makalah cedera kepala
-
Upload
nuris-zaman -
Category
Documents
-
view
103 -
download
4
description
Transcript of makalah cedera kepala
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit.”No head injury is so serious that it should be despaired of,
nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala
yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan
yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma
kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan
kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan olehNational Trauma Project di
Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma
kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma
kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian
trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas,
kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika
yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala
akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih
tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh
(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan
kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila
dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio,
2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan
yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
1.2 Rumusan Masalaah
1
1.2.1 Bagaimana definisi cedera kepala ?
1.2.2 Bagaimana etiologi cedera kepala?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi cedera kepala ?
1.2.4 Bagaimana patofisiologi cedera kepala ?
1.2.5 Bagaimana manifestasi klinis cedera kepala?
1.2.6 Bagaimana insidensi cedera kepala ?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan cedera kepala ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mempelajari cedera kepala dan asuhan keperawatan cedera kepala
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui definisi cedera kepala
2) Untuk mengetahui etiologi cedera kepala
3) Untuk mengetahui klasifikasi cedera kepala
4) Untuk mengetahui patofisiologi cedera kepala
5) Untuk mengetahui manifestasi klinis cedera kepala
6) Untuk mengetahui insidensi cedera kepala
7) Untuk mengetahui penatalaksanaan cedera kepala
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Cidera kepala adalah pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran (Tucker, 1998).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak, commusio
(gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan perdarahan serebral yaitu diantaranya
subdural, epidural, intraserebral, dan batang otak (Doenges, 2000:270).
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium (helm) yang
membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
Cedera kepala : Dapat bersifat terbuka (menembus melalui dura meter) atau
tertutup (trauma tumpul, tanpa penetrasi melalui dura). Cedera kepala terbuka
memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak (Corwin J.Elizabeth;
2005 : 175)
Jadi cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala terjadi baik secara langsung
bersifat terbuka atau tertutup yang dapat terlihat meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
juga otak sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanen.
2.2 Etiologi
Hampir semua cedera otak traumatik disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, akibat
peristiwa yang berhubungan dengan aktivitas olehraga, dan akibat tindakan kekerasan.
Penyebab yang paling sering dari cedera kepala tertutup adalah kecelakaan lalu lintas,
dimana hal ini meliputi cedera yang terjadi pada penumpang kendaraan bermotor, pejalan
kaki, pengendara motor, dan pengendara sepeda. Penyebab yang lainnya adalah akibat
terjatuh. Cedera akibat luka tembak merupakan penyebab utama dari cedera kepala penetrasi
di Amerika Serikat dan terhitung sebanyak 44% dari semua kasus cedera kepala. Dewasa
muda merupakan orang yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas (umur 5-64
tahun), tetapi populasi ini memiliki sedikit insiden dari lesi massa intrakranial. Sedangkan
pasien berumur tua (65 tahun atau lebih) paling sering mengalami cedera akibat terjatuh dan
memiliki insiden yang tinggi dari lesi massa intrakranial. Intoksikasi alkohol dan obat-
3
obatan lainnya merupakan faktor yang signifikan sebagai penyebab cedera dan tersebar
hampir sama pada semua kelompok umur, kecuali pada umur sangat muda dan sangat tua. 3,
5, 8, 9
Tabel 1 Penyebab cedera kepala 3
Jenis cedera Mekanisme
Coup dan countrecoup Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian
belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur
bagian samping kepala (coup atau countrecoup); kepala
yang mengenai objek dengan kecepatan rendah
Hematom ekstradural Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga
Hematom subdural Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang
berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
kronik
Perdarahan
intracerebral
Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang
besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh
dari jarak yang jauh
Fraktur campuran Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar
atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;
fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke
arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang
tengkorak)
Cedera penetrasi Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es,
kapak, baut)
Cedera aksonal difus Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan
yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur
kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat
4
kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar
2.3 Klasifikasi
Cedera kepala secara umum dikelompokkan menjadi trauma tertutup (tumpul)
dan trauma terbuka (penetrasi). 3
1. Trauma kepala nonpenetrasi
Trauma kepala nonpenetrasi atau trauma kepala tertutup, merupakan akibat dari
cedera tumpul. Tidak ada penetrasi benda asing pada dura (dura masih intak), meskipun
dapat terjadi laserasi dura akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak, dan jaringan otak
tidak terpapar dengan lingkungan luar. Trauma tumpul lebih sering terjadi dan meliputi
benturan kepala pada permukaan yang keras, atau objek berkecepatan tinggi yang
mengenai kepala.. Trauma tumpul dapat mengakibatkan baik cedera otak fokal maupun
cedera aksonal difus. 1, 3
2. Trauma kepala penetrasi
Saat terjadi penetrasi pada dura, maka akan menimbulkan paparan dari isi
tengkorak pada lingkungan luar, dimana terjadi trauma terbuka, yang mengakibatkan
cedera otak fokal. Cedera kepala penetrasi dihubungkan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Diperkirakan, tingkat mortalitas setiap tahun adalah sekitar
2,4/100.000 orang di Amerika Serikat, dimana nilai ini dipengaruhi oleh umur, ras, dan
jenis kelamin. Cedera kepala penetrasi semakin meningkat frekuensinya dan sekarang ini
terhitung sebanyak 15% kematian akibat cedera kepala. Peluru dan fragmen tulang yang
masuk ke intrakranial dapat menyebabkan terjadinya gelombang getaran dan cedera
kavitasi yang dapat menimbulkan destruksi yang luas. Terjadinya destruksi jaringan
dihubungkan dengan koagulopati konsumtif dan vasospasme, yang selanjutnya dapat
memperberat cedera. Tingkat mortalitas melebihi 60%, dan diantara orang yang berhasil
bertahan, 10% diantaranya tetap dalam kondisi vegetatif dan memiliki ketidakmampuan
(disabilitas) yang berat. 1, 3, 7
Cedera kepala penetrasi dapat disebabkan oleh mekanisme trauma yang berbeda.
Trauma dapat disebabkan oleh proyektil yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah.
Cedera lainnya dapat meliputi luka tusukan, cedera akibat terkena panah, cedera senjata
5
di industri dan cedera akibat penggunaan mesin bor. Pada cedera otak yang disebabkan
oleh objek dengan kecepatan rendah, kerusakan hanya terbatas pada adanya disrupsi
jaringan secara langsung. Kadang-kadang tidak terjadi hilangnya kesadaran. Pada cedera
yang disebabkan oleh misil, cavitasi dapat terbentuk di sepanjang jalur misil, dan
tergantung pada ukuran dan kecepatan misil, maka disrupsi dari jaringan otak di
sekitarnya kadang-kadang dapat menyebar dan sifatnya berat. Baik cedera penetrasi
dengan kecepatan tinggi maupun rendah dapat menyebabkan disrupsi dari kulit, tulang
tengkorak, dan selaput otak, sehingga dapat memudahkan kontaminasi cairan
cerebrospinal atau otak dengan mikroorganisme infektif. 1, 4
2.4 Jenis-jenis cedera kepala
1. Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu menghilangkan
tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang ditransmisikan ke dalam jaringan
otak. 2 bentuk fraktur ini : fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh
pemberian kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur
tengkorak seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup serius
karena les dapat keluar melalui fraktur ini.
2. Cedera otak dan gegar otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna . Otak tidak
dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan
oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan
suplay darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak belakang dapat
pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya
beberapa menit saja dan keruskan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak tengah yang
menyebar ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada kehilangan kesadaran
pasien mungkin mengalami disenenbisi ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang
konsentrasi ,amnesia rehogate,dan pasien sembuh cepat.
Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi.
3. Komosio serebral
6
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Komosio
umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama
beberap detik sampai beberapa menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan
amnesia atau disonentasi.
4. Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan
kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema
cerebral 2-3 hari post truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan
meningkatkan mortabilitas (45%).
5. Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi )
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural)
diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur hilang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda
diantara dura dan tengkorak daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi
karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.
6. Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan
oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan
aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat
putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut,
subakut atau kronik.
- hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau lasersi.
- Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai
pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah truma kepala.
- Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor, terjadi pada
lansia.
7. Hemotuma subaradinoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid
dengan diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka.
Sering kali bersifat kronik.
7
8. Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih
pada parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur, gerakan
akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.
2.5 Patofisiologi dan Woc
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselerasi – deselerasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contercoup. Cedera primer yang diakibatkan
oleh adanya benturan pada tulag tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselerasi deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma, perbedaan densisitas antar tulang tengkorak (substansi solid)
dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yag berlawanan dari benturan (contrecoup)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yag
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi
2.6 Manifestasi klinis
Berdasarkan anatomis
1. Gegar otak (comutio selebri)
a. Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
b. Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit
c. Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah
d. Kadang amnesia retrogard
2. Edema serebri
a. Pingsan lebih dari 10 menit
8
b. Tidak ada kerusakan jaringan otak
c. Nyeri kepala, vertigo, muntah
3. Memar otak (kontusio selebri)
a. Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung lokasi
dan derajad
b. Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan
c. Peningkatan tekanan intracranial (PTIK)
d. Penekanan batang otak
e. Penurunan kesadaran
f. Edema jaringan otak
g. Defisit neurologis
h. Herniasi
4. Laserasi
a. Hematoma Epidural
“talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan
periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa jam, menyebabkan
penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
1). kacau mental → koma
2). gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
3). pupil isokhor → anisokhor
b. Hematoma subdural
1). Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena
aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
2). Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidura
3). Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-bulan
4). Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
5). perluasan massa lesi
6). peningkatan TIK
7). sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
8). disfasia
c. Perdarahan sub arachnoid
9
1). Nyeri kepala hebat
2). Kaku kuduk (Rizal Kurniadi : 2012)
2.7 Komplikasi
1) Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral dapat menyertai cedera
kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak,
tekanan intrakranial meningkat, dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah jenis cedera
otak sekunder.Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat
menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema interstisial memburuk.
2) Perubahan perilaku yang tidak kentara dan defisit kognitif dapat terjadi da tetap ada.
(Corwin J Elizabeth ; 2009 : 246)
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis
(disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi
iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan
glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif memerlukan oksigen dan
glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi
usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengn cara menurunkan
PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah
metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan
intubasi endotrakeal hiperventilasi. Tindakan membuat intermitten iatrogenic paralisis
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien – klien yang koma untuk mencegah
terjadinya PaCO2 yangmeninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah
peningkatan tekanan intrakranial.
Penatalaksanaan konservatif meliputi:
1) Bedrest total
2) Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3) Pemberian obat – obatan
10
(a). Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
(b). Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
(c). Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa
40 % atau gliserol 10 %.
(d). Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole
4) Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa – apa, hanya cairan
infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan),
2 – 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
5) Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari – hari pertama (2 – 3 hari)
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua,
dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
(Arif Muttaqin ; 2008 : 284-285)
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a) Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin
(banyak laki – laki, karena sering ngebut – ngebutan dengan motor tanpa pengaman
helm), pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah
sakit, nomor register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
b) Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian, dan trauma langsung kekepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat
kesadaran menurun (GCS >15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernapasan,
adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan
perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai
perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak sadar)
tentang penggunaan obat – obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi
pada beberapa klien yang suka ngebut – ngebutan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat –
obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, konsumsi alkohol
berlebihan.
d) Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes
melitus.
12
e) Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu
timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri)
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk
berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan kllien
merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif.
f) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan -keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukng data dan pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1 – B6) dengan fokus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan terarah dan dihubungkan dengan keluhan –
keluhan dari klien.
Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
Blood:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada
pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang
akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak
13
akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan
hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang
lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.
3.2 Diagnosa
14
a. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma , subdural hematoma dan epidural hematoma.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pada pusat
pernapasan diotak, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak optimal
karena akumulasi udara/cairan, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan
ventiltor.
c. Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan penumpukan sputum
peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk sekunder, akibat nyeri dan keletihan, adanya
jalan napas buatan pada trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
d. Perubahan kenyamanan : nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan
refleks spasme otot sekunder.
e. Cemas/takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri,
takut mati, ketergantungan pada alat bantu, perubahan status kesehatan/ status ekonomi/
fungsi peran, hubungan interpersonal/ penularan
3.3 Intervensi
a. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari
kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma,
subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil:
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak
terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri:
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/ keadaan individu/ penyebab koma/ penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.
R/ Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda –
tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan
pembedahan
2) Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 jam.
15
R/ suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan darah sistemik penurunan dari autoregulator. Kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi lokal vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolik) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan
darah intrakranial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya.
R/ Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf III kranial (okulomotorik) yang
menunjukan keutuhan batang otak, ukuran pupil menunjukan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respons terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi
dari saraf kranial II dan III.
4) Monitor temperatur da pengaturan suhu lingkungan .
R/ Panas merupakan refleks dari hipotalamus. peningkatan kebutuhan metabolisme dan
O2 akan menunjang TIK/ICP (intrakranial pressure).
5) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan batal yang tinggi pada kepala.
R/ Perubahan kepada salah satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada venajugularis
dan menghambat aliran darah ke otak (menghambat drainase pada vena serebral),
untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
6) Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi lamanya prosedur.
R/ Tindakan yang terus menerus dapat meningkatkan TIK oleh efek rangsagan
kumulatif.
7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase punggung,
lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/pembicaraan yang tidak
gaduh.
R/ Memberikan suasana yang tenang (colming effect) dapat mengurangi respons
psikologis dan memberikan istirahat untuk mempertahankan TIK yang rendah.
8) Cegah/hindarkan terjadinya valsava manuver.
16
R/ Mengurangi tekanan intrathorakal dan intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
9) Bantu klien jika batuk, muntah
R/ Aktivitas ini dapat meningkatan intrathorak/tekanan dalam thoraks dan tekanan
dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan TIK.
10)Kaji peningkatan istirahat dan tingkah laku
R/ Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi peningkatan TIK atau memberikan
refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal,
nyeri yang tidak menurundapat meningkatkan TIK.
11)Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, pertahankan drainase urine secara paten jika
digunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi.
R/ Dapat meningkatkan respons otomatis yang potensial menaikkan TIK.
12)Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan keluarga tentang sebab akibat TIK
meningkat.
R/ Meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan perawatan klien dan mengurangi
kecemasan.
13)Observasi tingkat kesadaran GCS
R/ Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan berguna menentukan
lokasi dan perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
1) Pemberian O2 sesuai indikasi.
R/ Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan vasodilatasi serebral, volume
darah, dan menaikkan TIK
2) Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah dari dalam intrakranial.
R/ Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan bila kemungkinan terdapat
tanda – tanda defisit neurologis yang menandakan peningkatan intrakranial.
3) Berikan cairan intravena sesuai indikasi
R/ Pemberian cairan mungkin diiginkan untuk mengurangi edema serebral,
peningkatan minimum pada pembuluh darah , tekanan darah dan TIK.
4) Berikan obat osmosisdiuretik, contohnya : manitol, furoslide
17
R/ Diuretik mungkin digunakan pada fase akut untuk mengalirkan air dari sel otak dan
mengurangi edema serebral dari TIK
5) Berikan steroid contohnya : Dexamethason,
methylprenidsolon.
R/ Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi edema jaringan.
6) Berikan analgesik narkotik, contoh : kodein
R/ Mungkin diindikasikan nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi digunakan
dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
7) Berikan antipiretik, contohnya : asetaminofen.
R/ Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
8) Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED
R/ Membantu memberikan informan tentang efektivitas pemberian obat.
b. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,
kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak meksimal karen trauma, dan
perubahan perbandingan O2 dan CO2,kegagalan ventilator.
Tujuan:
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas –
gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor penyebab.
Intervensi:
1) Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik
kesisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan ventilasi pada
sisi yang tidak sakit.
2) Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-
tanda vital.
18
R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stres fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukan terjadinya terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
3) Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru – paru.
R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
4) Pertahankan perilaku tenang,bantu klien untuk kontrol diri dengan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
sebagai ketakutan/ansietas.
5) Periksalah alarm pada ventilator sebelum difungsikan jangan mematikan alarm.
R/ Ventilator yang memiliki alarm yang biasa dilihat dan didengar misalnya alarm
kadar oksigen, tinggi/ rendahnya tekanan oksigen.
6) Taruhlah kantung resusitasi disamping tempat tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu –
waktu dapat digunakan.
R/ Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan fungsi
pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.
7) Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika ventilator tiba – tiba berhenti
R/ Melatih klien untuk mengatur napas, seperti napas dalam, napas pelan, napas
perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan
fungsi dari sistem pernapasan.
8) Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin. Pengecekan konsentrasi oksigen,
memeriksa tekanan oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis
batas/kadar oksigen. Mengkaji tidal volume (10 – 15 ml/kg). Periksa fungsi spirometer
R/ Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai kesiapan perawat dalam
memberikan tindakan pada penyakit primer setelah menilai hasil diagnostik dan
menyediakan sebagai cadangan.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a) Pemberian antibiotik.
b) Pemberian analgesik.
c) Fisioterapi dada.
19
d) Konsul foto thoraks.
R/ Kolaborasi dengan tim kesehatan lainuntuk mengevaluasi perbaikan kondisi klien
atas pengembangan parunya.
c. Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada
trakea, peningkatan sekresi sekret dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat
nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3 x 24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret disaluran
pernapasan.
Intervensi:
1) Kaji keadaan jalan napas
R/ Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus,
perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/ tracheostomy tube
yag berubah.
2) Evaluasi pergerakan dan auskultasi suara napas pada kedua paru (bilateral)
R/ Pergerakan dada yang simeteris dengan suara napas yang keluar dari paru – paru
menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat
dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara
napas seperti ronkhi atau wheezing.
3) Monitor letak posisi endotrakeal tube, beri tanda batas bibir. Letakkan tube secara hati –
hati dengan memakai perekat khusus. Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
R/ Endotracheal tube dapat saja masuk kedalam bronkhus kanan, menyebabkan
obstruksi jalan napas keparu – paru kanan dan mengakibatkan klien mengalami
pneumothoraks
4) Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara alarm dari ventilator karena tekanan
yang tinggi, pengeluaran sekret melalui endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya
bunyi ronkhi.
20
R/ Selama intubasi klien mengalami refleks batuk yang tidak efektif, atau klien akan
mengalami kelemahan otot-otot pernapasan (neuromuskular/neurosensorik),
keterlambatan untuk batuk. Semua klien tergantung dari alternatif yag dilakukan
seperti mengisap lendir dari jalan napas.
5) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau
lebih. Gunakan kateter penghisap yag sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen 100
% sebelum dilakukan penghisapan dengan ambubag (hiperventilasi).
R/ Pengisapan lendir tidak selamnya dilakukan terus -menerus, dan durasinya pun
dapat dikurangi untuk mencegah bahaya hipoksia
6) Anjurkan klien teknik batuk selama pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk
kuat, bersin jika ada indikasi.
R/ Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
sekret dari saluran napas.
7) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)
R/ Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru – paru, mengurangi
resiko atelektasis.
8) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
R/ Membantu pengeceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.
9) Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif dan mengapa terdapat penumpukan
sekret disaluran pernapasan.
R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
10) Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk.
R/ batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, dapat
menyebabkan frustasi
11)Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin
R/ memungkinkan expansi pun lebih luas
12)Lakukan pernapasan diafragma
R/ pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan ventilasi alveolar.
13)Tahan napas selama 3 – 5 detik kemudian secara perlahan, lahan keluarkan sebanyak
mungkin melalui mulut.
21
R/ meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah pengeluaran sekresi
sekret
14) Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek
dan kuat.
R/ pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan batuk klien.
15)Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
R/ sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus
yang mengarah pada atelektasis.
16)Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi
yang adekuat, meningkatkan masukan cairan 1000-1500cc/hari bisa tidak ada
kontraindikasi.
R/ untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mukosa pada saluran napas
bagian atas
17)Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
R/ higene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
18)Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
1) Pemberian ekpektoran
2) Pemberian antibiotik
3) Fisioterapi dada
4) Konsul foto thoraks
R/ ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi kndisi klien
pengembangan parunya.
19)Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti postural drainase, perkusi / penepukan.
R/ mengatur ventilasi segment paru – paru sekret.
20)Berikan obat – obat bronkhodilator sesuai indikasi seperti aminophilin, meta-protereno
sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride (bronkosal).
R/ mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena relaksasi muscle / bronchospasme.
d. Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam nyeri berkurang / hilang
22
Kriteria hasil : secara subyektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat di adaptasi, dapat
mengidentifikasi yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi:
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakoloni dan non invasif.
R/ pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah
menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2) Ajarkan relaksasi.Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
R/ Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan
terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
3) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
R/ mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
4) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman
misalnya ketika tidur belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ istirahat akan merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan
kenyamanan.
5) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri
akan berlangsung.
R/ pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
6) Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien,30 menit setelah pemberian obat
analgesik untuk mengkaji efektifitasnya serta setiap 1 – 2 jam setelah tindakan perawatan
selam 1 – 2 hari.
R/ pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk
mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan : intervensi yang tepat.
7) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgesik.
R/ analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.
e. Cemas atau takut yang berhubungan dengan krisis situasional : ancaman terhadap konsep diri,
takut mati/ketergantungan pada alat bantu/ perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi
peran, hubungan interpersonal.
23
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.
Kriteria Hasil : klien mampu mengungkapkan perasaan yang kaku, cara-cara yang sehat
kepada perawat, klien dapat mendemonstrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesaui situasi yang di hadapi, klien dapat mencatat
penurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar, klien dapat rileks dan tidur/istirahat
dengan baik.
Intervensi : Mandiri.
1) Identifikasi persepsi klien untuk menggambarkan tindakan sesuai situasi
R/ menegaskan batasan masalah individu dan pengeruhnya selama diberikan
intervensi.
2) Monitor rspon fisik seperti : Kelemahan, perubahan tanda vital gerakan yang berulang-
ulang, catat kesesuaian respons verbal dan non verbal selama komunikasi.
R/ digunakan dalam mengevaluasi derajat/ tingkat kesadaran/ konsentrasi, khususnya
ketika melakukan komunikasi verbal.
3) Anjurkan klien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
R/ Memberikan kesempata untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan
mengurangi cemas yang berlebihan.
4) Akuilah situasi yang membuat cemas dan takut. Hindari perasaan yang tak berarti seperti
mengatakan semuanya akan menjadi baik.
R/ Memvalidasi situasi yang nyata tanpa mengurangi pengaruh emosional.
5) Identifakasi/ kaji ulang bersama klien / keluarga tindakan pengaman yang ada seperti
kekuatan dan suplai oksigen, kelengkapan suctioa emergency. Diskusikan arti dari bunyi
alarm.
R/ membesarkan/menentramkan hati klien untuk membantu menghilangkan cemas
yang tak berguna, mengurangi konsentrasi yang tidak jelas, dan menyiapkan
rencana sebagai respons dalam keadaan darurat.
6) Cetak reaksi dari klien/keluarga. Berikan kesempatan untuk mendiskusika
perasaannya/konsentrasi dan harapan masa depan.
24
R/ Anggota keluarga dengan responnya pada apa yang terjadi dan kecemasannya
dapat di sampaikan kepada klien.
7) Identifikasi kemampuan koping klien/keluarga sebelumnya dan mengontrol
pengguanaannya.
R/ Memfokuskan perhatian pada sendiri dapat meningkatkan pengertian dalam
penggunaan koping.
8) Demonstrasikan/anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi seperti mengatur
pernapasan, menuntun dalam berkhayal, relaksasi progresif.
R/ pengaturan situasi yang aktif dapat mengurangi perasaan yang tak berdaya.
9) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampua individu seperti menulis,
menonton tv dan keterapilan
R/ sejumlah keterampilan baik secara sendiri maupun dibantu selama pemasangan
ventilator dapat membuat klien merasa berkualitas dalam hidupnya.
Kolaborasi
Rujuk ke bagian lain guna penanganan selanjutnya.
R/ mungkin dibutuhkan untuk membantu jika klien/ keluarga tidak dapat
mengurangi cemas atau ketika klien membutuhkan alat yang lebih canggih.
( Arif Muttaqin ; 2008 : 288-297 )
25
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cedera kepala : Meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. secara anatomis otak
dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala serta tulang dan tentorium (helm) yang
membungkusnya (Arif Muttaqin ; 2008 : 270).
mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,
bersifat temporer atau permanen.
26
DAFTAR PUSTAKA
Kurniadi Rizal.2012 Asuhan Keperawatam klien dengan cedera kepala
.http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/02/asuhan-keperawatan-klien-
dengan-cidera.html. Diakses tanggal 24 Agustus 2012, pukul 12.00
THERESIA MAGDALENA.2O11.Asuhan keperawatan dengan cedera
kepala.http://dionchagi.wordpress.com/2011/10/25/karya-tulis-ilmiah-asuhan-
keperawatan-pada-pasien-g-dengan-cedera-kepala-di-ruang-perawatan-bedah. Diakses
tanggal 30 Januari 2011, Pukul 21.45
27