SELEKSI IN VITRO, DIAWALI PADA MEDIA POLIETILENA … · dalam media selektif,dan kultivar kacang...

83
PERCOBAAN BAGIAN I : SELEKSI IN VITRO, DIAWALI PADA MEDIA POLIETILENA GLIKOL (PEG)

Transcript of SELEKSI IN VITRO, DIAWALI PADA MEDIA POLIETILENA … · dalam media selektif,dan kultivar kacang...

PERCOBAAN BAGIAN I :

SELEKSI IN VITRO,

DIAWALI PADA MEDIA

POLIETILENA GLIKOL

(PEG)

17

DIAGRAM ALIR PERCOBAAN BAGIAN I :

(Seleksi in vitro, diawali pada media selektif polietilena glikol = PEG)

Seleksi I dlm PEG Proliferasi ES pd media MS -P16 Seleksi I filtrat kultur Regenerasi planlet Seleksi II dlm PEG Regenerasi planlet Regenerasi tanaman Regenerasi planlet Regenerasi tanaman Regenerasi tanaman Keterangan : = ES insensitif Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diuji responsnya pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30% = Planlet yang berasal dr ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diuji responsnya pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30% = Tanaman akhir hasil seleksi ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I diamati tipe & macam variasi somaklonal, diuji responsnya pada cekaman larutan PEG 15% dan cekaman kekeringan

ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I)

ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I) 50 clump

ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I)

ES INSENSITIF PEG Siklus I (Pi-I) 50 clump

ES INSENSITIF PEG & Filtrat kultur , seleksi

ganda (PFi-I)

Planlet dari ES PFi-I

ES INSENSITIF PEG Siklus II (Pi-II)

Planlet dari ES Pi-II

Planlet dr ES Pi-I

Kalus ES (50 clump)

Tanaman dari ES PFi-I Generasi R0, R1, & R2

Tanaman dari ES Pi-I, Generasi R0, R1, & R2

Tanaman dari ES Pi-II, Generasi R0, R1 & R2

SELEKSI BERULANG DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH YANG INSENSITIF

POLIETILENA GLIKOL DAN FILTRAT KULTUR Sclerotium rolfsii

Abstrak

Percobaan dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas seleksi berulang dalam media polieilena glikol (PEG) untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya embrio somatik (ES) kacang tanah yang insensitif PEG serta seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur S. rolfsii untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES yang insensitif sekaligus pada media PEG dan filtrat kultur. Regenerasi planlet R0 dan evaluasi respons setek pucuk planlet R0 terhadap PEG atau filtrat kultur juga dilakukan untuk menentukan keberhasilan mendapatkan tanaman varian. Embrio somatik diseleksi selama satu, dua siklus dalam PEG, dan satu siklus dalam PEG dan satu siklus dalam filtrat kultur (3 bulan per siklus seleksi). Selanjutnya, ES yang insensitif terhadap kondisi cekaman diproliferasi dan dikecambahkan menjadi tanaman R0. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ES dan tunas R0 cv. Singa dan Kelinci yang diseleksi dua siklus dalam media PEG lebih insensitif terhadap PEG. Sebaliknya, ES dan tunas R0 cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi ganda lebih insensitif terhadap filtrat kultur.

Kata kunci : seleksi berulang, embrio somatik, PEG, S. rolfsii

19

REPEAT CYCLING SELECTION AND IDENTIFICATION OF POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) AND Sclerotium rolfsii

CULTURE FILTRATE INSENSITIVE SOMATIC EMBRYOS OF PEANUT

Abstrak

The objectives of this experiment were to evaluate effectiveness of repeat cycling and double in vitro selection to increase frequency of obtaining PEG and S. rolfsii culture filtrate insensitive somatic embryos (SE) of peanut. Regeneration of the R0 plants and their evaluation against PEG and culture filtrate were conducted to determine the success of identifying tolerance variants. Peanut SE was subjected to one, two cycles of PEG selection, and one cycle of PEG and culture filtrate selection (3 months per cycle). The identified insensitive SE was proliferated and regenerated into R0 shoots and plantlets. Results of the experiments showed after two cycles of in vitro selection, PEG insensitive SE and its R0 shoots of peanut cv. Kelinci and Singa were more tolerance against stress due to PEG. While ones identified from double selection were more tolerance to culture filtrate. Key words : repeat cycling selection, somatic embryos, PEG, S. rolfsii

20

Pendahuluan

Peningkatan keragaman genetik yang merupakan komponen penting

dalam program pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,

yaitu hibridisasi, introduksi plasma nutfah, mutagenesis, dan induksi variasi

somaklonal dalam kultur in vitro (Neal et al. 1993). Induksi variasi somaklonal

yang diikuti dengan seleksi in vitro dilaporkan efektif untuk mengidentifikasi

varian tanaman dengan sifat unggul, seperti toleran cekaman kekeringan pada

kacang tanah dan kedelai (Rahayu et al. 2005; Widoretno et al. 2003a), resisten

terhadap S. rolfsii pada kacang tanah (Yusnita et al. 2005) dan resisten terhadap

Septoria glycines pada kedelai (Song et al. 1994).

Efektivitas seleksi in vitro ditentukan dengan keberhasilan menghambat

pertumbuhan sel/jaringan normal yang tidak diinginkan dan memproliferasikan

sel/jaringan varian yang diinginkan menggunakan agens penyeleksi (selective

agents) tertentu. Seleksi in vitro dengan menggunakan media selektif polietilena

glikol (PEG) telah dilakukan untuk mengembangkan galur yang toleran cekaman

kekeringan (Rahayu et al. 2005; Widoretno et al. 2003a) dan dengan filtrat kultur

S. rolfsii untuk mendapatkan kacang tanah resisten terhadap infeksi S. rolfsii

(Yusnita et al. 2005). Dalam penelitian tersebut, seleksi in vitro hanya dilakukan

terhadap embrio somatik (ES) selama satu siklus seleksi (tiga bulan per siklus

seleksi). Sebagian besar tanaman kedelai hasil seleksi in vitro dengan PEG atau

kacang tanah dengan filtrat kultur S. rolfsii masih peka terhadap cekaman

kekeringan atau rentan terhadap infeksi S. rolfsii (Widoretno et al. 2003b; Yusnita

et al. 2005). Diduga periode seleksi atau kondisi selektif yang digunakan belum

cukup efektif untuk menghambat sel/jaringan normal dan memproliferasi

sel/jaringan varian.

Penggunaan seleksi in vitro berulang (repeat cycling-in vitro selection)

selama beberapa siklus seleksi diharapkan dapat mengatasi tingginya kesalahan

identifikasi. Sel/jaringan normal yang lolos dari siklus seleksi sebelumnya dapat

dihambat perkembangannya dalam siklus seleksi berikutnya. Selain itu, dengan

melakukan seleksi ganda dalam media dengan penambahan PEG diikuti dengan

yang mengandung filtrat kultur diharapkan diperoleh ES kacang tanah yang

21

toleran cekaman PEG dan filtrat kultur. Dalam seleksi ganda, sel/jaringan

pertama-tama diseleksi dalam media dengan penambahan PEG. Kalus embriogen

dan ES yang insensitif PEG selanjutnya diseleksi dalam media dengan

penambahan filtrat kultur untuk mendapatkan varian sel/jaringan yang insensitif

cekaman PEG dan filtrat kultur. Sel/jaringan varian hasil seleksi ganda tersebut

diharapkan mempunyai sifat toleran terhadap cekaman kekeringan dan resisten

terhadap infeksi S. rolsii.

Efektivitas seleksi berulang dan seleksi ganda untuk mendapatkan ES

varian tersebut perlu dievaluasi. Menentukan pengaruh seleksi berulang dan

seleksi ganda terhadap keberhasilan mengisolasi ES yang insensitif PEG atau

filtrat kultur merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Percobaan

dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas seleksi berulang dalam media dengan

PEG untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES kacang tanah yang

insensitif cekaman PEG serta seleksi ganda dalam media dengan PEG dan dengan

filtrat kultur untuk meningkatkan frekuensi didapatkannya ES kacang tanah yang

insensitif sekaligus pada cekaman PEG dan filtrat kultur. Regenerasi tanaman

kacang tanah R0 dari hasil seleksi dan evaluasi respons tunas R0 terhadap

cekaman PEG atau filtrat kultur S. rolfsii juga dilakukan untuk menentukan

tingkat keberhasilan mendapatkan tanaman varian dari ES kacang tanah hasil

seleksi berulang dan seleksi ganda.

Bahan dan Metode

Induksi ES Kacang Tanah

Dalam penelitian ini digunakan kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang

telah diuji ketahanannya terhadap S. rolfsii dan cekaman PEG (Yusnita &

Sudarsono 2004; Rahayu et al. 2005). Kalus embrio somatik (ES) diinisiasi dari

eksplan daun embrio biji kacang tanah yang sudah tua. Biji kacang tanah

disterilisasi dengan perendaman dalam larutan NaOCl (clorox) 0.5% selama dua

menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Daun embrio secara

hati-hati dipisahkan dari poros embrio dan ditanam dalam media untuk

menginduksi ES primer. Induksi ES kacang tanah dilakukan dalam media MS

22

(Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan pikloram 16 µM (media MS-

P16), campuran vitamin dan asam amino (glisin, tiamin, piridoksin, dan niasin)

0.1 mg/l, sukrosa 2%, dan agar 8 g/l (Sulichantini 1998; Edy 1998). Kalus

embriogen dan ES yang didapat diproliferasikan dalam media MS-P16 secara

terus-menerus dan selama periode proliferasi diinkubasikan dalam kondisi gelap.

Setiap bulan sekali eksplan yang ditanam dipindahkan ke media regenerasi yang

masih segar. Sub kultur eksplan dilakukan terus menerus sampai terbentuknya ES

primer. Untuk menginduksi pembentukan ES sekunder, eksplan ES primer

disubkultur lebih lanjut dan terus menerus dalam media MS-P16. Kultur kalus

embriogen dan ES sekunder yang telah berumur enam bulan digunakan dalam

percobaan seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda.

Seleksi Berulang dalam Media Selektif dengan Penambahan PEG

Ke dalam botol kultur dengan volume 150 ml dituangkan media MS-P16

cair dengan penambahan PEG 15% (media selektif) sebanyak 25 ml. Di atas

permukaan media cair diambangkan busa sintetik dan satu lembar kertas saring

untuk mencegah agar eksplan kalus embriogen dan ES yang ditanam tidak

tenggelam. Konsentrasi PEG 15% yang ditambahkan merupakan konsentrasi sub-

letal (Rahayu et al. 2005) yang menghambat proliferasi ES kacang tanah = 95%

dibandingkan proliferasi dalam media tanpa PEG (PEG 0%). Media selektif

disterilkan dengan suhu hingga 121oC pada tekanan 17.5 psi selama 20 menit.

Dalam siklus I seleksi berulang, sebanyak 5 kalus embriogen masing-

masing dengan 8-10 ES ditanam dalam setiap botol kultur dan diinkubasikan

dalam ruangan bersuhu 26oC dalam kondisi gelap. Total kalus embriogen dan ES

yang dievaluasi dalam siklus I sebanyak minimal 500 kalus embriogen atau 4000

ES. Embrio somatik di sub-kultur dua kali ke dalam media selektif yang masih

segar selama periode tiga bulan. Biomasa kalus embriogen dan ES yang berhasil

tumbuh serta berkembang dalam media selektif setelah tiga bulan periode seleksi

diperbanyak dalam media MS-P16 tanpa PEG dan selanjutnya disebut sebagai ES

yang insensitif PEG hasil seleksi siklus I (Pi-I). Setelah didapatkan cukup banyak

biomasa kalus embriogen dari ES Pi-I, sebagian digunakan untuk mengevaluasi

respons kalus embriogen terhadap cekaman PEG dan filtrat kultur dalam

23

percobaan berikutnya dan untuk percobaan seleksi ganda dalam media yang

mengandung filtrat kultur. Sebagian ES Pi-I yang ada dikecambahkan untuk

membentuk planlet Pi-I.

Sebagian ES Pi-I yang tersisa digunakan sebagai eksplan dalam siklus II

seleksi berulang selama tiga bulan, menggunakan media selektif MS-P16 dengan

penambahan PEG 15%. Kalus embriogen dan ES yang mampu bertahan hidup

dari siklus II seleksi berulang diproliferasi dalam media MS-P16 tanpa PEG untuk

meningkatkan biomasanya dan selanjutnya disebut sebagai ES yang PEG

insensitif hasil seleksi siklus II (Pi-II). Setelah proliferasi, ES Pi-II yang didapat

sebagian digunakan untuk evaluasi respons ES Pi-II terhadap cekaman PEG dan

filtrat kultur dalam percobaan berikut dan sebagian yang lain dikecambahkan

untuk mendapatkan planlet Pi-II.

Seleksi Ganda dalam Media dengan PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii

Penyiapan filtrat kultur S. rolfsii dilakukan sebagaimana yang telah

dilaporkan sebelumnya (Yusnita et al. 2005). Isolat S. rolfsii ditumbuhkan dalam

media potato dextose agar (PDA) padat dan kultur cendawan umur 7 hari

dipotong-potong dengan ukuran 0.5 x 0.5 cm. Potongan agar dengan hifa

cendawan S. rolfsii ditanam dalam media MS padat dengan penambahan

campuran (glisin, tiamin, piridoksin, dan niasin) 0.1 mg/l, sukrosa 2%, dan agar 8

g/l. Setelah membentuk sklerotia (± 14 hari), media bersama cendawannya

disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210, tekanan 17,5 psi selama 20 menit.

Filtrat kultur S. rolfsii yang didapat disaring dan digunakan sebagai agens

penyeleksi. Media selektif disiapkan dengan menambahkan 30% filtrat kultur S.

rolfsii ke dalam media MS-P16 dan disterilisasi dengan menggunakan autoklaf.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, 30% filtrat kultur S. rolfsii merupakan

konsentrasi sub- letal yang dapat menekan perkembangan ES kacang tanah = 95 %

(Yusnita et al. 2005).

Embrio somatik Pi-I digunakan sebagai eksplan dalam seleksi ganda dan

ditumbuhkan dalam media MS-P16 dengan penambahan filtrat kultur dan di sub-

kultur dua kali ke dalam media selektif yang masih segar selama periode tiga

bulan. Kalus embriogen dan ES yang mampu bertahan hidup setelah seleksi ganda

24

(siklus I dengan agens penyeleksi PEG dan siklus II dengan filtrat kultur, masing-

masing selama 3 bulan) diproliferasi dalam media MS-P16 untuk meningkatkan

biomasa dan selanjutnya disebut sebagai ES yang insensitif terhadap PEG dan

filtrat kultur (PFi-I). Setelah proliferasi, ES PFi-I yang didapat sebagian

digunakan untuk evaluasi respons ES PFi-I terhadap cekaman PEG dan filtrat

kultur dalam percobaan berikut dan sebagian yang lain dikecambahkan untuk

mendapatkan planlet PFi-I.

Respons ES Hasil Seleksi terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii

Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

dengan dua faktor perlakuan (populasi ES Pi-I, Pi-II, PFi-I, ES tanpa diseleksi

dalam media selektif, dan kultivar kacang tanah). Efektivitas seleksi berulang

selama satu atau dua siklus seleksi dalam media dengan PEG 15% untuk

mengisolasi ES yang insensitif terhadap PEG ditentukan dengan mengamati

respons ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I hasil seleksi terhadap cekaman PEG. Eksplan

kalus embriogen yang diproliferasikan dari ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I (masing-

masing 50 eksplan atau 5 eksplan per botol) ditanam dalam media selektif dengan

PEG 15% dan pertumbuhan kalus embriogen yang dikulturkan diamati setelah

dua bulan. Persentase keberhasilan ES hasil seleksi untuk bertahan hidup dalam

media selektif, rataan jumlah ES yang terbentuk per eksplan, dan total ES yang

didapat diamati selama periode pengamatan.

Efektivitas seleksi ganda (siklus I dalam media PEG 15% dan siklus II

dalam media filtrat kultur S. rolfsii 30%) untuk mengisolasi ES yang insensitif

terhadap PEG dan filtrat kultur S. rolfsii ditentukan dengan mengamati respons ES

Pi-I, Pi-II, dan PFi-I hasil seleksi terhadap cekaman filtrat kultur. Eksplan kalus

embriogen yang diproliferasikan dari ES Pi-I, Pi-II, dan PFi-I (masing-masing 50

eksplan atau 5 eksplan per botol) ditanam dalam media selektif dengan

penambahan filtrat kultur 30% dan pertumbuhan kalus embriogen yang

dikulturkan diamati setelah dua bulan. Persentase keberhasilan ES hasil seleksi

untuk bertahan hidup dalam media selektif, rataan jumlah ES yang terbentuk per

eksplan, dan total ES yang didapat diamati selama periode pengamatan.

25

Respons Planlet terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii

Embrio somatik yang insensitif dari seleksi berulang (ES Pi-I dan Pi-II)

dan seleksi ganda (ES PFi-I) dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi planlet

Pi-I, Pi-II, dan PFi-I dengan metode yang telah dilaporkan sebelumnya (Yusnita

et al. 2005). Tunas planlet yang didapat dari perkecambahan ES insensitif

selanjutnya diperbanyak secara vegetatif. Sebagian tunas digunakan untuk

menguji responsnya terhadap cekaman PEG atau cekaman filtrat kultur cendawan.

Sebagian yang lain diakarkan dan diaklimatisasi untuk ditanam di rumah kaca.

Setek pucuk (dua buku, dengan 3-4 daun) dari planlet Pi-I, Pi-II, dan PFi-I

yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya dipisahkan dan ditanam dalam media

selektif yang mengandung PEG 15% atau filtrat kultur S. rolfsii 30%. Pengamatan

perkembangan setek pucuk yang meliputi jumlah daun layu, pertambahan tinggi

tunas, jumlah akar, dan tingkat kerusakan tunas, dilakukan 4 minggu setelah

penanaman dalam media selektif. Setek pucuk dari kecambah kacang tanah yang

tidak melewati tahapan seleksi in vitro digunakan sebagai pembanding (Pi-0).

Skor kerusakan tunas yang ditanam dalam media dengan PEG ditentukan

menggunakan kriteria: skor 0 = eksplan mengalami kerusakan < 5%, skor 1 =

eksplan mengalami kerusakan antara 5% – 25%, skor 2 = kerusakan antara >

25% – 50% , skor 3 = kerusakan antara > 50% – 75%, dan skor 4 = kerusakan

>75%. Untuk skor kerusakan tunas yang ditanaman dalam media dengan filtrat

kultur S. rolfsii ditentukan menggunakan kriteria : skor 0 – jika pucuk tunas sehat

dan setek berakar; skor 1 – pucuk sehat tetapi tidak berakar; skor 2 – pucuk sehat

dengan 1 atau 2 daun menguning (mengering); dan skor 3 – pucuk mengering,

daun nekrosis atau mengering dan tunas mati.

Hasil

Embrio Somatik Hasil Seleksi In Vitro Berulang pada Cekaman PEG

Eksplan kalus embriogen dan ES kacang tanah diseleksi secara berulang

dalam media selektif yang mengandung PEG untuk simulasi cekaman kekeringan

dan seleksi dalam filtrat kultur untuk penyakit busuk batang. Hasil analisis varian

26

menunjukkan bahwa siklus seleksi dan cv. kacang tanah berpengaruh nyata

terhadap persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan total ES (Tabel 1).

Kultivar Singa dan Kelinci yang diseleksi dalam PEG selama dua siklus

cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan

total ES lebih banyak dan persentase penurunan total ES yang lebih sedikit

dibanding dengan satu siklus dan seleksi ganda (dalam PEG satu siklus dan

filtrat kultur satu siklus).

Pada Tabel 1 terlihat bahwa cv. Singa yang diseleksi dalam PEG selama

dua siklus secara nyata menghasilkan rataan ES per eksplan dan total ES yang

terbanyak, sedangkan pada parameter proliferasi ES dan persentase penurunan

total ES, cv. Singa yang diseleksi pada PEG selama dua siklus tidak berbeda

nyata dengan cv. Kelinci yang diseleksi pada PEG selama dua siklus.

Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa seleksi yang dilakukan selama dua siklus

menghasilkan pertumbuhan eksplan kalus embriogen dan ES yang lebih baik.

Kultivar Kelinci menghasilkan proliferasi ES 75%, rataan ES per eksplan 2.66,

total ES 9.94 dan persentase penurunan total ES 85%, sedangkan cv. Singa secara

berturut-turut menghasilkan 75%, 3.02, 11.28, dan 83%.

Tabel 1. Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Kelinci atau Singa hasil seleksi satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG, dan setelah seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur S. rolfsii (PFi-I)

Pertumbuhan ES Kultivar Siklus seleksi Proliferasi ES

(%) Rataan

ES/eksplan Total ES PP total

ES* Kelinci P0 100 a 13.7 a 68.5 a - Pi-I 25 d 1.78 de 2.3 e 97 Pi-II 75 b 2.66 c 9.94 c 85 PFi-I 48 c 1.97 d 4.91 d 93 Singa P0 100 a 13.0 a 65.0 a - Pi-I 30 d 1.81 de 2.96 e 95 Pi-II 75 b 3.02 b 11.28 b 83 PFi-I 45 c 1.57 e 4.0 d 94 *Persentase penurunan (PP) total ES dihitung dengan persamaan PP=[(X0–Xt)/X0]*100%. X0 adalah total ES pada media tanpa seleksi (P0) dan Xt – total ES untuk masing-masing siklus seleksi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kultivar dan peubah pengamatan, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.

27

Sebagian besar eksplan yang diseleksi hanya dalam media PEG atau yang

dilanjutkan diseleksi lagi dalam filtrat kultur S. rolfsii menjadi coklat kehitam-

hitaman dan yang tidak tahan akan mati. Pada sebagian eksplan yang lain,

diantara jaringan yang mati masih ada jaringan yang berkembang membentuk

struktur embrio somatik atau kalus embriogen yang berwarna putih kekuningan

(Gambar 2). Kalus embriogen dan embrio somatik yang terseleksi ini diduga

berkembang dari sel/jaringan varian yang dapat hidup dalam kondisi selektif

akibat penambahan PEG 15% atau dalam filtrat kultur.

Respons Embrio Somatik Hasil Seleksi terhadap PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii

Eksplan kalus embriogen yang telah diseleksi dalam media selektif PEG

selama satu dan dua siklus dan seleksi ganda dievaluasi kembali pertumbuhan

embrio somatik pada media PEG 15% dan filtrat kultur 30%. Pada Tabel 2

terlihat bahwa seleksi in vitro tidak menunjukkan beda nyata terhadap persentase

proliferasi ES namun seleksi ES yang dilakukan pada PEG selama dua siklus

cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES yang lebih banyak pada saat

dievaluasi dengan media PEG 15%. Embrio somatik cv. Singa yang diseleksi

dengan PEG 15% selama dua siklus cenderung menghasilkan rataan ES per

eksplan dan total ES yang lebih banyak dibanding dengan siklus seleksi yang lain

terutama pada akhir evaluasi (Tabel 2).

Gambar 2. Respons pertumbuhan ES dalam media MS-P16 atau media selektif PEG ( = ES insensitif). Proliferasi kalus embriogen dan ES kacang tanah dalam media MS-P16 (a) tanpa PEG, (b) dengan PEG 15% setelah satu siklus seleksi dan (c) dengan PEG 15% setelah dua siklus seleksi (seleksi berulang), serta (d) dengan PEG selama satu siklus dan filtrat kultur selama satu siklus (seleksi ganda)

a b c d

28

Tabel 2. Respons terhadap cekaman PEG dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

Bulan I evaluasi Bulan II evaluasi ES hasil seleksi Kelinci Singa Kelinci Singa

Persentase proliferasi ES (%) Pi-I 85.7 aA 86.8 aA 85.3 aA 83.9 aA Pi-II 90.5 aA 89.5 aA 89.5 aA 88.9 aA PFi-I 82.2 aA 80.9 bA 86.2 aA 79.5 aA

Rataan ES per eksplan Pi-I 3.1 aA 3.6 aA 2.9 abA 3.0 bA Pi-II 3.1 aA 3.4 aA 3.0 aA 3.5 aA PFi-I 2.8 bA 3.0 bA 2.6 bB 2.9 bA

Total ES Pi-I 12.4 aA 14.8 aA 10.6 aA 11.1 bA Pi-II 13.0 aA 14.5 aA 11.3 aB 13.9 aA PFi-I 9.4 bA 10.5 bA 8.1 bB 10.0 bA Keterangan: Untuk setiap peubah pengamatan dan kultivar kacang tanah, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.

Embrio somatik yang telah diseleksi dalam media selektif PEG 15%,

selanjutnya dievaluasi pada media selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%. Hasil

analisis varian menunjukkan bahwa seleksi in vitro berulang berbeda nyata

terhadap persentase proliferasi ES, rataan ES per eksplan, dan total ES. Embrio

somatik cv. Kelinci dan Singa yang telah diseleksi dalam media PEG satu siklus

dan kemudian dilanjutkan diseleksi dalam media filtrat kultur satu siklus (seleksi

ganda) cenderung menghasilkan persentase proliferasi ES yang lebih banyak

dibanding ES yang hanya diseleksi dalam media PEG. Namun, ES cv. Kelinci

yang telah diseleksi dalam media PEG satu siklus dan kemudian dilanjutkan

dalam media filtrat kultur satu siklus (seleksi ganda) menghasilkan rataan ES per

eksplan dan total ES yang lebih banyak dibanding ES cv. Singa yang telah

diseleksi hanya pada media PEG (Tabel 3).

29

Tabel 3. Respons terhadap cekaman filtrat kultur dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

Bulan I evaluasi Bulan II evaluasi ES hasil seleksi Kelinci Singa Kelinci Singa

Persentase proliferasi ES Pi-I 83.8 bA 59.0 bB 73.9 bA 76.2 bA Pi-II 73.9 bA 60.0 bB 90.3 aA 72.7 bB PFi-I 86.5 aA 84.2 aA 92.6 aA 100.0 aA

Rataan ES per eksplan Pi-I 3.1 aA 2.3 bA 2.7 aA 2.0 bB Pi-II 3.3 aA 2.3 bA 2.8 aA 2.2 bB PFi-I 3.0 aA 2.6 aB 3.0 aA 2.6 aA

Total ES Pi-I 10.8 aA 5.9 bB 6.4 bA 4.4 bB Pi-II 11.2 aA 6.1 bB 8.7 aA 4.7 bB PFi-I 12.0 aA 9.2 aB 9.7 aA 7.9 aA Keterangan: Untuk setiap peubah pengamatan dan kultivar kacang tanah, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.

Regenerasi Planlet R0 dari ES Hasil Seleksi Berulang dan Seleksi Ganda

Embrio somatik yang toleran terhadap media selektif PEG satu siklus, dua

siklus dan seleksi ganda dikulturkan dalam media maturasi MS dengan

penambahan 2 g/l arang aktif. Embrio somatik yang telah masak ditandai dengan

terbentuknya struktur embrio lengkap dengan kotiledon dan radikula. Embrio

somatik yang telah masak dikecambahkan terus dalam media perkecambahan MS

dengan penambahan 2 g/l arang aktif. Setelah dikecambahkan selama satu bulan

dalam media perkecambahan, embrio somatik yang telah masak mengalami

pemanjangan epikotil dan lebih kurang tiga bulan kecambah mulai membentuk

akar dan daun primer. Embrio somatik hasil seleksi in vitro membentuk kecambah

normal antara 54 - 63 %, kecambah abnormal 22-29%, dan sisanya adalah

kecambah mati (Tabel 4). Kecambah abnormal ditandai dengan ketidakmampuan

untuk membentuk akar primer atau daun primer. Embrio somatik yang telah

berkecambah dipindahkan lagi ke dalam media MS dengan 2 g/l arang aktif. Pada

media ini, kecambah yang ditanam berkembang menjadi planlet, yang ditandai

dengan semakin memanjangnya epikotil, terbentuknya akar dan daun baru.

30

Setelah terbentuk sistem perakaran dan daun yang baik, planlet diaklimatisasi

pada media campuran tanah, pasir dan kompos yang telah disterilkan, dan

disungkup dengan botol untuk menjaga kelembaban. Persentase keberhasilan

mendapatkan tanaman yang dapat hidup dari tanaman aklimatisasi mencapai 80 -

90%. Planlet dipindahkan ke pot yang berisi media tanah setelah dua minggu

dalam tahapan aklimatisasi. Tanaman generasi R0 yang diperoleh dari ES

insensitif PEG adalah 99 tanaman. Tanaman ini mampu untuk tumbuh normal,

berbunga dan membentuk polong berisi.

Tabel 4. Perkecambahan dan regenerasi planlet dari ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa insensitif PEG yang telah melalui satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG atau insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media dengan PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

Persentase kecambah ES hasil seleksi

Rataan ES yang dikecambahkan Abnormal Normal

Regenerasi planlet (tanaman R0)

Kacang tanah cv. Kelinci Pi-I 13.8 29 57 20 Pi-II 13.0 27 56 20 PFi-I 13.0 27 56 12

Kacang tanah cv. Singa Pi-I 12.4 23 63 22 Pi-II 13.5 28 56 15 PFi-I 13.0 22 54 10

Gambar 3 Regenerasi ES insensitif PEG dan filtrat kultur untuk membentuk planlet. (a) planlet dalam media MS + arang aktif, (b) planlet sedang diaklimatisasi (c) tanaman di rumah kaca, dan (d) polong dari tanaman R0 hasil seleksi in vitro

a b c d

31

Respons Planlet R0 terhadap Cekaman PEG dan Filtrat Kultur S. rolfsii

Planlet R0 yang berkembang dari ES insensitif PEG diuji toleransinya

pada media selektif PEG 15% dan filtrat kultur S. rolfsii 30%. Planlet R0 yang

terbentuk dari ES insensitif PEG yang diseleksi selama dua siklus cenderung

lebih toleran terhadap PEG 15% dan cv. Singa lebih toleran dibanding cv. Kelinci.

Seleksi ES insensitif PEG selama dua siklus cv. Singa menghasilkan 100%

planlet membentuk tunas, jumlah daun layu 0.3, tinggi tunas 10 mm, jumlah akar

1.0, dan skor kerusakan tunas 1.0 (kerusakan tunas 5 – 25%) (Tabel 5).

Tabel 5. Respons terhadap cekaman PEG dari stek pucuk planlet R0 kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil regenerasi dari ES insensitif PEG satu (Pi-I) atau dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

Respons kacang tanah cv. Tunas R0 dari ES hasil seleksi Kelinci Singa

Persentase keberhasilan eksplan yang membentuk tunas (%) : Pi-0 0 (0 – 100) *) 33 (0 – 100) *)

Pi-I 75 (0 – 100) 75 (0 – 100) Pi-II 100 (0 – 100) 100 (0 – 100) PFi-I 100 (0 – 100) 100 (0 – 100)

Jumlah daun dengan gejala layu : Pi-0 2.7 (2 – 3) *) 2.3 (2 – 3) *)

Pi-I 1.0 (0 – 2) 0.5 (0 – 1) Pi-II 0.4 (0 – 1) 0.3 (0 – 1) PFi-I 0.8 (0 – 1) 0.3 (0 – 1)

Pertambahan tinggi tunas (mm) : Pi-0 0 (0 – 0) *) 0.6 (0 – 2) *) Pi-I 5 (0 – 10) 4.5 (0 – 7) Pi-II 6.4 (4 – 10) 10 (8 – 12) PFi-I 2.8 (0 – 6) 8 (7 – 10)

Jumlah akar Pi-0 0 (0 – 0) *) 0 (0 – 0) *)

Pi-I 0.8 (0 – 2) 0.3 (0 – 1) Pi-II 0.8 (0 – 2) 1 (1 – 1) PFi-I 0.3 (0 – 1) 0,3 (0 – 1)

Skor kerusakan tunas: Pi-0 4 (4 – 4) *) 3.7 (3 – 4) *)

Pi-I 1.8 (1 – 3) 1.5 (1 – 2) Pi-II 0.8 (0 – 2) 1.0 (1 – 1) PFi-I 1.8 (1 – 2) 1.7 (1 – 2)

*) Angka dalam kurung tiap peubah adalah nilai kisaran dari terkecil sampai terbesar

32

Sebaliknya pengujian pada filtrat kultur S. rolfsii 30% ternyata planlet R0

yang dihasilkan dari ES hasil seleksi selama satu siklus PEG dan diikuti dengan

seleksi filtrat kultur (seleksi ganda) lebih resisten terhadap filtrat kultur. Planlet

yang dihasilkan dari ES insensitif PEG satu siklus dan dua siklus lebih rentan

terhadap filtrat kultur dan menghasilkan jumlah daun layu yang lebih banyak,

tinggi tunas dan jumlah akar yang lebih sedikit dibanding seleksi ganda (Tabel 6).

Tabel 6. Respons terhadap cekaman filtrat kultur dari setek pucuk planlet R0 kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil regenerasi dari ES insensitif PEG satu (Pi-I) atau dua siklus (Pi-II) dalam media MS-P16 dengan PEG serta ES insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur setelah melalui seleksi ganda dalam media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

Respons kacang tanah cv. Tunas R0 dari ES hasil seleksi Kelinci Singa

Persentase keberhasilan eksplan yang membentuk tunas (%) : Pi-0 0 (0 - 100) *) 0 (0 - 100) *)

Pi-I 50 (0 - 100) 25 (0 - 100) Pi-II 67 (0 - 100) 33 (0 - 100) PFi-I 67 (0 - 100) 67 (0 - 100)

Jumlah daun dengan gejala layu : Pi-0 2.7 (2 - 3) *) 2.3 (2 - 3) *)

Pi-I 1 (0 - 2) 1.5 (1 - 2) Pi-II 1 (0 - 2) 1.7 (1 - 2) PFi-I 0.3 (0 - 1) 0.3 (0 - 1)

Pertambahan tinggi tunas (mm) : Pi-0 0 (0 – 0) *) 0 (0 – 0) *)

Pi-I 1.3 (0 – 3) 0.5 (0 – 2) Pi-II 2.3 (0 – 5) 0.6 (0 – 2) PFi-I 2.8 (0 – 6) 2.3 (0 – 4)

Jumlah akar Pi-0 0 (0 - 0) *) 0 (0 - 0) *)

Pi-I 0 (0 - 0) 0 (0 - 0) Pi-II 0 (0 - 0) 0 (0 - 0) PFi-I 0.3 (0 - 1) 0,3 (0 - 1)

Skor kerusakan tunas: Pi-0 3 (3 - 3) *) 3 (3 - 3) *) Pi-I 1.8 (1 - 2) 2.3 (2 - 3) Pi-II 1.3 (1 - 2) 2.7 (2 - 3) PFi-I 0.7 (0 - 1) 1 (0 - 2) *) Angka dalam kurung tiap peubah adalah nilai kisaran dari terkecil sampai terbesar

33

Pembahasan

Pertumbuhan eksplan embriogen kacang tanah cv. Singa dan Kelinci pada

akhir tahapan seleksi dalam media selektif PEG 15% atau dalam filtrat kultur S.

rolfsi 30% berbeda nyata antara siklus seleksi. Media selektif PEG 15%

menghambat perkembangan embrio somatik terutama eksplan embriogen yang

hanya diseleksi dalam satu siklus. Eksplan ES yang telah mengalami proses

seleksi in vitro dua kali seleksi (Pi-II) lebih insensitif terhadap PEG 15%

dibanding dengan eksplan ES yang hanya diseleksi satu kali dalam PEG 15% (Pi-

I). Embrio somatik yang telah mengalami proses seleksi lebih lama dalam PEG

mempunyai daya adaptasi terhadap media selektif dan adanya kemungkinan

muncul sel atau jaringan varian yang toleran selama tahapan seleksi. Sel atau

jaringan varian yang toleran tersebut akan mengalami proliferasi sehingga pada

akhir seleksi akan menghasilkan sel/jaringan klonal yang lebih banyak dibanding

dengan embrio somatik yang hanya diseleksi dalam satu siklus (Pi-I). Embrio

somatik yang telah diseleksi satu siklus seleksi dalam PEG 15% terjadi juga

penghambatan perkembangan embrio somatik selama proses seleksi dalam media

selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%. Eksplan cv. Singa yang diseleksi selama dua

siklus dalam PEG menghasilkan proliferasi embrio somatik, rataan embrio

somatik per eksplan dan total embrio somatik yang lebih banyak dibanding cv.

Singa dan Kelinci dengan siklus seleksi yang lain (Gambar 2).

Potensial osmotik media tumbuh merupakan faktor penting yang

berpengaruh terhadap proses pembentukan embrio somatik dalam kultur in vitro.

Penurunan potensial air media karena penambahan PEG menyebabkan

menurunnya proliferasi jaringan eksplan, pertumbuhan dan regenerasi tunas

(Kong et al. 1998; Tewary et al. 2000). Keadaan tersebut terjadi antara lain

diduga karena perlakuan PEG dapat mempengaruhi kandungan poliamin endogen.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa poliamin berperan penting dalam proses

morfogenesis dari sel tanaman yang ditanam secara in vitro, antara lain dalam

proses pembentukan embrio somatik pada tanaman Picea glauca (Kong et al.

1998), dan wortel (Bastola & Minocha 1995).

34

Setelah dilakukan seleksi in vitro embrio somatik dalam PEG 15% selama

satu siklus (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dan seleksi ganda dalam PEG 15% selama

satu siklus dan diikuti dengan filtrat kultur S. rolfsii 30% selama satu siklus (PFi-

I), selanjutnya pertumbuhan embrio somatik kacang tanah cv. Singa dan

Kelinci dievaluasi responsnya dalam media PEG 15 % dan filtrat kultur S. rolfsii

30%. Hasil analisis varian menunjukkan bahwa ES yang telah diseleksi dalam

PEG selama dua siklus pada cv. Singa dan Kelinci cenderung menghasilkan

perkembangan embrio somatik yang lebih baik pada media selektif PEG

dibanding dengan siklus seleksi lain. Hal ini terjadi karena hasil seleksi in vitro

menyebabkan terjadinya akumulasi sel/jaringan mutan yang toleran terhadap

cekaman PEG. Sel/jaringan varian yang toleran selama periode seleksi akan

mengalami proliferasi sehingga akan diperoleh embrio somatik dalam jumlah

yang banyak. Selama dalam evaluasi perkembangan embrio somatik dalam PEG

15%, varian ES toleran hasil seleksi selama dua siklus (Pi-II) lebih toleran dari

siklus seleksi lain. Perkembangan ES cv. Singa hasil seleksi selama dua siklus

(Pi-II) terutama setelah evaluasi selama dua bulan menghasilkan persentase

proliferasi ES 88.9%, 3.5 ES per eksplan dan total ES adalah 13.9.

Embrio somatik hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan

seleksi ganda (PEG dan filtrat kultur) menghasilkan respons yang berbeda

terhadap media filtrat kultur S. rolfsii. Embrio somatik hasil seleksi ganda

cenderung lebih tidak sensitif terhadap media filtrat kultur S. rolfsii dibanding

dengan seleksi in vitro berulang pada media PEG satu dan dua siklus. Embrio

somatik yang telah terseleksi dalam seleksi ganda menghasilkan sel/jaringan

varian yang toleran sekaligus terhadap media PEG dan filtrat kultur.

Embrio somatik yang hanya diseleksi pada PEG cenderung menghasilkan

ES yang tidak sensitif hanya pada PEG dan sangat sensitif pada filtrat kultur S.

rolfsii 30%. Embrio somatik cv. Singa lebih toleran terhadap media PEG 15% dan

embrio somatik cv. Kelinci lebih resisten terhadap media filtrat kultur 30%.

Kacang tanah cv. Singa adalah varietas toleran terhadap kekeringan (Hidajat et al.

1999). Embrio somatik cv. Kelinci diduga mempunyai sel/jaringan yang mampu

beradaptasi terhadap media filtrat kultur S. rolfsii.

35

Embrio somatik cv. Singa dan Kelinci yang telah diseleksi dalam seleksi

ganda (PFi-I) mempunyai perkembangan ES yang lebih baik pada filtrat kultur

30%. Embrio somatik yang telah terseleksi dalam seleksi ganda menghasilkan

sel/jaringan varian yang toleran sekaligus terhadap media PEG 15% dan filtrat

kultur 30%. Embrio somatik toleran hasil seleksi ganda diharapkan akan

menghasilkan tanaman yang toleran terhadap kekeringan dan resisten penyakit

busuk batang S. rolfsii.

Embrio somatik toleran hasil seleksi berulang dalam media selektif PEG

15% dan seleksi ganda dalam PEG 15% dan filtrat kultur 30% dikecambahkan

dalam media MS + arang aktif. Embrio somatik tersebut mempunyai kemampuan

berkecambah yang sama dan sebagian embrio somatik yang ditanam

menghasilkan kecambah abnormal dan mati. Kecambah normal tersebut

diregenerasikan untuk membentuk planlet. Planlet diaklimatisasi dan ditanam

pada pot plastik untuk ditanam di rumah kaca untuk memproduksi biji generasi

R1 dan R2. Biji generasi R1 dan R2 inilah yang akan digunakan untuk

mempelajari keragaman morfologi dan agronomis yang mungkin muncul dan

responsnya terhadap cekaman kekeringan dan serangan S. rolfsii .

Setek pucuk planlet R0 cv. Singa dan Kelinci hasil regenerasi ES dari

seleksi PEG selama dua siklus cenderung lebih toleran terhadap cekaman PEG

15%. Planlet tersebut mampu menghasilkan pertumbuhan tunas yang lebih baik

dibandingkan dengan planlet yang berasal dari ES hasil seleksi PEG satu siklus

dan seleksi ganda. Namun, planlet tersebut tidak resisten setelah ditanam dalam

media filtrat kultur S. rolfsii 30%. Planlet R0 yang berasal dari ES hasil seleksi

dalam media PEG dan filtrat kultur (seleksi ganda) lebih resisten terhadap media

filtrat kultur S. rolfsii dibanding planlet yang berasal dari ES yang hanya diseleksi

dengan PEG. Hasil pengujian respons tunas planlet R0 ini memberikan indikasi

bahwa ES yang insensitif hasil seleksi selama dua siklus dalam media PEG dan

seleksi ganda akan menghasilkan juga planlet R0 yang tidak sensitif terhadap

PEG dan filtrat kultur S. rolfsii.

36

Kesimpulan

Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci setelah diseleksi pada

media selektif yang mengandung PEG 15% selama dua siklus (seleksi berulang)

lebih insensitif setelah diuji responsnya terhadap media selektif PEG 15%

dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda (dalam media selektif PEG dan

diikuti seleksi pada media selektif filtrat kultur S. rolfsii 30%).

Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci setelah diseleksi

masing-masing satu siklus pada media selektif PEG 15% dan diikuti dengan

seleksi pada media selektif filtrat kultur 30% (seleksi ganda) lebih insensitif

setelah diuji responsnya terhadap media selektif filtrat kultur 30% dibanding

dengan pertumbuhan ES hasil seleksi satu dan dua siklus pada media PEG 15%.

Embrio somatik insensitif pada media selektif PEG 15% hasil seleksi satu

dan dua siklus serta seleksi ganda (dalam media selektif PEG 15% dan filtrat

kultur) mampu berkecambah dan membentuk planlet. Setek pucuk planlet R0

kacang tanah cv. Singa dan Kelinci yang berasal dari ES insensitif hasil seleksi

pada media selektif PEG 15% dua siklus (seleksi berulang) lebih toleran terhadap

media selektif PEG 15%. Sedangkan setek pucuk planlet R0 yang berasal dari

hasil seleksi ES pada seleksi ganda (dalam media selektif PEG dan diikuti seleksi

pada media filtrat kultur) lebih resisten pada media selektif filtrat kultur.

TIPE VARIAN SOMAKLONAL YANG DIAMATI DIANTARA POPULASI TANAMAN KACANG TANAH HASIL SELEKSI

IN VITRO BERULANG DAN SELEKSI GANDA

Abstrak

Percobaan bertujuan untuk mengidentifikasi tipe varian karakter kualitatif dan kuantitatif yang muncul diantara populasi tanaman kacang tanah yang diregenerasikan dari embrio somatik (ES) hasil seleksi in vitro selama satu siklus (ES Pi-I) atau dua siklus (ES Pi-II) dalam media yang mengandung polietilena glikol (PEG) (seleksi berulang) serta ES hasil seleksi selama satu siklus dalam media dengan PEG, diikuti satu siklus dalam media dengan filtrat kultur S. rolfsii (ES PFi-I, seleksi ganda). Embrio somatik hasil seleksi in vitro yang didapat diregenerasikan menjadi tanaman lengkap (generasi R0) dan dipelihara di rumah kaca hingga panen. Karakter kualitatif tanaman R0 diamati selama periode pemeliharaan dan benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomer tanaman R0. Tanaman R1 zuriat tanaman R0 ditanam menjadi tanaman R1. Karakter kualitatif tanaman R1 diamati selama periode pemeliharaan dan benih R1:2 dipanen secara terpisah dari masing-masing nomer tanaman R1. Benih kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang tidak melalui tahapan seleksi in vitro ditanam sebagai tanaman standar. Hasil percobaan menunjukkan diantara populasi tanaman hasil seleksi in vitro diamati keberadaan varian jumlah anak daun, daun variegata, dan jantan steril yang dikendalikan secara genetik dan varian cabang majemuk, tunas majemuk, daun bergelombang dan batang menjalar yang dikendalikan secara epigenetik. Varian jumlah polong bernas dan bobot polong kering yang lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan tanaman standar merupakan indikasi keberadaan varian karakter kuantitatif. Kata kunci : embrio somatik, mutasi in vitro, PEG, filtrat kultur, S. rolfsii.

38

TYPE OF SOMACLONAL VARIANTS AMONG PEANUT PLANTS REGENERATED FROM SOMATIC EMBRYOS

RESULTED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO SELECTION AND DOUBLE SELECTION

Abstract

The objective of this study was to identify types of qualitative and quantitative character variants among peanut plant s regenerated from somatic embryos (SE) resulted from one cycle (Pi-I) or two cycles (Pi-II) of repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium, and from one cycle of selection on PEG containing medium, followed by one cycle of selection on S. rolfsii culture filtrate containing medium (PFi-I, double selection). Somatic embryos resulted from in vitro selection were regenerated into R0 plants and maintain in glasshouse until maturity. The qualitative and quantitative characters of the R0 plant populations were recorded and the R0:1 seeds were separately harvested from each of the R0 plant. The R0:1 seeds were planted and the R1 plants were maintained in the glasshouse. The qualitative and quantitative characters of the R1 plant populations were recorded and the R1:2 seeds were separately harvested from each of the R1 plant. Peanut cv. Kelinci and Singa were planted as standar peanut. Results of the experiment showed abnormal leaflet number, leaf variegations, and male sterile were the observed genetically controlled variance characters among population of R0 and R1 plants while multiple shoots, multiple branching, waving leaf and runner types were the observe epigenetically controlled variance characters. Variation in number of filled pods and dry pod weight, either higher or lower than the standar peanut cultivars were indication of the existance of somaclonal variation for the quantitative characters.

Keywords : somatic embryo, in vitro mutation, PEG, culture filtrate, S. rolfsii.

39

Pendahuluan

Keragaman genetik merupakan komponen yang esensial dalam program

pemuliaan tanaman terutama untuk memperbaiki karakter tanaman. Penggunaan

kultur jaringan dapat merubah dan meningkatkan variasi genetik tanaman.

Perubahan genetik yang terjadi selama seleksi in vitro disebut variasi somaklonal

(Larkin & Scowcroft 1981). Variasi genetik dapat teramati pada fenotip yang

muncul pada generasi turunannya. Variasi fenotip yang muncul dapat berupa

karakter yang tidak diinginkan atau novel characters yang merupakan sifat unggul

tanaman (Landsmann & Uhrig 1984).

Variasi somaklonal yang diikuti dengan seleksi in vitro diketahui dapat

menghasilkan karakter unggul seperti kedelai tahan penyakit becak coklat

(Septoria glycine) (Song et al. 1994), padi toleran kekeringan (Adkins et al.

1995), padi tahan cekaman salinitas (Bouharmont et al. 1993) dan tahan tanah

masam (Miller et al. 1992), dan kedelai tahan cekaman kekeringan (Widoretno &

Sudarsono 2004). Perubahan genetik telah dilaporkan menjadi penyebab

terjadinya perbedaan tipe variasi somaklonal pada tanaman (Peschke & Phillips

1992). Perubahan genetik meliputi mutasi gen pada genom nukleus dan

sitoplasma, trasnlokasi, delesi, inversi, gene rearrangement, gene amplification

dan transposable element. Pewarisan Mendel pada karakter hasil variasi

somaklonal dapat dikendalikan secara multigenik, monogenik dominan,

semidominan dan resesif (Evans & Sharp 1986). Namun Skirvin et al (1993)

melaporkan bahwa tipe varian somaklonal bersifat epigenetik (genetic instability),

yaitu tipe varian yang tidak akan diwariskan ke keturunan secara seksual, dan tipe

varian yang bersifat stabil (genetic stability) yang diturunkan secara seksual pada

keturunannya.

Faktor-faktor penting yang memperngaruhi munculnya perubahan genetik

yang bersifat stabil selama regenerasi tanaman dalam kondisi in vitro adalah

bahan awal material atau sumber eksplan, susunan genetik setiap spesies tanaman,

dan faktor selama kultur jaringan (Karp 1995; Skirvin et al. 2000). Regenerasi

tanaman yang berasal dari berbagai tipe sumber eksplan menghasilkan variasi

genotipik dan fenotipik yang berbeda (Ramulu 1990). Kultur jaringan yang

40

melalui fase kalus dan kultur protoplas menunjukkan variasi genetik lebih besar

dibanding dengan sel yang belum mengalami diferensiasi. Pengaruh komposisi

hormon dalam media juga ikut memperngaruhi perbedaan stabilitas genetik.

Variasi genetik juga lebih sering terjadi pada sel yang berada lebih lama

dalam kultur (Compton & Veilleux 1991). Lamanya kultur dalam media sangat

berpengaruh terhadap munculnya karakter baru pada tanaman. Jayasangkar (2005)

menyatakan juga bahwa jaringan tanaman yang berada lebih lama dalam kultur in

vitro dapat menyebabkan metilasi pada DNA dan menimbulkan gene silencing.

Seleksi in vitro berulang mempunyai potensi lebih besar untuk menghadirkan

perubahan genetik dibanding seleksi yang hanya dilakukan dalam jangka pendek.

Selain itu, seleksi in vitro berulang menyebabkan hilangnya beberapa karakter

varian karena adanya tekanan seleksi selama seleksi in vitro.

Karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman hasil variasi somaklonal telah

banyak diketahui. Daun variegata, bentuk dan jumlah daun abnormal telah

ditemukan pada kacang tanah hasil seleksi in vitro pada filtrat kultur Sclerotium

rolfsii dan sifat tersebut diwariskan secara genetik (Yusnita et al. 2005). Karakter

yang muncul akibat adanya variasi somaklonal pada tanaman kedelai meliputi

kandungan protein dan minyak biji (Komatsuda 1991), tinggi tanaman dan hasil

biji (Wright et al. 1986), jantan steril dan perubahan morfologi dan jumlah daun

serta pertumbuhan yang memendek (Barwale & Wildholm 1987; Amberger et al.

1992a). Perubahan sifat morfologi dan agronomi tanaman dapat diamati pada

generasi awal (R0) dan generasi R1, tergantung pada tipe variasi apakah genetik

stabil atau genetik tidak stabil.

Fenomena variasi somaklonal bersifat spontan dan random untuk

menghasilkan beberapa karakter. Untuk itu, munculnya karakter baru tidak selalu

merupakan novel characters bahkan muncul karakter yang merugikan atau

karakter yang masih sama seperti karakter induknya (Karp 1995). Variasi

somaklonal memungkinkan untuk merubah satu atau beberapa karakter tertentu

dan tetap mempertahankan karakter unggul lainnya yang sudah dimiliki oleh

induknya. Dengan melakukan seleksi pada media selektif memungkinkan untuk

mengidentifikasi varian-varian yang diinginkan.

41

Pada penelitian sebelumnya telah diidentifikasi ES yang insensitif

terhadap media selektif polietilena glikol (PEG) dan filtrat kultur S. rolfsii.

Embrio somatik yang diseleksi secara berulang (siklus II) pada PEG lebih

insensitif pada media selektif PEG 15% dibanding siklus I dan yang diseleksi

pada seleksi ganda (pada PEG dan kemudian pada filtrat kultur S. rolfsii)

menghasilkan ES yang insensitif sekaligus pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii.

Untuk mengidentifikasi lebih lanjut karakter-karakter yang muncul akibat seleksi

in vitro berulang dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii perlu

dievaluasi keberadaan variasi somaklonal pada berbagai sifat kualitatif dan

kuantitatif, persentase variasi somaklonal yang diamati, dan pengelompokkan sifat

varian yang diamati apakah dikendalikan secara genetik atau epigenetik.

Bahan dan Metode

Regenerasi, Evaluasi Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman R0

Embrio somatik hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II, dan ES PFi-I)

diregenerasikan menjadi planlet dan tanaman R0 melalui tahapan : maturasi,

perkecambahan, serta pemanjangan dan pengakaran tunas dilakukan dalam media

MS (Murashige & Skoog 1962) dengan penambahan 2 g/l arang aktif. Setelah

mempunyai akar dan daun tetrafoliat, planlet diaklimatisasi pada media campuran

tanah, pasir dan arang sekam, disungkup dengan botol untuk menjaga

kelembaban, dan diinkubasikan secara bertahap dalam lingkungan terkontrol ke

rumah kaca.

Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Fi-I, Fi-II,

FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah). Populasi tanaman R0 yang

mampu bertahan hidup dari tahapan aklimatisasi ditanam dalam pot plastik berisi

9 kg campuran tanah dan pasir dan dipelihara di rumah kaca hingga panen.

Tanaman disiram setiap pagi dan sore hingga kapasitas lapang, dijaga dari

serangan hama dengan penyemprotan insektisida Confidor (0.25 ml/l) dan

Kelthane (1 ml/l), dan dari patogen dengan fungisida Dithane M-45 (1 g/l).

Karakter kualitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman R0 yang

42

berbeda dengan tanaman standar dicatat sebagai karakter varian. Pada saat penen,

benih R0:1 dipanen secara terpisah dari masing-masing tanaman R0 dan

dikeringkan. Karakter kuantitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman

R0 diamati dan dibandingkan dengan tanaman standar.

Evaluasi Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman R1

Benih R0:1 yang dipanen dari masing-masing tanaman R0 dalam

percobaan sebelumnya ditanam untuk menghasilkan tanaman R1.Tanaman R1

ditumbuhkan dalam pot plastik yang berisi tanah 9 kg dan dipelihara di dalam

rumah plastik sebagaimana dalam percobaan sebelumnya. Karakter kualitatif

tanaman dari masing-masing populasi tanaman R1 yang berbeda dengan tanaman

standar dicatat sebagai karakter varian. Pada saat panen, benih R1:2 dipanen

secara terpisah dari masing-masing tanaman R1 dan dikeringkan. Karakter

kuantitatif tanaman dari masing-masing populasi tanaman R1 diamati dan

dibandingkan dengan tanaman standar.

Analisis Data Karakter Kualitatif dan Kuantitatif Tanaman

Karakter kualitatif yang diamati diantara populasi tanaman R0 dan R1 dan

berbeda dengan populasi tanaman standar dicatat sebagai karakter varian. Tipe

dan persentase karakter kualitatif varian untuk masing-masing populasi dicatat

dan dianalisis. Karakter varian yang hanya muncul pada populasi tanaman R0 dan

tidak dijumpai kembali pada populasi tanaman R1 dikelompokkan sebagai varian

yang dikendalikan secara epigenetik. Karakter varian yang muncul pada populasi

tanaman R0 dan dijumpai kembali pada populasi tanaman R1 dikelompokkan

sebagai varian yang dikendalikan secara genetik. Sedangkan karakter varian yang

tidak muncul pada populasi tanaman R0 tetapi muncul pada populasi tanaman R1

dikelompokkan sebagai varian yang dikendalikan secara genetik, oleh gen resesif.

Karakter kuantitatif yang diamati untuk masing-masing populasi tanaman

R0 dibandingkan dengan rataan tanaman standar, dan nilai pengamatan yang

nyata lebih rendah atau lebih tinggi dengan rataan tanaman standar dianggap

sebagai varian. Rataan karakter kuantitatif untuk masing-masing populasi

tanaman R1 dibandingkan dengan rataan tanaman standar, dan nilai pengamatan

43

yang nyata lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan dengan rataan tanaman

standar dianggap sebagai varian. Selanjutnya, varian kuantitatif yang diamati

dikelompokkan sebagai dikendalikan secara genetik atau epigenetik menggunakan

kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya.

Hasil

Evaluasi Karakter Kualitatif Tanaman R0 dan R1

Hasil evaluasi tanaman R0 menunjukkan tidak semua tanaman mampu

berbunga, menghasilkan polong, dan benih R0:1. Sebagian tanaman R0

merupakan tanaman varian yang tidak menghasilkan bunga hingga tanaman mati

atau menghasilkan bunga tetapi jantan steril. Berdasarkan perbedaan morfologi

dengan tanaman standar, fenotipe varian yang diamati diantara populasi tanaman

R0 adalah varian jumlah anak daun (trifoliat, pentafoliat, heksafoliat, heptafoliat,

oktafoliat, nanofoliat), varian fusi pangkal anak daun, varian daun bergelombang,

varian daun variegata, varian cabang dan tunas majemuk, varian batang menjalar,

varian steril jantan partial, dan varian steril jantan total (tidak berbunga). Contoh

fenotipe varian untuk berbagai karakter kualitatif yang diamati diantara populasi

tanaman R0 dapat dilihat pada Gambar 4.

Pada Tabel 7 disajikan persentase varian karakter kualitatif diantara

populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro berulang

dalam media dengan penambahan PEG atau hasil seleksi ganda dalam media

dengan penambahan PEG diikuti media dengan penambahan filtrat kultur S.

rolfsii. Pengamatan juga menunjukkan seleksi ganda menghasilkan tipe varian

kualitatif yang lebih sedikit jika dibandingkan seleksi berulang. Pola tersebut

diamati baik pada populasi tanaman R0 dari kacang tanah cv. Kelinci maupun

Singa (Tabel 7).

Varian jumlah anak daun, varian daun variegata, dan varian steril jantan

partial yang ditemukan pada populasi tanaman R0 pada umumnya juga diamati

diantara populasi tanaman R1 zuriat dari masing-masing tanaman R0 (Tabel 7).

44

Gambar 4. Contoh fenotipe varian yang diamati diantara populasi tanaman generasi R0 dan R1 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro berulang dalam media selektif PEG 15% atau hasil seleksi dalam media dengan PEG, diikuti dengan media filtrat kultur (seleksi ganda). Varian jumlah anak daun: (a) trifoliat, (b) pentafoliat, (c) heksafoliat, (d) heptafoliat, (e) oktafoliat, (f) nanofoliat; (g) varian fusi pangkal anak daun; (h) varian daun bergelombang; (i) varian cabang majemuk; (j) varian tunas majemuk, (k) varian cabang menjalar, dan (l) varian daun variegata.

Varian daun bergelombang, cabang dan tunas majemuk, serta batang menjalar

hanya diamati diantara populasi tanaman R0 dan tidak ditemukan diantara

populasi tanaman R1 (Tabel 7). Varian fusi pangkal daun yang tidak ditemukan

diantara populasi tanaman R0, ditemukan diantara populasi tanaman R1. Tanaman

varian tidak menghasilkan bunga diantara populasi R0, tidak dapat dievaluasi

fenotipenya pada generasi R1 karena tidak menghasilkan benih (Tabel 7).

45

Tabel 7. Macam dan persentase varian kualitatif yang diamati diantara populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi satu (Pi-I), dua siklus (Pi-II) dalam media PEG serta hasil seleksi ganda dalam media PEG dan diikuti dalam media filtrat kultur (PFi-I) serta populasi tanaman R1

Kacang tanah cv. Singa Kacang tanah cv. Kelinci Populasi dan karakter kualitatif Pi-I Pi-II PFi-I Pi-I Pi-II PFi-I

Populasi tanaman R0 : Daun trifoliat - - - 10 (2/20) 15 (3/20) - Daun pentafoliat 32 (7/22)* 42 (8/19) 45 (5/11) 30 (6/20) 45 (9/20) 33 (4/12) Daun heksafoliat 14 (3/22) 21 (4/19) - 5 (1/20) 15 (3/20) 25 (3/12) Daun heptafoliat 9 (2/22) 16 (3/19) - - 10 (2/20) 25 (3/12) Daun oktafoliat 9 (2/22) 5 (1/19) - - 10 (2/20) - Daun nanofoliat 9 (2/22) - - - 10 (2/20) - Fusi anak daun - - - - - - Daun bergelombang 14 (3/22) 11 (2/19) - 25 (5/20) - - Cabang majemuk 64 (14/22) 32 (6/19) 73 (8/11) 60 (12/20) 55 (11/20) 33 (4/12) Tunas majemuk 18 (4/22) 21 (4/19) 36 (4/11) - 25 (5/20) - Batang menjalar 9 (2/22) 16 (3/19) - - 10 (2/20) - Steril partial 4 (1/22) 11 (2/19) - - 5 (1/20) - Steril total 14 (3/22) - - - 15 (3/20) - Daun variegata - - - - 10 (2/20) -

Populasi tanaman R1 : Daun trifoliat - - - 10 (2/20) 19 (3/16) - Daun pentafoliat 37 (7/19) 42 (8/19) 36 (4/11) 25 (5/20) 50 (8/16) 25 (3/12) Daun heksafoliat 16 (3/19) 16 (3/19) 18 (2/11) 10 (2/20) 19 (3/16) 25 (3/12) Daun heptafoliat 11 (2/19) 16 (3/19) - - 13 (2/16) 25 (3/12) Daun oktafoliat 5 (1/19) 5 (1/19) - - 13 (2/16) - Daun nanofoliat 11 (2/19) - - - 13 (2/16) - Fusi anak daun - - - - 13 (2/16) - Daun bergelombang - - - - - - Cabang majemuk - - - - - - Tunas majemuk - - - - - - Batang menjalar - - - - - - Steril partial 5 (1/19) 11 (2/19) - - 6 (1/16) - Steril total - - - - - - Daun variegata - - - - 13 (2/16) - Keterangan: *Data x (y/z) adalah x= persentase varian somaklon (%), y= jumlah tanaman dengan karakter varian, dan z= total tanaman yang diuji. (-) = Karakter varian tidak ditemukan Evaluasi Karakter Kuantitatif Tanaman R0 dan R1

Untuk kacang tanah cv. Kelinci, jumlah cabang dan daun per tanaman

pada populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi berulang

46

(ES Pi-I dan ES Pi-II) nyata lebih banyak sedangkan hasil seleksi ganda (ES PFi-

I) tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8). Tanaman R0 yang

diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (Pi-I, Pi-II, dan PFi-I) mempunyai

umur mulai berbunga yang nyata lebih lama dibandingkan tanaman standar (Tabel

8). Sedangkan untuk tinggi tanaman, jumlah polong bernas, dan bobot polong

kering, tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I,

Pi-II, dan PFi-I) tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).

Untuk kacang tanah cv. Singa, populasi tanaman R0 yang diregenerasikan

dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II, dan ES PFi-I) mempunyai umur

mulai berbunga nyata lebih lama serta jumlah cabang dan daun per tanaman nyata

lebih banyak dibandingkan tanaman standar (Tabel 8). Tanaman R0 yang

diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I dan ES Pi-II) mempunyai

tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata, sedangkan yang dari ES hasil seleksi

ganda (ES PFi-I) nyata lebih tinggi dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).

Tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (ES Pi-I, ES Pi-II,

dan ES PFi-I) mempunyai jumlah polong bernas dan bobot polong kering yang

tidak berbeda nyata dibandingkan tanaman standar (Tabel 8).

Rata-rata jumlah cabang tanaman R1 zuriat tanaman R0 dari kacang tanah

cv. Kelinci dan Singa tidak berbeda nyata dengan kacang tanah standar (Tabel 8).

Rata-rata tinggi tanaman R1 zuriat tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES

kacang tanah cv. Kelinci dan Singa hasil seleksi in vitro nyata lebih pendek

dibanding kacang tanah standar (Tabel 8). Sedangkan umur berbunga tanaman

R1 secara umum mendekati nilai tanaman kacang tanah standar dan jumlah daun

lebih banyak daripada tanaman standar (Tabel 8). Rata-rata bobot polong kering

dan jumlah polong bernas tanaman R1 yang diuji lebih rendah atau lebih tinggi

dibandingkan kacang tanah standar (Tabel 8).

Analisis individu tanaman untuk karakter kuantitatif bobot polong kering

per tanaman R0 dan R1 menunjukkan adanya individu tanaman yang mempunyai

hasil polong lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan tanaman kacang tanah

cv. Kelinci atau Singa standar (Gambar 5 dan 6).

47

Tabel 8. Jumlah cabang (JC), tinggi tanaman (TT), umur berbunga (UB), jumlah daun (JD), bobot polong kering (BPK) dan jumlah polong kering (JPK) yang diamati pada tanaman cv. Kelinci dan Singa standar (Std), serta tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro pada media seleksi PEG siklus I (Pi-I), siklus II (Pi-II), dan seleksi ganda pada media PEG dan filtrat kultur (PFi-I)

cv. Kelinci cv. Singa Populasi & peubah Std Pi-I Pi-II PFi-I Std Pi-I Pi-II PFi-I

Populasi Tanaman R0 : JC 5.0 b 10.3 a 11.4 a 7.5ab 5.0 b 7.6 a 8.5 a 8.5 a TT (cm) 70.9 a 65.4 a 73.1 a 68.4 a 76.2 b 86.2ab 75.7 b 92.5 a UB (hari) 25.0 b 55.7 a 55.1 a 48.9 a 25 b 46.7 a 45.9 a 44.7 a JD 50.2 b 88.5 a 92.1 a 61.5ab 55.6 b 106.2 a 116.6a 110.6 a BPK (g) 10.8 a 8.3 a 7.0 a 7.6 a 12.6 a 13.5 a 11.7 a 14.1 a JPK (g) 8.0 a 8.1 a 8.8 a 7.3 a 8.0 a 9.7 a 9.1 a 11.3 a

Populasi Tanaman R1: JC 5.0 a 4.8 a 4.7 a 4.9 a 5.0 a 4.7 a 4.8 a 4.7 a TT (cm) 70.9 a 55.4 b 56.9 b 59.4 b 76.2 a 64.7 b 55.7 c 54.5 c UB (hari) 25.0 b 26.2 a 25.1 b 26.1 a 25.0 b 25.5ab 25.0 b 25.9 a JD 50.2 b 55.7ab 60.1 a 56.9 a 55.6 a 58.7 a 56.9 a 56.3 a BPK (g) 10.8 a 8.9ab 11.6 a 7.2 b 12.6 a 8.7 b 12.0 b 14.6 a JPK (g) 8.0 b 7.7 b 10.2 a 6.3 b 8.0 b 7.6 b 9.2ab 10.9 a

Keterangan : Dalam satu kultivar dan untuk masing-masing peubah, angka pada baris diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada a = 5%.

48

Gambar 5. Jumlah tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES cv. Kelinci hasil seleksi in vitro selama satu atau dua siklus dalam media PEG serta satu siklus dalam media PEG, diikuti media filtrat kultur (seleksi ganda) dan R1 zuriat dari tanaman R0 yang menghasilkan kisaran bobot polong kering tertentu. ( ) populasi tanaman R0 dari ES Pi-I atau zuriat R1-nya, ( ) dari ES Pi-II atau zuriat R1-nya, dan ( ) dari ES PFi-I atau zuriat R1-nya. Tanda anak panah menunjukkan kisaran hasil tanaman kacang tanah cv. Kelinci standar.

3

7 8

1 13

11

31

2

5 5

0

10

20

<4.9

4.9-

8.1

8.1-

11.2

11.2

-14.

4

14.4

-17.

6

17.6

-20.

8

20.8

-24

24-2

7.1

27.1

-30.

3

>30.

3

Jum

lah

tan

aman

R0

14

28

16

107

2 14

1015 17

8 7

1

9

22

12

3 10

10

20

30

40

50

<4.9

4.9-

8.1

8.1-

11.2

11.2

-14.

4

14.4

-17.

6

17.6

-20.

8

20.8

-24

24-2

7.1

27.1

-30.

3

>30.

3

Jum

lah

tan

aman

R1

Kisaran bobot polong kering/tanaman (g)

49

Gambar 6. Jumlah tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa hasil seleksi in vitro selama satu atau dua siklus dalam media PEG serta satu siklus dalam media PEG, diikuti dengan media filtrat kultur (seleksi ganda) dan R1 zuriat dari tanaman R0 yang menghasilkan kisaran bobot polong kering tertentu. ( ) populasi tanaman R0 dari ES Pi-I atau zuriat R1-nya, ( ) dari ES Pi-II atau zuriat R1-nya, dan ( ) dari ES PFi-I atau zuriat R1-nya. Tanda panah menunjukkan kisaran hasil tanaman kacang tanah cv. Singa standar.

42 2 2

1

42

13

43

1 1 1 1 1

4

12

12

1

0

10

20

<4.9

4.9-

8.1

8.1-

11.2

11.2

-14.

4

14.4

-17.

6

17.6

-20.

8

20.8

-24

24-2

7.1

27.1

-30.

3

>30.

3

Jum

lah

tan

aman

R0

5

25

36

8

1 14

10

17

24

16

53 48

47

126

0

10

20

30

40

50

<4.9

4.9-

8.1

8.1-

11.2

11.2

-14.

4

14.4

-17.

6

17.6

-20.

8

20.8

-24

24-2

7.1

27.1

-30.

3

>30.

3

Jum

lah

tan

aman

R1

Kisaran bobot polong kering/tanaman (g)

50

Pembahasan

Untuk membuktikan lebih lanjut munculnya karakter varian pada ES yang

insensitif terhadap PEG dan filtrat kultur S. rolfsii pada generasi R0 dan R1 telah

diidentifikasi tipe variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif

populasi tanaman hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda. Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa variasi somaklonal berhasil diinduksi pada kacang

tanah dengan seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda dengan menggunakan

media selektif PEG untuk menstimulasi cekaman kekeringan dan filtrat kultur S.

rolfsii untuk ketahanan terhadap penyakit busuk batang S. rolfsii. Karakter

kualitatif yang teramati pada generasi R0 yaitu jumlah anak daun trifoliat,

pentafoliat, heksafoliat, heptafoliat, oktafoliat, nanofoliat, fusi pangkal anak daun,

daun bergelombang, cabang majemuk, pucuk majemuk, batang menjalar, steril

partial, steril total dan daun variegata. Pada penelitian sebelumnya, keberadaan

berbagai varian somaklonal tersebut pada populasi tanaman kacang tanah hasil

kultur in vitro telah dilaporkan (Yusnita et al. 2005).

Karakter varian kualitatif yang diamati tidak semuanya muncul kembali

pada generasi R1. Beberapa karakter yang hanya muncul pada populasi tanaman

generasi R0 dan tidak muncul kembali pada generasi R1 adalah cabang majemuk,

tunas majemuk, daun bergelombang, dan batang menjalar. Macam varian

kualitatif yang muncul pada generasi R0 lebih banyak dibanding generasi R1. Hal

ini diduga karena beberapa varian yang ada pada generasi R0 adalah varian yang

bersifat epigenetik yang tidak diwariskan pada turunan generasi R1. Varian yang

teramati kembali pada generasi R1 diduga dikendalikan secara genetik.

Varian kualitatif jumlah anak daun trifoliat, pentafoliat, heksafoliat,

heptafoliat, oktafoliat, nanofoliat, variegata, dan steril partial merupakan sifat

yang diwariskan dari generasi R0 ke generasi R1. Hal ini menunjukkan bahwa

varian kualitatif tersebut dikendalikan secara genetik oleh gen dominan,

sedangkan fenotipe varian dengan fusi pangkal anak daun yang hanya muncul

pada generasi R1 dan tidak muncul pada generasi R0 merupakan indikasi bahwa

fenotipe varian tersebut dikendalikan melalui gen resesif. Keberadaan varian

karakter kualitatif yang muncul pada zuriat tanaman hasil kultur in vitro (generasi

51

lanjut) merupakan fenomena yang umum ditemukan (Barwale & Widholm 1987;

Larkin & Scowcroff 1981). Identifikasi varian somaklonal pada generasi R0 tidak

akan mampu menghasilkan tanaman yang mempunyai karakter tertentu. Oleh

karena itu, seleksi karakter harus dilakukan pada populasi lanjut (R1 atau R2)

yang merupakan turunan dari tanaman hasil kultur in vitro (generasi R0).

Selain varian kualitatif (morfologi), teramati juga varian karakter

kuantitatif (agronomi). Pada generasi R1, seleksi in vitro menghasilkan karakter

agronomi yang beragam. Beberapa varian agronomi yang memberikan varian

yang beragam antara lain tinggi tanaman, jumlah daun, umur tanaman berbunga,

bobot polong kering, dan jumlah polong, sedangkan jumlah cabang pada generasi

R0 memberikan nilai yang beragam tetapi pada generasi R1, karakter tersebut

tidak berbeda antar tanaman hasil seleksi in vitro berulang, seleksi ganda, dan

tanaman standar. Beberapa karakter kuantitatif dari generasi R1 hasil seleksi in

vitro berulang dan seleksi ganda ada yang lebih kecil atau lebih besar

dibandingkan dengan tanaman standar. Beberapa seleksi in vitro yang

memberikan bobot dan jumlah polong kering lebih rendah dari tanaman standar

adalah tanaman yang berasal dari cv. Kelinci dari ES yang diseleksi dengan PEG

siklus I, seleksi ganda, dan cv. Singa dari ES yang diseleksi dengan PEG siklus I.

Individu tanaman dengan daya hasil polong lebih rendah atau lebih tinggi yang

dibandingkan tanaman standar tersebut diduga merupakan varian untuk karakter

kuantitatif. Menurut Stephens et al. (1991) dan Hawbaker et al. (1993) berbagai

sifat tanaman dapat berubah akibat variasi somaklonal namun karakter lain tetap

menyerupai induknya.

Dalam percobaan ini, perubahan karakter kuantitatif telah terjadi pada

tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro. Namun demikian,

kebanyakan tanaman R0 atau zuriat R1-nya mempunyai daya hasil yang tidak

berbeda dengan tanaman standar. Sebaliknya, sejumlah tanaman R0 atau zuriat

R1-nya mempunyai karakter kuantitatif yang sama dengan tanaman kacang tanah

standar tetapi mempunyai daya hasil yang lebih rendah atau lebih tinggi

dibandingkan kacang tanah standar (varian untuk karakter kuantitatif). Dengan

demikian, variasi somaklonal dapat digunakan untuk memperoleh tanaman varian

yang hanya berubah untuk satu atau beberapa karakter tertentu dan tetap

52

mempertahankan karakter unggul yang dipunyai oleh tanaman asalnya.

Kemampuan untuk mengidentifikasi dengan akurat tanaman varian yang

diinginkan diantara populasi tanaman hasil kultur in vitro dapat meningkatkan

efektivitas pemanfaatan induksi variasi somaklonal untuk meningkatkan

keragaman tanaman.

Rendahnya nilai beberapa karakter agronomi pada beberapa tanaman R0

yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro juga merupakan fenomena

yang sering dijumpai. Variasi somaklonal yang dihasilkan diantara populasi

tanaman hasil kultur in vitro atau hasil seleksi in vitro seringkali menyebabkan

munculnya varian untuk karakter yang lebih jelek dibanding tanaman awalnya

(Karp 1995). Variasi somaklonal juga telah dilaporkan dapat menyebabkan

terjadinya variasi untuk karakter kualitatif maupun karakter kuantitatif

sebagaimana yang diamati pada tanaman sorgum yang dihasilkan dari kultur in

vitro (Duncan et al. 1995; Maralappanavar et al. 2000).

Dalam penelitian ini telah diregenerasikan tanaman kacang tanah dari ES

hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan PEG atau dalam media

dengan penambahan PEG diikuti dengan media dengan penambahan filtrat kultur

S. rolfsii. Hasil eva luasi menunjukkan adanya karakter varian somaklonal diantara

populasi tanaman R0 dan R1 yang didapat. Dalam percobaan ini seleksi in vitro

dilakukan menggunakan PEG dan filtrat kultur S. rolfsii sehingga diharapkan

dapat dihasilkan galur kacang tanah varian yang toleran cekaman kekeringan

sekaligus resisten terhadap infeksi S. rolfsii. Evaluasi lebih lanjut untuk sifat

toleran cekaman kekeringan dan resistensi terhadap infeksi S. rolfsii diantara

populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro tersebut

masih perlu dilakukan. Pengujian respons populasi tanaman hasil seleksi in vitro

berulang dalam media PEG dan seleksi ganda terhadap cekaman kekeringan dan

infeksi S. rolfsii akan dilakukan dalam penelitian selanjutnya.

53

Kesimpulan

Analisis populasi tanaman R0 yang diregenerasikan dari masing-masing

ES hasil seleksi satu dan dua siklus (seleksi berulang) pada media selektif PEG

15% serta seleksi ganda (pada media PEG 15% dan kemudian pada media filtrat

kultur 30%) dan zuriat R1-nya menunjukkan adanya karakter varian jumlah anak

daun, fusi pangkal anak daun, daun variegata, dan jantan steril yang dikendalikan

secara genetik, serta varian cabang majemuk, tunas majemuk, dan batang

menjalar, dan daun bergelombang dikendalikan secara epigenetik. Karakter

kuantitatif bobot polong kering dan jumlah polong bernas yang meningkat atau

menurun dibandingkan tanaman standar juga merupakan karakter varian diantara

populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi satu dan dua siklus

(seleksi berulang) pada media selektif PEG 15% serta seleksi ganda (pada media

PEG 15% dan kemudian pada media filtrat kultur 30%).

.

PENAMPILAN TANAMAN KACANG TANAH HASIL SELEKSI IN VITRO BERULANG DAN SELEKSI GANDA PADA POLIETILENA GLIKOL DAN FILTRAT KULTUR

Sclerotium rolfsii TERHADAP CEKAMAN LARUTAN POLIETILENA GLIKOL

Abstrak

Percobaan bertujuan untuk mengidentifikasi penampilan tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda terhadap polietilena glikol (PEG) dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan PEG. Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi generasi R2 turunan dari R1. Selain itu digunakan juga tanaman standar cv. Singa dan Kelinci. Tanaman ditanam pada media campuran arang sekam dan coco peat yang telah disterilisasi. Tanaman pada umur 15 - 50 hari disiram dengan larutan PEG 15%. Identifikasi tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG dengan menghitung indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan peubah yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan gejala nekrosis pada daun lebih sedikit. Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan Kelinci mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG. Tanaman hasil seleksi embrio somatik dua siklus cv. Singa pada media selektif PEG 15% menghasilkan individu galur kacang tanah agak toleran dan toleran lebih banyak.

Kata kunci : embrio somatik, generasi R2, PEG, filtrat kultur.

55

THE PEANUT PLANT PERFORMANCE REGENERATED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO SELECTION AND DOUBLE SELECTION ON POLYETHYLENE GLYCOL AND Sclerotium rolfsii CULTURE FILTRATE AGAINST

POLYETHYLENE GLYCOL SOLUTION STRESS

Abstract

The objective of this research was to identify peanut performance resulted

from repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium and double selection (one cycle of selection on PEG, followed by one cycle of selection on S. rolfsii culture filtrate containing medium) against drought stress with using PEG solution. The R2 generation peanut plants were used in this experiment. Peanut cv. Kelinci and Singa were also tested as control peanut plant. The peanut plants were planted on sterilized coco peat medium. The peanut plants that 15 to 50 days old were watered with PEG 15% solution. Identification of tolerant peanut plant on PEG stress was calculated with using drought sensitivity index value (S) on observed parameter. Results of the experiment showed cv. Singa and Kelinci peanut plant performance produced from repeat cycling in vitro selection to PEG was better plant growth, lesser leaf necrosed symptom and more survive under PEG stress. The cv. Singa peanut plant regenerated from selected somatic embryos (SE) two cycles against polyethylene glycol containing medium produced higher number of moderate and tolerant peanut line.

Keywords : somatic embryo, R2 generation, PEG, culture filtrate

56

Pendahuluan

Air merupakan pembatas utama untuk produksi tanaman di lahan kering.

Cekaman kekeringan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman karena

dapat menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Cekaman kekeringan

berpengaruh terhadap aspek pertumbuhan tanaman meliputi anatomis, morfologis,

fisiologis dan biokimia tanaman (Raper & Krapmer 1987). Pada fase

pertumbuhan vegetatif, ketersediaan air berpengaruh terhadap menurunnya

kecepatan fotosintesis dan luas daun. Tanaman yang terkena cekaman kekeringan

menyebabkan potensial air daun menurun, pembentukan klorofil terganggu

(Alberte et al. 1977) dan struktur kloroplas mengalami disintegrasi (Van Doren &

Reicosky 1987).

Penggunaan varietas toleran merupakan alternatif dalam budidaya kacang

tanah di daerah lahan kering, karena lebih efisien dan praktis penerapannya.

Untuk mendapatkan varietas toleran kekeringan dapat dilakukan melalui induksi

variasi somaklonal dan diikuti dengan seleksi in vitro. Seleksi in vitro dapat

dilakukan dengan menggunakan polietilena glikol (PEG) sebagai selective agent

untuk mengidentifikasi sel atau jaringan tanaman kacang tanah yang tidak mati

karena PEG. Senyawa ini merupakan senyawa osmotikum untuk perlakuan

cekaman air pada tanaman (van der Weele et al. 2000). Polietilena glikol dapat

menurunkan potensial air dan dapat ditambahkan dalam media untuk seleksi in

vitro.

Hasil penelitian pada Bab sebelumnya telah didapat bahwa ES dan planlet

hasil seleksi dua siklus pada PEG lebih insensitif pada cekaman PEG 15%

dibanding seleksi satu siklus. Begitu pula dengan ES dan planletnya yang

merupakan hasil seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii lebih

insensitif sekaligus pada cekaman PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Planlet-planlet

hasil seleksi in vitro telah menghasilkan benih generasi R0 dan R1 dan pengujian

sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan perlu dilakukan.

Pengujian sifat toleransi varian somaklonal galur kacang tanah hasil

seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda dapat dilakukan dengan menggunakan

larutan PEG. Penggunaan larutan PEG diharapkan untuk mendapatkan tekanan

seleksi yang homogen untuk masing-masing galur kacang tanah sehingga

57

kesalahan identifikasi individu yang peka sebagai toleran cekaman kekeringan

dapat dihindari.

Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi penampilan tanaman

kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda terhadap PEG dan

filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan larutan

PEG.

Bahan dan Metode

Galur Kacang Tanah

Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah populasi

generasi R2 turunan dari R1 hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda pada

media selektif PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Selain itu digunakan juga tanaman

standar cv. Singa dan Kelinci. Beberapa populasi tanaman varian somaklonal

yang diuji pada percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nomer galur tanaman generasi R2 zuriat dari generasi R1 kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda yang dievaluasi pada cekaman larutan PEG Kultivar Populasi tanaman dari

seleksi ES Nomer galur

Pi-I 121-4, 121-1, 122-4, 23-3, 123-3, 123-4, 124-3, 124-1, 22-2, 22-4, 232-1, 232-3

Pi-II 82-2, 82-1, 121-4, 32-4, 32-3, 141-1, 141-2, 12-1, 12-2

PFi-I 132-1, 52-1, 52-3, 171-4, 171-2

Singa

FPi-I 212-2, 182-2, 201-2 Pi-I 11-2, 11-3, 13-4, 14-4, 14-1, 12-3, 12-2,

72-4 Pi-II 11-2, 11-4, 81-2, 81-4, 22-1, 32-4, 32-2,

84-2, 84-4, 22-2 PFi-I 22-1, 22-2, 21-2

Kelinci

FPi-I 32-1, 22-1, 31-1, 32-2, 22-3

58

Penyiapan Media Tanam, Penanaman dan Rancangan Percobaan

Media tanam yang digunakan merupakan campuran arang sekam dan coco

peat (1:1) yang telah disterilisasi. Media tanam (500 g) dimasukkan dalam polibeg

yang berukuran 15 x 25 cm. Benih kacang tanah ditanam satu biji per polibeg.

Tanaman disiram setiap hari dengan 20 ml larutan Hyponex (15-15-20 NPK)

dengan konsentrasi 1g/liter air, sampai kecambah berumur 14 hari. Pupuk NPK

diberikan sebagai pupuk dasar sebanyak 0.5 g per polibeg.

Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Pi-I, Pi-II,

PFi-I, FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah).

Perlakuan Cekaman dengan Larutan PEG

Kondisi cekaman diberikan dengan menambahkan larutan PEG dengan

berat molekul 6000 ke dalam larutan Hyponex (konsentrasi 1 g/liter air). Larutan

PEG yang digunakan berkonsetrasi 15%. Perlakuan tanpa cekaman PEG (kontrol)

dilakukan dengan menyiramkan tanaman hanya dengan larutan Hyponex.

Penyiraman larutan PEG sebanyak 20 ml per polibeg dilakukan mulai umur

kecambah 15 HST dan dilakukan setiap hari sampai tiga hari berturut-turut. Pada

hari ke-4, tanaman hanya disiram dengan larutan Hyponex. Penyiraman dengan

20 ml larutan PEG dilakukan sampai umur tanaman 30 hari. Penyiraman

berikutnya sebanyak 40 ml larutan PEG dan dilakukan sampai umur 50 hari.

Identifikasi tanaman somaklon yang toleran terhadap cekaman PEG

dilakukan dengan menghitung : persentase tanaman mati, pertumbuhan tanaman,

dan indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan peubah yang diamati.

Perhitungan persentase tanaman mati dilakukan dengan menghitung jumlah

tanaman mati per jumlah tanaman yang diuji.

Indeks sensitivitas kekeringan (S) dihitung berdasarkan rumus Fischer dan

Maurer (1978), yaitu : S = (1-Y/Yp) / (1-X/Xp), dengan (Y) = nilai rataan peubah

tertentu (misal : panjang akar, bobot kering akar, tinggi tanaman, dan lain- lain)

pada satu genotipe yang mengalami cekaman kekeringan, (Yp) = nilai rataan

peubah tersebut pada satu genotipe lingkungan optimum, (X) = nilai rataan

peubah tersebut pada semua genotipe yang mengalami cekaman kekeringan, dan

(Xp) nilai rataan peubah tersebut pada semua genotipe lingkungan optimum.

59

Genotipe dikatakan toleran terhadap cekaman kekeringan jika mempunyai nilai S

< 0.5, agak toleran jika 0.5 = S = 1, dan peka jika S > 1.

Hasil

Kondisi Fisik Tanaman pada Cekaman PEG

Cekaman PEG pada tanaman kacang tanah menyebabkan kondisi tanaman

menjadi terhambat pertumbuhannya. Kenampakan awal yang terjadi pada

tanaman akibat cekaman PEG adalah kerusakan yang terjadi pada permukaan

daun. Kerusakan daun diawali dengan timbulnya klorosis yang dimulai dari tepi

lamina daun dan selanjutnya terjadi nekrosis dari tepi lamina menuju tulang utama

daun. Gejala nekrosis ini menyerupai daun seperti terbakar (leaf firing). Gejala

lanjut setelah nekrosis adalah daun menggulung seperti “kerupuk”, tanaman

menjadi layu dan mati (Gambar 7).

Gambar 7. Representasi respons tanaman kacang tanah terhadap cekaman PEG. (a) - (d) perkembangan gejala nekrosis ( ) dari tepi lamina daun (gejala ringan) sampai ke tulang daun utama (gejala berat), (e) daun tanaman menggulung seperti “kerupuk” ( ) dan tanaman kerdil, dan (f) pertumbuhan akar tanaman sensitif PEG (kiri) dan toleran PEG (kanan)

a b c

d e f

60

Tanaman kacang tanah yang toleran terhadap cekaman PEG cenderung

mempunyai gejala nekrosis yang lebih ringan dibanding dengan tanaman yang

sensitif terhadap PEG. Tanaman dengan gejala nekrosis berat menghasilkan

pertumbuhan tanaman tidak baik dibanding dengan tanaman yang bergejala

nekrosis ringan. Tanaman kacang tanah yang berasal dari cv. Singa dan Kelinci

(tanaman standar) menghasilkan gejala nekrosis terparah sehingga menimbulkan

gangguan yang serius pada proses fotosintesis.

Kemampuan Tanaman untuk Hidup pada Cekaman PEG

Pada Tabel 10 terlihat bahwa tanaman kacang tanah yang berasal dari ES

cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro pada PEG 15% menghasilkan tanaman

yang dapat bertahan hidup lebih lama dibanding tanaman yang tidak melewati

seleksi in vitro. Tanaman ini dapat bertahan hidup sampai umur 49 hari dari umur

panen 50 hari, sedangkan tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro hanya

dapat hidup rata-rata sampai 39 hari.

Tabel 10. Rata-rata jumlah hari tanaman untuk dapat bertahan hidup dan persentase (%) tanaman yang masih hidup sampai umur 50 hari dalam media yang diberi perlakuan PEG 15% pada populasi tanaman Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv.

Umur tanaman hidup (hari)

Persentase (%) tanaman hidup

cv. Singa : Pi-0 38.60 c 50.0 Pi-I 47.50 ab 86.7 Pi-II 48.79 a 93.5 PFi-I 44.38 b 68.8 FPi-I 48.33 ab 88.9 cv. Kelinci : Pi-0 38.80 b 40.0 Pi-I 47.00 a 82.8 Pi-II 49.16 a 95.2 PFi-I 47.56 a 88.9 FPi-I 47.82 a 82.4

Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a =5 %

61

Pada tanaman cv Singa dan Kelinci hasil seleksi ES dua siklus (seleksi

berulang) pada PEG 15% mempunyai kemampuan bertahan hidup sama dengan

tanaman dari hasil siklus seleksi in vitro yang lain, kecuali pada seleksi ganda dari

cv. Singa (seleksi pertama pada PEG kemudian pada filtrat kultur S. rolfsii)

mempunyai umur bertahan hidup yang lebih pendek. Namun, secara umum

terlihat bahwa tanaman yang berasal dari seleksi in vitro dua siklus pada PEG

15% cenderung mempunyai kemampuan bertahan hidup yang lebih lama

dibanding seleksi ES siklus yang lain.

Tanaman yang mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama

cenderung menghasilkan persentase tanaman hidup lebih banyak. Namun,

sebaliknya tanaman dengan umur bertahan hidup yang pendek menghasilkan

persentase tanaman hidup lebih sedikit (Tabel 7). Tanaman kacang tanah yang

berasal dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG menghasilkan

persentase tanaman hidup yang lebih banyak dibanding siklus seleksi ES yang

lain. Tanaman yang tidak melewati seleksi in vitro menghasilkan persentase

tanaman hidup yang lebih sedikit atau tanaman ini tidak mampu untuk bertahan

hidup atau banyak yang mati.

Pengaruh Cekaman Larutan PEG terhadap Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan tanaman kacang tanah pada cekaman PEG 15% ditampilkan

pada Tabel 11. Pengamatan pertumbuhan tanaman diamati pada kondisi cekaman

PEG, kondisi optimum, serta membandingkan tanaman somaklon. Hasil analisis

keragaman menunjukkan bahwa seleksi ES tidak berpengaruh nyata terhadap

jumlah cabang pada cv. Singa atau Kelinci, namun antara kondisi cekaman dan

optimum pada cv. Singa dan Kelinci berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang.

Tanaman yang dihasilkan dari hasil seleksi ES yang berbeda berpengaruh

nyata terhadap tinggi tanaman. Pada kondisi cekaman ternyata tanaman yang

dihasilkan dari ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus menghasilkan tanaman yang

lebih tinggi dari seleksi ES yang lain dan tanaman tanpa seleksi in vitro. Tinggi

tanaman pada kondisi optimum lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kondisi

cekaman PEG.

62

Tabel 11. Pengaruh cekaman PEG 15% terhadap pertumbuhan tanaman populasi tanaman Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii

Singa Kelinci Populasi tanaman dari seleksi ES Optimum Cekaman Optimum Cekaman

Jumlah cabang Pi-0 3.00 aA 1.60 bB 3.00 aA 1.00 aB Pi-I 2.38 aA 1.12 bB 2.97 aA 1.46 aB Pi-II 2.93 aA 1.56 bB 3.10 aA 1.73 aB PFi-I 2.80 aA 1.09 bB 3.67 aA 1.63 aB FPi-I 2.89 aA 1.13 bB 2.95 aA 1.50 aB

Tinggi tanaman (cm) Pi-0 49.25 aA 35.00 bB 36.75 bA 29.00 bB Pi-I 45.19 abA 36.62 abB 44.30 aA 31.25 abB Pi-II 49.07 aA 40.04 aB 42.37 aA 34.97 aB PFi-I 46.20 abA 35.36 abB 40.84 abA 27.51 bB FPi-I 42.89 bA 32.38 bB 37.95 bA 30.88 abB

Jumlah daun Pi-0 16.38 bA 10.08 aB 21.00 abA 9.25 aB Pi-I 19.43 abA 10.69 aB 18.18 bA 11.24 aB Pi-II 21.59 aA 12.12 aB 18.70 bA 13.17 aB PFi-I 16.80 bA 10.36 aB 22.89 aA 10.75 aB FPi-I 19.00 abA 10.87 aB 20.14 abA 12.21 aB

Jumlah buku batang utama Pi-0 10.13 aA 8.4 aB 10.00 aA 7.00 cB Pi-I 10.19 aA 8.57 aB 9.97 aA 7.63 bcB Pi-II 10.33 aA 8.64 aB 9.97 aA 8.53 abB PFi-I 9.87 aA 8.27 aB 9.78 aA 9.13 aA FPi-I 9.89 aA 8.63 aB 9.62 aA 8.71 abA

Panjang akar (cm) Pi-0 17.50 abA 16.60 bB 14.25 bA 12.55 bA Pi-I 14.31 bA 14.62 bA 14.67 bA 13.28 bA Pi-II 17.87 aA 18.29 aA 15.60 abA 17.54 aA PFi-I 15.13 abA 13.82 bA 15.02 abA 14.25 bA FPi-I 14.01 bA 13.24 bA 15.07 aA 14.39 bB

Bobot kering akar (g) Pi-0 0.54 aA 0.30 bB 0.73 aA 0.40 abB Pi-I 0.51 aA 0.36 bB 0.47 bA 0.32 bB Pi-II 0.57 aA 0.49 aA 0.54 bA 0.45 aA PFi-I 0.47 aA 0.37 bA 0.58 bA 0.41 abB FPi-I 0.46 aA 0.33 bB 0.49 bA 0.37 abA

Jumlah ginofor Pi-0 3.50 aA 1.40 aA 7.50 aA 0.75 aB Pi-I 4.60 aA 2.23 aA 5.20 abA 1.83 aB Pi-II 5.19 aA 3.12 aA 6.03 abA 1.87 aB PFi-I 4.87 aA 1.09 aB 4.87 bA 1.00 aB FPi-I 4.44 aA 2.13 aA 3.67 bA 1.14 aA

Bobot kering tanaman (g) Pi-0 2.61 abA 1.01 aB 2.78 aA 1.18 aB Pi-I 2.77 aA 1.39 aB 2.19 abA 1.17 aB Pi-II 2.99 aA 1.69 aB 2.35 abA 1.77 aB PFi-I 2.26 bA 1.34 aB 2.58 abA 1.55 aB FPi-I 1.99 bA 1.19 aB 2.08 bA 1.37 aB

Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a=5 %

63

Jumlah daun tidak berbeda nyata diantara tanaman hasil seleksi ES pada

kondisi cekaman PEG, namun dibanding kondisi optimum dengan cekaman

ternyata keduanya saling berbeda nyata.

Jumlah buku batang utama pada kondisi cekaman tidak berbeda antar

metode seleksi pada cv. Singa, namun berbeda nyata antar metode seleksi ES pada

kondisi cekaman pada cv. Kelinci. Tanaman cv. Kelinci yang tidak melewati

seleksi in vitro pada kondisi cekaman memiliki jumlah buku batang yang paling

sedikit.

Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus

pada media selektif yang mengandung PEG mempunyai akar yang lebih panjang

dan bobot kering akar yang lebih berat pada kondisi cekaman. Pada seleksi ES cv.

Singa dan Kelinci dua siklus, panjang akar dan bobot kering akar tidak berbeda

antara tanaman yang ditanam pada kondisi optimum dan cekaman PEG dan ada

kecenderungan bahwa panjang akar pada kondisi cekaman lebih panjang daripada

pada kondisi optimum.

Pada kondisi cekaman, ternyata tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES

cv. Singa dan Kelinci menghasilkan jumlah ginofor dan bobot kering tanaman

yang tidak berbeda antara metode seleksi ES. Namun ada kecenderungan bahwa

tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada

kondisi cekaman menghasilkan jumlah ginofor yang lebih banyak dan bobot

kering tanaman yang lebih berat.

Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Larutan PEG

Toleransi tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro pada media PEG

diukur dengan menggunakan indeks sensitivitas kekeringan (S) terhadap cekaman

PEG. Indeks sensitivitas dapat mengelompokkan tanaman kacang tanah menjadi

toleran, agak toleran, dan peka. Indeks sensetivitas terhadap cekaman PEG

menunjukkan besarnya penurunan berbagai peubah yang diamati pada kondisi

cekaman relatif terhadap kondisi optimum. Indeks sensitivitas terhadap cekaman

PEG dapat dilihat pada Tabel 12.

64

Tabel 12. Indeks sensitivitas (S) terhadap cekaman PEG berdasarkan sejumlah karakter pertumbuhan pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii

Indeks sensivitas (S) Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv JC TT BKA JG BKT

Fenotipe somaklon

cv. Singa : Pi-0 0.93 1.38 1.51 0.98 1.60 P Pi-I 0.95 0.83 0.79 0.44 1.14 A Pi-II 0.83 0.77 0.50 0.39 1.00 A PFi-I 1.17 1.10 0.92 1.32 0.94 A FPi-I 1.17 1.15 1.07 0.87 1.08 P cv. Kelinci : Pi-0 1.33 1.01 1.71 1.47 1.50 P Pi-I 0.94 1.28 1.17 0.78 1.05 P Pi-II 0.85 0.82 0.48 0.82 0.62 T PFi-I 1.06 1.53 0.98 1.49 1.11 A FPi-I 0.71 0.54 1.14 0.66 1.01 P

Keterangan : peubah JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, BKA = bobot kering akar, JG = jumlah ginofor, BKT = bobot kering tanaman. Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering akar. Pengelompokan galur : T = toleran, A = agak toleran, dan (P) = peka.

Dari nilai S bobot kering akar, ternyata tanaman yang dihasilkan dari

seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG menghasilkan nilai indeks

= 0.5. Tanaman yang berasal dari seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda PFi-I

pada cv. Singa menghasilkan nilai 0.5 < S < 1.0 sedangkan seleksi ganda yang

lain bernilai S > 1 tetapi masih lebih kecil dari tanaman standar. Tanaman hasil

seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda FPi-I pada cv. Kelinci menghasilkan

nilai S > 1 namun masih lebih rendah dari cv. Kelinci yang tidak melewati seleksi

in vitro, sedangkan tanaman dari seleksi ganda PFi-I bernilai nilai 0.5 < S < 1.0.

Untuk mengetahui toleransi beberapa galur tanaman dari seleksi ES pada PEG

15% satu siklus, dua siklus (seleksi berulang), dan seleksi ganda dilakukan

perhitungan nilai S pada peubah jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot kering

akar, jumlah ginofor, dan bobot kering tanaman (Tabel 13). Hasil perhitungan

menunjukkan bahwa nilai S berdasarkan bobot kering akar dari masing-masing

galur bervariasi dan bahkan ada yang lebih besar dari nilai S tanaman standar.

65

Pada cv. Singa hasil seleksi ES satu siklus (Pi-I), ternyata dari 12 galur yang diuji

menghasilkan 5 galur peka (41.67%), 4 galur agak toleran (33.33%), dan 3 galur

toleran (25%), sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan masing-

masing 4 galur peka dan agak toleran (50%) dari 8 galur yang diuji. Tanaman

yang berasal dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang = Pi-II) pada cv. Singa

menghasilkan 22.22% tanaman peka, 33.33% agak toleran dan 44.44% tanaman

toleran, sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan tanaman peka

40%, agak toleran 20%, dan tanaman toleran 40%. Tanaman kacang tanah yang

berasal dari seleksi ganda pada cv. Singa (PFi-I) menghasilkan lebih banyak

tanaman agak toleran 60%, tanaman peka dan toleran masing-masing 20%,

sedangkan pada seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman peka

terhadap cekaman PEG yaitu sebesar 33.33%, agak toleran 66.67%, dan tidak

dijumpai adanya tanaman toleran. Pada tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I) pada

cv. Kelinci tidak ditemukan tanaman yang toleran dan tanaman peka 33.33% dan

tanaman agak toleran sebesar 66.67%. Pada seleksi ganda yang lain (FPi-I)

menghasilkan tanaman peka 60% dan agak toleran 40%. Tanaman standar

semuanya peka terhadap cekaman PEG.

66

Tabel 13. Indeks sensitivitas (S) terhadap cekaman PEG berdasarkan sejumlah karakter pertumbuhan pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan galur populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii

Indeks sensivitas (S) Populasi tanaman dan galur dari seleksi ES dan cv.

JC TT BKA JG BKT Fenotipe Somaklon

cv. Singa : Pi-0 0.93 1.38 1.51 0.98 1.60 P Pi-I :

121-4 1.13 1.46 1.26 1.11 1.35 P 121-1 1.39 1.11 1.26 1.31 1.79 P 122-4 0.20 0.59 0.00 0.09 0.97 T

23-3 0.82 0.98 0.00 0.74 1.15 T 123-3 0.46 0.83 1.89 0.00 0.26 P 123-4 0.52 0.63 0.76 -0.59 0.65 A 124-3 1.13 0.69 1.14 0.57 1.35 P 124-1 0.82 0.00 0.95 -0.49 1.07 A

22-2 1.00 1.26 1.51 1.37 1.51 P 22-4 1.26 0.91 0.76 0.50 1.12 A

232-1 1.45 1.29 0.91 0.11 1.26 P 232-3 1.25 0.26 -0.95 0.59 1.22 T

Pi-II : 82-2 1.08 1.21 0.00 0.25 1.30 T 82-1 1.45 0.97 0.63 0.39 1.31 A

121-4 0.47 0.68 0.76 0.00 0.41 A 32-4 1.00 0.7 0.00 0.68 0.23 T 32-3 1.14 1.32 1.08 1.36 1.65 P

141-1 0.87 0.15 0.76 0.77 0.94 A 141-2 1.25 0.64 1.43 0.72 1.40 P

12-1 -0.61 0.57 0.00 -1.63 0.42 T 12-2 0.82 0.67 -0.19 0.98 1.38 T PFi-I :

132-1 1.45 1.72 2.33 1.63 1.95 P 52-1 0.69 1.26 0.76 1.34 1.12 A 52-3 1.33 1.38 0.76 1.25 1.21 A

171-4 1.13 0.20 0.00 1.32 -0.31 T 171-2 1.25 0.81 0.76 1.04 0.75 A

FPi-I : 212-2 1.15 1.17 0.95 0.79 1.08 A 182-2 1.03 1.11 0.76 0.49 0.96 A 201-2 1.34 1.16 1.51 1.32 1.19 P

67

Tabel Lanjutan :

cv. Kelinci : Pi-0 1.33 1.01 1.71 1.47 1.50 P Pi-I :

11-2 1.33 1.76 1.86 1.14 1.70 P 11-3 0.47 -0.08 0.76 -1.06 0.44 A 13-4 1.34 2.01 1.51 1.50 1.83 P 14-4 0.74 0.71 0.76 0.53 0.00 A 14-1 0.52 0.46 0.76 0.33 -0.15 A 12-3 0.50 2.01 1.26 1.52 1.59 P 12-2 1.45 1.88 1.51 0.99 1.52 P 72-4 1.19 1.48 0.96 1.30 1.47 A

Pi-II : 11-2 0.88 -0.06 0.00 1.30 0.15 T 11-4 0.54 1.19 0.76 1.34 0.27 A 81-2 1.00 0.91 1.89 0.12 0.47 P 81-4 1.15 1.00 1.42 1. 20 0.93 P 22-1 0.69 0.63 -0.95 -0.10 0.00 T 32-4 0.91 1.19 1.35 1.00 1.31 P 32-2 0.74 0.58 1.26 1.19 0.42 P 84-2 1.39 1.17 0.95 1.34 0.90 A 84-4 0.74 0.85 0.00 1.23 1.12 T 22-2 0.46 0.73 -1.89 0.00 0.58 T

PFi-I 22-1 0.66 1.56 0.76 1.63 1.41 A 22-2 1.07 1.45 1.42 1.22 1.08 P 21-2 1.45 1.57 0.76 1.63 0.83 A

FPi-I 32-1 0.46 2.03 0.76 0.92 0.45 A 22-1 0.66 2.04 1.14 1.26 2.00 P 31-1 1.39 0.77 1.73 1.54 1.25 P 32-2 1.33 -0.32 1.45 1.19 1.37 P 22-3 -0.31 -1.81 0.63 -1.63 0.00 A

Keterangan : peubah JC = jumlah cabang, TT = tinggi tanaman, BKA = bobot kering akar, JG = jumlah ginofor, BKT = bobot kering tanaman. Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering akar. Pengelompokan galur : T = toleran, A = agak toleran, dan (P) = peka.

68

Pembahasan

Identifikasi tanaman kacang tanah yang toleran terhadap cekaman

kekeringan dapat disimulasi dengan menyiramkan larutan PEG 15% selama

pertumbuhan tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman kacang

tanah hasil seleksi in vitro semuanya menunjukkan gejala nekrosis pada lamina

daun. Bahkan beberapa galur yang sensitif dapat menimbulkan kematian akibat

cekaman larutan PEG. Tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi ES cv.

Singa atau Kelinci dua siklus pada media PEG cenderung menghasilkan gejala

nekrosis yang lebih sedikit dan lebih mampu untuk bertahan hidup lama, jumlah

tanaman hidup lebih banyak dibanding dengan tanaman yang berasal dari seleksi

ES satu siklus pada PEG atau seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur. Tanaman

yang toleran terhadap cekaman PEG mampu untuk hidup dan menghasilkan

pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Tanaman kacang tanah yang sensitif pada

PEG tidak mampu untuk bertahan hidup lebih lama, sehingga persentase tanaman

hidup lebih sedikit.

Secara umum pengaruh cekaman PEG secara nyata menghambat

pertumbuhan tanaman. Namun tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi

ES dua siklus lebih mampu untuk menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik,

sehingga jumlah tanaman yang mati dapat dikurangi. Tanaman yang toleran

terhadap cekaman PEG menghasilkan mekanisme toleran terutama pertumbuhan

akar yang lebih baik. Terbukti bahwa tanaman yang bergejala nekrosis besar pada

daun merupakan akibat dari ketidakmampuan akar untuk mensuplai air pada daun

tanaman. Akar tanaman tidak mampu untuk mensuplai air ke daun ketika jumlah

dan panjang akar tidak sebanding lagi untuk dapat mengikat air ketika ada tekanan

PEG. Pada Gambar 7.f terlihat bahwa pertumbuhan akar tanaman sensitif PEG

lebih pendek dan sedikit. Menurut Wakabayashi et al. (1997) penghambatan

pertumbuhan koleoptil gandum disebabkan oleh rendahnya suplai air dari akar ke

koleoptil. Tanaman kacang tanah dari seleksi ES siklus II (seleksi berulang)

cenderung menghasilkan bobot kering akar yang lebih berat dibanding tanaman

dari seleksi in vitro yang lain dan tanaman standar (cv. Singa dan Kelinci).

Penggunaan PEG dapat menstimulasi penurunan potensial air dan menimbulkan

69

cekaman kekeringan bagi tanaman. Penggunaan PEG sebagai cekaman

osmotikum dapat mengurangi pemanjangan dan ekspansi sel tanaman (Sakurai et

al. 1987; Taiz 1984). Tanaman kacang tanah yang tidak melewati seleki in vitro

(tanaman standar), tanaman hasil seleksi in vitro pada PEG satu siklus dan

tanaman hasil seleksi ganda belum mampu secara nyata untuk menekan cekaman

yang ditimbulkan oleh larutan PEG 15%. Ini terbukti dari rendahnya komponen

pertumbuhan yang dihasilkan.

Berdasarkan uji toleransi bobot kering akar tanaman terhadap cekaman

PEG menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah yang dihasilkan dari seleksi ES

pada PEG dua siklus menghasilkan tanaman yang lebih toleran dari tanaman hasil

seleksi ES yang lain, dengan rata-rata nilai S = 0.50 (agak toleran) untuk cv. Singa

dan S = 0.48 (toleran) untuk cv. Kelinci. Nilai toleransi tanaman terhadap

cekaman PEG merupakan ekspresi toleransi yang ditimbulkan dari galur-galur

kacang tanah untuk melawan cekaman kekeringan. Tanaman yang toleran

terhadap cekaman PEG menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik

dibanding dengan tanaman yang tidak toleran. Tanaman yang toleran mampu

untuk melakukan fotosintesis dan fotosintat yang dihasilkan tentu lebih banyak,

dan selanjutnya fotosintat tersebut segera didistribusikan ke seluruh bagian

tanaman. Tanaman kacang tanah hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci satu siklus

dan seleksi ganda menghasilkan nilai S > 1 atau sama dengan tanaman cv. Singa

dan Kelinci tanpa melalui seleksi in vitro (tanaman standar), atau 0.5 = S =1.0.

Ini berarti bahwa seleksi ES pada PEG 15% selama satu siklus belum cukup untuk

menghasilkan tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Identifikasi lebih lanjut terhadap kacang tanah hasil regenerasi ES dari

seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda menunjukkan bahwa seleksi ES pada

PEG 15% dua siklus menghasilkan individu galur agak toleran dan toleran lebih

banyak pada cekaman larutan PEG 15% (Tabel 13). Seleksi ES kacang tanah dua

siklus pada PEG 15% menyebabkan kalus embriogen dapat beradaptasi lebih baik

terhadap media selektif PEG atau frekuensi munculnya sel/jaringan varian yang

toleran terhadap cekaman PEG lebih tinggi dibandingkan yang hanya diseleksi

satu siklus dengan PEG. Sel/jaringan normal terhambat pertumbuhannya,

sedangkan jaringan varian yang toleran mengalami proliferasi menjadi kalus

70

embriogen dan selanjutnya berkembang menjadi planlet yang toleran. Tanaman

kacang tanah yang toleran terhadap PEG adalah berasal dari kalus embriogen

yang memang toleran terhadap media selektif PEG 15%.

Jumlah individu galur kacang tanah dari seleksi ganda menghasilkan

individu galur agak toleran dan toleran paling sedikit dan galur peka yang lebih

banyak. Hal ini terjadi karena seleksi ganda pada media selektif PEG 15% dan

dilanjutkan seleksi pada media filtrat kultur (PFi-I) atau sebaliknya lebih awal

diseleksi pada filtrat kultur 30% dan diseleksi kembali pada media selektif PEG

15% (FPi-I) menyebabkan ES lebih banyak yang mati. Tekanan dua media

selektif sekaligus menyebabkan sel/jaringan yang sebelumnya mutan pada salah

satu media selektif PEG 15% atau filtrat kultur 30% akan menjadi tidak mutan

ketika diseleksi kembali pada media selektif filtrat kultur atau PEG.

Kesimpulan

Penyiraman tanaman kacang tanah dengan larutan PEG 15% nyata

menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dihasilkan dari ES hasil

seleksi in vitro dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci

menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dan penghambatan

pertumbuhannya lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada

PEG 15%, seleksi ganda (pada PEG dan diikuti seleksi ES pada filtrat kultur atau

sebaliknya pada filtrat kultur dan diikuti pada media selektif PEG), dan tanaman

yang tidak melewati seleksi in vitro.

Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan

Kelinci mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman PEG.

Seleksi ES dua siklus cv. Singa pada media selektif PEG 15% menghasilkan

individu galur kacang tanah agak toleran dan toleran lebih banyak. Seleksi ganda

(pada media PEG dan kemudian pada filtrat kultur atau sebaliknya pada media

filtrat kultur dan kemudian pada media PEG) menghasilkan jumlah individu galur

toleran paling sedikit atau tanaman peka lebih banyak pada cekaman larutan PEG.

RESPONS TANAMAN KACANG TANAH SOMAKLON DARI HASIL REGENERASI SELEKSI IN VITRO BERULANG

DAN SELEKSI GANDA TERHADAP KEKERINGAN

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro berulang pada media selektif PEG dan seleksi ganda pada media PEG dan filtrat kultur Sclerotium rolfsii terhadap cekaman kekeringan. Bahan tanaman yang digunakan adalah populasi tanaman generasi R2. Selain itu digunakan juga tanaman standar cv. Singa dan Kelinci. Perlakuan cekaman kekeringan diberikan pada tanaman berumur 16 sampai 85 hari. Sebagian tanaman disiram sampai dengan kapasitas lapang (kondisi optimum) dan yang lain dipelihara dalam kondisi cekaman akibat pengurangan pemberian air. Setelah berumur 85 hari, tanaman diberikan kondisi optimum sampai tanaman panen. Toleransi tanaman somaklon terhadap kekeringan dihitung berdasarkan indeks sensitivitas kekeringan (S) pada semua peubah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dengan hasil polong yang lebih tinggi dengan persentase penurunan hasil polong lebih kecil. Tanaman ini juga mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap cekaman kekeringan, menghasilkan jumlah individu galur kacang tanah toleran lebih banyak, dan mengandung kadar prolin yang lebih tinggi. Kata kunci : somaklon, embrio somatik, kekeringan, toleran

72

RESPONSE OF SOMACLONAL PEANUT PLANTS REGENERATED FROM REPEAT CYCLING IN VITRO

SELECTION AND DOUBLE SELECTION AGAINST DROUGHT STRESS

Abstract

The objective of this research was to evaluate response of solmaclonal peanut plant regenerated from repeat cycling in vitro selection on polyethylene glycol (PEG) containing medium and double selection on PEG and Sclerotium rolfsii culture filtrate containing medium against drought stress. The R2 generation peanut plants were used in this experiment. Peanut cv. Kelinci and Singa were also tested as control plant. Water deficit treatment was given to peanut plants that 16 to 85 days old. The peanut plants were irigated with water (optimum condition) while other plants were conditioned under water deficit. After the peanut plant were 85 days old, the plants were treated under optimum condition until plant harvested. Identification of tolerant peanut plant on drought stress was calculated with using drought sensitivity index value (S) on observed parameter. Results of the experiment showed cv. Singa and Kelinci peanut plant produced from repeat cycling in vitro selection to PEG were more tolerance to water defisit, produced higher vegetative growth and dry pod yield, and lower dry pod yield reduction. These plants produced higher number of tolerant peanut line and higher proline content. Keywords: somaclone, somatic embryo, drought stress, tolerant

73

Pendahuluan

Pengembangan varietas tanaman kacang tanah dengan potensi hasil tinggi

melalui mekanisme identifikasi tanaman yang toleran kekeringan adalah sangat

penting untuk meningkatkan hasil tanaman pada lahan kering (Rajaram et al.

1996). Kekeringan (ketersediaan air yang terbatas) merupakan faktor utama yang

membatasi produksi tanaman. Kekeringan juga telah menjadi penyebab permanen

penurunan produksi pertanian terutama untuk negara-negara berkembang. Di

Indonesia penanaman kacang tanah sebagian besar ditanam di lahan kering,

sehingga masalah cekaman kekeringan merupakan penyebab utama penurunan

produksi kacang tanah.

Penggunaan kultivar yang toleran terhadap cekaman kekeringan

merupakan alternatif dalam peningkatan produksi kacang tanah di lahan kering.

Penggunaan kultivar toleran dalam budidaya kacang tanah di lahan kering lebih

efisien dan praktis dibandingkan dengan teknik budidaya yang la in. Metode

pemuliaan konvensional seperti hibridisasi yang diikuti seleksi telah digunakan

untuk menghasilkan kultivar toleran. Hibridisasi dan seleksi pada lahan kering

untuk mendapatkan kultivar toleran belum pernah dilakukan di Indonesia. Selama

ini seleksi untuk mendapatkan kultivar toleran kekeringan kacang tanah dilakukan

pada kondisi lingkungan optimum dan pengujian daya hasilnya dilakukan di lahan

kering. Selain itu, seleksi untuk galur toleran kekeringan dengan potensi hasil

tinggi pada kondisi optimum lebih efisien daripada seleksi pada kondisi cekaman

kekeringan (Rajaram et al. 1996), sehingga seleksi galur toleran kacang tanah

yang spesifik pada lahan cekaman kekeringan belum pernah dilakukan. Kalaupun

ada yang pernah melakukan pada lahan dengan lingkungan spesifik cekaman

kekeringan, masalah homogenitas tekanan seleksi sulit dicapai, sehingga galur-

galur yang diuji menjadi salah teridentifikasi dan terjadi escape dan akhirnya

kemajuan seleksi lebih lama dicapai. Penggunaan seleksi di lapang juga

membutuhkan areal yang luas, sehingga penanganan tanaman terseleksi relatif

sulit.

Upaya yang mungkin dilakukan untuk mendapatkan galur toleran cekaman

kekeringan adalah dengan menggunakan metode seleksi in vitro. Metode ini

74

didasarkan pada induksi variasi genetik diantara sel-sel, jaringan dan atau organ-

organ yang dikulturkan, dan tanaman yang diregenerasikan (Mohamed et al.

2000). Perubahan genetik yang terjadi selama seleksi in vitro disebut variasi

somaklonal (Jain 2000; Larkin 2004). Induksi variasi somaklonal yang diikuti

dengan seleksi in vitro dilaporkan efektif untuk mengidentifikasi varian tanaman

dengan sifat unggul, seperti toleran cekaman kekeringan pada kedelai (Widoretno

et al. 2004), padi toleran kekeringan (Adkins et al. 1995), padi tahan cekaman

tanah garam (Bouharmont et al. 1993), dan tanaman tahan tanah masam (Miller et

al. 1992).

Penggunaan seleksi in vitro berulang (repeat cycling-in vitro selection)

pada media selektif PEG selama beberapa siklus seleksi untuk menginduksi

variasi somaklonal diharapkan dapat meningkatkan tanaman somaklon yang

toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu, dengan melakukan seleksi ganda

dalam media dengan penambahan PEG diikuti dengan yang mengandung filtrat

kultur S. rolfsii diharapkan diperoleh tanaman kacang tanah yang toleran cekaman

kekeringan dan resisten terhadap infeksi S. rolfsi. Seleksi ES ditingkat in vitro

harus dapat dibuktikan tingkat toleransinya ditingkat in vivo atau di lapangan

Menurut Brar dan Jain (1998) tanaman somaklon yang dihasilkan perlu dilakukan

pengujian pada beberapa generasi untuk melihat kestabilan genetik dan

multiplikasi somaklon yang sifat genetiknya stabil untuk mengembangkan

kultivar baru.

Karakter utama yang perlu diperhatikan pada pengujian sifat toleransi

kacang tanah terhadap cekaman kekeringan adalah bobot polong kering dan

jumlah polong. Oleh karena itu, identifikasi toleransi galur kacang tanah terhadap

cekaman kekeringan dihitung berdasarkan penurunan relatif bobot polong kering

dan jumlah polong dari lingkungan optimum ke lingkungan yang mendapat

cekaman kekeringan. Fisher dan Maurer (1978) mengukur toleransi kultivar

gandum terhadap kekeringan dengan menghitung indeks kepekaan kekeringan (S)

dengan membandingkan pengurangan hasil pada lingkungan tercekam dengan

lingkungan yang optimum.

Toleransi terhadap cekaman kekeringan dapat terjadi jika tanaman dapat

bertahan terhadap cekaman yang terjadi atau adanya mekanisme yang

75

memungkinkan untuk terhindar dari situasi cekaman tersebut. Tanaman

mempunyai toleransi yang berbeda terhadap cekaman kekeringan karena

perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler

(Perez-Molphe-Balch et al. 1996). Toleransi terhadap cekaman kekeringan

melibatkan akumulasi senyawa yang dapat melindungai sel dari kerusakan yang

terjadi pada saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). Akumulasi prolin dan

gula terlarut merupakan senyawa yang memegang peranan penting untuk toleransi

terhadap cekaman kekeringan dan merupakan mekanisme toleransi osmotik (Kim

& Janick 1991; Hanson et al. 1979; Mohamed et al. 2000). Sel, jaringan atau

tanaman yang over produksi prolin dianggap mempunyai sifat toleransi terhadap

cekaman kekeringan yang lebih baik (Ober & Sharp 1994).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi (a) respons tanaman varian

somaklonal hasil seleksi in vitro berulang pada media selektif PEG dan seleksi

ganda pada media PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap cekaman kekeringan

dan (b) karakter fisiologis tanaman varian somaklon yang toleran kekeringan.

Bahan dan Metode

Evaluasi tanaman varian somaklonal terhadap cekaman kekeringan

Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

dengan dua faktor perlakuan (populasi tanaman yang berasal dari ES Pi-I, Pi-II,

PFi-I, FPi-I, tanaman standar dan kultivar kacang tanah).

Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah populasi

generasi R2 turunan dari R1 hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda pada

media selektif PEG dan filtrat kultur S. rolfsii. Selain itu, diuji juga populasi Pi-0

(benih awal tanpa seleksi in vitro) sebagai tanaman standar. Beberapa populasi

tanaman varian somaklonal yang diuji pada percobaan ini dapat dilihat pada Tabel

14. Benih kacang tanah generasi R2 ditanam dua biji per polibeg yang berisi

media tanah. Pada umur 14 HST ditinggalkan satu tanaman tiap polibeg.

76

Tabel 14. Nomer galur tanaman generasi R2 zuriat dari generasi R1 kacang tanah hasil seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda yang dievaluasi pada cekaman kekeringan Kultivar Populasi tanaman

dari seleksi ES Nomer galur

Pi-I 121-4, 121-1, 232-3, 124-3, 124-1, 123-4, 22-4, 232-1, 123-3, 22-2

Pi-II 141-1, 32-4, 141-2, 82-1, 82-2, 12-2, 12-1, 32-3

PFi-I 171-4, 52-3, 132-1, 171-2, 132-2, 52-1

Singa

FPi-I 201-2, 62-4, 212-1, 182-2, 182-3, 62-3, 212-2, 201-4

Pi-I 13-3, 21-2, 12-3, 21-3, 11-2, 11-3, 14-4, 72-1, 12-2, 72-4, 14-2, 13-4

Pi-II 32-4, 81-2, 32-2, 22-1,11-2, 84-2, 84-4, 11-4, 81-4, 22-2

PFi-I 21-2, 33-2, 22-1, 21-4, 61-1, 61-2, 22-2, 33-1

Kelinci

FPi-I 22-1, 22-3, 32-1, 32-2, 31-1, 31-3

Perlakuan cekaman kekeringan diberikan mulai tanaman berumur 16

sampai umur 85 hari. Semua tanaman disiram sampai kapasitas lapang dari awal

tanam sampai umur 15 hari. Kapasitas lapang ditentukan dengan menyiramkan air

pada media tanam sampai jenuh. Kejenuhan air ditunjukkan dengan menetesnya

air pada lubang aerasi dasar polibeg. Pada saat tanaman memasuki umur 16 hari,

sebagian tanaman disiram sampai dengan kapasitas lapang (kondisi optimum)

dan sebagian yang lain dipelihara dalam kondisi cekaman sebagai akibat

pengurangan pemberian air. Tanaman yang mendapat perlakuan cekaman disiram

air sampai kapasitas lapang setiap 4 hari sekali (sehari setelah ada 70% gejala layu

pada daun). Gejala layu mulai terjadi ketika kandungan air tanah mencapai 60 -

70% dari kapasitas lapang, yang dihitung berdasarkan selisih berat jumlah air

yang disiramkan untuk mencapai kapasitas lapang dan saat tanaman layu.

Perlakuan cekaman kekeringan diberikan sampai tanaman berumur 85 hari.

Tanaman selanjutnya diberikan kondisi optimum sampai tanaman panen.

Toleransi tanaman somaklon terhadap kekeringan dihitung berdasarkan

indeks sensitivitas kekeringan (S) pada semua peubah yang diamati. Perhitungan

nilai S berdasarkan rumus Fischer dan Maurer (1978), ya itu : S = (1-Y/Yp) / (1-

X/Xp), dengan (Y) = nilai rataan peubah tertentu (misal : jumlah cabang, tinggi

77

tanaman, bobot polong kering, dan lain- lain) pada satu genotipe yang mengalami

cekaman kekeringan, (Yp) = nilai rataan peubah tersebut pada satu genotipe

lingkungan optimum, (X) = nilai rataan peubah tersebut pada semua genotipe

yang mengalami cekaman kekeringan, dan (Xp) nilai rataan peubah tersebut pada

semua genotipe lingkungan optimum. Genotipe toleran cekaman kekeringan jika

mempunyai nilai S < 0.5, agak toleran jika 0.5 = S = 1, dan peka jika S > 1.

Tanaman dipelihara dalam rumah kaca sampai panen. Tanaman dijaga dari

serangan hama dan penyakit dengan penyemprotan insektisida Confidor (0.25

ml/l) dan Kelthane (1 ml/l) dan fungisida Dithane M45 (1 g/l).

Pengujian Respon Fisiologi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan

Respons fisiologi tanaman somaklonal hasil seleksi in vitro diamati

dengan melakukan analisis prolin dan gula total. Analisis dilakukan pada daun

kedua dari pucuk pada saat tanaman telah mengalami 6 kali cekaman pengurangan

pemberian air selama pertumbuhan. Analisis prolin berdasarkan metode Bates et

al. (1973). Daun dikeringkan dalam silika gel. Kira-kira 0.2 g daun digerus dan

dihomogenasi dengan 5 ml asam sulfosalisilat 3%. Campuran disentrifugasi pada

kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Residu campuran ditambah lagi dengan 4 ml

asam sulfosalisilat dan disentrifugasi seperti sebelumnya. Kedua supernatan

tersebut ditera sampai 10 ml dengan asam sulfosalisilat. Analisis prolin dilakukan

dengan mengambil 2 ml supernatan dan direaksikan dengan 2 ml asam ninhidrin

dan 2 ml asetat glasial. Campuran dipanaskan sampai suhu 1000 C selama 1 jam

pada penangas air. Campuran didinginkan pada gelas piala yang berisi air es

selama 5 menit untuk menghentikan proses reaksi. Prolin yang terbentuk

direaksikan dengan 4 ml toluena dan distirer. Kromofom (lapisan bagian atas)

diambil untuk diukur absorbansinya pada spekrofotometer visible dengan panjang

gelombang 520 nm. Standar DL-Prolin (Sigma) dibuat juga dengan konsentrasi

berkisar 30-150 µg yang dilarutkan dalam asam sulfosalisilat. Kadar prolin

dinyatakan dalam µg/g berat kering sampel.

Analisis gula total berdasarkan metode Irigoyen et al. (1992). Sampel

daun dikeringkan dalam silika gel. Kira-kira 0.2 g daun kering digerus dan

dihomogenasi dengan 5 ml akuades. Campuran ditambah dengan 20 ml etanol

78

(80%) dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan

diambil, dan sisanya ditambah lagi dengan 20 ml etanol dan disentrifugasi

kembali. Supernatan diuapkan di atas penangas air sampai etanol habis menguap.

Volume supernatan ditera kembali dengan akuades sampai 100 ml. Untuk analisis

gula total, diambil 1 ml supernatan dan ditambah 5 ml reagen antrone (1 g antrone

dilarutkan dalam 1 liter asam sulfat 95%). Larutan dipanaskan di atas penangas air

pada suhu 1000C selama 12 menit. Campuran dipindahkan ke gelas piala yang

berisi air es untuk menghentikan proses reaksi. Kadar gula ditentukan dengan

mengukur absorbansi dengan spektofotometer panjang gelombang 630 nm.

Sebagai standar digunakan sukrose kadar 50 - 250 µg yang direaksikan dengan 5

ml reagen antrone dan air 1 ml. Kadar prolin dinyatakan dalam µg/g berat kering

sampel.

Hasil

Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Pertumbuhan Tanaman

Pertumbuhan vegetatif tanaman dan hasil polong kacang tanah diamati

pada kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Hasil analisis keragaman

menunjukkan bahwa cekaman kekeringan nyata menurunkan pertumbuhan

vegetatif tanaman dan hasil polong (Gambar 8). Seleksi in vitro berulang pada

PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii secara nyata juga

mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil polong (Tabel 15).

Pada kondisi cekaman, ternyata jumlah cabang tanaman hasil seleksi ES

cv. Singa pada PEG 15% lebih sedikit dari tanaman cv. Singa yang tidak melewati

seleksi in vitro (tanaman standar), kecuali tanaman dari seleksi ES dua siklus

menghasilkan jumlah cabang yang tidak berbeda nyata dengan tanaman standar

cv. Singa. Pada cv. Kelinci, ternyata metode seleksi ES tidak berbeda dalam

menghasilkan jumlah cabang.

Pemberian cekaman kekeringan nyata mengurangi tinggi tanaman dan

berbeda dengan tanaman yang tumbuh pada kondisi optimum. Tinggi tanaman

pada kondisi cekaman dari tanaman hasil seleksi ES lebih pendek dari tanaman

79

standar cv. Singa dan Kelinci. Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa

dua siklus menghasilkan tanaman kacang tanah terpendek.

Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa menghasilkan jumlah

daun yang sama dengan tanaman standar cv. Singa pada kondisi cekaman, dan

jumlah daun tanaman hasil seleksi ES dua siklus cv. Singa tidak berbeda antara

kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Pada cv. Kelinci, ternyata

tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES pada PEG satu dan dua siklus, seleksi

ganda pada PEG dan filtrat kultur (PFi-I) serta tanaman standar tidak berbeda

terhadap jumlah daun dan seleksi ganda pada filtrat kultur dan diikuti seleksi pada

PEG (FPi-I) menghasilkan jumlah daun terbanyak.

Tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus

menghasilkan akar lebih panjang dan bobot kering akar yang lebih berat

dibanding seleksi ES yang lain (Gambar 8). Tanaman hasil seleksi ganda (FPi-I)

cv. Singa menghasilkan akar terpendek dan bahkan lebih pendek dari cv. Singa

tanaman standar. Sedangkan cv. Kelinci, tanaman yang dihasilkan dari seleksi

ganda (PFi-I) menghasilkan akar terpendek pada kondisi cekaman.

Bobot kering tanaman hasil seleksi in vitro cv. Singa dan Kelinci lebih

ringan dibanding tanaman standar pada cekaman kekeringan, kecuali tanaman dari

seleksi ganda (FPi-I) cv. Kelinci lebih berat dari tanaman hasil seleksi in vitro

yang lain dan sama beratnya dengan cv. Kelinci tanaman standar.

Metode seleksi ES berpengaruh terhadap bobot dan jumlah polong kering

pada kondisi optimum dan cekaman pada cv. Singa dan Kelinci. Bobot kering dan

jumlah polong bernas pada cv. Singa dan Kelinci (tanaman standar) nyata lebih

rendah dibanding tanaman hasil seleksi in vitro pada kondisi cekaman (Gambar

12). Tanaman hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus pada PEG 15%

(Pi-II) menghasilkan bobot kering dan jumlah polong yang terbanyak dibanding

hasil seleksi ES satu siklus (Pi-I) dan seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I). Jumlah

polong, tanaman hasil seleksi ES cv. Singa dua siklus tidak berbeda pada kondisi

optimum dan cekaman kekeringan. Sedangkan pada cv. Kelinci, tanaman hasil

seleksi ganda pada filtrat kultur dan PEG (FPi-I) menghasilkan jumlah polong

yang sama pada kondisi optimum dan cekaman kekeringan.

80

Tabel 15. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii

Singa Kelinci Populasi tanaman dari seleksi ES Optimum Cekaman Optimum Cekaman

Jumlah cabang Pi-0 5.00 aA 5.00 aA 5.00 aA 4.93 aA Pi-I 5.00 aA 4.67 bB 4.94 aA 4.78 aA Pi-II 4.96 aA 4.79 abA 5.00 aA 4.87 aA PFi-I 4.94 aA 4.67 bA 5.00 aA 4.83 aA FPi-I 4.92 aA 4.67 bA 5.00 aA 4.89 aA

Tinggi tanaman (cm) Pi-0 70.61 abA 62.73 aB 68.97 aA 62.73 aB Pi-I 70.50 abA 61.53 abB 65.21 aA 52.81 bB Pi-II 65.28 bA 54.83 cB 67.28 aA 56.20 bA PFi-I 69.41 abA 56.39 bcB 67.52 aA 57.92 abB FPi-I 71.16 aA 60.38 abcB 65.11 aA 55.06 bB

Jumlah daun Pi-0 67.67 bA 64.27 aA 69.47 aA 69.00 abA Pi-I 73.73 aA 65.47 aB 70.88 aA 64.72 bB Pi-II 68.79 abA 67.63 aA 71.33 aA 66.93 bA PFi-I 74.33 aA 67.56 aB 71.69 aA 67.21 abA FPi-I 73.58 abA 67.63 aA 71.65 aA 73.17 aA

Bobot kering polong bernas (g) Pi-0 10.71 bA 7.30 cB 10.58 bA 7.21 cB Pi-I 11.99 bA 9.57 bB 11.84 bA 9.16 bB Pi-II 13.86 aA 11.75 aB 13.45 aA 10.96 aB PFi-I 11.72 bA 9.32 bB 11.69 bA 9.19 bB FPi-I 11.89 bA 9.03 bB 11.48 bA 8.89 bB

Jumlah polong bernas Pi-0 8.27 bA 5.73 cB 8.93 bA 6.47 cB Pi-I 9.80 abA 7.97 bB 9.39 bA 7.86 bB Pi-II 10.83 aA 9.50 aA 10.73 aA 9.50 aB PFi-I 9.28 bA 7.72 bB 9.25 bA 7.17 bcB FPi-I 9.33 bA 7.38 bB 8.83 bA 8.00 bA

Panjang akar (cm) Pi-0 54.99 aA 46.00 aB 49.31 abA 35.93 abB Pi-I 56.18 aA 45.73 aB 55.07 aA 38.22 aB Pi-II 52.16 aA 49.79 aB 53.07 aA 39.33 aB PFi-I 53.59 aA 46.00 aB 49.27 abA 30.67 bB FPi-I 51.88 aA 37.54 bB 47.54 bA 33.22 abB

Berat kering akar Pi-0 1.75 aA 0.96 cB 1.72 aA 0.81 bB Pi-I 1.69 aA 1.24 bB 1.61 aA 0.98 bB Pi-II 1.80 aA 1.55 aB 1.73 aA 1.21 aB PFi-I 1.63 aA 1.07 bcB 1.79 aA 0.93 bB FPi-I 1.65 aA 0.93 cB 1.58 aA 1.04 abB

Bobot kering tanaman (g) Pi-0 22.07 aA 18.81 aB 19.14 aA 16.54 aB Pi-I 22.29 aA 15.33 bB 19.43 aA 13.98 bB Pi-II 21.30 aA 16.75 bB 20.53 aA 14.10 bB PFi-I 22.47 aA 15.79 bB 20.29 aA 14.90 bB FPi-I 21.44 aA 15.12 bB 19.64 aA 16.97 aB

Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil yang sama atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan a=5 %

81

Persentase penurunan bobot kering dan jumlah polong bernas akibat

cekaman kekeringan yang terbesar terjadi pada cv. Singa dan Kelinci tanaman

standar. Persentase penurunan bobot kering polong bernas cv. Singa 31.84% dan

cv. Kelinci 31.98%. Persentase penurunan jumlah polong bernas cv. Singa

30.71% dan cv. Kelinci 27.55%. Persentase penurunan bobot kering dan jumlah

polong bernas yang terkecil terjadi pada tanaman yang merupakan hasil seleksi ES

dua siklus cv. Singa yaitu berturut-turut 15.22% dan 12.28% sedangkan cv.

Kelinci berturut-turut 18.51% dan 11.46% (Tabel 16).

Dari keseluruhan peubah yang diamati, ternyata tanaman hasil seleksi ES

cv. Singa dan Kelinci dua siklus cenderung menghasilkan pertumbuhan vegetatif

yang lebih baik dan hasil polong yang lebih tinggi serta penurunan bobot kering

dan jumlah polong bernas yang lebih rendah pada stres kekeringan dibanding

seleksi satu siklus, seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) dan tanaman standar (Pi-0).

Pengaruh cekaman kekeringan terhadap kondisi fisik tanaman, hasil polong dan

pertumbuhan akar disajikan pada Gambar 8. Pada saat tanaman terkena cekaman

kekeringan, tanaman peka segera mengalami kelayuan dan tanaman yang toleran

masih belum menunjukkan gejala kelayuan akibat pengurangan pemberian air.

Tabel 16. Persentase penurunannya bobot dan jumlah polong kering bernas pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap kondisi cekaman kekeringan dan optimum

Persentase penurunan = (1-Y/Yp) x 100 Populasi tanaman dari seleksi ES dan cv. Bobot polong kering Jumlah polong cv. Singa : Pi-0 31.84 30.71 Pi-I 20.18 18.67 Pi-II 15.22 12.28 PFi-I 20.48 16.81 FPi-I 24.12 20.90 cv. Kelinci : Pi-0 31.98 27.55 Pi-I 22.37 16.29 Pi-II 18.51 11.46 PFi-I 21.39 22.49 FPi-I 22.70 9.40

Keterangan : persentase penurunan, Y = berat kering atau jumlah polong bernas pada kondisi cekaman kekeringan dan Yp = berat kering atau jumlah polong bernas pada kondisi optimum

82

Keragaman bobot dan jumlah polong kering yang dihasilkan oleh tanaman

standar (Pi-0) dan tanaman hasil seleksi in vitro ES satu siklus (Pi-I), seleksi

berulang pada PEG (Pi-II), dan seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) pada kondisi

cekaman kekeringan dan optimum disajikan pada Gambar 9, 10, 11 dan 12. Dari

gambar tersebut dapat dilihat bahwa seleksi in vitro berulang dan seleksi ganda

mempunyai bobot polong kering pada cekaman kekeringan melebihi dari tanaman

standar pada cv. Singa. Pada kondisi optimum, ternyata seleksi berulang (dua

siklus) juga menghasilkan bobot polong kering yang melebihi dari tanaman

standar pada cv. Singa. Pada jumlah polong ternyata hanya tanaman hasil seleksi

ES dua siklus (seleksi berulang) yang melebihi tanaman standar pada kondisi

cekaman. Pola keragaman tanaman hasil seleksi in vitro pada cekaman kekeringan

dan kondisi optimum teramati pula pada cv. Kelinci.

Gambar 8. Pengaruh cekaman kekeringan terhadap perumbuhan tanaman, akar dan hasil polong. (a) gejala layu pada tanaman peka dan (b) tanaman toleran (belum menunjukkan gejala layu) pada saat awal cekaman kekeringan, (c) perbedaan pertumbuhan akar pada tanaman toleran (kiri) dan peka (kanan) (d) polong cipo dan gagal berisi dari tanaman peka dan (e) hasil polong bernas dari tanaman toleran terhadap kekeringan

a b

c d e

83

3

6 6

1

10

16

33

9

12

1

5

23

5

10

6

10

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2

Jum

lah

galu

r

13

2

14

22

6

1

13

16

2

1210

0

5

10

15

20

25

<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2

Jum

lah

galu

r

Gambar 9. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro dan menghasilkan bobot polong kering (g) setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran bobot polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.

= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)

cv. Singa : Kekeringan

cv. Singa : Optimum

84

6

9

4

14

12

2

16

1

3

8

6

8

10

5

7

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5

Jum

lah

galu

r

10

57

2

24

5

1

6

16

1

21

12

0

5

10

15

20

25

30

<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5

Jum

lah

galu

r

Gambar 10. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro dan menghasilkan jumlah polong kering setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran jumlah polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.

= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)

cv. Singa : Kekeringan

cv. Singa : Optimum

85

13

23

12

15

6

2

4

1112

2

8

1

10

14

8

0

2

4

6

8

10

12

14

16

<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2

Jum

lah

galu

r

4

8

54

14

18

3

26

10

2

8 8

1

14

0

5

10

15

20

25

30

<4.8 <6.6 <8.4 <10.2 >10.2

Jum

lah

galu

r

Gambar 11. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro dan menghasilkan bobot polong kering (g) setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran bobot polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.

= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)

cv. Kelinci : Kekeringan

cv. Kelinci : Optimum

86

3

5

19

1

4

18

4

7 7

10

5

1

1211

4

10

2

0

24

6

810

12

14

1618

20

<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5

Jum

lah

galu

r

86

1

9

2727

1

86

2

16

12

0

5

10

15

20

25

30

<2 <3.5 <5 <6.5 >6.5

Jum

lah

galu

r

Gambar 12. Jumlah tanaman standar dan generasi R2 yang diregenerasikan dari ES kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro dan menghasilkan jumlah polong kering setelah mengalami cekaman kekeringan dan dibandingkan dengan tanaman dalam konsisi optimum. Tanda anak panah menunjukkan kisaran jumlah polong kering tanaman somaklon melebihi atau lebih rendah dari tanaman standar.

= tanaman standar (Pi-0); = seleksi satu siklus pada PEG (Pi-I); = seleksi dua siklus pada PEG (Pi-II); = seleksi ganda dalam media PEG dan kemudian dalam media filtrat kultur (PFi-I); = seleksi ganda dalam media filtrat kultur dan kemudian dalam media PEG (FPi-I)

cv. Kelinci : Kekeringan

cv. Kelinci : Optimum

87

Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan

Pengukuran toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dihitung

berdasarkan nilai indeks sensitivitas (S). Nilai indeks sensitivitas dari masing-

masing populasi tanaman somaklon disajikan pada Tabel 17 dan 18.

Berdasarkan perhitungan nilai S pada peubah bobot kering dan jumlah

polong bernas, panjang dan berat kering akar, ternyata tanaman standar (tanpa

seleksi in vitro) cv. Singa mempunyai nilai S berkisar antara 0.71 - 1.90 dan cv.

Kelinci bernilai antara 1.17 - 1.63. Nilai S dari tanaman yang berasal dari seleksi

ES cv. Singa pada PEG satu siklus (Pi-I) adalah 0.72 - 1.05, sedangkan cv.

Kelinci berkisar antara 1.00 - 1.33. Tanaman yang berasal dari seleksi in vitro cv.

Singa pada PEG dua siklus (Pi-II, seleksi berulang) bernilai S antara 0.20 - 0.74,

sedangkan dari cv. Kelinci bernilai antara 0.75 - 1.12. Nilai S dari tanaman yang

berasal dari seleksi ganda cv. Singa pada PEG dan diikuti dengan filtrat kultur S.

rolfsii (PFi-I) adalah 0.61 - 1.01, sedangkan cv. Kelinci bernilai antara 1.30 -

1.63, dan yang berasal dari seleksi ganda yang lain cv. Singa pada filtrat kultur

dan diikuti seleksi pada PEG (FPi-I) bernilai antara 1.18 - 1.29 dan dari cv.

Kelinci bernilai antara 0.67 - 1.30.

Berdasarkan nilai S pada bobot polong kering ternyata nilai sensitifitas

tanaman yang berasal dari seleksi ES cv. Singa dan Kelinci dua siklus (seleksi

berulang) berturut-turut bernilai 0.74 (agak toleran) dan 0.90 (agak toleran). Nilai

sensitifitas tanaman yang berasal dari seleksi ES cv. Singa satu siklus adalah S =

0.97 (agak toleran) dan dari cv. Kelinci adalah S = 1.10 (peka). Sedangkan

tanaman hasil seleksi ganda cv. Singa (pada PEG dan diikuti filtrat kultur) bernilai

S = 1.00 (agak toleran) dan dari cv. Kelinci bernilai S = 1.13 (peka). Sementara

nilai S tanaman yang berasal dari seleksi ganda cv. Singa (diawali seleksi pada

filtrat kultur dan diikuti seleksi pada PEG) yaitu 1.18 (peka) dan dari cv. Kelinci

bernilai S = 1.11 (peka). Dari nilai S pada peubah bobot polong ternyata tanaman

hasil seleksi ES cv. Singa dan Kelinci pada PEG 15% dua siklus (seleksi

berulang) menghasilkan nilai indeks sensitivitas terendah (agak toleran).

88

Tabel 17. Indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan sejumlah karakter agronomi pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii

Indeks sensitivitas kekeringan (S) Populasi tanam-

an dari seleksi ES dan cv.

Bobot po- long kering

Jumlah polong

Panjang akar

Berat ke- ring akar

Fenotipe somaklon

cv. Singa : Pi-0 1.55 1.90 0.71 1.22 P Pi-I 0.97 1.05 0.81 0.72 A Pi-II 0.74 0.73 0.20 0.38 A PFi-I 1.00 1.01 0.61 0.93 A FPi-I 1.18 1.29 1.20 1.18 P cv. Kelinci : Pi-0 1.57 1.63 1.17 1.42 P Pi-I 1.10 1.00 1.33 1.05 P Pi-II 0.90 0.75 1.12 0.81 A PFi-I 1.13 1.47 1.63 1.30 P FPi-I 1.11 0.67 1.30 0.92 P

Keterangan : Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot polong kering. T = toleran, A = agak toleran, dan P = peka.

Untuk mengetahui toleransi beberapa galur tanaman dari seleksi ES pada

PEG 15% satu siklus, dua siklus (seleksi berulang), dan seleksi ganda dilakukan

perhitungan nilai S pada peubah bobot polong kering (Tabel 18). Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa nilai S dari masing-masing galur bervariasi dan

bahkan ada yang sama dengan (peka) nilai S tanaman standar. Dari 10 galur yang

diuji pada cv. Singa hasil seleksi satu siklus (Pi-I), ternyata 3 galur peka

(30%), 4 galur agak toleran (40%), dan 3 galur toleran (30%), sedangkan yang

berasal dari cv. Kelinci menghasilkan 6 galur peka (50%), 3 galur agak toleran

(25%), dan 3 galur toleran (25%) dari 12 galur yang diuji. Tanaman yang berasal

dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang = Pi-II) pada cv. Singa menghasilkan

25% tanaman peka, tanaman agak toleran 50% dan toleran berjumlah 25%,

sedangkan yang berasal dari cv. Kelinci menghasilkan tanaman peka 30%, agak

toleran 40%, dan tanaman toleran 30%. Tanaman kacang tanah yang berasal dari

seleksi ganda cv. Singa (PFi-I) tidak menghasilkan tanaman yang toleran terhadap

89

Tabel 18. Indeks sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot kering dan jumlah polong bernas pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan galur populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci seleksi dua siklus pada PEG (seleksi in vitro berulang)

Indeks sensitivitas kekeringan (S) Kultivar dan galur Bobot kering polong Jumlah polong

Fenotipe somaklon

cv. Singa : Pi-0 : 1.55 1.9 P Pi-I :

121-4 2.04 2.94 P 121-1 2.00 2.15 P 232-3 0.87 0.79 A 124-3 0.35 0.20 T 124-1 0.71 1.13 A 123-4 0.51 0.16 A

22-4 0.08 0.59 T 232-1 2.10 2.05 P 123-3 0.74 0.88 A

22-2 0.25 -0.38 T Pi-II :

141-1 0.18 -0.17 T 32-4 0.76 0.94 A

141-2 0.45 0.54 T 82-1 0.56 0.40 A 82-2 1.33 1.77 P 12-2 0.70 0.59 A 12-1 0.80 0.94 A 32-3 1.17 0.86 P PFi-I :

171-4 0.84 0.96 A 52-3 0.81 1.06 A

132-1 0.80 0.67 A 171-2 0.81 0.85 A 132-2 0.86 1.21 A

52-1 2.11 1.33 P 171-4 0.84 0.96 A

FPi-I : 201-2 2.27 2.00 P

62-4 1.65 2.00 P 212-1 1.12 1.67 P 182-2 0.53 0.66 A 182-3 1.38 1.27 P

62-3 -0.04 0.00 T 212-2 0.83 1.15 A 201-4 1.70 1.55 P

90

Tabel Lanjutan :

cv. Kelinci : Pi-0 : 1.57 1.63 P Pi-I :

13-3 2.12 2.17 P 21-2 1.83 1.77 P 12-3 1.40 1.93 P 21-3 0.92 1.03 A 11-2 0.67 0.23 A 11-3 0.88 -0.40 A 14-4 -0.13 0.44 T 72-1 2.32 1.52 P 12-2 1.55 1.10 P 72-4 1.11 1.13 P 14-2 0.39 0.49 T 13-4 0.44 0.98 T

Pi-II : 32-4 2.40 2.58 P 81-2 0.51 0.40 A 32-2 0.43 0.00 T 22-1 0.26 0.00 T 11-2 1.02 1.27 P 84-2 0.92 0.71 A 84-4 0.73 0.39 A 81-4 0.03 -0.67 T 22-2 0.61 0.00 A 11-4 2.40 2.83 P

PFi-I : 21-1 1.89 1.91 P 33-2 0.52 2.09 A 22-1 -0.28 -0.24 T 21-4 3.40 3.76 P 61-1 0.39 0.25 T 61-2 2.17 2.63 P 22-2 0.51 0.77 A 33-1 0.50 0.57 A

FPi-I : 22-1 1.70 0.29 P 22-3 1.18 0.17 P 32-1 1.87 1.30 P 32-2 0.90 0.20 A 31-1 0.68 0.23 A 31-3 0.30 1.04 T

Keterangan : Fenotipe somaklon terhadap nilai sensitivitas kekeringan (S) berdasarkan bobot polong kering. T = toleran, A = agak toleran, dan P = peka

91

cekaman kekeringan, namun tanaman peka sebesar 14.29% dan agak toleran

85.71%, sedangkan seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman

peka terhadap cekaman PEG yaitu sebesar 62.5%, agak toleran 25%, dan

tanaman toleran 12.5%. Pada tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I) pada cv. Kelinci

menghasilkan tanaman peka dan agak toleran 37.5% dan tanaman toleran 25%,

dan pada seleksi ganda yang lain (FPi-I) menghasilkan tanaman peka 50%, agak

toleran 33.3% dan tanaman toleran 16.7%. Tanaman standar semuanya peka

terhadap cekaman PEG.

Pada Tabel 18 juga dapat dilihat bahwa seleksi in vitro berulang pada PEG

15% cenderung menghasilkan lebih banyak individu tanaman somaklon yang

agak toleran dan toleran dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda. Tanaman

hasil seleksi satu siklus pada cv. Singa dan Kelinci cenderung menghasilkan lebih

banyak individu tanaman yang agak toleran dan toleran terhadap cekaman

kekeringan dibanding tanaman hasil seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I). Tanaman

hasil seleksi ganda diharapkan tidak hanya toleran terhadap cekaman kekeringan

tetapi juga resisten terhadap infeksi S. rolfsii. Beberapa galur tanaman hasil

seleksi ganda ada yang agak toleran dan toleran terhadap cekaman kekeringan

(Tabel 18) dan peluang untuk resisten terhadap infeksi S. rolfsii dapat dilihat pada

pengujian terhadap resistensi terhadap infeksi S. rolfsii.

Kandungan Prolin dan Gula Total Tanaman Somaklon pada Cekaman Kekeringan Perlakuan cekaman kekeringan pada tanaman menyebabkan peningkatan

kadar prolin tanaman (Tabel 19). Seleksi ES dengan menggunakan PEG 15%

untuk menghasilkan tanaman somaklon nyata meningkatkan kadar prolin pada

kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan. Tanaman yang dihasilkan dari

seleksi ES dua siklus cv. Singa dan Kelinci pada kondisi optimum dan cekaman

kekeringan cenderung menghasilkan kadar prolin yang lebih banyak dibanding

seleksi ES satu siklus (Pi-I), seleksi ganda pada PEG dan diikuti seleksi pada

filtrat kultur (PFi-I), atau seleksi ganda yang lain pada filtrat kultur dan diikuti

dengan seleksi pada PEG (FPi-I) (Gambar 13). Persentase peningkatan kadar

prolin pada cekaman kekeringan tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi

92

berulang) cenderung lebih rendah daripada tanaman standar atau dari tanaman

hasil seleksi ES yang lain.

Perilaku kadar gula total pada tanaman tidak dipengaruhi secara nyata

karena perbedaan kondisi optimum dan cekaman kekeringan. Begitu pula tanaman

yang dihasilkan dari seleksi ES satu siklus, dua siklus, seleksi ganda, dan tanaman

standar tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar gula total.

Tabel 19. Kandungan prolin dan gula total pada populasi Pi-0 (tanpa seleksi in vitro) dan populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro berulang pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii terhadap kondisi cekaman dan optimum

cv. Singa cv. Kelinci Populasi ta naman dari seleksiES

Optimum Cekaman Pening- katan (%)

Optimum Cekaman Pening katan (%)

Prolin (µg/g bobot kering) Pi-0 3010.5 cA 4119.3 cA 36.8 2709.5 cA 3380.7 cA 24.8 Pi-I 4766.7 bB 7181.1 abA 50.7 4447.5 bA 5653.0 bA 27.1 Pi-II 7217.0 aA 8608.0 aA 19.3 6996.4 aA 7941.0 aA 13.5 PFi-I 5541.4 bB 7121.0 bA 28.5 5592.0 bA 6510.2 bA 16.4 FPi-I 4963.1 bA 6013.7 bcA 21.2 4425.4 bcA 5775.7 bA 30.5

Gula total (µg/g bobot kering) Pi-0 1849.5 a 1720.5 a -6.9 1720.5 a 1858.5 a 8.0 Pi-I 2157.0 a 2105.0 a -2.4 1849.5 a 2195.5 a 18.7 Pi-II 2080.0 a 2156.5 a 3.7 2027.0 a 2131.0 a 5.1 PFi-I 2263.5 a 1985.4 a -12.3 2323.0 a 2195.5 a -5.5 FPi-I 2244.1 a 2067.0 a -7.9 2246.5 a 2212.5 a 0.2

Keterangan : Setiap peubah pengamatan dan kultivar, angka pada kolom dengan huruf kecil atau pada baris dengan huruf besar yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan a=5 %

93

7181.1

8608

71217217

5541.4

4766.7

2960

4963.1

4119.3

6013.7

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

10000

Pi-O Pi-I Pi-II PFi-I FPi-I

Kad

ar p

rolin

(ug

/g B

K)

5653

7941

6510.26996.4

5592

4447.5

2709.5

4425.4

3380.7

5775.7

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

Pi-O Pi-I Pi-II PFi-I FPi-I

Kad

ar p

rolin

(ug

/g B

K)

Gambar 13. Kadar prolin pada populasi somaklon generasi R2 yang diregenerasikan dari ES cv. Singa dan Kelinci hasil seleksi in vitro satu siklus (Pi-I), dua siklus II (Pi-II) pada media PEG dan seleksi ganda pada PEG dan filtrat kultur S. rolfsii (PFi-I atau FPi-I), ¦ = kondisi cekaman, dan ? = optimum

cv. Singa

cv. Kelinci

94

Pembahasan

Evaluasi tanaman variasi somaklon hasil seleksi in vitro berulang pada

media dengan penambahan PEG dan seleksi ganda pada media PEG dan diikuti

seleksi pada filtrat kultur atau seleksi ganda yang diawali pada media filtrat kultur

dan dikuti seleksi pada PEG terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan

pengurangan pemberian air pada fase vegetatif dan generatif. Akibat pengurangan

pemberian air menyebabkan komponen pertumbuhan vegetatif seperti jumlah

cabang, tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, bobot kering akar, dan bobot

kering tanaman, dan pertumbuhan generatif (bobot kering dan jumlah polong

bernas) menurun dibandingkan pertumbuhan tanaman pada kondisi optimum.

Cekaman air menyebabkan pengurangan biomasa daun dan polong kering kacang

tanah (Collino et al. 2000) dan penurunan bobot kering polong diduga disebabkan

oleh proses terhambatnya inisiasi dan pemanjangan ginofor (Chapman et al.

1993). Cekaman kekeringan sangat tidak diinginkan dalam budidaya tanaman

kacang tanah karena dapat menghambat pertumbuhan dan produktivitas tanaman

(Yoshiba et al. 1997), menurunkan luas area dan kandungan klorofil daun

(Shimada et al. 1992), menurunkan ukuran polong, biji, dan bobot kering polong

(Pookpadi et al. 1990), dan menurunkan kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993).

Tanaman kacang tanah yang tidak melewati seleksi in vitro (tanaman

standar) dan yang dihasilkan dari seleksi ES pada PEG dan seleksi ganda

mempunyai respons yang berbeda terhadap cekaman kekeringan. Tanaman

kacang tanah yang berasal dari seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) pada PEG

15% cenderung mengalami penurunan pertumbuhan vegetatif dan hasil polong

yang lebih rendah dibanding seleksi ganda, sedangkan pertumbuhan vegetatif

antara tanaman standar dengan tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada PEG dan

seleksi ganda (PFi-I atau FPi-I) mengalami penurunan yang lebih besar. Tanaman

yang tidak melewati seleksi in vitro (tanaman standar) mempunyai hasil polong

yang paling rendah pada kondisi cekaman. Pada Tabel 16 membuktikan bahwa

persentase penurunan bobot kering dan jumlah polong bernas jauh lebih besar

terjadi pada tanaman standar dan persentase penurunan yang terkecil terjadi pada

tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang).

95

Tanaman hasil seleksi ES selama dua siklus pada media selektif PEG 15%

diduga mempunyai mekanisme toleransi untuk melawan cekaman kekeringan.

Tanaman varian somaklon ini telah berubah susunan genetiknya setelah dilakukan

seleksi in vitro dalam media selektif PEG 15%. Akumulasi mutan sel/jaringan

selama dua siklus dalam media PEG menyebabkan sel/jaringan tersebut lebih

beradaptasi pada PEG 15% dan tanaman yang dihasilkan lebih toleran terhadap

cekaman kekeringan.

Untuk mendapatkan tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman

kekeringan, dilakukan perhitungan indeks sensitifitas (S) yang berdasarkan

besarnya penurunan bobot polong kering. Indeks sensitifitas tanaman yang

diregenerasikan dari ES cv. Singa yang diseleksi pada PEG selama dua siklus

adalah 0.74 (agak toleran) dan untuk cv. Kelinci 0.90 (agak toleran). Tingkat

toleransi tanaman ini memberikan indikasi bahwa penurunan hasil polong dan

pertumbuhan akar dapat terhindar dari pengaruh negatif cekaman kekeringan.

Tanaman menghadapi cekaman kekeringan dengan mengekspresikan gen-gen

toleran. Tanaman kacang tanah yang toleran terhadap kekeringan mampu

melaksanakan proses fisiologis dengan baik seperti fotosintesis dan transpirasi.

Proses fotosintesis berlangsung dengan baik, sehingga suplai fotosintat ke bagian-

bagian sel atau organ tanaman dapat berjalan dengan lancar, dan kerusakan akibat

dehidrasi dapat dihindari.

Uji toleransi juga dilakukan pada setiap galur tanaman kacang tanah yang

dihasilkan dari seleksi berulang ES pada PEG dan seleksi ganda (PFi-I dan FPi-I).

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua galur yang dihasilkan dari seleksi

ES selama satu, dua siklus dan seleksi ganda menghasilkan tanaman yang toleran,

bahkan ada beberapa galur yang mempunyai nilai S lebih besar (tanaman peka)

dari tanaman standar. Hal ini dapat terjadi karena fenomena variasi somaklonal

yang terjadi adalah bersifat spontan dan acak (Karp 1995). Namun dengan

meningkatkan seleksi berulang pada media selektif PEG diharapkan mampu

meningkatkan jumlah galur dengan karakter toleran terhadap cekaman

kekeringan. Seleksi berulang ES dari cv. Kelinci menghasilkan jumlah galur

tanaman toleran lebih banyak (30%). Ini membuktikan bahwa sifat toleransi

tanaman cv. Kelinci dapat diperbaiki sifat toleransinya dari tanaman yang peka

96

menjadi tanaman toleran terhadap cekaman kekeringan. Pada Tabel 18 terlihat

bahwa galur peka (S >1) terhadap cekaman kekeringan lebih sedikit diperoleh

pada tanaman hasil seleksi berulang ES (2 siklus). Adkin et al. (1995) melaporkan

bahwa penggunaan media selektif yang mengandung PEG dapat digunakan untuk

menyeleksi sel-sel kalus tanaman padi. Sel-sel kalus insensitif PEG selanjutnya

dapat berkembang menjadi tanaman padi dengan tingkat toleransi terhadap

cekaman kekeringan yang lebih baik dari tanaman induknya. Selanjutnya

Widoretono & Sudarsono (2004) menyatakan bahwa PEG dapat digunakan dalam

seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman somaklon kedelai yang toleran

terhadap cekaman kekeringan. Pada penelitian ini seleksi in vitro dilakukan secara

berulang pada media selektif PEG 15%. Seleksi ES dua siklus mampu

menghasilkan sel/jaringan varian. Sel/jaringan mutan inilah yang berkembang

menjadi tanaman varian somaklon yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Munculnya galur yang lebih banyak toleran terhadap cekaman kekeringan

ada kaitannya juga dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa keragaman karakter

kualitatif generasi R0 dan R1 lebih banyak terjadi pada tanaman hasil seleksi ES

dua siklus. Indikasi ini terbukti bahwa peluang untuk mendapatkan galur toleran

lebih banyak terjadi pada tanaman varian somaklon ini dibanding dengan seleksi

ES satu siklus dan seleksi ganda.

Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan juga melibatkan

akumulasi senyawa yang dapat melindungi sel dari kerusakan yang terjadi pada

saat potensial air rendah (Jensen et al. 1996). Prolin memegang peranan penting

untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Kim & Janick 1991; Pruvot et al.

1996; Nambara et al. 1998; Hanson et al. 1979). Pada penelitian ini ditemukan

bahwa metode seleksi ES berpengaruh secara nyata terhadap kadar prolin. Ada

kecenderungan bahwa kadar prolin meningkat akibat cekaman kekeringan.

Tanaman standar (tanpa seleksi in vitro) menghasilkan prolin lebih rendah dari

tanaman yang melewati seleksi in vitro. Tanaman kacang tanah hasil seleksi ES

dua siklus (seleksi berulang) cv. Singa dan Kelinci nyata menghasilkan prolin

lebih banyak dibanding seleksi ES satu siklus dan seleksi ganda. Namun

peningkatan prolin pada tanaman hasil seleksi ES dua siklus tidak signifikan dari

kondisi optimum ke kondisi cekaman kekeringan.

97

Kadar gula total pada tanaman kacang tanah tidak dipengaruhi oleh

kekeringan. Begitu pula perbedaan metode seleksi ES tidak memberikan

perbedaan terhadap kadar gula total daun kacang tanah. Tetapi ada kecenderungan

bahwa tanaman yang dihasilkan dari seleksi ES memberikan kadar gula total yang

lebih banyak dibanding tanaman standar. Penelitian Wanatabe et al. (2000)

menyatakan bahwa kadar gula yang terakumulasi pada daun mengakibatkan

tanaman toleransi terhadap cekaman garam dan osmotik. Gula dapat melindungai

struktur integritas membran selama cekaman kekeringan dengan cara mencegah

fusi atau separasi membran (Pelah et al. 1997). Selanjutnya Gebre et al. (1997)

melaporkan bahwa akumulasi glukosa dan fruktosa pada Populus deltoides dapat

menurunkan pengaruh potensial osmotik pada daun, dan dapat mempertahankan

ketegaran tanaman pada cekaman kekeringan. Kandunga n gula yang terakumulasi

pada daun kacang tanah ketika cekaman kekeringan tidak dapat digunakan

sebagai indikasi toleransi terhadap cekaman kekeringan. Hal ini dibuktikan juga

oleh beberapa peneliti yang menyatakan bahwa kadar gula meningkat pada daun

muda Populus euphratica pada cekaman garam namun menurun pada daun-daun

tua. Peneliti lain menyatakan bahwa akumulasi sukrosa dan glukosa berkurang

pada cekaman air pada tanaman P. tomentosa, namun glukosa meningkat pada P.

popularis (Pelah et al. 1997).

Kesimpulan

Cekaman kekeringan dengan cara pengurangan pemberian air pada

tanaman kacang tanah menghambat pertumbuhan vegetatif dan hasil polong

tanaman kacang tanah. Tanaman hasil seleksi ES dua siklus (seleksi berulang)

pada PEG 15% cv. Singa dan Kelinci menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang

lebih baik dengan hasil polong yang lebih tinggi dan persentase penurunan hasil

polong lebih kecil dibanding tanaman hasil seleksi ES satu siklus pada PEG atau

seleksi ganda (pada PEG dan diikuti dengan seleksi ES pada filtrat kultur, atau

sebaliknya pada filtrat kultur dan kemudian pada media PEG).

98

Secara umum, tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi dua

siklus pada PEG 15% (seleksi berulang) mempunyai tingkat toleransi yang lebih

baik terhadap cekaman kekeringan dengan rata-rata bobot polong kering 11.75

g/polibeg untuk cv. Singa dan 10.96 g/polibeg untuk cv. Kelinci.

Seleksi ES dua siklus (seleksi berulang) cv. Kelinci pada media selektif

PEG 15% menghasilkan jumlah individu galur kacang tanah toleran lebih banyak

dibanding seleksi satu siklus dan seleksi ganda. Seleksi ganda (pada media PEG

dan diikuti seleksi ES pada filtrat kultur atau sebaliknya pada media filtrat kultur

dan diikuti pada media selektif PEG) menghasilkan jumlah individu galur toleran

paling sedikit atau tanaman peka lebih banyak pada cekaman kekeringan.

Tanaman kacang tanah hasil seleksi berulang pada media selektif PEG

15% mengandung kadar prolin yang lebih tinggi, sedangkan kadar gula tidak

dapat digunakan sebagai indikasi untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan.