SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA.docx
-
Upload
bernadeth-sephine -
Category
Documents
-
view
62 -
download
1
Transcript of SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA.docx
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA SEJAK ORDE LAMA
HINGGA REFORMASI
A. Ekonomi Indonesia pada masa orde lama (1950-1966)
1. Demokrasi Liberal
a. Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959).
Kondisi Ekonomi Indonesia pada masa liberal masih sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh
hal-hal sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, Bangsa
Indonesia menanggung beban keuangan dan ekonomi, seperti yang telah ditetapkan dalam
hasil KMB. Beban tersebut berupa utang luar negeri sebesar 1,5 triliun rupiah dan utang
dalam negeri sejumlah 2,8 triliun rupiah.
2. Politik Keuangan Indonesia tidak dibuat di Indonesia melainkan dirancang di Belanda.
3. Pemerintah Belanda tidak mewarisi ahli-ahli yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
4. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan sangat meningkat.
5. Defisit yang harus ditanggung pemerintah RI pada waktu itu sebesar Rp. 5,1 miliar.
6. Ekspor Indonesia hanya bergantung pada hasil perkebunan.
7. Angka pertumbuhan jumlah penduduk besar.
Defisit itu berhasil ditanggulangi oleh pemerintah dengan pinjaman luar negeri sebesar Rp.
1,6 miliar. Selanjutnya melaui sidang uni Indonesi-Belanda disepakati kredit sebesar
Rp.200juta dari Negeri Belanda. Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan pemerintah
adalah:
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar.
2. Mengatasi kenaikan biaya hidup.
Sementara itu masalah jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat
kesejahteraan penduduk yang rendah.
b. Usaha untuk memperbaiki perekonomian.
1. Gunting Syarifuddin
Kebijakan gunting syarifuddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini
dilakukan pada tanggal 20 maret 1950 dengan cara memotong semua uang memotong semua
uang yang bernilai Rp. 2,50 keatas hingga nilainya tinggal setengahnya. Kebijakan keuangan
ini dilakukan pada masa pemerintahan RIS oleh menteri keuangan pada waktu itu
Syarifuddin Prawiranegara.
2. Program Benteng (benteng group)
Gagasan program benteng dituangkan oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo dalam program
kabinet Natsir (September-April 1951). Pada saat itu Sumitro menjabat sebagai menteri
perdagangan. Selam 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program Benteng ini. Akan tetapi, tujuan dari program ini tidak
dapat dicapai dengan baik. Kegagalan program ini disebabkan para pengusaha pribumi tidak
dapat bersaing dengan perusahaan non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Kegagalan Program Benteng menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Walaupun dilanda
krisis moneter, namun menteri keuangan pada masa kabinet sukiman, Jusuf Wibisono masih
memberikan bantuan kredit, khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan
ekonomi lemah. Dengan memberikan bantuan tersebut diharapkan masih terdapat pengusaha
pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3. Nasionalisasi de javasche bank
Pada tanggal 19 Juni 1951, kabinet Sukiman membentuk nasionalisasi De Javasche Bank.
Kemudian berdasarkan keputusan-keputusan pemerintah RI N. 122 dan 123, tanggal 12 Juli
1951, pemerintah memberhentikan Dr. Houwink sebagai Presiden De Javasche Bank dan
mengangkat Syarifuddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank yang baru. Pada
tanggal 15 Desember 1951 diumumkan Undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan Bank
Sirkulasi.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
Diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo, menteri perekonomian dalam kabinet Ali
Sastroamijoyo I. Dalam sistem ini Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi, sedangkan
Baba digambarkan sebagai pengusah non pribumi. Dalam kebijakan Ali Baba, pengusaha non
pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga
bangsa indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Selanjutnya, pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swata nasional dan memberikan
perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program
ini tidak dapat berjalan dengan baik, sebab pengusah pribumi kurang berpengalaman
sehingga hanya dijadikan lat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa
untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak
Belanda. Misi yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung pada tanggal 7 Januari 1956
dicapai kesepakatan sebagai berikut:
· Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
· Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
· Hubungan Finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Karena pemerintah Belanda tidak mau menandatangani persetujuan ini, maka pemerintah RI
mengambil langkah sepihak. Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Hal ini dimaksudkan untuk
melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sebagai tindak lanjut
daripembubaran uni tersebut, pada tanggal 3 Mei 1956 Presiden Soekarno menandatangani
undang-undang pembatalan KMB. Akibatnya, banyak pengusaha-pengusaha Belanda yang
menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan-perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima tahun (RPLT)
Pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintah membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Ir. Djuanda diangkat sebagai
menteri perancang nasional. Pada bulan Mei 1956, Biro ini berhasil menyusun Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-
1961. Rencana Undang-Undang tentang rencana Pembangunan ini disetujui oleh DPR pada
tanggal 11 November 1958. Pembiayaab RPLT ini diperkirakan mencapai Rp. 12,5 miliar.
RPLT ini tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.
· Adanya depresi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal
tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
· Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan Nasionalisasi perusahaan-
perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
· Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakannya masing-masing.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)
Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa Kabinet Djuanda untuk sementara waktu
dapat diredakan dengan diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Ir. Djuanda
sebagai Perdana Menteri memberikan kesempatan kepada Munap untuk mengubah rencana
pembangunan itu agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka
panjang. Akan tetapi, rencana pembangunan ini tidak dapat berjalan dengan baik karena
menemukan kesulitan dalam menemukan prioritas. Selain itu ketegangan politik yang tak
bisa diredakan juga mengakibatkkan pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta. Untuk
mengatasi pemberontakan ini diperlukan biaya yang sangat besar sehingga emningkatkan
defisit. Sementara itu ketegangan politik antara Indonesia dengan Belanda menyangkut Irian
Barat juga memuncak menuju konfrontasi bersenjata.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Strukur Ekonomi Indonesia pada waktu itu menjurus kepada sistem etatisme, artinya segala-
galanya diatur dan dipegang oleh pemerintah. Kegiatan-kegiatan ekonomi banyak diatur oleh
peraturan-peraturan pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip ekonomi banyak yang diabaikan.
Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun meningkat 40 kali lipat. Dari Rp. 60,5 miliar pada
tahun 1960 menjadi Rp. 2.514 miliar pada tahun 1965, sedangkan penerimaan negara pada
tahun 1960 sebanyak Rp. 53,6 miliar, hanya meningkat 17 kali lipat menjadi Rp. 923,4 miliar
. Mulai bulan Januari – Agustus 1966, pengeluaran negara menjadi Rp. 11 miliar, sedangkan
penerimaan negara hanya Rp. 3,5 miliar. Defisit yang semakin meningkat ditutup dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Akibatnya menambah berat angka inflasi.
Dalam rangka membendung inflasi dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat, maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya
tentang penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut.
1. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50.
2. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
3. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Usaha Pemerintah ini tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang semakin jauh,
terutama perbaikan dalam bidang moneter. Pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan
baru bagi ekonomi secara menyeluruh, yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon dinyatakan
sebagai dasar ekonomi Indonesia yang menjadi bagian dari strategi umum Revolusi
Indonesia. Tujuan dibentuknya Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat
nasional, demkratis dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya, Dekon mengakibatkan
stagnasi dalam perekonomian Indonesia. Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok.
Pada tahun 1961-9162 harga barang-barang pada umumnya naik 400%. Politik Konfrontasi
dengan Malaysia dan negara-negara Barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi
Indonesia.
Pada tanggal 13 Desember 1965 melalui penetapan Presiden No. 27 tahun 1965, diambillah
langkah devaluasi dengan menjadikan Uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1. Sehingga uang
rupiah baru semestinya bernilai 1000 kali lipat uang lama. Akan tetapi didalam Masyarakat
uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi uang rupiah baru. Akibatnya,
tindakan moneter pemerintah menekan inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Pada masa Demokrasi terpimpin ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan
oleh pemerintah. Akibatnya pemerintah harus mengadakan peneluaran-pengeluaran yang
sangat besar, sehingga harga-harga kebutuhan pokok makin melambung tinggi. Tingkat harga
paling tinggi terjadi pada tahun 1965, yaitu sebesar 200%-300% dari tahun sebelumnya,
seiring dengan ekspor yang semakin lesu dan impor yang dibatasi karena lemahnya devisa.
Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, Presiden Soekarno merasa perlu untuk
mempersatukan semua bank negara kedalam satu bank sentral. Untuk itu dikeluarkan penpres
No. 7 Tahun 1965 tentang pendirian Bank Tunggal Milk Negara. Tugas bank tersebut sebagai
bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan itu maka dilakukan
peleburan bank-bank negara Seperti Bank koperasi dan Bank Nelayan (BKTN), Bank Umum
Negara, Bank Tabungan negara, Bank Negara Indonesia kedalam Bank Indonesia.
Selanjutnya dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan
pekerjaan dan tugas masing-masing.
B. Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru (1966-1998)
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda
dengan pemerintahan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih
ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan
sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak
Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia
dan Dana Moneter International (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabilitasi ekonomi di
dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali
tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Pada permulaan Orde Baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan
ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan
keuangan negara dan pengamanan kebutuhan poko rakyat. Tindakan pemerintah tersebut
dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat
inflasi kurang lebih 650% setahun. Hal itu menjadi penyebab dari kurang lancarnya program
pembangunan yang telah direncanakan oleh pemerintah.
Arah dan kebijakan Ekonomi yang ditempuh oleh pemerintah Orde Baru diarahkan pada
pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan orde baru bertumpu pada program
yang dikenal dengan sebuah program yang dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu
sebagai berikut.
a) Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
b) Pertumbuhan eoknomi yang cukup tinggi.
c) Stabilitas nasional yabg sehat dan dinamis.
Pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) dilakukan orde baru
secara periodik 5 tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Pembangunan
yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Tujuan dari Pelita I adalah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan
dasar –dasar pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Sasaran yang hendak dicapai ialah
pangan, sandang, papan, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih
menekankan kepada pembangunan bidang pertanian.
b) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran utama Pelita II yaitu tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja.
c) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III menekankan pada Trilogi Pembangunan dengan tekanan pada asas pemerataan,
yaitu :
· Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak (pangan, sandang dan papan);
· Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
· Pemerataan pembagian pendapatan;
· Pemerataan kesempatan kerja;
· Pemerataan kesempatan berusaha;
· Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalm pembangunan;
· Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
· Pemerataan memperoleh keadilan.
d) Pelita IV (1 April 1984 – 13 Maret 1989)
Pada titik ini pemerintah lebih menitikberatkan kepada sektor pertanian menuju swasembada
pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri.
e) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita ini pemerintah menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri.
f) Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Pada Pelita VI Pemerintah masih menitikberatkan pembangunan pada sektor ekonomi yang
berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia sebagai pendukungnya.
C. Ekonomi Indonesia Pada Masa Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami
suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’. Apa yang
terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal
dari krisis keuangan di Asia. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang
perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah memburuk, pemerintah
Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai
Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat
dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut.
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan transisi memiliki karakteristik
sebagai berikut:
• Kegoncangan terhadap rupiah terjadi pada pertengahan 1997, pada saat itu dari Rp. 2.500
menjadi Rp 2.650 per dollar AS. Sejak masa itu keadaan rupiah menjadi tidak stabil.
• Krisis rupiah akhirnya menjadi semakin parah dan menjadi krisi ekonomi yang kemudian
memuncuilkan krisis politik terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
• Pada awal pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi.
Namun, ternyata pemerintahan baru ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, sehingga
kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai masa transisi karena KKN semakin
menjadi, banyak kerusuhan.
D. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai
mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju
inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri
jufga sudah mulai stabil.
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga
kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999
mengenai bank Indonesai, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing
menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin,
dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam
perdagangan saham di dalam negeri.
E. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain : .
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. .
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-
kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. . .
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan
mengganggu jalannya pembangunan nasional.
F. Ekonomi Indonesia Pada Masa Presiden Susilo Bambang Yuudhoyono
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan
yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-
undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negeri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan
Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sektor riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI),
sehingga kinerja sektor riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan
daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif. .
SEJARAH EKONOMI INDONESIA SEJAK ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASI
1. PEMERINTAHAN ORDE LAMA
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, sudah banyak tokok-tokoh
negara yang saat itu telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi
bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok. Tetapi pada
pemerintah orde lama masih belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
negara Republik Indonesia yang memburuk.
- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara
lain disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata
uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu
mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata
uang pendudukan Jepang.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk
menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi, antara lain :
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di
Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh
kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang
mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang,
serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948
e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan
beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor
pertanian merupakan sumber kekayaan).
- Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem
ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan
pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire
laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa
bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada
akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang
baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara
lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950,
untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir)
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk
pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
- Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada
sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini,
diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.
2. PEMERINTAHAN ORDE BARU
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal
ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Orde Baru, Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan [[1998].
Politik
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan
yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur Administratif yang didominasi militer
namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
Aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang
adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada
Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Eksploitasi sumber daya
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan
1980-an.
Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak Asasi mereka. Kesenian Barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal
ini diperjuangkan oleh komunitas china indonesia terutama dari komunitas
pengobatan china tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa di tulis dengan bahasa
mandarin. Mereka pergi hingga ke Makhamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa china indonesia bejanji
tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. Untuk keberhasilan ini kita mesti memberi
penghormatan bagi Ikatan Naturopatis Indonesia ( I.N.I ) yang anggota dan
pengurus nya pada waktu itu memperjuangkan hal ini demi masyarakat china
indonesia dan kesehatan rakyat indonesia. Hingga china indonesia mempunyai
sedikit kebebasan dalam menggunakan bahasa Mandarin.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah
Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia.
Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer indonesia dalam hal ini adalah ABRI
meski beberapa orang china indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang
Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Kebijakan Ekonomi pada Masa Orde BaruPada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan dalam
berbagai aspek kehidupan. Tujuannya adalah terciptanya masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan
pembangunan bertumpu pada TrilogiPembangunan, yang isinya meliputi hal-hal
berikut.
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Berdasarkan Pola Dasar Pembangunan Nasional disusun Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang yang meliputi kurun waktu 25-30 tahun.
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahun pertama dimulai tahun 1969 –
1994. Sasaran utama PJP I adalah terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat dan
tercapainya struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian.
Selain jangka panjang juga berjangka pendek. Setiap tahap berjangka waktu
lima tahun. Tujuan pembangunan dalam setiap pelita adalah pertanian, yaitu
meningkatnya penghasilan produsen pertanian sehingga mereka akan
terangsang untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari yang dihasilkan oleh
sektor industri. Sampai tahun 1999, pelita di Indonesia sudah dilaksanakan
sebanyak 6 kali.
Dalam membiayai pelaksanaan pembangunan, tentu dibutuhkan dana yang
besar. Di samping mengandalkan devisa dari ekspor nonmigas, pemerintah juga
mencari bantuan kredit luar negeri. Dalam hal ini, badan keuangan internasional
IMF berperan penting. Dengan adanya pembangunan tersebut, perekonomian
Indonesia mencapai kemajuan. Meskipun demikian, laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup besar hanya dinikmati para pengusaha besar yang dekat dengan
penguasa. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pemerataan dan
landasan ekonomi yang mantap sehingga ketika terjadi krisis ekonomi dunia
sekitar tahun 1997, Indonesia tidak mampu bertahan sebab ekonomi Indonesia
dibangun dalam fondasi yang rapuh. Bangsa Indonesia mengalami krisis
ekonomi dan krisis moneter yang cukup berat. Bantuan IMF ternyata tidak
mampu membangkitkan perekonomian nasional. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor penyebab runtuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998.
Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
1. Runtuhnya Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis
moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus
memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus
meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan
reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12
Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat
mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat
mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan,
dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi
gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut,
Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi
Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan
DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite
Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk
diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut
menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil
presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru
dan dimulainya Orde Reformasi.
Kelebihan dan Kekurangan sistem Pemerintahan Orde Baru
* Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70
dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
* Sukses transmigrasi
* Sukses KB
* Sukses memerangi buta huruf Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
* Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
* Pembangunan Indonesia yang tidak merata
* Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin)
* Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
* Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
ditahan
3. PEMERINTAHAN REFORMASI
Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil
presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru
dan dimulainya Orde Reformasi.
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang
oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta
dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa
Tragedi Semanggi, yang menewaskan 18 orang.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan
Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan
kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah
tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan
dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan
secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai
Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid.
Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul.
Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau
menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang
terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi
politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta
telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk
dalam jabatan struktural.
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998,
ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a. masa depan Reformasi;
b. masa depan ABRI;
c. masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d. masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e. masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam
rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-
undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih
demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1. UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik
2. UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3. UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor
perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat
kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai
golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka
kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat,
kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan
cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu
multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu
tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan
Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang
memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie
mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur.
Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa
mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur
lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat
kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan
presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
4. PEMERINTAH INDONESIA BERSATU
PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID I (ERA SBY-JK) == (2004-
2009)
Kabinet Indonesia Bersatu (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet
pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Kabinet ini dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan masa baktinya berakhir pada
tahun 2009. Pada 5 Desember 2005, Presiden Yudhoyono melakukan
perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi
lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan
kedua pada 7 Mei 2007. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal
pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember 2005), dan
perombakan kedua (9 Mei 2007).
Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan
Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-
program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak
kekurangan disana-sini.
PEMERINTAHAN INDONESIA BERSATU JILID II (ERA SBY – BOEDIONO) ==
(2009-2014)
Kabinet Indonesia Bersatu II (Inggris: Second United Indonesia Cabinet)
adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet ini berasal dari usulan
partai politik pengusul pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang
mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah
Partai Golkar yang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono
pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia
Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY pada 21 Oktober 2009 dan dilantik
sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian
Menteri Keuangan.
Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan
empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara
yaitu :
1. BI rate
2. Nilai tukar
3. Operasi moneter
4. Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan
makroprudensial lalu lintas modal.
Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada
meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kinerja Pemerintahan SBY - Tak terasa sudah 1 tahun pemerintahan
SBY jilid II berjalan, Namun masih saja dianggap gagal serta mendapat rapor
merah dari beberapa kalangan. Dan kali ini pengamat ekonomi dunia pun ikut
bicara terkait dengan kinerja pemerintahan SBY yang sudah 1 tahun ini.
Perolehan suara 60 % dalam Pilpres 2009 dan mendapat dukungan mayoritas di
parlemen ternyata belum bisa dioptimalkan pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Boediono untuk melakukan langkah-langkah yang konkrit dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Di mata pengamat ekonomi politik dari Northwestern University, Amerika
Serikat, Prof Jeffrey Winters, buruknya kinerja pemerintahan SBY tidak lepas
dari sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahan. SBY dianggap lebih
suka terlihat cantik, santun dan berambut rapi di depan kamera dibanding
bekerja keras mengatasi persoalan-persoalan yang ada di Indonesia.
Apa pandangan Anda terhadap kinerja SBY-Boediono selama
menjalankan pemerintahan?
Sampai saat ini dilihat kinerja pemerintahan SBY-Boediono rendah. Dan
perlu dicatat prestasi yang rendah kepemimpinan SBY bukan sesuatu yang baru.
Karena sejak 2004 memang kinerjanya tidak pernah tinggi. Jadi kombinasi SBY-
Kalla yang sudah mengecewakan menjadi lebih parah dengan kombinasi SBY-
Boediono.
Meski pada masa SBY-JK kinerjanya buruk, paling tidak Jusuf Kalla dikenal
sebagai orang yang tidak sabar dan sering mendorong SBY untuk bertindak dan
ambil keputusan. Tetapi akhirnya Kalla menjadi capek, frustrasi dan memilih
lepas saja.
Tapi lepas dari itu semua pemerintahan SBY juga sudah melakukan tugas-
tugas yang seharusnya dilakukan walaupun belum maksimal.
- TERIMA KASIH -
BAB 2 SEJARAH EKONOMI INDONESIA DARI ORDE LAMA HINGGA ERA REFORMASIPosted on Maret 23, 2011
ORDE LAMA
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)Keadaan ekonomi dan keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :Inflasi yang sangat tinggi yang dikarenakan beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori
mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr. Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih
tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
ORDE BARU
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri.Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
ORDE REFORMASI
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
1. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
2. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Sumber :
http://onlinebuku.com/2009/03/06/sejarah-perekonomian-indonesia/
Nama : Hanggar Hardiyudha
Kelas : 1EB17
NPM : 29210265