Sekuritisasi Dan Domain Kekuasaan Negara
Click here to load reader
-
Upload
erika-angelika -
Category
Documents
-
view
410 -
download
0
Transcript of Sekuritisasi Dan Domain Kekuasaan Negara
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
UAS Take Home Pengkajian Strategi—Dosen : Edy Prasetyono, Ph.D.
Nama : Erika
NPM : 0706291243
1. Sekuritisasi secara sederhana diartikan sebagai perluasan cakupan keamanan nasional ke
dalam berbagai bidang sehingga semua masalah bisa dilihat sebagai masalah keamanan
melalui proses politik. Menurut Anda, apakah sekuritisasi justru memperbesar domain
kekuasaan negara terhadap berbagai bidang dan kehidupan individu?
Sekuritisasi dipahami sebagai sebuah proses politik untuk menjadikan suatu masalah/isu
yang tadinya bukan masalah/isu militer menjadi masalah keamanan, dengan melihat
isu/masalah tersebut dari sisi security, sehingga kemudian isu/masalah tersebut dijadikan
sebagai agenda nasional suatu negara. Konsep sekuritisasi sendiri merupakan konsep baru
yang berkaitan dengan konsep power of idea, yang dipahami sebagai kemampuan untuk
memproduksi ide dan menghasilkan sebuah discourse untuk mempengaruhi pihak lain.
Buzan mengatakan selain unsur power of idea, unsur yang juga berperan dalam proses
sekuritisasi adalah speech act, yaitu kemampuan melakukan sosialisasi ide untuk
menentukan tipologi ancaman suatu negara. Istilah speech act sendiri pertama dipopulerkan
oleh Jane Austen, melalui karyanya yang berjudul How to do Things with Words?1 Adanya
speech act ini kemudian menjadi penting karena sebelum suatu masalah berhasil
disekuritisasi, suatu masalah harus dipolitisasi terlebih dahulu, baru kemudian diikuti adanya
peraturan ide sampai pada sekuritisasi suatu isu.
Sekuritisasi dilakukan melalui berbagai tahap :
Munculnya masalah dipolitisasi semua elemen berdebat negara (partai politik,
pemerintah, dan lain-lain) melakukan action sekuritisasi
Unsur politisasi dan perdebatan dalam tahapan di atas membutuhkan speech act, karena
tanpa adanya speech act yang baik, tidak mungkin suatu isu dapat disekuritisasi.
Memandang pentingnya unsur speech act ini, kaum Realis berpendapat bahwa unsur speech
act itu sebenarnya tidak penting karena yang penting dalam segala tahapan sekuritisasi
adalah power suatu negara, negara dengan power yang besar akan dengan mudah melakukan
sekuritisasi terhadap suatu isu. Tetapi kenyataannya anggapan kaum Realis ini tampaknya
tidak benar, mengingat ada berbagai negara dengan power relatif kecil ternyata berhasil
melakukan sekuritisasi terhadap suatu isu, contohnya adalah Finlandia yang merupakan
negara yang cukup dihargai dalam menentukan ancaman walaupun power yang dimilikinya
tidak cukup besar.
1 Jane L. Austin. How to do Things with words? (Oxford: Clarendon Press, 1962)
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
Dalam proses sekuritisasi, dapat dilihat negara memegang peranan penting untuk
mendefinisikan apakah suatu isu tergolong sebagai ancaman terhadap keamanan atau tidak.
Besarnya peran negara ini kemudian dapat menimbulkan terjadinya abuse of power yang
sangat mungkin terjadi di negara-negara non-demokrasi, di mana pihak berkuasa dapat
seenaknya mendefinisikan suatu ancaman sebagai ancaman keamanan hanya untuk interest
mereka sendiri. Unsur political process dalam tahapan sekuritisasi juga menunjukkan
besarnya peran negara; isu yang awalnya bukanlah urusan negara kemudian lantas menjadi
masalah keamanan nasional, di mana negara berhak untuk campur tangan dalam isu tersebut.
Hal ini mengindikasikan bahwa sekuritisasi yang terjadi sebenarnya justru memperkuat
cengkeraman negara pada isu-isu baru, yang menjadikan dominasi negara semakin besar
terhadap berbagai bidang dan kehidupan individu. Melalui sekuritisasi, suatu isu
dipindahkan dari realm normal politics ke dalam realm emergency politics, yang
memungkinkan isu tersebut untuk ditindaklanjuti secara cepat tanpa peraturan (demokratis)
normal dan tanpa aturan-aturan pembuatan keputusan lainnya.2 Hal tersebut mengakibatkan
adanya perubahan tindakan sehubungan dengan isu tersebut, di mana isu tersebut kemudian
diartikan secara berbeda, sesuai keinginan securitising actor. Masalah keamanan kemudian
menjadi sebuah konstruksi sosial.
Sekuritisasi yang terjadi seringkali menyebabkan domain negara semakin besar melampau
berbagai bidang kehidupan individu. Seperti yang terjadi pada masalah kewarganegaraan di
negara-negara demokrasi Barat paska serangan 9 November 2001. Serangan dua buah kapal
yang menghancurkan gedung World Trade Center seakan membuka mata dunia internasional
bahwa serangan dan ancaman bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Ketakutan pun
merebak pada diri masyarakat AS khususnya, dan masyarakat negara Barat lainnya pada
umumnya. Konsep sekuritisasi kewarganegaraan/securitization of citizenship pun
dikeluarkan oleh negara-negara demokrasi Barat3. Sekuritisasi kewarganegaraan sendiri
dipahami sebagai meningkatnya persepsi dan kesadaran pada masyarakat liberal demokrasi
Barat bahwa kewarganegaraan atau pertanyaan mengenai siapa yang layak menjadi anggota
masyarakat dalam suatu komunitas politik adalah urusan keamanan untuk komunitas politik
tersebut.4
Sekuritisasi kewarganegaraan ini lantas melihat keberadaan imigran dan
pengungsi, yang notabene dianggap sebagai orang asing, sebagai ancaman terhadap tatanan
2 Rita Taureck. Securitisation theory – The Story so far: Theoretical inheritance and what it means to be a
post-structural realist, dipersentasikan pada 4th
annual CEEISA convention , University of Tartu, 25 -27 June
2006. 3 Benjamin Muller, "(Dis)Qualifıed Bodies: Securitization, Citizenship and Identity Management", dalam
Citizenship Studies, Vol. 8(3), September 2004, hal. 279-294. 4 Özlem Kaygusuz. The Citizenship Debate of the 2000s in Perspective: Securitized Citizenship and the Modern
Dilemma. http://www.politics.ankara.edu.tr/dosyalar/MMTY/37/2_ozlem_kaygusuz, diakses pada 31 Mei 2009,
pukul 17.08.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik .
Universitas Indonesia
sosial politik masyarakat.5 Sebenarnya, perilaku xenophobic (anti terhadap pendatang)
sudah ada di masyarakat Barat sebelum serangan 11 September, akan tetapi paska serangan
11 September, sikap anti terhadap pendatang itu semakin disuburkan oleh pemerintah. Para
imigran lantas dilihat bukan hanya sebagai ancaman sosial, tapi juga sebagai pelaku kriminal.
Serangan 11 September telah melahirkan adanya sekuritisasi kewarganegaraan, yang
membawa masyarakat pada suatu kondisi sekuritisasi intensif dengan diterapkannya
praktek-praktek (yang berhubungan dengan) kewarganegaraan secara ketat. Paska 11
September, pemerintah menjadi terobsesi pada pembatasan berbagai hak individu, agar
hanya individu-individu yang layak yang menerima hak dan perlindungan dari pemerintah.
Berbagai teknologi pemeriksaan status kewarganegaraan pun digunakan, mulai dari
fingerprints, retinal scans, pendeteksi wajah, pemeriksaan suara, dan lain-lain.6 Negara
menjadi sangat berperan dalam monopolisasi perlindungan identitas dan keamanan
individu.7
Sekilas, masalah sekuritisasi kewarganegaraan ini terlihat sebagai tindakan yang baik, yang
dilakukan pemerintah untuk melindungi warga negaranya, dan demi kebaikan warga
negaranya. Hal ini wajar, mengingat paska serangan 11 September, kecurigaan akan
pendatang bertambah besar. Akan tetapi, seharusnya bukan menjadi wewenang pemerintah
untuk turut campur dalam hal identitas individu dalam negaranya, terlepas dari individu
tersebut warga negaranya atau bukan. Di sini dapat dilihat, domain negara selepas
sekuritisasi menjadi semakin besar, hingga mengatur masalah identitas warga negaranya.
Bahkan, sekuritisasi kewarganegaraan yang terjadi seakan menyudutkan salah satu pihak,
yaitu para imigran dan pengungsi. Imigran dan pengungsi lantas dilihat sebagai ancaman
bagi keamanan negara, yang membuat kaum inigran yang tadinya sudah terkucilkan,
menjadi semakin termarjinalkan dengan adanya sekuritisasi kewarganegaraan ini. Yang
berbeda dari penjelasan mengenai sekuritisasi sebelumnya, hal ini justru terjadi di
negara-negara demokrasi, bukan negara non-demokrasi atau otoriter yang tidak memberi
kebebasan pada rakyatnya untuk berpendapat. Sekuritisasi kewarganegaraan ini
membuktikan bahwa penyalahgunaan kekuasaan/abuse of power juga dapat dilakukan oleh
pemerintahan yang demokratis. Dalam kasus ini, keputusan sekuritisasi kewarganegaraan
lantas diterima oleh sebagian besar masyarakat karena besarnya kondisi teror yang tercipta
di kalangan masyarakat paska serangan 11 September tersebut. Akan tetapi, walaupun teror
yang tercipta begitu dalam, tetap saja seharusnya pemerintah tidak mencampuri segi pribadi
individu-individu yang berdiam di negaranya; bukan berarti pemerintah boleh memperluas
domainnya hingga mengatur hal yang paling individual, yaitu kepemilikan identitas.
5 Muller, op.cit., hal. 282.
6 Ibid, hal. 285.
7 Kaygusuz, op.cit.