Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus
-
Upload
wahyu-indra-wardhana-iwe -
Category
Documents
-
view
118 -
download
3
Transcript of Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus
Sekilas Tentang Suku Dayak Meratus
Meratus merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi Kalimantan
Selatan. Membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi dari arah Tenggara dan
membelok ke Utara, hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Meratus menjadi bagian dari sembilan kabupaten di Kalsel, yakni Kabupaten Kota
Baru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai
Utara, Tabalong, dan Balangan.
Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan beberapa vegetasi
dominan, seperti Meranti Putih, Meranti Merah, Agathis, Kanari, Nyatoh, Medang, Durian,
Gerunggang, Kempas, dan Belatung.
Kawasan hutan Meratus yang menjadi hulu sebagian besar daerah aliran sungai
(DAS), menjadikan kawasan ini sangat penting bagi Kalsel sebagai wilayah resapan air.
Selain itu, juga menggambarkan tipe ekosistem hutan pegunungan yang lengkap.
Sepanjang kawasan Meratus, berdiam kelompok masyarakat adat Dayak yang dikenal
dengan sebutan Dayak Meratus atau suku Bukit. Sejak beratus-ratus tahun lampau, etnis
inilah yang melakukan pengelolaan terhadap kawasan Meratus.
Asal-usul Suku Dayak Meratus
Suku Dayak Bukit atau Suku Dayak Meratus atau Dayak Banjar yaitu kumpulan sub-
suku Dayak yang mendiami sepanjang kawasan pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan.
Selato menduga, suku Bukit termasuk golongan Suku Punan. Tetapi Tjilik Riwut
membaginya ke dalam kelompok-kelompok kecil seperti Dayak Alai (Labuhan), Dayak
Amandit (Loksado), Dayak Tapin (Harakit), Dayak Kayu Tangi, dan sebagainya, selanjutnya
ia menggolongkannya ke dalam Rumpun Ngaju. Namun penelitian terakhir dari segi bahasa
yang digunakan sub suku Dayak ini tergolong berbahasa Melayik (bahasa Melayu Lokal).
Orang Banjar Hulu sering menamakannya Urang Bukit, sedangkan orang Banjar Kuala sering
menamakannya Urang Biaju.
Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang
disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah terlanjur
dimaknai sebagai orang gunung. Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah
tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau
sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal
masyarakat lainnya.
Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku
Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada
kabupaten Banjar, kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan,
kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.
Jadi Suku Dayak Meratus, adalah suatu komunitas adat yang ada di pegunungan
Meratus, sebelumnya lebih di kenal dengan sebutan sebagai Dayak Bukit. Dayak Meratus
adalah salah satu dari sekian banyak sub suku Dayak, yang bertempat tinggal di sekitar
pegunungan Meratus.
Beberapa sub etnis suku Dayak Meratus yaitu :
Dayak Pitap, di desa Dayak Pitap dan sekitarnya.
Dayak Alai terdiri atas Dayak Labuhan, Dayak Atiran dan Dayak Kiyu
Dayak Hantakan (Dayak Bukit), di desa Haruyan Dayak.
Dayak Labuan Amas
Dayak Loksado (Dayak Amandit), di kecamatan Loksado.
Dayak Harakit (Dayak Tapin), di desa Harakit dan sekitarnya.
Dayak Paramasan, di kecamatan Paramasan.
Dayak Kayu Tangi (mendiami kawasan Riam Kanan sebelum dijadikan waduk)
Dayak Bangkalaan, di desa Bangkalan Dayak.
Dayak Sampanahan, di kecamatan Sampanahan, Kotabaru.
Dayak Riam Adungan, di desa Riam Adungan.
Dayak Bajuin, di desa Bajuin.
dan lain-lain
Terdapat silang pendapat tentang asal-usul suku Dayak Meratus, menurut Tjilik Riwut
(1979) Dayak Meratus termasuk dalam kelompok Dayak Ngaju, namun masih diragukan
karena dari segi bahasa dan kepercayaan ada perbedaan, sedangkan Idwar Saleh (1984)
mempunyai pendapat bahwa Dayak Meratus merupakan penduduk asli Kalimantan Selatan
yang dahulunya mendiami daerah pesisir dan pinggiran aliran sungai Tabalong, namun
karena datangnya imigran Melayu pada abad 400-500 M penduduk asli ini tersisih ke daerah
pegunungan. Orang Dayak Meratus mempunyai kebudayaan dan kepercayaan sendiri yang
dinamai dengan Balian.
Kepercayaan Balian orang Meratus bersifat lisan (oral), hampir tidak ditemui berupa
buku (kitab) tertentu yang mengatur umat menjalankan ajaran-Nya. Kepercayaan Orang
Meratus dapat dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat “Huma” terkait dengan
penghormatan terhadap “Padi” secara sakral yang terwujud dalam upacara-upacara ritual.
Tuhan bagi orang Meratus pantang disebut-sebut, karena merupakan hal yang tabu.
Mereka mempercayai adanya Tuhan nama “Ilah” (sang pencipta) berikut kekuatan
supranatural-Nya. Di samping berkeyakinan adanya Tuhan mereka tidak meninggalkan
adanya sejumlah nama Ilahiyat yang harus dipuja-puji dan dihormati misalnya (1) Arwah
nenek moyang (Datu-Nini); (2) Arwah yang masih gentayangan di sekitar tempat tinggal
(Pidara); dan (3) Roh para penguasa yang berjasa (Kariau), serta roh-roh alam (Penguasa dan
pemelihara hutan, lading, pohon-pohon, sungai, hewan dan sebagainya).
Bumi dipercayai sebagai Ibu (Indung-Pangasihan), Langit disebut Bapak Penguasa
(Bapak Kuwasa), Diri manusia (Limbagan) mempunyai saudara empat (Dangsanak empat)
ada yang baik, ada yang buruk sehingga mempengaruhi diri manusia. Padi diagungkan
sebagai buah Langit (sebut = rezeki, buah tahun, buah pohon, kembang musim) diberi gelar
“Diyang”.
Orang meratus secara umum mempercayai adanya 3 (tiga) Ilah Utama, adalah sebagai
berikut:
1. Suwara, adalah Ilah pencipta alam raya, Manusia pertama, serta tujuh tumbuhan
pelindung;
2. Nining Bahatara, adalah Ilah Pengatur (Pencatu) rezeki, nasib manusia berikut,
dan
3. Sangkawanang, adalah Ilah yang memberi dan menentukan kewenangan terhadap
Padi.
Religi orang Meratus dinamakan “religi Balian”, namun harus dipisahkan dengan
pimpinan keagamaan mereka juga diberi nama “Balian”, ialah orang yang memimpin
seluruh aspek upacara ritual kehidupan orang Meratus. Balian bertingkat-tingkat. Pertama,
Guru Jaya; yakni orang yang berwenang penuh memimpin semua upacara, membuka
upacara, seorang guru keagamaan tradisional dan merangkap sebagai dukun (ahli pengobatan
penyakit) dan dipandang sebagai symbol pemersatu bubuhan.
Kedua, urutan Balian adalah Balian Tuha; orang yang berwenang penuh memimpin
upacara religius adat bubuhan tertentu, lebih rendah dari guru Jaya, tetapi berpengaruh kuat
dalam adat, ia cikal bakal guru Jaya. Ketiga Balian Tengah dan Balian Anum, orang yang
sementara waktu bisa menggantikan peran Guru Jaya dan Balian Tuha, apabila diperlukan,
iapun masih dalam tahap yang belum tinggi dan masih belajar.\
Semua aspek upacara tidak bisa dipisahkan dari tarian “Tandik” atau “Batandik” dan
kerasukan (in-trance), dibantu Juru Patati (orang yang menjawab pertanyaan, menjelaskan
dan menterjemahkan kemauan Balian) saat kesurupan. Di samping itu peran tukang tabuh
gendang sangat berperan dalam upacara yang dimainkan oleh laki-laki ataupun perempuan, di
mana pukulan gendang harus sesuai dengan gerak Ilah yang dijadikan komunikasi untuk
dipanggil.
Orang Dayak Meratus juga mengenal Kepercayaan (Agama) Kaharingan dan Buddha,
Agama Kaharingan akibat pengaruh masuknya orang Dayak Maanyan ke Pegunungan
Meratus. Sedangkan Religi Buddha pengaruh dari Kerajaan Melayu bernama Tanjungpuri
ketika pengaruh Kerajaan Negaradipa mulai kuat sehingga sebagian orang-orang Tanjungpuri
menyingkir ke Pegunungan Meratus, sebagai contoh pengaruh Buddha ada di daerah Halong
yg sebagian penduduknya menganut ajaran Buddha, juga adanya sebuah kampung di kab.
Balangan bernama Bihara yang berasal dari istilah Vihara.
Hubungan dengan Orang Banjar pun tidak bisa dipisahkan karena orang Banjar itu
sendiri kemungkinan berasal dari keturunan Orang Dayak baik berasal dari Ngaju, Maanyan
maupun Bukit (Meratus).
Jadi masalah bahasa kenapa lebih mirip bahasa Melayu, itu dikarenakan interaksi
dengan orang-orang Melayu selama berabad-abad, namun untuk bahasa asli orang Meratus
masih bisa dijumpai ketika digelarnya upacara-upacara adat.Para penghuni pertama
Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar di kawasan pantai kaki
pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki
hubungan perdagangan laut dengan India dan Cina, di samping hubungan dagang
interinsuler.
Selanjutnya konsentrasi populasi terjadi di aliran Sungai Tabalong sebagai daerah
yang terpadat penduduknya. Kemungkinan pada abad ke-5 Masehi telah berdiri Kerajaan
Tanjungpuri sebagai pusat kolonisasi orang-orang Melayu yang berasal dari Kerajaan
Sriwijaya. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang dan
kemudian berasimilasi dengan penduduk sekitarnya yang terdiri dari suku-suku Maanyan,
Lawangan, dan Bukit (Dayak Meratus)
Bahasa
Bahasa Bukit/Meratus atau Bahasa melayu Dayak Bukit atau Bahasa melayu Dayak
Meratus (bvu) adalah suatu bahasa Austronesia yang dituturkan suku Dayak Bukit di
sepanjang pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Bahasa Bukit dapat pula disebut Bahasa
Melayu Bukit. Bahasa Bukit merupakan bentuk arkhais dari bahasa Banjar sebelum bahasa
Banjar terpengaruh bahasa Jawa.[1] Misalnya bahasa bukit mempertahankan kosa kata ayying
(artinya air) seperti bahasa serumpunnya bahasa Brunei, sedangkan dalam bahasa Banjar kosa
kata tersebut telah punah digantikan dengan kata pinjaman banyu yang berasal dari bahasa
Jawa selain itu budaya Banjar juga telah mendapat pengaruh budaya Jawa.
Budaya Bukit
Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka teguh memegang
kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku ini, agak berbeda dengan suku
Dayak di Kalimantan Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual upacara
kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara dalam kehidupan, seperti upacara
pada proses penanaman padi atau panen, sebagaimana halnya dengan suku Kanayatn di
Kalimantan Barat. Kepercayaan Orang Meratus dapat dikatakan sebagai kepercayaan
masyarakat “Huma” terkait dengan penghormatan terhadap “Padi” secara sakral yang
terwujud dalam upacara-upacara ritual.
BEBERAPA KEARIFAN DI SUKU DAYAK MERATUS
Kearifan pembagian wilayah hutan
Kedekatan masyarakat adat Dayak Meratus dengan alam membuat mereka sangat
mengenal lingkungannya. Dalam hal pengelolaan lahan, tanah dan hutan dikelompokkan
dalam beberapa bentuk berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di tiap-tiap Balai
meski kadang dengan istilah yang berbeda.
Masih berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo Selatan, masyarakat adat
Dayak Meratus memberlakukan wilayah katuan larangan (hutan larangan). Dalam wilayah
itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan, seperti bahuma atau manugal (bertani atau berladang)
tidak diperbolehkan.
Katuan larangan diperuntukkan dan diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah
leluhur. Pohon di wilayah itu tidak boleh ditebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil
hutan nonkayu. , tujuan dari semua itu agar bisa berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi
habitatnya dan penyedia sumber air.
Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak
Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Karena itulah,
mereka memberlakukan wilayah katuan karamat (hutan keramat) di wilayah Balai masing-
masing.
Wilayah itu diperuntukkan khusus untuk kawasan pemakaman dan sama sekali tidak
boleh dimanfaatkan selain untuk pemakaman para leluhur. Wilayah itu biasanya terletak di
perbukitan atau disebut munjal.
Masyarakat adat Meratus selain bahuma, juga berkebun. Karena itulah, diberlakukan
wilayah khusus untuk bakabun gatah (berkebun karet).
Wilayah ini berbeda dengan pahumaan. Di wilayah ini khusus ditanami pohon gatah
atau para (karet) untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sedangkan pahumaan adalah
kawasan yang ditanami tanaman jangka pendek, seperti padi dan palawija. Sementara untuk
kawasan pemukiman atau Balai, masyarakat adat Meratus hanya mengambil sebagian kecil
dengan luasan kurang dari 2 hektar. Kawasan pemukiman biasanya terletak di daerah datar
(lembah) atau taniti (perbukitan kecil) yang relatif landai dan dekat sungai. Dipercaya pula
jika ketentuan adat yang berlaku tersebut di langgar, yang bersangkutan akan katulahan
(kualat) yang berujung pada terjadinya kesialan, petaka, dan karma.
Kearifan pemanfaatan lahan
Pahumaan atau ladang bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sumber pangan
yang sangat penting. Penentuan wilayah pahumaan terkadang melalui proses yang lama.
Banyak hal yang harus diperhitungkan. Seperti kemiringan dan ciri-ciri tumbuhan yang ada
untuk mengukur tingkat kesuburan tanah.
"Lokasi yang baik biasanya berada di daerah dengan ketinggian hingga 700 meter dari
permukaan laut, di bawah wilayah katuan larangan dan katuan karamat. Dengan begitu, para
leluhur mudah untuk mengawasi dan menjaga wilayah.
Aktivitas manugal (menanam padi) tidak boleh dipandang remeh. Padi bagi
masyarakat adat Dayak Meratus adalah suci sehingga prosesinya pun harus dilakukan dengan
kesungguhan dan penghayatan serta melalui serangkaian ritual adat yang disebut Aruh
(upacara).
Bahkan, alat pertanian yang akan digunakan untuk bahuma tak luput dari ritual adat.
Sebelum membuka ladang dilakukan pemujaan terhadap alat pertanian yang disebut mamuja
tampa agar pengerjaannya nanti lancar.
Ada banyak rangkaian ritual adat yang dilakukan saat memulai aktivitas pembukaan
lahan hingga panen. Semua ritual itu dilakukan oleh masing-masing Balai dengan istilah yang
berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama.
Puncak dari segala ritual dalam bahuma adalah Aruh Ganal (upacara besar) atau
disebut juga Aruh Bawanang atau Aruh Balangatan, saat perayaan panen raya.
upacara Aruh ganal ini dirayakan secara besar-besaran selama lima, tujuh, dan atau
12 hari oleh seluRohwarga kampung; dengan mengundang warga dari kampung-kampung
lainnya.
Aruh Ganal disebut juga bawanang banih halin atau upacara mahanyari banih barat,
yaitu upacara yang dilaksanakan karena mendapat hasil panen padi yang banyak dan selama
bahuma tidak mendapat musibah. Padi yang diikutkan dalam upacara ini adalah padi yang
terakhir kali dipanen atau disebut juga hasil panen yang kedua. Beras dari hasil panen
tersebut belum boleh dimakan sebelum diupacarai. Dengan kata lain, masyarakat Dayak baru
akan menikmati hasil dari bahuma setelah mereka mengucapkan syukur kepada Sang Maha
Pemberi Rizqi.
Oleh karena Aruh Ganal merupakan upacara sakral dan bernuansa magis, maka
pelaksanaan upacara Aruh Ganal dipimpin oleh Balian. Balian adalah tokoh (pimpinan) adat
yang mempunyai pengetahuan luas mengenai seluk beluk adat dan tradisi masyarakat Dayak
Harmonisasi tingkat tinggi
Hutan bagi masyarakat adat Dayak Meratus menjadi landasan ideologi, sosial, selain
sebagai penunjang keberlangsungan hidup dan perekonomian. Sangat diyakini, Tuhan akan
menurunkan bala apabila dilakukan perusakan. Karena itulah, terjadi harmonisasi tingkat
tinggi antara mereka dan hutan, dengan saling melindungi,"
Kesimpulan
masyarakat adat Dayak Meratus meyakini kearifan lokal mereka sebagai bentuk
komunikasi kepada sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh manusia sekarang ini,
di mana pemanfaatan sumber daya alam lebih banyak berorientasi pada kekinian dan hanya
untuk saat ini. Tak peduli apa yang akan ditinggalkan untuk anak cucu kelak.
Pola pikir yang sederhana melalui kearifan lokal yang dianut masyarakat adat Dayak
Meratus, ternyata memberikan efek luar biasa. Kesederhanaan dari kearifan lokal itulah yang
kini terbukti mampu menyelamatkan dan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia
sekarang.
Nilai-nilai kekeramatan yang terkandung dalam kearifan lokal mereka terbukti
memberikan dampak bagus pada lingkungan. Pengelolaan dilakukan secara bersama-sama
untuk pemenuhan kebutuhan bersama sehingga menciptakan keteraturan sosial