Sekuele Cedera Kepala

20
SEKUELE CEDERA KEPALA Cedera SSP adalah proses yang dinamis. Umumnya diakui bahwa makin berat impak yang dialami, makin buruk hasil akhir yang akan terjadi. Mungkin kurang disadari dengan baik, kenyataan bahwa segera setelah cedera awal, variasi yang luas dari proses sekunder mulai memainkan perannya. Sekuele ini dapat memberikan impak yang besar terhadap tingkat pemulihan yang akan terjadi. Tidak jarang menyaksikan dua penderita dengan cedera inisial serupa memiliki outcome sangat berbeda, paling tidak sebagian adalah akibat komplikasi. Karena kerusakan sekunder tertentu terjadi pada fase akut, komplikasi lain timbul atau ditemukan pada minggu atau bulan berikutnya. Cedera Saraf Kranial Saraf Kranial I Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala bervariasi antara 2 hingga 38 persen. Kerusakan sistem olfaktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada benturan oksipital, namun insidens sering lebih tinggi setelah cedera frontal. Ia adalah saraf kranial yang paling sering terganggu setelah cedera kepala minor. Temuan olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera lokal atau diffus terhadap regio orbitofrontal dan temporal. Penelitian binatang digunakan sebagai patokan olfaksi pada lobus temporal. Anosmia terjadi pada hampir 50 persen pasien yang disertai rinore akibat fraktura fossa anterior dan pada sekitar 50 persen darinya memerlukan perbaikan secara operatif. Pemulihan spontan fungsi olfaksi mungkin terjadi

Transcript of Sekuele Cedera Kepala

Page 1: Sekuele Cedera Kepala

SEKUELE CEDERA KEPALA Cedera SSP adalah proses yang dinamis. Umumnya diakui bahwa makin berat impak yang dialami, makin buruk hasil akhir yang akan terjadi. Mungkin kurang disadari dengan baik, kenyataan bahwa segera setelah cedera awal, variasi yang luas dari proses sekunder mulai memainkan perannya. Sekuele ini dapat memberikan impak yang besar terhadap tingkat pemulihan yang akan terjadi. Tidak jarang menyaksikan dua penderita dengan cedera inisial serupa memiliki outcome sangat berbeda, paling tidak sebagian adalah akibat komplikasi. Karena kerusakan sekunder tertentu terjadi pada fase akut, komplikasi lain timbul atau ditemukan pada minggu atau bulan berikutnya. Cedera Saraf Kranial Saraf Kranial I Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala bervariasi antara 2 hingga 38 persen. Kerusakan sistem olfaktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada benturan oksipital, namun insidens sering lebih tinggi setelah cedera frontal. Ia adalah saraf kranial yang paling sering terganggu setelah cedera kepala minor. Temuan olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera lokal atau diffus terhadap regio orbitofrontal dan temporal. Penelitian binatang digunakan sebagai patokan olfaksi pada lobus temporal. Anosmia terjadi pada hampir 50 persen pasien yang disertai rinore akibat fraktura fossa anterior dan pada sekitar 50 persen darinya memerlukan perbaikan secara operatif. Pemulihan spontan fungsi olfaksi mungkin terjadi pada lebih dari seperti ga pasien pada periode beberapa hari hingga lima tahun setelah cedera. Saraf Kranial II Cedera sistem visual terjadi pada 5 persen dari semua pasien yang mengalami cedera kepala, tidak peduli beratnya. Kehilangan penglihatan setelah trauma mungkin terjadi tanpa jelas adanya cedera pada mata. Ini tipikal akibat benturan pada daerah ipsilateral, biasanya frontal, terkadang temporal, dan jarang-jarang oksipital. Ia mungkin terjadi setelah cedera kepala minor. Reaksi pupil direk terhadap cahaya adalah indikator awal yang dapat dipertanggung-jawabkan atas beratnya cedera saraf optik. Pemeriksaan oftalmoskopik dan sinar-x jelas tidak beguna. Cedera mata unilateral dapat diidentifikasikan dengan adanya penurunan hingga tiadanya reaktifitas pupilari terhadap stimulasi cahaya, dengan bertahannya reaksi konsensual (pupil Marcus Gunn). Mata yang tidak terkena mempertahankan refleks cahaya normal namun respons konsensualnya terganggu.

Page 2: Sekuele Cedera Kepala

Reaksi ini menunjukkan lesi aferen, biasanya pada saraf optik, pada jalur refleks cahaya pupilari. Visual evoked potentials bisa memberikan informasi objektif yang bernilai bahkan selama koma, karena kooperasi pasien tidak diperlukan. Prosedur ini lebih akurat dari pemeriksaan klinik pada diagosis dini disfungsi visual retrobulber. CT scan terutama bernilai pada pendugaan integritas kanal optik. Ketika koma berlalu, pasien harus dinilai persepsi cahayanya. Evaluasi serial harus dilakukan terhadap adanya fiksasi visual seperti juga untuk reaksi lokalisasi dan penarikan terhadap rangsangan. Respon optokinetik mungkin membuktikan tersisanya tingkat akuitas 20/200 pada paling sedikit disebagian lapang pandang. Istilah 'kebutaan kortikal' hanya diberikan pada pasien yang memperlihatkan amaurosis dengan pupil yang reaktif, tidak untuk pasien yang mengalami hilangnya sebagian lapang pandang. Kebanyakan pasien dengan kebutaan kortikal akan mengalami sedikit perbaikan kemampuan visual melalui sistem jalur visual sekunder. Respons ppasien terhadap stimuli bergerak berintensitas tinggi harus dinilai. Pasien dengan buta kortikal yang menyangkal kehilangan visual (Sindroma Anton) biasanya diderita penderita infarksi lobus oksipital bilateral sekunder atas kompresi arteria serebral posterior pada tepi tentorial disebabkan oleh herniasi. Saraf Kranial III,IV, dan VI Disfungsi otot ekstra-okuler menyebabkan diplopia dan mungkin akibat dari disfungsi motor sentral atau periferal. Diplopia mungkin menimbulkan kebingungan pada pasien yang bangun dari koma. Pembebatan mata mungkin menghilangkan citra ganda, namun bila pasien mampu mensupres citra kedua, bebat mata harus dihentikan. Yang umum dilakukan adalah penggunaan bebat secara bergantian antara mata yang terkena dan yang tidak adalah dalam usaha mencegah ambliopia. Namun, walau ambliopia tidak terjadi pada populasi dewasa, beralasan untuk membebat mata yang sehat untuk merangsang aktivitas motor yang maksimal dari mata yang rusak. Postur kepala abnormal mungkin berguna untuk mengkompensasi fungsi motor ekstra-okuler yang paretik. Ini umumnya terjadi pada paresis saraf kranial IV. Saraf kranial keempat tidak hanya depresor namun juga intorter mata; pasien cenderung mengkompensasi dengan mengangkat kepala. Usaha menormalkan posisi kepala mungkin mencegah pasien terhadap penglihatan binokuler. Pengangkatan kepala mungkin juga akibat dari nistagmus, karena stabilisasi kepala pada bahu mungkin menghilangkan nistagmus. Gangguan lapang pandang juga sering menyebabkan pemutaran kepala dalam usaha menyesuaikan lapang pandang yang tersisa sebaik mungkin. Resolusi spontan parese gerak mata terjadi dengan frekuensi yang cukup banyak. Parese saraf kranial III, kelemahan rektus superior residual mungkin menetap, dan pasien

Page 3: Sekuele Cedera Kepala

mungkin kadang-kadang mengeluh diplopia. Lesi saraf kranial IV membaik spontan pada 65 persen pada kasus unilateral dan 25 persen pada kasus bilateral. Walau beberapa memberikan alasan atas koreksi operatif pada paralisis yang permanen semata-mata kosmetik, Fells dan Waddell memperlihatkan bahwa restorasi binokularitas dapat terjadi pada kebanyakan kasus. Saraf Kranial V Cedera saraf trigeminal relatif jarang. Pasien memperlihatkan kornea yang tidak sensitif, yang ditunjukkan oleh tidak adanya refleks korneal, dan paresis saraf fasial (terutama bila cabang lakrimal terkena) mempunyai risiko yang besar terhadap ulserasi korneal neurotropik dan kemungkinan kehilangan penglihatan. Pasien ini harus dipikirkan untuk segera mendapatkan tarsorafi protektif. Lubrikan protektif digunakan sebagai bagian perawatan rutin. Produksi air mata, yang diatur cabang lakrimal saraf fasial, bisa dinilai dengan tes air mata Schirmer. Saraf Kranial VII Status saraf fasial harus dicatat pada pemeriksaan pertama. Bila paralisis adalah dengan onset segera, dan CT scan memperlihatkan terganggunya kanal fasial, eksplorasi segera untuk dekompresi saraf mungkin harus dilakukan. Saraf fasial melintas kanal tulang yang lebih panjang dibanding saraf kranial lainnya dan karenanya sangat terancam terhadap cedera. Sepuluh hingga 30 persen fraktura longitudinal tulang temporal dan 30 hingga 50 persen fraktura transversa berakibat palsi saraf fasial. Bila paralisis terbentuk terlambat, prognosisnya lebih baik secara nyata bila paralisis tidak bilateral, dan pasien harus mendapatkan tes saraf fasial secara serial. Tes neurofisiologik termasuk konduksi saraf serta elektromiografi akan memperlihatkan beberapa tanda perbaikan dalam delapan minggu, bila pemulihan akan terjadi. Pada setiap kasus eksplorasi mungkin perlu, karena pemulihan lengkap terjadi pada 75 kasus dan perbaikan parsial pada 15 persen. Saraf Kranial VIII Telinga dalam adalah organ sensori yang paling sering terkena setelah cedera kepala berat. Vertigo mungkin terjadi sebagai akibat kerusakan aparatus vestibuler atau konkusi labirintin. Hilangnya pendengaran secara primer adalah konduktif sebagai akibat disrupsi rantai osikuler atau darah dalam telinga tengah. Rantai osikuler paling sering mengalami disrupsi pada sendi inkudostapedial. Intervensi bedah dan pemulihan

Page 4: Sekuele Cedera Kepala

prostetik komponen yang mengalami dislokasi adalah penting untuk memulihkan pendengaran. Fraktura transversa bagian petrosus tulang temporal biasanya menyebabkan kehilangan pendengaran sensorineural. Kapsula labirintin umumnya disrupsi, berakibat kerusakan vestibuler dan kokhlear yang berat, termasuk kerusakan fungsional kanal semisirkuler, utrikel, dan sakula. Karena garis fraktura pada fraktura transversal adalah perpendikular terhadap tulang fasial, tiap saraf akan rusak pada 50 persen pasien dengan fraktura ini. Penilaian respons okulovestibuler mungkin memberikan informasi dini mengingat status dari sistem, dan elektronistagmografi mutakhir mungkin memastikan gangguan end organ dari saraf vestibuler. Tidak ada tes yang meyakinkan untuk fungsi saraf vestibuler sentral yang tersedia. Brainstem auditory-evoked potentials dapat memberikan peran nyata untuk menilai keutuhan saraf auditori dan nukleus kokhlear, namun hanya memberikan sedikit informasi atas struktur atau fungsi dari komponen saraf vestibuler. Sindroma Locked-in Istilah ini serta 'mutisme akinetik' digunakan secara sinonim. Kerusakan jalur kortikobulber dan kortikospinal diventral pons mengakibatkan keadaan de-eferen yang khas dengan tetraplegia dan mutisme. Pasien tetap waspada dan responsif, dan fungsi kortikal tinggi tetap tidak terganggu. Jalur okuler supranuklir tetap utuh hingga kontrol gerak mata paling tidak untuk sebagian tetap terjaga, biasanya pada bidang vertikal dan terkadang horizontal. Komunikasi non oral karenanya tetap memungkinkan, baik dengan gerak mata maupun kedipan, dan penggunaan sistem interface yang memadai dapat memberikan komunikasi yang memadai untuk menunjukkan kemampuan kognitif yang tersisa. Sindroma ini sebagian besar diakibatkan oleh infarksi vaskuler hingga karenanya tidak sering ditemukan sebagai akibat trauma. Sindroma locked-in harus betul- betul dibedakan dari keadaan vegetatif dimana tidak dapat lagi melihat dan merasa, walau pulihnya siklus tidur-bangun dan tampilan deseptif dari pemulihan neurologis ('koma vigil') sering memberi keluarga pasien perasaan optimis yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Neuropati Periferal Polineuropati dilaporkan sebagai komplikasi dini dari sepsis dan kelainan kritis lainnya hingga pada 50 persen pasien di ICU. Komplikasi ini terkadang ditemukan secara klinis pada pasien cedera kepala. Polineuropati biasanya berkurang bila kelainan kritis terkontrol. Neuropati yang berkaitan dengan fraktura dapat terjadi pada daerah

Page 5: Sekuele Cedera Kepala

fraktura. Neuropati kompresi dapat diakibatkan immobilitass dan tekanan terlokalisasi pada saraf diatas tonjolan tulang. Setiap kompresi paling sering mengenai saraf ulnar dan peroneal. Bila anggota tetap flaksid, ada kemungkinan neuropati. Pada pasien tidak sadar, penilaian fisik dapat sangat terbatas, dan tes konduksi saraf mungkin bernilai. Pleksopati mengenai beberapa kelompok otot, hingga tonus lebih kecil dari yang diharapkan. Cedera langsung pada bahu atau pelvis mungkin berakibat cedera regang, kompresi, atau laserasi pleksus brakhial atau lumbosakral. Pola flaksiditas anggota tubuh harus diwaspadai untuk menilai kembali kekuatan mekanis cedera semula dan untuk memikirkan tes elektrofisiologik yang pantas. Bila fraktura tulang terjadi, pembentukan kalus yang hebat mungkin menekan saraf berdekatan, dengan timbulnya cedera saraf yang terlambat. Hidrosefalus Pasca Trauma Definisi Sindroma hidrosefalus pasca trauma (Posttraumatik hydrocephalus, PTH) harus ditentukan baik dengan kriteria radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan harus ada untuk menegakkan diagnosis. Dalam istilah yang sederhana, PTH mungkin dijelaskan sebagai dilatasi ventrikuler tanpa pembesaran sulkal, berkaitan dengan sindroma klinis yang mungkin berragam dari koma dalam hingga gambaran yang khas dari hidrosefalus tekanan normal: demensia, ataksia, dan inkontinensia urinari. Insidens Walau dilatasi ventrikuler adalah temuan yang umum dijumpai setelah cedera kepala, terutama bila cederanya berat, PTH yang murni relatif jarang. Insidens dilatasi ventrikuler pasca trauma bervariasi dari 29 hingga 72 persen. Nyatanya, berbeda dalam metoda diagnostik, definisi pembesaran ventrikuler, dan karakteristik pasien harus diperhitungkan atas perbedaan yang luas ini. Kishore menentukan ventrikulomegali yang bermakna sebagai tampilan distensi tanduk anterior ventrikel lateral, pembesaran tanduk temporal serta ventrikel ketiga, dan sulsi normal atau tidak ada. Ia dari CT scan menemukan 29 persen pasien dengan cedera kepala berat ventrikulomegali timbul dalam tahun pertama, dan hampir semuanya terbentuk dalam dua minggu pertama. Cardoso dan Galbraith melaporkan 0.7 persen dari pasien dengan cedera kepala berat mendapatkan hidrosefalus simtomatik, dimana 47 persen diantaranya sangat menbaik dan 24 persen sedikit membaik setelah operasi pintas.

Page 6: Sekuele Cedera Kepala

Pemeriksaan CT scan selama tiga bulan setelah cedera kepala , Gardeur mendapatkan pembesaran ventrikuler pada 78 persen pasien. Dongen dan Braakman melaporkan bukti atrofi serebral dari CT scan sebanyak 86 persen pada pasien yang diamati satu hingga empat tahun setelah cedera kepala tertutup yang berakibat koma paling tidak enam minggu. Levin mempelajari area ventrikel lateral pada CT scan, dan mendapatkan pembesaran pada 72 persen kasus. PTH harus dibedakan dari atrofi serebral pasca trauma. Yang pertama adalah istilah yang mempunyai arti keadaan yang aktif dan dapat diobati, sedang yang terakhir menggambarkan resorpsi parenkhim otak sekunder terhadap cedera jaringan yang difus. Sayangnya perbedaan ini tidak selalu tampak jelas. CT scan membuat diagnosis lebih mudah dan menurunkan insidens PTH hingga antara 1 hingga 8 persen, dibanding 21 hingga 36 persen pada era pneumoensefalogram. Patofisiologi Umumnya dipercaya bahwa PTH diakibatkan gangguan aliran dan absorpsi CSS. Walau bukti radiologis dan patologis menunjukkan hambatan ini terjadi disekitar konveksitas serebral, sangat mungkin bahwa bendungan granulasi arakhnoid oleh darah subarakhnoid berperan. Pada semua kasus, perdarahan subarakhnoid tampaknya menjadi gambaran yang umum atas dua hipotesis ini. Gambaran Klinis PTH mungkin muncul dengan berbagai cara. Seperti dilaporkan Kishore, sebagian besar sindroma muncul dalam dua minggu sejak cedera. Ada laporan kasus tentang pembesaran ventrikular dalam tujuh jam sejak cedera, berakibat pemburukan yang cepat dari tingkat kesadaran serta herniasi dini. Namun tampilan yang lebih lambat mungkin saja terjadi. Nyatanya trauma yang sudah lama lebih sering dilaporkan pada kasus hidrosefalus tekanan normal (NPH). PTH mungkin tampil sebagai NPH klasik, dengan demensia, ataksia, dan inkontinensia urinari. Namun perubahan tingkat kesadaran dan bahkan koma mungkin terjadi sebagai bagian dari sindroma. Karena cedera kepala berat sering berakibat disfungsi neurologis luas yang berat, gambaran tersebut mungkin sulit untuk dipisahkan dari akibat cedera otak pada fase akuta. Pemantauan TIK serta CT scan serial berguna pada keadaan ini. Pada fase pemulihan yang lebih kronik, perburukan tingkat kesadaran, penurunan kapasitas fungsional, atau semua gambaran NPH harus dianggap sebagai pertanda. Manifestasi tidak khas, seperti masalah emosi, respon ekstensor bilateral, kejang, dan spastisitas tungkai juga pernah dilaporkan.

Page 7: Sekuele Cedera Kepala

Gambaran Radiologis Kishore menggunakan kriteria CT scan untuk menentukan hidrosefalus: (1) tampilan tanduk frontal ventrikel lateral yang distensi; (2) pembesaran tanduk temporal dan ventrikel ketiga; (3) sulsi normal atau tak ada; dan (4) bila ada, pembesaran sisterna basal dan ventrikel keempat. Lusensi periventrikuler digunakan sebagai indikator hidrosefalus komunikans. Ventrikulomegali ex vacuo atau atrofi khas dengan adanya pembesaran ventrikuler yang difus dengan sulsi yang jelas dan tidak ada lusensi periventrikuler. Levin menggunakan area ventrikuler yang diukur dari CT scan untuk mempelajari hubungan antara ventrikulomegali dengan defisit neuropsikologik setelah cedera kepala tertutup. Walau tehnik ini jelas paling akurat untuk menaksir ukuran ventrikuler, tidak ada metoda neurologis yang dapat dipercaya yang dapat memperkirakan outcome setelah operasi pintas. Edema periventrikuler diketahui sebagai gambaran patologis dan radiologis dari hidrosefalus. Normalnya cairan dari parenkhim otak mengalir melintas lapisan ependimal keventrikel. Pada hidrosefalus, arah normal tersebut berbalik, dan cairan bergerak dari ventrikel kesubstansi putih periventrikuler. Karena citra MRI pembebanan T2 sangat peka terhadap air, diharapkan tehnik ini dapat memastikan penderita dengan hidrosefalus simtomatis. Sayangnya cara ini tidak cukup sederhana. Zimmerman melaporkan dari penelitian MRI dari 365 pasien adanya berbagai tingkat hiperintensitas periventrikuler (HPV, PVH) pada 93.5 persen kasus, tanpa memperdulikan diagnosis. Dari enam pasien yang dengan NPH, dua memiliki HPV ringan yang tidak khas dan empat memiliki HPV yang nyata, namun semua kasus memiliki fosi hiperintens substansi putih multipel (diduga suatu infarksi). Tingkat HPV serupa dengan yang tampak pada pasien tua yang tidak dengan hidrosefalus dan karenanya tidak dimasukkan kedalam kriteria untuk operasi pintas. Seleksi Pasien Untuk Operasi Pintas Tak ada gambaran tunggal dari klinis, radiologis, fisiologis yang dapat memberikan kriteria yang akurat dan pasti untuk operasi pintas (shunting). Pada kerusakan otak yang berat yang mendasarinya, shunting, bahkan bila ada indikasi, mungkin tidak memperbaiki outcome fungsional secara bermakna. Selain itu setiap pasien harus dinilai secara hati-hati. Operasi pintas dapat memberikan hasil akhir yang sangat berbeda pada sejumlah kasus. Sekitar 50 persen kasus dengan ventrikulomegali jelas membaik setelah shunting. Jika temuan klinis dan radiologis ditemukan dini, setiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan perkiraan atas tekanan aksis kraniospinal. Bila pasien dalam pementauan TIK, informasi siap tersedia. Bila tidak, pungsi lumbar harus dilakukan dengan pasien terbaring datar pada sisi tubuhnya, dan TIK dicatat saat pasien

Page 8: Sekuele Cedera Kepala

santai dan abdomen tidak tertekan. Tidak ada patokan tekanan yang sudah baku untuk shunting pada PTH. Bila tekanan lumbar CSS lebih rendah dari 136 mmH2O (10 mmHg), shunting mungkin tidak membantu, namun bila lebih dari 276 mmH2O (20 mmHg), mungkin sangat bermanfaat. Bila tekanan diantara keduanya, bacaan pantauan yang hanya sekali tidak akan memberikan jawaban yang pasti. Pengaliran 20 hingga 30 ml CSS terkadang berhasil secara nyata memperbaiki keadaan klinis walau transien, jadi suatu isarat yang menyokong untuk melakukan shunting. Bila tekanan lumbar normal, operasi pintas dipikirkan bila terdapat gambaran klasik NPH. Salmon menemukan bahwa lebih dari setengah pasien pasca trauma dengan sindroma ini membaik dengan shunting. Bila gambarannya tidak jelas, periode singkat (24 hingga 48 jam) pemantauan TIK mungkin membantu. Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien dengan TIK yang bervariasi membaik dengan operasi pintas, namun yang memiliki TIK yang mendatar secara menetap tidak. Brgesen, Gjerris dan Srensen melaporkan bahwa data TIK saja tidak membantu pada pasien dengan NPH 'sejati' yang memiliki TIK rata-rata tidak melebihi 12 mmHg. Mereka melaporkan bahwa keadaan outflow CSS adalah pengukuran yang lebih sesuai, namun metoda ini tidak digunakan secara luas pada praktek klinis. Sisternografi digunakan luas pada masa yang lalu dalam menilai pasien dengan NPH. Bila radionukleotida disuntikkan kerongga subarakhnoid lumbar, normalnya mengalir kekonveksitas serebral dan diabsorpsi kesinus vena major melalui granulasi arakhnoidal. Bila aliran normal CSS diatas konveksitas terhambat, isotop kembali ke ventrikel dalam sejam sejak penyuntikan dan menetap disana selama 24 hingga 72 jam. Walau refluks ventrikuler ini diperkirakan khas untuk NPH, hubungannya dengan perbaikan setelah operasi pintas sedang-sedang saja. Sisternografi dengan penaksiran gambaran klinis, dikombinasikan dengan pemantauan tekanan lumbar atau intrakranial serta pemeriksaan neuropsikologis, membentuk dasar untuk pemilihan pasien yang akan dioperasi pintas. Fistula Cairan Serebrospinal Definisi Fistula CSS traumatika didefinisikan sebagai kebocoran CSS yang terjadi sebagai akibat cedera kepala. Fistula mungkin tampil sebagai rinore, otore, atau pneumosefalus. Insidens

Page 9: Sekuele Cedera Kepala

Terjadi pada 0.25 hingga 3.0 persen dari semua pasien dengan cedera kepala dan 5 hingga 11 persen darinya dengan fraktura dasar tengkorak. Otore CSS terjadi pada 7 persen dari fraktura dasar tengkorak. Pneumosefalus terjadi pada sepertiga pasien denga rinore (Narayan).

Rinore CSS Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus. Cairannya seperti air dan nonmukoid, serta mengandung glukosa. Konsentrasi glukosa 30 mg/100 ml atau lebih besar sangat mencurigakan suatu CSS. Dextrostix dan sejenisnya tak dapat dipercaya karena sekresi nasal normal mungkin berreaksi positif, namun elektroforesis protein digabung dengan immunofiksasi atas transferin isoform berguna dalam mengidentifikasi CSS. Beberapa aspek pengelolaan rinore CSS tetap kontroversial, termasuk penggunaan antibiotik profilaktik, kapan harus dioperasi, dan peran pengaliran lumbar. Umumnya 80 persen fistula berhenti mengalir dalam seminggu. Pasien harus dirawat dalam posisi yang menghentikan atau meminimalkan kebocoran. Bila kebocoran tidak berhenti setelah tiga hari, pengalir subarakhnoid lumbar harus diinsersikan dan mengalirkan CSS setinggi bahu untuk tiga hingga tujuh hari. Bila kebocoran bertahan selama 10 hingga 14 hari, harus dipertimbangkan operasi, dan pemerikasaan diagnostik dilakukan untuk menentukan tempat kebocoran. Sisternografi CT scan Ioheksol (Omnipaque) merupakan pemeriksaan pilihan untuk diagnostik. Pada kebocoran CSS intermiten pemeriksaan ini mungkin memberikan hasil negatif palsu. Berbagai manuver, dan penyuntikan salin kesubarakhnoid lumbar memperkuat kemungkinan mendeteksi tempat kebocoran. Bila tempat kebocoran telah diketahui, dilakukan operasi perbaikan melalui intrakranial (intra atau ekstradural) atau pendekatan transsfenoidal, tergantung lokasi kebocoran. Penciuman mungkin hilang akibat cedera inisial, terutama pada fraktura tulang ethmoidal. Insidens anosmia mungkin mencapai 80 persen. Perbaikan lantai fossa frontal intrakranial berkaitan dengan insidens yang tinggi dari anosmia, bahkan bila penciuman normal sebelum operasi. Tehnik perbaikan ekstradural mungkin menguntungkan karenanya. Ukuran defek mungkin kecil dan operator mengahadapi kesulitan menemukan robekan dural. Dura yang diliofilisasi, perikranium, atau fasia lata sering digunakan untuk menambal defek. Sebagai perekat tambahan digunakan perekat fibrin.

Page 10: Sekuele Cedera Kepala

Otore CSS Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, dura mater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi. Antibiotik Profilaktik Patokan antibiotik profilaktik pada pengelolaan otore dan rinore CSS tetap tak jelas karena kurangnya data, hingga penggunaannya berbeda pada berbagai senter. Komplikasi Vaskuler Pasca Trauma Definisi Komplikasi vaskuler pasca trauma bisa mengenai baik sistem arterial ataupun vena dan bisa terjadi ekstra atau intrakranial. Biasanya ditemukan pada saat kejadian inisial, atau segera setelah cedera berlangsung, namun terkadang tidak tampil hingga beberapa hari atau bahkan beberapa bulan sejak cedera. Insidens

Page 11: Sekuele Cedera Kepala

Insidens komplikasi vaskuler yang murni berkaitan dengan cedera kepala tak diketahui karena terbatasnya penelitian. Selanjutnya dengan angiografi serebral yang benar-benar terbatas untuk pemeriksaan rutin pada pasien cedera kepala sejak hadirnya CT scan, basis data tidak mungkin untuk diperbaiki. Penting untuk mempertahankan indeks yang tinggi atas kecurigaan dan mendapatkan angiogram bila gambaran klinis tidak dapat dijelaskan oleh CT scan atau MRI scan. Dilaporkan insidens cedera vaskuler pada 4.2 persen pasien cedera kepala. Klasifikasi Komplikasi vaskuler pasca trauma bisa diklasifikasikan sebagai: A. Arterial 1. Servikal a. Transeksi arteri karotid atau vertebral direk b. Oklusi tromboembolik dari nidus traumatika atau diseksi intimal c. Aneurisma arterial traumatika d. Fistula arteriovena traumatika 2. Intrakranial a. Oklusi tromboembolik b. Aneurisma traumatika c. Fistula arteriovena traumatika d. Fistula karotid-kavernosa B. Venosa 1. Trombosis sinus vena dural C. Vasospasme traumatika Diskusi Cedera penetrasi leher mengharuskan angiografi dan eksplorasi operatif bila platisma tertembus. Oklusi arterial sekunder atas trauma tumpul leher jarang terjadi, perkiraan sekitar 0.5 persen. Cedera ini lebih sering terjadi pada tingkat C2, terhadap baik arteria karotid maupun vertebral. Diagnosis klinis sering sulit, dan mungkin memiliki periode bebas gejala, biasanya kurang dari 24 jam. Pasien bisa mengalami serangan iskemik transien (TIA), adanya hematoma leher, atau tampilnya sindroma Horner. Sekali oklusi terjadi, defisit neurologis fokal bisa menjadi nyata. Pada kasus cedera kepala berat, mungkin sulit untuk memisahkannya dari efek cedera otak primer. Tingkat mortalitas trombosis karotid traumatika leher dilaporkan antara 40 hingga 90 persen. Oklusi arteria vertebral lebih jarang: 19 persen bila oklusi terjadi pada satu

Page 12: Sekuele Cedera Kepala

arteria vertebral dan 46 persen bila oklusi pada keduanya. Medikasi antikoagulasi bisa diberikan pada pasien terpilih yang dengan cedera kepala ringan dan risiko perdarahan intrakranial rendah; namun nilai pengobatan antikoagulasi ini belum pasti. Aneurisma intrakranial pasca trauma sangat jarang. El Gindi menemukan 7 kasus dari 2000 pasien cedera kepala. Hanya dua dari 3000 luka kepala penetrasi menimbulkan aneurisma dari perang Korea dan Vietnam. Tidak seperti aneurisma 'berry' kongenital, aneurisma pasca trauma lebih mungkin terjadi dekat permukaan korteks dibanding dengan bifurkasi arterial utama. Ia sering tidak memiliki leher untuk clipping, namun operasi dan clipping atau wrapping tetap merupakan tindakan terpilih. Fistula arteriovenosa traumatika intrakranial juga jarang. Terjadi lebih sering antara arteria meningeal media dan vena meningeal. Biasanya berhubungan dengan cedera kepala penetrating atau fraktura tengkorak depressed. Risiko perdarahan dari lesi ini tidak tentu. Ia dapat ditindak dengan embolisasi melalui arteria karotid eksternal atau operasi eksisi direk. Fistula karotid-kavernosa (KK) adalah temuan terbaik dari semua cedera vaskuler pasca trauma. Walau relatif jarang, gambaran khasnya membuatnya mudah dikenal diklinik. 60 hingga 80 persen fistula KK adalah karena trauma; sisanya mungkin timbul spontan. Fistula KK spontan terjadi lebih sering pada wanita tua, sedang karena trauma lebih sering pada lelaki muda. Gambaran klinis mungkin berupa proptosis, khemosis, bruit, oftalmoplegia, perburukan penglihatan, serta nyeri kepala. Bruit mungkin teraba, murmur bisa didengar dengan stetoskop konvensional atau Doppler. Arteriografi adalah tindakan diagnostik terpilih. Riwayat penyebab fistula KK mengharuskan intervensi: penutupan spontan jarang, dan perjalanan yang umum adalah kehilangan penglihatan progresif (40 hingga 50 persen akan mengalami kebutaan), bruit yang tidak dapat ditolerasi, atau proptosis yang memburuk. Walau berbagai pendekatan telah dilakukan terhadap kelainan ini, tindakan terpilih dilakukan adalah oklusi dengan balon yang dapat dilepas, dengan mempertahankan aliran darah arteria karotid. Bila ini secara tehnis tidak mungkin, berbagai pilihan bisa dilakukan, termasuk oklusi balon dari arteria karotid internal, packing sinus kavernosus posterior dengan material trombogenik atau kawat, serta oklusi sinus dengan packing melalui vena oftalmik.