SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH …elib.stikesmuhgombong.ac.id/285/1/ARIN DWI ISMAWATI...
Transcript of SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH …elib.stikesmuhgombong.ac.id/285/1/ARIN DWI ISMAWATI...
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
PADA Tn. S DI RUANG DAHLIA RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Arin Dwi Ismawati
A01301727
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
PADA Tn. SDI RUANG DAHLIA RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Ujian Komprehensif
Jenjang Pendidikan Diploma III Keperawatan
Disusun Oleh :
Arin Dwi Ismawati
A01301727
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
2016
Program Studi DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Agustus 2016
Arin Dwi Ismawati1, Bambang Utoyo2, M.Kep. Ns
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
PADA Tn. S DI RUANG DAHLIA RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
Latar belakang karya tulis ilmiah ini berdasarkan data yang diperoleh dari (Riskesdas) di
Indonesia khususnya Yogyakarta tahun 2013, prevalensi anemia gizi besi secara nasional pada
remaja usia 13-18 tahun sebesar 22,7%.
Tujuan penulisan karya tulis pada Tn. S di ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen
ditemukan masalah keperawatan yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan gaya hidup monoton, intoleran aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, defisiensi
pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan. Intervensi dan implementasi yang dilakukan oleh penulis pada masalah keperawatan yaitu
memberikan terapi antibiotik, memberikan transfusi darah PRC, memeriksa vital sign,
mengobservasi adanya pembatasan aktivitas, mengobservasi adanya pembatasan aktivitas, melatih
klien makan sendiri, membantu klien ke kamar mandi, mengkaji pengetahuan klien dan keluarga
tentang penyakit yang dideritaklien,
Hasil evaluasi yang dilakukan 3 diagnosa keperawatan 1 diagnosa yang belum teratasi adalah
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gaya hidup monoton.
Kata kunci : Asuhan Keperawatan, Perfusi jaringan, anemia, transfusi packed blood cell
1. Mahasiswa Diploma III Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah, Gombong
2. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhamadiyah, Gombong
Studi Program D III of Nursng
Muhammadiyah Health Scriences Gombong
KTI, 2 August 2016
Arin Dwi Ismawati1, Bambang Utoyo2, M.Kep.Ns
ABSTRACT
NURSING CARE OF FULFILLING OXYGENATION
Mr. S IN THE DAHLIA Hospital Dr. Sudirman KEBUMEN
Background : Data obtained from (Riskesdas) in Indonesia, especially Yogyakarta in 2013, the
prevalence of iron deficiency anemia nationally in adolescents aged 13-18 years at 22.7%.
Objective : to describe nursing care on Mr. S in Dahlia Ward, Dr. Sudirman Hospital Kebumen.
Discussion : The nursing diagnoses were ineffective peripheral tissue perfusion associated with
monotonous lifestyle, activity intolerance related to general weakness, deficiency of knowledge
associated with less exposure.
Intervention and implementation conducted by the authors on nursing problems which give
antibiotic therapy, give a blood transfusion PRC, checking vital signs, Observing their activity
limitation, observe their activity limitation, train clients to eat their own, helping the client to the
bathroom, assess the client's knowledge and family about the illness client.
Results : the evaluations of nursing diagnoses three day one diagnosis unresolved is ineffective
peripheral tissue perfusion associated with monotonous lifestyle.
Keywords: Nursing, tissue perfusion, anemia, transfusion of packed blood cell
1. Student of Diploma III of Nursing Program Muhammadiyah Science Institue of Gombong
2. Lecturer of Diploma III of Nursing Program Muhammadiyah Science Institue of Gombong
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan komprehensif denganjudul “ ASUHAN
KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA Tn. S
DI RUANG DAHLIA RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN” Adapun maksud
penulis membuat laporan ini adalah untuk melaporkan hasil ujian komprehensif
dalam rangka ujian tahap akhir jenjang pendidikan Diploma III Keperawatan
STIKES Muhammadiyah Gombong.
Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak menemui hambatan namun berkat
bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, alhamdulilah penulis
akhirnya dapat menyelesaikan laporan ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak M. Madkhan Anis, S.Kep.Ns selaku ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
2. Bapak Sawiji, S.Kep.,Ns.,M.Sc selaku ketua prodi DIII Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong.
3. Bapak Bambang Utoyo, M.Kep.,Ns selaku dosen pembimbing penulisan karya
ilmiah komprehensif yang telah susah payah mendidik penulis.
3. Bapak Saryono ( alm ), Bapak H. Saliman dan Ibu Yatminah yang paling aku
cintai dan sayangi yang selalu memberikan do’a dan kasih sayang sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
4. Kakakku Pujo Laksono, Yuli Purwanti dan segenap keluarga tercinta yang telah
memberikan doa, semangat, dan kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.
5. Sahabatku Arofah Mukaromah dan Haqiqi Almira yang tak pernah henti
memberiku semangat, nasehat, sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan
ini.
6. Teman-teman seperjuangan Alfi Mufidah, Alifatun Khasanah, Desi Irawati,
Dessi Anisa Nurmala, Esti Dwi Fitriasih, Elly Rahayu Susanti, Fitroh Anggraini,
Annisa Shohwatul Islam terimakasih atas bantuan dan doa kita semua sehingga
kita dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan saran sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Laporan Hasil Uji Komprehensif ini masih
jauh dari kesempurnaan baik dari segi bentuk mupun isinya. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan
dan penyempurnaan laporan ini.
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Gombong, 2 Agustus 2016
Arin Dwi Ismawati
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Mubarok ( 2008 ) mengatakan kebutuhan dasar manusia paling penting dalam
kehidupan manusia. Dalam tubuh oksigen sangat penting dalam proses
metabolisme sel. Kekurangan oksigen menyebabkan dampak yang sangat
mempengaruhi dalam tubuh kita, jaringan seperti otak dan jantung tidak dapat
bertahan lama tanpa adanya suplai oksigen. Maka dari itu berbagai upaya perlu
dilakukan untuk menjamin agar kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan baik.
Masalah yang muncul pada gangguan oksigenasi mengacu pada
frekuensi,volume,irama,dan usaha pernapasan.pola napas yang normal ditandai
dengan pernapasan yang tenang,berirama,tanpa usaha. Perubahan yang sering
terjadi sebagai berikut : Hipoksia merupakan kondisi tidak tercukupinya
pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh akibat defisiensi oksigen atau
peningkatan penggunaan oksigen di sel, sehingga dapat memunculkan tanda
seperti kulit kebiruan (sianosis), Takipnea merupakan pernapasan dengan
frekuensi lebih dari 24kali per menit. Bradipnea, merupakan pola pernapasan yang
lambat abnormal, ±10 kali per menit. Pola ini dapat ditemukan dalam
keadaan peningkatan tekanan intracranial yang di sertai narkotik atau sedatif,
Hiperventilasi merupakan cara tubuh mengompensasi metabolisme tubuh yang
melampau tinggi dengan pernapasan lebih cepat dan dalam, sehingga terjadi
peningkatan jumlah oksigen dalam paru-paru. Proses ini ditandai adanya
peningkatan denyut nadi, napas pendek, adanya nyeri dada, menurunnya
konsentrasi CO2 dan lain-lain, Hipoventilasi merupakan upaya tubuh untuk
mengeluarkankarbondioksida dengan cukup pada saat ventilasi alveolar,
sertatidak cukupnya jumlah udara yang memasuki alveoli dalam penggunaan oksigen,
Dispnea merupakan sesak dan berat saat pernapasan. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan
kadar gas dalam darah/jaringan, kerja berat/berlebihan, dan pengaruh psikis, Ortopnea
merupakan kesulitan bernapas kecuali pada posisi duduk atau berdiri dan pola ini
sering ditemukan pada seseorang yang mengalami kongesif paru-paru, Pernapasan
2
paradoksial merupakan pernapasan dimana dinding paru-paru bergerak
berlawanan arah dari keadaan normal. Stridor merupakan pernapasan bising yang
terjadi karena penyempitan pada saluran pernapasan. Pada umumnya
ditmukan pada kasus spasme trachea atau obstruksi laring.
Prevalensi anemia dalam penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kota Yogyakarta (Dinkes YK) bersama Fakultas Kedokteran UGM tahun 2013
kepada 280 remaja putri didapatkan hasil sekitar 34 % remaja putri di daerah
Yogyakarta mengidap anemia. Sedangkan di Kabupaten Bantul prevalensi anemia
masih tinggi yaitu 25,7% tahun 2010, tahun 2011 sebesar 25,6%, dan tahun 2012
sebesar 28,67%. Data terakhir tahun 2013 angka anemia sebesar 27,67% (Dinkes
Kabupaten Bantul, 2013).
Hal ini disebabkan banyak terjadi kesalah pahaman mengenai diet di kalangan
remaja (Pemerintah Kota Jogja, 2013). Data terbaru menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia gizi besi secara nasional pada
remaja usia 13-18 tahun sebesar 22,7%. Data-data tersebut mengindikasikan
bahwa anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, khususnya
di Yogyakarta.
Gangguan Perfusi jaringan menurut Herdman, 2015 Perfusi Jaringan adalah
penurunan sirkulasi darah ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan.
Dampak dari gangguan perfusi jaringan dapat menyebabkan nafas pendek,
cepat capek saat beristirahat yang disebabkan karena oksigen berkurang, lemah,
syok, pusing, pucat karena kekurangan volume darah dan hb, angina, telinga
berdengung, mata berkunang-kunang.
Penyebab masalah perfusi jaringan diantaranya karena dalam tubuh kita
oksigen berperan sangat penting dalam proes metabolisme sel. Kekurangan
oksigen menyebabkan damapk yang sangat berpengaruh dalam tubuh kita,
jaringan seperti otak dan jantung tidak dapat bertahan lama tanpa adanya oksigen.
Hb atau sel darah merah adalah senyawa protein pembawa oksigen dalam sel
darah merah, sel darah merah yang membawa oksigen ke paru paru dan ke seluruh
3
sel sel dalam tubuh kita, jika oksigen dalam tubuh kita berkurang maka dapat
menyebabkan perfusi jaringan.
Penanganan yang dapat dilakukan pada gangguan perfusi jaringan diantaranya
dengan diberikan terapi antibiotik untuk mencegah infeksi, suplemen asam folat
untuk merangsang pembentukan sel darah merah, diberikan transfusi darah,
pemeriksaan penunjang kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian
sel darah putih, kadar Fe, vitamin B12, trombosit.
Packed red cells merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah
dipekatkan dengan memisahkan komponen yang lain, pemberian transfusi PRC
merupakan mayoritas dari seluruh pemenuhan kebutuhan darah transfusi.
Selama penyimpanan red blood cells (RBC) mengalami akumulasi kompleks
dan progresif yaitu perubahan fisikokimia, yang disebut sebagai lesi
penyimpanan. Beberapa studi menyebutkan bahwa RBC simpan lebih buruk
dibandingkan dengan RBC segar (Sparrow, 2012).
Penyimpanan PRC pada kondisi hipotermia memperlambat metabolisme sel
karena suhu berkurang, sehingga terjadi pengurangan kadar reaksi biokimia dan
akumulasi produk limbah, memungkinkan pengawetan secara in vitro selama
beberapa minggu. Larutan pengawet menyediakan komponen yang diperlukan
untuk sel-sel antara lain gizi, bufer untuk mempertahankan pH, dan sumber energi
metabolisme untuk meningkatkan kelangsungan hidup RBC selama penyimpanan
hipotermia. 2,3 diphσspho glycerate (2,3 DPG) sangat penting untuk menjaga
pengiriman oksigen ke jaringan, semakin tinggi konsentrasi 2,3 DPG, semakin
baik oksigenasi dan kondisi pH harus di atas 7,0 untuk glikolisis optimal (Bruger,
2011).
Dari data-data tersebut penulis tertarik untuk memberikan asuhan keperawatan
dangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD
Dr. Soedirman Kebumen serta penerapan tindakan inovasi keperawatan
pemberian Transfusi packed red cells (PRC) segar, diharapkan supaya dapat
membantu meningkatkan kebutuhan oksigenasi pasien, sehimgga kan
mempercepat penyembuhan pasien.
4
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mendeskripsikan Asuhan Keperawatan Pemenuhan
Kebutuhan Oksigenasi pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman
Kebumen.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan asuhan keperawatan yang
diberikan pada klien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengkajian kebutuhan oksigenasi pada Tn. S
di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
b. Mahasiswa mampu mendeskripsikan data kebutuhan oksigenasi pada Tn. S di
Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
c. Mahasiswa mampu mendeskripsikan diagnosa keperawatan kebutuhan oksigenasi
pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
d. Mahasiswa mampu mendeskripsikan intervensi keperawatan kebutuhan
oksigenasi pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
e. Mahasiswa mampu mendeskripsikan implementasi keperawatan kebutuhan
oksigenasi pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
f. Mahasiswa mampu mendeskripsikan evaluasi keperawatan kebutuhan oksigenasi
pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen.
g. Mahasiswa mampu mendeskripsikan analisis inovasi tindakan keperawatan
kebutuhan oksigenasi pada Tn. S di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman
Kebumen.
5
C. Manfaat Penulisan
Dari laporan hasil ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
terkait, antara lain :
a. Manfaat Keilmuan
Dapat memberikan referensi serta menambah pengetahuan tentang asuhan
keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi .
b. Manfaat Aplikatif
a. Hasil laporan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tindakan
keperawatan apa yang tepat untuk kita lakukan pda klien yang mengalami
gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi.
b. Hasil laporan ini diharapkan akan memberikan masukan kepada rumah sakit,
agar dapat memberikan tindakan keperawatan yang tepat terhadap pasien yang
mengalami gangguan pemenuhan oksigenasi.
c. Hasil laporan ini diharpkan akan menjadi masukan bagi akademis dalam rangka
merumuskan tindakan keperawatan yang berkaitan dengan kondisi kllien yang
mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi.
d. Hasil laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat supaya
masyarakat mampu melakukan perawatan dirumah terhadap pasien yang
mengalami gangguan pemenuhan oksigenasi.
6
DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. ( 2009 ). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Bakta, I made. ( 2003 ). Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit buku
Kedokteran. Jakarta : EGC
Bruner & Suddarth. (2009). Penyakit Anemia . Jakarta : EGC.
Dharma, R, Immanuel, S dan R, Wirawan. ( 2007 ). Penilaian Hasil Pemeriksaan
Hematologi Rutin, (Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran).
Flatt. ( 2014 ). Hematologi dan Transfusi. Jakarta : EGC.
Harrison, Tinsley Randolph. ( 2005 ). Principles of Internal Medicine-16th
ed.
( America : McGraw-Hill Companies, Inc )
Herdman. Heater. ( 2012 ). Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Herdman. Heater. ( 2015 ). Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta : EGC.
Mahanani, Dwi Asih. ( 2002 ). Kapita Selekta Hematologi-Edisi 4 (Hal 7-8).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif dkk. (2001).Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI.
Mubarok, Wahid Iqbal. ( 2008 ). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia, Teori &
Aplikasi. Jakarta.
Murwani. ( 2009 ). Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Mitra Cendikia : Yogyakarta, cetakan kedua, Maret 2009
Riswantoon, ( 2009 ). Laju Endap Darah.
http://labkesehatan/2009/12/laju-endap-darah. Accesed 28 Juni 2009
Santosa, Budi. ( 2007 ). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005- 2007.
Prima Medika : Jakarta.
Seeber P, Shander A.(2007). Basic of blood management. Blackwell publishing.
Australia.
Setiati dan Roosheroe (2007) Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Solichul Hadi, S. ( 2001). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Rutin
Sederhana. ( Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Airlangga
Surabaya).
Tamsuri, A. ( 2008 ). Klien Gangguan Pernafasan : Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta : EGC
Wilkinson M.Judith. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Yatim, faisal., Dr. (2003). Talasemia Leukimia dan Anemia. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI ANEMIA
DI RUANG DAHLIA
RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
DISUSUN OLEH :
ARIN DWI ISMAWATI
A01301727
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Jenis Kegiatan : Pendidikan kesehatan
Pokok Bahasan : Anemia
Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian Anemia
2. Gejala Anemia
3. Penyebab Anemia
4. Pencegahan Anemia
5. Diit Anemia
Hari/ Tanggal : Rabu, 1 Juni 2016
Waktu : 09.00 WIB
Penyaji : Arin Dwi Ismawati
Sasaran : Tn. S dan keluarga
A. TUJUAN
Tujuan Insktruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti penyuluhan ini diharapkan sasaran penyuluhan dapat memahami
tentangapa itu anemia
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan pengertian anemia.
2. Menyebutkan gejala anemia.
3. Menyebutkan penyebab anemia.
4. Menyebutkan Pencegahan Anemia
5. Menyebutkan Diit Anemia
B. LAMPIRAN
Terlampir
C METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
D. MEDIA
1. Lembar balik
2. SAP
3. Leaflet
E. PELAKSANAAN KEGIATAN/ PENYULUHAN
NO WAKTU TAHAP KEGIATAN KEGIATAN PENYULUH KEGIATAN SASARAN
1 5 menit Pembukaan 1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menyampaikan tujuan
4. Kontrak waktu
pelaksanaan
1. Menjawab salam
2. Memperhatikan
penyuluh
3. Mendengarkan
penyuluh
4. Menyetujui waktu
pelaksanaan
2 15 menit Kegiatan Inti 1. Menggali kemampuan
sasaran tentang materi
yang diberiakan
2. Menjelaskan mengenai
pengertian, penyebab,
gejala, pencegahan, dan
diit anemia.
3. Memberi kesempatan
pada klien untuk bertanya
4 Memberikan
pertanyaan kepada sasaran
1. Menyampaikan
pengetahuannya tentang
materi penyuluhan
2. Mendengarkan
dan memperhatikan
penyuluh
3. Bertanya tentang materi
yang diberikan
4. Menjawab pertanyaan
tentang materi yang diberi.
3 5 menit Penutup 1. Menyimpulkan dan
mengklarifikasi tentang
meteri penyuluhan yang
diberikan
2. Menutup acara dan
membuat kesimpulan dari
materi yang diberikan
1.Sasaran mende-
ngarkan kesimpulan.
2. Mendengarkan
penyuluh dan
mengucapkan salam
F. Evaluasi
Evaluasi diberikan melalui pertanyaan terbuka. Dengan pertanyanaan sebagai berikut:
- Sebutkan pengertian dari anemia?
- Sebutkan gejala anemia ?
- Sebutkan penyebab anemia ?
- Menyebutkan Pencegahan Anemia
- Menyebutkan Diit Anemia
MATERI PENYULUHAN ANEMIA
A. PENGERTIAN ANEMIA
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau jumlah hematokrit lebih rendah
dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb <14 g/dl dan Ht <41% pada pria atau Hb
<12 g/dl dan Ht <37% pada wanita.
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya jumlah sel darah merah, kadar Hb dan
hematokrit dibawah normal.
B. PENYEBAB ANEMIA
1. diet yang tidak mencukupi
2. kebutuhan yang meningkat pada kehamilan
3. pendarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah, gizi
4. hemoglobinuria
5. penyimpanan gizi kurang
6. kegagalan sumsung tulang belakang dalam memproduksi darah merah
C. TANDA GEJALA
1. Cepat lelah
2. Lemah
3. Letih
4. Lesu
5. Lunglai
6. Pucat
7. gelisah
G. PENCEGAHAN ANEMIA
Beberapa jenis anemia dapat dicegah dan tergantung dari penyebab anemia itu sendiri.
Seperti yang disebabkan karena diet yang salah dan sembarangan. Untuk pencegahan anemia
dengan sebab kesalahan dalam diet anda dapat mengkonsumsi atau diet dengan memastikan
makanan yang anda makan mengandung zat besi.
H.DIITANEMIA
Daftar makanan yang kaya akan zat besi
· Hati dan daging
· Makanan laut
· Buah-Buahan yang dikeringkan seperti buah aprikot, buah prem dan kismis.
· Kacang-kacangan
· Buncis (lima buncis)
· Sayuran hijau seperti bayam dan brokoli
· Semua jenis padi-padian
· Roti atau sereal yagn mengandung zat besi
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI.
Yatim, faisal., Dr. 2003. Talasemia Leukimia dan Anemia . Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
http://www.scribd.com/doc/30384752/92/Upaya-pencegahan-Anemia (Diakses pada
tanggal 19 November 2011 pukul 20.00 WIB)
http://ujizenius.blogspot.com/2011/11/materi-promkes-anemia-sap.html
BAB I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Transfusi packed red cells (PRC) adalah perawatan kritis, untuk menye- lamatkan jiwa
terhadap anemia berat yang disebabkan oleh penyakit atau kemoterapi, atau kehilangan darah
akibat trauma atau operasi besar. Selama beberapa dekade komponen PRC disusun sebagai
konsentrat tersuspensi dalam larutan nutrisi aditif, yang mempertahankan dan memperpanjang
shelf life PRC, yang memungkinkan selama 6-7 minggu pada penyimpanan dingin sesuai
standar (Flatt et al., 2014). Sesuai laporan tahunan Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah
Indonesia (PMI) Kota Surakarta tahun 2014 penggunaan komponen darah PRC adalah 43,798
(64,2%) dari 68,211 seluruh permintaan darah transfusi di UDD PMI Kota Surakarta (PMI,
2014).
Selama penyimpanan red blood cells (RBC) mengalami akumulasi kompleks dan progresif
yaitu perubahan fisikokimia, yang disebut sebagai lesi penyimpan- an. Beberapa studi
menyebutkan bahwa RBC simpan lebih buruk dibandingkan dengan RBC segar (Sparrow,
2012).
Penyimpanan PRC pada kondisi hipotermia memperlambat metabolisme sel karena suhu
berkurang, sehingga terjadi pengurangan kadar reaksi biokimia dan akumulasi produk limbah,
memungkinkan pengawetan secara in vitro selama beberapa minggu. Larutan pengawet
menyediakan komponen yang diperlukan untuk sel-sel antara lain gizi, bufer untuk
mempertahankan pH, dan sumber energi metabolisme untuk meningkatkan kelangsungan hidup
RBC selama penyimpanan hipotermia. 2,3 diphσspho glycerate (2,3 DPG) sangat penting untuk
menjaga pengiriman oksigen ke jaringan, semakin tinggi konsentrasi 2,3 DPG, semakin baik
oksigenase dan kondisi pH harus di atas 7,0 untuk glikolisis optimal (Bruger et al., 2011).
Hemoglobin plasma dan K+ plasma adalah ukuran hemolisis dan kadarnya harus rendah,
adenosine triphosphate (ATP) adalah ukuran aktivitas metabolic RBC, malondialdehyde (MDA)
adalah ukuran peroksidasi lipid dan konsentrasi yang lebih tinggi menunjukkan peroksidasi lipid
yang lebih tinggi, yang berbahaya. Glutathione adalah antioksidan, yang melindungi efek
berbahaya dari peroksidasi lipid, semakin tinggi konsentrasinya, semakin tinggi efek
perlindungan (D’allexandro, 2010).
Berdasar lama waktu simpan darah, darah transfusi dibagi menjadi darah segar yaitu darah
yang baru diambil dari donor sampai 6 jam sesudah pengambilan, darah baru yaitu darah yang
disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah diambil dari donor dan darah simpan yaitu darah
yang disimpan lebih dari 6 hari (Surgenor et al., 2001). Antikoagulan yang digunakan secara
rutin untuk penyimpanan darah di PMI kota Surakarta adalah citrate phosphate dextrose adenine
(CPDA1). Darah dengan antikoagulan CPDA1, dapat disimpan sampai 35 hari pada suhu 2-60 C.
Sitrat bermanfaat untuk mengikat kalsium sehingga tidak terjadi aktivasi koagulasi, dekstrosa
sebagai sumber energi untuk RBC, phosphat anorganik berfungsi sebagai bufer yang memelihara
kadar 2,3 DPG dan meningkatkan produksi ATP dan meningkatkan viabilitas RBC. Adenosin
eksogen diserap oleh RBC untuk membentuk ATP (Miller et al., 2014).
Saline adenin glucose manitol (SAGM) adalah aditif yang ditambahkan dalam kantong RBC,
saline-adenine-glucose (SAG) dikembangkan oleh para peneliti Eropa pada tahun 1970 sebelum
ditambahkan manitol. Aditif pertama untuk RBC adalah SAG yang terdiri dari garam untuk
mengatasi viskositas tinggi PRC, adenin digunakan untuk pemeliharaan kadar ATP intraseluler,
dan glukosa sebagai nutrisi untuk RBC. Saline-adenine-glucose telah dimodifikasi untuk
mengurangi hemolisis RBC selama penyimpanan dengan menambahkan manitol, sehingga
dengan menggunakan SAGM dan hemolisis RBC yang disimpan berkurang 50%, membantu
melindungi membran RBC, dan memungkinkan penyimpanan dalam refrigerated hingga 6
minggu. Semua aditif disetujui oleh Food And Drug Administration (FDA) memenuhi
persyaratan standar umum yang ditetapkan pada akhir periode penyimpanan, minimal masih ada
recovery 75% pemulihan pasca transfusi RBC 24 jam pasca transfusi dan persen hemolisis
kurang dari 1% sedang di Kanada kurang dari 0,8 (Almizraq, 2013).
Semua aditif untuk RBC saat ini memiliki pH asam (5,6-5,8), yang jauh dibawah pH
fisiologis normal 7,3 untuk darah vena. Red blood cells memiliki kapasitas bufer yang cukup
untuk mengatur pH untuk lebih mendekati fisiologis selama beberapa hari pertama penyimpanan
dalam lingkungan asam. Namun kapasitas buffer RBC akan segera habis karena pembentukan
asam laktat oleh RBC melalui jalur glikolitik anaerob (Rosemary and Sparrow, 2012).
Laktat dehidrogenase adalah enzim intraseluler yang terdapat pada hampir semua sel yang
bermetabolisme, konsentrasi tertinggi dijumpai di jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan
RBC. Aktivitas LDH dalam serum diperkirakan meningkat pada hampir semua keadaan yang
mengalami kerusakan atau destruksi sel. Kadar LDH yang meningkat pada PRC simpan
menunjukkan adanya proses hemolitik yang terjadi pada komponen darah tersebut. Kadar LDH
dan K+ selama penyimpanan dianggap sebagai marker lisis membran eritrosit selama
penyimpanan (Chaundary and Katharia, 2012).
Hemolisis selama pengumpulan dan penyimpanan darah adalah manifestasi yang paling
berat dari penyimpanan eritrosit. Ini merupakan pecahnya eritrosit dengan melepas hemoglobin
(Hb) langsung ke cairan atau hilangnya micro- vesicles mengandung lipid dan Hb dari eritrosit
intak masuk ke dalam supernatan plasma (Donadee et al., 2014). Hemolisis dapat terjadi dalam
RBC selama pe- ngumpulan darah, transportasi, pengawetan dan berbagai tahap penanganan di
bank darah, yang disebabkan oleh ketidak sesuaian suhu simpan darah dalam kantong darah atau
segmen (Choundhury and Mathur, 2011). Pemberian PRC yang mengalami hemolisis kepada
pasien akan menimbulkan reaksi transfusi yang berupa nonimunne mediated hemolysis bisa tidak
berbahaya tetapi bisa juga menyebabkan hemoglobinuria, disseminated intravascular
coagulation (DIC), gagal ginjal dan demam (AABB, 2010).
B. Perumusan Masalah
1. Packed red cells merupakan komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan
memisahkan komponen yang lain, pemberian transfusi PRC merupakan mayoritas dari
seluruh pemenuhan kebutuhan darah transfusi.
2. Komponen PRC sebagai konsentrat tersuspensi dalam larutan nutrisi aditif, yang
mempertahankan dan memperpanjang shelf life PRC, yang memung- kinkan selama 35 hari
dengan CPDA1 dan 42 hari dengan CPD SAGM pada penyimpanan sesuai suhu standar.
3. Hemolisis selama pengumpulan dan penyimpanan darah adalah manifestasi yang paling berat
dari penyimpanan eritrosit. Hemolisis adalah parameter yang sangat penting untuk menilai
kualitas RBC yang disimpan.
4. Laktat dehidrogenase mengkatalisis reduksi reversible piruvat menjadi laktat oleh
nicotinamide adenine dinucleotide (NADH). Enzim LDH terdiri dari sub unit H (hati) dan M
(otot). Di dalam sub unit RBC, subunit dominan adalah LDH-H (Clevenger and Kelleher,
2013). Peningkatan aktivitas enzim LDH terkait dengan perubahan permeabilitas sel,
kerapuhan membran eritrosit oleh karena penyimpanan yang lama dan mencerminkan
penurunan konsentrasi ATP dalam eritrosit. Kadar LDH yang meningkat pada PRC simpan
menunjukkan adanya proses hemolisis pada komponen darah tersebut.
C. Pertanyaaan penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka disusunlah rumusan
permasalahan sebagai berikut :
Adakah perbedaan kenaikan kadar LDH berdasarkan waktu simpan darah pada PRC
CPDA1 dan PRC CPD-SAGM ?
D.Tujuan Penelitian
Mengetahui perbedaan kadar LDH antara PRC CPDA1 dan PRC CPD SAGM.
E.Manfaat Penelitian
1. Manfaat bidang akademik:
a. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada civitas akademika berupa informasi sejauh
mana waktu simpan PRC CPDA1 dan PRC CPD SAGM serta kadar LDH dapat digunakan
sebagai parameter untuk mengetahui kualitas darah donor untuk transfusi darah.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut bagi
peneliti lain.
2. Manfaat bidang pelayanan.
Memberikan masukan kepada instalasi laboratorium dan kepada klinisi mengenai
perlunya dipertimbangkan waktu simpan PRC CPDA1 dan PRC CPD SAGM serta kadar
LDH sebagai parameter kualitas PRC simpan.
F. Keaslian Penelitian
Marjani tahun 2006 melakukan penelitian untuk menentukan perubahan plasma lipid
peroksidasi dengan mengukur kadar Malondialdehyde (MDA) dan total antioxidan status (TAS)
pada darah simpan. Whole blood (WB) CPDA1 diambil dari 10 pendonor, RBC merupakan hasil
pemisahan komponen dari WB. Potasium, LDH activity diukur pada plasma untuk menentukan
hemolisis, MDA dan TAS diukur pada plasma untuk mentukan lipid peroksidase dan sistem
antioksidan. Pengukuran dilakukan pada hari penyimpanan ke 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19,
21, 23, 25, 27, 29, 31, 33, 35. Kadar MDA meningkat signifikan pada hari ke 9, Potasium
meningkat pada hari ke 5, LDH meningkat signifikan pada hari ke 5 (p < 0,05), TAS menurun
secara signifikan pada hari penyimpanan ke 13 dan RBC menurun pada hari penyimpanan ke 29
(p < 0,05). Hasil dinyata- kan bahwa peningkatan kadar MDA dan penurunan TAS
menunjukkan kerusakan sel disebabkan radikal bebas pada hari penyimpanan. Untuk
meningkatkan kualitas darah simpan dengan memberikan suplemen antioksidan dan vitamin
pada pendonor seminggu sebelum pengambilan darah. Peningkatan kadar MDA dan penurunan
TAS pada darah simpan merupakan permulaan dari hemolisis, sehingga perlu untuk mengontrol
faktor MDA dan TAS sebelum trasfusi darah.
Penelitian Chaudhary and Katharia tahun 2012 menganalisis penyimpanan buffycoat (BC)
depleted RBC pada SAGM di suhu 4°C dikaitkan dengan metabolisme dan perubahan biokimia,
yang disebut sebagai "lesi penyimpanan". Peroksidasi lipid membran RBC menyebabkan lisis
yang berperan terjadinya lesi penyimpanan tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
cedera oksidatif pada RBC selama penyimpanan 28 hari dan korelasinya dengan penanda keru-
sakan membran RBC dengan sampel dari 30 unit RBC yang disimpan pada suhu 4° C selama 28
hari secara aseptik pada hari 0, hari ke-14 dan hari ke 28 penyim- panan. Penanda kerusakan
membran plasma termasuk hemoglobin, plasma kalium dan LDH dan penanda cedera oksidatif
seperti kadar MDA, oksidasi Hb dan kerapuhan osmotik di semua sampel. Hasil statistik
signifikan (p < 0,001) me- ningkat dalam nilai rata-rata dari plasma Hb, plasma K+, LDH dan
marker cedera oksidatif seperti MDA dan oksidasi Hb selama periode penyimpanan 28 hari.
Cedera oksidatif pada RBC selama penyimpanan menyebabkan kerusakan membran dan lisis.
Peran antioksidan dalam pencegahan efek merusak selama penyimpanan.
Triyono et al. (2013) melakukan penelitian perbedaan peningkatan kadar LDH antara WB
CPDA1 dan PRC CPDA1 pada penyimpanan 1, 3, 7, 14 dan 28 hari, dan menganalisis
kenasbahan antara PRC dan WB dengan metode observa- sional dengan desain potong lintang.
Selama penyimpanan eritrosit akan menga- lami perubahan biomekanika yang disebut jejas
penyimpanan, dengan jumlah sampel 10 kantong PRC CPDA1 didapatkan r = 0,835 (p ≤ 0,05).
Terdapat peningkatan bermakna kadar LDH darah WB dan PRC setelah penyimpanan selama 7,
14, dan 28 hari. Laktat dehidrogenase mempunyai keterkaitan kuat dan bermakna dengan lama
penyimpanan. Peningkatan kadar LDH PRC lebih tinggi dan ber makna dibandingkan dengan
WB selama penyimpanan selama 7, 14 dan 28 hari (Triyono et al., 2010).
Penelitian ini merupakan perbandingan waktu simpan dan kadar LDH pada PRC CPDA1 dan
PRC CPD SAGM pada penyimpanan hari ke 3, 7, 14, 21, 28, 35, merupakan penelitian analitik
observasional dengan pendekatan cross sectional. Dengan jumlah sampel 10 kantong PRC
CPDA1 dan 10 kantong PRC CPD SAGM didapatkan perbedaan yang signifikan kadar LDH
lebih tinggi pada PRC CPDA1 dibandingkan PRC CPD SAGM dengan p = 0,001, KI 95%.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Transfusi Komponen Darah
Transfusi darah WB diberikan pada kasus yang terbatas. Terapi transfusi darah sekarang,
terutama bergantung pada pemberian komponen darah yang dibutuhkan pasien. Tiga
komponen darah utama yang digunakan dalam terapi transfusi adalah PRC, thrombocyte
concentrate (TC) dan fresh frozen plasma (FFP). Produk-produk ini dapat diperoleh baik
dengan mengolah WB (450-500 ml), yang merupakan teknik yang paling sederhana, atau
dengan apheresis hanya komponen yang dibutuhkan diambil dari donor, sisanya
dikembalikan ke donor. Prosedur standar produk persiapan darah dari donor darah adalah
seba-
gai berikut: darah donor dalam kantong darah yang berisi antikoagulan CPD, seluruh darah
disentrifugasi untuk memisahkan sel darah sesuai dengan ukuran dan kepadatan. Red blood
cells mengendap, sementara plasma tetap di atas, white blood cells (WBC) dan trombosit
membentuk BC pada lapisan antara plasma dan RBC. Akhirnya, ketiga komponen
didistribusikan diantara kantong darah sterile interconnected blood bags dengan menerapkan
tekanan semi-otomatis untuk sentrifugasi kantong yang berisi WB. Untuk mencegah berbagai
reaksi pasca transfusi dan anti human leucocyte antigen (HLA) alloimunisasi, digunakan
darah WB dengan leucofiltration. Setiap komponen yang diperoleh dari seluruh darah
memiliki kondisi penyimpanan yang optimal, yang me mungkinkan untuk mempertahankan
aktifitas dan fungsi spesifik. Suhu adalah parameter penyimpanan yang sangat penting
berhubungan dengan kelang sungan hidup dan kualitas produk yang ditujukan untuk transfusi.
Penyimpanan pada suhu kamar menunjukkan adanya proliferasi bakteri yang meningkatkan
risiko penularan bakteri (Delobel et al., 2010).
2. Struktur Eritrosit
Membran eritrosit terdiri dari protein, fosfolipid, dan lapisan lipid bilayer. Membran
eritrosit terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan luar hidrofilik yang terdiri dari glikolipid,
glikoprotein dan protein, lapisan tengah hidrofobik yang terdiri dari protein, kolesterol, dan
fosfolipid; dan lapisan dalam hidrofilik yang terdiri dari protein. Komposisi membran eritrosit
terdiri dari 52% protein, 40% lipid, dan 8% karbohidrat. Protein yang terdapat pada bagian
luar membran sampai permukaan sitoplasmik disebut membran protein integral. Protein yang
terda- pat pada permukaan sitoplasmik tepat di bawah lapisan lipid bilayer dan mem- bentuk
sitoskleton disebut membran protein perifer (Harmening et al., 2002; Lichtman et al., 2007).
Red blood cells normal adalah 6-8 m dengan diameter dan tebal 1,5-2,5 pM. Red blood cells
dewasa berbentuk seperti cakram bikonkaf dan tidak berinti atau organel lainnya. Membran
RBC terdiri dari lipid bilayer yang mengandung fosfolipid, protein, kolesterol, glikoprotein
dan glikolipid yang merupakan struktur yang sangat kompleks dan fleksibel, terdiri lebih dari
300 protein membran (Harmening, 2002). Komponen utama dari sitoskeleton adalah spektrin
protein, yang membentuk kompleks dengan protein sitoskeletal lainnya, seperti ankyrin, actin
dan protein 4.1, yang memperkuat lipid bilayer. Kompleks spektrin ini bergantung pada
fosforilasi ATP yang berfungsi dengan baik. Integritas dan stabilitas membran dikaitkan
dengan penurunan ATP atau terjadi kerusakan oksidatif pada protein tersebut, yang
menyebabkan hilangnya membran deformabilitas (Hoffman, 2013). Deformabilitas adalah
salah satu karakteristik yang paling penting dari membran RBC. Tanpa kemampuan ini, itu
tidak akan mampu melewati kapiler kecil dan celah sinusoidal limpa, dengan diameter 3-5 μm
(Triulzi and Yazer, 2010). Membran memiliki distribusi asimetris fosfolipid dan kaya
glikoprotein yang disebut glycophorins. Protein transmembran utama dari RBC adalah protein
pertukaran channel anion, umumnya dikenal sebagai band 3, yang mengkatalisis pertukaran
klorida bikarbonat, sisi yang mengikat protein dan enzim glikolitik sitoskeletal dan berperan
dalam penghapusan senescent RBC (Harmening, 2002).
Air dan anion, seperti klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-), mengalir bebas melintasi
membran RBC. Hal ini diduga terjadi melalui saluran pertukaran anion. Kation, namun,
seperti natrium (Na+) dan kalium (K+), harus secara aktif diangkut melintasi membran.
Sodium terutama ekstraseluler dan kalium intra- seluler. Red blood cells mempertahankan
homeostasis air dengan mengen- dalikan transportasi kation ini dengan ATP dependent Na+/
K+ pompa. Konsentrasi kalsium (Ca2+) perlu dikontrol juga, karena konsentrasi intraseluler
kelebihan dapat memiliki efek negatif pada RBC bentuk dan fleksibilitas. Hal ini dilakukan
oleh ATP dependent Ca2+ pompa. Bentuk dan volume RBC karena itu tergantung pada ATP,
dengan penipisan yang mengakibatkan kaku dan dehidrasi RBC. Perubahan dalam protein
atau lipid yang berhubungan dengan membran RBC dapat mengakibatkan penurunan
deformabilitas dan permeabilitas dan akhirnya penyerapan dari RBC di limpa (Harmening
and Morrof, 2005).
a. Membran Protein Eritrosit
Membran protein eritrosit merupakan membran phospolipid bilayer asimetris yang
terdiri 10 protein mayor dan 200 protein minor, dengan berat molekul antara 16.000 –
244.000 dalton. Membran protein tediri protein membran integral (glikoporin) dan protein
membran perifer (spektrin).
Membran protein eritrosit disokong oleh komplek sitoskleletal spektrin-aktin (Harmening
et al., 2002; Lichtman et al., 2007; Telen, 2009; Buys et al., 2013). Adanya perubahan
komposisi fosfolipid pada eritrosit akan berdam- pak pada bentuk eritrosit dan kemampuan
berubah bentuk, sedangkan peru- bahan pada protein sitoskeletal eritrosit akan
mempengaruhi keutuhan mem- bran ketika menghadapi kondisi tekanan sirkulasi (Bennett
et al., 2007; Girasole et al., 2007).
b. Protein Membran Integral
Protein membran integral terdiri dari glikoprotein dengan glikoprotein utama yaitu
glikoporin yang menyusun 20% dari protein membran total. Glikoporin terdiri dari empat
tipe yaitu A, B, C, D, yang berfungsi untuk membawa antigen eritrosit. Fungsi glikoprotein
tersebut adalah membawa antigen eritrosit dan reseptornya dan membran protein (anion
exchange channel glycoprotein). Lapisan lipid bilayer dan membran integral mem-
pengaruhi stabilitas mekanik dan rigiditas membran (Harmening et al., 2002; Lichtman et
al., 2007; Telen, 2009).
c. Protein Membran Perifer
Protein membran perifer terdiri dari spektrin, ankyrin, protein 4.1, aktin dan membran
(Lihat gambar 1). Spektrin merupakan protein paling banyak pada membran sitoskeleton
eritrosit yaitu 25-30% dari total protein membran dan 75% protein perifer. Spektrin
merupakan molekul fleksibel berbentuk seperti batang yang mengandung dua rantai
polipeptida yaitu rantai α (band 1) dengan berat molekul 240.000 dalton dan rantai β (band
2) dengan berat molekul 225.000 dalton. Fungsi protein-protein ini adalah
mempertahankan keutuhan membran eritrosit, mempertahankan eritrosit dari tekanan
sirkulasi, membentuk bikonkaf dan deformitas eritrosit (Har mening et al., 2002; Lichtman
et al., 2007; Telen, 2009).
Gambar 1. Membran eritrosit (Hoffbrand and Moss, 2011).
3. Jenis Darah Transfusi
Beberapa jenis darah transfusi berdasarkan lama waktu penyimpanan darah. Lama simpan
darah adalah sebagai jumlah kalender hari antara hari koleksi unit RBC dan hari transfusi.
Pada pasien dengan multiple transfusi, dengan analisa lama penyimpanan yang digunakan dari
pasien adalah unit darah dengan usia penyimpanan RBC tertua (Gauvin et al., 2010).
a. Darah segar
Darah segar adalah darah yang baru diambil dari donor sampai 6 jam sesudah
pengambilan. Keuntungan pemakaian darah segar ialah faktor pembekuannya masih
lengkap termasuk faktor labil (V dan VIII) dan fung si eritrosit masih relatif baik.
Kerugiannya sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena untuk pemeriksaan golongan,
reaksi silang dan trans- portasi diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan risiko penularan
penyakit relatif banyak (Surgenor et al., 2001).
b. Darah Baru
Darah baru adalah darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6 hari sesudah diambil
dari donor. Faktor pembekuan disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi
peningkatan kadar kalium, amonia, dan asam laktat (Boediwaseno et al, 2007).
c. Darah Simpan
Darah simpan yaitu darah yang disimpan lebih dari 6 hari. Keun- tungannya mudah
tersedia setiap saat, bahaya penularan lues dan sitome- galovirus hilang, sedangkan
kerugiaannya ialah faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis.
Kemampuan transportasi oksigen oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas
Hb terhadap oksigen yang tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar 2,3 DPG. Kadar K+, amonia, dan asam laktat tinggi
(Cote and Dsida, 2001).
4. Perubahan Darah Simpan
Darah simpan akan mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan mor- fologis,
penurunan ATP, penurunan 2,3 DPG, perubahan sifat mekanik dan terjadi kerusakan
oksidatif.
a. Perubahan Morfologis.
Perubahan morfologi dari bentuk cekung ganda disc normal, RBC rusak selama hari-
hari penyimpanan. Bentuk yang paling penting adalah creno- cytes yaitu eritrosit bulat
dengan spikula, spikula ini sesuai dengan vesikel lipidic yang menonjol dari membran.
Transformasi ini dikaitkan dengan hilangnya permukaan/volume RBC, yang berakibat
terjadinya peningkatan konsentrasi Hb pada sel dengan kerapuhan osmotik. Ada beberapa
bukti bahwa semua perubahan morfologis ini berkorelasi dengan penurunan ATP dari RBC
(Esper et al., 2012).
b. Penurunan Adenosine Triphosphate (ATP)
Perubahan biomekanik permukaan RBC dan viskositas sitoplasma ter- jadi setelah
penurunan ATP. Ada korelasi yang rendah antara kadar ATP RBC simpan dan RBC segar,
kecuali bila kadar ATP menurun > 50%. Ketidak konsistenan ini menunjukkan bahwa pada
kadar ATP yang sangat tinggi tidak memiliki dampak pada RBC hidup pasca transfusi.
Meskipun penurunan ATP tidak menjelaskan tentang kerusakan membran, penipisan ATP
meningkatkan kadar mediator sekunder seperti kalsium intraseluler, fosforilasi protein
kinase dan membran yang menjaga integritas membran sel. Analisis fosfolipid
menunjukkan perubahan keseimbangan fosforilasi/ dephosphorilation di RBC selama
minggu kedua dan ketiga penyimpanan. Peningkatan bentuk phosphorilated dari
phosphoinositol-4-phosphate, di- sertai dengan munculnya crenocytes, ini menunjukkan
hubungan antara dephosphorilation dan perubahan morfologi RBC. Ketika RBC
disimpan
dalam aditif, konsentrasi ATP tetap meningkat diawal penyimpanan, pun- caknya sekitar 2
minggu, kemudian secara bertahap menurun hingga dibawah 50% pada minggu ke 6 dari
penyimpanan. Oksidasi glukosa anae- robic (glikolisis) merupakan satu-satunya sumber
energi bagi RBC. Lang kah-langkah awal dari proses ini memerlukan ATP dan tidak dapat
dilan jutkan ketika ATP habis. Hilangnya ATP juga dapat mengurangi kemam puan
transfusi RBC untuk efek mediasi nitrite oxide (NO) vasodilatasi arte- roil dalam merespon
hipoksia. Membran dan komponen sitoplasma me-
miliki dampak morfologi dan deformabilitas RBC selama penyimpanan. Modifikasi ini
mengurangi waktu paruh RBC pasca transfusi. Perubahan bi- omedik RBC adalah dari
perubahan lipidic bilayer, protein dan sitoskeleton. Interaksi antara 3 komponen
mendukung pembentukan 20 sampai 80 vesikel nm, yang dapat dideteksi pada minggu
kedua penyimpanan. Kerusakan oksidatif adalah hal lain mekanisme penting kerusakan
RBC, dampak bio-
mekanik dengan merusak membran fosfolipid dan spektrin memberikan kontribusi
pembentukan schistocytes dan spherocytes, kerapuhan osmotik (Alizadehrad et al., 2012).
c. Penurunan 2,3 Diphosphoglycerate (2,3 DPG).
Penurunan 2,3 DPG selama penyimpanan memproduksi RBC dengan efikasi dan
efektifitas rendah untuk meningkatkan oksigenasi dalam jaring- an. Deplesi 2,3 DPG
terbesar terjadi pada hari ketujuh penyimpanan. Dalam kondisi normal nilai 2,3 DPG
untuk intraseluler eritrosit adalah sekitar 4,5 mmol/L. Setelah 24 jam penyimpanan, nilai
ini turun menjadi sekitar 3,0-3,5 mmol/L, dan seluruh 2,3 DPG habis setelah dua minggu.
Penurunan 2,3 DPG memiliki konsekuensi untuk kapasitas pembawa oksigen dari sel-sel
ini, afinitas oksigen (O2) sangat meningkat untuk setiap tekanan parsial tertentu O2
(pergeseran kiri besar kurva disosiasi oksigen).
Red blood cells dengan kadar 2,3 DPG rendah membawa O2, tetapi tidak melepaskan
O2 setelah berada di jaringan. Mengingat bahwa ada peningkatan kapasitas mengikat O2,
ekstraksi oksigen terganggu, jika seseorang memiliki volume sirkulasi seluruhnya terdiri
dari PRC simpan, seluruh ekstraksi O2 tubuh akan kurang dari 25%, dan saturasi vena akan
tinggi. Kadar 2,3 DPG menurun dengan cepat selama minggu pertama penyimpanan, turun
ke kadar tidak terdeteksi pada akhir minggu. Hilang- nya 2,3 DPG menyebabkan pelepasan
O2 RBC simpan ke jaringan kurang mudah daripada sel normal. Faktor - faktor yang
mengontrol konsentrasi 2,3 DPG dalam RBC adalah keseimbangan antara kadar sintesis
oleh 2,3 diphσspho glycerate mutase laju degradasi oleh 2,3-diphospho glycerate fosfatase,
dan pH di atas 7,0. Sintesis 2,3 DPG pada pH dibawah 7,0 terjadi deposisi, pH larutan
pengawet dapat bervariasi antara 7,0-8,0, tetapi pH optimum 7,6.
Faktor-faktor yang dapat membantu untuk meningkatkan konsentrasi 2,3
DPG adalah :
i. Penambahan asam nikotinat dalam media pengawet untuk RBC me- ningkatkan
konsentrasi 2,3 DPG, mengurangi hemolisis dan membantu mempertahankan pH yang
lebih tinggi.
ii. Penambahan kadar optimal asam askorbat secara signifikan meningkat- kan
konsentrasi 2,3 DPG harus optimal, karena di atas konsentrasi tertentu itu ATP
berkurang dan meningkatkan hemolisis. Konsentrasi asam askorbat yang digunakan
bervariasi, sebaiknya dikisaran 3 sam- pai 5 mg / dl suspensi RBC. Namun konsentrasi
asam askorbat yang optimum dengan efek hemolitik minimum dan efek
menguntungkan adalah konsentrasi 4.0 mg/dl suspensi RBC.
iii. Penambahan asam nikotinat juga menurunkan efek pencucian yang keluar dari diethyl
hexyl phtalate (DEHP) plasticizer digunakan dalam kantong poly vynil chlorida (PVC)
ke media penyimpanan RBC. Hal ini penting karena DEHP pada kadar rendah
menyebabkan penurunan kadar vitamin yang larut dalam lemak (A, D dan E) dan
penghambatan membran terikat Na+K+ATPase. Konsentrasi asam nikotinat yang digu-
nakan dalam antikoagulan bervariasi, sebaiknya di kisaran 5 sampai 8 mg/dl suspensi
RBC, konsentrasi optimum 6,8 mg/dl suspensi RBC.
iv. Pemberian kedua asam nikotinat dan asam askorbat memiliki efek aditif, dengan efek
lebih menguntungkan daripada efek masing-masing bila ditambahkan secara terpisah
(Chandrasekhar et al., 2004).
d. Perubahan Sifat Mekanik
Selama penyimpanan, beberapa perubahan bentuk RBC dari disk cekung ganda berubah
menjadi echinocytes dan spheroechinocytes jumlah yang spherocytes ireversibel cacat
dalam populasi RBC simpan berangsur-angsur meningkat sepanjang durasi penyimpanan.
Red blood cells secara bertahap kehilangan "deformabilitas" mereka selama penyimpanan.
Haemoglobin berisi empat ion besi, satu ion pada masing-masing empat subunit yang
terkoordinasi dalam cincin porfirin. Untuk memenuhi fungsi fisiologis utama, setiap
molekul deoxyHb mengikat empat molekul O2. Sebagian kecil dari oxyHb secara spontan
melakukan autooksidasi untuk membentuk ferric methaemoglobin (metHb) dan anion
superoksida. Dalam sirkulasi ferric metHb direduksi menjadi ferrous Hb oleh nicotinamide
adenosine dinucleotide hidrogen (NADH), reaksi ini akan diperlambat pada penyim panan
RBC di refrigerator dan pembentukan metHb semakin besar dengan partially oxygenated
Hb (Yoshida and Shevkoplyas, 2010).
e. Kerusakan Oksidatif
Mekanisme kerusakan oksidatif dikeluarkan oleh RBC yang disim- pan. Kerusakan
oksidatif lipid dan protein oksidasi/peroksidasi disebab- kan oleh reactive oxygen
species (ROS), seperti hidroksil, peroksidase dan radikal alkoxyl merupakan salah satu
faktor utama yang berkontri- busi terhadap perkembangan lesi penyimpanan. Red
blood cells mengan dung campuran yang sangat reaktif terhadap besi (Hb) dan oksigen
(terlarut dalam sitosol dan terikat Hb). Namun, reaksi ini terhambat sedangkan
pembentukan metHb ditingkatkan untuk RBC simpan dengan sebagian O2 Hb atom
besi pada Hb harus dipertahankan dalam keadaan reversibel untuk mengikat O2. In
vivo, besi pada Hb dilindungi dari oksidasi RBC, tetapi ketika sel dikeluarkan dari
tubuh, dan disimpan dalam kondisi dingin, mekanisme perlindungan terhadap RBC
kehila ngan efisiensi dan Hb menjadi rentan terhadap oksidasi. Lesi penyimpanan
RBC sebagai "semua hal-hal buruk" yang terjadi pada RBC dalam perjalanan
kelangsungan hidup RBC ketika RBC kembali ke sirkulasi. Lesi penyimpanan RBC
meliputi:
i. Penurunan ATP RBC dan 2,3 DPG
ii. Pengurangan deformabilitas terkait dengan hilangnya konstituen
membran dan Hb.
iii. Akumulasi zat bioreaktif yang dilepaskan dari leukosit terutama pada non
leucoreduction RBC (Gulliksson et al., 2009).
Di beberapa negara, WB disimpan semalam pada suhu kamar sebelum pemisahan
komponen darah, terutama untuk alasan logistik. Penyimpanan berkepanjangan umumnya
dilakukan pada suhu kamar dan terutama pemenuhan kebutuhan untuk trombosit yang akan
digunakan untuk persiapan unit trombosit BC reduction. Konsekuensi penyimpanan akan
terjadi peningkatan produksi laktat dari glukosa oleh glikolisis RBC dan penurunan
minimal dalam pH yaitu sekitar 0,1 satuan dibandingkan dengan kadar WB yang diproses
dalam waktu 8 jam dan kemudian disimpan di 2-6 oC. Penurunan minimal ini tampaknya
memiliki dampak yang signifikan pada metabolisme RBC yang dapat dilihat selama
beberapa minggu. Dalam RBC, 2,3-DPG umumnya hilang selama 2 minggu pertama
penyimpanan. Tingkat sintesis 2,3 DPG dikaitkan dengan pH RBC intraseluler dengan
pada kadar pH di bawah 7,2. Sintesis 2,3 DPG dikaitkan dengan hilangnya ATP. Dalam
situasi sebaliknya, ketika tingkat sintesis 2,3 DPG berkurang, sintesis kadar ATP dengan
kadar lebih tinggi. Peningkatan kadar ATP, mencerminkan peningkatan pasokan energi
dan pemeliharaan yang lebih baik dari penurunan K+. 2,3 DPG intraseluler dikaitkan
dengan pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksigen dan dengan peningkatan afinitas O2 dan
mungkin pasokan O2 kurang efektif ke jaringan. Setelah transfusi, RBC dengan kadar 2,3
DPG rendah umumnya akan normal kembali dalam bebe- rapa hari (Gulliksson et al.,
2009). Hasil review LDH isoenzyme (1999) menyatakan bahwa pemulihan 2,3 DPG setelah
kadarnya menurun membutuhkan waktu 12-48 jam dan disimpulkan bahwa sementara
beberapa bank darah menganjurkan penggunaan darah segar untuk pasien dengan transfusi
masiv untuk mencegah penurunan kadar 2,3 DPG pasca transfusi. Ada sedikit bukti yang
mendukung bahwa terjadi gangguan oksigenasi jaringan. Aditif RBC dapat
mempertahankan kadar 2,3 DPG dengan lebih baik. Solusi alkali baru dengan tujuan untuk
mempertahankan kadar 2,3 DPG dan ATP selama penyimpanan belum diketahui apakah
aditif tersebut memiliki efek menguntungkan yang sama setelah unit RBC dibuat dari WB
dengan penyimpanan semalam. Penelitian lebih lanjut tentang aditif tersebut dan mungkin
modifikasi komposisi dapat memperbaiki situasi untuk masa depan dan memungkinkan
penyimpanan WB semalam dengan memper tahankan kadar 2,3 DPG dan kadar ATP.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan semalam WB sebelum penyusunan
komponen darah umumnya terkait dengan peningkatan secara signifikan kadar ATP dan
menurunnya kadar ekstraseluler K+, 2,3 DPG dan pH pada RBC aditif SAGM solusi aditif
dibandingkan dengan RBC yang dipersiapkan dalam waktu 8 jam.
f. Bentuk RBC dan Rheologi
Protein membran yang rusak menyebabkan fungsinya sebagai pompa mulai gagal,
sehingga eritrosit mulai membengkak dan lebih bulat atau setengah bola. Red blood cells
berubah bentuk menjadi spheroechinocytes, dengan banyak tonjolan non deformable dari
membran sel mencuat ke segala arah. Beberapa studi mengenai morfologi RBC berikut
cold storage telah menyimpulkan bahwa kegagalan pompa ion menyebabkan penurunan
deformabilitas eritrosit yang menyebabkan menurunnya aliran mikro- vaskular.
g. Perubahan Mikrosirkulasi akibat Transfusi PRC Simpan.
Cacat rheologi spheroechonocytes dapat memperlambat aliran kapiler yang
menyebabkan defisit pengiriman O2 sistemik, yang dirasakan sebagian besar pada jaringan
otak dan ginjal. Sebuah studi dari mikrovaskuler perfusi yang membandingkan darah
simpan dan darah segar menunjukkan bahwa RBC simpan mengurangi aliran
mikrovaskular dan kepadatan kapiler fungsional sebesar 63% dan 54% masing-masing.
h. Red Blood Cells Membran Vesikulasi.
Fenomena ini merupakan konsekuensi dari kegagalan protein transmem- bran, dan
terjadi peningkatan respon inflamasi pada RBC. Red blood cells pada PRC simpan lebih
mudah rusak dan kehilangan elastisitasnya. Sel-sel itu akan sulit melewati kapiler di
mikrosirkulasi. Red blood cells dengan bentuk abnormal akan dihancurkan dalam sistem
retikuloendotelial dan selanjutnya terjadi hemolisis.
i. Hemolisis dan Pelepasan Free Hemoglobin
Penghancuran RBC baik dalam kantong darah dan dalam aliran darah tertentu
menyebabkan hiperbilirubinemia ringan. Free Hb yang dilepaskan dalam sirkulasi
merupakan oksida nitrat yang sangat baik. Reaksi ini terjadi secara singkat pada bagian
metabolisme nitric oxide (NO) dan clearance.
j. Akumulasi Produk Samping Metabolisme.
Peningkatan K+ dan laktat dalam kantong darah akan menyebabkan meningkatnya
keasaman pada kantong darah yang disimpan 42 hari. Hiperkalemia dan asidosis laktat
dapat terjadi akibat terlalu banyak transfusi simpan ( Cote and Dsida, 2001).
5. Citrate Phosphat Dextrose (CPD)
Lee pada tahun 1913 memperkenalkan sitrat sebagai antikoagulan untuk darah manusia.
Rous dan Turner tahun 1915 mengenalkan bahwa glukosa memperlambat hemolisis suspensi
RBC dalam saline, darah tersebut dapat disimpan dalam 4 minggu. Loutit and Mollison
memperkenalkan antikoagulan acid citrate dextrose (ACD) dengan desain penggunaan rasio
1:4 kemudian 1:7 dalam WB. Suasana asam pada solution dengan pH 5,5 mencegah
karamelisasi pada pemanasan glukosa. Acid citrate dextrose steril dalam WB atau PRC bisa
mengurangi hemolisis dalam waktu 3 minggu. Penambahan antikoagulan pada WB
mengurangi fosfat difus pada darah simpan meninggalkan fosfat intraseluler lebih banyak
sebagai substrat pembentukan ATP. Penambahan fosfat pada ACD yaitu berupa CPD, CPD
lebih baik daripada ACD saja dan mengurangi hemolisis. Citrate phosphat dextrose
ditetapkan untuk penyim panan WB selama 4 minggu (Hillyer et al., 2007).
6. Saline Adenine Glucose Manitol (SAGM)
Rous dan Turner mengembangkan sitrat pertama dan campuran glukosa untuk menyimpan
RBC kelinci (Rous dan Turner, 1916) dan Robertson menggunakann dalam bank darah
pertama di Perancis selama Perang Dunia I (Robertson, 1918). Dimasukkannya fosfat di tahun
1950-an dan 1970-an adenine sebagai solusi aditif, yang memperpanjang masa simpan dan
meningkatkan kualitas penyimpanan RBC (Hess, 2006). Di sisi lain, pH menurun 5,8
sterilisasi sitrat dan glukosa (Acid Citrate Dextrose) solusi, memungkinkan penyimpanan
RBC hingga 21 hari (Loutit dan Mollison, 1943). Perkembangan selanjutnya aditif ditandai
dengan penambahan natrium fosfat ke ACD dan CPD yang mengurangi kebocoran fosfat dari
RBC yang disimpan dengan mengurangi gradien konsentrasi fosfat antara sitosol dan
supernatan dengan waktu simpan darah 28 hari. Solusi aditif berikutnya ditambahkan ke RBC
simpan untuk memberikan tambahan volume dan nutrisi untuk penyimpanan lebih lama.
Solusi aditif pertama adalah SAG, dinamai konstituennya, garam, adenin dan glukosa,
penurunan hematokrit penyimpanan dan viskositas sekitar 55%, namun variabilitas biologis
yang tinggi hemolisis masih menghambat perpanjangan umur simpan RBC berkonsentrasi
lebih dari 5 minggu, setidaknya sampai diperkenalkannya manitol (scavinger radikal bebas
dan membran stabilizer) oleh Hogman et al. (1978). Solusi aditif yang mengandung 30 mM
manitol mengurangi hemolisis dan lebih meningkatkan osmolaritas larutan ( Hess et al.,
2009).
Solusi SAGM, merupakan solusi aditif standar yang digunakan di Eropa, sementara AS-1
dan AS-5 (banyak digunakan di Amerika Serikat) adalah dua varian SAGM yang berbeda
dalam konsentrasi garam, gula dan mannitol. AS-3 adalah solusi aditif ketiga yang dilisensi
di Amerika Serikat, digunakan secara eksklusif di Kanada (Hess, 2006). Sitrat dan manitol
berfungsi membran pelindung yang sama seperti AS-3 dan SAGM, masing-masing sebagai
ion kedap yang menyeimbangkan tekanan osmotik eritrosit ion-permeable (Jarvis et al.,
2003). Perbedaan utama lainnya adalah bahwa AS-3 solusi aditif dengan dekstrosa lebih
tinggi dari antikoagulan CPD utama, yang disebut CP2D (D’Alexandro, 2012).
Dalam penyimpanan donor PRC dengan adanya fosfat dan adenin yang memungkinkan
untuk jangka waktu penyimpanan lebih lama dari unit whole blood. Kemajuan ini mendorong
adanya solusi aditif yang tidak hanya akan memperpanjang masa penyimpanan tetapi juga
menjaga kualitas konsentrat PRC selama penyimpanan, pengembangan solusi pengawet yang
mengandung garam, adenin, glukosa, manitol (SAGM) yang ditambahkan ke dalam eritrosit,
meningkatkan masa penyimpanan konsentrat RBC menjadi 42 hari bila disimpan pada 1°C
sampai 6°C. Penambahan garam dan manitol menurunkan kadar hemolisis, dan glukosa
menyediakan jalur substrat energi sementara adenin mempertahankan kadar ATP
(D’Allesandro et al., 2010). Manitol sebagai antioksidan terhadap ROS yang diproduksi oleh
sel aerob sebagai produk proses metabolik seperti respirasi mitokondria. Bila terjadi ketidak
seimbangan antioksidan dan terbentuk free radical yang berlebihan stress oksidasi meningkat
seiring dengan meningkatnya waktu, yang menyebabkan menumpuknya produk oksidasi
seperti lipid, asam nukleat, protein, gula dan sterol yang menyebabkan disfungi sel.
Meningkatnya umur RBC, volume berkurang, meningkatnya densitas, terutama bagian kedua
lifespan yang berkaitan dengan hilangnya kolesterol dan phospholipid dan menurunnya secara
linier membran RBC dan membentuk lipid peroksidase. Manitol menyebabkan menurunnya
lipid peroksidase sebagai antioksidan yang memberikan elektron pada membran RBC yang
sudah diambil oleh ROS ((Mignotte dan Vayssiere, 1998; Mayes, 2003).
7. Packed Red Cells Citrate Phosphat Dextrose Saline Adenine Glucose Manitol Leukocyte
Reduced (PRC CDP SAGM LR).
Packed red cells CDP SAGM adalah konsentrat yang dipersiapkan 480 ml WB yang
diambil dalam 70 ml antikoagulan CPD. Pada unit ini plasma direduksi dengan sentrifugasi,
platelet direduksi dengan sentrifugasi dan flitrasi. Red Blood Cells di resuspensi dalam 110
nutrien SAGM. Antikoagulan CPD mengandung citrate acid 3.27 g/L, dan sodium citrate.
Manitol sebagai penstabil membran dan dekstrosa diperlukan untuk metabolisme RBC yang
disimpan. Red blood cells SAGM LR yang dikumpulkan dari dua sistem fil- trasi yang
berbeda yaitu WB filtrasi atau BC ekstraksi. Dalam sistem WB, RBC LR yang diperoleh dari
sentrifugasi CPD WB untuk memisahkan RBC dari plasma. Leukoreduction dengan
penyaringan yang dilakukan sebelum sentrifugasi. Dalam sistem ekstraksi, RBCLR yang
berasal dari WB di- kumpulkan dalam CPD kemudian disentrifugasi kemudian plasma dan
BC dihilangkan. Red blood cells LR kemudian dimasukkan dalam larutan nutrisi SAGM,
RBC tersebut memiliki jumlah WBC kurang dari 5x106 / unit. Red blood cells SAGMLR
memiliki periode penyimpanan tidak melebihi 42 hari pada 1- 6°C, dengan perkiraan volume
dari unit 240-340 ml (Bruger et al., 2011).
Kemampuan RBC meningkatkan kapasitas pembawa O2 darah dengan meningkatkan
sirkulasi RBC. Antikoagulan CPD 327 mg asam sitrat, Natrium sitrat 2,63 g asam fosfat
sodium 251 mg, dextrose 2,55 g air untuk injeksi volume maksimum 100 mL. Saline Adenine
Glucose Manitol aditif berisi natrium klorida 877 mg, dextrose 900 mg, adenin 16,9 mg,
manitol 525 mg dan air untuk injeksi volume maksimum 100 mL.
a. Indikasi
Bila mungkin, anemia harus ditangani dengan tepat, terdapat beberapa terapi anemia
antara lain nondarah (misalnya, besi, vitamin B12, asam folat atau eritropoietin
rekombinan); transfusi RBC hanya boleh digunakan untuk mengobati anemia pada terapi
non darah gagal untuk memberikan hasil yang diinginkan dan pengobatan tetap
diperlukan. Saline adenine glucose manitol RBC LR juga dapat digunakan bila
diperlukan oksigenasi yang baik, memerlukan terapi yang lebih spesifik. Produk RBC
dapat digunakan untuk transfusi tukar oleh teknik manual atau otomatis
erythrocytapheresis atau mengembalikan oksigenasi yang baik pada perdarahan profuse.
Pada penggunaan transfusi tukar pada neonatus lebih baik menggunakan Red Blood Cells
Leucoreduction (RBC LR) berusia kurang dari tujuh hari.
b. Kontra Indikasi
Jangan menggunakan RBC SAGM LR apabila anemia yang dapat dikoreksi dengan
medikasi. Hipovolemia tertentu tanpa deficit RBC yang signifikan harus dikelola dengan
larutan koloid, seperti albumin atau larutan kristaloid dan tidak dengan RBC SAGM LR.
c. Efek Samping dan Bahaya
Meliputi infeksi penularan penyakit, bakteremia atau endotoksemia, reaksi transfusi
hemolitik dan graft-versus-host-disease. Efek samping dan bahaya yang dapat terjadi
setelah transfusi RBC SAGM LR adalah reaksi hemolitik immediate maupun yang
delayed (AABB, 2010).
8. Citrate Phosphat Dextrose Adenine1 (CPDA1)
Citrate Phosphate Dextrose Adenine1 adalah pengawet antikoagulan darah disimpan pada
1- 6°C. Sitrat adalah antikoagulan, fosfat berfungsi sebagai bufer, dan dekstrosa merupakan
sumber energi RBC. Penambahan adenin untuk solusi CPD memungkinkan RBC untuk
resintesis ATP, yang mem perpanjang waktu penyimpanan 21-35 hari, akibatnya RBC atau
WB dapat disimpan selama 35 hari bila disimpan dalam CPDA1.
Tabel 1. Konsentrasi Additive SolutionSolution Periode
(Hari)Konsentrasi aditif(per 100 ml)
Performa
CPD-WB 21 Sodium citrate-2.63 gCitrate acid 0.200 gDextrose 2.55gMonobasic sodium biphosphate0.222 g
Mencegah penggumpalandarah.Sumber nutrisi untukRBC.Pengatur pH.
CPDA1-WB
35 Sodium citrate-2.63 gCitrate acid 0.200 gDextrose 2.9 gMonobasic sodium biphosphate0.222 gAdenine 0.0275
Mencegah penggumpal-an darah.Sumber nutrisi untukRBC.Pengatur pH.Menjaga jumlah ATPdalam RBC.
SAGM- 4 Dextrose 0.900 g Sumber nutrisi utk RBC.
RBC Sodium Chloride 0.77 gAdenine 0.0169 gManitol 0.525 g
Mengatur tekanan osmo-tik.Menjaga jumlah ATPRBC.Menjaga integritas RBC(mencegah hemolisis)
(Hillyer et al., 2007)
9. Hemolisis
Hemolisis adalah parameter yang sangat penting untuk menilai kualitas RBC yang
disimpan. Penilaian pengaruh lama penyimpanan terhadap kejadian hemolisis RBC, dapat
disimpulkan bahwa ada peningkatan persentase hemo- lisis dengan penyimpanan, terlepas
dari aditif yang digunakan. Hemolisis RBC yang terjadi selama pengolahan komponen dan
penyimpanan unit RBC memiliki implikasi klinis yang serius bagi pasien yang ditransfusi.
Mendeteksi hemolisis berlebihan penting untuk meminimalkan transfusi terkontaminasi
bakteri dalam unit RBC. Kalium tinggi dan Hb bebas itu sendiri dapat menyebabkan
komplikasi yang signifikan pada beberapa pasien. Hemolisis dalam komponen darah
merupakan indikator penting dari integritas selular dan parameter kualitas. Kadar hemolisis
dapat diperkirakan dengan penilaian visual, tes spektrofotometri dan metode photometri
(Makro et al., 2011).
Pada sebagian bank darah, pemeriksaan visual dari segmen tabung sampel dan unit darah
digunakan sebagai metode cepat dan mudah untuk mendeteksi hemolisis dalam satuan darah.
Hemolisis karena kerusakan RBC sangat penting untuk laboratorium karena dapat
mempengaruhi hasil laboratorium. Hal ini dapat bervariasi dari satu tes ke tes lain tergantung
pada reagen digunakan. Hemolisis dapat terjadi in vivo (pada pasien), karena berbagai kondisi
medis, termasuk reaksi antigen-antibodi atau anemia hemolitik (Makroo et al., 2011).
Hemolisis dapat terjadi selama pengumpulan darah in vitro karena pena- nganan yang
tidak tepat, transportasi, dan penyimpanan. Jumlah hemolisis yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan tergantung pemeriksaan yang dilakukan. Secara umum sedikit hemolisis
memiliki pengaruh yang kecil pada kebanyakan pemeriksaan, namun dapat menyebabkan
peningkatan hasil pemeriksaan untuk parameter tertentu seperti K+ dan LDH. Sampel terlalu
hemolisis dapat mempengaruhi hasil banyak tes (Lippi et al., 2008).
10. Diethyl Hexyl Phthalate (DEHP) - Polyvinil Chloride (PVC)
Kantong PVC dengan DEHP adalah wadah penyimpanan darah donor standar. Kantong
DEHP mengurangi hemolisis empat kali lipat selama penyimpanan dengan interkalasi ke
membran RBC, dan akan memperpanjang waktu simpan darah 6 minggu sesudah
pengambilan darah. Ketika donor memberikan darah berupa WB, awalnya disimpan di
kantong DEHP PVC plasticized, kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi dan dipisahkan
menjadi komponen PRC dan plasma kaya trombosit. Packed red cells yang disimpan di
kantong DEHP PVC dan Platelet rich plasma (PRP) disimpan dalam kantong poliolefin atau
PVC tris (2-ethylhexyl) trimellitate (TETM). Packed red cells biasanya disimpan segar di
refrigerator pada suhu berkisar antara 1° - 6°C dan waktu simpan 35 - 42 hari (AABB,
2010).
11. Laktat Dehidrogenase
Laktat dehidrogenase mengkatalisis reduksi reversible piruvat menjadi
laktat oleh nicotinamide adenine dinucleotide (NADH). Enzim LDH terdiri dari sub unit H
(hati) dan M (otot). Di dalam sub unit RBC, subunit dominan adalah LDH-H (Clevenger and
Kelleher, 2013). Peningkatan aktivitas enzim LDH terkait dengan perubahan permeabilitas
sel, kerapuhan membran eritrosit oleh karena penyimpanan yang lama dan mencerminkan
penurunan kon- sentrasi ATP dalam eritrosit (Lateef, 2011).
Terdapat bebrapa obat tertentu yang dapat mengganggu tes LDH yang akurat. Vitamin C
(asam askorbat) dalam jumlah besar dapat menurunkan kadar LDH, selain itu alkohol,
anestesi, aspirin, fluorida, mitramisin, dan procainamide dapat meningkatkan kadar LDH.
Olahraga berat juga dapat meningkatkan kadar LDH. Kekurangan LDH mengakibatkan tubuh
memecah glukosa untuk digunakan sebagai energi dalam sel, terutama sel-sel otot. Laktat
dehidrogenase adalah enzim hidrogen yang mengkatalisa oksidasi L laktat menjadi piruvat
dengan mediasi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) sebagai aseptor hidrogen (Burtis,
2011).
Gambar 2. Reaksi LDH ( Burtis, 2011)
Reaksi reversibel dan reaksi equilibrium reduksi piruvat menjadi laktat (PL) atau reaksi
sebaliknya (LP). pH optimal untuk reaksi laktat menjadi piruvat (LP) adalah 8,8 sampai
9,8 dan assay campuran dioptimalkan untuk LD-1 pada 370C, mengandung NAD+, 9 mmol/L,
dan l-laktat, 80 mmol/L. Untuk assay PL pada 370C, pH optimal 7,4-7,8 NADH 300
umol/L dan piruvat 0,85 mmol/L. pH optimal bervariasi tergantung temperatur, konsen- trasi
substrat dan buffer (Anonim, 2013).
Laktat dehidrogenase pada darah simpan, deoxyHb mengikat domain sitosol band 3,
sehingga memicu pemisahan kelompok enzim glikolitik (termasuk gliseraldehida 3 - fosfat
dehidrogenase, fosfofruktokinase dan aldo - lase yang mengikat langsung ke N-terminal band
3, piruvat kinase (PK) dan LDH (Lewis et al., 2009). Pemindahan enzim glikolitik dari
membran ke sitosol sesuai dengan peningkatan aktivitas enzim glikolitik, menghasilkan fluks
glikolitik dan menurunkan pH sitosol. Secara paralel, pH menurun memiliki umpan balik
negatif pada aktivitas enzim (D'Alessandro et al., 2010).
a. Pengaruh peningkatan LDH
Laktat dehidrogenase terdistribusi luas pada seluruh jaringan, peningkatan kadar LDH
serum terjadi bervariasi pada kondisi klinis seperti infark miokard, hemolisis, gangguan
hati, ginjal, paru dan otot. Hemolisis, jika cukup berat menghasilkan pola isoenzim serupa
pada infark miokard. Anemia megaloblastik terjadi akibat defisiensi folat dan vitamin B12,
menyebabkan sel precursor eritrosit pada pemecahan sumsum tulang (eritropoesis
inefektif), melepaskan sejumlah besar isoenzim LDH 1 dan LDH 2. Peningkatan aktivitas
total LDH dalam serum yang ditandai dengan peningkatan aktivitas total LDH dalam
serum sampai 50 kali diobservasi pada anemia megaloblastik, dan kembali normal dengan
cepat setelah terapi yang sesuai (Burtis, 2011).
Peningkatan aktivitas LDH terjadi pada penyakit hati, tetapi peningkatan tidak sebesar
pada peningkatan aktivitas aminotransferase. Peningkatan setinggi 10 kali nilai rujukan
terdapat pada jaundice hepatitis toksik. Nilai yang sedikit rendah diobservasi pada
hepatitis virus dan mononukleosis infeksiosa. Aktifitas LDH normal atau lebih dari 2 kali
batas nilai rujukan atas pada sirosis pada obstructive jaundice (Burtis, 2011).
b. Metode untuk menentukan aktifitas LDH.
Metode rutin untuk menentukan aktifitas LDH yaitu forward (L P) dan reverse
(PL). Dalam dekade terakhir ada perubahan yang sig- nifikan dari PL daripada LP.
Metode LP dimonitor berkelanjutan dengan metode referensi, dioptimalkan untuk LDH
1, menggunakan standar International Federation of Clinical Chemistry (IFCC) Committee
pada enzim. Metode ini sebagai basis berkembangnya prosedur referensi IFCC untuk
LDH pada 370C. Serum lebih disukai sebagai spesimen untuk pengukuran aktifitas LDH.
Sampel plasma yang mengandung trombosit mempunyai kandungan LDH. Serum
seharusnya dipisahkan dari clot sesegera mungkin sesudah spesimen didapat. Serum
hemolisis sebaiknya tidak digunakan sebab eritrosit mengandung 150 kali aktifitas LDH
(khususnya LDH 1 dan LDH 2) dibandingkan serum. Perbedaan isoenzim bervariasi pada
sensitivitasnya terhadap suhu dingin, LDH 4 dan LDH 5 khususnya labil. Aktifitas LDH 4
dan LDH 5 hilang jika sampel disimpan pada -200C. Spesimen serum yang disimpan pada
suhu kamar tidak akan kehilangan aktifitasnya paling sedikit 3 hari (Anonim, 2013).
c. Interval Referensi
Nilai untuk LDH activity pada serum bervariasi tergantung pada arah reaksi enzim dan
metode yang digunakan. Nilai rujukan pada subyek dewasa ditentukan dengan prosedur
rujukan IFCC dengan kadar 125-220 U/L. Nilai rujukan LD lebih tinggi pada anak-anak
(180-360 U/L) (Burtis, 2007).
12. Reaksi Transfusi
Reaksi transfusi berdasarkan ada tidaknya respon imunologi, dibedakan menjadi dua
yaitu :
a. Reaksi Transfusi Imunologi
Reaksi antigen-antibodi dari eritrosit, leukosit, atau protein plasma berperan dalam
reaksi transfusi pada resipien. Reaksi ini dibuat oleh respon tubuh terhadap protein asing,
karena transfusi darah dapat mengenalkan antigen asing dan dengan konsekuensi
imunisasi atau imunosupresi. Hampir semua reaksi transfusi imunologi akut dan atau
reaksi transfusi berat disebabkan alloantibodi (Norfolk, 2013).
b. Reaksi Transfusi Non Imunologi
Reaksi transfusi non imunologi diakibatkan adanya kelainan mekanik, terutama pada
pasien yang mendapat transfusi darah masif, yaitu akibat darah tidak dihangatkan
sebelum ditransfusikan sehingga terjadi hipo termia, atau volume darah yang
ditransfusikan melebihi cardiac output pasien seperti yang terjadi pada pasien berusia
lanjut dan penderita heart failure. Reaksi transfusi darah non imunologi juga bisa
disebabkan karena kelainan metabolik seperti keracunan sitrat dan eritrosit yang sudah
rusak dalam darah transfusi, sehingga melepaskan K+ yang dapat menyebabkan
hiperkalemia dan berisiko terjadi aritmia jantung. Reaksi transfusi non imunologi dapat
disebabkan oleh transfusion transmitted infection (TTI), pemberian berturut-turut cairan
hipotonik pada transfusi, kontaminasi bakteri dari darah donor, hemolisis akibat
penanganan yang tidak baik dari darah seperti overheating atau freezing (Cullough, 2007 ;
AABB, 2010).
B. Kerangka Pikir
Gambar 3. Kerangka Pikir
C. Hipotesis
Ada perbedaan kadar LDH pada PRC CPDA1 dan PRC CPD-SAGM berdasarkan waktu
simpan darah.
BAB III.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional
untuk membandingkan waktu simpan darah dan LDH pada PRC simpan. Kajian terhadap
CPDA1 dan CPD SAGM.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di sumber pengambilan sampel, yaitu di UDD PMI Kota Surakarta,
sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan di Instalasi Patologi Klinik RSDM di Surakarta.
Waktu penelitian mulai bulan Juni 2015 - Juli 2015.
C. Subyek Penelitian
1. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi target adalah PRC CPDA1 dan PRC CPD SAGM yang diambil di UDD PMI
Kota Surakarta sesuai kriteria pengambilan darah donor. Populasi terjangkau PRC CPDA1
dan PRC CPD SAGM yang diambil di UDD PMI Kota Surakarta sesuai kriteria
pengambilan darah donor pada bulan Juni 2015 - Juli 2015.
b.Sampel
Pemilihan subyek penelitian dilakukan secara accidental sampling, subyek dipilih
secara non random berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian adalah
plasma pada PRC CPDA1 dan PRC CPD SAGM yang disimpan dalam bloodbank suhu 2-
60C pada hari ke 3, 7, 14, 21, 28 dan 35.
Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini, dihitung berdasarkan rumus
(Dahlan, 2009):
Keterangan:
N = jumlah sampel
Zα = derivat baku alfa = 1,96 (kesalahan ditetapkan α = 5%, hipotesis dua arah)
S= standar deviasi
d = presisi, ditetapkan 2
Penelitian tentang kadar LDH pada WB dan PRC CPDA1 pernah dilakukan oleh Marjani
(2006). Marjani melakukan penelitian untuk menentukan perubahan plasma lipid peroksidasi
dengan mengukur kadar MDA dan TAS pada darah simpan. Whole blood CPDA1 diambil dari
10 pendonor. Red blood cells dihitung dalam WB. Potasium, LDH activity diukur pada plasma
untuk menen- tukan hemolisis, MDA dan total antioksidan diukur pada plasma untuk
menentukan lipid peroksidase dan sistem antioksidan. Pengukuran dilakukan pada hari
penyimpanan ke 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31, 33, 35. Kadar MDA
meningkat signifikan pada hari ke 9, K+ meningkat pada hari ke 5, dan LDH meningkat
signifikan pada hari ke 5 (p < 0,05) dengan rerata dan simpangan baku (SB) 516 ± 2,51 U/L dan
TAS menurun secara signifikan pada hari penyimpanan ke 13, dan RBC menurun pada hari
penyimpanan ke 29 (p < 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar MDA
dan penurunan TAS menunjukkan kerusakan sel disebabkan radikal bebas pada hari
penyimpanan. Untuk meningkatkan kualitas darah simpan dengan memberikan suplemen
Zα x SN =
d
2
antioksidan dan vitamin pada pendonor seminggu sebelum peng- ambilan darah. Peningkatan
kadar MDA dan penurunan TAS pada darah simpan merupakan permulaan dari hemolisis,
sehingga perlu untuk mengontrol faktor MDA dan TAS sebelum transfusi darah.
Perbandingan kadar LDH pada PRC simpan, kajian terhadap CPDA1 dan CPD SAGM
dengan memasukkan nilai tersebut ke rumus besar sampel, jumlah sampel yang dibutuhkan
dalam penelitian ini 7 sampel plasma, kemudian ditambahkan 3 sampel sebagai cadangan
sehingga total sampel berjumlah 10 sampel CPDA1 dan 10 sampel CPD SAGM .
1. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi
Populasi PRC CPDA1 dan PRC CPD – SAGM yang didapat dari proses pemisahan
WB menggunakan kantong darah triple CPDA 1 dan quadriple CPD SAGM dengan alat
Compomat G4 dan sampel plasma dari kantong PRC CPDA1 dan kantong PRC CPD
SAGM yang disimpan di bloodbank suhu 2-60C selama hari ke 3, 7, 14, 21, 28, dan 35.
b. Kriteria Eksklusi
Sampel plasma lisis selama pemrosesan pemisahan PRC dari WB.
D.Skema Alur Penelitian
Gambar 4. Alur Penelitian
E. Cara Penelitian
Subyek penelitian adalah PRC CPDA1 dan CPD SAGM yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi untuk seleksi donor. Identitas subyek dicatat dalam formulir penelitian, dipilih
secara accidental. Pengambilan darah donor dilakukan di UDD PMI Kota Surakarta sebanyak
350 ml dengan kantong da- rah CPDA1 dan 450 ml dengan kantong darah CPD SAGM.
Dilakukan pemi- sahan komponen menjadi plasma, PRC, trombosit, dan BC. Packed red cells
CPDA1 dan PRC CPD SAGM dilakukan homogenisasi dan dilakukan pembuatan segmen
pada selang kantong darah sebanyak 7 segmen untuk persiapan pemeriksaan crossmatching,
Pendonor di UDD PMI Kota Surakarta
Sampel plasma
Pemeriksaan LDH plasmaLDH
CRP & HepsidinAnalisis hasil
Pemisahan Komponen darah
Pengambilan darah donor WB CPDA1SAGM
PRC CPDA1 atau CPD SAGM
Hari 3
11 11
Hari 7 Hari 14 Hari 21 Hari 28 Hari 35
Plasma Trombosit Buffycoat
Pengambilan darah donor WB CPD SAGM
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Pemeriksaan Hb, Hct, AL, AT, AE Pemeriksaan Hb, Hct, AL, AT, AE
Pemisahan Komponen darah
kemudian dilakukan penyimpanan di bloodbank dengan suhu 2-60 C. Masing-masing PRC
dipersiapkan untuk pemeriksaan LDH pada hari penyimpanan 3, 7, 14, 21, 28, dan 35 hari.
F. Prosedur Pemeriksaan Laboratorium
Metode pemeriksaan yang selama ini dengan menggunakan alat ADVIA 1800 adalah
metode LDH laktat (L-P LDH) dan metode LDH piruvat P-L LDH). Penelitian ini
menggunakan metode LDH piruvat/ NADH (P-L LDH).
1. Metode LDH laktat / NAD (L-P LDH)
a. Tipe spesimen :
Serum atau plasma, suhu penyimpanan reagen 2- 80C .
b. Tujuan :
Penggunaan in vitro diagnostik, penilaian kuantitatif LDH activity pada serum
manusia dan plasma menggunakan alat ADVIA Chemistry System. Pengukuran yang
digunakan terutama untuk diagnosis dan terapi infark miokardia dan infark pulmonalis,
juga untuk monitor kemoterapi kanker.
c. Prinsip prosedur :
Prosedur ini untuk menentukan LDH L-P (LDLP) berdasar metode Amador. LDH
melakukan katalisis konversi L-laktat menjadi piruvat dengan adanya NAD. Aktivitas
enzim LDH sesuai dengan rata-rata pro- duksi NADH (reduced NAD). Sejumlah NADH
diproduksi ditentukan dengan mengukur peningkatan absorban 340/410 nm. Persamaan
reaksi
LDHL- Laktat + NAD + H+ Piruvat + NADH+
(Anonim, 2013)
d. Komponen dan konsentrasi reagen :
Tabel 2. Komponen dan konsentrasi reagen
Reagen Komponen Konsentrasi
Reagen 1 L-lactic acidSodium azide
62 mmol/L0,09%
Reagen 2 NAD 27 mmol/L
Keterangan :NAD = Nicotinamide adenine dinucleotide
(Anonim, 2013)
e. Persiapan reagen :
Reagen siap untuk digunakan, sebelum digunakan homogenkan reagen dengan
memutar perlahan-lahan dan buang gelembung.
f. Penanganan sampel :
Jangan menggunakan sampel hemolisis, sampel harus dipisahkan dari bekuan
sesegera mungkin untuk menghindari hasil meningkat palsu karena tingginya kadar LDH
RBC. Penggunaan antikoagulan heparin lithium dapat digunakan untuk metode ini.
Peningkatan kadar LDH plasma terjadi akibat dari pelepasan LDH dari RBC atau
platelet. Sampel yang lebih sering digunakan untuk pemeriksaan LDH adalah serum.
g. Kalibrasi :
Menggunakan fixed system factor value (FV), yang berdasarkan molar extinction
coefficient dari NADH pada 340 nm, disesuaikan dengan korelasi sampel pasien dari
metode referensi IFCC. Satu unit dari sejumlah enzim yang diperlukan untuk memproduksi 1
µmol NAD per menit.
h. Kontrol Kualitas :
Kontrol digunakan paling sedikit 2 level (low dan high). Hasil kontrol diterima bila
nilai analit dalam range kontrol yang diterima sesuai packed insert Siemens
Diagnostics Assayed Chemistry Controls atau ditentukan dengan pola kontrol kualitas
laboratorium internal. Kontrol juga dilakukan bila menggunakan lot reagen baru,
melakukan sistem maintenance, atau prosedur troubleshooting.
i. Interferen :
Seluruh parameter analitik (serum/plasma), dipersiapkan pada sistem untuk flag
lipemia (turbidity), hemolisis dan ikterus. Hindarkan sampel hemolisis.
Tabel 3. Interferen LDH L-P pada ADVIA 1800LDH LP
KadarInterferen Kadar interferen Konsentrasi Interferen*Bilirubin 30 mg/dL 126 U/L NSIBilirubin (513 µmol/L)Lipemia 650 mg/dL 126 U/L NSI
(7.4 mmol/L)*** NSI = No Significant Interference. A percentage effect ≥ 10% is consideredsignificant interference, **as triolein, LDH = laktat dehidrogenase, LP =Laktat piruvat
(Anonim, 2013)
j. Presisi :
Setiap sampel diuji 2 kali per run, 1 atau 2 runs tiap hari, paling sedikit 20 hari.
e. Analytical Range :
Metode ini linier 20 – 700 U/L untuk serum dan plasma, kondisi automatic rerun
4200 U/L pada ADVIA 1800 untuk serum dan plasma.
l. Nilai rujukan :
Nilai rujukan untuk metode ini adalah 120 – 246 U/L (Anonim, 2013).
1. Metode LDH piruvat/NADH
a. Tipe spesimen :
Serum atau plasma, suhu penyimpanan reagen 2- 80 C.
b. Tujuan :
Untuk penggunaan in vitro diagnostik, penilaian kuantitatif LDH ac tivity pada
serum manusia dan plasma dengan menggunakan alat ADVIA Chemistry System.
Pengukuran yang digunakan terutama untuk diagnosis dan terapi infark miokard dan
infark pulmonalis juga untuk monitor kemoterapi kanker.
c. Prinsip prosedur :
Laktat dehidrogenase mengkatalisis konversi piruvat menjadi L laktat yang
menyebabkan oksidasi NADH menjadi NAD. Rata-rata oksidasi yang proporsional pada
aktivitas LDH dimonitor dengan mengukur penurunan absorban pada 340/410 nm.
Persamaan reaksi : LDHPiruvat + NADH+ L-laktat + NAD + H+
d. Komponen dan konsentrasi reagen :
Tabel 4. Komponen reagen LDH P- LReagen Komponen KonsentrasiReagen 1 NADH 216 umol/L
Sodium azide 0,09%Reagen 2 Piruvat 3,6 mmol/L
Sodium azide 0,09 %Keterangan = NADH = Nicotinamide adenine dinucleotide hidrogen
(Anonim, 2013)
e. Persiapan reagen :
Reagen siap untuk digunakan, sebelum digunakan homogenkan reagen dengan
memutar perlahan-lahan dan buang gelembung
f. Kalibrasi :
Menggunakan FV, yang berdasar pada molar extinction coefficient dari NADH pada
340 nm, disesuaikan dengan korelasi sampel pasien dari metode referensi IFCC. Satu unit
dari sejumlah enzim yang diperlukan untuk memproduksi 1 µmol NAD per menit.
g. Kontrol Kualitas :
Kontrol digunakan paling sedikit 2 level (Low dan High). Hasil kontrol
diterima bila nilai analit dalam range kontrol yang diterima sesuai packed
insert Siemens Diagnostics Assayed Chemistry Controls atau ditentukan
dengan pola kontrol kualitas laboratorium internal. Kontrol juga dilakukan bila
menggunakan reagen baru, melakukan sistem maintenance, atau prosedur
troubleshooting.
h. Interferen :
Seluruh parameter analitik (serum/plasma), dipersiapkan pada sistem
untuk flag kadar yang berbeda pada lipemia (turbidity), hemolisis dan
ikterus. Hindarkan sampel hemolsis.
Tabel 5. Interferen LDH P-L pada ADVIA 1800LDH P-L
Interferen Kadar interferen Konsentrasi Interferen*Bilirubin 30 mg/dL 126 U/L NSIBilirubin (513 µmol/L)Lipemia 650 mg/dL 126 U/L NSI
(7,4 mmol/L)*** NSI = No Significant Interference. A percentage effect ≥ 10% is consideredsignificant interference, **as triolein, LDH = laktat dehidrogenase, P- L =Piruvat = Laktat
(Anonim, 2013)
i. Presisi
Setiap sampel diuji 2 kali per run, 1 atau 2 runs tiap hari, paling sedikit
20 hari.
j. Analytical Range :
Metode ini linier 0 – 1100 U/L untuk serum dan plasma, kondisi auto matis. Rerun
6600 U/L pada ADVIA 1800 untuk serum dan plasma.
k. Nilai rujukan untuk metode ini adalah 208 – 378 U/L.
l. Standarisasi metode ADVIA LDPL didasarkan pada extinction coefficient
NADH. Saat ini tidak ada standar referensi untuk metode ini. Penelitian ini
menggunakan metode piruvat LDH yang mempunyai kelebihan diban dingkan metode
laktat LDH :
i. Yield linearity equal lebih baik dibandingkan metode L-P LDH, sehingga pem-
bacaan spektrofotometer lebih akurat.
ii. Konsentrasi reaktan yang diperlukan lebih rendah sehingga mengurangi cost per
assay.
iii. Reagen solid digunakan untuk mempersiapkan larutan.
iv. Larutan reagen lebih stabil (Krieg et al., 1967)
G. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas pada penelitian ini adalah lama simpan PRC. Variabel lama simpan PRC
ditentukan berdasar waktu simpan darah hari 3, 7, 14, 21, 28, dan 35. Variabel terikat penelitian
ini adalah kadar LDH plasma darah, diukur dengan metode piruvat/NADH. Variabel kadar LDH
plasma darah donor ditentukan berdasarkan nilai rujukan.
H. Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran
1. Waktu simpan PRC adalah lama waktu simpan komponen darah PRC mulai dari pemrosesan
PRC dan kemudian dilakukan penyimpanan di bloodbank mulai hari ke- 3, 7, 14, 21, 28, dan
35. Satuan hari. Skala pengukuran rasio.
2. Laktat dehidrogenase adalah enzim yang mengkatalisis reduksi reversibel piruvat menjadi
laktat oleh nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) Pemeriksaan yang dilakukan yaitu
LDH dengan metode LDH piruvat/NADH, satuan U/L. Skala rasio. Nilai rujukan LDH pada
orang dewasa 140-300 U/L (Clevenger and Kelleher, 2013).
I. Kontrol Kualitas Internal
Mutu hasil pemeriksaan laboratorium agar dapat dipertanggungjawabkan maka perlu
didahului dengan uji ketelitian (presisi) dan ketepatan (akurasi) analitik. Uji presisi untuk melihat
konsistensi hasil pemeriksaan yaitu kedekatan hasil beberapa pengukuran pada bahan uji yang
sama. Uji presisi dilakukan dengan cara melakukan uji within day dan day to day. Presisi diukur
dengan rerata, simpangan baku (SB) dan koefisien variasi (KV). Rumus SB=√∑d2/2n, sedangkan
rumus KV= [(SB/rerata)x100%], d=selisih, dan n=jumlah sampel. Semakin kecil nilai KV (%),
semakin teliti metode tersebut (Wijono et al., 2004; Linnet and Boyd, 2006).
Uji presisi yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji presisi day to day, menggunakan
bahan kontrol yang diukur sebanyak sepuluh hari berturut - turut. Hasil yang didapat kemudian
digunakan untuk menghitung KV dengan menggunakan rumus seperti yang tersebut diatas.
Ketepatan (akurasi) adalah kedekatan hasil pemeriksaan dengan nilai yang sesungguhnya
(true value). Akurasi dinilai dari hasil pemeriksaan bahan kontrol dan dihitung sebagai nilai
biasnya (d%). Rumus d% = [(rerata – NA)/NA], NA = nilai aktual atau sebenarnya dari bahan
kontrol (Wijono et al., 2004; Linnet and Boyd, 2006).
Kalibrasi peralatan sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium
yang terpercaya dan menjamin penampilan hasil pemeriksaan. Kalibrasi yang dilakukan adalah
kalibrasi alat ADVIA Chemical Analyzer, spektrofotometer, sentrifus dan pipet. Kalibrasi alat
spektrofotometer meliputi ketepatan pengukuran absorban, ketepatan panjang gelombang,
linearitas alat dan stray light. Kalibrasi sentrifus meliputi kalibrasi revolution per minutes (rpm).
Kalibrasi bloodbank penyimpan PRC dengan thermometer standar.
J. Analisis Statistik
Data karakteristik subyek penelitian disajikan dalam bentuk deskriptif. Distribusi dinilai
dengan menggunakan uji statistik Saphiro Wilk. Perbedaan antar kelompok dinilai dengan
menggunakan independent sample t test jika distribusi data normal atau uji non parametrik jika
distribusi data tidak normal.
K. Prosedur Penelitian
Blangko data diperiksa, dilengkapi peneliti dan selalu dilakukan konsultasi. Semua hasil
pemeriksaan dicatat dan dikumpulkan dalam bentuk formulir terpadu, data yang diperoleh
dianalisis dengan perhitungan statistik dan dimasukkan tabel hasil penelitian.
L. Pertimbangan Etik
Penelitian ini meminta persetujuan komisi etika penelitian biomedis Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/RSDM di Surakarta dan persetujuan pasien. Pernyataan bersedia
sebagai subyek penelitian diperoleh dengan terlebih dahulu menerangkan secara singkat latar
belakang, tujuan, manfaat penelitian, serta teknik pengambilan sampel darah kepada pasien.
Pasien menandatangani surat pernyataan bersedia menjadi subyek penelitian yang telah
disediakan.
Agustina Westeran Darah Segar SDH Vol.1 No.1
PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN LAJU ENDAP DARAH CARA
WESTERGREN ANTARA SAMPEL DARAH SIMPAN DAN
SAMPEL DARAH SEGAR
Oleh
Agustina Dwi Indah V.
Dosen Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang
INTISARI
Laju endap darah (LED) adalah menurunnya atau mengendapnya sel darah merah dalam
darah dengan antikoagulan yang diukur dengan tingginya kolom plasma yang terbentuk dalam
waktu tertentu dinyatakan dalam millimeter per jam.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi laju endap darah antara lain faktor eritrosit, komposisi
plasma dan teknik. Dalam hal ini, penggunaan sampel darah yang disimpan tentulah berpengaruh
terhadap nilai LED. Penelitian ini untuk membuktikan apakah ada perbedaan antara hasil
pemeriksaan laju endap darah (LED) cara Westergren pada sampel darah segar dan sampel darah
simpan selama 4 jam. Motode pemeriksaan yang digunakan adalah ”westergren” kemudian
dilakukan pemeriksaan.
Kata kunci: sel darah simpan dan sel darah segar,LED,eritrosit
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemeriksaan darah lengkap merupakan pemeriksaan yang sering di minta oleh klinisi
karena dari pemeriksaan darah lengkap dapat membantu diagnosis penderita. Pemeriksaan darah
lengkap juga dapat digunakan untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya atau kemana
penderita itu akan dirujuk. Oleh karena itu, pemeriksaan darah lengkap merupakan pemeriksaan
dasar yang sangat penting dan perlu dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga hasil yang
diterima oleh penderita dan dibaca oleh klinisi dapat dipercaya ketepatannya. Laju endap darah
(erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut kecepatan endap darah (KED) atau laju
sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku,
dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat
selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit
kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian
ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis
yang menyebabkan temuan tidak akurat.
Berdasarkan pengamatan peneliti, pemeriksaan darah lengkap pada rumah sakit
ditempat yang lebih maju saat ini sudah menggunakan alat-alat otomatis, sehingga hasil
pemeriksaan darah lengkap dapat diambil segera. Tetapi untuk efisiensi kerja dan kelanggengan
alat yang digunakan, tidak jarang bahan atau sampel darah yang akan digunakan untuk
pemeriksaan darah lengkap tersebut dikumpulkan atau disimpan terlebih dahulu untuk diperiksa
bersamaan. Selain itu,bila hasil pemeriksaan yang ada tidak sesuai dengan keadaan klinis dari
penderita dan timbul keragu-raguan terhadap hasil tersebut, maka pemeriksaan darah lengkap
harus diulang. Bahan atau sampel yang digunakan untuk pemeriksaan ulang ini dapat
menggunakan bahan darah yang masih tersimpan atau bahan darah pengambilan baru. Ditinjau
dari segi penderita, pengambilan yang berulang-ulang menyebabkan penderita merasa kurang
nyaman, sedangkan penggunaan sampel darah yang masih tersimpan sulit diketahui
kebenarannya.
Laju endap darah (LED) adalah menurunnya atau mengendapnya sel darah merah dalam
darah dengan antikoagulan yang diukur dengan tingginya kolom plasma yang terbentuk dalam
waktu tertentu dinyatakan dalam millimeter per jam. Laju endap darah adalah tes yang tidak
spesifik namun masih umum digunakan sebagai indicator penilaian aktifnya suatu penyakit. Oleh
karena itu, laju endap darah masih sering digunakan rutin secara manual. Metode Westergren
adalah metode yang lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan laju endap darah.
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi laju endap darah antara lain faktor eritrosit,
komposisi plasma dan teknik. Dalam hal ini, penggunaan sampel darah yang disimpan tentulah
berpengaruh terhadap nilai LED. Untuk mengetahui pengaruh penyimpanan sampel darah
terhadap hasil pemeriksaan LED cara Westergren, maka dilakukan penelitian perbandingan hasil
pemeriksaan LED Westergren pada sampel darah segar dan sampel darah yang disimpan selama
4 jam.
Tinjauan Pustaka
Sel Darah Merah ( Eritrosit ) Darah merupakan komponen esencial makhluk hidup. Dalam keadaan fisiologik, darah
selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai pembawa
oksigen atau oksigen carrier, mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi dan mekanisme
hemostatis. Darah terdiri dari dua komponen utama, pertama plasma darah yaitu bagian darah
yang sebagian terdiri atas air, elektrolit dan protein darah. Kedua, sel-sel darah merah (blood
corpuscle), yang terdiri atas sel-sel darah merah ( eritrosit ), sel darah putih (leukosit), dan
keping darah (trombosit).
Sel darah merah merupakan sel yang terbanyak beredar dalam darah dengan jumlah
±5x1012 per liter darah. Sel darah merah yang matang berbentuk non-nuncleated biconcave disc,
berdiameter ± 7-8 m dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 dan pada bagian
tengah (central pallor) 1 m mempunyai kemampuan mengubah bentuk membran, tidak
mengandung organel didalamnya, tetapi mengandung 640.000.000 molekul hemoglobin. Volume
rata-rata sel darah merah adalah 90-95 m. bentuk sel darah merah yang bikonkaf ini
mempermudah sel darah merah merubah bentuk, sehingga dapat melewati pembuluh darah
dengan mudah walaupun diameter pembuluh darah tersebut lebih kecil dari pada sel darah merah,
sel darah merah akan merubah bentuknya menjadi bulat atau sferis dan kemudian
mengembalikan bentuknya menjadi bikonkaf. Fakor yang mempengaruhi sel darah merah untuk
dapat mempertahankan bentuknya masih belum jelas karena sel darah merah dipengaruhi oleh
berbagai kemapuan. Sel darah merah dalam keadaan normal, bila disimpan pada suhu 4C akan
berubah bentuk menjadi relatif sferosit. Perubahan bentuk sel darah merah ini tidak diikuti oleh
perubahan pada volume sehinnga dengan metabolism yang aktif dapat normal kembali. Umur sel
darah merah manusia kurang lebih 120 hari, setelah itu akan dihancurkan. Penghancuran sel
darah merah ini didahului dengan adanya senescence atau tanda-tanda ketuaan dari sel darah
merah dan terjadi beberapa tahapan penghancuran sel darah merah. Penghancuran sel darah
merah dapat terjadi secara ekstravaskuler dan intravaskuler. Penghancuran sel darah merah
ekstravaskuler terjadi ± 80-90% dari penghancuran sel darah merah di limpa. Sedangkan
penghancuran intravaskuler terjadi ±10-20% dari penghancuran sel darah merah di dalam
peredaran darah. Pada aliran darah yang lambat, tampak adanya agregasi sel darah merah di
dalam darah. Dalam keadaan seperti ini, sel darah merah dapat bermacam-macam. Agregasi sel
darah merah dapat terjadi anter sel darah merah sampai beratus-ratus sel darah merah. Pada
aliran darah yang sangat lambat, sel darah merah akan menumpuk dan berjalan dengan perlahan-
lahan. Bentuk seperti ini disebut rouleaux. Didalam pembuluh darah yang besar, agregasi sel
darah merah tersebut akan terurai kembali oleh adanya peningkatan kemampuan melepaskan diri
dari sel darh merah yang lain. Sel darah merah mampu untuk mempertahankan kekuatan dan
fleksibilitasnya. Kemampuan ini tergantung pada struktur protein sitoskeleton dan cara
sitoskeleton berinteraksi dengan lapisan lemak dan membran.
Membran Sel Membran sel darah merah terdiri atas lipid dua lapis atau yang disebut lipid bilayer,
protein membran integral dan suatu langka membran.sekitar 50% dari membran sel darah merah
adalah protein, 40% lemak, dan 10% karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan
luar sedangkan protein perifer atau integral menembus lipit bilayer (Dewi Asih Mahanani, 2002).
Sebagian protein integral membentuk suatu saluran struktural atau pori-pori yang dapat
dilewati oleh bahan-bahan yang hanya terlarut dalam air (selektif permrabel), terutama ion yang
berdifusi antar cairan extracelular dan cairan intracelular. Protein integral juga bekerja sebagai
pengangkut untuk mengangkut bahan-bahan ke arah berlawanan dengan arah difusi yang
sebenarnya, ini disebut transpor aktif. Selain itu terdapat protein parifer yang secara normal
melekat pada protein integral dan tidak menembus membran. Protein perifer ini berfungsi hampir
seluruhnya sebagai enzima tau sebagai jenis pengatur fungsi intracelular. Rangka membran
terbentuk oleh protein-protein struktural yang mencangkup spectrin α dan β, ankyrin, actin,
tropomycin, adducin, tropomudulin, protein 3, protein 4.1, dan protein 4.2 (paladin). Protein-
protein tersebut membentuk jaring horizontal pada sisi dalam membran dan penting untuk
mempertahankan bentuk bikonkaf sel darah merah.
Struktur dasar lapisan lipid bilayer terdiri atas molekul-molekul fosfolipid. Salah satu
bagian dari setiap molekul fosfolipid ini larut dalam air yaitu hidrofilik yang terletak dibagian
luar berhadapan dengan cairan extacelular. Bagian lain hanya larut dalam lemak disebut
hirofobik yang berhadapan dengan sitoplasma. Gugus fosfat dari fosfolipid besifat impermeable
terhadap bahan-bahan yang larut dalam air, seperti ion, glulosa, dan urea. Sebaliknya, bahan-
bahan yang larut dalam lemak seperti oksigen, karbondioksida, dan alcohol dapat dengan mudah
menembus membran ini.
Karbohidrat pada membran umumnya dalam bentuk glikolipid dan glikoprotein,
karbohidrat ini berfungsi meningkatkan hidrofilisitas lemak dan protein, mempertahankan
stabilitas membran oleh adanya struktur yang disebut glikokaliks. Glikolipid yang terdapat pada
membran sel juga berperan dalam reakso imunologis dengan membentuk antigen golongan darah
(Arthur Guyton,1997).
Transport ion dan molekul melalui membran
Transpor melalui membran sel baik secara langsung melalui lapisan lipid bilayer
ataupun melalui protein terjadi salah satu dari dua proses dasar yaitu difusi (yang disebut
transpot pasif) dan transpor aktif. Difusi adalah garak acak antar molekul zat, melalui ruang
intramolekuler pada membran ataupun melalui kombinasi dengan protein integral dari daerah
yang berkonsentrasi tinggi (hipertonik) ke daerah berkonsentrasi rendah (hipotonik). Energi yang
menyebabkan difusi adalah energi kinetik normal dari molekul. Sebaliknya, transpor aktif berarti
gerakan ion atau zat lainnya melintasi membran berkombinasi dengan protein integral melawan
gradien energi yaitu daerah yang berkonsentrasi rendah (hipotonis) ke daerah berkonsentrasi
tinggi (hipertonis). Transport aktif membutuhkan sumber energy secara langsung berasal dari
pemecahan Adenosin Trifosfat (ATP). Mekanisme tranpor aktif yang telah dipelajari secara
sangat rinci adalah pompa natrium-kalium (Na+ -K+ pump) , yaitu suatu proses tranpor yang
memompa ion natrium keluar melalui membrane sel dan pada saat yang bersamaan memompa
ion kalium dari luar ke dalam. Pompa ini terdapat pada seluruh sel tubuh, termasuk sel darah
merah, dan bertanggung jawab atas pemeliharaan perbedaan konsentrasi natrium dan kalium
antara bagian luar dan bagian dalam membran sel demikian juga untuk menetapkan potencial
listrik negatif di dalam sel.
Berikut adalah 3 keistimewaan khusus protein integral yang penting untuk fungsi
pompa Na+ -K+ :
1. Memiliki tiga tempat reseptor untuk mengikatkan ion natrium pada bagian protein yang
menonjol ke bagian dalam sel.
2. Memiliki dua tempat reseptor untuk ion kalium pada bagian luar.
3. Bagian dalam dari protein ini berbatasan atau dekat dengan tempat pengikat natrium yang
memiliki aktifitas ATPase.
Pada saat ion natrium terikat pada bagian dalam protein pembawa, fungsi ATPase pada
protein menjadi aktif. Keadaan ini kemudian akan memecahkan satu molekul ATP menjadi
adenosin difosfat dan membebaskan fosfat energi tinggi yang mengikat energi. Energi ini
kemudian diduga menyebabkan perubahan bentuk pada molekul protein pembawa, mendorong
ion natrium keluar dan ion kalium ke dalam. Mekanisme persis dari perubahan bentuk protein
pembawa ini tidak diketahui (Arthur Guyton,1997).
Mekanisme Pompa Na+ -K
+ dalam Mengatur Volume Sel
Salah satu fungsi terpenting dari pompa Na+ -K+ ialah untuk mengatur volume sel.
Tanpa fungsi pompa ini, banyak sel tubuh akan membengkak sampai kemudian pecah.
Mekanisme yang mengontrol volume tersebut adalah sebagai berikut, di dalam sel terdapat
sejumlah besar protein dan senyawa organik lain yang tidak dapat keluar dari sel. Kebanyakan
dari komponen ini mengandung muatan negative sehingga pada daerah sekitar komponen ini
banyak berkumpul ion positif. Semua komponen ini cenderung menyebabkan terjadinya osmosis
air ke dalam sel. Kalau hal ini tidak dikendalikan, sel akan membengkak sampai pecah.
Mekanisme normal yang mencegah hal tersebut adalah pompa Na+ -K+. pompa ini memompa
tiga ion Na+ ke luar setiap terjadi pemasukan dua ion K+ ke dalam. Selain itu, membran sel
memiliki permiabilitas yang jauh lebih rendah terhadap ion natrium dibandingkan dengan ion
kalium, sehingga keadaan ini memungkinkan ion secara terus-menerus keluar dari sel yang
mencetuskan kecenderungan osmotik berlawanan untuk mengeluarkan air dari sel. Selanjutnya,
bila sel mulai membengkak, hal ini secara otomatis akan mengaktifkan pompa Na+ -K+,
mengeluarkan ion yang masih tersisa ke luar dan membawa air besertanya. Oleh karena itu,
pompa Na+ -K+ mempunyai fungsi unruk menjaga volume sel agar tetep normal (Arthur
Guyton,1997).
Pengaruh Ketidak seimbangan Transpor Na+ -K+ Terhadap Bentuk Eritrosit Pengikatan, transport dan penyebaran oksigen tidak memerlukan energi matabolik oleh
eritosit. Eritosit harus mempunyai energi untuk menjalankan fungsinya dan bertahan di sirkulasi
selama masa hidupnya 120 hari. Selain itu, energi ini diperlukan antara lain :
1. Untuk pengaturan besi dalam hemoglobin.
2. Pengaturan kadar kalium yang tinggi dan rendahnya kalsium dan natrium dalam sel untuk
melawan gradien tingginya kalsium dan natrium serta rndahnya kalium dalam plasma.
3. Mempertahankan reaksi oksidasi pada Metabolisme Pathway.
4. Untuk síntesis lemak dan nukleotida.
Eritrosit secara normal mampu mempertahankan hidupnya selama 48 jam pada suhu
73C tanpa sumber energi dari luar. Glukosa adalah sumber energi eritrosit yang dimetabolisme
melalui dua jalur, yaitu Embden Meyerhof glycolytic pathway dan Hexose Monophosphat shunt.
Sebagian besar energi yang diperlukan eritrosit disediakan oleh Embden Meyerhof glycolytic
pathway. Melalui jalur ini, masing-masing molekul dari glukosa dikatabolisme menghasilkan 2
mol ATP. Namun secara anaerobic glukosa juga dikatabolisme menghasilkan piruvat dan laktat
(Ronald A. Sacher, 1991).
Jika energy (ATP) di dalam sel berkurang, fungsi terpenting pompa Na+ -K+ dalam
mempertahankan atau menjaga volume sel akan terganggu. Pemasukan natrium dan kalsium
dalam sel dan pengeluaran kalium keluar sel mengakibatkan osmosis air ke dalam sel, dengan
demikian eritrosit membengkak mengubah bentuk eritosit dari cakram bikonkaf menjadi sferis.
Laju Pengendapan Darah Laju Endap Darah (Erytrocyte Sedimentation Rate) diperkenalkan pertama kali oleh
Westergern pada tahun 1921. Jika darah dicampur dengan antikoagulan dan diletakkan secara
vertikal, sel darah merah akan mengendap secara gradual dengan angka pengendapan yang
ditunjukkan sebagai jarak (dalam milimeter) dimana eritosit jauh per unit berdasarkan waktu.
Pada kebanyakan orang normal, pengendapan berlangsung lambat. Namun pada beberapa jenis
penyakit, pengendapat berlangsung cepat dan pada beberapa kasus, pengendapan berbanding
lurus dengan beratnya suatu penyakit. Pengukuran angka sedimentasi merupakan pemeriksaan
laboratorium yang mempunyai beberapa fungsi antara lain bertujuan mendeteksi proses
keradangan dan memonitor aktifitas atau perjalanan suatu penyakit.
Investigasi pada mekanisme dititik beratkan pada pengendapan sel darah merah. Secara
umum, laju pengendapan darah dipengaruhi oleh faktor sel darah merah, komponen plasma dan
faktor teknis maupun mekanis.
Faktor sel darah merah meliputi : a. Agregasi sel darah merah
Kecepatan pengendapan secara spontan dari sebuah benda bulat yang jatuh bebas ke dalam
cairan yang ditunjukkan oleh persamaan Stokes seperti berikut :
Keterangan :
V : Kecepatan pengendapan
r : jari-jari benda bulat
d1 : kepadatan benda bulat
d2 : kepadatan benda cair
g : kecepatan gravitasi
: viskositas cairan
Dengan mengganti ac untuk r2 dan mengubah denominator menjadi 7,65 . Persamaan
bisa dibuat untuk aplikasi pada benda yang berbentuk cakram yang mempunyai radius “a” dan
ketebalan “c” jatuh melalui plasma (Ponder) ditunjukkan sebagai berikut :
Meskipun formula ini secara tidak langsung diaplikasikan untuk mengukur kecepatan eritrosit di
plasma, namun menunjukkan beberapa hubungan yang relevan. Sebagai contoh, bahwa
kecepatan pengendapan secara langsung sesuai dengan massa partikel yang diendapkan dan
sesuai dengan perbedaan antara kepadatan partikel dan cairan.
b. Jumlah sel darah merah
Ketika jumlah sel darah merah per unit volume darh lebih besar atau lebih kecil dari
normal, laju pengendapan darah akan berubah. Pada anemia berat laju pengendapan darah sangat
cepat disebabkan sedikitnya jumlah sel darah merah yang mengendap dalam volume cairan yang
lebih besar. Hal ini berbeda dengan polisitemia.dengan persamaan alas an bahwa meningkatnya
kepadatan partikel yang akan mengendap cenderung menahan jatuhnya ke dasar mengakibatkan
laju pengendapan darah menjadi lebih lambat.
c. Ukuran sel darah merah
Makrosit lebih cepat mengendap sedangkan mikrosit lebih lambat dari pada sel darah
merah normal. Makrosit mempunyai massa partikel lebih besar dan meningkatkan kecepatan
pengendapan sehingga LED cenderung meningkat.
d. Bentuk sel darah merah
Bentuk sel darah merah yang sferis atau seperti bulan sabit mempersulit pembentukan
rouleaux sehingga laju pengendapan darah akan cenderung menurun. Penurunan laju endap
darah disebebkan oleh permukaan sel relative lebih luas dibandingkan berat sel.
Faktor Teknis Faktor yang sangat mempengaruhi laju pengendapan darah yaitu faktor teknis. Nilai
normal akan tampak berbeda pada variasi metode akibat variasi dari diameter dan ketinggian
tabung yang dipakai . semakin tinggi tabung, semakin cepat pula tahap pertama dari laju
pengendapan karena tertundanya pengisian sel-sel darah pada dasar tabung. Pengendapan yang
cepat juga terjadi pada diameter tabung yang lebih besar. Pemilihan tabung biasanya berdasarkan
pada kemudahan pemakaian tabung Westergern menjadi pilihan banyak peneliti. Untuk
mengurangi jumlah volumen darah yang diperlukan, diameter tabung harus lebih kecil dari
tabung standart. Perbandingan dari variasi tabung dan nilai normal laju pengendapan tampak
pada table tersebut :
Tabel 1. Perbandingan dan variasi tabung dan nilai normal LED dengan berbagai macam metode. Metode Panjang
tabung
(mm)
Diameter
(mm) Volume
(ml) Harga Normal
(mm/jam) Standart
Deviasi
Westergren 300 2,5 1,0 Laki-laki : 0 – 15
Wanita : 0 – 20
Anak-anak :0 – 10
± 1 mm
Cutler 70 5,0 1,0 Laki-laki : 0 – 15
Wanita : 0 – 20
Anak-anak :0 – 10
± 1 mm
Wintrobe 120 2,5 1,0 Laki-laki : 0 – 15
Wanita : 0 – 20
Anak-anak :0 – 10
± 1 mm
Landau-Adams
(micromethode)
120 1,0 0,25 Laki-laki : 0 – 15
Wanita : 0 – 20
Anak-anak :0 – 10
± 1 mm
Smith
(micromethode)
50 2,5 0,25 Laki-laki : 0 – 15
Wanita : 0 – 20
Anak-anak :0 – 10
± 1 mm
Pemasangan tabung yang baik harus dipasang secara tegak lurus. Sedikit kemiringan
akan mempengaruhi kecepatan pengendapan. Kemiringan 3 dapat menimbulkan kesalahan 30%
(Cermin Dunia Kedokteran, Edisi 30). Hal ini disebabkan karena tenggelamnya sel-sel pada satu
sisi tabung. Kesalahan pemasangan tabung yang tidak tegak lurus atau vertikal merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi laju pengendapan darah. Di sisi lain tabung atau pipet tidak boleh
digoyang atau bergetar karena ini akan mempercepat pengendapan.
Penggunaan antikoagulan sangat memungkinkan dapat mempengaruhi pola ukuran sel
untuk mengubah laju pengendapan darah. Tetapi sebenarnya penggunaan antikoagulan secara
umum memberikan variasi kecil jika konsentrasinya dikontrol.
Penggunaan antikoagulan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya degenerasi
dan mengkerutnya sel darah merah sehingga laju pengendapan cenderung menurun. Perbedaan
rata-rata telah ditemukan antara darah yang mengandung potasium oxalat kering dan pada darah
yang sama mengandung potasium dan amonium oxalat mencapai 2 mm per jam dengan metode
Westergren. Dengan standart deviasi ± 1 mm per jam dari metode ini. Perbedaannya tidak
signifikan. Heparin menyebabkan pengerutan sel dan campuran doublé oxalete adalah yang
terbaik. Pengguaan antikoagulan lebih berpengaruh pada hematokrit dari pada laju pengendapan
darah itu sendiri. Penggunaan sodium atau potasium oksalat kering bisa mengerutkan sel darah
merah hingga 11% dan membuat hematokrit 5% lebih rendah dari pada darah yang mengandung
heparin. Jumlah antikoagulan yang digunakan harus diperhatikan dengan tepat. Bila darah yang
diperiksa sudah mengalami pembekuan sebagian, hasil pemeriksaan laju endap darah akan
menjadi lebih lambat karena sebagian fibrinogen sudah terpakai dalam pembekuan (Cermin
Dunia Kedokteran, edisi 30).
Variasi yang kecil dari temperatur ruangan tidak berpengaruh besar pada laju endap
darah. Namun ketika terjadi perbedaan suhu yang cukup besar, laju pengendapan darah akan
dipengaruhi secara signifikan. Suhu optinum selama pemeriksaan adalah 20C, suhu yang tinggi
akan mempercepat pengendapan dan sebaliknya suhu yang rendah memperlambat pengendapan.
Telah diketahui bahwa darah yang disimpan di lemari es, laju pengendapan darah secara
signifikan akan menurun hal ini disebabkan oleh viskositas plasma yang meningkat.
Antikoagulansia untuk Pemeriksaan Hematologi Agar darah yang akan diperiksa tidak sampai membeku dapat dipakai bermacam-
macam antikoagulan. Tidak semua macam antikoagulan dapat dipakai karena ada terlalu banyak
berpengaruh terhadap bentuk eritrosit atau leukosit. Antikoagulan yang dapat dipakai antara lain :
1. EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate), sebagai garam natrium atau kaliumnya. Garam-garam
ini mengubah ion kalsium dari darah menjadi bentuk yang bukan ion. EDTA tidak berpengaruh
besar terhadap morfologi eritrosit dan leukosit. Selain itu, EDTA mencegah trombosit
menggumpal, karena itu EDTA sangat baik dipakai sebagai antikoagulanpada hitung trombosit.
Tiap 1 mg EDTA menghindarkan 1 ml darah. Hindarkan EDTA dalam jumlah berlebihan, bila
dipakai EDTA lebih dari 2 mg per ml darah maka nilai hematokrit menjadi lebih rendah dari
sebenarnya.
EDTA sering dipakai dalam bentok larutan 10% . Jika ingin menghindarkan terjadinya
pengenceran darah, zat kering boleh dipakai, akan tetapi perlu sekali menggoyangkan wadah
berisi darah dalam EDTA selama 1-2 menit karena EDTA kering lambat melarut.
Batas waktu pemeriksaan darah EDTA :
Pemeriksaan dengan memakai darah EDTA sebaiknyadilakukan segera, hanya jika boleh
disimpan dalam lemari es (4C). darah EDTA yang disimpan pada 4C selama 24 jam
memberikan nilai hematokrit yang lebih tinggi.
2. Heparin, berfungsi seperti antitrombin. Dalam praktek sehari-hari heparin kurang banyak
dipakai karena harganya mahal. Tiap 1 mg heparin menjaga membekunya 10 ml darah. Heparin
boleh dipakai sebagai larutan atau dalam bentuk kering.
3. Natrium sitrat dalam larutan 3,8%, yaitu larutan isotonic dengan darah. Dapat dipakai untuk
beberapa macam percobaan hemoragik dan untuk laju endap darah cara Westergern.
4. Campuran amoniumoxalat dan kaliumoxalat, menurut Paul dan Heller yang juga dikenal sebagai
campuran oxalate seimbang. Dipakai dalam keadaan kering agar tidak mengencerkan darah yang
diperiksa. Jika memakai amoniumoxalat tersendiri eritrosit membengkak, kaliumoxalat tersendiri
menyebabkan eritrosit mengkerut. Campuran kedua garam itu dalam perbandingan 3 : 2 tidak
berpengaruh terhadap besarnya eritrosit tetapi berpengaruh terhadap morfologi leukosit.
Korelasi Klinik Laju pengendapan cenderung konstan pada orang sehat. Pada bayi baru lahir laju
pengendapan jarang melebihi 2mm per jam, ini dimungkinkan karena hematokrit yang tinggi.
Anak-anak biasanya mempunyai laju pengendapan yang lebih rendah dari pada orang dewasa.
Selain itu, ada perbedaan yang signifikan namun tidak bisa dijelaskan yaitu nilai laju
pengendapan antara wanita dan laki-laki. Wanita mempunyai rata-rata yang lebih tinggi dari
pada laki-laki. Di laboratorium cara untuk memeriksa laju endap darah yang sering dipakai
adalah cara Wintrobe dan cara Westergern. Pada kehamialn, laju pengendapan mulai meningkat
pada umur kehamilan 3 bulan dan tetap meningkat sampai sekitar 3 minggu setelah kelahiran,
hal ini disebabkan karena kenaikan jumlah sel darah merah. Peningkatan juga sering ditemukan
sebelum dan saat menstruasi.
Secara umum seseorang bisa memperkirakan kenaikan laju endap darah ketika ada
penyakit infeksi dan sejumlah nekrosis jaringan yang cukup signifikan. Pada infeksi virus laju
pengendapan biasanya normal, namun bisa meningkat jika diikuti dengan infeksi bakteri. Pada
apendisitis, 24 jam pertama laju pengendapan tidak meningkat, namun selama tahap awal
inflamasi pelvis akut atau kehamialan ektopik yang pecah, laju pengendapan akan meningkat.
Pada infrak miokrad laju pengendapan meningkat tetapi normal pada bagian angina pectoris,
meningkat pada deman rematik, rematoid artritis dan artritis pyogenik namun tidak pada
osteoartritis. Secara umum laju oengendapan pada pasien sirosis hepatitis normal dan
kemungkinan meningkat pasien kanker hati, terlebih jika nekrosis pada jaringan tumor (Milae JB,
1962). Selain itu, nilai laju endap darah diatas 100mm per jam dapat dijumpai pada multiple
meiloma diamana tingginya konsentrasi imunoglobulin menyebabkan meningkatnya
pembentukan rouleaux. Hal ini terjadi pada penderita tuberculosis (Ronald A. Sacher, 1991).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan hasil pemeriksaan
laju endap darah (LED) antara sampel darah segar dan darah yang disimpan selama 4 jam dan
untuk melihat apakah darah yang disimpan selama 4 jam sudah menunjukan perbedaan nilai
LED yang signifikan dibandingkan menggunakan sampel yang diperiksa secara langsung
Cara Pengambilan Spesimen Darah Langkap
Alat dan Bahan yag dibutuhkan a. Torniket
Bisa berupa pipa karet yang halus dengan diameter 2-5 mm atau bahan lainnya.
b. Alat suntik, yang terdiri dari:
Jarum Suntik
Panjang 30 - 40mm, Diameter :0,9 mm (20), 1,0 mm (19), 1,1 mm, 1,2 mm (18)
Mulut jarum (Bevel) : Medium untuk sampling darah vena anak kurang tahun bisa dipakai
jarum ukuran 23 (0,6 mm) atau ukuran 25 (0,5 mm).
Tabung suntik (syringe)
Sesuaikan dengan kapasitas pemakaian bisa dipilih 2,5 cc, 10 cc, 20 cc. Pada pemeriksaan DL
(darah lengkap) dibutuhkan tabung suntik atau siringe sebesar 2,5 cc. Untuk pengumpulan darah
vena, penyediaan alat suntik akan menjadi lebih praktis apabila digunakan alat suntik sekali
pakai (disposibel).
c. Tempat penampungan darah
Bisa digunakan botol atau tabung dengan antikoagulan.
d. Bahan disifeksi
Alkohol 70% atau iodium tingtur.
Cara Kerja LED Manual Cara Westergren
Alat yang dibutuhkan 1. Pipet Westergren dengan tanda 0-200, panjang 300 mm, dan garis tengah (diameter) 2,5 mm
2. Rak Westergren
3. Timer (pencatat waktu)
Cara Kerja 1. Mengocok darah dengan antikoagulan sampai merata, kemudian menggunakan pipet westergren
darah dihisap sampai nol.
2. Bila dengan EDTA harus diencerkan dengan perbandingan 4 volume darah : 1 volume PZ. Untuk
menghisap campurantersebut digunakan karet penghisap.
3. Ujung tabung ditekan menggunakan jari telunjuk kemudian meletakkannya pada rak Westergren.
4. Tabung harus diletakkan secara tegak lurus, sebab daarah akan mengendap lebih cepat bila tidak
diletakkan tegak lurus.
5. Tinggi kolom plasma dibaca setelah 1 jam.
Populasi penelitian ini adalah semua relawan yang telah diperiksa laju endap darah
(LED) DiKlinika Surabaya dan relawan Akadeni Analis Kesehatan Malang. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sampel yang mempunyai kriteria sebagai berikut :
1. Relawan dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
2. Bersedia ikut penelitian.
Dalam penelitian ini diambil sebanyak 20 orang, sehingga dapat memenuhi persyaratan
besar sampel minimal respresentatif.
Pengolahan Data Data yang dikumpulkan di koding dan diolah memalui komputer dengan program SPSS
PC dengan versi 15,0 menggunakan uji statistik Paired-Sampel Test. Selanjutnya disajiakan
dengan tabel sesuai variable yang diinginkan dan dikembangkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian Dari data 20 sampel yang terdiri dari 6 orang dari jenis kelamin laki-laki dan 14 dari
jenis kelamin perempuan memberikan hasil pemeriksaan laju endap darah (LED) secara manual
dengan menggunakan metode Westergren seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Nilai LED dengan sampel yang diperiksa secara langsung dan setelah peyimpanan
selama 4 jam.
NO Jenis
Kelamin
Hasil LED
Yang diperiksa
secara langsung
(mm/jam)
Hasil LED
Setelah sampel
disimpan selama 4 jam
(mm/jam)
Keterangan
1 Perempuan 19 13 Menurun
2 Perempuan 30 19 Menurun
3 Perempuan 15 15 Tetap
4 Laki – laki 7 10 Meningkat
5 Perempuan 15 15 Tetap
6 Perempuan 19 17 Menurun
7 Laki – laki 12 14 Meningkat
8 Perempuan 8 5 Menurun
9 Laki – laki 4 4 Tetap
10 Perempuan 7 6 Menurun
11 Laki – laki 21 20 Menurun
12 Perempuan 10 11 Meningkat
13 Perempuan 16 16 Tetap
14 Laki – laki 7 6 Menurun
15 Perempuan 30 28 Menurun
16 Perempuan 41 43 Meningkat
17 Laki – laki 17 12 Menurun
18 Perempuan 13 15 Meningkat
19 Perempuan 21 17 Menurun
20 Perempuan 17 17 Tetap
Jenis Kelamin Dari 20 sampel yang diperiksa, didapatkan 6 orang dari jenis kelamin laki-laki (30%)
dan 14 orang dari jenis kelamin perempuan (70%). LED memakai sampel darah segar yang
diperiksa secara langsung memiliki nilai LED 7 mm per jam dimiliki oleh 2 sampel dari jenis
kelamin laki-laki (33,3%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 2 sampel (14,3%) dengan nilai
LED 15 mm per jam.
Pada LED yang diperiksa secara tidak langsung atau telah mengalami penyimpanan
selama 4 jam, nilai LED yang paling sering muncul yaitu pada sampel yang mempunyai nilai
LED 14 mm per jam dimiliki oleh 2 sampel dari jenis kelamin laki-laki (33,3%) dan dari jenis
kelamin perempuan sebanyak 3 sampel (21.4%) dengan nilai LED 15 mm per jam.
Perbandingan nilai LED setelah sampel disimpan selama 4 jam Dari semua sampel yang diperiksa didapatkan 8 sampel (25%) yang mengalami
kenaikan nilai LED dengan jumlah 2 sampel (33%) dari jenis kelamin laki-laki dan 3 sampel
(67%) dari jenis kelamin perempuan. Didapatkan juga 10 sampel (50%) yang mengalami
penurunan nilai LED dengan jumlah 3 sampel (30%) dari jenis kelamin laki-laki dan 7 sampel
(70%) dari jenis kelamin perempuan. Selain itu didapatkan pula sampel yang tidak mengalami
kenaikan maupun penuruanan LED sejumlah 5 sampel (25%) yaitu 1 sampel (20%) daru jenis
kelamin laki-laki dan 4 sampel (80%) dari jenis kelamin perempuan.
Pembahasan Hasil rata-rata pemeriksaan LED manual cara Westergren dari 20 sampel yang diperiksa
sacara langsung baik laki-laki maupun perempuan, didapatkan nilai mínimum 4 mm per jam,
nilai maksimum 21 mm per jam, standart deviasi ± 8,719 dan rata-rata nilai LED 15,15 mm per
jam. Sedangkan setelah sampel mengalami penyimpanan selama 4 jam didapatkan nilai
mínimum 4 mm per jam, nilai maksimum 43 mm per jam, standart deviasi ± 9,168, rata-rata nilai
LED 16,45 mm per jam.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan LED manual antara sampel yang diperiksa secara langsung
dan setelah mengalami penyimpanan selama 4 jam.
Parameter Sampel yang diperiksa
secara langsung
Setelah sampel
disimpan selama 4 jam
Nilai minimal LED
(mm/jam)
4 4
Nilai maksimal
LED
(mm/jam)
41 43
Nilai rata-rata LED 15,15 16,45
SD ± 8,719 ± 9,168
Pengolahan data ini menggunakan uji statistik Paired-Sampel T Test, didapatkan tingkat
kemaknaan (p) sebesar 0,0094% yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna
pada nilai LED jika bahan atau sampel disimpan selama 4jam dibandingakan memakai sampel
yang diperiksa secara langsung atau menggunakan darah segar. Suatu hasil dikatakan bermakna
jika tingkat kemaknaan kurang atau sama dengan 0,05 (5%). Di sisi lain terlihat adanya variasi
dari perbandingan nilai LED antara sampel yang diperiksa secara langsung dan sampel dengan
penyimpanan selama 4 jam yakni didapatkan 5 sampel (25%) yang mengalami kenaikan, 10
sampel (50%) mengalami penurunan, dan 5 sampel (25%) yang tidak mengalami kenaikan
maupun penurunan dalam artian nilai LED menggunakan darah segar maupun darah yang
disimpan selama 4 jam tersebut tidak mengalami perubahan.
Keadaan ini dapat terjadi karena Laju Endap Darah (LED) banyak dipengaruhi oleh
berbagai faktor diantaranya yaitu faktor sel darah merah, komponen plasma, dan faktor teknis.
Teori menyatakan bahwa pada darah yang disimpan atau tidak segera diperiksa lebih dari 4 jam
setelah pengambilan sampel, sel darah merah akan mengalami perubahan bentuk menjadi lebih
sferis dan sulit untuk membentuk rouleaux (Solichul Hadi, 2011). Dengan demikian,
pemeriksaan LED menjadi lebih lambat dan mengakibatkan nilai LED cenderung menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Laju Endap Darah (LED) merupakan pemeriksaan darah lengkap dalam pemeriksaan
hematologi rutin sederhana yang tidak spesifik namun masih umum digunakan sebagai indikator
penilai aktifnya suatu penyakit. LED adalah suatu pemeriksaan yang masih sering dilakukan
secara rutin karena pada kenyataannya LED adalah tes laboratorium yang sederhana dan tidak
tergolong mahal, dikerjakan secara manual menggunakan metode Westegren yang digunakan
sebagai tolok ukur terjadinya infeksi dalam tubuh maupun memantau respon terhadap terapi.
Namun, LED banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor sel darah merah,
komposisi plasma, dan faktor teknik mulai dari ukuran, jumlah, bentuk sel darah merah, plasma
protein, suhu, ukuran dan posisi tabung, waktu dan lain-lain. Secara klinik, faktor inilah yang
menyebabkan LED adalah suatu tes yang bisa dikatakan kurang spesifik dan sensitif. Jenis
kelamin, umur, kehamilan, obat-obatan dan merokok juga berperan dalam hal ini.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sampel yang disimpan selama 4 jam tidak
memberikan hasil yang bermakna, meskipun dalam teori disebutkan bahwa pada darah yang
disimpan atau tidak dikerjakan lebih dari 2 jam setelah pengambilan sampel, LED cenderung
menurun. Beberapa faktor yang telah disebutkan diatas kemungkinan sangat mempengaruhi
keadaan ini. Bentuk sel darah merah yang berubah menjadi sferis dan sulit untuk membentuk
rouleaux disebabkan karena pada darah disimpan jumlah ATP atau energy dalam sel berkurang
mengakibatkan fungsi pompa Na+ - K+ dalam mempertahankan atau menjaga volume terganggu.
Pemasukan ion Natrium dan ion Kalsium ke dalam sel dan pengeluaran ion Kalium keluar sel
mengakibatkan osmosis air ke dalam sel.
Saran Melihat hasil penelitian di atas, jika kondisi tidak memungkinkan pemakaian sampel
darah yang disimpan selama 4 jam terpaksa boleh dipakai untuk pemeriksaan LED karena belum
memberikan hasil yang bermakna. Melakukan suatu penelitian tentulah perlu diperhatikan dari
segala aspek untuk memenuhi persyaratan dalam menentukan kebenaran dan keberhasilan dari
hasil penelitian. Faktor teknis maupun non teknis haruslah diperhatikan mulai cara pengambilan
sampel sampai cara pengerjaan. Melihat banyaknya variasi dari hasil penelitian ini sebaiknya
jumlah sampel yang diteliti lebih diperluas. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini
memberikan hasil yang lebih valid dan representatif.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I made. (2003). Hematologi Klinik Ringkas, (Jakarta : Penerbit buku : Kedokteran EGC).
Beutler, Ernest. (1995). Williams Hematology -5th
ed, (USA : Mc Graw – Hill Companies, Inc).
Dharma, R, Immanuel, S danR, Wirawan. (2007). Penilaian Hasil Pemeriksaan Hematologi Rutin,
(Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran).
Gandasoebrata, R. (1989). Penuntun Laboratorium Klinik (hal 8-10), (Jakarta : Dian Rakyat)
Guyton, Arthur C. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran-Edisi 9. (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC)
Harrison, Tinsley Randolph. (2005). Principles of Internal Medicine-16th
ed. (America : McGraw-Hill
Companies, Inc)
Mahanani, Dwi Asih. (2002). Kapita Selekta Hematologi-Edisi 4 (Hal7-8). (Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC)
Miale, John B. (1962). Laboratory Medicine Hematology. (USA : The C>V Mosby Company)
Solichul Hadi, S. (2001). Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Rutin Sederhana. (Laboratorium
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Airlangga Surabaya)
Sacher, Ronald A. (1991). Clinical Interpretation of Laboratoru Test-10th
ed. (USA : F. A. Davis
Company)
Turgeon, May Louise. (1993). Clinical Hematologi : Theory and Procedures-2nd
ed. (USA : Library of
Congress)
Wintrobe, Maxwell M. (1961). Clinical Hematologi-5th
ed. (USA : Lea and Febiger)
www.Google.com “Pemeriksaan Hematologi Rutin-Cermin Dunia Kedokteran” diakses pada tanggal 13
Oktober 2007
Riswantoon,2009,Laju Endap Darah ,http://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/laju-endap-darah-
led.html, 28 juni.
Comparison of the Hemostatic Effects of Fresh Whole Blood, Stored Whole Blood, and Components After Open Heart Surgery in Children
By Catherine S. Manno, Kathleen W. Hedberg, Haewon C. Kim, Greta R. Bunin, Susan Nicolson, David Jobes, Elias Schwartz, and William I. Norwood
In a double-blind study, we compared the postoperative (post-op) blood loss in 161 children undergoing open heart surgery with cardiopulmonary bypass whose immediate post-op transfusion requirements were met with either very fresh whole blood (VFWB), 24- to 48-hour-old whole blood or reconstituted whole blood (packed red blood cells, fresh frozen plasma [FFP], and platelets). Assignment t o treatment groups was not strictly random but dependent, in part, on the ability of families t o provide directed donors for fresh blood. The three patient groups were comparable with respect to patient age, pre-op coagulation profiles (bleeding time, prothrombin time, activated partial thromboplastin time, platelet count, fibrin split products, fibrinogen, and platelet aggregation tests) difficulty of operative procedures and time spent on CPB. Mean 24-hour post-op blood loss in milliliters per kilogram was 50.9 ? 9.3 in the VFWB group, 44.8 .t 6.0 in the 24- to 48-hour-old group, and 74.2 & 8.9 in the reconstituted group (P = .03). When blood loss was compared in the 93 children less than 2 years of age, mean
HE ACQUISITION OF hemostasis in children who T have undergone open heart surgery (OHS) is an important part of their postoperative (post-op) manage- ment. Bleeding that causes changes of intravascular volume and hemodynamic instability immediately after cardiopul- monary bypass (CPB) can, particularly in the very young child, adversely affect patient outcome. The amount of post-op hemorrhage is a consequence of a complex interre- lationship between the integrity of the surgically revised heart and vessels, pre-existing coagulation defects in the patient, and coagulationdefects induced by CPB. A variety of hemostatic defects have been described in children with cyanotic and acyanotic congenital heart disease including thrombocytopenia, platelet dysfunction, disseminated intra- vascular coagulation, and an abnormality of the von Wille- brand's fa~t0r.I .~ The techniques of CPB alter the coagula- tion system through the obligatory administration of heparin and protamine sulphate as well as by contributing to cellular alterations at the blood-surface interface in the oxygenator and tubing. This contribution results in varying degrees of fibrinolysis, thrombocytopenia, and acquired defects of platelet f~nction.5.~ Preoperative screening has
From the Clinical Laboratories and The Department of Pediahics, Anesthesia and Surgery, The Children's Hospital of Philadelphia; and the University of Pennsylvania School of Medicine, Philadelphia.
Submitted March 20, 1990; accepted October 23, 1990. Address reprint requests to Catherine S. Manno, MD, Assistant
Professor of Pediahics, The Children's Hospital of Philadelphia, Department of Clinical Laboratories, 34th and Civic Center Blvd, Philadelphia, PA 19104.
The publication costs of this article were defrayed in part by page charge payment. This article must therefore be hereby marked "advertisement" in accordance with 18 U.S.C. section I734 solely to indicate this fact. 0 1991 by The American Society of Hematology. 0006-4971 l91/7705-OO19$3.00l0
blood loss was 52.3 f 10.8 in the VFWB group, 51.7 f 7.4 in the 24- to 48-hour-old group, and 96.2 .+ 10.7 in the reconsti- tuted group (P = .OOl). For subjects who had received recon- stituted blood, 30-minute and 3-hour post-op platelet aggre- gation responses to adenosine diphosphate (10 kmol/L) and 30-minute aggregation response to epinephrine (2.5 p,mol/L) were more depressed than in the VFWB and 24- to 48-hour groups (P < .001, P = .005, and P = .02). Comparison of other post-op coagulation tests could not explain the in- creased blood loss in the reconstituted group. We conclude that the transfusion of <48 hours old whole blood is associ- ated with significantly less post-op blood loss than the transfusion of packed red blood cells, FFP, and platelets in children under 2 years old who underwent complex cardiac surgery. The blood losses associated with the transfusion of VFWB and 24- to 48-hour-old blood are comparable and may be, in part, due t o better functioning platelets. o 199 1 by The American Society of Hematology.
not proved to be a reliable predictor of post-op hemor- rhage." As a result of these hemorrhagic tendencies, the vast majority of pediatric patients who have OHS require blood transfusion, despite the well-recognized complica- tions associated with transfusion of blood products, includ- ing transmission of infections and transfusion reactions. Approaches to limiting the number of donor exposures in adults have included the use of autologous blood and cell salvage techniques." Recent pharmacologic approaches to limiting blood loss after CPB in adults have included the use of 1-deamino-8-D-arginine vasopressin (DDAVP), apro- tinin, and dipymridam~le.'~.'~
Another approach, widely used in adult patients in Japan and Israel, is the transfusion of fresh whole blood.16 The hemostatic advantage of fresh blood over platelet concen- trates has recently been reported in adult patients." The clinical experience of pediatric cardiac surgeons has sug- gested that the severity and consequences of post-op hemorrhage is minimized, particularly in small children who have complex congenital heart disease, if post-op transfusion needs are met with fresh whole blood rather than stored blood components. Blood used within 6 hours of collection has not required refrigeration and contains platelets whose function has not been impaired by exposure to cold." Because the practical difficulties of maintaining a ready supply of fresh blood that has passed requisite screening tests are numerous, and because blood compo- nents are readily available and are thought to be hemostati- cally equivalent to fresh whole blood, the use of compo- nents rather than fresh whole blood has been encouraged by the blood banking community.''
To assess whether the use of fresh blood is associated with improved hemostasis following cardiopulmonary by- pass in infants and children, we performed a double-blind, randomized trial comparing 24-hour blood loss in children whose immediate post-op transfusion requirements were
930 Blood, Vol77, No 5 (March l ) , 1991: pp 930-936
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
COMPARISON OF HEMOSTATIC EFFECTS 93 1
met with either: Group I: very fresh whole blood adminis- tered less than 6 hours after donation (VFWB); Group 11: whole blood administered 24 to 48 hours after donation; Group 111: a combination of packed red blood cells (RBCs), fresh frozen plasma (FFP), and platelets. These compo- nents, usually transfused individually, were combined for study purposes only.
We also compared post-op coagulation values and results of platelet function studies to see if these measures of hemostasis differed among the treatment groups.
MATERIALS AND METHODS
Informed consent was obtained from the parents of each patient before entry into the study. The experimental protocol was approved by the Committee for the Protection of Human Subjects at the Children’s Hospital of Philadelphia and reviewed by the Compliance Branch of the Sterile Drugs and Biologics Branch of the Food and Drug Administration (FDA) in Rockville, MD. All children (newborn to 21 years old) scheduled for OHS with CPB were eligible for study. The patients had congenital heart disease who required palliative or reparative surgery of varying degrees of surgical difficulty. The technical difficulty and operative risk of all surgical procedures were graded by the attending surgeon as simple, intermediate, or complex (see Table 1).
Randomization Because of limited availability of VFWB from the Blood Bank
and the need to enroll equal numbers of subjects into each treatment group, the following randomization schedule was de- vised. For patients whose parents agreed to participate in the study and were able to provide directed blood donors, two thirds were assigned to Group I (VFWB) and one third were assigned Group I1 (24- to 48-hour-old whole blood) using a series of sealed envelopes. For patients whose parents agreed to participate in the study but were unable to provide directed blood donors, one third were assigned to Group I1 (24- to 48-hour-old blood) and two thirds were assigned to Group I11 (reconstituted). For infants transported to this institution for emergency surgery, assignment to the three treatment groups was made on an equal basis using a separate system of sealed envelopes. For these infants, blood was from non-directed donors.
Preparation of Study Units Blood or blood components were collected into standard blood
collection units containing citrate-phosphate-dextrose-adenine-1 (CPDA-1) solution. Typing and cross-matching were performed in standard fashion. A sample of donor’s blood underwent requisite screening tests for infectious disease transmission including rapid plasma reagin (RPR), hepatitis B surface antigen (HBsAg), hepatitis B core antibody (anti-HBc), human immunodeficiency virus antibody (anti-HIV), and alanine aminotransferase (ALT) level. Human T-cell leukemia virus-ID1 (HTLV-IDI) antibody testing was added in March 1989.
VFWB was whole blood less than 6 hours old. VFWB was collected on the day of surgery from a donor who, the day before donation, was prescreened and passed all required donor testing. Study units were kept at room temperature until used or for a maximum of 6 hours. Each transfused unit was screened in the same manner. However, testing was not always completed before transfusion. Release of VFWB before completion of screening tests on that unit was approved by the FDA for study purposes only and is not a routine procedure at this institution.
Group Z.
Table 1. Classification of Operative Procedures
Simple Aortic valvuloplasty ASD patch repair (closure of ASD) Blalock-Taussig shunt’ Repair partial anomalous pulmonary venous return Resection subaortic membrane
Intermediate Closure of primum ASD with mitral valve replacement ASD repair with mitral valve replacement ASDNSD patch repair Incomplete AV canal repair Complete AV canal repair Pulmonary valvotomy RV outflow tract augmentation; repair total anomalous pul-
Senning proceduret Patch closure of VSD VSD patch repair with resection coarctation of aorta
monary venous return
Complex Arterial switch Fontan procedure for various forms of single ventricle physi-
Modified Glenn shunt§ Separation of aorta and pulmonary artery with VSD patch
Stage I palliation for hypoplastic left heart syndrome11
ology*
repair (Truncus arteriosus repair)
+Subclavian to pulmonary artery anastomosis. t A n operation used in children with transposition of the great vessels
that redirects the venous return using an intra-atrial baffle of autologous tissue. The baffle directs the pulmonary venous blood across the tricuspid valve into the right ventricle and to the aorta; the systemic venous blood is directed across the mitral valve into the left ventricle and to the pulmonary artery.
*An operation used in children with a single ventricle that separates the pulmonary from the systemic circulation. This procedure is based on the principle that the right atrial pressure is adequate to drive blood through the lung, making a ventricle unnecessary.
§Superior vena cava to right pulmonary artery anastomosis. llPalliative procedure consisting of (1) transection of main pulmonary
artery, (2) creation of neoaorta, and (3) creation of systemic to pulmo- nary artery shunt.
Group ZI. Twenty-four- to 48-hour-old blood was whole blood collected 24 to 48 hours before transfusion and was stored at 4 to 6°C until used.
Group ZII. Reconstituted whole blood contained components of whole blood (one unit each of packed RBCs, platelets, and FFP) which were combined to produce a unit of blood that was visually indistinguishable from standard whole blood. A unit of packed RBCs ( 5 5 days old) was brought from 4 to 6°C to room temperature over a period of 2 hours. The unit was placed on a platelet agitator (Helmer Labs, St Paul, MN) for 10 to 20 minutes before reconstitution. A unit of 2- to 5-day-old random-donor platelets that had been collected and stored in conventional fashion was transferred into a thawed unit of FFP using a plasma transfer set (Fenwal Labs, Deerfield, IL, code 4C2243) to prepare platelet-rich plasma. The platelet bag was rinsed with plasma to reduce the loss of platelets. Platelet-rich plasma was then trans- ferred into an 800-mL size transfer pack unit (Fenwal Labs, code 4R2005). Finally, a unit of RBCs was transferred into the platelet- rich bag. After the transfer was completed and components were well mixed by hand, residual air was expressed into the empty RBC
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
932 MANNO ET AL
bag. The platelet-enriched reconstituted whole blood was stored at 22°C without disturbance for about 1 hour and then placed on a platelet agitator until used. This product was available for transfu- sion when the patient came off CPB and was used within 6 hours of reconstitution. All components were AB0 and Rho(D) group identical.
Administration of Study Units
Two units of RBCs were prepared for each subject. The CPB pump was primed with balanced electrolyte solution and whole blood calculated to produce a final hematocrit of 25% during CPB. At the termination of bypass, heparin effect was reversed with protamine sulphate. From this point on, all volume requirements as determined by blood loss and hemodynamic measurement were met with the assigned study blood. The amount of study blood administered varied according to individual patient needs, and was not a predetermined dose. All study blood was passed through a warmer to bring the temperature to 37°C. The surgeon was blinded to the nature of the blood but the anesthesiologist was not. If clinical complications arose, only the surgeon could ask to break protocol before both study units had been administered.
Measurement of Blood Loss Total blood loss was measured for 24 hours after the study blood
was administered. In the operating room, blood loss was deter- mined by weighing sponges and measuring suction and chest tube drainage. In the intensive care unit (ICU), blood loss was assessed by measuring chest tube drainage.
Laboratory Assessment of Coagulation Bleeding times (Simplate; Organon-Teknika, Durham, NC)
were performed on the volar surface of the forearm immediately pre-operatively, and 30 minutes and 3 hours after administration of protamine sulphate. Blood samples were collected through a flushed arterial line. The following laboratory tests were performed immediately before CPB, and 30 minutes and 3 hours after administration of protamine sulphate: platelet count, prothrombin time, activated partial thromboplastin time (aPlT), fibrinogen, fibrin split products (FSP), FVIII:RAg, and platelet aggregation in response to adenosine diphosphate (ADP) (2 kmol/L), epineph- rine (2.5 pmol/L), collagen (.047 mg/mL), and ristocetin (6 mg/mL).
Platelet counts were determined on a Coulter Plus IV electrical cell counter (Hialeah, FL) from blood collected in EDTA. Pro- thrombin time and a P l T were measured on a Coag-A-Mate X2 (Organon-Teknika). Fibrinogen was measured by the dilute throm- bin time method of Clauss.*’ FSP were detected by latex agglutina- tion technique (Thrombo-Wellcotest Kit; Burroughs-Wellcome, Greenville, NC). vWF:Ag was measured by an adaptation of the quantitative immunoelectrophoresis method of Laurel1 (Helena Laboratories, Beaumont, TX).”
Platelet aggregation induced by ADP (BioData Corporation, Hatboro, PA), epinephrine, collagen (BioData), ristocetin (Aggre- cetin; Bio/Data), and epinephrine were studied using platelet-rich plasma anti-coagulated with 3.8% sodium citrate, stored at room temperature and tested within 60 minutes of collection. Platelet concentration was adjusted to 200,000/1*.L. Changes in optical density of the platelet-rich plasma were measured on a platelet aggregation profiler (BioData). Results are expressed as percent maximum aggregation recorded within 5 minutes of adding stan- dard concentrations of the agonist.
Statistical Analysis
Distributions of age, sex, surgical complexity (simple, intermedi- ate, complex), length of time on bypass, and length of time in circulatory arrest in the treatment groups were compared by x2 tests. Mean blood loss and mean pre-op coagulation studies were compared among the three treatment groups by analysis of variance. When the analysis of variance was significant, (ie, the null hypothesis that the means for the three groups were the same was rejected), pairwise comparisons of the groups were performed using t-tests and the Bonferroni method of adjusting for multiple comparisons. Multiple linear regression was used to investigate the effects of several factors simultaneously on blood loss. Statistical significance was set at .05. All analyses were performed with statistical analysis systems.22
RESULTS
Patient characteristics for each of the treatment groups are found in Table 2. A total of 161 patients were enrolled between March 1987 and July 1989. Fifty-two subjects were in Group I, 57 subjects were in Group 11, and 52 subjects were in Group 111. Four children who died within the first 24 postoperative hours were not included in this analysis. One of these patients died in the operating room and the other three died in the ICU; none of these patients died of overwhelming hemorrhage. Each of the three treatment groups were comparable with respect to age, sex, and percentage of cases in each category of surgical difficulty. The groups were similar in terms of mean bypass time, time of circulatory arrest, and the mean amount of blood transfused per kilogram in the first 24 postoperative hours. Comparison of the means for pre-op coagulation tests (bleeding time, platelet count, prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, FSP, FVIII:RAg, platelet aggregation studies) showed the groups were similar.
Blood Loss Mean 24-hour blood loss in milliliters per kilogram was
50.9 ? 9.3 in Group I, 44.8 ? 6.0 in Group 11, and 74.2 ? 8.9 in Group I11 (f = .03) (Table 3).
Differences in mean blood loss varied among the groups according to the age of the patient. Comparison of mean 24-hour blood loss for the 93 children less than 2 years old showed the transfusion of reconstituted whole blood was associated with 85% more blood loss than either of the other products (f = .001). Comparison of mean 24-hour blood loss for the 68 children greater than 2 years old did not show a significant difference among treatment groups (P = .41).
Differences in blood loss among the groups also varied according to the difficulty of the surgical procedure. For patients whose surgery was simple or of intermediate complexity, no significant differences in blood loss oc- curred. However, for those undergoing complex surgery, blood loss differed significantly, patients in Group I11 having the highest blood loss (f = .01). This difference was even more pronounced when the children less than 2 years old with complex surgery were considered (P = ,002); those
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
COMPARISON OF HEMOSTATIC EFFECTS 933
Table 2. Patient Characteristics for the Three Treatment Groups
Group 111 Group I Group II Reconstituted VFWB 24-48 h Old Whole Blood
No. subjects 52 57 52 Female 20 25 16 Male 32 32 36
Ages Mean 2 S.E. (y) Range No. < 2 y No. >2y
Surgical difficulty Simple (no. subjects) Intermediate Complex
Mean time 2 SE on bypass (min) Mean time f SE of circulatory arrest Mean volume blood given (Cm3/kg) in 24 h
2.8 f 0.4 (0-8.2)
27 25
11 12 29
86.8 2 6.2 38.1 f 4.3 72.3 2 9.9
3.9 f 0.6 (0-19)
30 27
16 12 29
86.1 f 5.8 43.6 f 4.6 75.5 f 7.8
3.8 2 0.8* (0-20)
36 16
9 12 31
84.2 f 5.lt 37.2 f 3.7$ 97.4 5 9.60
No. of subjects with circulatory arrest 41 42 39
*P = .37. t P = .94. SP = .51. §P = .11.
in Group I11 experienced about twice the blood loss of the other two groups.
When the effects of blood loss of age, surgical complexity, and type of blood product were investigated simultaneously using multiple linear regression, blood product and surgical complexity were statistically significant predictors (P = .02 and P < .001, respectively). Reconstituted blood was asso- ciated with an 18 mLikg increase and 24- to 48-hour-old blood with a 3 mLkg decrease in blood loss compared with
VFWB. Compared with simple surgery, complex surgery increased blood loss by 38 mLikg and intermediate surgery by 4 mL/kg.
Laboratory Evaluation
Changes in bleeding time, platelet counts, prothrombin time, aPlT, fibrinogen, FSP, and FVIII:RAg, which are expected following surgery with CPB, were seen in all
Table 3. Blood Loss [mL/kg) (mean f SE) by Age, Surgical Difficulty, and Both
Group I VFWB
Group II 24-48 h
Group 111 Reconstituted Whole Blood PValue"
BY age All ages (n = 161) 50.9 2 9.3 (n = 52) 44.8 f 6.0 (n = 57) 74.2 f 8.9 (n = 52) .03t
2 2 Y (68) 49.4 f 15.6 (25) 37.2 f 9.7 (27) 24.6 f 6.0 (16) NS <2 Y (93) 52.3 2 10.8 (27) 51.7 f 7.4 (30) 96.2 f 10.7 (36) .001*
By surgical difficulty Simple (36) 16.3f 4.6 (11) 31.2 f 15.2 (16) 15.8 f 7.0 (9) NS Intermediate (36) 24.9 f 6.3 (12) 33.5 f 6.0 (12) 32.9 f 7.2 (12) NS Complex (89) 74.8 f 15.0 (29) 57.1 2 7.6 (29) 107.1 2 11.2 (31) .01§
By age and surgical difficulty Simple No patients Intermediate 27.9 2 9.2 (8) 39.8 2 7.9 (8) 36.2 2 9.8 (7) NS Complex 62.6 f 14.3 (19) 56.1 f 9.6 (22) 110.7 f 11.6 (29) .00211
Simple (22 ) 16.3 f 4.5 (11) 31.2 f 15.2 (16) 15.8 f 6.9 (9) NS Intermediate (22 ) 18.9 f 4.6 (4) 21.0 f 5.0 (4) 28.4 f 11.4 (5) NS Complex (22 ) 98.0 f 34.2 (10) 60.1 f 10.4 (7) 54.8 f 0.2 (2) NS
Abbreviation: NS, not significant. *Significant pairwise differences by the method of Bonferroni were as follows: tll v 111. *I v 111, II v Ill. 011 v 111. 111 v 111, II v 111.
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
934 MANNO ET AL
Table 4. Mean Laboratory Values: All Ages
Group I VFWB
Group It 24-48 h
Group 111 Reconstituted Whole Blood P Value
Bleeding time (s)
Platelet count ( x 1 OYL)
Prothrombin time (s)
aPl7 (s)
Fibrinogen (mg/dL)
FSP (mg/mL)
F.VIIIR: Ag (%)
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
Pre-op 30 min 3 h
253.1 f 18.2 296.5 f 28.1 347.5 f 32.0 291.7 t 14.9 171.2 t 8.5 207.6 t 11.9
11.4k 0.2 12.4 2 0.2 12.3 k 0.2 34.6 f 1.0 38.2 f 1.1 35.3 f 1.5
217.7 k 7.0 201.5 t 5.4 207.6 k 11.9
2.6 t 1.0 14.5 f 6.3 17.7 f 5.3
143.7 t 14.0 170.0 f 10.1 235.0 k 14.7
308.0 f 22.2 353.2 t 25.6 377.9 t 30.7 304.0 t 14.3 145.6 t 7.2 174.4 f 9.0 11.0 f 0.1 12.2 f 0.2 11.6 f 0.2 35.4 k 0.9 39.7 k 3.4 33.0 t 1.1
214.2 t 8.0 195.1 k 5.6 209.0 f 6.1
2.3 f 1.2 8.2 f 3.1
115.5 t 8.2 165.2 t 8.3 246.8 f 14.3
6.0 f 1.7
252.7 t 20.6 346.4 t 30.8 363.4 t 32.2 291.8 t 17.0 163.4 t 8.4 182.6 f 9.3 11.4 f 0.3 12.7 t 0.2 12.3 t 0.2 35.3 f 1.0 43.3 f 1.8 36.4 f 1.4
197.0 f 7.8 184.0 f 4.8 195.1 t 6.3
1.8 t 0.6 7.0 t 2.4 6 . 8 k 1.5
116.9 f 15.5 145.5 8.4 214.0 f 16.4
NS NS NS NS .05 .05 NS NS .01 NS .06 NS NS .07 NS NS NS .02 NS NS NS
Mean f standard error.
treatment groups (Table 4). Mean activated clotting times measured 30 minutes after protamine were similar in all treatment groups (P = .92). Thirty minutes after prota- mine, subjects in Group 111 had a longer mean aPTT and a lower mean fibrinogen concentration (P = .06 and .07) in comparison with the other groups. Comparison of other mean post-op laboratory values at 30 minutes and 3 hours showed differences among the groups (platelet counts at both times, prothrombin time at 3 hours, and FSPs at 3 hours). Reconstituted blood was also associated with the most abnormal platelet aggregation studies at 30 minutes in the presence of the agonists ADP, epinephrine, and colla- gen (P < .001, P = .02, andP = .007). ADP-induced aggre- gation at 3 hours was also significantly reduced in the reconstituted group (P = .005).
DISCUSSION
Avoiding excessive hemorrhage after OHS with CPB in children is an important factor in improving surgical out- come. Although many approaches to limiting post-op hem- orrhage have been tried, no single approach has proven uniformly successful. In our study, children less than 2 years old who had complex surgery derived the greatest benefit from whole blood less than 48 hours old. Compared with the repair of simpler defects, complex congenital heart defects require more extensive reconstruction and more time on CPB. These factors result in larger blood lossesz3 putting the patients at higher risk for hemodynamic instabil- ity. Although our pediatric patients always require RBC transfusions following surgery, the use of a product that optimizes hemostasis and thereby decreases blood loss will lessen the amount of blood replacement required following surgery and help to reduce donor exposure. Comparison of blood loss for children older than 2 years old did not show a
difference among the treatment groups. However, this result may be a reflection of an inadequate sample size. The finding for young children was highly significant and corrob- orated the impression of some cardiac surgeons. However, as a larger effect on young children was not a formally stated hypothesis a priori, this finding should be interpreted cautiously.
The randomization method used in this study was forced by institutional practicalities and was adopted to provide study units and to allow enrollment of equal numbers of patients in each treatment arm. Enrollment into Group I required that families provide directed donors of the study blood product and enrollment in Group I11 was for those who could not provide donors. Half of the families of patients in Group I1 provided donors and half did not. The issue of providing donors was not applied to infant subjects; the donor pool at this institution provided these study units. There were small differences in the mean age and sex distributions of the study groups; after statistical adjust- ment for age and sex, the difference in mean blood loss among the groups was still significant. However, the compro- mise forced on the randomization may have led to unequal distribution of unknown patient characteristics among the patient groups and may have affected the outcome.
Many abnormalities in hemostasis that follow CPB have been de~cribed.’~.’~ Although levels of most plasma coagula- tion factors fall below pre-op values (especially Factor V), these reductions are generally not severe enough to be associated with clinical bleeding.z6 We observed prolonga- tion of the mean protime and mean a P l T in all of our treatment groups after CPB. However, the transfusion of reconstituted blood was associated with a longer aPTT at 30 minutes and prothrombin time at 3 hours than either other treatment group. Because the transfusion of FFP is ex-
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
COMPARISON OF HEMOSTATIC EFFECTS 935
pected to deliver amounts of plasma coagulation factors analogous to those found in whole blood,” the cause of these differences is not clear. Although the comparison of mean post-op platelet counts at 30 minutes and 3 hours, prothrombin time at 3 hours, and FSP at 3 hours showed significant differences among the groups, the pattern of these differences does not help to explain increased bleed- ing observed in Group 111, as thrombocytopenia was more pronounced in Group 11, prothrombin times equally pro- longed in Groups I and 111, and FSP was higher in Group I.
The effect of CPB on platelets has been intensively studied. CPB is responsible for a transient decrease in platelet count because of dilution and mechanical platelet damage.9 Platelets become activated as they pass through the bypass apparatus. Clinical bleeding has been reported in association with platelet alpha granule release and decrease in levels of platelet secretory ADP.= In vitro abnormalities include loss of fibrinogen receptors from the platelet surface as well as defective aggregation to ADP, collagen, and ristocetin.2”M Some children with congenital heart disease have decreased platelet aggregation re- sponses to ADP and collagen when studied outside of the peri-op period.’ For the group of patients we studied, in vitro platelet function was normal in all groups before surgery and deteriorated most significantly in the patients who had received reconstituted blood. Mean pre-op bleed- ing times were all within the normal range; the means increased in the post-op period but remained in the normal range. The acquired dysfunction of these already impaired platelets probably contributes to bleeding from sites of surgical damage, despite normal bleeding times.
Mohr et a1 have suggested that blood loss following CPB is the same when patients are transfused with either one unit of fresh blood or 10 units of platelet concentrate^.'^ Lavee et a1 have shown that transfusion of fresh whole blood after CPB gives the same increase in platelet count as six units of platelet concentrates and that the platelets in fresh blood retain better function than those in concen- t r a t e ~ . ~ ~ The platelets contained in VFWB are not subject to the damage inherent in concentrate preparation and stor- age.32 The platelets in our reconstituted product had been prepared and stored as platelet concentrate and undoubt- edly lost some of their function. The standard approach to blood replacement after OHS is to give the element of blood which is lacking. In this study, reconstituted blood contained the components of whole blood that are usually administered separately. The purpose of creating this product was to offer a standard therapy arm while blinding the observer to the nature of the blood product. We acknowledge that this product may not have contained platelets in equal number or with equal function to the platelets in fresher whole blood. Although the platelets in
24- to 48-hour-old blood have not undergone centrifugation and concentration, they have been refrigerated at 4°C for at least 1 day and their function is presumably significantly impaired.” Our study shows that the blood loss associated with the transfusion of VFWB and 24- to 48-hour-old whole blood are the same.
Concern over the use of directed fresh blood has been raised by recent reports of fatal graft-versus-host disease (GVHD) in immunocompetent adult patients who have received viable lymphocytes in a transfusion of fresh blood from a close r e l a t i~e . ’~ .~~ The American Association of Blood Banks has suggested that directed blood donations from first degree relatives be routinely irradiated to mini- mize the threat of GVHD.” Because the bulk of VFWB is drawn from directed donors and processing of this product must occur within 6 hours of donation, the routine procure- ment of directed fresh blood is difficult and, occasionally, incompletely screened blood is requested. Meeting post-op cardiac surgery transfusion needs with 24- to 48-hour-old blood eliminates the need for release of untested, very fresh blood. Day-old fresh blood can be screened for infection and supplied to the operating room more easily and from sources other than directed donors. GVHD is not a risk following transfusion of blood whose lymphocytes have been inactivated with i r r a d i a t i ~ n ~ ~ and this procedure could be routinely accomplished for directed 24- to 48-hour-old fresh blood.
In summary, the transfusion of whole blood less than 48 hours old in children less than 2 years old who had complex OHS was accompanied by significantly less post-op hemor- rhage in comparison with stored blood components. The benefit of fresh blood may be because of the presence of better functioning platelets. We have also found that whole blood less than 6 hours old and whole blood that is between 24 and 48 hours old have a similar hemostatic effect. Older fresh blood can be thoroughly screened for infection, stored for routine and emergency transfusion, and could be irradiated to eliminate the risk of GVHD inherent in very fresh blood from directed, family donors. Our current practice is to use screened, refrigerated 24- to 48-hour-old whole blood for early blood replacement requirements following complex OHS with CPB in children. Another approach to decreasing blood loss after OHS suggested by the results of this study might include finding ways to improve the function of the platelets in stored platelet concentrates.
ACKNOWLEDGMENT
The authors thank Joan Grady and Debbie Jones for secretarial assistance, Dr Morty Poncz for technical assistance, and Drs Alan Cohen, Bruno Manno Jr, Michael Laposata, and Jeffrey Silber for their valuable advice.
REFERENCES tal heart disease-A study of altered coagulation. J Pediat 76:231, 1969
4. Gill JC, Wilson AD, Endres-Brooks J, Montgomery RR: Loss of the largest von Willebrand factor multimers from the plasma of patients with congenital cardiac defects. Blood 67:758, 1986
1. Gross S, Keefer V, Liebman J: The platelets in cyanotic congenital heart disease. Pediatrics 42651, 1968
2. Maurer H, McCue CM, Caul J, Still WJS: Impairment in platelet aggregation in congenital heart disease. Blood 40207,1972
3. Komp DM, Sparrow AW: Polycythemia in cyanotic congeni-
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
MANNO ET AL 936
5. Umlus J: Fibrinolysis and disseminated intravascular coagula- tion in open-heart surgery. Transfusion 16:460, 1976
6. Salzman E W Blood platelets and extracorporeal circulation. Transfusion 3:274,1963
7. Mezzano D, Aranda E, Urzua J, Lema G, Habash J, Irarraza- bal MJ, Pereira J: Changes in platelet-thromboglobulin, fibrinogen, albumin, 5-hydroxytryptamine, ATP and ADP during and after surgery with extracorporeal circulation in man. Am J Hematol 22:133,1986
8. Edmonds LH Jr, Ellison N, Colman RW, Niewiarowski S, Rao AK, Addonizio VP, Stephenson LW, Edie RN: Platelet function during cardiac operation: Comparison of membrane and bubble oxygenators. J Thorac Cardiovasc Surg 83:805,1982
9. McKenna R, Bachmann F, Whittaker B, Gilson JR, Wein- berg M: The hemostatic mechanism after open-heart surgery. J Thorac Cardiovasc Surg 70:298,1975
10. Marengo-Rowe AJ, Lambert CJ, Leveson JE, Thiele JP, Geisler GF, Adam M, Mitchel BF: The evaluation of hemorrhage in cardiac patients who have undergone extracorporeal circulation. Transfusion 19:426,1979
11. McCarthy PM, Popvsky MA, Schaff HV, Orszulak TA, Williamson KR, Taswell HF, Ilstrup DM: Effect of blood conserva- tion efforts in cardiac operations at the Mayo Clinic. Mayo Clin Proc 63:225,1988
12. Czer L, Bateman T, Gray R, Raymond M, Stewart ME, Lee S, Goldfinger D, Chaux A, Matloff JM: Treatment of severe platelet dysfunction and hemorrhage after cardiopulmonary by- pass: Reduction in blood product usage with desmopressin. J Am Coll Cardiol9:1139,1987
13. Salzman EW, Weinstein MJ, Weintraub RM, Ware JA, Thurer RL, Robertson L, Donovan A, Gaffney T, Bertele V, Troll J, Smith M, Chute LE: Treatment with desmopressin acetate to reduce blood loss after cardiac surgery. N Engl J Med 314:1402, 1986
14. Royston D, Taylor KM, Bidstrup BP, Sapsford R N Effect of aprotinin on need for blood transfusion after repeat open-heart surgery. Lancet 2:1289,1987
15. Teoh KH, Christakis GT, Weisel RD, Wong PY, Mee AV, Ivanov J, Madonik MM, Levitt DS, Reilly PA, Rosenfeld JM, Glynn MFX: Dipyridamole preserved platelets and reduced blood loss after cardiopulmonary bypass. J Thorac Cardiovasc Surg 96:332,1988
16. Thaler M, Shamiss A, Orgad S, Huszar M, Nussinovitch N, Meisel S, Gazit E, Lavee J, Smolinsky A: The role of blood from HLA-homozygous donors in fatal transfusion-associated graft- versus-host disease after open-heart surgery. N Engl J Med 321:25, 1989
17. Mohr R, Martinowitz U, Lavee J, Amroch D, Ramot B, Goor D A The hemostatic effect of transfusing fresh whole blood versus platelet concentrates after cardiac operations. J Thorac Cardiovasc Surg 96:530, 1988
18. Murphy S, Gardner FH: Platelet preservation: Effect of
storage temperature on maintenance of platelet viability- Deleterious effect of refrigerated storage. N Engl J Med 280:1094, 1969
19. Milam JD: Blood transfusion in heart surgery. Surg Clin North Am 63:1127,1983
20. Clauss A Gerinnungs physiologische schell methode zur bestimmung des fibrinogens. Acta Hematol17:237,1957
21. Laurel1 CB: Antigen-antibody crossed electrophoresis. Anal Biochem 10:358,1965
22. SAS Institute, Inc: SAS User’s Guide: Statistics (ed 5). Cary, NC, SAS Institute, 1985
23. Pifarre R, Sullivan HJ, Montoya A, Bakhos M, Grieco J, Foy BK, Blakeman B: Management of blood loss and heparin rebound following cardiopulmonary bypass. Semin Thromb Hemost 15:173, 1989
24. Kalter RD, Saul CM, Wetstein L, Soriano C, Reiss RF: Cardiopulmonary bypass: Associated hemostatic abnormalities. J Thorac Cardiovasc Surg 427,1979
25. Bachman F, McKenna R, Cole ER, Najafi H: The hemo- static mechanism after open-heart surgery. I. Studies on plasma coagulation factors and fibrinolysis in 512 patients after extracorpo- real circulation. J Thorac Cardiovasc Surg 70:76,1975
26. Harker L A Bleeding after cardiopulmonary bypass. N Engl J Med 314:1446,1986
27. Buchanan G: Coagulation factors, in Nathan D, Oski FA: Hematology of Infancy & Childhood (ed 3). Philadelphia, PA, Saunders, 1987, p 1606
28. Harker LA, Malpass TW, Branson HE, Hessel EA 11, Slichter SJ: Mechanism of abnormal bleeding in patients undergo- ing cardiopulmonary bypass: Acquired transient platelet dysfunc- tion associated with selective-granule release. Blood 56:824, 1980
29. Musial J, Niewiarowski S, Hershock D, Morinelli T, Colman RW, Edmonds LH: Loss of fibrinogen receptors from the platelet surface during simulated extracorporeal circulation. J Lab Clin Med 105:514,1985
30. Mohr R, Golan M, Martinowitz V, Rosner E, Goor DA, Ramot B: Effect of cardiac operation on platelets. J Thorac Cardiovasc Surg 92:434,1986
31. Lavee J, Martinowitz V, Mohr R, Goor D, Golan M, Langsam J, Malik Z, Savion N: The effect of transfusion of fresh whole blood versus platelet concentrates after cardiac operations. J Thorac Cardiovasc Surg 97:204,1989
32. Rodgers SE, Lloyd JV, Russell WJ: Platelet function in platelet concentrates and whole blood. Anaesth Intensive Care 13:355, 1985
33. Sakakibara T, Juji T: Post-transfusion graft-versus-host dis- ease after open-heart surgery. Lancet 21099,1986
34. AABB makes recommendations regarding patient directed donations and graft versus host disease. Blood Bank Week 6:4, 1989
35. Leitman SF, Holland PV: Irradiation of blood products: Indications and guidelines. Transfusion 25:293, 1985
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
1991 77: 930-936
CS Manno, KW Hedberg, HC Kim, GR Bunin, S Nicolson, D Jobes, E Schwartz and WI Norwood whole blood, and components after open heart surgery in childrenComparison of the hemostatic effects of fresh whole blood, stored
http://www.bloodjournal.org/content/77/5/930.full.htmlUpdated information and services can be found at:
Articles on similar topics can be found in the following Blood collections
http://www.bloodjournal.org/site/misc/rights.xhtml#repub_requestsInformation about reproducing this article in parts or in its entirety may be found online at:
http://www.bloodjournal.org/site/misc/rights.xhtml#reprintsInformation about ordering reprints may be found online at:
http://www.bloodjournal.org/site/subscriptions/index.xhtmlInformation about subscriptions and ASH membership may be found online at:
Copyright 2011 by The American Society of Hematology; all rights reserved.Society of Hematology, 2021 L St, NW, Suite 900, Washington DC 20036.Blood (print ISSN 0006-4971, online ISSN 1528-0020), is published weekly by the American
For personal use only.on July 31, 2016. by guest www.bloodjournal.orgFrom
DIIT ANEMIA
Roti / sereal Kacang-kacangan Makanan laut
Buah yang dikeringkan(kismis)
Sayuran hijau
Kacang-kacangan
Makanan laut
PENCEGAHAN ANEMIA
Biasakan makan-makanan
yang banyak mengandung zat besi.
pada sayuran yang berwarna hijou
atou Daging dan hati ayam, ikan,
kacang-kacangan, dan lain-lain.
Banyak memakan buah-
buahan yang mengandung vitamin C
PENYEBAB ANEMIA
1. Kurang zat besi
2. Perdarahan saluran
cerna
3. Operasi pengambilan
sebagian atau seluruh
lambung.
4. Radang kronis ( lupus,
ginjal, asam urat )
GEJALA ANEMIA
Pucat cepat lelah
Sesak Nafas Cepat lelah
Kuku pucat
Sakit Kepala
APA ITU ANEMIA???
Anemia adalah suatu
keadaan dimana kadar
Hemoglobin dan atau jumlah
hematokrit lebih rendah dari
nilai normal. Dikatakan
sebagai anemia bila
Hemoglobin <14 g/dl dan
Hematokrit <41% pada pria
atau Hemoglobin <12 g/dl
dan Hematrokit <37% pada
wanita.
ANEMIA
DISUSUN OLEH :
ARIN DWI ISMAWATI
A01301727
PRODI DIII KEPERAWATAN
STIKES MUHAMMADIYAH
GOMBONG
ANEMIA
DISUSUN OLEH
ARIN DWI ISMAWATI
A01301727
APA ITU ANEMIA ???
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau jumlah hematokrit lebih rendah dari
nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb <14 g/dl dan Ht <41% pada pria atau Hb <12
g/dl dan Ht <37% pada wanita.
APA ITU ANEMIA???
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hemoglobin dan atau jumlah hematokrit lebih
rendah dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hemoglobin <14 g/dl dan Hematokrit
<41% pada pria atau Hemoglobin <12 g/dl dan Hematrokit <37% pada wanita.
GEJALA ANEMIA ???
1. Pucat
2. Cepat lelah
3. Sesak nafas
4. Kekebalan tubuh menurun
5. Ujung jari berwarna pucat jika ditekan
6. Merasa sakit kepala
GEJALA ANEMIA
Pucat Cepat lelah Sesak Nafas
Kekebalan tubuh menurun Ujung jari pucat jika ditekan Sakit Kepala
PENYEBAB ANEMIA
KURANG ZAT BESI ( VITAMIN B12, ASAM FOLAT, VIT C )
PERDARAHAN SALURAN CERNA ( GASTRITIS, RADANG USUS BUNTU )
OP PENGAMBILAN SEBAGIAN ATAU SELURUH LAMBUNG (
GASTREKTOMI )
RADANG KRONIS ( LUPUS, ARTHRITIS REMATIK, GINJAL )
PENYEBAB ANEMIA
Kurang zat besi Perdarahan saluran cerna
Operasi pengambilan sebagian Radang kronis ( lupus, ginjal, asam urat )
Atau seluruh lambung.
PENCEGAHAN ANEMIA
Biasakan makan-makanan yang banyak mengandung zat besi. Dianataranya zat
besi banyak terdapat pada sayuran yang berwarna hijou atou Daging dan hati ayam,
daging bebek, ikan, kacang-kacangan, dan lain-lain.
Banyak memakan buah-buahan yang mengandung vitamin C karena vitamin C
akan membantu penyerapan dari zat besi.
PENCEGAHAN ANEMIA
DIIT ANEMIA
Hati dan daging
· Makanan laut
· Buah-Buahan yang dikeringkan seperti buah aprikot, buah prem dan kismis.
· Kacang-kacangan
· Buncis (lima buncis)
· Sayuran hijau seperti bayam dan brokoli
· Semua jenis padi-padian
· Roti atau sereal yagn mengandung zat besi
DIIT ANEMIA
Roti / sereal Kacang-kacangan Makanan laut
Buah yang dikeringkan Sayuran hijau
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI ANEMIA
DI RUANG DAHLIA
RSUD Dr. SOEDIRMAN KEBUMEN
DISUSUN OLEH :
ARIN DWI ISMAWATI
A01301727
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Jenis Kegiatan : Pendidikan kesehatan
Pokok Bahasan : Anemia
Sub Pokok Bahasan : 1. Pengertian Anemia
2. Gejala Anemia
3. Penyebab Anemia
4. Pencegahan Anemia
5. Diit Anemia
Hari/ Tanggal : Rabu, 1 Juni 2016
Waktu : 09.00 WIB
Penyaji : Arin Dwi Ismawati
Sasaran : Tn. S dan keluarga
A. TUJUAN
Tujuan Insktruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti penyuluhan ini diharapkan sasaran penyuluhan dapat memahami
tentangapa itu anemia
Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
1. Menjelaskan pengertian anemia.
2. Menyebutkan gejala anemia.
3. Menyebutkan penyebab anemia.
4. Menyebutkan Pencegahan Anemia
5. Menyebutkan Diit Anemia
B. LAMPIRAN
Terlampir
C METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
D. MEDIA
1. Lembar balik
2. SAP
3. Leaflet
E. PELAKSANAAN KEGIATAN/ PENYULUHAN
NO WAKTU TAHAP KEGIATAN KEGIATAN PENYULUH KEGIATAN SASARAN
1 5 menit Pembukaan 1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri
3. Menyampaikan tujuan
4. Kontrak waktu
pelaksanaan
1. Menjawab salam
2. Memperhatikan
penyuluh
3. Mendengarkan
penyuluh
4. Menyetujui waktu
pelaksanaan
2 15 menit Kegiatan Inti 1. Menggali kemampuan
sasaran tentang materi
yang diberiakan
2. Menjelaskan mengenai
pengertian, penyebab,
gejala, pencegahan, dan
diit anemia.
3. Memberi kesempatan
pada klien untuk bertanya
4 Memberikan
pertanyaan kepada sasaran
1. Menyampaikan
pengetahuannya tentang
materi penyuluhan
2. Mendengarkan
dan memperhatikan
penyuluh
3. Bertanya tentang materi
yang diberikan
4. Menjawab pertanyaan
tentang materi yang diberi.
3 5 menit Penutup 1. Menyimpulkan dan
mengklarifikasi tentang
meteri penyuluhan yang
diberikan
2. Menutup acara dan
membuat kesimpulan dari
materi yang diberikan
1.Sasaran mende-
ngarkan kesimpulan.
2. Mendengarkan
penyuluh dan
mengucapkan salam
F. Evaluasi
Evaluasi diberikan melalui pertanyaan terbuka. Dengan pertanyanaan sebagai berikut:
- Sebutkan pengertian dari anemia?
- Sebutkan gejala anemia ?
- Sebutkan penyebab anemia ?
- Menyebutkan Pencegahan Anemia
- Menyebutkan Diit Anemia
MATERI PENYULUHAN ANEMIA
A. PENGERTIAN ANEMIA
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau jumlah hematokrit lebih rendah
dari nilai normal. Dikatakan sebagai anemia bila Hb <14 g/dl dan Ht <41% pada pria atau Hb
<12 g/dl dan Ht <37% pada wanita.
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya jumlah sel darah merah, kadar Hb dan
hematokrit dibawah normal.
B. PENYEBAB ANEMIA
1. diet yang tidak mencukupi
2. kebutuhan yang meningkat pada kehamilan
3. pendarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah, gizi
4. hemoglobinuria
5. penyimpanan gizi kurang
6. kegagalan sumsung tulang belakang dalam memproduksi darah merah
C. TANDA GEJALA
1. Cepat lelah
2. Lemah
3. Letih
4. Lesu
5. Lunglai
6. Pucat
7. gelisah
G. PENCEGAHAN ANEMIA
Beberapa jenis anemia dapat dicegah dan tergantung dari penyebab anemia itu sendiri.
Seperti yang disebabkan karena diet yang salah dan sembarangan. Untuk pencegahan anemia
dengan sebab kesalahan dalam diet anda dapat mengkonsumsi atau diet dengan memastikan
makanan yang anda makan mengandung zat besi.
H.DIITANEMIA
Daftar makanan yang kaya akan zat besi
· Hati dan daging
· Makanan laut
· Buah-Buahan yang dikeringkan seperti buah aprikot, buah prem dan kismis.
· Kacang-kacangan
· Buncis (lima buncis)
· Sayuran hijau seperti bayam dan brokoli
· Semua jenis padi-padian
· Roti atau sereal yagn mengandung zat besi
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI.
Yatim, faisal., Dr. 2003. Talasemia Leukimia dan Anemia . Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia
http://www.scribd.com/doc/30384752/92/Upaya-pencegahan-Anemia (Diakses pada
tanggal 19 November 2011 pukul 20.00 WIB)
http://ujizenius.blogspot.com/2011/11/materi-promkes-anemia-sap.html