Beberapa Catatan Perkara Majalah...

37
Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME” Pengantar Hakim sebagai pemutus perkara perdata dalam sengketa bisnis dalam sidang pengadilan tentunya berhadapan dengan kepentingan banyak pihak. Dalam proses persidangan tentunya akan berhadapan dengan banyak pihak yang mungkin tidak memperlakukannya sebagaimana mestinya atau tidak bersikap simpatik seperti yang diharapkannya. Oleh karena itu, hakim harus “berjuang” untuk mendapatkan fakta yang sesungguhnya secara obyektif di tengah-tengah kondisi yang demikian, serta pandai memilih di antara “fakta-fakta” imajiner dan fakta palsu yang mungkin diajukan, demi memutus perkara yang diharapkan berlaku secara adil. Mengenai memutus secara adil maka Bagir Manan membedakan antara makna “mengadili menurut hukum” dengan tidak membeda- bedakan orang” 1 . Dalam proses peradilan maka ada kewajiban hakim untuk mengadili menurut hukum, karena kalau hal itu 1 Baca pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetukan” Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak mebeda-bedakan orang”.

Transcript of Beberapa Catatan Perkara Majalah...

Page 1: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”

Pengantar

Hakim sebagai pemutus perkara perdata dalam sengketa

bisnis dalam sidang pengadilan tentunya berhadapan dengan

kepentingan banyak pihak. Dalam proses persidangan tentunya akan

berhadapan dengan banyak pihak yang mungkin tidak

memperlakukannya sebagaimana mestinya atau tidak bersikap

simpatik seperti yang diharapkannya. Oleh karena itu, hakim harus

“berjuang” untuk mendapatkan fakta yang sesungguhnya secara

obyektif di tengah-tengah kondisi yang demikian, serta pandai memilih

di antara “fakta-fakta” imajiner dan fakta palsu yang mungkin

diajukan, demi memutus perkara yang diharapkan berlaku secara adil.

Mengenai memutus secara adil maka Bagir Manan membedakan

antara makna “mengadili menurut hukum” dengan tidak membeda-

bedakan orang”1 . Dalam proses peradilan maka ada kewajiban hakim

untuk mengadili menurut hukum, karena kalau hal itu tidak dilakukan

akan membuat putusan menjadi batal demi hukum (null and void, van

rechtwege nieting). Konsep tidak membeda-bedakan orang tidak

hanya berlaku bagi penyelenggara peradilan, melainkan juga

penyelenggara negara dan pemerintahan. Penyelenggara

pemerintahan dalam memberikan pelayanan dan menetapkan

1 Baca pasal 5 ayat (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menetukan” Pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak mebeda-bedakan orang”.

Page 2: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

keputusan juga tidak boleh membeda-bedakan orang. Penyimpangan

atas asas tidak membeda-bedakan orang dapat dibenarkan walaupun

atas dasar yang sangat terbatas yaitu apabila secara nyata

ditunjukkan (clear evidence) membeda-bedakan orang tersebut demi

suatu keadilan dan manfaat bagi mereka yang dibedakan.2

Dalam menerapkan hukum maka ada 3 model peran hakim antara

lain:3

1. Hakim sekedar menjadi mulut undang-undang. Meskipun

ajaran :hakim sebagai mulut undang-undang” telah

ditinggalkan, tetapi ada kemungkinan putusan hakim yang

sekedar melekatkan ketentuan undang-undang dalam satu

peristiwa konkrit. Perbedaannya, dimasa paham legisme,

hakim sebagai mulut undang-undang semata-mata karena

kebebasan menemukan hukum dalam kaitan suatu peristiwa

konkrit, Dalam praktek hal semacam ini jarang terjadi.

2. Hakim sebagai penterjemah hukum yang ada. Sebagai

penterjemah, hakim bertugas menemukan hukum, baik melalui

penafsiran, kontruksi hukum maupun penghalusan. Kewajiban

ini timbul karena ada aturan yang tidak jelas atau karena suatu

peristiwa hukum tidak persis sama dengan lukisan dalam

undang-undang.

2 Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI. Mengadili Menurut Hukum. Varia Peradilan.No.238, Juli 2005, hal.5.3 Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung RI. Mengadili Menurut Hukum. Varia Peradilan.No.238, Juli 2005, hal. 11.

Page 3: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

3. Hakim sebagai pembentuk hukum (recshtshepper, judge made

law). Hukum yang dibentuk hakim dapat berupa hukum baru,

melengkapi hukum yang ada, atau memberi makna baru

terhadao hukum yang sudah ada. Tugas membentuk hukum

dapat terjadi karena hukum yang ada belum (cukup)

mengatur, atau hukum yang ada telah usang.

Dalam kasus majalah “Time “ versus “Suharto” ada beberapa hal

yang menarik perlu untuk dicermati dan dikaji sehingga dapat

menilai apakah pengadilan telah berfungsi secara tepat dalam

menerapkan hukum pembuktian yang pada akhirnya

memenangkan salah satu pihak. Penulisan ini dimaksudkan untuk

melihat secara netrarl tanpa ada kepentingan dari para pihak.

Namun untuk mengetahui sampai sejauhmana pengadilan dari

tingkat PN sampai MA telah menerapkan “ hukum” nya dengan

benarnya tentunya dengan memperhatikan bukti-bukti dari para

pihak dan kalau perlu melakukan suatu penafsiran hukum dalam

hal-hal tertentu.

B. Beban Pembuktian

Pengadilan melalui Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan

mengadili suatu perkara sengketa bisnis dari awal tentunya sudah

sudah ada niatan untuk bertindak secara adil dan tidak memihak.

Sikap ini tentunya akan diperlihatkan dari awal persidangan. Karena

dalam HIR tidak ada keharusan untuk memanfaatkan jasa hukum

Page 4: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Advokat maka dari awal Hakim menyikapi secara adil. Wujud rasa adil

ini akan tercermin dalam hal membagi beban pembuktian. Tentunya

yang membuktikan adalah para pihak yang bersengketa. Agar dapat

mendudukan permasalahan diantara kedua belah pihak secara adil

maka hakim dalam menerima dan membebankan bukti apa yang

harus diajukan dan siapa yang harus lebih banyak menanggung beban

bukti mengajukan juga harus secara adil pula. Ini berarti bahwa kedua

belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan

pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang

diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan

bantahannya.

Suatu masalah yang sangat penting dalam Hukum

Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian.

Sebagaimana sudah diterangkan, pembagian beban pembuktian itu

harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu

pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori

menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat,

dalam jurang kekalahan. Masalah pembagian beban pembuktian ini

dianggap sebagai suatu masalah hukum atau soal yuridis, yang dapat

diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi, yaitu

Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang

tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-

undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk

Page 5: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

membatalkan putusan Hakim atau Pengadilan rendähan yang

bersangkutan.

Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat

membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk

membuktikan suatu negatie, sesuatu hal yang negatif, itu pada

umumnya tidak mungkin (negative non sunt probanda) : membuktikan

bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, pada pokoknya

membuktikan yang serba tidak itu pada umumnya tidak mungkin atau

sukar. Oleh karena itu maka pembuktian suatu negatie “should not be

forced on a person without very strong reasons”, kata Paton.4

Ketentuan yang tegas mengenai siapa yang membuktikan

atau tidak tercantum secara tegas dalam beberapa pasal yang

tersebut yakni :

a. Pasal 533 KUHPerdata : Orang yang menguasai barang tidak

perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa yang mengemukakan

adanya itikad buruk harus membuktikannya.

b. Pasal 535 KUHPerdata : Kalau seseorang telah memulai

menguasai sesuatu untuk orang lain, maka selalu dianggap

meneruskan penguasaan tersebut, kecuali apabila terbukti

sebaliknya.

c. Pasal 1244 KUHPerdata: Kreditur dibebaskan dari pembuktian

kesalahan dari debitur dalam hal adanya “wanprestatie”.

4

?Ibid.

Page 6: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

d. Dalam hal perbuatan melawan hukum, maka Penggugatlah yang

wajib membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 KUHPerdata).5

e. Kwitansi yang berturut-turut dan terakhir dianggap telah

membuktikan pelunasan termasuk tagihan sebelumnya, maka

yang mengemukakan sebaliknya yang harus membuktikan

(pasal 1394 KUHPerdata).

Pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim.

Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan

alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan

pembuktian (bewijslast, burden of proof).

Kepada siapakah pembuktian itu oleh hakim dibebankan, atau

siapakah di antara kedua belah pihak yang diharuskan membuktikan?

Dengan perkataan lain bagaimanakah hakim membagi beban

pembuktian antara para pihak? Penggugat atau tergugatkah yang

harus membuktikan?.

Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam pasal

163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi:

Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat

dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib

membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat

berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan

5 ? Saat ini ada pergerseran mengenai beban pembuktian, hal ini dapat dilihat pada UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen dimana Tergugat yang wajib membuktikan bahwa dia tidak bersalah baik karena sengaja maupun karena kelalaian.

Page 7: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya

tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa

yang diajukan oleh penggugat.

Diluar ketentuan-ketentuan khusus yang diantaranya

disebutkan di atas, hakim hanya berpedoman pada asas umum yang

tercantum dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg jo 1865 KUHPerdata).

Mengenai beban pembuktian ini ada beberapa macam teori dan

berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam zamannya.

Sudikno membagi beberapa teori tentang beban pembuktian

yang dapat merupakan pedoman bagi hakim, antara lain:6

1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot

affirmatief).7

Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus

membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau

menyangkalnya. Dasar hukum daripada teori ini ialah pendapat

bahwa hal-hal yang negatif tidak mungkin dibuktikan (negativa

non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar

dari suatu hak; sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini

tidaklah penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan

kepada seseorang. Teori “bloot affirmatief” ini sekarang telah

ditinggalkan.

6 ?Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Op.cit., hal. 136-139.

7Baca Asser – Anema – Verdam, Op. cit., hal. 64.

Page 8: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

2. Teori Hukum Subyektif

Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan

pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan

hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku

mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Dalam hal ini

penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Untuk

mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan dibedakan

antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa-peristiwa khusus.

Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut menjadi peristiwa khusus

yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen),

peristiwa khusus yang bersifat menghalang-halangi timbulnya

hak (rechtshindernde Tatsachen) dan peristiwa khusus yang

bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende Tatsachen).

Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-

peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan

tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa

(Syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus

yang bersifat menghalang-halangi dan yang bersifat

membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya,

bahwa apabila penggugat mengajukan tuntutan pembayaran

harga penjualan, maka penggugat harus membuktikan adanya

persesuaian kehendak, harga serta penyerahan, sedangkan

kalau tergugat menyangkal gugatan penggugat dengan

Page 9: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

menyatakan misalnya bahwa terdapat cacad pada persesuaian

kehendak atau bahwa hak penggugat itu batal karena telah

dilakukan pembayaran maka tergugatlah yang harus

membuktikannya.8 Teori ini mendasarkan pada pasal 1865 BW.9

Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan

penggugat didasarkan atas hukum subyektif. Ini tidak selalu

demikian, misalnya pada gugat cerai.10 Keberatan-keberatan

lainnya ialah, bahwa teori ini terlalu banyak kesimpulan yang

abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan

tentang beban pembuktian dalam sengketa yang bersifat

prosesuil.11 Dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidak-

adilan. Hal ini diatasi dengan memberi kelonggaran kepada

hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian.

3. Teori hukum obyektif

Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti

bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan

ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang

diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan

8

?Ibid, hal. 68.

9P.A. Stein. Op. cit., hal. 118.

10Ibid, hal. 119; Pitlo. Op. cit., hal. 40.

11

?Baca lebih lanjut Asser — Anema — Verdam, Op. cit., hal. 74.

Page 10: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

kebenaran daripada peristiwa yang diajukannya dan kemudian

mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa

tersebut.

Siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu

persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum

obyektif) apa syarat-syarat sahnya persetujuan (ps. 1320 BW)

dan kemudian memberi pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya

membuktikan adanya cacad dalam persesuaian kehendak, sebab

hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320 BW. Tentang adanya

cacad ini harus dibuktikan oleh pihak lawan.12 Hakim yang

tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang

diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan

apabila unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada.

Jadi atas dasar isi hukum obyektif yang diterapkan dapat

ditentukan pembagian beban pembuktian. Teori ini sudah tentu

tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan yang tidak

diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat

formalistis.13

4. Teori hukum publik14

12

?Pitlo, Op. cit., hal. 41.13

?Asser—Anema—Verdam, Op. cit., hal. 76.

14Ibid., hal.72.

Page 11: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa di

dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu

hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari

kebenaran. Di samping itu para pihak ada kewajiban yang

sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala

macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.

5. Teori hukum acara

Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil

yang sama daripada para pihak di muka hakim merupakan asas

pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus

membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan

para pihak. Asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak

membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para

pihak harus sama. Oleh karena itu hakim harus membebani para

pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Kalau

penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli,

maka sepatutnyalah kalau penggugat membuktikan tentang

adanya jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus

membuktikan tentang tidak adanya perjanjian tersebut antara

penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa

ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu

batal karena kompensasi, maka tergugat harus membuktikan

Page 12: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

bahwa ia mempunyai tagihan kepada penggugat. Penggugat

dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak

mempunyai hutang pada tergugat.15 Kiranya sudah

sepatutnyalah kalau yang harus dibuktikan itu hanyalah hal-hal

yang positif saja, yaitu adanya suatu peristiwa dan bukannya

tidak adanya suatu peristiwa. Demikian pula siapa yang

menguasai barang tidak perlu membuktikan bahwa ia berhak

atas barang tersebut. Sebaliknya siapa yang hendak menuntut

suatu barang dari orang lain ia harus membuktikan bahwa ia

berhak atas barang tersebut.

Menurut Pitlo,”De bewijslastverdeling in de procesrechttelijke

of biilijheidstheorie vindt haar basis in het procesrecht. Uitgaande van

het beginsel van de geliijkheid van partijen behoort de rechter op

grond van de billijkheid in het concrete geval de bewijslast te

verdelen”16(terjemahan bebasnya ”pembagian beban pembuktian

dalam teori hukum acara atau teori kepatutan pada dasarnya

bertumpu pada hukum acara. Jalan keluar asas persamaan para pihak

mengharuskan hakim membagi beban pembuktikan berdasarkan

kepatutan dalam kejadian nyata).

Penganut teori ini antara lain Asser-Anema-Verdam, Star

Busmann, Land-Eggens, Haardt dan saat ini Schoordijk dan Princen. 15

?Pitlo, Op. cit., hal. 42.16

?T.R Hidma en G.R Rutgers. Pitlo Het Nederlands Burgerlijk Recht Deel 7 Bewijs Achtste Druk. (Kluwer: Deventer,2004), p.2.

Page 13: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Terutama Anema menguraikan secara umum sejumlah aturan

pembagian beban pembuktian yang berdasarkan pada kepatutan.

Persamaan pihak-pihak mengakibatkan kesempatan-

kesempatan untuk kedua belah pihak untuk memenangkan perkara

mereka, persamaan harus ada. Oleh karena itu hakim tidak pernah

boleh memerintahkan kepada salah satu dari keduanya beban

pembuktian yang tidak seimbang. Dia harus membagi beban

pembuktian sedemikian karena penyampaian bukti untuk pihak yang

terbeban lebih lebih mudah daripada penyampaian bukti untuk pihak

lawan.17

Kalau pada asasnya siapa yang mengemukakan sesuatu,

yang harus dibebani dengan pembuktian, maka di dalam prakteknya

pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat

apabila yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit

dirugikan jika disuruh membuktikan.18

C. Kepentingan Umum

Adapun pemahaman mengenai kepentingan umum dapat

dilihat pada peraturan yang telah berlaku antara lain:

1. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak

Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Sekitarnya.

17

? Ibid.

18Baca juga M.A. 15 Maret 1972 no. 549 K/Sip/1971. Yurisprudensi JawaBarat 1969—1972 I. hal. 108.

Page 14: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Dinyatakan dalam undang-undang ini, kepentingan umum

merupakan suatu hal yang terpisah, namun sejajar kedudukannya

dalam hubungannya dengan kepentingan bangsa, negara, dan

pembangunan.

2. Undang-undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa kepentingan umum

adalah kepentingan bangsa, negara, masyarakat bersama dan

pembangunan.

3. Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

Menurut undang-undang ini, kepentingan umum disamakan

kedudukannya dengan kepentingan bangsa, negara, dan

masyarakat.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55 Tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum.

Dalam Keputusan Presiden ini, kepentingan umum dinyatakan

sebagai kesatuan yang sama dari kepentingan seluruh lapisan

masyarakat.

5. Doktrin Kepentingan Umum.

Page 15: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Definisi kepentingan itu sendiri menurut doktrin kepentingan

umum meliputi hak-hak dan pertanggungjawaban yang dimiliki

oleh orang banyak dan karenanya harus dikembalikan kepada

orang banyak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam pengertian

kepentingan umum terkandung prinsip keamanan, kesejahteraan,

efisiensi dalam kehidupan dan prinsip kemakmuran.

Kepentingan umum secara teoritis merupakan suatu resultansi dari

hasil menimbang-nimbang sekian banyak kepentingan-kepentingan

dalam masyarakat dengan menetapkan kepentingan mana yang lebih

utama dari kepentingan yang lain secara proporsional dengan tetap

menghormati semua kepentingan dan dengan mengacu kepada

rumusan umum dalam undang-undang.19

Perbuatan Melawan Hukum

Sebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan

menafsirkan perbuatan melawan hukum secara sempit, di mana

perbuatan melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat atau tidak

berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan

dengan kewajiban hukum pelaku yang telah diatur oleh undang-

undang, seperti terlihat dalam pendapat Hoge Raad pada Arrestnya

tanggal 18 Pebruari 1853 yang mempertimbangkan antara lain

sebagai berikut :20

19

?Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 43-47.

20 Ibid., hal 28.

Page 16: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

“Menimbang, bahwa dari hubungan satu dengan lainnya dan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata masing-masing kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang rechtmatig dan dibolehkan, dan sipencipta sekalipun demikian karenanya harus bertanggung jawab, bilamana ia dalam hal itu telah berbuat tidak berhati-hati”.

Ajaran sempit tersebut sebenarnya bertentangan dengan

doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana pada waktu itu yakni

Molengraaff yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum

tidak hanya melanggar undang-undang, akan tetapi juga melangar

kaedah kesusilaan dan kepatutan.

Hoge Raad sebelum tahun 1919 menganut ajaran sempit

antara lain dapat dilihat pada Arrest tanggal 6 Januari 1905 mengenai

toko mesin jahit merek Singer dan Arrest tanggal 10 Juni 1910

tentang pipa air ledeng.

Semenjak tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan

perbuatan melawan hukum secara luas. Ajaran luas tersebut ditandai

dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum

melawan Cohen di mana Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan

melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat

yang bertentangan dengan atau melanggar :21

a. Hak Subyektif orang lain.

b. Kewajiban hukum pelaku.

c. Kaedah kesusilaan.21 Setiawan, SH. Empat Kriteria Perbuatan Melawan Hukum dan Perkembangan

dalam Yurisprudensi. Varia Peradilan No. 16 bulan Januari 198, hal. 176.

Page 17: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

d. Kepatutan dalam masyarakat.

Sejak Arrest 1919 peradilan selalu menafsirkan pengertian

‘melawan hukum’ dalam arti luas. Pengikut penafsiran sempit

khawatir bahwa penafsiran luas dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum. Pendapat-pendapat modern memang meletakkan beban

berat bagi hakim dengan menuntut yang lebih berat daripada ajaran

lama. Hal ini tidak hanya berlaku untuk perbuatan melawan hukum

tetapi untuk seluruh bidang hukum. Hukum semakin banyak

menyerahkan pembentukannya kepada hakim dan perundang-

undangan modern juga mendukung hal tersebut.

Pembuat undang-undang modern menyadari bahwa tidak

dapat mengatur semua hal dan karena itu menyerahkan kepada

penilaian hakim untuk mengambil keputusan-keputusan daripada

membuat peraturan-peraturan secara terinci hal yang tidak mungkin

dilakukan karena tidak dapat menampung semua hal dan juga kalau

terlalu terinci akan memungkinkan bagi peneliti yang rajin untuk

mencari kelemahan-kelemahannya sebagai bahan argumentasi.

Bidang dimana hakim memberikan keputusan terakhir menjadi

semakin luas.22

ad.a. Melanggar hak subyektif orang lain

22 J.M. van Dunne dan Gr.van der Burght, Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), diterjemahkan oleh Lely Niwan, SH., Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata. Semarang 22 Agustus – 3 September 1988.

Page 18: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Adalah sulit untuk memberikan definisi umum mengenai hak

subyektif. Dengan mengambil pendapat dari Meijers, Rutten

mengatakan bahwa hak subyektif adalah merupakan suatu

kewenangan khusus seseorang yang diberikan dan diakui oleh

hukum untuk mempertahankan kepentingannya.

Hak-hak yang diakui sebagai hak subyektif menurut yurisprudensi

yaitu :

(1). Hak-hak kebendaan dan hak-hak absolut lainnya seperti hak

milik, hak pakai dan sebagainya;

(2). Hak-hak pribadi, seperti hak atau integritas pribadi dan

badaniah, kehormatan dan sebagainya;

(3). Hak-hak khusus, seperti hak penghuni dari seorang penyewa

dan sebagainya.

Suatu pelanggaran terhadap hak subyektif orang lain

merupakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu

secara langsung melanggar hak subyektif orang lain, dan

menurut pandangan dewasa ini disyaratkan adanya pelanggaran

terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis mupun tidak

tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada

alasan pembenar menurut hukum.

ad.b.Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku

Page 19: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban menurut hukum

tertulis atau tidak tertulis. Tetapi Hoge Raad menafsirkan bahwa

kewajiban hukum dalam hal pebuatan melawan hukum, sebagai

berbuat atau tidak berbuat yang melanggar kewajiban yang telah

diatur oleh undang-undang dalam arti formil dan materiil. Dengan

demikian, maka undang-undang yang merupakan ketentuan yang

mengikat dan bersifat umum tersebut dapat mencakup peraturan

di bidang hukum publik dan hukum perdata sebagai

konsekuensinya maka pelanggaran dalam bidang hukum publik,

dalam keadaan tertentu akan dapat bersifat melawan hukum

dalam pengertian hukum perdata.

Ad.c. Bertentangan dengan Kaedah Kesusilaan

Untuk mengetahui secara tepat mengenai kriteria bertentangan

dengan kaedah kesusilaan ini cukup sulit untuk dirumuskan.

Secara umum sebagai pegangan dapat dikatakan bahwa yang

dimaksud dengan kesusilaan adalah kaedah-kaedah moral yang

dalam pergaulan masyarakat telah diterima sebagai kaedah-

kaedah hukum yang tidak tertulis. Ukuran ini dapat berkembang

sesuai dengan pandangan masyarakat menurut tempat dan

waktu.

Page 20: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Mr.Drs.Utrecht23 menulis bahwa yang dimaksud dengan

kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam

kemasyarakatan, yang tidak merupakan hukum, kebiasaan atau

agama.

Kesusilaan yaitu segala macam norma, yang tidak merupakan :1.

Hukum, 2. Kebiasaan (dalam arti gewoonte dalam bahasa

Belanda), 3. Adat, 4. Agama. Tinggal: 1.Sopan santun, 2. Moral.

Dengan segera perlu ditambahkan, bahwa Mr.Drs.Utrecht

memasukan moral ke dalam susila, sebab, demikian katanya,

moral dan susila hanya berbeda nisbi (hanya berbeda graduil saja

jadi tidak ada perbedaan prinsipil).

Kesimpulan akhir ialah : Susila meliputi moral dan sopan santun

Prof.Mr.L.J.Van Apeldoorn24 membuat perbedaan tegas antara

susila (untuk ini dipergunakan kata : zeden) dengan moral. De

moral betreft den mens als individu, recht en zeden raken de

gemeenschap. De moraal komt tot den mens met den eis: Wees

volmaakt. Daarentegen richten recht en zeden zich tot den mens

als maatschappelijk wezen zij beogen niet de volmaking van de

mens, maar die van de gemeen schap.

23 Mr.Mahadi, Sumber-Sumber Hukum, (Jakarta: N.V. “Soeroengan”, 1958) hal.50 24 ? Ibid., hal.51.

Page 21: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Dikatakan bahwa moral hanya menunjukkan norma-normanya

kepada manusia sebagai mahluk. Susila hendak mengajar

manusia, supaya menjadi anggata masyarakat yang baik.25

Yurisprudensi Indonesia juga menganut ajaran luas tersebut

seperti yang terlihat melalui Putusan Mahkamah Agung No.3191

K/Pdt./198426 dalam perkara antara Masudiati sebagai Penggugat

melawan I.Gusti Lanang Rejeg sebagai Tergugat di mana Penggugat

merasa dibohongi oleh Tergugat dengan janji bahwa dalam waktu 4

bulan Penggugat akan dinikahi secara adat maupun agama maka

Penggugat rela di bawa lari kawin oleh Tergugat. Ternyata walaupun

Penggugat telah mendesak untuk menikah, Tergugat tidak juga mau

menikah hingga berlangsung sampai 1 tahun 4 bulan. Selama hidup

bersama itu Penggugatlah yang menanggung biaya rumah tangga.

Penggugat adalah seorang guru karena tidak kunjung dinikahi secara

sah maka Penggugat kemudian menuntut kerugian yang telah

dikeluarkan selama hidup bersama. Mahkamah Agung memutuskan

mengabulkan gugatan Penggugat dan menyatakan Tergugat telah

melakukan perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan bahwa

Tergugat melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam

masyarakat sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri Penggugat.

25 ? Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal.13 dst.26 ? Dimuat dalam Yurisprudensi Indonesia (Penerbit : Mahkamah Agung RI. Tahun 1985)

Page 22: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

Dengan mendasarkan pada norma kesusilaan dan kepatutan dalam

masyarakat maka dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi Indonesia

telah menganut penafsiran luas mengenai perbuatan melawan hukum.

Pemahaman kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan

(onacht zaamheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Kesalahan

mencakup dua pengertian yakni kesalahan dalam arti luas dan

kesalahan dalam arti sempit, kesalahan dalam arti luas terdapat

kealpaan dan kesengajaan sementara kesalahan dalam arti sempit

hanya berupa kesengajaan. Soal kesalahan ini terletak pada suatu

perhubungan kerohanian (psychisch verband) antara alam pikiran dan

perasaan si subject dan suatu perkosaan kepentingan tertentu27.

Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan

hukum itu tahu betul bahwa perbuatannya akan berakibat suatu

keadaan tertentu yang merugikan pihak lain maka dapat dikatakan

bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggung

jawabkan.

Vollmar28 mempersoalkan apakah syarat kesalahan

(schuldvereiste) harus diartikan dalam arti subyektifnya (abstrak)

atau dalam arti obyektifnya (konkrit). Dalam hal syarat kesalahan

harus diartikan dalam arti subyektifnya maka mengenai seorang

pelaku pada umumnya dapat diteliti apakah perbuatannya dapat

27 Prof.Dr.R.Wirjono Prodjodikoro, SH., Perbuatan Melanggar Hukum , (Bandung : Sumur Bandung , 1993) hal.28.

28 Dikutip oleh Moegni Djojodirdjo dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.66.

Page 23: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

dipersalahkan kepadanya, apakah keadaan jiwanya adalah

sedemikian rupa sehingga ia dapat menyadari maksud dan arti

perbuatannya dan apakah si pelaku pada umumnya dapat

dipertanggung jawabkan.

Adapun mengenai syarat kesalahan dalam arti obyektif

maka yang dipersoalkan adalah apakah sipelaku pada umumnya

dapat dipertanggung jawabkan, dapat dipersalahkan mengenai suatu

perbuatan tertentu dalam arti bahwa ia harus dapat mencegah

timbulnya akibat-akibat dari perbuatannya yang konkrit.

Maka akan ada schuld dalam arti konkrit atau dalam arti

obyektifnya, apabila sipelaku seharusnya melakukan perbuatan

secara lain daripada yang telah dilakukannya. Sipelaku telah berbuat

secara lain daripada yang seharusnya dilakukannya dan dalam hal

sedemikian itu kesalahan dan sifat melawan hukum menjadi satu.

Sikap Hakim dalam memeriksa Perkara

Wesseling van Gen29mengemukakan adanya : lima asas Umum

yang menjadi syarat untuk tercapainya peradilan yang baik, yaitu :

1. Mendengarkan kedua belah fihak (Hoor en verhoor of

werderverhoor, ook wel gelijkkeheid beginsel genoemd).

2. Hakim yang tidak memihak (Opartijdigheid van de Rechter).

29 Wesseling van Gent, Minimum vereisten voor een Viviele Procedure, (Open bestuur omgan met mondige mensen), Samson Uitgeverij, Alpen aan Rijn, 1980, hal 28.

Page 24: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

3. Persidangan yang terbuka untuk Umum (Openbaarheid van

behandelling en uitpraak).

4. Putusan harus disertai alasan-alasan atau motivasi (motivering

van de beslissing).

5. Pemrosesan putusan harus diberikan dalam waktu yang layak

(Beslissing binnen redelijk termijn).

Apabila hal ini dikaitkan dengan perkara ini maka akan terlihat adanya

perbedaan sikap yang signifikan antara Pengadilan Negri dan

Pengadilan Tinggi selaku pengadilan judex facti dengan hakim kasasi

di MA, diantaranya:

Pada Pengadilan Negri:

1. Pada pengadilan negri maka Hakim PN dalam hal beban

pembuktian telah menggunakan pembuktian Penggugat telah

mengajukan bukti bertanda P-1 sampai P-7 ;menguatkan

sanggahan atas gugatan, Para Tergugat telah mengajukan bukti

bertanda T-1 sampai T-83 serta 4 orang saksi ahli;

2. Seharusnya sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1365

KUHPerdata maka gugatan perbuatan melawan hukum

seharusnya Penggugat yang membuktikan; tapi Pengadilan Negri

ternyata melakukan memberikan beban pembuktian

berdasarkan pasal 163 HIR dimana kedua belah pihak diberi

kesempatan yang sama untuk saling membuktikan masing-

masing dalilnya. Artinya di tingkat ini pengadilan memakai

Page 25: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

beban pembuktian berdasarkan “ Teori Kepatutan”; apabila

dikaitkan dengan jumlah bukti yang diajukan maka nampak jelas

para Tergugat mempunyai bukti yang lebih banyak dan lengkap

karena ada 4 orang saksi ahli yang juga diajukan dalam

persidangan.

3. Pengadilan negri telah memberikan pertimbangan hukum yang

cukup dimana setiap kata, gambar selalu dipertimbangkan

dengan bukti-bukti baik tertulis maupun saksi ahli dengan secara

cermat dan penuh kehati-hatian secara seimbang dan tidak

memihak; hal ini nampak pada pembuktian yang diajukan para

pihak selalu dikaitkan satu sama lain disertai pertimbangan

hukum. Pertimbangan hukumnya didasarkan dengan melihat

pada hukum positif, azas hukum maupun teori-teori hukum yang

relevan.

4. Kelemahan pengadilan negri adalah cacat formil dalam membuat

putusan dimana posita gugatan penggugat maupun para

tergugat tidak termuat secara keseluruhan atau lengkap sebagai

lazimnya. Hal ini seharusnya diperbaiki di tingkat pengadilan

tingkat banding selaku pengadilan tinggi; pengadilan tinggi

justru mengambil alih pertimbangan hukum pengadilan negri

tanpa melihat cacat formil tersebut.

5. Dengan demikian walaupun pengadilan negri bila dikaitkan

dengan pendapat Wesseling van Gen ini dimana pendapat itu

Page 26: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

telah di-implementasikan dalam UU MA baik yang lama maupun

yang terbaru termasuk dalam HIR, maka pengadilan negri telah

melakukan tugasnya sesuai dengan 5 persyaratan tadi.

Pengadilan Tinggi

1. Pengadilan tingkat banding selaku pengadilan judex facti

ternyata sama sekali tidak cermat dan teliti dalam memeriksa

perkara tersebut.

2. Hal ini terlihat jelas dalam pertimbangan hukumnya yang

mengambil alih begitu saja pertimbangan hukum pengadilan

negri tanpa mempertimbangkan dan memperbaiki kekurangan

formil dalam putusan pengadilan negri tersebut.

3. Seharusnya pengadilan tinggi secara ex officio menyatakan

putusan pengadilan negri tersebut niet onvankelijk karena cacat

formil tersebut, namun hal ini tidak dilakukan.

Mahkamah Agung:

Mahkamah Agung selaku pengadilan tertinggi telah memberikan

persyaratan limitatif bagi para pihak yang akan mengajukan kasasi

dimana sesuai dengan ketentuan dalam pasal 30 UU No. 14/1985 jo

pasal 30 UU No.5 Tahun 2005 Tentang MA jo ps. 30 UU No.4/2004

antara lain :

a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

Page 27: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan

batalnya putusan yang bersangkutan.

Bila persyaratan tersebut diujikan dalam kasus ini maka:

1. Dalam memeriksa di tingkat kasasi ini ternyata MA tidak

mengutamakan ketentuan sebagaimana tertulis dalam ayat ke

(c) tersebut; padahal pemohon kasasi secara jelas dan tegas

telah menyatakan bila baik pengadilan negri yang dikuatkan

pengadilan tinggi telah lalai memenuhi persyaratan

sebagaimana yang dimaksud ayat (c) tersebut; seharusnya MA

secara ex offficio lebih mengutamakan hal ini karena disamping

selaku pengadilan tertinggi (pasal 11 UU No.4 Tahun 2004

Tentang Kekuasaan Kehakiman) seharusnya menyatakan batal

demi hukum putusan pengadilan negri yang dikuatkan

pengadilan tinggi tersebut.

2. Mengenai beban pembuktian dalam tingkat kasasi nampak jelas

tidak dilakukan secara seimbang atau tidak sesuai dengan teori

kepatutan dimana masing-masing diuji dalil-dalil baik yang

tertuang dalam memori kasasi maupun kontra memori kasasi;

MA hanya mempertimbangkan bukti P-6 dan P-7 dari pemohon

kasasi saja, padahal sewaktu di tingkat pengadilan negri para

termohon kasasi mengajukan 83 bukti tertulis dan 4 orang saksi

Page 28: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

ahli; dengan hanya 2 bukti tersebut MA telah menafsirkan

terjadinya perbuatan melawan hukum obyektif.

3. Bila dikaitkan dengan cara pembuktian gugatan berdasarkan

pasal 1365 KUHPerdata maka hanya dengan 2 bukti Pemohon

Kasasi yang merupakan bukti somasi dianggap terbukti dan

menghapuskan 83 bukti tertulis dan 4 orang saksi ahli yang

diajukan Termohon Kasasi; MA dalam hal ini terlalu sumiir dalam

menerapkan dan menafsirkan kekuatan bukti tersebut secara

tidak seimbang; bila dikaitkan dengan pendapat Wesseling van

Gen maka nampak keberpihakannya; bahwa bukti P-6 dan P-7

telah di dibantah Termohon Kasasi yang telah menanyakan atau

mewawancarai kuasa hukumnya yang dianggap oleh Termohon

Kasasi sebagai hak jawabnya yang juga dimuat dalam majalah

terbitan saat itu juga.

4. MA dengan menerima bukti P-6 dan P-7 dari Pemohon Kasasi

kemudian menafsirkan sebagai perbuatan melawan hukum

dalam kriteria obyektif dengan tanpa mempertimbangkan bukti-

bukti para Termohon Kasasi adalah jelas terlihat

keberpihakannya ; dengan perkataan lain Hakim MA dalam

memberikan beban pembuktian tidak sesuai dengan “De

procesrechtelijke of billijkhiedstheorieen” atau tidak melakukan

secara “audi et alteram partem” memberikan hak yang sama

secara seimbang kepada para pihak. Berbeda dengan hakim

Page 29: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

pengadilan negri yang dengan seksama dan hati-hati telah

memberikan pertimbangan hukum yang cukup memadai dari

gambar dan kata demi kata dengan memperhatikan dan

mempertimbangkan kedua bukti yang diajukan para pihak

secara seimbang baik atas bukti-bukti tertulis maupun para saksi

ahli, termasuk TAP MPR sebagai hukum positif yang berlaku

setelah salah satu dasar pemberitaan.

5. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH. berpendapat

seharusnya dalam mencari kebenaran formil, hakim perdata

cukup membuktikan

dengan “preponderance of evidence”30 saja, sedang bagi hakim

pidana dalam mencari kebenaran materiil peristiwanya harus

terbukti “beyond reasonable doubt”.31 Sehingga dalam

ke”pasif”annya tersebut maka Hakim dapat berperan aktif

namun peran aktifnya tersebut tetap dibatasi oleh undang-

undang. Sikap MA yang hanya mempertimbangkan bukti-bukti

yang hanya diajukan oleh Pemohon Kasasi adalah bertentangan

30 ? The greater weight of evidence; superior evidentiary weight that, though not sufficient to free the mind wholly from all reasonable doubt, is still sufficient to incline a fair and impartial mind to one side of the issue rather than the other. This is a burden of proof in a civil trial, in which the jury is instructed to find for the party that, on the whole, has the stronger evidence, however slight the edge may be. -Also termed preponderance of proof; balance of probability. Cf. clear and convincing evidence under evidence (Bryan A. Graner. et.al ed, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul: West group, 1999, p. 1201)

31

?Sudikno, Op.Cit, hal. 147.

Page 30: Beberapa Catatan Perkara Majalah “TIME”staff.ui.ac.id/system/files/users/setyono/material/... · Web viewSebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan

dengan asas “prepondarence evidence” yaitu hanya mencari

kebenaran formil.