”, tanaman
menjadi layu dan mati (Gambar 7).
Gambar 7. Representasi respons tanaman kacang tanah terhadap cekaman PEG. (a) - (d) perkembangan gejala nekrosis ( ) dari tepi lamina daun (gejala ringan) sampai ke tulang daun utama (gejala berat), (e) daun tanaman menggulung seperti “kerupuk” ( ) dan tanaman kerdil, dan (f) pertumbuhan akar tanaman sensitif PEG (kiri) dan toleran PEG (kanan)
a b c
d e f
60
Tanaman kacang tanah yang toleran terhadap cekaman PEG cenderung
mempunyai gejala nekrosis yang lebih ringan dibanding dengan tanaman yang
sensitif terhadap PEG. Tanaman dengan gejala nekrosis berat menghasilkan
pertumbuhan tanaman tidak baik dibanding dengan tanaman yang bergejala
nekrosis ringan. Tanaman kacang tanah yang berasal dari cv. Singa dan Kelinci
(tanaman standar) menghasilkan gejala nekrosis terparah sehingga menimbulkan
gangguan yang serius pada proses fotosintesis.
Kemampuan Tanaman untuk Hidup pada Cekaman PEG
Pada Tabel 10 terlihat bahwa tanaman kacang tanah yang berasal dari ES
cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro pada PEG 15% menghasilkan tanaman
yang dapat bertahan hidup lebih lama dibanding tanaman yang tidak melewati
seleksi in vitro. Tanaman ini dapat bertahan hidup sampai umur 49 hari dari umur
panen 50 hari, sedangkan tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro hanya
dapat hidup rata-rata sampai 39 hari.
Tabel 10. Rata-rata jumlah hari tanaman untuk dapat bertahan hidup dan persentase (%) tanaman yang masih hidup sampai umur 50 hari dalam media yang diberi perlakuan PEG 15% pada populasi tanaman Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv.
Umur tanaman hidup (hari)
Persentase (%) tanaman hidup
cv. Singa : Pi-0 38.60 c 50.0 Pi-I 47.50 ab 86.7 Pi-II 48.79 a 93.5 PFi-I 44.38 b 68.8 FPi-I 48.33 ab 88.9 cv. Kelinci : Pi-0 38.80 b 40.0 Pi-I 47.00 a 82.8 Pi-II 49.16 a 95.2 PFi-I 47.56 a 88.9 FPi-I 47.82 a 82.4
Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a =5 %
61
Pada tanaman cv Singa dan Kelinci hasil seleksi ES dua siklus (seleksi
berulang) pada PEG 15% mempunyai kemampuan bertahan hidup sama dengan
tanaman dari hasil siklus seleksi in vitro yang lain, kecuali pada seleksi ganda dari
cv. Singa (seleksi pertama pada PEG kemudian pada filtrat kultur S. rolfsii)
mempunyai umur bertahan hidup yang lebih pendek. Namun, secara umum
terlihat bahwa tanaman yang berasal dari seleksi in vitro dua siklus pada PEG
15% cenderung mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih lama
dibanding seleksi ES siklus yang lain.
Tanaman yang mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama
cenderung menghasilkan persentase tanaman hidup lebih banyak. Namun,
sebaliknya tanaman dengan umur bertahan hidup yang pendek menghasilkan
persentase tanaman hidup lebih sedikit (Tabel 7). Tanaman kacang tanah yang
berasal dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG menghasilkan
persentase tanaman hidup yang lebih banyak dibanding siklus seleksi ES yang
lain. Tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro menghasilkan persentase
tanaman hidup yang lebih sedikit atau tanaman ini tidak mampu untuk bertahan
hidup atau banyak yang mati.
Pengaruh Cekaman Larutan PEG terhadap Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman kacang tanah pada cekaman PEG 15% ditampilkan
pada Tabel 11. Pengamatan pertumbuhan tanaman diamati pada kondisi cekaman
PEG, kondisi optimum, serta membandingkan tanaman somaklon. Hasil analisis
keragaman menunjukkan bahwa seleksi ES tidak berpengaruh nyata terhadap
jumlah cabang pada cv. Singa atau Kelinci, namun antara kondisi cekaman dan
optimum pada cv. Singa dan Kelinci berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang.
Tanaman yang dihasilkan dari hasil seleksi ES yang berbeda berpengaruh
nyata terhadap tinggi tanaman. Pada kondisi cekaman ternyata tanaman yang
dihasilkan dari ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus menghasilkan tanaman yang
lebih tinggi dari seleksi ES yang lain dan tanaman tanpa seleksi in vitro. Tinggi
tanaman pada kondisi optimum lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kondisi
cekaman PEG.
62
Tabel 11. Pengaruh cekaman PEG 15% terhadap pertumbuhan tanaman populasi tanaman Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii
Singa Kelinci Populasi tanaman dari seleksi ES Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Jumlah cabang Pi-0 3.00 aA 1.60 bB 3.00 aA 1.00 aB Pi-I 2.38 aA 1.12 bB 2.97 aA 1.46 aB Pi-II 2.93 aA 1.56 bB 3.10 aA 1.73 aB PFi-I 2.80 aA 1.09 bB 3.67 aA 1.63 aB FPi-I 2.89 aA 1.13 bB 2.95 aA 1.50 aB
Tinggi tanaman (cm) Pi-0 49.25 aA 35.00 bB 36.75 bA 29.00 bB Pi-I 45.19 abA 36.62 abB 44.30 aA 31.25 abB Pi-II 49.07 aA 40.04 aB 42.37 aA 34.97 aB PFi-I 46.20 abA 35.36 abB 40.84 abA 27.51 bB FPi-I 42.89 bA 32.38 bB 37.95 bA 30.88 abB
Jumlah daun Pi-0 16.38 bA 10.08 aB 21.00 abA 9.25 aB Pi-I 19.43 abA 10.69 aB 18.18 bA 11.24 aB Pi-II 21.59 aA 12.12 aB 18.70 bA 13.17 aB PFi-I 16.80 bA 10.36 aB 22.89 aA 10.75 aB FPi-I 19.00 abA 10.87 aB 20.14 abA 12.21 aB
Jumlah buku batang utama Pi-0 10.13 aA 8.4 aB 10.00 aA 7.00 cB Pi-I 10.19 aA 8.57 aB 9.97 aA 7.63 bcB Pi-II 10.33 aA 8.64 aB 9.97 aA 8.53 abB PFi-I 9.87 aA 8.27 aB 9.78 aA 9.13 aA FPi-I 9.89 aA 8.63 aB 9.62 aA 8.71 abA
Panjang akar (cm) Pi-0 17.50 abA 16.60 bB 14.25 bA 12.55 bA Pi-I 14.31 bA 14.62 bA 14.67 bA 13.28 bA Pi-II 17.87 aA 18.29 aA 15.60 abA 17.54 aA PFi-I 15.13 abA 13.82 bA 15.02 abA 14.25 bA FPi-I 14.01 bA 13.24 bA 15.07 aA 14.39 bB
Bobot kering akar (g) Pi-0 0.54 aA 0.30 bB 0.73 aA 0.40 abB Pi-I 0.51 aA 0.36 bB 0.47 bA 0.32 bB Pi-II 0.57 aA 0.49 aA 0.54 bA 0.45 aA PFi-I 0.47 aA 0.37 bA 0.58 bA 0.41 abB FPi-I 0.46 aA 0.33 bB 0.49 bA 0.37 abA
Jumlah ginofor Pi-0 3.50 aA 1.40 aA 7.50 aA 0.75 aB Pi-I 4.60 aA 2.23 aA 5.20 abA 1.83 aB Pi-II 5.19 aA 3.12 aA 6.03 abA 1.87 aB PFi-I 4.87 aA 1.09 aB 4.87 bA 1.00 aB FPi-I 4.44 aA 2.13 aA 3.67 bA 1.14 aA
Bobot kering tanaman (g) Pi-0 2.61 abA 1.01 aB 2.78 aA 1.18 aB Pi-I 2.77 aA 1.39 aB 2.19 abA 1.17 aB Pi-II 2.99 aA 1.69 aB 2.35 abA 1.77 aB PFi-I 2.26 bA 1.34 aB 2.58 abA 1.55 aB FPi-I 1.99 bA 1.19 aB 2.08 bA 1.37 aB
Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a=5 %
63
Jumlah daun tidak berbeda nyata diantara tanaman hasil seleksi ES pada
kondisi cekaman PEG, namun dibanding kondisi optimum dengan cekaman
ternyata keduanya saling berbeda nyata.
Jumlah buku batang utama pada kondisi cekaman tidak berbeda antar
metode seleksi pada cv. Singa, namun berbeda nyata antar metode seleksi ES pada
kondisi cekaman pada cv. Kelinci. Tanaman cv. Kelinci yang tidak melewati
seleksi in vitro pada kondisi cekaman memiliki jumlah buku batang yang paling
sedikit.
Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus
pada media selektif yang mengandung PEG mempunyai akar yang lebih panjang
dan bobot kering akar yang lebih berat pada kondisi cekaman. Pada seleksi ES cv.
Singa dan Kelinci dua siklus, panjang akar dan bobot kering akar tidak berbeda
antara tanaman yang ditanam pada kondisi optimum dan cekaman PEG dan ada
kecenderungan bahwa panjang akar pada kondisi cekaman lebih panjang daripada
pada kondisi optimum.
Pada kondisi cekaman, ternyata tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES
cv. Singa dan Kelinci menghasilkan jumlah ginofor dan bobot kering tanaman
yang tidak berbeda antara metode seleksi ES. Namun ada kecenderungan bahwa
tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada
kondisi cekaman menghasilkan jumlah ginofor yang lebih banyak dan bobot
kering tanaman yang lebih berat.
Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Larutan PEG
Toleransi tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro pada media PEG
diukur dengan menggunakan indeks sensitivitas kekeringan (S) terhadap cekaman
PEG. Indeks sensitivitas dapat mengelompokkan tanaman kacang tanah menjadi
toleran, agak toleran, dan peka. Indeks sensetivitas terhadap cekaman PEG
menunjukkan besarnya penurunan berbagai peubah yang diamati pada kondisi
cekaman relatif terhadap kondisi optimum. Indeks sensitivitas terhadap cekaman
PEG dapat dilihat pada Tabel 12.
64
Tabel 12. Indeks sensitivitas (S) terhadap cekaman PEG berdasarkan sejumlah karakter pertumbuhan pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii
Indeks sensivitas (S) Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv JC TT BKA JG BKT
Fenotipe somaklon
cv. Singa : Pi-0 0.93 1.38 1.51 0.98 1.60 P Pi-I 0.95 0.83 0.79 0.44 1.14 A Pi-II 0.83 0.77 0.50 0.39 1.00 A PFi-I 1.17 1.10 0.92 1.32 0.94 A FPi-I 1.17 1.15 1.07 0.87 1.08 P cv. Kelinci : Pi-0 1.33 1.01 1.71 1.47 1.50 P Pi-I 0.94 1.28 1.17 0.78 1.05 P Pi-II 0.85 0.82 0.48 0.82 0.62 T PFi-I 1.06 1.53 0.98 1.49 1.11 A FPi-I 0.71 0.54 1.14 0.66 1.01 P
Keterangan : peubah JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, BKA = bobot kering akar, JG = jumlah ginofor, BKT = bobot kering tanaman. Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering akar. Pengelompokan galur : T = toleran, A = agak toleran, dan (P) = peka.
Dari nilai S bobot kering akar, ternyata tanaman yang dihasilkan dari
seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG menghasilkan nilai indeks
= 0.5. Tanaman yang berasal dari seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda PFi-I
pada cv. Singa menghasilkan nilai 0.5 < S < 1.0 sedangkan seleksi ganda yang
lain bernilai S > 1 tetapi masih lebih kecil dari tanaman standar. Tanaman hasil
seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda FPi-I pada cv. Kelinci menghasilkan
nilai S > 1 namun masih lebih rendah dari cv. Kelinci yang tidak melewati seleksi
in vitro, sedangkan tanaman dari seleksi ganda PFi-I bernilai nilai 0.5 < S < 1.0.
Untuk mengetahui toleransi beberapa galur tanaman dari seleksi ES pada PEG
15% satu siklus, dua siklus (seleksi berulang), dan seleksi ganda dilakukan
perhitungan nilai S pada peubah jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot kering
akar, jumlah ginofor, dan bobot kering tanaman (Tabel 13). Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai S berdasarkan bobot kering akar dari masing-masing
galur bervariasi dan bahkan ada yang lebih besar dari nilai S tanaman standar.
65
Pada cv. Singa hasil seleksi ES satu siklus (Pi-I), ternyata dari 12 galur yang diuji
menghasilkan 5 galur peka (41.67%), 4 galur agak toleran (33.33%), dan 3 galur
toleran (25%), sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan masing-
masing 4 galur peka dan agak toleran (50%) dari 8 galur yang diuji. Tanaman
yang berasal dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang = Pi-II) pada cv. Singa
menghasilkan 22.22% tanaman peka, 33.33% agak toleran dan 44.44% tanaman
toleran, sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan tanaman peka
40%, agak toleran 20%, dan tanaman toleran 40%. Tanaman kacang tanah yang
berasal dari seleksi ganda pada cv. Singa (PFi-I) menghasilkan lebih banyak
tanaman agak toleran 60%, tanaman peka dan toleran masing-masing 20%,
sedangkan pada seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman peka
terhadap cekaman PEG yaitu sebesar 33.33%, agak toleran 66.67%, dan tidak
dijumpai adanya tanaman toleran. Pada tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I) pada
cv. Kelinci tidak ditemukan tanaman yang toleran dan tanaman peka 33.33% dan
tanaman agak toleran sebesar 66.67%. Pada seleksi ganda yang lain (FPi-I)
menghasilkan tanaman peka 60% dan agak toleran 40%. Tanaman standar
semuanya peka terhadap cekaman PEG.
66
Tabel 13. Indeks sensitivitas (S) terhadap cekaman PEG berdasarkan sejumlah karakter pertumbuhan pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan galur populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii
Indeks sensivitas (S) Populasi tanaman dan galur dari seleksi ES dan cv.
JC TT BKA JG BKT Fenotipe Somaklon
cv. Singa : Pi-0 0.93 1.38 1.51 0.98 1.60 P Pi-I :
121-4 1.13 1.46 1.26 1.11 1.35 P 121-1 1.39 1.11 1.26 1.31 1.79 P 122-4 0.20 0.59 0.00 0.09 0.97 T
23-3 0.82 0.98 0.00 0.74 1.15 T 123-3 0.46 0.83 1.89 0.00 0.26 P 123-4 0.52 0.63 0.76 -0.59 0.65 A 124-3 1.13 0.69 1.14 0.57 1.35 P 124-1 0.82 0.00 0.95 -0.49 1.07 A
22-2 1.00 1.26 1.51 1.37 1.51 P 22-4 1.26 0.91 0.76 0.50 1.12 A
232-1 1.45 1.29 0.91 0.11 1.26 P 232-3 1.25 0.26 -0.95 0.59 1.22 T
Pi-II : 82-2 1.08 1.21 0.00 0.25 1.30 T 82-1 1.45 0.97 0.63 0.39 1.31 A
121-4 0.47 0.68 0.76 0.00 0.41 A 32-4 1.00 0.7 0.00 0.68 0.23 T 32-3 1.14 1.32 1.08 1.36 1.65 P
141-1 0.87 0.15 0.76 0.77 0.94 A 141-2 1.25 0.64 1.43 0.72 1.40 P
12-1 -0.61 0.57 0.00 -1.63 0.42 T 12-2 0.82 0.67 -0.19 0.98 1.38 T PFi-I :
132-1 1.45 1.72 2.33 1.63 1.95 P 52-1 0.69 1.26 0.76 1.34 1.12 A 52-3 1.33 1.38 0.76 1.25 1.21 A
171-4 1.13 0.20 0.00 1.32 -0.31 T 171-2 1.25 0.81 0.76 1.04 0.75 A
FPi-I : 212-2 1.15 1.17 0.95 0.79 1.08 A 182-2 1.03 1.11 0.76 0.49 0.96 A 201-2 1.34 1.16 1.51 1.32 1.19 P
67
Tabel Lanjutan :
cv. Kelinci : Pi-0 1.33 1.01 1.71 1.47 1.50 P Pi-I :
11-2 1.33 1.76 1.86 1.14 1.70 P 11-3 0.47 -0.08 0.76 -1.06 0.44 A 13-4 1.34 2.01 1.51 1.50 1.83 P 14-4 0.74 0.71 0.76 0.53 0.00 A 14-1 0.52 0.46 0.76 0.33 -0.15 A 12-3 0.50 2.01 1.26 1.52 1.59 P 12-2 1.45 1.88 1.51 0.99 1.52 P 72-4 1.19 1.48 0.96 1.30 1.47 A
Pi-II : 11-2 0.88 -0.06 0.00 1.30 0.15 T 11-4 0.54 1.19 0.76 1.34 0.27 A 81-2 1.00 0.91 1.89 0.12 0.47 P 81-4 1.15 1.00 1.42 1. 20 0.93 P 22-1 0.69 0.63 -0.95 -0.10 0.00 T 32-4 0.91 1.19 1.35 1.00 1.31 P 32-2 0.74 0.58 1.26 1.19 0.42 P 84-2 1.39 1.17 0.95 1.34 0.90 A 84-4 0.74 0.85 0.00 1.23 1.12 T 22-2 0.46 0.73 -1.89 0.00 0.58 T
PFi-I 22-1 0.66 1.56 0.76 1.63 1.41 A 22-2 1.07 1.45 1.42 1.22 1.08 P 21-2 1.45 1.57 0.76 1.63 0.83 A
FPi-I 32-1 0.46 2.03 0.76 0.92 0.45 A 22-1 0.66 2.04 1.14 1.26 2.00 P 31-1 1.39 0.77 1.73 1.54 1.25 P 32-2 1.33 -0.32 1.45 1.19 1.37 P 22-3 -0.31 -1.81 0.63 -1.63 0.00 A
Keterangan : peubah JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, BKA = bobot kering akar, JG = jumlah ginofor, BKT = bobot kering tanaman. Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering akar. Pengelompokan galur : T = toleran, A = agak toleran, dan (P) = peka.
68
Pembahasan
Identifikasi tanaman kacang tanah yang toleran terhadap cekaman
kekeringan dapat disimulasi dengan menyiramkan larutan PEG 15% selama
pertumbuhan tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman kacang
tanah hasil seleksi in vitro semuanya menunjukkan gejala nekrosis pada lamina
daun. Bahkan beberapa galur yang sensitif dapat menimbulkan kematian akibat
cekaman larutan PEG. Tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi ES cv.
Singa atau Kelinci dua siklus pada media PEG cenderung menghasilkan gejala
nekrosis yang lebih sedikit dan lebih mampu untuk bertahan hidup lama, jumlah
tanaman hidup lebih banyak dibanding dengan tanaman yang berasal dari seleksi
ES satu siklus pada PEG atau seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur. Tanaman
yang toleran terhadap cekaman PEG mampu untuk hidup dan menghasilkan
pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Tanaman kacang tanah yang sensitif pada
PEG tidak mampu untuk bertahan hidup lebih lama, sehingga persentase tanaman
hidup lebih sedikit.
Secara umum pengaruh cekaman PEG secara nyata menghambat
pertumbuhan tanaman. Namun tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi
ES dua siklus lebih mampu untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik,
sehingga jumlah tanaman yang mati dapat dikurangi. Tanaman yang toleran
terhadap cekaman PEG menghasilkan mekanisme toleran terutama pertumbuhan
akar yang lebih baik. Terbukti bahwa tanaman yang bergejala nekrosis besar pada
daun merupakan akibat dari ketidakmampuan akar untuk mensuplai air pada daun
tanaman. Akar tanaman tidak mampu untuk mensuplai air ke daun ketika jumlah
dan panjang akar tidak sebanding lagi untuk dapat mengikat air ketika ada tekanan
PEG. Pada Gambar 7.f terlihat bahwa pertumbuhan akar tanaman sensitif PEG
lebih pendek dan sedikit. Menurut Wakabayashi et al. (1997) penghambatan
pertumbuhan koleoptil gandum disebabkan oleh rendahnya suplai air dari akar ke
koleoptil. Tanaman kacang tanah dari seleksi ES siklus II (seleksi berulang)
cenderung menghasilkan bobot kering akar yang lebih berat dibanding tanaman
dari seleksi in vitro yang lain dan tanaman standar (cv. Singa dan Kelinci).
Penggunaan PEG dapat menstimulasi penurunan potensial air dan menimbulkan
69
cekaman kekeringan bagi tanaman. Penggunaan PEG sebagai cekaman
osmotikum dapat mengurangi pemanjangan dan ekspansi sel tanaman (Sakurai et
al. 1987; Taiz 1984). Tanaman kacang tanah yang tidak melewati seleki in vitro
(tanaman standar), tanaman hasil seleksi in vitro pada PEG satu siklus dan
tanaman hasil seleksi ganda belum mampu secara nyata untuk menekan cekaman
yang ditimbulkan oleh larutan PEG 15%. Ini terbukti dari rendahnya komponen
pertumbuhan yang dihasilkan.
Berdasarkan uji toleransi bobot kering akar tanaman terhadap cekaman
PEG menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi ES
pada PEG dua siklus menghasilkan tanaman yang lebih toleran dari tanaman hasil
seleksi ES yang lain, dengan rata-rata nilai S = 0.50 (agak toleran) untuk cv. Singa
dan S = 0.48 (toleran) untuk cv. Kelinci. Nilai toleransi tanaman terhadap
cekaman PEG merupakan ekspresi toleransi yang ditimbulkan dari galur-galur
kacang tanah untuk melawan cekaman kekeringan. Tanaman yang toleran
terhadap cekaman PEG menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
dibanding dengan tanaman yang tidak toleran. Tanaman yang toleran mampu
untuk melakukan fotosintesis dan fotosintat yang dihasilkan tentu lebih banyak,
dan selanjutnya fotosintat tersebut segera didistribusikan ke seluruh bagian
tanaman. Tanaman kacang tanah hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci satu siklus
dan seleksi ganda menghasilkan nilai S > 1 atau sama dengan tanaman cv. Singa
dan Kelinci tanpa melalui seleksi in vitro (tanaman standar), atau 0.5 = S =1.0.
Ini berarti bahwa seleksi ES pada PEG 15% selama satu siklus belum cukup untuk
menghasilkan tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Identifikasi lebih lanjut terhadap kacang tanah hasil regenerasi ES dari
seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda menunjukkan bahwa seleksi ES pada
PEG 15% dua siklus menghasilkan individu galur agak toleran dan toleran lebih
banyak pada cekaman larutan PEG 15% (Tabel 13). Seleksi ES kacang tanah dua
siklus pada PEG 15% menyebabkan kalus embriogen dapat beradaptasi lebih baik
terhadap media selektif PEG atau frekuensi munculnya sel/jaringan varian yang
toleran terhadap cekaman PEG lebih tinggi dibandingkan yang hanya diseleksi
satu siklus dengan PEG. Sel/jaringan normal terhambat pertumbuhannya,
sedangkan jaringan varian yang toleran mengalami proliferasi menjadi kalus
70
embriogen dan selanjutnya berkembang menjadi planlet yang toleran. Tanaman
kacang tanah yang toleran terhadap PEG adalah berasal dari kalus embriogen
yang memang toleran terhadap media selektif PEG 15%.
Jumlah individu galur kacang tanah dari seleksi ganda menghasilkan
individu galur agak toleran dan toleran paling sedikit dan galur peka yang lebih
banyak. Hal ini terjadi karena seleksi ganda pada media selektif PEG 15% dan
dilanjutkan seleksi pada media filtrat kultur (PFi-I) atau sebaliknya lebih awal
diseleksi pada filtrat kultur 30% dan diseleksi kembali pada media selektif PEG
15% (FPi-I) menyebabkan ES lebih banyak yang mati. Tekanan dua media
selektif sekaligus menyebabkan sel/jaringan yang sebelumnya mutan pada salah
satu media selektif PEG 15% atau filtrat kultur 30% akan menjadi tidak mutan
ketika diseleksi kembali pada media selektif filtrat kultur atau PEG.
Kesimpulan
Penyiraman tanaman kacang tanah dengan larutan PEG 15% nyata
menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dihasilkan dari ES hasil
seleksi in vitro dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan penghambatan
pertumbuhannya lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada
PEG 15%, seleksi ganda (pada PEG dan diikuti seleksi ES pada filtrat kultur atau
sebaliknya pada filtrat kultur dan diikuti pada media selektif PEG), dan tanaman
yang tidak melewati seleksi in vitro.
Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan
Kelinci mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG.
Seleksi ES dua siklus cv. Singa pada media selektif PEG 15% menghasilkan
individu galur kacang tanah agak toleran dan toleran lebih banyak. Seleksi ganda
(pada media PEG dan kemudian pada filtrat kultur atau sebaliknya pada media
filtrat kultur dan kemudian pada media PEG) menghasilkan jumlah individu galur
toleran paling sedikit atau tanaman peka lebih banyak pada cekaman larutan PEG.
RESPONS TANAMAN KACANG TANAH SOMAKLON DARI HASIL REGENERASI SELEKSI IN VITRO BERULANG
DAN SELEKSI GANDA TERHADAP KEKERINGAN
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro berulang pada media selektif PEG dan seleksi ganda pada media PEG dan filtrat kultur Sclerotium rolfsii terhadap cekaman kekeringan. Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi tanaman generasi R2. Selain itu digunakan juga tanaman standar cv. Singa dan Kelinci. Perlakuan cekaman kekeringan diberikan pada tanaman berumur 16 sampai 85 hari. Sebagian tanaman disiram sampai dengan kapasitas lapang (kondisi optimum) dan yang lain dipelihara dalam kondisi cekaman akibat pengurangan pemberian air. Setelah berumur 85 hari, tanaman diberikan kondisi optimum sampai tanaman panen. Toleransi tanaman somaklon terhadap kekeringan dihitung berdasarkan indeks sensitivitas kekeringan (S) pada semua peubah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dengan hasil polong yang lebih tinggi dengan persentase penurunan hasil polong lebih kecil. Tanaman ini juga mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman kekeringan, menghasilkan jumlah individu galur kacang tanah toleran lebih banyak, dan mengandung kadar prolin yang lebih tinggi. Kata kunci : somaklon, embrio somatik, kekeringan, toleran
72
RESPONSE OF SOMACLONAL PEANUT PLANTS REGENERATED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO
SELECTION AND DOUBLE SELECTION AGAINST DROUGHT STRESS
Abstract
The objective of this research was to evaluate response of solmaclonal peanut plant regenerated from repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium and double selection on PEG and Sclerotium rolfsii culture filtrate containing medium against drought stress. The R2 generation peanut plants were used in this experiment. Peanut cv. Kelinci and Singa were also tested as control plant. Water deficit treatment was given to peanut plants that 16 to 85 days old. The peanut plants were irigated with water (optimum condition) while other plants were conditioned under water deficit. After the peanut plant were 85 days old, the plants were treated under optimum condition until plant harvested. Identification of tolerant peanut plant on drought stress was calculated with using drought sensitivity index value (S) on observed parameter. Results of the experiment showed cv. Singa and Kelinci peanut plant produced from repeat cycling in vitro selection to PEG were more tolerance to water defisit, produced higher vegetative growth and dry pod yield, and lower dry pod yield reduction. These plants produced higher number of tolerant peanut line and higher proline content. Keywords: somaclone, somatic embryo, drought stress, tolerant
73
Pendahuluan
Pengembangan varietas tanaman kacang tanah dengan potensi hasil tinggi
melalui mekanisme identifikasi tanaman yang toleran kekeringan adalah sangat
penting untuk meningkatkan hasil tanaman pada lahan kering (Rajaram et al.
1996). Kekeringan (ketersediaan air yang terbatas) merupakan faktor utama yang
membatasi produksi tanaman. Kekeringan juga telah menjadi penyebab permanen
penurunan produksi pertanian terutama untuk negara-negara berkembang. Di
Indonesia penanaman kacang tanah sebagian besar ditanam di lahan kering,
sehingga masalah cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan
produksi kacang tanah.
Penggunaan kultivar yang toleran terhadap cekaman kekeringan
merupakan alternatif dalam peningkatan produksi kacang tanah di lahan kering.
Penggunaan kultivar toleran dalam budidaya kacang tanah di lahan kering lebih
efisien dan praktis dibandingkan dengan teknik budidaya yang la in. Metode
pemuliaan konvensional seperti hibridisasi yang diikuti seleksi telah digunakan
untuk menghasilkan kultivar toleran. Hibridisasi dan seleksi pada lahan kering
untuk mendapatkan kultivar toleran belum pernah dilakukan di Indonesia. Selama
ini seleksi untuk mendapatkan kultivar toleran kekeringan kacang tanah dilakukan
pada kondisi lingkungan optimum dan pengujian daya hasilnya dilakukan di lahan
kering. Selain itu, seleksi untuk galur toleran kekeringan dengan potensi hasil
tinggi pada kondisi optimum lebih efisien daripada seleksi pada kondisi cekaman
kekeringan (Rajaram et al. 1996), sehingga seleksi galur toleran kacang tanah
yang spesifik pada lahan cekaman kekeringan belum pernah dilakukan. Kalaupun
ada yang pernah melakukan pada lahan dengan lingkungan spesifik cekaman
kekeringan, masalah homogenitas tekanan seleksi sulit dicapai, sehingga galur-
galur yang diuji menjadi salah teridentifikasi dan terjadi escape dan akhirnya
kemajuan seleksi lebih lama dicapai. Penggunaan seleksi di lapang juga
membutuhkan areal yang luas, sehingga penanganan tanaman terseleksi relatif
sulit.
Upaya yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan galur toleran cekaman
kekeringan adalah dengan menggunakan metode seleksi in vitro. Metode ini
74
didasarkan pada induksi variasi genetik diantara sel-sel, jaringan dan atau organ-
organ yang dikulturkan, dan tanaman yang diregenerasikan (Mohamed et al.
2000). Perubahan genetik yang terjadi selama seleksi in vitro disebut variasi
somaklonal (Jain 2000; Larkin 2004). Induksi variasi somaklonal yang diikuti
dengan seleksi in vitro dilaporkan efektif untuk mengidentifikasi varian tanaman
dengan sifat unggul, seperti toleran cekaman kekeringan pada kedelai (Widoretno
et al. 2004), padi toleran kekeringan (Adkins et al. 1995), padi tahan cekaman
tanah garam (Bouharmont et al. 1993), dan tanaman tahan tanah masam (Miller et
al. 1992).
Penggunaan seleksi in vitro berulang (repeat cycling-in vitro selection)
pada media selektif PEG selama beberapa siklus seleksi untuk menginduksi
variasi somaklonal diharapkan dapat meningkatkan tanaman somaklon yang
toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu, dengan melakukan seleksi ganda
dalam media dengan penambahan PEG diikuti dengan yang mengandung filtrat
kultur S. rolfsii diharapkan diperoleh tanaman kacang tanah yang toleran cekaman
kekeringan dan resisten terhadap infeksi S. rolfsi. Seleksi ES ditingkat in vitro
harus dapat dibuktikan tingkat toleransinya ditingkat in vivo atau di lapangan
Menurut Brar dan Jain (1998) tanaman somaklon yang dihasilkan perlu dilakukan
pengujian pada beberapa generasi untuk melihat kestabilan genetik dan
multiplikasi somaklon yang sifat genetiknya stabil untuk mengembangkan
kultivar baru.
Karakter utama yang perlu diperhatikan pada pengujian sifat toleransi
kacang tanah terhadap cekaman kekeringan adalah bobot polong kering dan
jumlah polong. Oleh karena itu, identifikasi toleransi galur kacang tanah terhadap
cekaman kekeringan dihitung berdasarkan penurunan relatif bobot polong kering
dan jumlah polong dari lingkungan optimum ke lingkungan yang mendapat
cekaman kekeringan. Fisher dan Maurer (1978) mengukur toleransi kultivar
gandum terhadap kekeringan dengan menghitung indeks kepekaan kekeringan (S)
dengan membandingkan pengurangan hasil pada lingkungan tercekam dengan
lingkungan yang optimum.
Toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat
bertahan terhadap cekaman yang terjadi atau adanya mekanisme yang
75
memungkinkan untuk terhindar dari situasi cekaman tersebut. Tanaman
mempunyai toleransi yang berbeda terhadap cekaman kekeringan karena
perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler
(Perez-Molphe-Balch et al. 1996). Toleransi terhadap cekaman kekeringan
melibatkan akumulasi senyawa yang dapat melindungai sel dari kerusakan yang
terjadi pada saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). Akumulasi prolin dan
gula terlarut merupakan senyawa yang memegang peranan penting untuk toleransi
terhadap cekaman kekeringan dan merupakan mekanisme toleransi osmotik (Kim
& Janick 1991; Hanson et al. 1979; Mohamed et al. 2000). Sel, jaringan atau
tanaman yang over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap
cekaman kekeringan yang lebih baik (Ober & Sharp 1994).
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi (a) respons tanaman varian
somaklonal hasil seleksi in vitro berulang pada media selektif PEG dan seleksi
ganda pada media PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan
dan (b) karakter fisiologis tanaman varian somaklon yang toleran kekeringan.
Bahan dan Metode
Evaluasi tanaman varian somaklonal terhadap cekaman kekeringan
Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Pi-I, Pi-II,
PFi-I, FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah).
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah populasi
generasi R2 turunan dari R1 hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda pada
media selektif PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Selain itu, diuji juga populasi Pi-0
(benih awal tanpa seleksi in vitro) sebagai tanaman standar. Beberapa populasi
tanaman varian somaklonal yang diuji pada percobaan ini dapat dilihat pada Tabel
14. Benih kacang tanah generasi R2 ditanam dua biji per polibeg yang berisi
media tanah. Pada umur 14 HST ditinggalkan satu tanaman tiap polibeg.
76
Tabel 14. Nomer galur tanaman generasi R2 zuriat dari generasi R1 kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda yang dievaluasi pada cekaman kekeringan Kultivar Populasi tanaman
dari seleksi ES Nomer galur
Pi-I 121-4, 121-1, 232-3, 124-3, 124-1, 123-4, 22-4, 232-1, 123-3, 22-2
Pi-II 141-1, 32-4, 141-2, 82-1, 82-2, 12-2, 12-1, 32-3
PFi-I 171-4, 52-3, 132-1, 171-2, 132-2, 52-1
Singa
FPi-I 201-2, 62-4, 212-1, 182-2, 182-3, 62-3, 212-2, 201-4
Pi-I 13-3, 21-2, 12-3, 21-3, 11-2, 11-3, 14-4, 72-1, 12-2, 72-4, 14-2, 13-4
Pi-II 32-4, 81-2, 32-2, 22-1,11-2, 84-2, 84-4, 11-4, 81-4, 22-2
PFi-I 21-2, 33-2, 22-1, 21-4, 61-1, 61-2, 22-2, 33-1
Kelinci
FPi-I 22-1, 22-3, 32-1, 32-2, 31-1, 31-3
Perlakuan cekaman kekeringan diberikan mulai tanaman berumur 16
sampai umur 85 hari. Semua tanaman disiram sampai kapasitas lapang dari awal
tanam sampai umur 15 hari. Kapasitas lapang ditentukan dengan menyiramkan air
pada media tanam sampai jenuh. Kejenuhan air ditunjukkan dengan menetesnya
air pada lubang aerasi dasar polibeg. Pada saat tanaman memasuki umur 16 hari,
sebagian tanaman disiram sampai dengan kapasitas lapang (kondisi optimum)
dan sebagian yang lain dipelihara dalam kondisi cekaman sebagai akibat
pengurangan pemberian air. Tanaman yang mendapat perlakuan cekaman disiram
air sampai kapasitas lapang setiap 4 hari sekali (sehari setelah ada 70% gejala layu
pada daun). Gejala layu mulai terjadi ketika kandungan air tanah mencapai 60 -
70% dari kapasitas lapang, yang dihitung berdasarkan selisih berat jumlah air
yang disiramkan untuk mencapai kapasitas lapang dan saat tanaman layu.
Perlakuan cekaman kekeringan diberikan sampai tanaman berumur 85 hari.
Tanaman selanjutnya diberikan kondisi optimum sampai tanaman panen.
Toleransi tanaman somaklon terhadap kekeringan dihitung berdasarkan
indeks sensitivitas kekeringan (S) pada semua peubah yang diamati. Perhitungan
nilai S berdasarkan rumus Fischer dan Maurer (1978), ya itu : S = (1-Y/Yp) / (1-
X/Xp), dengan (Y) = nilai rataan peubah tertentu (misal : jumlah cabang, tinggi
77
tanaman, bobot polong kering, dan lain- lain) pada satu genotipe yang mengalami
cekaman kekeringan, (Yp) = nilai rataan peubah tersebut pada satu genotipe
lingkungan optimum, (X) = nilai rataan peubah tersebut pada semua genotipe
yang mengalami cekaman kekeringan, dan (Xp) nilai rataan peubah tersebut pada
semua genotipe lingkungan optimum. Genotipe toleran cekaman kekeringan jika
mempunyai nilai S < 0.5, agak toleran jika 0.5 = S = 1, dan peka jika S > 1.
Tanaman dipelihara dalam rumah kaca sampai panen. Tanaman dijaga dari
serangan hama dan penyakit dengan penyemprotan insektisida Confidor (0.25
ml/l) dan Kelthane (1 ml/l) dan fungisida Dithane M45 (1 g/l).
Pengujian Respon Fisiologi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Respons fisiologi tanaman somaklonal hasil seleksi in vitro diamati
dengan melakukan analisis prolin dan gula total. Analisis dilakukan pada daun
kedua dari pucuk pada saat tanaman telah mengalami 6 kali cekaman pengurangan
pemberian air selama pertumbuhan. Analisis prolin berdasarkan metode Bates et
al. (1973). Daun dikeringkan dalam silika gel. Kira-kira 0.2 g daun digerus dan
dihomogenasi dengan 5 ml asam sulfosalisilat 3%. Campuran disentrifugasi pada
kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Residu campuran ditambah lagi dengan 4 ml
asam sulfosalisilat dan disentrifugasi seperti sebelumnya. Kedua supernatan
tersebut ditera sampai 10 ml dengan asam sulfosalisilat. Analisis prolin dilakukan
dengan mengambil 2 ml supernatan dan direaksikan dengan 2 ml asam ninhidrin
dan 2 ml asetat glasial. Campuran dipanaskan sampai suhu 1000 C selama 1 jam
pada penangas air. Campuran didinginkan pada gelas piala yang berisi air es
selama 5 menit untuk menghentikan proses reaksi. Prolin yang terbentuk
direaksikan dengan 4 ml toluena dan distirer. Kromofom (lapisan bagian atas)
diambil untuk diukur absorbansinya pada spekrofotometer visible dengan panjang
gelombang 520 nm. Standar DL-Prolin (Sigma) dibuat juga dengan konsentrasi
berkisar 30-150 µg yang dilarutkan dalam asam sulfosalisilat. Kadar prolin
dinyatakan dalam µg/g berat kering sampel.
Analisis gula total berdasarkan metode Irigoyen et al. (1992). Sampel
daun dikeringkan dalam silika gel. Kira-kira 0.2 g daun kering digerus dan
dihomogenasi dengan 5 ml akuades. Campuran ditambah dengan 20 ml etanol
78
(80%) dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan
diambil, dan sisanya ditambah lagi dengan 20 ml etanol dan disentrifugasi
kembali. Supernatan diuapkan di atas penangas air sampai etanol habis menguap.
Volume supernatan ditera kembali dengan akuades sampai 100 ml. Untuk analisis
gula total, diambil 1 ml supernatan dan ditambah 5 ml reagen antrone (1 g antrone
dilarutkan dalam 1 liter asam sulfat 95%). Larutan dipanaskan di atas penangas air
pada suhu 1000C selama 12 menit. Campuran dipindahkan ke gelas piala yang
berisi air es untuk menghentikan proses reaksi. Kadar gula ditentukan dengan
mengukur absorbansi dengan spektofotometer panjang gelombang 630 nm.
Sebagai standar digunakan sukrose kadar 50 - 250 µg yang direaksikan dengan 5
ml reagen antrone dan air 1 ml. Kadar prolin dinyatakan dalam µg/g berat kering
sampel.
Hasil
Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan vegetatif tanaman dan hasil polong kacang tanah diamati
pada kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Hasil analisis keragaman
menunjukkan bahwa cekaman kekeringan nyata menurunkan pertumbuhan
vegetatif tanaman dan hasil polong (Gambar 8). Seleksi in vitro berulang pada
PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii secara nyata juga
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil polong (Tabel 15).
Pada kondisi cekaman, ternyata jumlah cabang tanaman hasil seleksi ES
cv. Singa pada PEG 15% lebih sedikit dari tanaman cv. Singa yang tidak melewati
seleksi in vitro (tanaman standar), kecuali tanaman dari seleksi ES dua siklus
menghasilkan jumlah cabang yang tidak berbeda nyata dengan tanaman standar
cv. Singa. Pada cv. Kelinci, ternyata metode seleksi ES tidak berbeda dalam
menghasilkan jumlah cabang.
Pemberian cekaman kekeringan nyata mengurangi tinggi tanaman dan
berbeda dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi optimum. Tinggi tanaman
pada kondisi cekaman dari tanaman hasil seleksi ES lebih pendek dari tanaman
79
standar cv. Singa dan Kelinci. Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa
dua siklus menghasilkan tanaman kacang tanah terpendek.
Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa menghasilkan jumlah
daun yang sama dengan tanaman standar cv. Singa pada kondisi cekaman, dan
jumlah daun tanaman hasil seleksi ES dua siklus cv. Singa tidak berbeda antara
kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Pada cv. Kelinci, ternyata
tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES pada PEG satu dan dua siklus, seleksi
ganda pada PEG dan filtrat kultur (PFi-I) serta tanaman standar tidak berbeda
terhadap jumlah daun dan seleksi ganda pada filtrat kultur dan diikuti seleksi pada
PEG (FPi-I) menghasilkan jumlah daun terbanyak.
Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus
menghasilkan akar lebih panjang dan bobot kering akar yang lebih berat
dibanding seleksi ES yang lain (Gambar 8). Tanaman hasil seleksi ganda (FPi-I)
cv. Singa menghasilkan akar terpendek dan bahkan lebih pendek dari cv. Singa
tanaman standar. Sedangkan cv. Kelinci, tanaman yang dihasilkan dari seleksi
ganda (PFi-I) menghasilkan akar terpendek pada kondisi cekaman.
Bobot kering tanaman hasil seleksi in vitro cv. Singa dan Kelinci lebih
ringan dibanding tanaman standar pada cekaman kekeringan, kecuali tanaman dari
seleksi ganda (FPi-I) cv. Kelinci lebih berat dari tanaman hasil seleksi in vitro
yang lain dan sama beratnya dengan cv. Kelinci tanaman standar.
Metode seleksi ES berpengaruh terhadap bobot dan jumlah polong kering
pada kondisi optimum dan cekaman pada cv. Singa dan Kelinci. Bobot kering dan
jumlah polong bernas pada cv. Singa dan Kelinci (tanaman standar) nyata lebih
rendah dibanding tanaman hasil seleksi in vitro pada kondisi cekaman (Gambar
12). Tanaman hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG 15%
(Pi-II) menghasilkan bobot kering dan jumlah polong yang terbanyak dibanding
hasil seleksi ES satu siklus (Pi-I) dan seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I). Jumlah
polong, tanaman hasil seleksi ES cv. Singa dua siklus tidak berbeda pada kondisi
optimum dan cekaman kekeringan. Sedangkan pada cv. Kelinci, tanaman hasil
seleksi ganda pada filtrat kultur dan PEG (FPi-I) menghasilkan jumlah polong
yang sama pada kondisi optimum dan cekaman kekeringan.
80
Tabel 15. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii
Singa Kelinci Populasi tanaman dari seleksi ES Optimum Cekaman Optimum Cekaman
Jumlah cabang Pi-0 5.00 aA 5.00 aA 5.00 aA 4.93 aA Pi-I 5.00 aA 4.67 bB 4.94 aA 4.78 aA Pi-II 4.96 aA 4.79 abA 5.00 aA 4.87 aA PFi-I 4.94 aA 4.67 bA 5.00 aA 4.83 aA FPi-I 4.92 aA 4.67 bA 5.00 aA 4.89 aA
Tinggi tanaman (cm) Pi-0 70.61 abA 62.73 aB 68.97 aA 62.73 aB Pi-I 70.50 abA 61.53 abB 65.21 aA 52.81 bB Pi-II 65.28 bA 54.83 cB 67.28 aA 56.20 bA PFi-I 69.41 abA 56.39 bcB 67.52 aA 57.92 abB FPi-I 71.16 aA 60.38 abcB 65.11 aA 55.06 bB
Jumlah daun Pi-0 67.67 bA 64.27 aA 69.47 aA 69.00 abA Pi-I 73.73 aA 65.47 aB 70.88 aA 64.72 bB Pi-II 68.79 abA 67.63 aA 71.33 aA 66.93 bA PFi-I 74.33 aA 67.56 aB 71.69 aA 67.21 abA FPi-I 73.58 abA 67.63 aA 71.65 aA 73.17 aA
Bobot kering polong bernas (g) Pi-0 10.71 bA 7.30 cB 10.58 bA 7.21 cB Pi-I 11.99 bA 9.57 bB 11.84 bA 9.16 bB Pi-II 13.86 aA 11.75 aB 13.45 aA 10.96 aB PFi-I 11.72 bA 9.32 bB 11.69 bA 9.19 bB FPi-I 11.89 bA 9.03 bB 11.48 bA 8.89 bB
Jumlah polong bernas Pi-0 8.27 bA 5.73 cB 8.93 bA 6.47 cB Pi-I 9.80 abA 7.97 bB 9.39 bA 7.86 bB Pi-II 10.83 aA 9.50 aA 10.73 aA 9.50 aB PFi-I 9.28 bA 7.72 bB 9.25 bA 7.17 bcB FPi-I 9.33 bA 7.38 bB 8.83 bA 8.00 bA
Panjang akar (cm) Pi-0 54.99 aA 46.00 aB 49.31 abA 35.93 abB Pi-I 56.18 aA 45.73 aB 55.07 aA 38.22 aB Pi-II 52.16 aA 49.79 aB 53.07 aA 39.33 aB PFi-I 53.59 aA 46.00 aB 49.27 abA 30.67 bB FPi-I 51.88 aA 37.54 bB 47.54 bA 33.22 abB
Berat kering akar Pi-0 1.75 aA 0.96 cB 1.72 aA 0.81 bB Pi-I 1.69 aA 1.24 bB 1.61 aA 0.98 bB Pi-II 1.80 aA 1.55 aB 1.73 aA 1.21 aB PFi-I 1.63 aA 1.07 bcB 1.79 aA 0.93 bB FPi-I 1.65 aA 0.93 cB 1.58 aA 1.04 abB
Bobot kering tanaman (g) Pi-0 22.07 aA 18.81 aB 19.14 aA 16.54 aB Pi-I 22.29 aA 15.33 bB 19.43 aA 13.98 bB Pi-II 21.30 aA 16.75 bB 20.53 aA 14.10 bB PFi-I 22.47 aA 15.79 bB 20.29 aA 14.90 bB FPi-I 21.44 aA 15.12 bB 19.64 aA 16.97 aB
Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan a=5 %
81
Persentase penurunan bobot kering dan jumlah polong bernas akibat
cekaman kekeringan yang terbesar terjadi pada cv. Singa dan Kelinci tanaman
standar. Persentase penurunan bobot kering polong bernas cv. Singa 31.84% dan
cv. Kelinci 31.98%. Persentase penurunan jumlah polong bernas cv. Singa
30.71% dan cv. Kelinci 27.55%. Persentase penurunan bobot kering dan jumlah
polong bernas yang terkecil terjadi pada tanaman yang merupakan hasil seleksi ES
dua siklus cv. Singa yaitu berturut-turut 15.22% dan 12.28% sedangkan cv.
Kelinci berturut-turut 18.51% dan 11.46% (Tabel 16).
Dari keseluruhan peubah yang diamati, ternyata tanaman hasil seleksi ES
cv. Singa dan Kelinci dua siklus cenderung menghasilkan pertumbuhan vegetatif
yang lebih baik dan hasil polong yang lebih tinggi serta penurunan bobot kering
dan jumlah polong bernas yang lebih rendah pada stres kekeringan dibanding
seleksi satu siklus, seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) dan tanaman standar (Pi-0).
Pengaruh cekaman kekeringan terhadap kondisi fisik tanaman, hasil polong dan
pertumbuhan akar disajikan pada Gambar 8. Pada saat tanaman terkena cekaman
kekeringan, tanaman peka segera mengalami kelayuan dan tanaman yang toleran
masih belum menunjukkan gejala kelayuan akibat pengurangan pemberian air.
Tabel 16. Persentase penurunannya bobot dan jumlah polong kering bernas pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap kondisi cekaman kekeringan dan optimum
Persentase penurunan = (1-Y/Yp) x 100 Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv. Bobot polong kering Jumlah polong cv. Singa : Pi-0 31.84 30.71 Pi-I 20.18 18.67 Pi-II 15.22 12.28 PFi-I 20.48 16.81 FPi-I 24.12 20.90 cv. Kelinci : Pi-0 31.98 27.55 Pi-I 22.37 16.29 Pi-II 18.51 11.46 PFi-I 21.39 22.49 FPi-I 22.70 9.40
Keterangan : persentase penurunan, Y = berat kering atau jumlah polong bernas pada kondisi cekaman kekeringan dan Yp = berat kering atau jumlah polong bernas pada kondisi optimum
82
Keragaman bobot dan jumlah polong kering yang dihasilkan oleh tanaman
standar (Pi-0) dan tanaman hasil seleksi in vitro ES satu siklus (Pi-I), seleksi
berulang pada PEG (Pi-II), dan seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) pada kondisi
cekaman kekeringan dan optimum disajikan pada Gambar 9, 10, 11 dan 12. Dari
gambar tersebut dapat dilihat bahwa seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda
mempunyai bobot polong kering pada cekaman kekeringan melebihi dari tanaman
standar pada cv. Singa. Pada kondisi optimum, ternyata seleksi berulang (dua
siklus) juga menghasilkan bobot polong kering yang melebihi dari tanaman
standar pada cv. Singa. Pada jumlah polong ternyata hanya tanaman hasil seleksi
ES dua siklus (seleksi berulang) yang melebihi tanaman standar pada kondisi
cekaman. Pola keragaman tanaman hasil seleksi in vitro pada cekaman kekeringan
dan kondisi optimum teramati pula pada cv. Kelinci.
Gambar 8. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap perumbuhan tanaman, akar dan hasil polong. (a) gejala layu pada tanaman peka dan (b) tanaman toleran (belum menunjukkan gejala layu) pada saat awal cekaman kekeringan, (c) perbedaan pertumbuhan akar pada tanaman toleran (kiri) dan peka (kanan) (d) polong cipo dan gagal berisi dari tanaman peka dan (e) hasil polong bernas dari tanaman toleran terhadap kekeringan
a b
c d e
83
3
6 6
1
10
16
33
9
12
1
5
23
5
10
6
10
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2
Jum
lah
galu
r
13
2
14
22
6
1
13
16
2
1210
0
5
10
15
20
25
<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2
Jum
lah
galu
r
Gambar 9. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro dan menghasilkan bobot polong kering (g) setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran bobot polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.
= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)
cv. Singa : Kekeringan
cv. Singa : Optimum
84
6
9
4
14
12
2
16
1
3
8
6
8
10
5
7
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5
Jum
lah
galu
r
10
57
2
24
5
1
6
16
1
21
12
0
5
10
15
20
25
30
<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5
Jum
lah
galu
r
Gambar 10. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro dan menghasilkan jumlah polong kering setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran jumlah polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.
= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)
cv. Singa : Kekeringan
cv. Singa : Optimum
85
13
23
12
15
6
2
4
1112
2
8
1
10
14
8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2
Jum
lah
galu
r
4
8
54
14
18
3
26
10
2
8 8
1
14
0
5
10
15
20
25
30
<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2
Jum
lah
galu
r
Gambar 11. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro dan menghasilkan bobot polong kering (g) setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran bobot polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.
= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)
cv. Kelinci : Kekeringan
cv. Kelinci : Optimum
86
3
5
19
1
4
18
4
7 7
10
5
1
1211
4
10
2
0
24
6
810
12
14
1618
20
<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5
Jum
lah
galu
r
86
1
9
2727
1
86
2
16
12
0
5
10
15
20
25
30
<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5
Jum
lah
galu
r
Gambar 12. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro dan menghasilkan jumlah polong kering setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran jumlah polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.
= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)
cv. Kelinci : Kekeringan
cv. Kelinci : Optimum
87
Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Pengukuran toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dihitung
berdasarkan nilai indeks sensitivitas (S). Nilai indeks sensitivitas dari masing-
masing populasi tanaman somaklon disajikan pada Tabel 17 dan 18.
Berdasarkan perhitungan nilai S pada peubah bobot kering dan jumlah
polong bernas, panjang dan berat kering akar, ternyata tanaman standar (tanpa
seleksi in vitro) cv. Singa mempunyai nilai S berkisar antara 0.71 - 1.90 dan cv.
Kelinci bernilai antara 1.17 - 1.63. Nilai S dari tanaman yang berasal dari seleksi
ES cv. Singa pada PEG satu siklus (Pi-I) adalah 0.72 - 1.05, sedangkan cv.
Kelinci berkisar antara 1.00 - 1.33. Tanaman yang berasal dari seleksi in vitro cv.
Singa pada PEG dua siklus (Pi-II, seleksi berulang) bernilai S antara 0.20 - 0.74,
sedangkan dari cv. Kelinci bernilai antara 0.75 - 1.12. Nilai S dari tanaman yang
berasal dari seleksi ganda cv. Singa pada PEG dan diikuti dengan filtrat kultur S.
rolfsii (PFi-I) adalah 0.61 - 1.01, sedangkan cv. Kelinci bernilai antara 1.30 -
1.63, dan yang berasal dari seleksi ganda yang lain cv. Singa pada filtrat kultur
dan diikuti seleksi pada PEG (FPi-I) bernilai antara 1.18 - 1.29 dan dari cv.
Kelinci bernilai antara 0.67 - 1.30.
Berdasarkan nilai S pada bobot polong kering ternyata nilai sensitifitas
tanaman yang berasal dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus (seleksi
berulang) berturut-turut bernilai 0.74 (agak toleran) dan 0.90 (agak toleran). Nilai
sensitifitas tanaman yang berasal dari seleksi ES cv. Singa satu siklus adalah S =
0.97 (agak toleran) dan dari cv. Kelinci adalah S = 1.10 (peka). Sedangkan
tanaman hasil seleksi ganda cv. Singa (pada PEG dan diikuti filtrat kultur) bernilai
S = 1.00 (agak toleran) dan dari cv. Kelinci bernilai S = 1.13 (peka). Sementara
nilai S tanaman yang berasal dari seleksi ganda cv. Singa (diawali seleksi pada
filtrat kultur dan diikuti seleksi pada PEG) yaitu 1.18 (peka) dan dari cv. Kelinci
bernilai S = 1.11 (peka). Dari nilai S pada peubah bobot polong ternyata tanaman
hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci pada PEG 15% dua siklus (seleksi
berulang) menghasilkan nilai indeks sensitivitas terendah (agak toleran).
88
Tabel 17. Indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan sejumlah karakter agronomi pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii
Indeks sensitivitas kekeringan (S) Populasi tanam-
an dari seleksi ES dan cv.
Bobot po- long kering
Jumlah polong
Panjang akar
Berat ke- ring akar
Fenotipe somaklon
cv. Singa : Pi-0 1.55 1.90 0.71 1.22 P Pi-I 0.97 1.05 0.81 0.72 A Pi-II 0.74 0.73 0.20 0.38 A PFi-I 1.00 1.01 0.61 0.93 A FPi-I 1.18 1.29 1.20 1.18 P cv. Kelinci : Pi-0 1.57 1.63 1.17 1.42 P Pi-I 1.10 1.00 1.33 1.05 P Pi-II 0.90 0.75 1.12 0.81 A PFi-I 1.13 1.47 1.63 1.30 P FPi-I 1.11 0.67 1.30 0.92 P
Keterangan : Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot polong kering. T = toleran, A = agak toleran, dan P = peka.
Untuk mengetahui toleransi beberapa galur tanaman dari seleksi ES pada
PEG 15% satu siklus, dua siklus (seleksi berulang), dan seleksi ganda dilakukan
perhitungan nilai S pada peubah bobot polong kering (Tabel 18). Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa nilai S dari masing-masing galur bervariasi dan
bahkan ada yang sama dengan (peka) nilai S tanaman standar. Dari 10 galur yang
diuji pada cv. Singa hasil seleksi satu siklus (Pi-I), ternyata 3 galur peka
(30%), 4 galur agak toleran (40%), dan 3 galur toleran (30%), sedangkan yang
berasal dari cv. Kelinci menghasilkan 6 galur peka (50%), 3 galur agak toleran
(25%), dan 3 galur toleran (25%) dari 12 galur yang diuji. Tanaman yang berasal
dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang = Pi-II) pada cv. Singa menghasilkan
25% tanaman peka, tanaman agak toleran 50% dan toleran berjumlah 25%,
sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan tanaman peka 30%, agak
toleran 40%, dan tanaman toleran 30%. Tanaman kacang tanah yang berasal dari
seleksi ganda cv. Singa (PFi-I) tidak menghasilkan tanaman yang toleran terhadap
89
Tabel 18. Indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering dan jumlah polong bernas pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan galur populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci seleksi dua siklus pada PEG (seleksi in vitro berulang)
Indeks sensitivitas kekeringan (S) Kultivar dan galur Bobot kering polong Jumlah polong
Fenotipe somaklon
cv. Singa : Pi-0 : 1.55 1.9 P Pi-I :
121-4 2.04 2.94 P 121-1 2.00 2.15 P 232-3 0.87 0.79 A 124-3 0.35 0.20 T 124-1 0.71 1.13 A 123-4 0.51 0.16 A
22-4 0.08 0.59 T 232-1 2.10 2.05 P 123-3 0.74 0.88 A
22-2 0.25 -0.38 T Pi-II :
141-1 0.18 -0.17 T 32-4 0.76 0.94 A
141-2 0.45 0.54 T 82-1 0.56 0.40 A 82-2 1.33 1.77 P 12-2 0.70 0.59 A 12-1 0.80 0.94 A 32-3 1.17 0.86 P PFi-I :
171-4 0.84 0.96 A 52-3 0.81 1.06 A
132-1 0.80 0.67 A 171-2 0.81 0.85 A 132-2 0.86 1.21 A
52-1 2.11 1.33 P 171-4 0.84 0.96 A
FPi-I : 201-2 2.27 2.00 P
62-4 1.65 2.00 P 212-1 1.12 1.67 P 182-2 0.53 0.66 A 182-3 1.38 1.27 P
62-3 -0.04 0.00 T 212-2 0.83 1.15 A 201-4 1.70 1.55 P
90
Tabel Lanjutan :
cv. Kelinci : Pi-0 : 1.57 1.63 P Pi-I :
13-3 2.12 2.17 P 21-2 1.83 1.77 P 12-3 1.40 1.93 P 21-3 0.92 1.03 A 11-2 0.67 0.23 A 11-3 0.88 -0.40 A 14-4 -0.13 0.44 T 72-1 2.32 1.52 P 12-2 1.55 1.10 P 72-4 1.11 1.13 P 14-2 0.39 0.49 T 13-4 0.44 0.98 T
Pi-II : 32-4 2.40 2.58 P 81-2 0.51 0.40 A 32-2 0.43 0.00 T 22-1 0.26 0.00 T 11-2 1.02 1.27 P 84-2 0.92 0.71 A 84-4 0.73 0.39 A 81-4 0.03 -0.67 T 22-2 0.61 0.00 A 11-4 2.40 2.83 P
PFi-I : 21-1 1.89 1.91 P 33-2 0.52 2.09 A 22-1 -0.28 -0.24 T 21-4 3.40 3.76 P 61-1 0.39 0.25 T 61-2 2.17 2.63 P 22-2 0.51 0.77 A 33-1 0.50 0.57 A
FPi-I : 22-1 1.70 0.29 P 22-3 1.18 0.17 P 32-1 1.87 1.30 P 32-2 0.90 0.20 A 31-1 0.68 0.23 A 31-3 0.30 1.04 T
Keterangan : Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot polong kering. T = toleran, A = agak toleran, dan P = peka
91
cekaman kekeringan, namun tanaman peka sebesar 14.29% dan agak toleran
85.71%, sedangkan seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman
peka terhadap cekaman PEG yaitu sebesar 62.5%, agak toleran 25%, dan
tanaman toleran 12.5%. Pada tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I) pada cv. Kelinci
menghasilkan tanaman peka dan agak toleran 37.5% dan tanaman toleran 25%,
dan pada seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman peka 50%, agak
toleran 33.3% dan tanaman toleran 16.7%. Tanaman standar semuanya peka
terhadap cekaman PEG.
Pada Tabel 18 juga dapat dilihat bahwa seleksi in vitro berulang pada PEG
15% cenderung menghasilkan lebih banyak individu tanaman somaklon yang
agak toleran dan toleran dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda. Tanaman
hasil seleksi satu siklus pada cv. Singa dan Kelinci cenderung menghasilkan lebih
banyak individu tanaman yang agak toleran dan toleran terhadap cekaman
kekeringan dibanding tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I). Tanaman
hasil seleksi ganda diharapkan tidak hanya toleran terhadap cekaman kekeringan
tetapi juga resisten terhadap infeksi S. rolfsii. Beberapa galur tanaman hasil
seleksi ganda ada yang agak toleran dan toleran terhadap cekaman kekeringan
(Tabel 18) dan peluang untuk resisten terhadap infeksi S. rolfsii dapat dilihat pada
pengujian terhadap resistensi terhadap infeksi S. rolfsii.
Kandungan Prolin dan Gula Total Tanaman Somaklon pada Cekaman Kekeringan Perlakuan cekaman kekeringan pada tanaman menyebabkan peningkatan
kadar prolin tanaman (Tabel 19). Seleksi ES dengan menggunakan PEG 15%
untuk menghasilkan tanaman somaklon nyata meningkatkan kadar prolin pada
kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Tanaman yang dihasilkan dari
seleksi ES dua siklus cv. Singa dan Kelinci pada kondisi optimum dan cekaman
kekeringan cenderung menghasilkan kadar prolin yang lebih banyak dibanding
seleksi ES satu siklus (Pi-I), seleksi ganda pada PEG dan diikuti seleksi pada
filtrat kultur (PFi-I), atau seleksi ganda yang lain pada filtrat kultur dan diikuti
dengan seleksi pada PEG (FPi-I) (Gambar 13). Persentase peningkatan kadar
prolin pada cekaman kekeringan tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi
92
berulang) cenderung lebih rendah daripada tanaman standar atau dari tanaman
hasil seleksi ES yang lain.
Perilaku kadar gula total pada tanaman tidak dipengaruhi secara nyata
karena perbedaan kondisi optimum dan cekaman kekeringan. Begitu pula tanaman
yang dihasilkan dari seleksi ES satu siklus, dua siklus, seleksi ganda, dan tanaman
standar tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar gula total.
Tabel 19. Kandungan prolin dan gula total pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap kondisi cekaman dan optimum
cv. Singa cv. Kelinci Populasi ta naman dari seleksiES
Optimum Cekaman Pening- katan (%)
Optimum Cekaman Pening katan (%)
Prolin (µg/g bobot kering) Pi-0 3010.5 cA 4119.3 cA 36.8 2709.5 cA 3380.7 cA 24.8 Pi-I 4766.7 bB 7181.1 abA 50.7 4447.5 bA 5653.0 bA 27.1 Pi-II 7217.0 aA 8608.0 aA 19.3 6996.4 aA 7941.0 aA 13.5 PFi-I 5541.4 bB 7121.0 bA 28.5 5592.0 bA 6510.2 bA 16.4 FPi-I 4963.1 bA 6013.7 bcA 21.2 4425.4 bcA 5775.7 bA 30.5
Gula total (µg/g bobot kering) Pi-0 1849.5 a 1720.5 a -6.9 1720.5 a 1858.5 a 8.0 Pi-I 2157.0 a 2105.0 a -2.4 1849.5 a 2195.5 a 18.7 Pi-II 2080.0 a 2156.5 a 3.7 2027.0 a 2131.0 a 5.1 PFi-I 2263.5 a 1985.4 a -12.3 2323.0 a 2195.5 a -5.5 FPi-I 2244.1 a 2067.0 a -7.9 2246.5 a 2212.5 a 0.2
Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a=5 %
93
7181.1
8608
71217217
5541.4
4766.7
2960
4963.1
4119.3
6013.7
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
Pi-O Pi-I Pi-II PFi-I FPi-I
Kad
ar p
rolin
(ug
/g B
K)
5653
7941
6510.26996.4
5592
4447.5
2709.5
4425.4
3380.7
5775.7
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Pi-O Pi-I Pi-II PFi-I FPi-I
Kad
ar p
rolin
(ug
/g B
K)
Gambar 13. Kadar prolin pada populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro satu siklus (Pi-I), dua siklus II (Pi-II) pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii (PFi-I atau FPi-I), ¦ = kondisi cekaman, dan ? = optimum
cv. Singa
cv. Kelinci
94
Pembahasan
Evaluasi tanaman variasi somaklon hasil seleksi in vitro berulang pada
media dengan penambahan PEG dan seleksi ganda pada media PEG dan diikuti
seleksi pada filtrat kultur atau seleksi ganda yang diawali pada media filtrat kultur
dan dikuti seleksi pada PEG terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan
pengurangan pemberian air pada fase vegetatif dan generatif. Akibat pengurangan
pemberian air menyebabkan komponen pertumbuhan vegetatif seperti jumlah
cabang, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, bobot kering akar, dan bobot
kering tanaman, dan pertumbuhan generatif (bobot kering dan jumlah polong
bernas) menurun dibandingkan pertumbuhan tanaman pada kondisi optimum.
Cekaman air menyebabkan pengurangan biomasa daun dan polong kering kacang
tanah (Collino et al. 2000) dan penurunan bobot kering polong diduga disebabkan
oleh proses terhambatnya inisiasi dan pemanjangan ginofor (Chapman et al.
1993). Cekaman kekeringan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman
kacang tanah karena dapat menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman
(Yoshiba et al. 1997), menurunkan luas area dan kandungan klorofil daun
(Shimada et al. 1992), menurunkan ukuran polong, biji, dan bobot kering polong
(Pookpadi et al. 1990), dan menurunkan kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993).
Tanaman kacang tanah yang tidak melewati seleksi in vitro (tanaman
standar) dan yang dihasilkan dari seleksi ES pada PEG dan seleksi ganda
mempunyai respons yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Tanaman
kacang tanah yang berasal dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG
15% cenderung mengalami penurunan pertumbuhan vegetatif dan hasil polong
yang lebih rendah dibanding seleksi ganda, sedangkan pertumbuhan vegetatif
antara tanaman standar dengan tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada PEG dan
seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) mengalami penurunan yang lebih besar. Tanaman
yang tidak melewati seleksi in vitro (tanaman standar) mempunyai hasil polong
yang paling rendah pada kondisi cekaman. Pada Tabel 16 membuktikan bahwa
persentase penurunan bobot kering dan jumlah polong bernas jauh lebih besar
terjadi pada tanaman standar dan persentase penurunan yang terkecil terjadi pada
tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang).
95
Tanaman hasil seleksi ES selama dua siklus pada media selektif PEG 15%
diduga mempunyai mekanisme toleransi untuk melawan cekaman kekeringan.
Tanaman varian somaklon ini telah berubah susunan genetiknya setelah dilakukan
seleksi in vitro dalam media selektif PEG 15%. Akumulasi mutan sel/jaringan
selama dua siklus dalam media PEG menyebabkan sel/jaringan tersebut lebih
beradaptasi pada PEG 15% dan tanaman yang dihasilkan lebih toleran terhadap
cekaman kekeringan.
Untuk mendapatkan tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman
kekeringan, dilakukan perhitungan indeks sensitifitas (S) yang berdasarkan
besarnya penurunan bobot polong kering. Indeks sensitifitas tanaman yang
diregenerasikan dari ES cv. Singa yang diseleksi pada PEG selama dua siklus
adalah 0.74 (agak toleran) dan untuk cv. Kelinci 0.90 (agak toleran). Tingkat
toleransi tanaman ini memberikan indikasi bahwa penurunan hasil polong dan
pertumbuhan akar dapat terhindar dari pengaruh negatif cekaman kekeringan.
Tanaman menghadapi cekaman kekeringan dengan mengekspresikan gen-gen
toleran. Tanaman kacang tanah yang toleran terhadap kekeringan mampu
melaksanakan proses fisiologis dengan baik seperti fotosintesis dan transpirasi.
Proses fotosintesis berlangsung dengan baik, sehingga suplai fotosintat ke bagian-
bagian sel atau organ tanaman dapat berjalan dengan lancar, dan kerusakan akibat
dehidrasi dapat dihindari.
Uji toleransi juga dilakukan pada setiap galur tanaman kacang tanah yang
dihasilkan dari seleksi berulang ES pada PEG dan seleksi ganda (PFi-I dan FPi-I).
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua galur yang dihasilkan dari seleksi
ES selama satu, dua siklus dan seleksi ganda menghasilkan tanaman yang toleran,
bahkan ada beberapa galur yang mempunyai nilai S lebih besar (tanaman peka)
dari tanaman standar. Hal ini dapat terjadi karena fenomena variasi somaklonal
yang terjadi adalah bersifat spontan dan acak (Karp 1995). Namun dengan
meningkatkan seleksi berulang pada media selektif PEG diharapkan mampu
meningkatkan jumlah galur dengan karakter toleran terhadap cekaman
kekeringan. Seleksi berulang ES dari cv. Kelinci menghasilkan jumlah galur
tanaman toleran lebih banyak (30%). Ini membuktikan bahwa sifat toleransi
tanaman cv. Kelinci dapat diperbaiki sifat toleransinya dari tanaman yang peka
96
menjadi tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan. Pada Tabel 18 terlihat
bahwa galur peka (S >1) terhadap cekaman kekeringan lebih sedikit diperoleh
pada tanaman hasil seleksi berulang ES (2 siklus). Adkin et al. (1995) melaporkan
bahwa penggunaan media selektif yang mengandung PEG dapat digunakan untuk
menyeleksi sel-sel kalus tanaman padi. Sel-sel kalus insensitif PEG selanjutnya
dapat berkembang menjadi tanaman padi dengan tingkat toleransi terhadap
cekaman kekeringan yang lebih baik dari tanaman induknya. Selanjutnya
Widoretono & Sudarsono (2004) menyatakan bahwa PEG dapat digunakan dalam
seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman somaklon kedelai yang toleran
terhadap cekaman kekeringan. Pada penelitian ini seleksi in vitro dilakukan secara
berulang pada media selektif PEG 15%. Seleksi ES dua siklus mampu
menghasilkan sel/jaringan varian. Sel/jaringan mutan inilah yang berkembang
menjadi tanaman varian somaklon yang toleran terhadap cekaman kekeringan.
Munculnya galur yang lebih banyak toleran terhadap cekaman kekeringan
ada kaitannya juga dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa keragaman karakter
kualitatif generasi R0 dan R1 lebih banyak terjadi pada tanaman hasil seleksi ES
dua siklus. Indikasi ini terbukti bahwa peluang untuk mendapatkan galur toleran
lebih banyak terjadi pada tanaman varian somaklon ini dibanding dengan seleksi
ES satu siklus dan seleksi ganda.
Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan juga melibatkan
akumulasi senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang terjadi pada
saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). Prolin memegang peranan penting
untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Kim & Janick 1991; Pruvot et al.
1996; Nambara et al. 1998; Hanson et al. 1979). Pada penelitian ini ditemukan
bahwa metode seleksi ES berpengaruh secara nyata terhadap kadar prolin. Ada
kecenderungan bahwa kadar prolin meningkat akibat cekaman kekeringan.
Tanaman standar (tanpa seleksi in vitro) menghasilkan prolin lebih rendah dari
tanaman yang melewati seleksi in vitro. Tanaman kacang tanah hasil seleksi ES
dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan Kelinci nyata menghasilkan prolin
lebih banyak dibanding seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda. Namun
peningkatan prolin pada tanaman hasil seleksi ES dua siklus tidak signifikan dari
kondisi optimum ke kondisi cekaman kekeringan.
97
Kadar gula total pada tanaman kacang tanah tidak dipengaruhi oleh
kekeringan. Begitu pula perbedaan metode seleksi ES tidak memberikan
perbedaan terhadap kadar gula total daun kacang tanah. Tetapi ada kecenderungan
bahwa tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES memberikan kadar gula total yang
lebih banyak dibanding tanaman standar. Penelitian Wanatabe et al. (2000)
menyatakan bahwa kadar gula yang terakumulasi pada daun mengakibatkan
tanaman toleransi terhadap cekaman garam dan osmotik. Gula dapat melindungai
struktur integritas membran selama cekaman kekeringan dengan cara mencegah
fusi atau separasi membran (Pelah et al. 1997). Selanjutnya Gebre et al. (1997)
melaporkan bahwa akumulasi glukosa dan fruktosa pada Populus deltoides dapat
menurunkan pengaruh potensial osmotik pada daun, dan dapat mempertahankan
ketegaran tanaman pada cekaman kekeringan. Kandunga n gula yang terakumulasi
pada daun kacang tanah ketika cekaman kekeringan tidak dapat digunakan
sebagai indikasi toleransi terhadap cekaman kekeringan. Hal ini dibuktikan juga
oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa kadar gula meningkat pada daun
muda Populus euphratica pada cekaman garam namun menurun pada daun-daun
tua. Peneliti lain menyatakan bahwa akumulasi sukrosa dan glukosa berkurang
pada cekaman air pada tanaman P. tomentosa, namun glukosa meningkat pada P.
popularis (Pelah et al. 1997).
Kesimpulan
Cekaman kekeringan dengan cara pengurangan pemberian air pada
tanaman kacang tanah menghambat pertumbuhan vegetatif dan hasil polong
tanaman kacang tanah. Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang)
pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang
lebih baik dengan hasil polong yang lebih tinggi dan persentase penurunan hasil
polong lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada PEG atau
seleksi ganda (pada PEG dan diikuti dengan seleksi ES pada filtrat kultur, atau
sebaliknya pada filtrat kultur dan kemudian pada media PEG).
98
Secara umum, tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi dua
siklus pada PEG 15% (seleksi berulang) mempunyai tingkat toleransi yang lebih
baik terhadap cekaman kekeringan dengan rata-rata bobot polong kering 11.75
g/polibeg untuk cv. Singa dan 10.96 g/polibeg untuk cv. Kelinci.
Seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Kelinci pada media selektif
PEG 15% menghasilkan jumlah individu galur kacang tanah toleran lebih banyak
dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda. Seleksi ganda (pada media PEG
dan diikuti seleksi ES pada filtrat kultur atau sebaliknya pada media filtrat kultur
dan diikuti pada media selektif PEG) menghasilkan jumlah individu galur toleran
paling sedikit atau tanaman peka lebih banyak pada cekaman kekeringan.
Tanaman kacang tanah hasil seleksi berulang pada media selektif PEG
15% mengandung kadar prolin yang lebih tinggi, sedangkan kadar gula tidak
dapat digunakan sebagai indikasi untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan.