SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

23
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER SKRIPSI Diajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teologi Oleh Supatrin 1021512021 Jakarta 2019

Transcript of SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

Page 1: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG

IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teologi

Oleh Supatrin

1021512021

Jakarta 2019

Page 2: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG

JAKARTA

Ketua Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung menyatakan bahwa skripsi yang berjudul IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER dinyatakan lulus setelah diuji oleh Tim Dosen Penguji pada tanggal 23 September 2019.

Dosen Penguji Tanda Tangan

1. Irwan Hidajat, S.Th., M.Pd. ____________________________________

2. Johannes Lie Han Ing, M.Min., M.Th. ____________________________________

3. Fandy Tanujaya, B.Bus., Th.M. ____________________________________

Jakarta, 23 September 2019

Casthelia Kartika, D.Th. Ketua

Page 3: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER, sepenuhnya adalah hasil karya tulis saya dan bebas dari plagiarisme.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa saya telah melakukan tindakan plagiarisme dalam penulisan skripsi ini, saya akan bertanggung jawab dan siap menerima sanksi apa pun yang dijatuhkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung.

Jakarta, 23 September 2019

Supatrin NIM: 1021512021

Page 4: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

i

ABSTRAK

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG

JAKARTA

(A) Supatrin (1021512021)

(B) IBADAH KOMUNAL SEBAGAI SARANA PEMBELAJARAN UNTUK

PEMBENTUKAN KARAKTER

(C) viii + 99 hlm; 2019

(D) Konsentrasi Pendidikan Kristen

(E) Skripsi ini membahas tentang pembentukan karakter menuju keserupaan

dengan Kristus yang dapat terjadi melalui ibadah komunal. Hakikatnya,

pembelajaran yang melibatkan aspek kehidupan manusia secara holistik

adalah pembelajaran yang transformatif. Pembelajaran yang transformatif

tentu akan berpengaruh pada pembentukan karakter. Pembelajaran yang

transformatif sesungguhnya dapat terjadi dalam ibadah komunal. Akan

tetapi, ibadah komunal yang dilaksanakan setiap hari Minggu tidak dilihat

sebagai wadah pembelajaran transformatif yang dapat membentuk

karakter umat. Pembelajaran dipandang hanya terbatas pada transmisi

informasi saja, sehingga ibadah komunal tidak dilihat sebagai sarana

pembelajaran yang dapat membentuk kehidupan umat. Akibatnya, ibadah

komunal yang dilakukan tidak memberi dampak yang optimal pada

pembentukan karakter umat. Gereja sebagai mitra Allah dalam proses

transformasi umat harus memiliki pemahaman tentang dasar teologis

ibadah komunal sebagai sarana pembelajaran yang dapat membentuk

karakter. Pemahaman ini akan membawa gereja untuk melihat bahwa

pembentukan karakter juga dapat terjadi dalam ibadah komunal, sehingga

dapat ditemukan strategi membentuk karakter umat dalam desain ibadah

komunal.

(F) Bibliografi 80 ( 1952-2018)

(G) Irwan Hidajat, S.Th., M.Pd.

Page 5: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

ii

DAFTAR ISI

ABSTRAK............................................................................................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................ii

UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................................................... iv

BAB SATU: PENDAHULUAN .....................................................................................................................1

Latar Belakang Permasalahan ........................................................................................................1

Pokok Permasalahan ....................................................................................................................... 10

Tujuan Penulisan ............................................................................................................................... 11

Metodologi Penelitian ..................................................................................................................... 11

Pembatasan Penulisan .................................................................................................................... 12

Sistematika Penulisan ..................................................................................................................... 13

BAB DUA: IBADAH KOMUNAL DAN PEMBELAJARAN .............................................................. 14

Ibadah Komunal ................................................................................................................................. 15

Ibadah Komunal dalam Perjanjian Lama .................................................................... 19

Ibadah Komunal dalam Perjanjian Baru ..................................................................... 31

Pembelajaran dalam Ibadah Komunal .................................................................................... 40

BAB TIGA: PEMBENTUKAN KARAKTER DALAM IBADAH KOMUNAL ............................. 44

Karakter ................................................................................................................................................. 45

Karakter dalam Perspektif Kristen ........................................................................................... 49

Pembentukan Karakter dalam Kekristenan ......................................................................... 53

Pembelajaran dalam Pembentukan Karakter...................................................................... 61

Pembentukan Karakter melalui Empat Unsur dalam Ibadah Komunal .................. 66

Instruksi ...................................................................................................................................... 66

Simbol .......................................................................................................................................... 68

Ritual ............................................................................................................................................ 71

Page 6: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

iii

Komunitas Iman ...................................................................................................................... 73

BAB EMPAT: STRATEGI PEMBENTUKAN KARAKTER DALAM IBADAH KOMUNAL . 76

Menetapkan Strategi ........................................................................................................................ 77

Merencanakan Pembentukan Karakter dalam Ibadah Komunal ............................... 79

Menggunakan Empat Unsur dalam Ibadah Komunal secara Simultan ................... 80

Instruksi ...................................................................................................................................... 81

Simbol .......................................................................................................................................... 84

Ritual ............................................................................................................................................ 86

Komunitas Iman ...................................................................................................................... 87

Mengintegrasikan Keempat Unsur ........................................................................................... 89

BAB LIMA: KESIMPULAN ........................................................................................................................ 91

BIBLIOGRAFI ................................................................................................................................................. 94

Page 7: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

1

BAB SATU

PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Berdasarkan sejarah gereja, ada tiga sarana pokok pendidikan yang

digunakan oleh gereja mula-mula untuk membelajarkan umat. Robert R. Boehlke

mencatat bahwa ketiga sarana pokok itu adalah Sekolah Katekisasi, katekumenat,

dan ibadah.1 Ketiga sarana pokok untuk membelajarkan umat ini mulai digaungkan

sekitar abad ke-2 sampai awal abad ke-6. Sarana pokok ini terus dikembangkan

dengan tujuan mendidik dan membelajarkan umat, sehingga kehidupan umat dapat

dibentuk menuju keserupaan dengan Kristus.

Ketiga sarana pokok yang digunakan oleh gereja mula-mula tentu memiliki

keunikannya masing-masing, tetapi dengan tujuan yang sama yaitu membelajarkan

dan membentuk umat menuju keserupaan dengan Kristus. Sarana pertama yang

disebut Catechetical School atau Sekolah Katekisasi adalah tempat di mana orang

Kristen mendapatkan pendidikan guna mendalami dan mengembangkan pemikiran

Kristen. The Westminster Dictionary of Christian Education menjelaskan bahwa

Sekolah Katekisasi ini sebenarnya tidak pernah ditujukan untuk anak-anak

melainkan ditujukan untuk orang dewasa.2 Menurut Evangelical Dictionary of

Christian Education, tujuan awal berdirinya sekolah ini adalah untuk mengajar

1. Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen:

Dari Plato Sampai Ignatius Loyola (Jakarta: Gunung Mulia, 2015), 132. 2. Sister Marie Charles Dolan, Westminster Dictionary of Christian Education, ed. Kendig

Brubaker Cully (Philadelphia: The Westminster, 1952), s.v. “Catechetical School.”

Page 8: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

2

orang-orang percaya baru, tetapi di sisi lain sekolah ini juga kemudian menjadi

sekolah lanjut untuk mendapatkan pemahaman teologi yang lebih tinggi.3 Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa Sekolah Katekisasi ini merupakan institusi atau

pendidikan tinggi pertama yang didirikan dan dikelola di bawah naungan gereja, di

mana para uskup mengambil peran sebagai pengajar.4 Salah satu pengajarnya pada

waktu itu adalah Origen yang bertugas untuk memberikan pengetahuan mengenai

studi sistematik dan eksegesis Kitab Suci pada permulaan abad ke-3.5 Dalam

konteks sekarang, Sekolah Katekisasi ini dapat dikategorikan sebagai Sekolah

Alkitab atau Sekolah Teologi.

Sarana kedua adalah katekumenat atau yang saat ini disebut sebagai

katekisasi. Melalui sarana ini, umat “diberikan instruksi yang termuat dalam

Didache6 dan berbagai tulisan dari Justin Martyr dan Tertullian mengenai doktrin

dan moral beserta dengan penjelasan mengenai doa, puasa, dan menjaga diri dari

perbuatan jahat dengan terus membaca Alkitab dan melakukan instruksi yang

diberikan.”7 Berbagai muatan yang ada di dalam sarana kedua ini wajib didapatkan

oleh umat sebagai bentuk persiapan sebelum mengikuti sakramen baptisan. Selain

itu, umat juga mendapatkan berbagai instruksi dalam melaksanakan ibadah

sakramen komuni bersama dengan komunitas iman di hari Minggu. Memang pada

3. D. A. C. Mulholland, Evangelical Dictionary of Christian Education, ed. Michael J. Anthony

(Grand Rapids: Baker Academic, 2005), s.v. “Catechetical School of Alexandria.” 4. Dolan, Westminster Dictionary of Christian Education, s.v. “Catechetical School.” 5. B. L. Marthaler, Harper’s Encyclopedia of Religious Education, ed. Iris. V. Cully dan Kendig

Brubaker Cully (New York: Harper&Row, 1990), s.v. “Catechetical School.” 6. Menurut Larry D. Reinhart dalam Evangelical Dictionary of Christian Education, Didache

bagaikan buku petunjuk bagi gereja yang digunakan dalam memberikan pengajaran pada para calon baptisan. Lihat Larry D. Reinhart, Evangelical Dictionary of Christian Education, ed. Michael J. Anthony (Grand Rapids: Baker Academic, 2005), s.v. “Didache.”

7. T. P. Walters, Harper’s Encyclopedia of Religious Education, ed. Iris. V. Cully dan Kendig Brubaker Cully (New York: Harper&Row, 1990), s.v. “Catechumenate.”

Page 9: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

3

waktu itu umat harus mengikuti seleksi yang cukup ketat sebelum mereka

menerima baptisan dan bergabung di dalam persekutuan Kristen. Bukan tanpa

tujuan, seleksi yang ketat ini diberikan supaya umat sungguh mengalami

transformasi hidup dan menjadi murid Kristus yang sejati.

Sarana ketiga adalah ibadah raya atau ibadah komunal. Umat yang datang

untuk beribadah “diberikan pengalaman akan firman Allah, doa, penyembahan

kepada Allah, dan persekutuan dengan sesama orang percaya.”8 Pengalaman di

dalam beribadah kepada Allah didapatkan melalui partisipasi aktif umat. Menurut

Robert R. Pazmino, partisipasi aktif dari umat saat beribadah melibatkan berbagai

aspek dalam diri yang mengakibatkan umat dapat memiliki “wawasan baru tentang

Allah, dirinya sendiri, sesama komunitas, dan dunia, di mana wawasan ini mencakup

aspek kognitif, estetik, emosi, intuitif, kehendak, dan spiritualitas.”9 Senada dengan

Pazmino, Boehlke di dalam tulisannya juga mengatakan:

Dari warisan liturgi [ibadah] Yahudi, persekutuan Kristen menerima kebiasaan memuji Tuhan melalui doa yang mereka panjatkan dan mazmur-mazmur yang dinyanyikan bersama di samping keperluan agar jemaat dididik Firman yang dibaca, yaitu Kitab suci dengan penjelasannya… Di samping memperhadapkan para peserta dengan Sang Misteri yang Suci dan Pribadi [Allah], yang menimbulkan suatu perasaan dalam diri mereka sebagai persekutuan khusus, maka tata ibadah itu sengaja juga dirancang untuk membuat pengalaman pedagogis itu sungguh-sungguh meresap ke dalam keseluruhannya.10

Berdasarkan apa yang dikatakan Pazmino dan Boehlke, dapat dikatakan

bahwa pengalaman di dalam ibadah membuat umat mendapatkan pengenalan yang

8. Susan J. White, Encyclopedia of Christianity, ed. John Bowder (New York: Oxford University,

2005), s.v. “Worship.” 9. Robert R. Pazmino, Foundational Issues in Christian Education: an Introduction in

Evangelical Perspective (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 52. 10. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, 133-34.

Page 10: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

4

lebih mendalam tentang Allah, karena di dalam ibadah umat dapat berjumpa

dengan Allah dan perjumpaan itu memberi makna sehingga menjadi pembelajaran

yang membentuk iman, spiritualitas, dan karakter umat.

Hingga saat ini, ketiga sarana tersebut tetap dilangsungkan oleh gereja.

Banyak gereja yang sampai saat ini berupaya mendirikan sekolah katekisasi atau

sekolah teologi untuk mendidik umat Kristen yang ingin mendedikasikan dirinya

untuk menjadi pelayan Tuhan. Sarana katekisasi adalah sarana pendidikan umat

yang tidak bisa tidak dilakukan oleh gereja, sebab katekisasi adalah syarat mutlak

yang harus dipenuhi oleh umat sebelum menerima sakramen baptisan. Melalui

katekisasi, didikan dan berbagai pemahaman diberikan sehingga umat dapat belajar

tentang arti menjadi murid yang sesungguhnya dalam setiap aspek kehidupan.

Demikian halnya dengan ibadah komunal yang terus dijalankan oleh gereja hingga

saat ini, sebab ibadah komunal adalah identitas gereja. Tanpa ibadah, gereja tidak

dapat disebut sebagai gereja, sebab eksistensi gereja ditandai dari aktivitas ibadah

komunalnya.

Meskipun ketiga sarana tersebut terus diupayakan oleh gereja, ironisnya saat

ini ibadah komunal tidak lagi dipandang sebagai wadah pendidikan untuk

membelajarkan umat. Pada kenyataannya, ibadah komunal saat ini lebih

menekankan aspek pujian, penyembahan dan persekutuan sehingga ibadah

komunal tidak lagi dilihat sebagai sarana pembelajaran yang berdampak pada

pembentukan umat. Padahal, ibadah komunal memiliki kekuatan formatif yang

dapat mentransformasi kehidupan umat secara holistik. Sebagaimana yang

Page 11: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

5

dikatakan oleh John D. Witvliet bahwa “idealnya, ibadah komunal seharusnya

memuat fitur ekspresi dan formatif.”11

Para ahli seperti Clayton J. Schmit, D. A. Carson, Jeffrey A. Truscott, dan

Robert E. Webber mengatakan bahwa penekanan hanya pada satu atau dua aspek

dalam ibadah tidak terlepas dari simplifikasi dalam mendefinisikan ibadah

komunal.12 Sebagaimana Carson mengatakan bahwa permasalahan utama yang

ditemukan di dalam ibadah saat ini bukan pada peralihan “style” atau gaya ibadah,

melainkan pada pengertian tentang ibadah itu sendiri.13 Ibadah disederhanakan

artinya sebagai sebuah pertemuan untuk memberikan penyembahan dan

mengadakan persekutuan sebagai saudara seiman. Akibatnya, ibadah komunal

hanya dipahami sebagai aktivitas yang dikerjakan oleh umat, yang ditujukan kepada

Allah. Demikian halnya dengan Truscott yang mengatakan bahwa pengertian

semacam ini adalah sebuah persoalan karena “ibadah memberi kesan bahwa apa

yang terjadi dalam kebaktian Minggu adalah murni aktivitas kita [umat Kristen].”14

Tidak dapat dipungkiri, perubahan perspektif terhadap pendidikan yang

mengakibatkan orang-orang menjadi keliru dalam memahami pembelajaran juga

11. John D. Witvliet, pengantar pada What Language Shall I Borrow?: the Bible and Christian

Worship oleh Ronald P. Byars (Grand Rapids: William B. Eerdmands, 2008), xii. 12. Pernyataan para ahli dapat dilihat dalam tulisannya sebagai berikut. Clayton J. Schmit,

“Worship as a Locus for Transformation,” dalam Worship that Changes Lives: Multidisciplinary and Congregational Perspectives on Spiritual Transformation, ed. Alexis D. Abernethy (Grand Rapids: Baker Academic, 2008), 28; D. A. Carson, Worship: Adoration and Action (Eugene: Wipf and Stock Publishers, 2002), 13; Jeffrey A. Truscott, Worship: A Practical Guide (Singapore: Genesis Books, 2011), 7; dan Robert E. Webber, Ancient-Future Time: Forming Spirituality through Christian Year (Grand Rapids: Baker Books, 2004), 27-28. Memang dalam tulisannya, beberapa ahli tidak secara eksplisit mengatakan bahwa ibadah komunal telah mengalami simplifikasi definisi seperti yang dikatakan oleh D. A. Carson. Akan tetapi dari contoh kasus yang diberikan, dapat dilihat bahwa para ahli secara implisit mengakui dan membenarkan adanya simplifikasi dalam memahami definisi ibadah komunal.

13. Carson, Worship: Adoration and Action, 13. 14. Jeffrey A. Truscott, Worship: A Practical Guide (Singapore: Genesis Books, 2011), 7.

Page 12: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

6

menjadi salah satu faktor yang membuat pembelajaran dalam ibadah jadi tereduksi.

Debra Dean Murphy mengatakan bahwa saat ini “istilah pendidikan semakin

digolongkan ke dalam citra dan metafora ekonomi (sekolah sebagai tempat untuk

melakukan transaksi, guru sebagai manajer, pembelajar sebagai konsumer, dan

seterusnya).”15 Padahal, Jack L. Seymour mengatakan bahwa “pendidikan adalah

sebuah konteks untuk memfasilitasi pembelajaran.”16 Jika pendidikan disalah

mengerti sebagai pasar ekonomi, maka pendidikan tidak lain adalah konteks untuk

memfasilitasi sebuah transaksi. Oleh karena itu, pembelajaran dipahami tidak lebih

dari sebuah peristiwa transaksi, di mana para intelektualis berperan sebagai

pemberi informasi dan murid sebagai pembeli. Dengan pemahaman seperti ini, pada

akhirnya pembelajaran tidak lain hanyalah aktivitas transmisi konten berupa

informasi. Permasalahan dalam memahami terminasi pendidikan inilah yang

akhirnya memberikan pengaruh yang cukup masif dalam kekristenan, bahkan

membuat ibadah tidak dilihat sebagai sarana belajar.

James K. A. Smith secara terang-terangan membantah konteks pendidikan

yang seperti itu dengan mengatakan bahwa “pendidikan bukanlah sesuatu yang bisa

diperdagangkan terutama dalam ide-ide abstrak yang tidak berwujud.”17

Sebenarnya secara etimologi, pendidikan tidak pernah membatasi dirinya pada

transmisi pengetahuan atau pikiran. Berdasarkan Encyclopedia of Christianity,

“pendidikan berasal dari kata dalam bahasa Latin, yaitu educare, di mana kata ini

15. Debra Dean Murphy, Teaching that Transforms: Worship as the Heart of Christian

Education, dalam bagian prolog (Michigan: Brazos Press, 2004), 11. 16. Jack L. Seymour, Margaret Ann Crain, dan Joseph V. Crockett, Educating Christians: the

Intersection of Meaning, Learning, and Vocation (Nashville: Abingdon Press, 1993), 77. 17. James K. A. Smith, Desiring the Kingdom: Worship, Worldview, and Cultural Formation

(Grand Rapids: Baker Academic, 2009), 39.

Page 13: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

7

berkaitan dengan proses ‘memimpin orang ke luar’, yang artinya mengembangkan

tujuan seseorang secara penuh.”18 Dari etimologi ini, dapat dipahami bahwa tujuan

dari pendidikan adalah membawa orang untuk bergerak, di mana pergerakan itu

menghasilkan perubahan untuk mencapai tujuannya. Jika dikatakan pendidikan

Kristen, itu berarti membawa orang-orang ke luar dari keberdosaannya kepada

terang keselamatan yang Allah anugerahkan melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Jadi

esensi utama dari pendidikan Kristen adalah membawa orang ke luar dari

kegelapan dosa menuju terang Allah.

Dalam ruang lingkupnya, pendidikan Kristen tidak pernah terbatas pada

lingkungan sekolah atau pun di dalam kelas. Salah satu penulis buku tentang filosofi

pendidikan Kristen, Jeff Astley, mengatakan bahwa “ada beberapa kategori aktivitas

manusia yang sulit untuk tidak terlihat di mana pun, dan salah satunya adalah

pembelajaran.”19 Oleh karena itu, jika pendidikan Kristen hanya dibatasi pada satu

ruang lingkup saja maka pembelajaran juga akan terbatas pada satu lingkungan saja,

mengingat pembelajaran terjadi di dalam konteks pendidikan Kristen. 20

Sebagaimana yang dikatakan oleh Michael J. Anthony:

Pendidikan Kristen tidak dibatasi kepada satu lingkungan pembelajaran saja, dan semua lingkungan pembelajaran dapat berkontribusi pada pertumbuhan spiritual setiap individu jika saja setiap lingkungan pembelajaran digunakan dengan intensional untuk menuntun seseorang kepada Kristus. 21

18. Ian H. Birnie, Encyclopedia of Christianity, ed. John Bowder (New York: Oxford University,

2005) s.v. “Education.” 19. Jeff Astley, The Philosophy of Christian Religious Education (Birmingham: Religious

Education Press, 1994), 11. 20. Sebagaimana yang dikatakan oleh Seymour, Crain, dan Crockett, dalam Educating

Christians, 77. 21. James R. Estep Jr., Michael J. Anthony, dan Gregg R. Allison, A Theology for Christian

Education (Nashville: B&H Publishing, 2010), 18.

Page 14: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

8

Jika pembelajaran adalah aktivitas manusia yang tidak terbatas pada satu

lingkungan saja, seharusnya pembelajaran adalah aktivitas yang tampak jelas di

dalam ibadah komunal. Pembelajaran yang terjadi di dalam ibadah komunal

sesungguhnya dapat digunakan secara intensional untuk membentuk seluruh aspek

kehidupan umat, baik itu aspek iman, spiritualitas, maupun membentuk karakter

umat menuju keserupaan dengan Kristus.

Pembelajaran yang membentuk karakter sesungguhnya tidak boleh hanya

sampai pada tahap transmisi informasi saja. Penekanan terhadap aspek kognitif saja

tidak dapat sepenuhnya menjamin terjadinya perubahan dalam kehidupan umat.

Pembelajaran yang sesungguhnya seharusnya dapat menghubungkan antara

pengetahuan dengan tindakan. Jika korelasi antara pengetahuan dan tindakan tidak

dapat terjadi dalam pembelajaran maka pembentukan karakter tidak dapat terjadi.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengalami pembelajaran, seharusnya seluruh

entitas atau aspek hidupnya sebagai pribadi juga ikut terlibat di dalam

pembelajaran itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Martha M. Leypoldt:

Ketika seseorang telah belajar, dia adalah seseorang yang telah diubahkan: dia ditransformasi. Ketika pembelajaran terjadi, kita mengubah keseluruhan pribadi kita. Kita tidak terbagi-bagi ke dalam entitas fisik, mental, emosional, psikologikal, dan spiritual: kita adalah seorang pribadi dengan berbagai aspek kehidupan. 22

Pembelajaran yang melibatkan seluruh aspek kehidupan sesungguhnya

dapat terlihat di dalam ibadah komunal. Oleh karena itu, pembelajaran yang terjadi

dalam ibadah komunal yang dilakukan oleh umat Kristen sudah seharusnya dapat

22. Martha M. Leypoldt, Learning is Change: Adult Education in the Church (Valley Forge:

Judson Press, 1971), 27.

Page 15: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

9

membentuk karakter umat, karena proses pembentukan karakter juga melibatkan

seluruh aspek kehidupan umat.

Terdapat tiga aspek yang dilibatkan dalam pembentukan karakter, yaitu

aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui pembelajaran dalam ibadah

komunal, ketiga aspek tersebut dapat mengalami pembentukan karena

pembelajaran itu sendiri melibatkan aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek

psikomotorik. Pembelajaran yang melibatkan aspek kehidupan manusia secara

holistik dapat ditemukan dalam setiap komponen yang ada dalam ibadah komunal.

Melalui pembelajaran untuk pembentukan karakter yang terdapat dalam setiap

komponen ibadah komunal, transformasi hidup yang holistik niscaya terjadi karena

melibatkan entitas pribadi secara holistik.

Sebagai institusi yang dipanggil untuk berpartisipasi di dalam transformasi

hidup setiap umat Kristen, sudah sepatutnya bagi gereja untuk mengupayakan

pembentukan karakter umat. Gereja harus menyadari keberadaan umat sebagai

pribadi yang membutuhkan transformasi hidup yang holistik. Umat Kristen

bukanlah tong tidak berisi yang datang hanya untuk diisi dengan berbagai

informasi. Jika pembelajaran yang holistik tidak terjadi, umat tidak akan mengalami

perubahan atau transformasi di dalam hidupnya. Oleh karena itu, gereja sebagai

mitra kerja Allah di dunia harus memiliki pemahaman akan konsep ibadah sebagai

sarana pembelajaran yang dapat membentuk karakter umat Kristen.

Jika gereja sungguh-sungguh menghendaki transformasi yang holistik dalam

kehidupan umat Kristen maka seharusnya konsep itu tidak berhenti pada

Page 16: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

10

pemahaman saja. Gereja juga harus mengerti bagaimana merealisasikan konsep

tersebut melalui desain ibadah yang dibuat secara intensional.

Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas,

rumusan permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan ini adalah:

1. Pendidikan Kristen di dalam sejarah gereja menggunakan tiga wadah

pokok untuk membelajarkan jemaat, yaitu sekolah katekisasi,

katekumenat, dan ibadah komunal. Namun saat ini ibadah komunal tidak

lagi dilihat sebagai sarana pembelajaran karena penyederhanaan ibadah

komunal hanya sebagai penyembahan dan persekutuan. Oleh karena itu,

dibutuhkan penjelasan mengenai ibadah secara teologis dan historis

sehingga ibadah dapat dilihat sebagai sarana pembelajaran bagi umat.

2. Jika ibadah komunal tidak dilihat sebagai sarana pembelajaran maka

ibadah komunal yang dilakukan tidak akan secara optimal memberikan

dampak kepada pembentukan umat, termasuk pembentukan karakter.

Padahal, sebenarnya terdapat unsur-unsur yang menyokong

pembelajaran di dalam ibadah komunal, di mana pembelajaran itu

memiliki korelasi dengan pembentukan karakter. Oleh karena itu,

dibutuhkan penjelasan tentang pembentukan karakter dan bagaimana

pembentukan karakter umat dapat terjadi melalui setiap unsur dalam

ibadah komunal.

Page 17: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

11

3. Jika pembentukan karakter dapat terjadi melalui setiap unsur yang

terdapat dalam ibadah komunal, seharusnya gereja dapat mendesain

secara intensional setiap unsur itu sebagai sarana pembentukan karakter.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dalam mendesain setiap unsur

sehingga pembentukan karakter umat dapat terjadi dalam ibadah

komunal.

Tujuan Penulisan

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Menjelaskan secara teologis dan historis apa yang dimaksud dengan ibadah

sebagai sarana pembelajaran.

2. Menjelaskan tentang pembentukan karakter dan bagaimana pembelajaran

melalui setiap unsur dalam ibadah komunal dapat mempengaruhi

pembentukan karakter.

3. Mengusulkan strategi dalam menggunakan setiap unsur dalam ibadah

komunal sehingga gereja dapat secara intensional mendesain ibadah

komunal yang membelajarkan untuk membentuk karakter umat.

Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan

metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif merupakan metode yang

digunakan untuk meninjau fenomena yang sedang terjadi di sekitar manusia.

Page 18: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

12

Tinjauan terhadap fenomena yang sedang terjadi dilakukan dengan cara mengkaji

berbagai studi dan kumpulan berbagai jenis materi yang bersifat empiris. Hasil

penelitan tersebut kemudian disajikan dalam rincian persoalan secara naratif.23

Oleh karena itu, untuk menjawab fenomena yang sedang terjadi, penulisan ini

dilakukan berdasarkan studi terhadap berbagai literatur seperti buku dan jurnal,

sumber di internet, dan berbagai sumber lain yang berkaitan dengan variabel judul

tulisan ini.

Pembatasan Penulisan

Penulisan skripsi ini berfokus pada penjelasan bahwa ibadah komunal dapat

menjadi sarana pembelajaran yang dapat membentuk karakter umat Kristen.

Ibadah komunal yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah ibadah komunal yang

dilakukan setiap hari Minggu oleh gereja di kalangan gereja Protestan Injili.

Umumnya, ibadah komunal dapat diikuti oleh siapa saja dan dari latar belakang

mana saja. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan membahas tentang bagaimana cara

belajar seseorang secara spesifik yang berdasarkan usia atau latar belakang

tertentu. Proses pembelajaran yang dipaparkan dalam tulisan ini adalah proses

pembelajaran yang terjadi secara umum.

22. Septiawan Santana K., Menulis Ilmiah: Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Pustaka

Obor, 2010), 5 dan 46.

Page 19: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

13

Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam tulisan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan

pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan, pokok permasalahan,

tujuan penulisan, pembatasan penulisan, dan sistematika penulisan. Pada bab

kedua, penulis akan menjelaskan konsep ibadah secara teologis dan historis untuk

dapat memahami ibadah sebagai wadah pembelajaran umat. Pada bab ketiga,

penulis akan menjelaskan bagaimana pembentukan karakter dapat terjadi melalui

setiap unsur yang terdapat dalam ibadah komunal. Pada bab keempat, penulis akan

mengusulkan strategi dalam menggunakan setiap unsur yang ada dalam ibadah

komunal sehingga gereja dapat secara intensional mendesain ibadah yang

membelajarkan untuk membentuk karakter umat. Pada bab kelima penulis akan

memberikan kesimpulan dan refleksi dari seluruh tulisan ini.

Page 20: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

14

BAB DUA

IBADAH KOMUNAL DAN PEMBELAJARAN

Ibadah komunal tidak hanya menjadi ruang perjumpaan Allah dengan umat

di mana umat hanya menyatakan pujian dan penyembahan, tetapi juga menjadi

ruang untuk umat dapat mengalami pembelajaran yang dapat mentransformasi

hidup. Akan tetapi, simplifikasi1 di dalam memahami ibadah komunal

mengakibatkan tidak dilihatnya ibadah komunal sebagai sarana pembelajaran. Pada

bab dua ini, penulis terlebih dahulu akan memberikan penjelasan singkat tentang

definisi ibadah komunal. Selanjutnya, penulis akan memperlihatkan perjalanan

praktik ibadah komunal yang terbentang di sepanjang sejarah. Penjelasan

perjalanan ibadah komunal ini dimulai dari ibadah komunal yang dilakukan oleh

bangsa Israel di dalam Perjanjian Lama, dilanjutkan dengan ibadah komunal yang

dilakukan dalam Perjanjian Baru. Penulis tidak akan membahas mengenai ibadah

yang dilakukan sebelum dipanggilnya bangsa Israel ke luar dari Mesir karena

ibadah yang dilakukan pada masa patriark itu tergolong ibadah secara personal.2

Setelah mengupas secara historis, selanjutnya penulis akan memaparkan

bagaimana ibadah komunal secara teologis telah menjadi lokus transformasi umat

secara holistik sejak awal terbentuknya ibadah komunal itu. Sebagai lokus

transformasi, ibadah komunal tentu melibatkan proses pembelajaran di dalamnya.

Oleh karena itu, penulis juga akan melakukan tinjauan terhadap pembelajaran di

1. Simplifikasi dalam hal ini telah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya. Penjelasan

tersebut dapat dilihat pada halaman 4-5. 2. Harold Henry Rowley, Worship in Ancient Israel: Its Forms and Meaning (Eugene: Wipf and

Stock, 1967), 37.

Page 21: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

91

BAB LIMA

KESIMPULAN

Setelah melakukan penelusuran mengenai pembentukan karakter dalam

ibadah komunal, dapat disimpulkan bahwa ibadah komunal adalah sarana

perjumpaan Allah dengan umat yang dipanggil-Nya, di mana dalam perjumpaan itu

Allah mentransformasi kehidupan umat melalui pembelajaran yang ada di

dalamnya. Transformasi di dalam ibadah komunal terjadi melalui setiap

pembelajaran yang ada di dalamnya. Pembelajaran itu terjadi melalui setiap unsur-

unsur yang terdapat dalam ibadah komunal, yaitu instruksi, simbol, ritual, dan

komunitas iman.

Pembelajaran di dalam ibadah komunal yang melibatkan seluruh aspek

kehidupan umat, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik terkait erat dengan

pembentukan karakter. Hal ini dikarenakan proses pembentukan karakter juga

melibatkan ketiga aspek yang ada dalam pembelajaran. Oleh karena itu, sebenarnya

pembentukan karakter dapat terjadi melalui pembelajaran dalam ibadah komunal,

di mana proses pembentukan karakter dapat terjadi melalui unsur instruksi, simbol,

ritual, dan komunitas iman.

Unsur instruksi dalam ibadah komunal sesungguhnya dapat mempengaruhi

kognitif umat sehingga umat dapat memiliki pemahaman akan keutamaan yang

akan membentuk karakter. Unsur simbol dapat membawa umat kepada

penghayatan makna sehingga keutamaan yang telah dipahami dapat menjadi nilai-

nilai. Unsur ritual menjadi ruang bagi umat untuk melakukan disiplin diri atau

Page 22: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

92

penerapan nilai-nilai secara konkrit dan secara konsisten sehingga menjadi sebuah

kebiasaan yang akan tercermin dalam karakternya. Karakter itu kemudian

dicerminkan kepada komunitas iman yang hadir bersama dengan umat dalam

ibadah komunal yang dilakukan. Komunitas iman sebagai bagian wadah bagi umat

untuk saling mendukung dalam pembentukan karakter dan dalam mencerminkan

karakter yang dibentuk.

Melihat bahwa pembentukan karakter sesungguhnya dapat terjadi dalam

ibadah komunal seharusnya membuat gereja tidak berdiam diri. Pembentukan

karakter sejatinya harus diupayakan dalam kehidupan umat Kristen, dan gereja

memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Gereja dapat mengupayakan pembentukan

karakter tidak hanya melalui seminar atau pembinaan yang hanya menyentuh ranah

kognitif dan bahkan sering kali tidak terjadi secara konsisten dan berkala, tetapi

juga melalui ibadah komunal. Oleh karena itu, gereja seharusnya memulai untuk

mendesain pembentukan karakter dalam ibadah komunal dan menerapkannya.

Dalam membuat desain ibadah komunal yang memang ditujukan untuk

membentuk karakter umat, gereja harus memperhatikan dengan baik prinsip-

prinsip yang ada sebagai strategi untuk membentuk karakter umat. prinsip itu

mencakup merencanakannya dengan sungguh-sungguh, menggunakan keempat

unsur ibadah komunal dalam perencanaan desain ibadah, dan memperhatikan

integrasi setiap unsur dengan aspek-aspek kehidupan umat. Selain itu, gereja juga

harus mengingat bahwa fokus gereja seharusnya tidak hanya pada style ibadah,

melainkan kepada hal yang lebih esensial dalam ibadah komunal. Gereja harus

melihat apakah ibadah komunal yang diadakan itu sungguh-sungguh direncanakan

Page 23: SEKOLAH TINGGI TEOLOGI AMANAT AGUNG IBADAH KOMUNAL …

93

dan didesain untuk membentuk karakter umat dalam upaya mentransformasi

kehidupan umat.