Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

12

Click here to load reader

Transcript of Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Page 1: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 1

GERAKAN NON BLOK

Sejak pendiriannya pada KTT ke-1 di Beograd tanggal 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh

25 negara, GNB terus berupaya memberikan sumbangan ke arah tegaknya suatu tatanan

dunia yang bersendikan perdamaian dan keamanan serta kerja sama damai antar bangsa.

Dari sudut pandang Indonesia, GNB merupakan wadah yang tepat bagi negara-negara

berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa

berusaha secara konsisten dan aktif membantu sebagai upaya ke arah pencapaian tujuan

dan prinsip-prinsip GNB.

GNB mempunyai arti yang sangat khusus bagi Bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir

sebagai negara non-blok. Bahkan sebelum istilah “Non Alignment”, Indonesia telah terkait

pada jiwa non-blok baik dalam arti falsafah maupun kebijakan. Dalam Pembukaan UUD 1945

dinyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka

penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan

perikeadilan.” Selain itu “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.” Juga

“ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial”.

Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB, yang tidak dapat disangkal

menjiwai tindakan-tindakannya hingga kini.

Dikaitkan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif sejalan dengan

prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan GNB yang mengandung nilai-nilai universal, antara lain

nilai-nilai universal mencakup penghormatan kepada persamaan kedaulatan negara,

kemerdekaan nasional, integritas wilayah, non-agresi, tidak campur dalam urusan dalam

negeri, hidup berdampingan secara damai, dan peningkatan kerja sama di antara

bangsa-bangsa.

Selain itu pada KAA di Bandung pertama kali dikumandangkan kepada dunia prinsip dan

pandangan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika dalam perjuangan emansipasi politik mereka

yang dirumuskan dalam “Dasa Sila Bandung”.

Sepuluh prinsip tersebut kemudian menjiwai dan mengilhami terbentuknya GNB pada tahun

1961.

Dalam sejarah GNB, Dasa Sila Bandung telah menjadi sumber inspirasi dan pedoman dalam

menghadapi tantangan-tantangan, baik di masa Perang Dingin maupun pada era pasca

Perang Dingin.

Sebagai pengejawantahan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas aktif itu, sebagai salah

satu negara pendiri GNB, Indonesia senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan

aspirasi GNB. Sikap ini secara konsekuen dilaksanakan oleh Indonesia dalam kiprahnya pada

Page 2: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 2

masa kepemimpinan Indonesia (1992-1995) di awal pasca Perang Dingin berlalu.

Pada masa kepemimpinannya, Indonesia telah berhasil membawa GNB dalam menentukan

arah dan secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan

menata prinsip-prinsip lama, menentukan prioritas, dan menetapkan orientasi serta

pendekatan yang baru.

GNB pada masa kepemimpinan Indonesia tidak hanya sekedar penonton dan membiarkan

dirinya dikesampingkan dalam arus perubahan sejarah, dan mempertegas relevansi GNB

ketika konfrontasi Timur-Barat sudah berakhir. Ikut serta dalam menata hubungan

Utara-Selatan pada pasca Perang Dingin.

Dalam “Pesan Jakarta” yang dihasilkan KTT GNB ke-10 di Jakarta pada tahun 1992

terkandung visi GNB yang disepakati bersama, antara lain :

1. Hilangnya keraguan sementara anggota khususnya mengenai relevansi GNB setelah

berakhirnya Perang Dingin dan ketetapan hati untuk meningkatkan kerja sama yang

konstruktif serta sebagai komponen integrasi dalam arus utama hubungan internasional.

2. Arah GNB yang lebih menekankan pada kerja sama ekonomi internasional dengan

mengisi kemerdekaan yang telah berhasil dicapai melalui cara-cara politik yang menjadi

ciri menonjol perjuangan GNB sebelumnya.

3. Adanya kesadaran untuk semakin meningkatkan potensi ekonomi negara-negara

anggota melalui peningkatan kerja sama Selatan-Selatan.

Selama kepemimpinan GNB selama 3 tahun (1992-1995), Indonesia telah berhasil membawa

GNB dengan pendekatan baru berupa kemitraan, dialog dan kerja sama serta meninggalkan

sikap konfrontasi dan retorika. Dengan sikap dan pendekatan baru ini, GNB mampu

berkiprah secara konstruktif dalam percaturan dunia dewasa ini terutama dalam interaksi

baik dengan negara-negara maju maupun dengan/dalam organisasi internasional.

GNB juga tetap menggunakan PBB yang merupakan payung universal dalam era globalisasi

guna memberi peluang untuk menjadi instrumen pokok dan kolektif bagi perwujudan tata

dunia baru yang adil, damai dan seimbang.

Dukungan para anggota GNB dan masyarakat internasional pada umumnya terhadap

langkah-langkah dan prakarsa-prakarsa yang diambil Indonesia selaku ketua GNB

membuktikan kebenaran dari cara dan pendekatan yang ditempuh oleh Indonesia,

menandakan bahwa pelaksanaan politik luar negeri bebas-aktif Indonesia menjadi semakin

kokoh dan mantap.

Page 3: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 3

KONFERENSI ASIA-AFRIKA

Ide awal dari penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika sebenarnya datang dari Pemerintah

Indonesia yang dicetuskan oleh PM Mr. Ali Sastroamidjojo, saat berbicara di depan Parlemen

pada 25 Agustus 1954.

PM Ali Sastroamidjojo menyatakan pentingnya membangun kerja sama di antara

bangsa-bangsa Asia Afrika, yang diharapkan dapat memperkuat upaya untuk menciptakan

perdamaian dunia.

Di samping itu, kerja sama di antara negara-negara di kedua kawasan tersebut juga

berlandaskan pada aturan main yang telah dirumuskan PBB melalui Piagam PBB pada tahun

1945 dengan dasar persamaan kedudukan dan hak pada seluruh negara di dunia. Sangat

penting mewujudkan kerja sama di tingkat regional, yang dapat membantu terwujudnya

cita-cita dalam Piagam PBB tersebut.

Pernyataan tersebut dianggap merupakan pencerminan harapan Indonesia untuk dapat

memperkuat kerja sama di antara negara-negara Asia Afrika.

Pemikiran yang sama muncul juga di Sri Lanka diikuti dengan sebuah langkah konkrit ketika

di awal tahun 1954, PM Sri Lanka Sir John Kotelawala secara resmi mengundang PM Burma

Unu, PM India Jawaharlal Nehru, PM Indonesia Ali Sastroamidjojo dan PM Pakistan

Mohammad Ali dalam sebuah pertemuan informal di Kolombo, Sri Lanka.

Undangan tersebut mendapat respon yang positif dari kelima PM yang kemudian sepakat

untuk hadir dalam Pertemuan Kolombo yang berlangsung dari tanggal 28 April sampai

dengan 2 Mei 1954. Pertemuan Kolombo dikenal sebagai “Konferensi Kolombo”, yang

tercatat sebagai langkah awal dimulainya rencana untuk melaksanakan Konferensi

Asia-Afrika.

Dalam/selama Konferensi Kolombo, banyak didiskusikan awal Perang Dingin, Perang Korea,

Perang Vietnam, politik Apartheid di Afrika, dan sebagainya. Dalam hal ini PM Ali

Sastriamidjojo memunculkan pertanyaan, “Peran apa yang dapat dimainkan oleh Bangsa Asia

Afrika sebagai bangsa yang baru merdeka dalam upaya mengantisipasi berbagai tantangan

yang muncul pada pertengahan dekade 50-an?”

PM Ali Sastoamidjojo mencoba meyakinkan peserta konferensi bahwa untuk menjawab

tantangan tersebut dibutuhkan suatu pertemuan besar yang melibatkan negara-negara di

kawasan Asia dan Afrika. Dalam hal ini, Indonesia sekaligus menyatakan kesediaan untuk

menjadi tuan rumah konferensi tersebut. Jawaban ini menjadi titik awal munculnya rencana

untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika untuk pertama kalinya.

Berdasarkan hasil Konferensi Kolombo, maka dimulailah persiapan penyelenggaraan

Konferensi Asia-Afrika oleh Pemerintah Indonesia. Langkah pertama adalah melakukan

Page 4: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 4

pendekatan secara diplomatis kepada 18 negara di negara-negara Asia Afrika dalam upaya

memperoleh pandangan dan sekaligus kesempatan bagi Indonesia untuk menjelaskan tujuan

dari penyelenggaraan konferensi, yaitu membahas kepentingan umum negara-negara Asia

Afrika, mengupayakan penciptaan perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai

tuan rumah Konferensi.

Setelah memperoleh dukungan dari 18 negara ditambah 5 peserta Konferensi Kolombo, maka

timbul keyakinan Konferensi Asia Afrika dapat dilaksanakan.

Dengan berbekal dukungan serta keyakinan dari sejumlah besar negara-negara di kawasan

Asia Afrika, Pemerintah Indonesia mulai menyusun aturan main dalam penyelenggaraan

konferensi. Untuk keperluan tersebut, maka Indonesia kembali mengundang peserta

Konferensi Kolombo dalam Konferensi Panca Negara di Bogor 28-29 Desember 1954, untuk

membahas secara lebih detail mengenai persiapan penyelenggaraan KAA yang meliputi :

1. Upaya untuk membangun keinginan positif untuk bekerja sama di antara

bangsa-bangsa Asia Afrika dalam rangka mendalami dan mempromosikan

kepentingan bersama dan menciptakan serta mempromosikan persahabatan dan

hubungan bertetangga baik.

2. Membahas masalah-masalah serta hubungan pada sektor sosial, ekonomi, dan

kebudayaan.

3. Membahas masalah-masalah spesifik yang berkaitan dengan kedaulatan nasional,

rasialisme, dan kolonialisme.

4. Melakukan observasi terhadap posisi bangsa Asia Afrika di dunia internasional serta

apa yang dapat mereka sumbangkan dalam upaya mempromosikan perdamaian dan

kerja sama dunia.

Dalam Konferensi Bogor kemudian juga ditetapkan 25 negara yang akan diundang mengikuti

KAA menurut abjad : Afghanistan, Kamboja, Federasi Asia Tengah, RRC, Mesirm Ethiopia,

Pantai Gading, Iran, Irak, Jepang, Jordania, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina,

Saudi Arabia, Sudan, Siria, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan Yamen.

Dalam mempersiapkan penyelenggaraan KAA, Indonesia membentuk Sekretariat Konferensi

yang diwakili oleh para negara sponsor.

Pemerintah Indonesia menunjuk dan menetapkan Bapak Roesland Abdul Gani yang saat itu

menjabat sebagai Sekretaris Jendral Kementrian Luar Negeri sebagai Ketua Sekretariat.

Anggota sekretariat terdiri dari kepala perwakilan empat negara sponsor, yaitu M Uya dari

Burma (Myanmar), M. Saravanamutu dari Sri Lanka, B FHB Tyobi dari India, dan Choundri

Khaliqu-Zamman dari Pakistan.

Di samping sekretariat, Pemerintah Indonesia juga membentuk Panitia Pelaksana di tingkat

lokal yang merupakan kerja sama antar departemen dalam upaya mempersiapkan hal-hal

yang lebih bersifat teknis, termasuk mempersiapkan tempat pertemuan yang semula

diputuskan Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun.

Namun dalam tahap akhir persiapan di Bandung tanggal 17 April 1955, Presiden Soekarno

Page 5: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 5

memutuskan untuk merubah tempat penyelenggaraan konferensi menjadi Gedung Merdeka

dan Gedung Dwiwarna. Sementara dari 25 peserta yang diundang hanya satu peserta yang

tidak hadir yaitu Republik Afrika Tengah.

Dalam KAA, PM Indonesia dipilih sebagai Ketua Konferensi. Dalam KAA dibentuk tiga

komite, yaitu Komite Politik yang diketuai oleh PM Indonesia Ali Sastroamidjojo, Komite

Ekonomi yang diketuai Prof. Ir. Rerseno yang saat itu menjabat sebagai Menteri Ekonomi,

dan Komite Kebudayaan yang diketuai oleh Menteri Pendidikan, pengajaran dan Kebudayaan

Indonesia Prof. Moh. Yamin.

KAA yang diselenggarakan dari tanggal 18-24 April 1955 menghasilkan Communique di

bidang kerja sama secara lebih erat baik di bidang ekonomi, budaya, maupun politik yang

lebih dikenal sebagai Dasasila Bandung. Secara lengkap, isi Dasasila Bandung :

1. Penghormatan terhadap hak azasi manusia secara fundamenta, dan juga tujuan serta

prinsip-prinsip dalam Piagam PBB.

2. Penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas territorial seluruh bangsa di dunia.

3. Pengakuan terhadap persamaan semua ras dan juga persamaan antara negara besar

dan negara kecil.

4. Penghormatan terhadap hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendiri

maupun kolektif merujuk pada isi Piagam PBB.

5. Mengadopsi keputusan dari Pertemuan Tingkat Tinggi Asia Afrika.

6. a. Penolakan untuk menggunakan kekuatan militer secara kolektif dalam kaitannya

dengan upaya untuk melayani kepentingan negara besar mana pun.

b. Penolakan terhadap tindakan dari negara manapun yang bertujuan menekan

negara lain.

7. Penolakan terhadap penggunaan ancaman melalui agresi atau menggunakan

kekuatan bersenjata yang mengancam integritas teritorial dan kemerdekaan politik

dari negara manapun.

8. Penyelesaian segala bentuk perselisihan melalui cara-cara damai seperti negosiasi,

konsiliasi, arbitrasi atau langkah-langkah penyelesaian secara hukum termasuk

cara-cara damai yang dipilih, merujuk pada kesepakatan dalam Piagam PBB.

9. Mempromosikan kepentingan bersama dan kerja sama

10. Menghargai keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional.

Yang perlu dilihat di sini adalah peran dari diplomasi Indonesia ketika diundang menghadiri

Konferensi Kolombo yang dibuka pada tanggal 28 April 1954.

Sebelum berangkat ke Kolombo, tepatnya di Bandara Kemayoran, PM Ali Sastroamidjojo

memberikan pernyataan sebagai berikut :

“Saya akan mengusulkan untuk membicarakan kemungkinan mengadakan konferensi

yang lebih luas antara negara-negara Asia Afrika. Dalam pada itu, saya dapat

menerangkan dengan tegas bahwa saya pergi ke Kolombo dengan membawa pegangan

teguh bagi Indonesia, yaitu politik luar negeri bebas aktif yang bersandarkan atas

kepentingan rakyat.”

Page 6: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 6

Dalam pidato sambutan pada pembukaan Konferensi Kolombo, PM Ali Sastroamidjojo

selaku Delegasi Indonesia dalam pidatonya menyinggung “Munculnya kembali politik

kekuatan internasional yang membawa bahaya akan timbulnya kembali kolonialisme dalam

bentuk yang lama maupun yang baru”.

Dalam hubungan ini, PM Ali Sastroamidjojo mengajukan pernyataan sebagai berikut : “Di

manakah kita Bangsa Asia berdiri sekarang? Apakah kita akan mau diseret dalam

persengketaan yang sebetulnya dilakukan untuk merebut kekuasaan? Kita sekarang sudah

sungguh-sungguh berada di persimpangan jalan sejarah umat manusia.”

Sebagai jawaban sementara, PM Ali Sastroamidjojo mengusulkan agar diadakan suatu

konferensi yang lebih luas, sebagaimana disampaikan oleh PM Ali Sastroamidjojo.

Juga disampaikan bahwa soal-soal dunia tidak saja dihadapi oleg bangsa-bangsa Asia saja,

melainkan oleh bangsa-bangsa Afrika juga.

Usul yang dikemukakan Indonesia telah menarik perhatian pers Sri Lanka dan surat kabar

negeri. PM Ali Sastroamidjojo mendapat kesempatan mengajukan usul tersebut seutuhnya

dalam sidang konferensi ke-6 pada tanggal 30 April 1954.

Tanggapan terhadap Ali Sastroamidjojo dingin dan gagasan tidak ditolak. Menurut PM Nehru

dari India, usul Indonesia dapat disetujui namun pelaksanaannya akan menghadapi banyak

kesulitan. Terutama akan terjadi perbedaan-perbedaan di antara mereka/peserta, sehingga

sukar untu mencapai persetujuan tentang masalah-masalah yang akan dibicarakan.

PM Nehru tidak bermaksud untuk menolak usul Indonesia, melainkan bila usul tersebut

disetujui, jangan sampai gagal di tengah perjalanan. Perlu persiapan yang mantap.

Sambutan dari PM yang lain sesuai saran PM Nehru, konferensi menyetujui untuk

memberikan dukungan moril sepenuhnya kepada Indonesia.

Dalam Ps. 14 Komunike terakhir Konferensi Kolombo tercantum “Para PM membicarakan

tentang kemungkinan mengadakan konferensi negara Asia-Afrika dan menyokong usul

supaya PM Indonesia dapat menjajaki kemungkinan diadakannya konferensi yang demikian.”

Susunan kalimat dalam bahasa diplomatik tersebut meragukan kemampuan Indonesia dalam

melaksanakan Konferensi Asia Afrika. Hal ini diakui oleh PM Ali Sastroamidjojo sebagai

berikut :

“Mungkin keempat PM tidak percaya bahwa Pemerintah Indonesia akan sanggup

mewujudkan usulnya dengan alasan bahwa keadaan Indonesia waktu itu belum tentram

dan stabil. Ekonominya belum sehat. Jadi mereka menganggap tidak mungkin Pemerintah

Indonesia dalam keadaan dalam negeri yang begitu lemah akan bisa menyelenggarakan

suatu konferensi internasional yang begitu besar. Wajarlah keragu-raguan tersebut.”

PM Ali Sastroamidjojo benar-benar mengerti bahwa “kekuatan dan pengaruh Indonesia di

hubungan internasional dan diplomasi terbatas”.

Tanpa bantuan negara-negara Kolombo dan dukungan yang menentukan dari PM Nehru,

Page 7: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 7

usaha ini akan gagal. Oleh karena itu, PM Ali Sastroamidjojo berusaha membujuk PM Nehru

untuk mendukung penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika.

Untuk itu, PM Ali Sastroamidjojo akan berkunjung ke New Delhi dengan tujuan

membicarakan soal konferensi itu secara lebih mendalam dan menyeluruh.

Tujuan Indonesia sebagai pelaksana Konferensi Asia-Afrika adalah untuk penjabaran Politik

Bebas-Aktif.

Sebagaimana diketahui Pemerintah Indonesia, secara jujur harus diakui bahwa dalam masa

perjuangan fisik (1945-1950) Indonesia tidak dapat menjalankan politik luar negeri di forum

internasional. Perhatian dicurahkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang terancam oleh

keinginan Belanda menjajah/menghancurkan RI.

Diplomasi Indonesia lebih banyak diwujudkan ke dalam negeri daripada ke luar negeri. Di

dalam negeri, Indonesia banyak tertinggal terutama dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu,

dalam negeri lebih banyak mendapat perhatian.

Baru ketika Ali Sastroamidjojo menjadi PM, politik bebas-aktif keluar dengan tekad baru :

ingin memainkan peranan aktif dalam diplomasi dunia. PM Ali Sastroamidjojo saat itu

berlatar belakang sebagai Duta Besar di AS.

Namun dalam usaha menggoalkan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika maka restu PM

Nehru sangat penting karena waktu itu pengaruhnya sangat besar. Sedikit banyak sikap Nehru

diperlukan dalam mempengaruhi negara-negara Asia untuk mendukung usaha Pemerintah

Indonesia agar gagasan tentang Konferensi Asia-Afrika itu menjadi kenyataan.

Page 8: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 8

Konferensi Hoge Valuwe dan Perjanjian Linggarjati

Prakata

Di Indonesia awal diplomasi dimulai pada saat adanya Vacuum of Power di Asia Tenggara,

sewaktu menyerahnya Jepang. Kemudian Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya.

Sesuai teori berdirinya sebuah negara, maka harus ada warga negara, wilayah, pemerintah,

dan pengakuan dari negara lain. Ketiga unsur pertama sudah ada, tinggal pengakuan dari

negara lain. Maka Indonesia mencari pengakuan dari negara-negara Timur Tengah seperti

Mesir dan Afganistan.

Bahan Slide I Gede Wisura

Pada awalnya perjuangan diplomasi adanya vakum kekuasaan (Vacuum of Power) di

Asia Tenggara/Hindia Belanda dengan menyerahnya Jepang. Hal ini di luar dugaan sekutu

sebelum berada di Hindia Belanda/Indonesia. Sementara itu tentara Jepang ditugasi oleh

Sekutu untuk menjaga ketertiban dan keamanan sampai tentara Sekutu tiba di Indonesia.

Sebelum Sekutu berada di Indonesia ini dimanfaatkan oleh para pemimpin-pemimpin di

Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Menurut ketentuan Hubungan

Internasional bahwa setiap negara-negara yang merdeka perlu mendapatkan pengakuan.

Indonesia sudah memperoleh pengakuan dari Mesir, Afganistan, dan negara-negara di

Timur-tengah. Negara-negara Sekutu seperti Inggris, Amerika, sebagai negara pemegang

Perang Dunia II masih belum bersedia mengakui kemerdekaan/ kedaulatan Indonesia.

Rupanya Belanda berhasil meyakinkan bahwa rakyat Hindia Belanda masih setia kepada

Ratu Wihelmina, dan negara Indonesia yang baru merdeka/lahir ini adalah buatan Jepang dan

dipimpin oleh golongan extremis.

Di luar Jawa, tentara Sekutu tidak mengalami kesulitan. Wilayah seperti Kalimantan,

Irian, dan sebagainya didarati dan idak mengalami kesulitan, yang kemudian oleh Sekutu di

serahkan kepada NICA (Nederlandes Indies Civil Administratie). Melalui NICA pemerintah

Belanda berusaha ingin menghidupkan kembali pemerintah jajahannya di Indonesia.

Sebenarnya tugas Sekutu sebagai Recovery of Allied Prisoners of War Internees (RAPWI).

Pada tanggal 15 September 1945 rombongan RAPWI berlabuh di Tanjung Priok, namun

Page 9: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 9

rombongan tersebut terpaksa harus tinggal di kapal selama dua minggu karena penduduk atau

warga indonesia memusuhi mereka, walaupun kedatangan mereka hanya mengunjungi

kamp-kamp tawanan perang. Mereka menyaksikan sendiri bahwa Republik Indonesia malah

menjadi kenyataan dan sudah merdeka dan bendera Merah Putih berkibar di gedung-gedung,

berkibar bersama bendera Inggris dan bendera Amerika Serikat. Inggris dan Amerika

melaksanakan tugasnya harus bekerjasama bersama pemerintah yang baru dalam melucuti

tentara Jepang. Inggris dibawah Jendral Sir Philip Christison pimpinan AFNEI (Allied Forces

In the Nederland East Indies). Dalam menjalankan tugasnya melucuti tentara Jepang,

meminta bantuan para pemimpin Indonesia sebenarnya dianggap bertentangan dengan

instruksi yang diberikan/diperoleh, yaitu jadinya mengakui Indonesia sebagai negara yang

legal/merdeka.

Bagi Christison menjalankan tugasnya (RAPWI) selalu mengakui RI mempunyai posisi

de Facto dalam Hukum Internasional. Dalam posisinya sebagai Panglima tentara Sekutu di

Asia Tenggara agar menasehati Van Mook untuk mengakui kenyataan RI. Dalam kenyataan

tentara Sekutu belum berani membawa pasukan Belanda secara terang-terangan karena posisi

pemerintah Indonesia dianggap kuat. Orang-orang Belanda menyamar sebagai anggota

tentara Sekutu dan berbahasa Inggris, serta masuk ke dalam RAPWI. Orang-orang Belanda

yang menyamar tersebut lambat laun menyusun kekuatan di Intermiran (kamp-kamp tahanan)

untuk merebut kekuasaan dari tentara Jepang secara perlahan-lahan menguasai gedung yang

menimbulkan insiden-insiden diantaranya menurunkan bendera Merah Putih dan saling

berebut gedung pemerintahan, alat-alat angkutan, saling tangap, dan sebagainya. Berbagai

konflik fisik melanda kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatera. Konflik terjadi antara RI

maupun tentara pendudukan Inggris dan Belanda yang sama-sama ingin menguasai wilayah

dengan harapan penguasaan wilayah oleh Belanda secara efektif dapat menghilangkan

eksistensi Republik Indonesia.

Namun atas jasa wartawan asing yang ingin meliput kejadian di Indonesia melihat

kenyataan dengan berhubungan dengan pemerintah Republik Indonesia, memungkinkan

masuk ke wilayah konflik/Republik Indonesia. Dalam memjalankan tugasnya tentara Inggris

tidak hanya melakukan tugas RAPWI (khususnya di Surabaya), tetapi juga menduduki

Page 10: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 10

gedung-gedung resmi serta membiarkan berkibarnya kembali bendera Belanda. Tak dapat

dihindari pertempuran pecah karena rakyat Surabaya tidak menghendaki kembalinya Belanda

ke kota mereka.

Perlawanan rakyat Indonesia telah menyebabkan tentara Inggris terdesak dan meminta

perantaraan presiden Soekarno supaya menghentikan pertempuran. Namun adanya perang

dengan tentara Inggris dengan Indonesia memperlihatkan kedaulatan Indonesia ke dunia luar

sebagai subjek hukum internasional. Selain itu juga adanya prlawanan dengan dengan

pasukan/tentara Indonesia dimana dimungkinkan dilangsungkan perundingan antara

Indonesia dan Belanda pada tahun 1946 dan permulaan tahun 1947. Disamping itu keluarnya

keluarnya pernyataan resmi dari Republik Indonesia yang dikenal sebagai Maklumat Politik

tertanggal 1 November 1945, yang dinyatakan Belanda begitu mudahnya menyerahkan nasib

bangsa Indonesia kepada kekuasaan Jepang, dimana belanda dianggap tidak bermoral untuk

kembali begitu saja ke Indonesia untuk menjajah kembali.

Klaim Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahannya, di indonesia tidak

dapat diterima karena dianggap bertentangan dengan piagam PBB dikaitkan dengan gagasan

Self of Determination. Akhirnya diadakan perundingan Van Mook dan perdana mentri Syahrir

secara non formal dalam bulan Oktober 1945 kemudian dilanjutkan secara formal pada

tanggal 17 November 1945 di kantor Jenderal Christison.

Pada masa-masa menjelang perundingan Hoge Valuwe muncul berbagai dilema, yaitu

dilema yang harus dihadapi para diplomat Indonesia, maupun Belanda dari

tekananlangsung/tidak langsung dari kaum politisi di negaranya masing-masing. Tekanan dari

golongna pendukung perundingan dan golongan yang ingin menyelesaikan secepatnya di

medan pertempuran. Inggris sendiri sebagai penengah antara Belanda dan Indonesia,

sebenarnya Inggris terlibat mempunyai keinginan mendukung Belanda sebagai Sekutu dalam

Perang Dunia II. Namun Inggris di lain pihak ingin segera keluar dari gerakan persengketaan,

serta secepatnya mengupayakan proses perundingan Indonesia-Belanda agar berhasil. Selain

itu juga faktor penting yang berpengaruh adalah proses dekolonialisasi yang sedang melanda

jajahan Inggris, pada saat itu adalah India dan Burma. Inggris tidak mungkin memberikan

prioritas untuk menyelesaikan melalui kekuatan senjata karena sebagian besar tentaranya

Page 11: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 11

terdiri dari orang-orang India dan pasukannya ini dalam keadaan kalah perang, kemudian

didesak pula oleh para penguasa India untuk segera kembali. Hal ini turut berpengaruh

disaat-saat menjelang perundingan Hoge Valuwe.

Soekarno-Hatta-Syahrir adalah penggagas diplomasi perjuangan menghadapi dua front:

I. Dari Belanda yang meragukan terhadap Republik Indonesia yang sungguh-sungguh ingin

merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka dianggap sebagai buatan Jepang.

Diplomasi perjuangan ini berlandaskan isi mukadimah Undang-Undang Dasar 1945,

maupun keputusan badan pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 17

Oktober 1945, serta Maklumat Politik Republik Indonesia 1 November 1945yang paling

ditekankan dalam perjuangan diplomasi adalah pengakuan eksistensi Republik Indonesia.

Tidak saja oleh Belanda termasuk juga masyarakat internasional yang tergabung dalam

PBB.

II. Tekanan dari unsur-unsur Revolusioner di dalam negri yang tergabung dalam persatuan

perjuangan dipimpin oleh Tan Malaka. Dianggap apa yang diperjuangkan melalui

diplomasi perjuangan sangat lamban dan terlalu kompromistis. Kritikan yang dilakukan

oleh persatuan perjuangan hampir saja menggagalkan proses perundingan diplomasi

perjuangan yang tengah berlangsung. Kritikan sebenarnya ditujukan kepada

Soekarno-Hatta sebagai Kolaborator Jepang. Dan kepada Sutan Syahrir dan

kawan-kawan sebagai antek Belanda.

Upaya menggagalkan diplomasi perjuangan umumnya datang lebih banyak dari

pihak Belanda dengan Devide et Impera. Motivasi diplomasi Belanda dengan tujuan

mengembalikan Hindia Belanda dalam bentuk baru:

1. Indonesia akan dijadikan negara gemeenebest (Anggota Persemakmuran)

berbentuk Federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan

kerajaan Belanda (termasuk Suriname dan Curacao).

2. Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia sedang urusan luar negeri diurus

oleh pemerintah Belanda.

3. Sebelum membentuk Gemeenbest akan diadakan suatu pemerintah peralihan

selama 10 tahun.

Page 12: Sekilas Mengenai GNB, KAA, Konferensi Hoge Valuwe, Dan Perjanjian Linggarjati

Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia. Catatan yang dibuat oleh I Gede Wisura untuk mata kuliah Diplomasi

Indonesia, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI.

Page | 12

4. Indonesia akan dijadikan anggota PBB.

Apabila Indonesia memiliki tokoh trio pelaksana utama diplomasi perjuangan

(Soekarno-Hatta-Syahrir), sedangkan Belanda menjelang perundingan Hoge Valuwe adalah

Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. Van Mook.

Menjelang perundingan Hoge Valuwe yaitu adanya pertempuran di Semarang dan di

Surabaya sebagai akibat pendaratan tentara Sekutu yang dicurigai membawa pasukan NICA,

akhirnya disudahinya gencatan senjata yang dilanjutkan dengan perundingan antara Indonesia

dan Belanda di Jakarta di Paviliun kediaman Letnan Jenderal Inggris Christison pada tanggal

23 Oktober 1945.

Semula Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Republik karena paksaan

Inggris karena serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di

meja perundingan. Hal ini merupakan kemenangan bagi diplomasi Indonesia. Namun

pertemuan tidak membuahkan hasil, terjadi lagi pertempuran sehingga pemerintah

dipindahkan ke Yogyakarta. Konflik bersenjata diselesaikan di meja perundingan.