SELASA, 1 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Rimba Mini … filedari tempat pera-duan. Sinarnya membentuk...

1
Kawasan hutan Pananjung, Pangandaran, semula adalah lokasi ladang berpindah penduduk lokal. Rimba Mini Pesisir Pananjung 9 N USANTARA SELASA, 1 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA LIAR: Sejumlah monyet hinggap di pepohonan kawasan Pananjung, Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Monyet berkembang cukup banyak di hutan tersebut. LILIEK DHARMAWAN M ATAHARI me- merah saat keluar dari tempat pera- duan. Sinarnya membentuk pendar cerah di atas gulungan ombak Pantai Pangandaran, Kabupaten Cia- mis, Jawa Barat. Keindahan itu menjadi magnet bagi banyak warga lokal yang ingin melepaskan penat dari rutinitas harian. Terlebih lagi, di kawasan yang sama masih ada tempat untuk mencumbui rimba sekitar pantai. Namanya, Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran. Hawa panas dari pantai lang- sung berubah, ketika kaki me- langkah ke tengah rimba mini yang dipenuhi belukar terse- but. Sebab pohon rimbun telah menyulitkan cahaya mentari menembus lantai hutan. Sekitar 500 meter dari pintu masuk ke kawasan, tampak Gua Parat di hadapan. Sejumlah masyarakat tengah menggelar pengajian di dekat makam yang persis berada di depan gua. Gua Parat begitu gelap, perlu lampu senter untuk menjelajahi lorong-lorong gua yang men- jadi tempat hidup landak dan kelelawar. Sementara itu, pada ujung gua yang lain, terdengar jelas deburan ombak Pantai Pangandaran. Lorong-lorong Gua Parat me- mang berakhir di sebuah pantai berpasir putih sebelah timur Pangandaran. “Ini dia uniknya Gua Parat. Berujung di sebuah pantai, lorong gua tidak ter- lalu panjang, dan yang pasti lantainya kering,” celetuk Yanti, 42, seorang turis asal Banyumas yang tengah menjelajahi ka- wasan ini. Saat keluar dari gua, mening- galkan pantai berpasir putih, eksplorasi di kawasan Panan- jung bisa dilanjutkan ke dataran tinggi dengan bantuan peman- du. Tidak ada jalan setapak, tapi semua masih kelihatan serbaalami. Pohon besar tumbuh rapat, sedangkan batang yang tumbang dibiarkan saja untuk menguatkan kesan alami di da- taran tinggi tersebut. Semakin masuk ke dalam, suara deburan ombak mulai lenyap. Tergantikan oleh suara satwa liar seperti monyet dan lutung yang bergelantungan dari pohon ke pohon. Di sanalah kun- cup Raesia fatma yang langka masih tumbuh menempel pada batang pohon besar. “Sayang kurang beruntung. Kalau pas berbunga, Raflesia fatma terlihat indah,” tutur Sugi- yono, 45, yang memandu per- jalanan di Hutan Panajung. Ia juga memperingatkan agar pengunjung berhati-hati sebab sejumlah pepohonan di hutan masih dihuni ular sanca. Tupai terbang Di dalam Hutan Pananjung, sesungguhnya dulu terdapat daerah yang disebut lapangan banteng. Sesuai dengan nama- nya, tempat itu biasanya men- jadi habitat populasi banteng di kawasan tersebut. Namun saat ini, satwa tersebut sudah sangat sulit ditemui dan populasinya diperkirakan ting- gal tiga ekor saja. Yang mudah ditemui tinggal lutung, mo- nyet, dan kijang. Selain itu, ada Status cagar alam berubah pada 1978, Hutan Pananjung dijadikan taman wisata alam.” GUA PARAT: Gua di Taman Wisata Alam Pananjung, Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini dihuni sejumlah satwa liar. Di antaranya landak dan kelelawar. FOTO-FOTO: MI/LILIEK DHARMAWAN TUPAI TERBANG: Seekor tupai terbang merentangkan kulit tipis menyerupai sayap saat berpindah ke pohon lain di kawasan hutan Pananjung. Meski tidak terlalu luas, kawasan itu seperti rimba mini. pula tupai terbang. “Sebetulnya bukan terbang, melainkan me- layang, karena satwa itu memi- liki lapisan kulit yang dapat mengembang untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lain- nya,” urai Sugiyono. Tupai terbang, saat melayang, berbentuk menyerupai layang- layang. Ia akan berpindah ke pohon lain dan menempel di sa- lah satu cabang. Kalau tidak ada gangguan, satwa tersebut hanya diam menempel di percabangan pohon. Hutan Pananjung memang kawasan yang cocok untuk tem- pat petualangan ringan. Taman wisata alam tersebut memiliki luas 37,7 hektare dan menyatu dengan kawasan cagar alam darat seluas 492,3 hektare dan sebuah cagar alam laut. Kawasan Hutan Pananjung, Pangandaran, semula adalah lokasi ladang berpindah pen- duduk lokal. Namun, mulai 1921, Residen Priangan Y Eyc- ken mengusulkan Pananjung sebagai taman buru orang-orang Belanda. Ide itu kemudian dilan- jutkan dengan melepas beberapa banteng dan rusa India. Akan tetapi, ternyata hewan tersebut tidak dapat berkembang dan digantikan rusa jawa. Dalam perkembangannya, Belanda membentuk kawasan tersebut sebagai Kawasan Suaka Margasatwa mulai 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerin- tah melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1961 menjadikan kawasan itu sebagai cagar alam karena di wilayah itu ditemukan tumbuhan langka Raesia fatma. Status cagar alam berubah pada 1978, Hutan Pananjung di- jadikan taman wisata alam. Lang- kah itu diambil agar masyarakat luas dapat masuk dan berekreasi di wilayah kaya satwa dan tum- buhan tersebut. (N-3) [email protected]

Transcript of SELASA, 1 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA Rimba Mini … filedari tempat pera-duan. Sinarnya membentuk...

Kawasan hutan Pananjung, Pangandaran, semula adalah lokasi ladang berpindah penduduk lokal.

Rimba Mini Pesisir Pananjung9NUSANTARASELASA, 1 MARET 2011 | MEDIA INDONESIA

LIAR: Sejumlah monyet hinggap di pepohonan kawasan Pananjung, Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat. Monyet berkembang cukup banyak di hutan tersebut.

LILIEK DHARMAWAN

MATAHARI me-me rah saat keluar dari tempat pera-duan. Sinarnya

membentuk pendar cerah di atas gulungan ombak Pantai Pangandaran, Kabupaten Cia-mis, Jawa Barat.

Keindahan itu menjadi magnet bagi banyak warga lokal yang ingin melepaskan penat dari ru tinitas harian. Terlebih lagi, di kawasan yang sama masih ada tempat untuk mencumbui rimba sekitar pantai. Namanya, Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran.

Hawa panas dari pantai lang-sung berubah, ketika kaki me-langkah ke tengah rimba mini yang dipenuhi belukar terse-but. Sebab pohon rimbun telah menyulitkan cahaya mentari menembus lantai hutan.

Sekitar 500 meter dari pintu masuk ke kawasan, tampak Gua Parat di hadapan. Sejumlah masyarakat tengah menggelar pengajian di dekat makam yang persis berada di depan gua.

Gua Parat begitu gelap, perlu lampu senter untuk menjelajahi lorong-lorong gua yang men-jadi tempat hidup landak dan kelelawar. Sementara itu, pada ujung gua yang lain, terdengar jelas deburan ombak Pantai Pangandaran.

Lorong-lorong Gua Parat me-mang berakhir di sebuah pantai

berpasir putih sebelah timur Pangandaran. “Ini dia uniknya Gua Parat. Berujung di sebuah pantai, lorong gua tidak ter-lalu panjang, dan yang pasti lan tainya kering,” celetuk Yanti, 42, seorang turis asal Banyumas yang tengah menjelajahi ka-wasan ini.

Saat keluar dari gua, mening-galkan pantai berpasir putih, eksplorasi di kawasan Panan-jung bisa dilanjutkan ke dataran tinggi dengan bantuan peman-du. Tidak ada jalan setapak, ta pi semua masih kelihatan ser baalami. Pohon besar tumbuh rapat, sedangkan batang yang tumbang dibiarkan saja untuk menguatkan kesan alami di da-taran tinggi tersebut.

Semakin masuk ke dalam, suara deburan ombak mulai lenyap. Tergantikan oleh suara satwa liar seperti monyet dan lutung yang bergelantungan dari pohon ke pohon. Di sanalah kun-cup Rafl esia fatma yang langka masih tumbuh menempel pada batang pohon besar.

“Sayang kurang beruntung. Kalau pas berbunga, Raflesia fatma terlihat indah,” tutur Sugi-yono, 45, yang memandu per-jalanan di Hutan Panajung.

Ia juga memperingatkan agar pengunjung berhati-hati sebab sejumlah pepohonan di hutan masih dihuni ular sanca.

Tupai terbangDi dalam Hutan Pananjung,

sesungguhnya dulu terdapat daerah yang disebut lapangan banteng. Sesuai dengan nama-nya, tempat itu biasanya men-jadi habitat populasi banteng di kawasan tersebut.

Namun saat ini, satwa tersebut sudah sangat sulit ditemui dan populasinya diperkirakan ting-gal tiga ekor saja. Yang mudah ditemui tinggal lutung, mo-nyet, dan kijang. Selain itu, ada

Status cagar alam berubah pada

1978, Hutan Pananjung dijadikan taman wisata alam.”

GUA PARAT: Gua di Taman Wisata Alam Pananjung, Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, ini dihuni sejumlah satwa liar. Di antaranya landak dan kelelawar.

FOTO-FOTO: MI/LILIEK DHARMAWAN

TUPAI TERBANG: Seekor tupai terbang merentangkan kulit tipis menyerupai sayap saat berpindah ke pohon lain di kawasan hutan Pananjung. Meski tidak terlalu luas, kawasan itu seperti rimba mini.

pula tupai terbang. “Sebetulnya bukan terbang, melainkan me-layang, karena satwa itu memi-liki lapisan kulit yang dapat mengembang untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lain-nya,” urai Sugiyono.

Tupai terbang, saat melayang, berbentuk menyerupai layang-layang. Ia akan berpindah ke pohon lain dan menempel di sa-lah satu cabang. Kalau tidak ada gangguan, satwa tersebut hanya diam menempel di percabangan pohon.

Hutan Pananjung memang

kawasan yang cocok untuk tem-pat petualangan ringan. Taman wisata alam tersebut memiliki luas 37,7 hektare dan menyatu dengan kawasan cagar alam da rat seluas 492,3 hektare dan se buah cagar alam laut.

Kawasan Hutan Pananjung,

Pangandaran, semula adalah lo kasi ladang berpindah pen-duduk lokal. Namun, mulai 1921, Residen Priangan Y Eyc-ken mengusulkan Pananjung sebagai taman buru orang-orang Belanda. Ide itu kemudian dilan-jutkan dengan melepas beberapa banteng dan rusa India. Akan tetapi, ternyata hewan tersebut tidak dapat berkembang dan digantikan rusa jawa.

Dalam perkembangannya, Belanda membentuk kawasan tersebut sebagai Kawasan Suaka Margasatwa mulai 1934. Setelah

Indonesia merdeka, pemerin-tah melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1961 menjadikan kawasan itu sebagai cagar alam karena di wilayah itu ditemukan tumbuhan langka Rafl esia fatma.

Status cagar alam berubah pada 1978, Hutan Pananjung di-jadikan taman wisata alam. Lang-kah itu diambil agar masyarakat luas dapat masuk dan berekreasi di wilayah kaya satwa dan tum-buhan tersebut. (N-3)

[email protected]