SEJARAH PENULISAN ALQURAN BRAILLE DI INDONESIA

download SEJARAH PENULISAN ALQURAN BRAILLE DI INDONESIA

If you can't read please download the document

description

SEJARAH PENULISAN ALQURAN BRAILLE DI INDONESIA

Transcript of SEJARAH PENULISAN ALQURAN BRAILLE DI INDONESIA

SEJARAH PENULISAN ALQURAN BRAILLE DI INDONESIA sejarah penulisan arab braille di Indonesia Bagian I SEJARAH BPBI Tulisan Arab Braille yang muncul pada pertengahan abad dua puluh, secara histori s keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari rumusan Huruf Braille Latin yang dite mukan satu abad sebelumnya. Ada baiknya kiranya bilamana di dalam buku ini kita paparkan sedikit mengenai Braille dan sejarahnya. Braille nama lengkapnya adalah Louis Braille. Dia adalah seorang tunanetra yang dilahirkan di Perancis, yang juga merupakan pencipta huruf timbul untuk tunanetr a yang kemudian dikenal dengan nama Huruf Braille. Al-Munjid memperkenalkan siap a Braille ini adalah sebagai berikut: Louis Brai ustadzu faransa faqad basharuhu wahuwa fi altsalitsati min umurihi fa khtaro a lita limi al-ibarati alhurufi wawaal-a laamati almausiqiyati alnatiyati allat i a rofat bi-ismihi. (Al-munjid, 1973, hal. 123) Louis Braille dilahirkan pada tahun 1809 di desa Cuopvrey Perancis. Menginjak us ianya yang ketiga sejak kelahirannya, dia terkena opthalmia yang menyebabkan mat anya menjadi buta sebagaimana yang dituturkan di dalam Encyclopedia Britanica ya ng berbunyi: Bralle, Louis (1809-1852). To whome the blind owe their alphabet, was born in Cuo pvrey , France at the age of three, while cutting leather in his father s shop, th e knife slipped and plunged into his eye, symphatetic opthalmia and blindness fo llowed. (William Benton, Encyclopedia Britannica, vol 4 1968, hal. 69.) Pada tahun 1819 kira-kira ia berumur sepuluh tahun ia belajar di Paris pada suat u institut bagi para tunanetra, sehingga ia banyak memperoleh ilmu pengetahuan d an bahkan ia pandai dalam dunia pengetahuan permusikan. Mengenai peralatan (equi pment) pada waktu itu yang betul-betul sesuai dengan keadaan orang-orang tunanet ra, baik berupa buku, cara menulis, mengajar membaca dan berhitung belum tersedi a. Maka aktivitas untuk mencari jalan dari orang-orang yang menaruh perhatian te rhadap para tunanetra terus berlangsung dan di dalam bidang tulis baca bagi mere ka sedikit demi sedikit mencapai kemajuan. Namun kemajuan yang telah tercapai in i belum juga memberikan kepuasan bagi para tunanetra termasuk Louis Braille send iri yang masih merasakan adanya berbagai keterlambatan dalam menerima pelajaran, padahal ia dan teman-temannya senasib sangat haus akan ilmu pengetahuan sebagai mana orang awas pada umumnya . Melihat keadaan seperti itu, Louis Braille terus berusaha untuk menemukan metode yang baik dan mudah dipahami dan digunakan oleh sesamanya yang senasib. Untuk i tulah ia terus berusaha memperbaiki sistem tulisan yang telah didapatinya terdah ulu yaitu dari sistem Charles Barbier. Dari sistem inilah Louis Braille bertolak untuk menemukan sistem tulisan yang baru berupa penggunaan kode titik-titik yan g akhirnya sistem ini diterima di Lembaga Kerajaan Perancis. Baiklah hal ini kit a kutipkan beberapa kalimat yang antara lain berbunyi: At the age 20, he had formed the idea of modifying Charles-Barbier s system of writ ing with points. So as to render is practicable and convenient and not long afte rward was introduced into the Royal Institute. (The Encydlopedia Americana, loc c it.) Di dalam Encyclopedia of Social Sciences, terdapat kalimat yang berbunyi sebagai berikut:He was not the first to the devise a method of reading and writing for the sight less there had been earlier efforts in this direction the first recorded attampt being in Spein in 1517 Braille s sistem how ever was superior in that it substitu ted for the actual letters or other ossentially visual symbols units of raised d ots more easily practicable to the touch and above all, capable of being written and read by the some hand, in conceseness legibility and case of learning it wa s also an improvement on the sistem of raised point divised a few years poovious ly by Charles Varbier in wich signs too large to be read by a single touch. (Ency clopedia of the Social Science, The MacMillion Company New York, Vol I, hal 678) . Hasil jerih payah dari pada Louis Braille ini, sungguhpun memang benar-benar mer upakan penemuan yang tak ada tara dan bandingnya terbukti dengan semakin luasnya penggunaan dari penemuan tersebut, namun sebelumnya ia mendapat tantangan-tanta ngan yang hebat terutama dari guru yang mengajar orang-orang buta waktu itu. Aka n tetapi sungguhpun demikian, pada tahun 1854, tulisan Braille yang baru itu dap at resmi diterima dan bahkan dikembangkan di Negara-negara Barat, seperti di Ame rika Serikat, Inggris, dll. Sayang sekali Louis Braille dengan penemuannya yang gemilang itu tidak dapat menikmati dan menyaksikan kemenangannya, karena pada ta hun 1852, pada usia 43 tahun ia meninggal dunia. Untuk mengenang jasanya, hari k elahiran Louis Braille, yakni tanggal 4 Januari seringkali diperingati oleh berb agai organisasi ketunanetraan dengan bermacam-macam kegiatan yang bermanfaat. Tulisan/huruf Braille berupa dua jajar dari tiga titik yang letaknya vertikal, d an titik-titik itulah yang diraba oleh para tunanetra. Pada mulanya tulisan hasi l penemuan Braille ini banyak dipengaruhi oleh sistem Barbier, sehingga banyak p erubahan ataupun tambahan yang dilakukan. Pada tahun 1910-1917, setelah lengkap, organisasi-organisasi ketunanetraan di Amerika setuju dengan Braille yang diper barui yang banyak dipakai di Inggris dan bentuk ini akhirnya diakui di seluruh d unia. (Op cit, hal 679) Tulisan Braille, hasil penemuan Louis Braille pada abad 19 lalu telah memberi ma nfaat yang sangat besar bagi kaum tunanetra. Namun selain Louis Braille, konon e nam abad sebelumnya yakni pada abad 13, seorang ilmuwan muslim yang bernama Al-A madi telah menemukan sistem tulisan bagi tunanetra, tetapi penemuan beliau tidak diekspos, bahkan sudah lenyap ditelan masa. Lebih jelasnya, mari kita simak tul isan yang dimuat dalam Republika berikut. Penggunaan Huruf Braille Di Indonesia Penggunaan Huruf Braille di Indonesia dimulai sejak berdirinya Bandung Blinden I nstitut atau Rumah Buta (PSBN Wyataguna sekarang). Selain PSBN Wyataguna, Blinde n Institut pun mengilhami berdirinya beberapa lembaga seperti SLBN Bandung, Yaya san Penyantun Wyataguna dan BPBI Abiyoso sebagai lembaga penerbitan buku-buku Br aille. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut tidak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah Bandung Blinden Institut yang bermula dari hasil penyelidikan T n. M.J. Lenderink, Direktur Institut tot Onderwijs aan Blinden, pada tahun 1900 yang membuktikan bahwa jumlah tunanetra di Indonesia sangat banyak, dan permasal ahan mereka hanya dapat diatasi dengan mendirikan lembaga pendidikan. Atas usuln ya, maka Menteri Jajahan, J.F. Cremer, membentuk panitia penyelidikan yang terdi ri dari pejabat-pejabat pemerintah dan swasta. Dan akhirnya pada tanggal 26 Apri l 1901 diresmikanlah awal usaha penyantunan tunanetra Indonesia oleh Jhr. E. Th. Van Bethem Van Berg, Dr. H.A. Weshoff, Ds. W. Van Lingen, R.A.A Soeria Atmadja dan lain-lain. Perkumpulan ini diberi nama Vereniging tot Verbetering van het lot der Blinden in Nederlandsch Oost-Indie , dengan Surat Keputusan Pemerintah Nomor 9 tanggal 6 Agustus 1901, sebagai pelindungnya adalah Gubernur Jenderal W. Roose boom. Pimpinan pertama dalam usaha ini dijabat oleh J.W. Van der Zanden yang dir esmikan pada upacara pembukaan Bandoengsche Blinden Institute (Lembaga Rumah But a) pada tanggal 16 September 1901 di Jalan Cicendo No. 2 Bandung. Dengan mengikuti perkembangan jumlah murid, pada Mei 1902, Lembaga Rumah Buta di pindah ke Jalan Braga Bandung. Saat itu, Wakil Direktur Lembaga tersebut adalah Ny. Van Hoogeven Sterk, dan Dr. Weshoof sebagai Pengawas harian. Permulaan usahatersebut menarik perhatian berbagai kalangan, baik dari dalam maupun luar neger i. Berbagai bantuan pun berdatangan antara lain dari Negeri Belanda dan Raja Mua ngthai. Keberhasilan usaha ini digunakan untuk memulai pembukaan workshop. Pada tahun 1902, dibelilah sebidang tanah seluas 3 bahu yang terletak di Jalan P ajajaran No. 52 Bandung. Setelah dibangun dengan bantuan Pemerintah maka pada ta nggal 24 Juli 1903 kompleks Rumah Buta Bandung diresmikan oleh Ketua Kehormatan Perkumpulan Residen yaitu G.J.A.F Oosthout yang kemudian diserahkan kepada Ketua Perkumpulan yakni Dr. Weshoof. Sejak saat itu, Lembaga Rumah Buta berada di Jal an Pajajaran No. 52 Bandung, yang sekarang terkenal dengan PSBN Wyata Guna . Direktur Lembaga Van der Zanden pada tahun 1902 meninggal dunia, kemudian digant i oleh W. Molenaar, yang kemudian pada tahun 1904 digantikan oleh F. Mewes. Dalam bidang pendidikan, Lembaga Rumah Buta mulai menerapkan suatu sistem baru, yaitu dengan cara meraba, mencium dan mencicipi sehingga ilmu tumbuh-tumuhan dan tentang tanah liat tidak lagi asing bagi tunanetra. Pada tahun 1904, workshop telah dapat memberikan pekerjaan teratur kepada 49 ora ng tunanetra dengan bahan-bahan baku yang murah dan biasa terdapat di desa, deng an maksud bahwa di kemudian hari para pekerja tunanetra itu akan dapat mencari n afkah sendiri di desa masing-masing. Di bidang pendidikan, anak asuh tak kalah dengan anak awas. Hal ini dibuktikan d engan adanya anak asuh tunanetra yang telah dapat menyelesaikan pendidikan Lyceu m (setingkat SMU sekarang) dengan baik. Demikianlah perkembangan tunanetra di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1906, Dr. Weshoof telah membuat laporan bahwa pekerjaan konsolidasi perkumpulan telah mantap, namun sayang kedatangan para tunanetra masih sangat kurang. Untuk mengat asi hal ini, maka usaha penyuluhan lebih ditingkatkan lagi dengan bantuan Pamong Praja dan Kepala Sekolah melalui pengedaran laporan-laporan, folder-folder, dem onstrasi-demonstrasi ketrampilan tunanetra, dan lain-lain. Tahun 1909 dimulailah bagian penjilidan buku. Pada tahun 1910, listrik telah mas uk ke kompleks Rumah Buta. Pada saat itu Rumah Buta telah dapat menampung 380 or ang tunanetra yang terdiri dari 30 orang tunanetra dari Eropa dan 350 orang bang sa Indonesia. Kondisi ini dilaporkan pada tahun 1926, di mana pada waktu itu dia dakan peringatan Jubileum 25 tahun. Tanggal 1 Maret 1928 telah dijadikan Hari Bunga bagi Tunanetra untuk seluruh Nusan tara, dan pada tanggal 1 6 April 1929 merupakan Pekan Tunanetra . Maksud peringatan ini guna menunjang usaha perkumpulan yang pada waktu itu menampung sekitar 400 orang tunanetra. Para tunanetra sendiri ikut aktif dalam kegiatan pengumpulan da na, antara lain dengan telah dimulainya siaran konser pada pemancar radio PLE (P emerintah) dan Pameran Ketunanetraan di Gambir Jakarta. Bantuan-bantuan berdatan gan antara lain dari Madagaskar, NV Aniem, Pasar Malam Surabaya dan Perusahaan M erbabu. Kemudian di seluruh Nusantara telah dibuka 48 koresponden yang bertugas bukan hanya untuk kepentingan pengumpulan dana melainkan juga untuk kegiatan-keg iatan lain tunanetra, seperti mengadakan penyuluhan, propaganda dan kunjungan ke luarga tunanetra. Pada masa Perang Dunia II, seperti keadaan umum masyarakat di Indonesia, Lembaga Rumah Buta Bandung mengalami kesulitan. Pengurusannya langsung dilakukan oleh P emerintah Bandung Shi. Pengelolaan terhadap para tunanetra benar-benar terlantar , bahkan berkas-berkas, register para karyawan dan anak didik tidak terpelihara dan banyak yang hilang. Penderitaan ini terus berlangsung, bahkan sampai pada pe nderitaan moril dan fisik para penghuni tunanetra, khususnya pada hari-hari revo lusi fisik bertalian dengan adanya tentara asing. Pada tahun 1946-1947, keadaan Lembaga Rumah Buta ini agak membaik setelah pengur usannya dilakukan oleh Palang Merah Inggris. Pada 25 April 1946, Sekolah Rakyat bagi para tunanetra telah dibuka kembali dan diganti namanya menjadi Sekolah Rak yat Istimewa. Kepengurusannya ditangani oleh Yayasan Belanda. Sementara itu bagian penjilidan makin lama makin berkembang. Dan bagian inilah y ang merupakan cikal bakal Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso. Pada tanggal 10 Januari 1952, Tuan Heymans, Ketua Perkumpulan Untuk Memperbaiki Nasib Orang Buta di Indonesia, memberikan instruksi kepada H.A. Malik Uddin unt uk memulai membina perpustakaan Braille dalam Bahasa Indonesia. Hadir saat itu T uan L.H.C. Horsting, seorang pengarang dan wartawan bangsa Belanda yang mempunyai simpati besar bagi usaha tersebut. H.A. Malik Uddin segera memulai observasinya di Lembaga Rumah Buta Bandung, Jl. Pajajaran 52 Bandung, sambil belajar huruf Braille dalam Bahasa Indonesia. Selai n memimpin usaha ini, H.A. Malik Uddin bertugas pula sebagai Commies Redacteur d an Penterjemah, membantu Ny. Boreel de Bruine. Buku pertama yang disalin ke dala m tulisan Braille, antara lain: Di Bawah Lindungan Ka bah karya Prof. Dr. HAMKA da n buku Puteri Ubun-Ubun Emas. Pada bulan Agustus 1952, terjadi perkembangan baru di Lembaga Rumah Buta Bandung , yaitu Seksi Buku Pelajaran disatukan dengan Seksi Perpustakaan dan dimulainya pembangunan Kantor Braille SLB/A Lembaga Rumah Buta Bandung. Pada 1 September 19 52, H.A. Malik Uddin diangkat oleh Departemen PPK menjadi Kepala Kantor Braille. Sejak saat itu Kantor Braille mulai meningkatkan karyanya, terutama bagi keperl uan para tunanetra yang dididik di Lembaga tersebut. Lembaga Rumah Buta ini mempunyai tiga tingkatan pendidikan, yakni tingkat SD, KL PSGB (Kursus Lanjutan Pertama Sekolah Guru Bantu) dan tingkat SMP. Keperluan buk u-buku pelajaran untuk memenuhi kebutuhan para pelajar tunanetra baik yang berad a di lingkungan Lembaga Rumah Buta maupun di luar lembaga pun semakin meningkat. Pada tahun 1954 Lembaga Rumah Buta Bandung menerima kunjungan dari Dr. Helen Kel ler dan Miss Thomson, sekretarisnya. Setelah beliau memperhatikan usaha pembuata n buku-buku Braille di kantor Braille, maka beliau menjanjikan akan mengusahakan satu unit mesin cetak Braille untuk Lembaga Rumah Buta Bandung. Sesampainya di Amerika Serikat , beliau mengadakan bazar kecil untuk mengumpulkan dana guna pem belian mesin cetak Braille untuk dikirimkan ke Indonesia. Didalam suratnya belia u meminta agar mesin cetak tersebut dinamakan Aan Macie Press , yaitu nama guru bel iau yang pertama. Mesin cetak tersebut sampai di Indonesia pada tahun 1957, namu n tertahan beberapa tahun di Jakarta. Pada tanggal 2 Pebruari 1956, Lembaga Rumah Buta Bandung diserah-terimakan ke pada Departemen Kesejahteraan Sosial RI yang dihadiri oleh Menteri Departemen Ke sejahteraan Sosial RI, H. Mulyadi Djoyomartono. Kemudian, Lembaga Rumah Buta Ban dung diubah namanya menjadi P3KT (Pusat Pendidikan dan Pengajaran Kegunaan Tunan etra). Sementara itu, pekerjaan Kantor Braille terus mengalami perkembangan. Di samping membuat buku-buku pelajaran dan buku-buku perpustakaan, pada awal bulan Januari 1959 kantor Braille mulai menerbitkan majalah Gema Braille . Penerbitan majalah Gem a Braille ini diikuti oleh pemunculan majalah Braille lainnya, yaitu majalah Pelit a yang diterbitkan oleh Balai Penyelidikan dan Penginderaan Sosial, yang bertempa t di Jl. Tugu Kidul 48 Yogyakarta, dan majalah Mercu Suar yang diterbitkan oleh S GPLB, berletak di Jl. Taman Sari 62 Bandung. Atas usaha Bapak Kartono Notodarmodjo, Kepala Bagian Kesejahteraan Anak pada Jaw atan Pekerjaan Sosial Departemen Kesejahteraan Sosial RI, maka pada 30 November 1961 diterbitkanlah Surat Putusan (SP) Menteri Kesejahteraan Sosial RI Nomor 4-1 -41/2330 tentang berdirinya LPPBI, yaitu Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Bra ille Indonesia. H.A. Malik Uddin, yang sebelumnya merupakan pegawai Departemen PPK, pindah ke De partemen Kesejahteraan Sosial dan menjabat sebagai Direktur LPPBI. Tanggal 30 No vember 1961 merupakan hari yang bersejarah karena merupakan awal berdirinya cika l bakal BPBI Abiyoso yang sekarang. Lebih dari itu, tanggal 26 Maret 1962 juga men jadi hari bersejarah atas diangkatnya 16 orang karyawan Kantor Braille menjadi P egawai Negeri Departemen Sosial RI secara serempak, 9 orang di antaranya adalah tunanetra. Dengan adanya status tersebut, LPPBI yang memiliki Bagian Umum, Bagian Penerbita n, Bagian Perpustakaan Braille, Bagian Percetakan, Bagian Penjilidan dan Bagian Perpustakaan Buku Bicara (Talking Book) mengemban tugas meningkatkan pelayanan k epada Instansi Rehabilitasi dan Pendidikan Tunanetra di Seluruh Indonesia dan be rtanggung jawab secara teknis kepada Direktorat Kesejakteraan Anak dan Taruna. Melalui Surat Nomor 202/KRPT/Sekr/73 tertanggal 15 Juni 1973 LPPBI dipindahkan d ari Direktorat Kesejahteraan Anak dan Taruna ke Direktorat Kesejahteraan Rehabil itasi Penderita Cacat, sehingga dengan ketentuan baru ini LPPBI semakin tepat pa da bidang kerjanya. Tantangan semakin berat seiring dengan mulai didirikannya Ya yasan Sekolah Luar Biasa, Pusat Pendidikan dan Pengajaran Kegunaan Tunanetra (P3KT), demikian pula para tunanetra yang menamatkan pendidikan semakin banyak dan sudah barang tentu kebutuhan akan bahan bacaan Braille pun semakin meningkat. Pa da tahun ini pula mulai dirintis pembuatan buku bicara yang diharapkan dapat dik embangkan dikemudian hari. Peralatan yang telah ada pada saat itu terdiri dari: 2 (dua) buah Cassette Recorder 1 (satu) buah Tape Recorder Sejumlah kaset yang memuat rekaman pendek pelajaran Bahasa Inggris, Musi k, Lagu-lagu wajib Nasional dan lain-lain. Pada tahun 1977, Direktur LPPBI, H.A. Malik Uddin memasuki masa pensiun yang kem udian digantikan oleh Soetomo, yang merangkap sebagai Kepala Sub Direktorat Reha bilitasi Cacat Netra Departemen Sosial RI di Jakarta. Sebagai pelaksana harian k egiatan LPPBI ditunjuklah R. Subagia Suradhipraja yang menjabat sampai tahun 198 1. Mengingat jangkauan dan tugas pelayanan yang semakin luas, maka pada tanggal 1 N opember 1979 Departemen Sosial RI menerbitkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 40/HUK/KEP/XI/79 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Balai Penerbitan Braille Indonesia. Dengan adanya Surat Keputusan in i maka LPPBI berubah nama menjadi Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) dan jabatan direktur diganti menjadi kepala. Pada tahun 1981, Kepala BPBI digantikan oleh Wahono. Seiring dengan status dan s truktur organisasi yang baru itu, sarana dan prasarana kerjapun mengalami perkem bangan. BPBI yang semula menempati salah satu bangunan di Wyata Guna Jl. Pajajar an No. 52 Bandung, pada tahun 1985 berpindah lokasi karena telah memiliki bangun an sendiri walaupun masih pada alamat yang sama. Pada tahun 1986 Kepala BPBI digantikan oleh Ny. Cicih Suasih, BA yang menjabat s ampai dengan tahun 1993. Pada masa kepemimpinan Ny. Cicih Suasih, BA, pada akhir tahun 1989 BPBI berpindah lokasi lagi ke Jl. Kerkhof No. 29 Leuwigajah Cimahi S elatan Kabupaten Bandung dengan bangunan yang jauh lebih luas dan memadai. Selan jutnya, pada tahun 1993 Kepala BPBI dijabat oleh Drs. H Ade Suherman. Pada masa ini, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Rehabilitasi Sosial De partemen Sosial RI Nomor: 06/KEP/BRS/IV/1994 tanggal 1 April 1994, nama BPBI dit ambah dengan kata ABIYOSO , sehingga lengkapnya menjadi Balai Penerbitan Braille In donesia (BPBI) ABIYOSO . Pada tanggal 16 Oktober 1999, Pemerintah mengumumkan Susunan Kabinet Persatuan N asional. Ternyata dalam susunan kabinet ini tidak terdapat Departemen Penerangan dan Departemen Sosial (Kedua Departemen ini ditiadakan). Sudah barang tentu hal ini mengundang reaksi dan protes keras dari para karyawan kedua Departemen tersebut. Berulang kali para karyawan kedua Departemen ini men gadakan unjuk rasa baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, menuntut kepa stian eksistensi kedua Departemen ini. Puncak unjuk rasa ini diakhiri dengan ada nya pemanggilan/pertemuan Presiden oleh DPR pada tanggal 18 Oktober 1999 untuk m engklarifikasi permasalahan tersebut. Seperti kita ketahui, bahwa betapa gencarn ya pertanyaan, saran dan kritik yang disampaikan oleh Anggota DPR tentang pengha pusan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Namun Pemerintah dalam hal in i Presiden tetap kukuh pada pendiriannya bahwa kedua Departemen ini ditiadakan d an sebagai gantinya akan dibentuk Badan-badan baru yang akan menangani tugas ked ua Departemen ini, yakni Badan Informasi dan Komunikasi Nasional sebagai penggan ti Departemen Penerangan dan Badan Kesejahteraan Sosial Nasional sebagai penggan ti Departemen Sosial. Dengan dihapuskannya Departemen Sosial RI, BPBI ABIYOSO pun sebagai Unit Pelaksa na Teknis Departemen Sosial otomatis secara hukum kehilangan eksistensinya. Sete lah sekian lama menunggu kepastian tentang eksistensi BPBI ini akhirnya pada tan ggal 18 Nopember 1999 seiring dengan pemanggilan Presiden oleh DPR, jam 23.00 WI B, BPBI ABIYOSO mendapat penjelasan langsung dari Bapak Drs. Murwanto selaku Sek jen Depsos RI yang menyatakan bahwa BPBI ABIYOSO tetap berada di bawah Pusat den gan induk organisasi yang baru yakni Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (BKSN) dan dipertegas melalui Surat Dinas tanggal 20 Desember 1999 No.K/555/SJ/XII-99 p erihal Petunjuk penyerahan 3 P dalam rangka Reposisi/Reorganisasi Departemen Sos ial, selanjutnya BPBI bertanggung jawab langsung kepada Deputi II Bidang Pelayan an dan Rehabilitasi Sosial. Sampai saat ini Strukutur Organisasi BPBI masih mengacu kepada SK Menteri Sosial RI No. 40/HUK/KEP/XI/79 tahun 1979 karena Surat Kep utusan yang baru sampai kini belum turun. Pada tahun 2002 kepemimpinan BPBI Abiyoso dari Drs. H Ade Suherman digantikan ol eh Drs. Hadi Al Ustad yang menjabat sejak tahun 1993. Dan mulai dengan kepemimpi nan Drs. Hadi Al Ustad ini, muncul keputusan baru yang mengatur Struktur Organis asi BPBI yang dulu mengacu kepada SK Menteri Sosial RI No. 40/HUK/KEP/XI/79 tahu n 1979 menjadi SK Menteri Sosial RI No. 58/HUK/ 2003 tanggal 23 Juli 2003. Dalam SK baru tersebut banyak perubahan struktur yang ada di BPBI. Pada tahun 2004, Kepemimpinan BPBI Abiyoso dijabat Oleh Dra. Sukaesih Makmur. Pa da 17 Maret 2007 terjadi lagi pergantian pimpinan, yakni dari Dra. Hj. Sukaesih Makmur kepada Drs. H. Dadang Kurnia. Pada 25 Agustus 2008, Drs. H. Dadang Kurnia digantikan oleh Dra. Maryam Duyo. Empat belas bulan kurang lebih Ibu Maryam mem impin BPBI, kemudian dipindah ke Wyataguna Bandung. Sebagai penggantinya, diangk atlah Ibu Dra. Lilit Maskuroh, MM untuk memimpin BPBI. Ibu Lilit memegang jabata n Kepala BPBI (Abiyoso) tepatnya sejak tanggal 24 Oktober 2009. Adapun buku-buku Braille produksi BPBI terdiri dari majalah Gema Braille, buku u mum, buku sekolah, buku keagamaan, kitab suci, dll. Setiap tahunnya BPBI memprod uksi kurang lebih 40 ribu buah buku yang didistribusikan ke berbagai lembaga ket unanetraan dan perseorangan di seluruh Indonesia. Penggunaan Huruf Braille semak in meluas. Kita bisa menemukan tulisan Braille selain dalam bentuk buku, kita pu n akan mendapati tulisan Braille pada beberapa tempat dan barang-barang tertentu . Misalnya dalam kemasan beberapa produk makanan, tombol telepon, keyboard kompu ter meskipun tidak secara keseluruhan. Di tempat-tempat umum bisa kita jumpai tu lisan Braille sebagai penunjuk arah, misalnya di Stasiun Kereta Gambir, sejak di canangkannya GAUN 2000 oleh Gusdur. Kita juga akan menemukan label-label bertuli skan Huruf Braille pada beberapa lokasi seperti pada pegangan eskalator, demikia n pula di Stasiun Kereta Yogyakarta, dan juga di beberapa mall. Menurut Informas i, di Laboratorium Biologi UGM Yogyakarta pun digantung nama dari setiap tumbuha n yang ada di sana menggunakan Huruf Braille pada tumbuhan tersebut. Bank Indone sia juga berupaya untuk memberi kemudahan kepada tunanetra dengan program diliha t, diterawang, dan diraba. Kaum tunanetra bisa merasakan titik-titik timbul pada uang pecahan Rp 100.000,- (Seratus ribu rupiah) sekalipun kurang bisa dirasakan oleh perabaan tunanetra. Dalam upaya memenuhi hak dan kewajiban selaku warga Negara secara politik dalam pesta demokrasi, Panitia Pemilihan Umum Akses (PPUA) telah berusaha agar para tu nanetra dapat melaksanakan hak pilihnya dengan luber. Maka dibuatlah template, y aitu alat bantu yang dilengkapi tulisan Braille untuk digunakan pada saat mencob los surat suara. Beberapa permainan pun dimodifikasi, misalnya kartu domino, kartu remi, dan catu r, sehingga tunanetra bisa bermain kartu atau catur dengan orang awas. Jadi, pen ggunaan Huruf Braille dikalangan tunanetra telah meliputi berbagai aspek kehidup an, baik dalam lingkungan kehidupan praktis sehari-hari maupun di lingkungan aka demis. Adapun alat-alat yang digunakan untuk menulis Braille di antaranya: reglet, mesi n tik Braille, stereotyper dan simplite untuk menulis master naskah yang kemudia n dicetak dengan mesin cetak atau mesin roll, atau disebut juga mesin press. Sei ring dengan perkembangan teknologi informasi komunikasi, tunanetra pun bisa meng gunakan komputer, dengan komputer ini Huruf Braille pun bisa dicetak dengan prin ter Braille. Selain itu tunanetra juga dapat membaca tulisan yang ada pada layar monitor komputer, selain dalam bentuk suara juga dengan bantuan alat yang dinam akan Braille display. Departemen Pendidikan Nasional RI melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasilonal RI no. 053 tahun 2000 telah merumuskan Sistem Braille Indonesia yang terdiri da ri beberapa bidang, yaitu bidang Matematika, IPA, tulisan singkat musik, dan Bah asa Indonesia. Untuk mengetahui tentang penggunaan Huruf Braille menurut Ejaan B ahasa Indonesia Yang Disempurnakan, akan dijelaskan di bawah. Penggunaan Huruf BRAILLE Menurut Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) Pembentukan Huruf-Huruf BraillePembentukan huruf-huruf Braille disusun berdasarkan pola enam titik timbul, deng an posisi tiga titik vertikal dan dua titik horisontal (seperti pola kartu domin o). Ttitik-titik tersebut diberi nomor tetap 1-2-3-4-5 dan 6 pada posisi sebagai berikut: 1- o o-4 2- o o-5 3- o o-6 Posisi titik-titik di atas adalah posisi huruf Braille yang dibaca dari kiri ke kanan. Huruf Braille terdiri dari satu atau kombinasi beberapa titik tersebut. D engan bantuan nomor dari setiap titik, maka suatu huruf dapat dinyatakan dengan menyebutkan nomor dari titik-titiknya seperti contoh berikut: (a) titik 1 o . . . . . (l) titik 1-2-3 o . o . (p) titik 1-2-3-4 o . (w) titik 2-4-5-6 o o o o . . o o o . o .Untuk keperluan menulis dengan reglet digunakan citra cermin dari bentuk di atas dan ditulis dari kanan ke kiri dengan urutan nomor yang sama sebagai berikut: 4- o o-1 5- o o-2 6- o o-3 Susunan Abjad Braille (a) titik 1 o . . . . . o . o . . . o . o . o . (p) titik 1-2-3-4 o o o . o . . .(b) titik 1-2(l) titik 1-2-3(w) titik 2-4-5-6o o o oRumusan Abjad Braille A titik 1 o . . . . . o . o . . . o o . . . . o o . o . . o . . o . . o o o . . . o o o o . . o . o o . . . o o . . . . o o o . . o . . . o . o .B titik 1-2C titik 1-4D titik 1-4-5E titik 1-5F titik 1-2-4G titik 1-2-4-5H titik 1-2-5I titik 2-4J titik 2-4-5K titik 1-3L titik 1-2-3o . o .M titik 1-3-4o o . . o . o o . o o . o o . . o . o o o . o . o o o o o . o . o o o . . o o . o . . o o o o . o . . . o o o . o . o o o o . oN titik 1-3-4-5O titik 1-3-5P titik 1-2-3-4Q titik 1-2-3-4-5R titik 1-2-3-5S titik 2-3-4T titik 2-3-4-5U titik 1-3-6V titik 1-2-3-6W titik 2-4-5-6 . oX titik 1-3-4-6o o. . o o Y titik 1-3-4-5-6 . o o o Z titik 1-3-5-6 o . . o o o o oBilangan 1. Angka Arab Bilangan Braille dalam angka Arab ditulis dengan menggunakan sepuluh abjad Brail le pertama (a-j) yang didahului tanda angka (titik 3-4-5-6) . . oo oo Contoh: o o o o o o o o o o 1 6 o o o o o o o o 7 o o o o o o 2 o o o o o o o 8 o o o 3 o o o o o o 9 o o o o o o o 4 o o o o o 10 o o o o o o o o o o 5 o o o oBilangan yang terdiri dari dua angka atau lebih ditulis dengan satu tanda angka saja yang diletakkan di depan angka pertama, termasuk dua bilangan atau lebih ya ng dirangkaikan dengan tanda hubung (Titik 3,6). . . . . o o . Contoh: o o o o o 10 o o o o o o o o o o o o o o o o 123 o o o o o o o o o 1987 o o o o o o o o o o oo o oo o o o o 15-3-1974o oo2. Angka Romawi Penulisan angka romawi dalam Braille mengacu pada sistem tulisan awas (I, II, II I, dst.). Cara menuliskan huruf-huruf kapital pada angka romawi ini, lihat bagia n D 1 tentang huruf kapital. Tanda Baca 1. Tanda titik (titik 2-5-6) o . o . . o Tanda titik digunakan sesuai dengan aturan Ejaan Yang Disempurnakan kecuali untu k hal-hal sebagai berikut: a. Tanda titik tidak digunakan dalam menuliskan bilangan besar untuk memisahkan angka ribuan, jutaan, dsb. b. Dalam menuliskan waktu, tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan angka jam dari angka menitnya. c. Tanda titik tidak digunakan untuk menuliskan elipsis. 2. Tanda koma (titik 2) . . o . . . a. Dipergunakan seperti pada tulisan awas, lihat pedoman EYD. b. Tidak digunakan sebagai tanda desimal. c. Digunakan untuk memisahkan angka ribuan, jutaan, dst. 3. Tanda Titik Koma (titik 2-3) . . o . o . Penggunaannya sama dengan yang berlaku pada tulisan awas. 4. Tanda Titik Dua (titik 2-5) . . o o . . a. Penggunaannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas. b. Tanda titik dua digunakan dalam menuliskan waktu untuk memisahkan unit jam da n unit menit 5. Tanda Tanya (titik 2-3-6) . . o o . o Penggunaan sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas. 6. Tanda Seru (titik 2-3-5) . .o o o . Penggunaannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas. 7. Tanda Petik (titik 2-3-6 untuk tanda petik buka dan titik 3-5-6 untuk tanda p etik tutup) . . . . o . . o o o o o Penggunaannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas, kecuali dalam Braille , bentuk tanda petik buka berbeda (terbalik) dengan tanda petik tutup. 8. Tanda Petik Tunggal (titik 6, 2-3-6 untuk tanda petik tunggal buka dan titik 3-5-6, 3 untuk tanda petik tunggal tutup. . . . . o . . o o o o o Digunakan untuk menuliskan petikan di dalam petikan. Penggunaannya sama dengan y ang berlaku dalam tulisan awas. 9. Tanda Kurung (titik 2-3-5-6) . . o o o o Penggunaannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas, kecuali bahwa dalam B raille tanda kurung buka sama dengan tanda kurung tutup. 10. Tanda Hubung (titik 3-6) . . . . o o Penggunaannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas. 11. Tanda Pisah (titik 3-6, 3-6). . . . . o o . . . . o oDitulis tanpa spasi dari huruf atau tanda yang mendahului atau mengikutinya. Contoh: Hari kemerdekaan tanggal 17 Agustus dirayakan setiap tahun. 12. Tanda Garis Miring (titik 3-4) . o . . o . Ditulis tanpa spasi dari huruf atau tanda yang mendahului atau mengikutinya. Dipakai seperti pada tulisan awas. 13. Tanda Elipsis . . o (titik 3) ditulis tiga kali. . . . . . . . . . . . o . o .a. Menuliskan tanda elipsis dipisahkan oleh satu spasi dari huruf g mendahuluinya. b. Menuliskan tanda elipsis dipisahkan oleh satu spasi dari huruf nya tetapi tidak dipisahkan oleh satu spasi dari tanda-tanda yang ikutinya. c. Dipakai sama dengan tulisan awas. d. Tanda titik yang mengikuti tanda ellipsis ditulis dengan titik . . o o . o 14. Tanda Huruf Kapital (titik 6) . . . . . oatau tanda yan yang mengikuti baca yang meng 2-5-6.a. Tanda huruf kapital ditulis rapat tanpa spasi dengan huruf yang dinyatakan se bagai huruf kapital. b. Penggunaan huruf kapital sama dengan pada tulisan awas. c. Menuliskan satu atau dua kata yang seluruh hurufnya huruf kapital, di depan k ata itu diberi dua tanda huruf kapital. Contoh: TETAP MERDEKA d. Untuk menuliskan tiga kata atau lebih yang semua hurufnya ditulis dengan huru f kapital, di depan kata yang pertama diberi tiga tanda huruf kapital sedang di depan kata yang terakhir diberi dua tanda huruf kapital. e. Ketentuan di atas tidak berlaku untuk menulis judul buku, karangan, bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.Untuk itu, di depan tiap kata diberi dua tanda huruf kapital. Contoh: Nama Buku. PEDOMAN EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN Contoh: Judul Karangan. DIA YANG TAK KULUPAKAN f. Dua kata yang dihubungkan dengan tanda penghubung masing-masing kata semuanya ditulis dengan huruf kapital (kecuali kata ulang masing-masing kata didahului d engan dua tanda huruf kapital). Contoh: JAKARTA-BANDUNG. 15. Tanda Kursif (titik 4-6) . o . . . o Tanda kursif digunakan untuk menuliskan kata/kalimat yang berxcetak tebal, cetak miring, bergaris bawah, dan lain sebagainya yang mempunyai pengertian bahwa kat a/kalimat itu menjadi perhatian. a. Tanda kursif ditulis langsung (tanpa spasi) di depan kata yang menjadi perha tian. Contoh: Mahasiswa pelopor reformasi. b. Satu tanda kursif dituliskan di depang masing-masing kata apabila kata-kata y ang menjadi perhatian itu terdiri dari satu hingga tiga kata.Contoh: Kita pasti menang. c. Apabila kata-kata yang menjadi perhatian itu terdiri dari empat kata atau le bih, dua tanda kursif ditulis di depang kata pertama dan satu tanda kursif ditul is di depang kata yang terakhir. Contoh: Meski mata lahir gelap, mata hati terang. 16. Tanda . o . Lebih . . o o Kurang (titik 2-6, 3-5) . . . o .a. Tanda lebih kurang dipisahkan oleh satu spasi dari huruf dan tanda baca yang mendahului atau mengikutinya. b. Tanda lebih kurang tidak dipisahkan oleh spasi dari angka atau singkatan mata uang, ukuran, yang mengikutinya. Contoh: Umur ayah saya lebih kurang 80 tahun. 17. . . o o Tanda Bintang (titik 3-5,3-5) . . . . . . o oTanda bintang ditulis langsung tanpa spasi di belakang kata yang diterangkan, da n dipisahkan oleh satu spasi dari huruf atau tanda yang mengikutinya. (keteranga n lebih lanjut lihat bagian Format Braille poin 12 tentang catatan kaki). Contoh: Aku pergi ke Bangkok naik GIA.** 18. Tanda Apostrof (titik 3) . . . . o . Aturan penggunannya sama dengan yang berlaku dalam tulisan awas. a. Bila tanda apostrof digunakan untuk menyingkati angka tahun, apostrof dituli s antara tanda angka dan angka (tanpa spasi). Contoh: Tahun 1999 ditulis 99. 19. Tanda Sajak (titik 3-4-5) . o . o o . Menuliskan sajak dalam tullisan Braille ada dua macam. a. Tanpa tanda sajak: Tiap baris ditulis pada baris baru. Bila sebuah baris tida k cukup ditulis dalam satu baris, maka dilanjutkan pada baris berikutnya mulai p ada petak kelima. b Dengan tanda sajak: Tanda sajak digunakan untuk menghemat spasi. Tanda sajak d itulis langsung (tanpa spasi) di belakang akhir setiap baris puisi. Penulisan pu isi dengan tanda sajak dilakukan seperti menulis prosa (tidak perlu baris baru u ntuk setiap baris puisi).Perpindahan bait ditandai dengan satu baris kosong).Contoh: Berakit-rakit ke hulu, Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu Bersenang-senang kemudian FORMAT BRAILLE 1. Ukuran kertas dan ketebalan kertas Kertas yang digunakan untuk penulisan Braille berukuran maksimal 12 x 11,5 inci (cm 30,4 x cm 29,2), dengan berat antara 100 hingga gr 160. 2. Margin Margin kiri halaman antara 1 sampai 1,5 inci (cm 2,55 sampai cm 3,8 margin kanan ), atas dan bawah sekitar 0,5 inci (cm 1,3). 3. Spasi baris Khusus bagi pemula, bahan bacaan ditulis dengan spasi ganda, baik antar huruf ma upun antar baris. 4. Nomor halaman Nomor halaman Braille diletakkan di sudut kanan atas. Jika dianggap perlu nomor halaman naskah aslinya (naskah awas) diletakkan di sudut kanan bawah. 5. Halaman judul Sebagaimana lazimnya buku awas, teks pada halaman judul ditulis di tengah-tengah halaman (centered). 6. Penulisan daftar isi Pada dasarnya ketentuan penulisan daftar isi pada buku Braille, sama dengan buku awas. Dalam hal nomor halaman, nomor halaman awas dan Braille sama-sama dicantu mkan. Nomor halaman Braille dituliskan di ujung kanan, sedangkan nomor halaman a was ditulis dua spasi di sebelah kirinya. 7. Judul dan Sub Judul Ketentuan tata letak penulisan judul dan sub judul pada buku Braille sama dengan buku awas. Judul/sub judul yang dicetak tebal, cetak miring atau semacamnya dit ulis dengan huruf kapital tanpa tanda kursif. 8. Penulisan paragraf Awal paragraf dimulai pada petak ketiga. Antara satu paragraf dan paragraf lainn ya tidak diberi satu baris kosong. 9. Penulisan nomor a. Penulisan naskah tes. Untuk naskah tes terdapat dua kemungkinan tata letak pe nulisannya: 1. Antara satu nomor dengan nomor soal lainnya dipisahkan oleh satu baris kosong . Nomor soal ditulis pada petak pertama. Apabila tidak cukup satu baris, kelanju tan kalimat soal ditulis mulai petak ketiga. Nomor alternative jawabaan ditulis pada petak ketiga. Apabila tidak selesai satu baris kelanjutan alternatf jawaban ditulis pada petak keelima. 2. Antara satu nomor dengan nomor soal lainnya dipisahkan oleh satu baris kosong . Nomor soal ditulis pada petak pertama. Apabila tidak cukup satu baris, kelanju tan kalimaat soal ditulis mulai petak ketiga. Nomor alternative jawaban ditulis pada petak pertama. Apabila tidak selesai satu baris kelanjutan alternative jawa ban ditulis pada petak ketiga. b. Penulisan Naskah Karya Ilmiah Nomor subjudul ditulis mulai pada petak pertama. Apabila tidak selesai satu baris kelanjutannya ditulis sejajar dengan huruf pertama dari subjudul tersebut. Ant ara sub judul dan paragaraf pertama diberi satu baris kosong. Antara satu paragr af dan paragtraaf lainnya berlaku ketentuan tentang penulisan paragraf. 10. Tabel a. Untuk tabel yang muat dalam satu halaman Braille penulisannya sesuai dengan n askah asli (awas). Untuk membuat kolom garis horizontal dibuat dengan deretan ti tik 1-4, 2-5 atau 3-6 sesuai panjang baris. Untuk garis vertical digunakan deret an titik 1-2-3 atau 4-5-6. b. Untuk table yang dipearkirakan tidak cukup dalam satu halaman Braille hendakn ya direforamat ke dalam bentuk paragraf.11. Gambar a. Peprodiksi secara tactual (timbul) harus dilakukan bagi gambar yang ilustrati f dan informataif serta dimungkinkan untuk direproduksi secara tactual. b. Bagi gambar yang ilustratif dan informative yang terlalu sulit/tidak mungkin direprodiksi secara tactual hendaknya dideskripsikan dengan kata-kata. Gambar yang hanya berfungsi ornamental tidak perlu ditampilkan. 12. Catatan kaki (footnote) Nomor catatan kaki ditulis dengan Tanda bintang (titik 3-5,3-5)dan tanda angka. (Contoh: *1) yang diletakkan satu spasi setelah kata, bagian kalimat, atau kalimat yang a kan dijelskan. Catatan kaki ditulis setelah akhir paragtraf yang memuat catatan kaki tersebut.G aris panjang (titik 2-5, 2-5)ditulis sebelum dan sesudah catatan kaki.Penulisan catatan kaki diawali dengan penulisan nomor catatan kaki. Seluruh teks catatan k aki ditulis mulai petak ketiga. Satu catatan kaki dengan catatan kaki berikutnya dipisahkan oleh satu baris kosong. 13. Surat resmi Braille Surat resmi Braille ditulis dengan format full block style.(gaya lurus penuh).14. Garis Tutup (titik 2-5) Tanda garis tutup ditulis sebanyak maksimal 2/3 baris dan diletakkan simetris di tengah-tengah baris. Bagian II PENGUMPULAN DAN PENULISAN AL QUR AN Pada bagian pertama ini, kami terlebih dahulu akan menyajikan perkembangan sejar ah penulisan Al-Qur an sejak zaman Rasulullah abad ketujuh Masehi hingga zaman kit a sekarang. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi bagaimana perjalanan AlQuran sejak diturunkan hingga saat ini, terutama daalam hal penulisannya. Al-Qur an yang keotentikannya terjamin, karena Allah sendiri yang menjaganya. Dalam per jalanannya, penulisan Alquran penuh liku-likudan melewati masa-masa yang menentu kan. Perbedaan kepentingan telah mewarnai perjalannannya. Pihak yang beriman ten tu saja berangkat dari keyakinan bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang memelihar a dan menjaganya menjadi wajib hukumnya.Sementara pihak yang lain berusaha meron grong dengan mengadakan uppaya-upaya penyimpangan termasuk didalamnya dari sisi penulisannya. Nuansa demikian terus berlangsung dari dulu hingga sekarang. Oleh karenanya, maka Al-Quran tetap menarik untuk dipelajari termasuk cara penulisann ya. Untuk itu, tidak ada salahnya sebelum sampai pada sejarah penulisan Araby Brailles kita mengetahui terlebih dahulu perjalanan penulisan mushaf awas. Pemeliharaan Alquran di masa Nabi SAW Rasulullah menerima wahyu adakalanya satu ayat, beberapa ayat, kadang ju ga satu surat. Setiap menerima wahyu, Rasulullah langsung menghafalnya dan menga jarkannya kepada para sahabat. Setiap tahun bacaan dan hafalan Nabi diulang di h adapan malaikat Jibril. Hal ini kadang terjadi di tengah-tengah para sahabat. Ja id bin Tsabit pernah menyaksikan Nabi mengulang bacaan dan hafalannya oleh Malai kat Jibril pada tahap akhir. Sesuai dengan keadaan zaman itu, dalam menyiarkan d an menyampaikan ajaran Alquran dengan cara dihafal dan ditulis pada berbagai ben da. Pada zaman Rasulullah, pengumpulan naskah (manuskrip) Alquran ditempuh dalam dua cara. Pertama, alJam u fis Sudur. Para sahabat menghafalnya di luar kepala seatap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal tersebut bisa dilakukan oleh para sahab at dengan mudah, sebab kultur Bngsa Arab yang kuat dalam menjaga turats (peningg alan nenek moyang seperti syair atau cerita). Orang Arab sangat terkenal dengan kekuatan daya hafalnya. Kedua, alJam u fis Suthur. Setiap Rasulullah menerima wahyu, Beliau langsung memba cakannya kepada para sahabat dan memerintahkan mereka untuk menulisnya. Rasulull ah SAW menyuruh para sahabat untuk menuliskan Alquran dan melarang mereka menuli s hadits karena ada kekhawatiran akan bercampur-aduk. Alquran diturunkan Allah S WT kepada Nabi secara bearangsur-angsur dalam kurun waktu 23 tahun. Pada waktu itu, para sahabat, terutama yang pandai membaca dan menulis, dalam me nuliskan ayat atau surat Alquran mereka menggunakan berbagai media yang ada sepe rti kepingan tulang-belulang binatang (al-aktaf), lempengan batu (Al-likhaf), pe lepah kurma (Al-usbu), kulit binatang (Ar-riqa), dll. Bangsa Arab pada saat itu belum mengenal kertas, perkataan (alwarok) yaitu kertas yang diartikan sebagai d aun kayu saja. Sementara perkataan alkirtos, yang dalam Bahasa Indonesia berarti kertas, diartikan sebagai lembaran atau kepingan-kepingan benda sederhana yang dipakai untuk menulis. Bangsa Arab mengenal kertas baru ketika mereka menaklukkan Negeri Persia pada ma sa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Kitab dalam wujud buku pada waktu itu belum ada. Benda yang dikatakan kitab saat itu adalah tulisan yang terdapat pada lempe ngan batu, tulang, dll. Kata Alkitabu dalam Surat Al Baqarah ayat 2 berarti Alqu ran. Allah berfirman dzalik alkitaabu laa raiba fiihi hudan lilmuttaqiina, yang ar tinya Alquran ini tidak ada keraguan di dalamnya petunjuk bagi orang-orang yang b ertaqwa. Dan pada ayat-ayat yang lain surat yang sama, Alkitaab berarti Taurat, I njil, Jabur. Jadi, perkataan Alkitaab adalah Kitab Suci yang diwahyukan Allah ke pada para Rasul. Sedangkan kitab dalam pengertian surat, sebagaimana diterangkan dalam Alquran surat An Naml ayat 28 yang berbunyi: idzhab bikitaabii haadzaa fa alqih ilaihim, yang artinya Pergilah dengan (membawa) surat Ku ini, lalu jatuhkanl ah kepada mereka. Pada zaman Nabi, kata kutub (jamak dari kata kitab yang berupa seruan Nabi kepa da raja-raja untuk masuk Islam) berarti surat. Dalam menuliskan wahyu yang ditur unkan, Nabi mengatur urutan ayat-ayat dalam surat. Beliau melarang para sahabat menulis selain Alquran karena dikhawatirkan akan bercampur-aduk. Larangan Nabi t ersebut terdapat pada hadist yang diriwayatkan Muslim yang berbunyi: laataktubu a nni ssaian illalqurana waman kataba saian ghoirilqurani falyamhuhu muhaddistu an ni wala khoroja waman kadzaba alayya muttua amidan falittawa mak- adahu minnannar, yan g artinya: Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Alquran , barangsiapa menulis selain Alquran hendaklah ia hapus. Beritakanlah apa yang d iterima dariku (kepada yang lain) tidak mengapa hal itu dilakukan. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku sebaiknya ia bertempat tinggal di neraka. Pada riwayat lain, Rasulullah pun telah melarang para sahabat membawa catatan/naskah (manuskrip) ke wilayah musuh, sebab beliau merasa khawatir naskah tersebut jatuh ke tangan musuh. Selanjutnya Nabi menganjurkan agar Alquran itu selalu dihafal dan dibaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat, sehingga banyak sahabat Nabi yang hafal Alq uran baik secara keseluruhan maupun sebagian. Dengan demikian semakin banyak ora ng yang pandai membaca dan menulis Alquran. Pada perang Badar, tawanan yang bera 1.sal dari orang-orang kafir diperintahkan untuk mengajarkan baca tulis kepada sep uluh kaum muslim sebagai tebusan bebas. Hal tersebut dimaksudkan Nabi agar semak in banyak Umat Islam yang pandai menulis dan membaca. Dalam Alquran banyak terda pat penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena dan tulisan. Di antaranya seper ti pada Surat Al Qolam ayat 1 yang berbunyi nun, walqolami wama yasturuna, yang ar tinya, nun, demi qolam dan apa yang mereka tulis. Dalam ayat yang lain Allah mener angkan iqra warobbukal akrom, alladzi alama bialqolam, alamal insana ma lam ya lam, yang artinya: Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah yang mengajar (manusia) den gan perantaraan qolam. Ia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya . (Al- Alaq: 3-5). Dengan adanya penghargaan yang tinggi dari Alquran tersebut, maka para sahabat l ebih giat lagi belajar. Mereka yang pandai tulis baca antara lain: Ali bin Abi T holib, Ustman bin Affan, Ubay bin Ka ab, Jaid bin Tsabit, Muawiyah bin Abi Sofyan, Abu Bakar Shidiq, Amir bin Fukhairoh, Tsabit bin Qois, Mughiroh bin Subbah, Kha lid bin Walid, Amr bin Ash, Muhammad bin Matlamah, Umar bin Khottob, Yajid bin A bi Sofyan, Jubair bin Awam, dll. Di antara sahabat-sahabat tersebut yang paling banyak menuliskan wahyu adalah Jaid bin Tsabit dan Muawiyah bin Abi Sofyan. Kedu anya adalah juru tulis Nabi yang menuliskan wahyu, sedangkan Amir bin Fukhairoh adalah juru tulis Nabi yang banyak menulis surat untuk raja-raja. Yang menunjang pemeliharaan Alquran pada zaman Rasulullah di antaranya adalah: 1. Hafalan para sahabat yang benar-benar hafal; 2. Naskah-naskah yang ditulis juru tulis Nabi untuk Nabi; 3. Naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk me reka masing-masing. Malaikat Jibril as mengadakan pengulangan bacaan/hafalan wahyu yang telah dituru nkan kepada Nabi setahun sekali pada malam-malam di Bulan Ramadhan. Abdullah bin Abbas ra mengatakan, Rasulullah adalah orang yang paling pemurah, dan puncak kem urahan Beliau ialah pada Bulan Ramadlan, yaitu ketika ditemui oleh Malaikat Jibr il as, di mana Malaikat Jibril membacakan Alquran kepada Beliau, dan ketika itu beliau pemurah sekali. Dalam repetisi tersebut Nabi disuruh membaca wahyu yang su dah diterimanya, demikian pula Nabi sering mengadakan pengulangan Alquran kepada para sahabat untuk membetulkan hafalan bacaannya. Diceritakan pula bahwa Zaid b in Tsabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Alquran di hadapan Rasulull ah SAW. Nabi wafat setelah seluruh wahyu diturunkan Allah kepada Beliau. Pada masa Rasulullah, Alquran terpelihara selain dalam bentuk hafalan juga dalam bentuk tulisan pada benda-benda sederhana, yang kemudian tulisan-tulisan terseb ut disimpan oleh Siti Aisyah di rumah Nabi. 2. Pemeliharaan Alquran Pada Masa Abu Bakar Sidiq Setelah Nabi wafat, maka sebagai penggantinya diangkatlah Abu Bakar Sidiq selaku Khalifah. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, kaum Muslimin yang masih lemah keim anannya banyak yang murtad bahkan ada juga yang mengaku nabi. Orang-orang yang m engaku nabi tersebut adalah Musailamah bin Kadzab dari Bani Hanifah, Yamamah Tul aifah bin Khuwailid dari Bani Af-ad, Aswad Al-ansi dari Yaman, Saj-ah Tamimiyah dari Bani Tamim, yang kemudian kawin dengan Musailamah. Penyimpangan-penyimpanga n yang menimbulkan kerusuhan tersebut berhasil ditumpas oleh pasukan Abu Bakar y ang dipiimpin Khalid bin Walid. Dalam peperangan di Yamamah, 70 orang Islam yang hafal Alquran gugur. Di zaman Nabi pun telah gugur sebanyak 70 orang pula di Su mur Maunah dekat Madinah. Hal itu diterangkan oleh Alkurtubi: qod kutila yaumal y amamatai sab-una minal qurooi wakutila fiahdi rasulillahi bi birri maunata hadih il addadi, yang artinya: pada perang Yamamah telah gugur 70 orang penghafal Alqur an, pada zaman Rasulullah telah gugur pula dalam jumlah yang sama (dalam pertemp uran di Birri Maunah). Melihat kejadian tearsebut, Umar bin Khattab merasa khawa tir dan cemas terhadap para sahabat penghafal Alquran yang masih hidup, lalu bel iau menghadap kepada Khalifah Abu Bakar untuk membicarakan hal itu. Umar berkata, Dalam pertempuran di Yamamah banyak para sahabat yang hafal Alquran telah gugur. Saya khawatir akan banyak lagi sahabat penghafal Alquran akan berg uguran dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Oleh karena itu sebelum lebihbanyak lagi berguguran perlulah Alquran yang masih berserakan ini segera dikumpu lkan. Abu Bakar menjawab, Bagaimana aku harus melakukan sesuatu yang tidak diperbuat Ra sulullah. Umar menjawab, Demi Allah. Sungguh, ini perbuatan yang baik dan terpuji. Umar bin Khattab berulangkali meyakinkan Khalifah Abu Bakar bahwa perbuatan itu baik dan maslahat. Setelah melakukan shalat istikharah, Allah membuka pintu hati Abu Bakar. Saran dari sahabat Umar diterimanya. Khalifah selanjutnya memanggil Jaid bin Sabit lalu beliau berkata, Engkau adalah seorang pemuda yang pandai dan aku percaya, dan engkau adalah seorang penulis wa hyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, kumpulkanlah Alqur an! Jaid bin Sabit menjawab, Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang sangat berat bagi saya. Kiranya apabila aku disuruh memindahkan sebuah bukit, maka tidak seberat a pa yang engkau perintahkan itu. Mengapa tuan-tuan hendak melakukan sesuatu yang tidak diperbuat Rasulullah? Abu Bakar berkata lagi, Demi Allah, ini adalah perbuatan baik. Seraya menyampaikan alasan-alasan sebagaimana ketika Umar menyampaikan gagasannya kepada beliau. Ak hirnya hati Jaid terbuka dan menerima perintah tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, Jaid dibantu oleh Ubay bin Ka-ab, Ali bin Abi Thali b, Usman bin Affan. Beliau bekerja dengan sungguh-sungguh dan ekstra hati-hati. Dikumpulkannya setiap catatan yang tertulis dalam berbagai benda sederhana seper ti pada kepingan batu, kulit binatang, pelepah kurma dan tulang belulang binatan g. Dicocokkannya tulisan-tulisan yang ada dengan hafalannya secara teliti dan di saksikan oleh dua orang saksi. Jaid bin sabit menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu tahun. Setelah selesai, kemudian lembaran-lembaran tulisan Alquran itu dii kat dengan benang lalu diserahkan kepada Sang khalifah. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada tahun ke 12 Hijriah. Mushaf tersebut berada ditangan Khalifah Abu Bakar hingga beliau wafat. Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar, berupa pengumpulan naskah Alquran sehingga menjadi sebuah mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al quran dan menulisnya kembali. Ali Bin Abi Thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini, Orang yang paling berjasa terhadap mushaf adalah Abu Bakar, semo ga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Alquran, selain itu juga Abu Bakar pula yang pertama menyebut Alquran sebagai mushaf. Menurut riwayat lain, orang yang pertama kali menyebut Alquran sebagai mushaf ad alah sahabat Salim bin Ma qil lewat perkataannya, Kami menyebut di Negara kami untu k naskah-naskah (manuskrip) Alquran yang dikumpulkan atau dibundel adalah Mushaf . Dari perkataan Salim itulah Abu Bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskahnaskah Alquran yang dikumpulkan tersebut Al Mushaf Asy Syarif (kumpulan naskah y ang mulia). Al Mushaf merupakan isim maf ul dari shaffa, yang artinya mengumpulkan sedangkan s uhuf adalah jamak dari shahifa yanag artinya lembaran yang telah ditulis. Dalam Alquran kata suhuf tersebut disebut delapan kali, diantaranya terdapat pada sura t Al Bayyinah ayat 2 dan pada Surat Al Ala ayat 19. Setelah Abu Bakar wafat, maka tampillah Umar bin Khattab menggantikannya. Pada m asa kekuasaan khalifah kedua ini, metode penulisan Alquran memang tidak menunjuk an perkembangan yang signifikan. Namun apabila kita melihat sejarah, jasa Umar s angat besar, yaitu karena adanya usulan yang cerdas dari Umar maka Abu Bakar men gambil kebijakan yang tepat dengan menetapkan program penulisan dan pengumpulan naskah-naskah (manuskrip) Alquran dalam bentuk Mushaf. Umar pun berusaha melanju tkan misi penyebaran ajaran Islam dengan mensosialisasikan sumber ajaran utamany a, yakni Alquran, ke berbagai wilayah daulah islamiyah. Untuk itu Beliau menunju k beberapa orang sahabat yang memiliki kompetensi dalam bidang Alquran, seperti Muadz bin Jabal, Ubadah bin Shamith, Abu Darda, guna dikirim ke wilayah-wilayah tadi. Setelah Umar wafat, selanjutnya Al Mushaf disimpan di rumah Siti Hafshah b inti Umar bin Khattab r.a.3. Penulisan Alquran Zaman Khalifah Usman bin Affan Pada pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, penyebaran Islam telah meluas ke ber bagai wilayah, seperti ke wilayah Armenia, Azar Baijan sebelah timur, dan Tripol i sebelah barat. Umat Islam pun telah berada di berbagai Negara seperti di Mesir , Siria, Irak, Persia, dan Afrika Utara. Umat Islam di berbagai daerah belajar m embaca Alquran dari para sahabat nabi. Mereka belajar dari guru yang satu dan la in berbeda baik dalam cara membacanya maupun dalam hal tulisannya. Misalnya mere ka yang berada di Siria belajar membaca Alquran dengan cara Ubay bin Ka-ab, pend uduk Kuffah menggunakan cara bacaan Abdullah Ibnu Mas-ud, sementara yang lainya ada juga yang membaca dengan cara membaca Abu Musa Al As Ari. Adanya perbedaan cara membaca tersebut disebabkan Rasulullah pernah memberi kelo nggaran kepada kabilah-kabilah Arab dalam membaca dan menghafal Alquran, yang d isesuaikan dengan lahjah (dialek) masing-masing dengan tujuan untuk memberi kemu dahan dalam menghafalnya. Rasulullah menyatakan bahwa Alquran terdiri dari tujuh huruf (bacaan). Dengan adanya kelonggaran tersebut tentu saja terjadi akseleras i yang cukup signifikan dalam perluasan penyebaran ajaran Islam. Namun di sisi l ain menimbulkan permasalahan umat yang mengarah kepada perpecahan. Seorang sahab at yang bernama Hujaifah Aliyamani, sebagai Panglima Pasukan Muslim, menangkap g ejala perpecahan tersebut. Ketika beliau kembali dari sebuah pertempuran, ada Um at Islam yang sedang bertikai akibat perbedaan dalam cara membaca Alquran. Hal t ersebut segera Beliau laporkan kepada Khalifah Usman sebagaimana diriwayatkan ol eh Imam Bukhori yang diterima dari Anas r.a . Ia (Khuzaifah) berkata, Wahai Usman, coba lihat rakyatmu, mereka berselisih garagara bacaan Alquran. Jangan sampai mereka terus-menerus berselisih sehingga meny erupai Kaum Yahudi dan Kaum Nasrani. Khudzaifah bin Al-Yaman juga mengusulkan supaya Khalifah secepatnya membuat kese ragaman bacaan dan penulisan Alquran, kalaupun ada perbedaan dalam cara membacan ya, hal itu bisa ditorerir sepanjang dalam batas-batas ma sur (diajarkan Nabi). Se telah Khalifah Usman menerima laporan tersebut, beliau segera mengambil tindakan untuk menyusun suhuf Alquran. Dibentuklah kepanitiaan yang terdiri dari Jaid bi n Sabit, Abdullah bin Zubair, Said bin As, Abdurrahman bin Harist bin Hisam. Setelah panitia tersebut yang diketuai oleh Jaid bin Sabait mendapat mandat dari khalifah, mereka segera menyalin suhuf yang disimpan Siti Hafshoh, karena naska h Alquran itulah yang dianggap standar. Khalifah memberi nasehat kepada panitia: 1. Agar penulisan suhuf berpedoman kepada bacaan mereka yang benar-benar ha fal Alquran. Apabila ada perbedaan dalam bacaan mereka, maka harus disesuaikan d engan dialek Quraisy sebab Alquran diturunkan menurut dialek Quraisy. 2. Al Mushaf tersebut dibuat sebanyak lima buah, empat mushaf dikirim ke em pat daerah yaitu ke Mekkah, ke Siria, Kuffah, dan Basrah, mushaf itu bisa disali n untuk diperbanyak .Pada riwayat lain disebutkan bahwa Mushaf yang dibuat banya knya 6 buah dan dikirim ke: Mesir, Kufah, Basrah, Syam (Siria), dan Yaman. Sedan gkan yang satu lagi disimpan di Madinah yakni untuk Khalifah Usman sendiri, yang kemudian mushaf tersebut dinamakan mushaf Al Imam Setelah penulisan mushaf-mushaf tadi selesai, Khalifah Usman menginstruksikan ke pada semua sahabat agar mengumpulkan benda-benda atau lembaran-lembaran yang men gandung tulisan Alquran untuk dimusnahkan dengan cara dibakar. Sejak itu Umat Is lam di seluruh dunia umumnya menyalin dan menulis Alquran berpedoman kepada mush af yang ditulis pada zaman Usman tersebut. Perbedaan-perbedaan sampai sekarang m asih ada karena bacaan-bacaan yang diriwayatkan secara mutawatir berasal dari Na bi dan masih digunakan oleh kaum muslimin. Walaupun demikian, bacaan-bacaan itu tidaklah bertentangan dengan mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Usman. Penulisan mushaf yang ditulis pada masa Khalifah Usman itu mengandung hikmah: 1. Menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf yang seragam ejaan tulisannya. 2. Menyatukan bacaan, meskipun masih ada perbedaan-perbedaan bacaan sebab b acaan-bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan bacaan dalam mushaf Utsmani, seme ntara bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-mushaf Utsmani tidak d iperbolehkan.3. Menyatukan tertib susunan suraat-surat menurut tertib urutan surat-surat seperti yang ada sekarang. Penulisan Mushaf Utsmani tersebut dilaksanakan pada tahun 25 Hijriah. Melalui us aha-usaha itu maka wahyu yang diturunkan kepada Nabi bisa sampai kepada kita sek arang ini tanpa ada perubahan sedikitpun. Jaminan Allah dalam memelihara keutuha n Alquran terbukti dalam firman-Nya Surat Al Hijr berbunyi: finna nahnu nanazna a dzdzikro wainnalahu lahaafiduuna, artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS Al Hijr 9). Atas upaya nya itu, maka Usman selalu mendapat pujian dan penghargaan dari umat sejak dulu hingga sekarang. Adapun tulisan yang digunakan oleh panitia penulisan dan pengumpulan Alquran ber pegang pada Rasm Al Anbath tanpa harakat atau syakal (tanda baca) dan Nuqath (ti tik pembeda huruf), tanda yang memudahkan untuk membaca Alquran. Salinan empat b uah mushaf hasil penyusunan panitia yang diketuai oleh Jaiz bin Tsabit pada zama n Khalifah Usman tersebut disinyalir masih ada. 1. Ditemukan di kota Tasyqqand yang ditulis dengan Khat Kufy. Dulu pernah d irampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917, lalu disimpan di Perpustakaan Pit sgard (sekarang ST. Pitterburgs), namun Umat Islam dilarang untuk melihatnya. Pa da tahun itu juga, Komunis memperoleh kemenangan di Rusia. Selanjutnya Lenin mem erintahkan supaya Mushaf tersebut dipindahkan ke kota Opa hingga tahun 1923. Set elah terbentuknya Organisasi Islam di Kota Tasyqand, maka anggota organisasi itu meminta kepada Parlemen Rusia agar Mushaf tersebut dikembalikan ke tempat asal yaitu ke Kota Tasyqand (Uzbekistan), Negara di daerah Asia Tengah. 2. Mushaf yang kedua terdapat di Museum al Husainy di Kota Kairo Mesir. 3. Mushaf ketiga dan keempat terdapat di Kota Istambul Turki. Pengumpulan dan penulisan Alquran pada zaman Khalifah Abu Bakar dan pada zaman K halifah Utsman bin Affan memiliki motif serta tujuan sendiri-sendiri. Motif Khal ifah Abu Bakar dalam mengumpulkan naskah (manuskrip) Alquran adalah untuk menjag a keutuhan Alquran dari kepunahan. Dengan banyaknya sahabat penghafal Alquran be rguguran, timbul kekhawatiran Khalifah akan banyak lagi penghafal Alquran yang g ugur sehingga dikhawatirkan Alquran akan musnah. Setelah melalui perundingan yan g cukup alot bersama Umar dan Zaid, sebagai suatu ikhtiar untuk memelihara keutu han Alquran, maka Khalifah memutuskan untuk mengumpulkan dan menuliskan catatan -catatan Alquran ke dalam sebuah Mushaf. Adapun motif Khalifah Utsman dalam menuliskan naskah (manuskrip) Alquran ialah u ntuk menyelamatkan persatuan umat. Dengan adanya perbedaan membaca Alquran di ka langan umat, memicu persilisihan pendapat yang bisa menyulut pertikaian dan perp ecahan. Demi keutuhan Umat Islam, maka Khalifah Utsman mengambil kebijakan dalam cara membaca Alquran bagi kaum Muslimin supaya berpedoman kepada satu Mushaf ya itu Mushaf Al-Imam. Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, orang non Arab (Azam) yang memeluk A gama Islam semakin banyak. Di sisi lain, mereka banyak yang mengalami kesulitan dalam mempelajari Alquran dengan tulisan Arab gundul. Hal tersebut memberi inspi rasi kepada salah seorang sahabat Ali yang bernama Abul Aswad Ad-Dualy untuk mem buat Nuqathu I rab, yang berupa tanda titik untuk mempermudah membaca Alquran. Ata s persetujuan dari Khalifah, akhirnya Abul Aswad membuat tanda baca tersebut dan membubuhkannya pada al Mushaf. Hal tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh Ali b ahwa pada suatu waktu, Abul Aswad bertemu dengan orang non Arab yang baru masuk Islam, ia membaca suaatu lafadz warasuulihi seharusnya dibaca warasuuluhu terdapat p ada surat Attaubah. Kesalahan dalam membaca lafadh (Lafdhan) akan merusak makna (ma nan). Abul Aswad Ad-Dualy menggunakan tanda titik bundar penuh dan berwarna. T itik yang berwarna merah untuk menandai fathah, kasrah, dhammah, tanwin dan yang berwarna hijau untuk menandai hamzah. Pada suatu kata yang bertanwin jika bersa mbung dengan kata berikutnya yang berawalan huruf Halq (Idzhar), maka ia membubu hkan tanda titik dua horizontal seperti adzabun alim dan membubuhkan tanda titik d ua vertikal untuk menandai Idghom seperti ghofurrur rahim. Adapun yang pertama kali membuat titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama ka rakternya (Nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim tahun l89 H atas permintaan Hajjaj bin Yusuf As-atsaqaty, salah seorang gubernur pada masa Dinasti Daulah Umayah (40-95) H. Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda Fathah, Kasrah, Dhammah , Sukun, dan Tasydid, seperti yang kita kenal sekarang, adalah Al-khalil bin Ahm ad Alfarahidy tahun 170 H. Sementara pada zaman Khalifah al-Mamun, para ulama berijtihad untuk membuat tand a-tanda sehingga orang semakin mudah dalam membaca dan menghafal Alquran, yakni tanda baca tajwid yang berupa Isymam, Rum, dan Mad. Mereka juga membuat tanda Li ngkaran Bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda Waqaf, (be rhenti membaca), Ibtida (mulai membaca), menerangkan identitas surat di awal set iap surat yang terdiri dari nama, tempat turun, jumlah ayat dan jumlah Ain. Tand a-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah Tajzi, yaitu tanda pemi sah antara satu Juz dengan yang lainnya, yang berupa kata Juz dan diikuti dengan penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu- untuk Juz 3), dan tanda untuk menunjuk kan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz dan Juz it u sendiri. Pada zaman dulu, penulisan Alquran dikerjakan secara manual dengan menggunakan t ulisan tangan. Baru pada abad 16, Orang Eropa berhasil menemukan mesin cetak. Ma ka pada tahun 1694 M, Alquran dicetak dengan mesin cetak untuk yang pertama kali nya, terjadi di Kota Hamburg, Jerman. Naskah yang dicetak tersebut dilengkapi de ngan tanda baca. Dengan adanya mesin cetak ini, Umat Islam semakin mudah dalam m emperbanyak Mushaf Alquran. Sementara Mushaf yang pertama kali dicetak oleh Umat Islam sendiri yaitu Mushaf edisi Malay Usman pada tahun 1787, diterbitkan di di ST. Pitterburgs, Rusia. Pencetakan berikutnya dilakukan di Kazan abad 18, Persi a dan Iran pada tahun 1838, kemudian di Istambul pada tahun 1877. Pada tahun 185 8, seorang orientalis Jerman yang bernama Fluegel, menerbitkan Alquran yang dile ngkapi dengan pedoman yang amat bermanfaat. Tapi ternyata, Alquran edisi Fluegel ini mengandung kesalahan yang amat fatal, sebab sistem penomoran ayat tidak ses uai dengan sistem yang digunakan dalam Mushaf standar. Mulai abad 20, pencetakan Mushaf Alquran dilakukan oleh Umat Islam sendiri dengan pengawasan yang sangat ketat dari para ulama agar terhindar dari kesalahan cetak Mushaf yang banyak beredar ialah Alquran yang diterbitkan Mesir yang juga dikena l sebagai edisi Raja Fuad, karena beliaulah yang memprakarsainya. Edisi ini ditu lis berdasarkan Qira at Ashim yang diriwayatkan Hafs dan diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1344 H/1925 M di Kairo. Pada tahun 1947, untuk pertamakaliny a Alquran dicetak dengan menggunakan mesin Offset yang canggih dan memakai huruf yang indah. Pencetakan yang luar biasa tersebut terjadi di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi yang termasyhur yakni Said Nursi. Apabila ingin mengetahui macam-macam tulisan atau macam-macam ukuran Alquran, ki ta bisa berkunjung ke Baitul Quran yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah. Selain ditulis dalam bentuk Mushaf, Alquran juga bisa didengar lewat rekaman su ara, mulai dari piringan hitam, pita kaset, kepingan CD, computer digital, dll.Bagian III SEJARAH AL QURAN BRAILLE DI INDONESIA Untuk mengetahui secara luas tentang kapan dan bagaimana perjalanan sejarah penu lisan Al-quran Braille di Indonesia, penulis mencoba menyajikan berbagai naskah yang ditulis oleh beberapa penulis yang kompeten. Hal ini dimaksudkan agar kita memperoleh informasi yang lengkap dari berbagai pihak dengan pengetahuan dan pan dangannya masing-masing. Selain itu dimaksudkan untuk pelurusan sejarah secara o byektif, sehingga tidak menyesatkan. Oleh karenanya, kita dituntut bersikap bija k, logis dan kritis dalam mencernanya.1.Makalah yang disusun oleh Drs. Fuady Aziz Timbulnya tulisan Arab Braille dan kehadiran Al Quran Braille di Indonesia A. Sumber timbulnya Arab Braille di Indonesia Setelah kita mengetahui tentang adanya Braille latin dengan segala variasi sejar ahnya, maka sampailah kita kepada pembicaraan tentang sejarah timbulnya huruf ar ab Braille. Adanya huruf arab Braille tidak bisa terlepas dari pada adanya huruf Braille lat in yang merupakan sumber utamanya. Kita katakan demikian sebab antara kedua tuli san itu mempunyai bentuk yang sama, yaitu berupa kode titik yang kemudian dirumu skan berdasarkan letak titik untuk menentukan suatu huruf atau bacaan lainya, me skipun kedua tulisan ini masing-masing timbul di masa yang jauh berlainan. Tulisan Braille latin timbul pada pertengahan abad ke 19 miladiyah, maka di dala m masa yang saling berjauhan tinbullah rumusan huruf arab Braille melalui suatu konferensi internasional pada tahun 1950 yang diselenggarakan oleh United Nation s Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Hal ini dapat kita ketahui dari sebuah naskah al quran Braille terbitan Yordania pada tahun 1951 ya ng mencantumkan keterangan sebagai berikut: qaimatu arrmurmuzu likitabati alarobiya ti annapiroti bimau zubiqiroo almotamaru attuihiyyatu addala alladi datilaihi alyunsaku santu 1951. (Naskah Quranun Majid Jilid VI Terbitan Yordania Tahun 1951). Kehadiran Naskah Al-quran Braille tersebut di Indonesia, menurut Sdr. HR. Rasiki n, salah seorang pimpinan Wyata Guna Bandung, di dalam makalahnya yang disampaik an pada Musyawarah Kerja ke III Ulama Al-quran Braille, tanggal 7-9 Februari 197 7 di Jakarta, telah menulis bahwa Al-quran Braille masuk ke Indonesia sekitar ta hun 1954 yang diterima oleh LPPBI, yang berada di bawah naungan Departemen Sosia l. Pada tahun 1956, naskah ini dibawa ke Yogyakarta oleh karena Yogyakarta pada waktu itu dianggap mempunyai potensi yang cukup bagi kegiatan tunanetra. (Makala h Muyawarah Kerja Ke III Ulama Al-quran Braille). Dari wawancara yang pernah kami lakukan dengan Bapak A. Arif, ketika Beliau masi h menjabat Direktur Direktorat Kesejahteraan dan Rehabilitasi Penca Departemen S osial, beliau menyebutkan bahwa beliaulah yang membawa naskah tersebut ke Yogyak arta yang kemudian pada waktu beliau menjabat pimpinan BPPS di jalan Tugu Kidul Yogyakarta, naskah tersebut diberikan kepada Supardi Abdussamad, seorang tunanet ra yang bekerja sebagai juru tik Braille di Lembaga tersebut. Dengan kehadiran naskah yang berharga itulah, maka tulisan Arab Braille timbul d i Indonesia, dan dari sumber pertama ini pulalah tunanetra mulai mengenal tulisa n baru huruf-huruf Arab Braille yang sebelumnya belum pernah terimpikan. B. Tahap Penyelidikan I Huruf Arab Braille Pengenalan pertama terhadap huruf Arab Braille yang dipergunakan di dalam naskah Al-quran Braille terbitan Yordania tersebut, dilakukan oleh Supardi Abdussomad dalam kurun waktu yang cukup lama. Di dalam naskah tersebut tidak terdapat adany a suatu pedoman atau tuntunan bagaimana cara membaca dan menulis kitab yang ia h adapi itu. Akan tetapi, secara otodidak, akhirnya sedikit dimi sedikit dikenalla h beberapa huruf yang menyebabkan hatinya semakin terdorong untuk terus menyelid iki dan mempelajarinya. Pada tahun 1963 dia berkenalan dengan seorang mahasiswa IAIN, yang bernama Dharm a Pakilaran (kelahiran Sulawesi) yang kini menjadi salah seorang pengasuh Yayasa n Pendidikan Tunanetra Indonesia, Ujung Pandang. Dharma Pakilaran merupakan oran g yang juga berjasa dalam membantu penyelidikan naskah Alquran Braille, di mana di luar instansi dia terus-menerus mempelajarinya bersama-sama di tempat kediama n Pak Supardi, kampong Terban Yogyakarta. Di dalam naskah yang mereka selidiki kebetulan sekali memuat Surat Yasin yang ol eh kebanyakan kita dihafal di luar kepala, sebab naskah itu berisi dari awal Sur at Al- ankabut sampai akhir Surat Az Zumar.Berpangkal dari Surat Yasin yang kebetulan mereka sudah hafal inilah, maka setel ah huruf-hurufnya dikenal dengan baik akhirnya Kalam Ilahi yang tercantum dalam naskah itu bisa pula dibacanya. Di dalam pengenalan Huruf Arab Braille ini, maka Braille Latin yang sebelumnya sudah mereka kenal sangat membantu dalam kelancaran penyelidikan mereka, yang da lam hal ini dipergunakan sebagai perbandingan, mengingat bentuk dan sifatnya yan g serupa. Sebagai hasil penyelidikan mereka yang sangat gemilang ini, maka diajarkanlah un tuk yang pertma kalinya kepada seorang siswa tunanetra berasal dari Riau daratan bernama Warnidah Noor, yang kebetulan berada di Yogyakarta sebagai asuhan dari BPPS, Yogyakarta, dan dalam tempo yang tidak terlalu lama ia dapat membaca selur uh ayat-ayat Ilahi yang ada dalam naskah tersebut. Dengan demikian maka kita akan mengetahui bahwa sebelum berdirinya Yaketunis di Yogyakarta, maka Al-quran Braille sudah mulai dapat dipergunakan dan bahkan adan ya Al-quran Braille ini merupakan suatu motif yang mendorong berdirinya Yayasan tersebut.SEJARAH PENULISAN AL QURAN BRAILLE DI INDONESIA Sebagaimana telah diungkapkan terdahulu bahwa naskah Al-quran Braille yang datan g ke Yogyakarta adalah jilid ke VI yang memuat sejak awal Surat Al- Ankabut sampai akhir surat Az Zumar. Data ini dapat kita peroleh dari keterangan yang tercantu m di dalam naskah tersebut yang berbunyi: Quranun majidu - almmajlidu assadisu min awali surati al-ankabuti ila akhiri sura ti azzumaru. Atas dasar penulisan yang dipergunakan di dalam naskah itu, maka Yaketunis mengm odifikasikan pedoman penulisannya untuk kepentingan penulisan Al-quran Braille y ang akan diterbitkan. Hal ini dilakukan setelah dengan Yayasan Kesejahteraan Tun anetra Islam (Yaketunis) berdiri, yaitu pada tanggal 1 Muharram 1384 bertepatan dengan tanggal 13 Mei 1964. Sesuai dengan data-data yang ada pada kami, maka sejarah penulisan Al-quran Brai lle dapat kami paparkan melalui 3 fase perkembangan sebagai berikut: 1. Fase I: Penulisan Al-quran Braille Berdasarkan Naskah dari Yordania Sesuai dengan stryd-program dari Yaketunis, di dalam penerbitan Al-quran Braille dan buku-buku agama Islam dalam Huruf Braille, maka pada tahun 1964 diterbitkan lah beberapa eksemplar juz Amma sesuai dengan cara-cara penulisan seperti yang te rdapat dalam naskah Al-quran Braille terbitan Yordania. Penyebaran Al-quran Braille pada fase ini, baru terbatas di lingkungan sendiri, yaitu untuk menunjang keperluan para siswa-siswi tunanetra PGALB dan SLB. Guna memperluas penerbitan Al-quran Braille ini, Yaketunis pernah meminta kepada pihak LPPBI, sebagai satu-satunya lembaga di Indonesia yang telah memiliki mesi n cetak Braille, untuk menerbitkan Al-quran Braille selain buku-buku Agama Islam dalam huruf Braille. Namun mengingat pada waktu itu LPPBI belum mempunyai tenag a ahli Arab Braille maka terpaksa naskah-naskah yang perlu dialihhurufkan ke dal am Arab Braille tersebut tidak dapat dilakukan, sehingga terpaksa pula Yaketunis meneruskan penerbitan-penerbitannya dengan peralatan yang ada, antara lain deng an mesin tik Braille. Suatu hal yang perlu dicatat sebagai data dalam perkembangan penggunaan Huruf Ar ab Braille untuk penulisan Al-quran Braille pada fase pertama ini adalah bahwa s istem yang digunakan mengikuti khat Ishthilahi/qiyasi. Sistem khat ini diikuti ole h Yaketunis dengan pertimbangan antara lain: a. Bahwa orang Arab sendiri di dalam naskah Al-quran Braille yang diterbitk annya menggunakan khat Qiyasi. b. Khat isgthilahi dapat membimbing anak-anak tunanetra dalam menulis Bahasa Al-quran yang lazim dipergunakan di sekolah-sekolah Islam. c. Melihat adanya beberapa kalimat dalam sistem Utsmaniyah yang sulit bacaa nnya jika ditulis menurut Arab Braille. Selama diterbitkannya Al-quran Braille menggunakan sistem ini, pada fase pertama ini, belum pernah adanya satu orang pun yang mempersoalkan mana yang lebih afdh ol dalam penggunaan Isgthilahi atau Utsmany bagi Al-quran Braille. 2. Fase II: Penulisan Al-quran Braille dengan Penambahan Tanda Baca Pada tahun 1968 Yaketunis berhubungan dengan The National Federation for The Wel fare of The Blind di Pakistan, Al-markazu Annamudzaji Lirri ayah wataufihil Makfuf iin di Zaitun, dan Almadrosatul Ulaiyah Bilbirah Attbi ah Liwizaratisyuunil Ijtima i yyah di Yordania. Dari hasil hubungan ini, maka Pakistan mengirimkan 12 juz Al-q uran Braille ke Indonesia, yang naskahnya menggunakan sistem tulisan Isgtthilahi juga, akan tetapi di dalam beberapa kata tertentu memberikan tanda-tanda Braill e baru yang belum ada sebelumnya. Tanda-tanda itu merupakan tanda tambahan sebag ai berikut: a. Fathah Isyba iyah b. Dhommah Isyba iyah c. Kasrah Isyba iyah d. Tanda-tanda waqaf e. Tanda Mad dalam qowathi ussuar Mulai fase ke II ini penerbitan Al-quran Huruf Braille yang diterbitkan oleh Yak etunis, setelah mempelajari dengan seksama, mentolerir apa yang mereka gunakan m engingat manfaatnya yang sangat besar bagi para tunanetra dalam mempelajari Al-q uran. Dalam Fase ke II ini pula Al-quran Braille di Indonesia telah lengkap 30 juz (1 s/d 30), sehingga pada waktu itu telah terkumpul di Yogyakarta beberapa naskah t erdiri dari: Naskah Al-quran Braille terbitan Yordania, Naskah Al-quran Braille terbitan Pakistan, dan Naskah Al-quran Braille terbitan Yayasan Kesejahteraan Tu nanetra Islam. Guna keperluan ekstensifikasi penerbitan Al-quran Braille di Indonesia, maka pad a tahun yang sama yaitu tahun 1968, Yaketunis menyerahkan satu set (juz 1 s/d 30 ) Al-quran Braille kepada Menteri Agama yang selanjutnya oleh beliau diserahkan kepada Lembaga Lektur Keagamaan, cq Lajnah Pentashih Mushaf Alquran, dengan maks ud agar Lajnah yang mulia ini dapat mengadakan pentashihan seperlunya dan selanj utnya dijadikan Al-quran Induk bagi Arab Braille di Indonesia (Bulletin The Nati onal Federation for the Welfare of The Blind, 1968). Oleh sidang Lajnah tersebut, pentashihan dilakukan dengan cara pihak tunanetra m embaca apa yang tertulis di dalam naskah Braille tersebut, sedang sidang Majelis menyimak Al-quran awas. Dalam kesempatan ini, Majelis hanyya dapat menyelesaikan pentashihan sebanyak 2 halaman Al-quran Braille atau sama dengan 1 shafhah Alquran Braille untuk waktu selama 3 hari. Walaupun begitu, keterlambatan pentashihan Al-quran Braille mungkin disebabkan o leh belum adanya ahli tentang Arab Braille pada waktu itu, namun hal tersebut te tap merupakan suatu bukti adanya perhatian Pemerintah khususnya Departemen Agama RI. Selain itu, dibuktikan juga pada tahun 1971, Al-quran Braille dijadikan Pro yek Penerbitan Kitab Suci Al-quran, walaupun masih dalam jumlah yang sangat terb atas. Bahkan Menteri Agama dalam amanatnya pada Muker Lajnah Pentashih Mushaf Al -quran pada tahun 1974, telah memasukan penerbitan Al-quran Braille ini dalam ka tegori 4 kelompok pemeliharaan Al-quran di Indonesia. Pada tahun 1975 tercatat Al-quran Braille yang telah tersebar di kalangan tunane tra seluruh Indonesia adalah sebanyak 2400 eksemplar dan bahkan ada yang telah d ikirim ke luar negeri, antara lain ke Singapura dan Malayasya. 3. Fase III: Penulisan Al-quran Braille Menuju Rasm Utsmaniyah Berbarengan dengan penerbitan Al-quran Braille yang telah belangsung selama ini, maka pada tahun 1971 Yayasan Kesejahteran Tunanetra Islam telah mencoba menerbitkan sebuah buku yang berjudul Tuntunan Tulis Baca Huruf Arab Braille. Buku tersebut terdiri dari 2 jilid yang diterbitkan dalam 2 bentuk buku, masingmasing dalm bentuk buku awas dan dalam bentuk Braille. Dengan tidak menutup keny ataan bahwa kemungkinan Araby Braille yang dipergunakan untuk menulis Al-quran p ada waktu itu di kemudian hari akan mengalami berbagai pembaruan, maka sebagai p enulis buku tersebut dimintakan saran-saran serta kritik-kritik konstruktif pada bagian pendahuluannya, agar dihasilkan tulisan Araby Brille yang betul-betul da pat diterima oleh semua pihak. Meskipun tidak dalam waktu dekat sesudah terbitnya buku tersebut, namun apa yang diharapkan penulis, berupa kritik-kritik yang konstruktif, mulai berdatangan, d i antaranya dari Yayasan Tunanetra Muslimin (YKTM) Budhi Asih yang bekedudukan d i Semarang, di mana di antara pengasuhnya mengusulkan agar penulisan Al-quran Br aille diubah (di antaranya menggunakan Araby Braille contraction (singkatan), mi salnya penulisan kata al- il:mu ./l al). Menurut kontraksi Araby Braille yang berlaku di Timur Tengah adalah menggunakan titik 1 dan 4. Tanda ini dipergunakan bagi setiap kalimat yang mengandung huruf alif dan lam seperti al hamdu dan qala khalishu, dan sebagainya. Sehingga tertulisla h dalam Arab Braille sebagai berikut: alhamdu, qala, khalishu. Bagaimanapun usul seperti ini tetap ditampung, oleh karena mempunyai dasar yang kuat yang tidak akan terlepas dari pramasastra. Hanya mungkin di Indonesia, peng gunaan tulisan semacam itu masih belum waktunya, sebab tunanetra di Indonesia da lam hal kontraksi Arab Braille masih tingkat dasar. Pada tahun 1975, rekan-rekan dari Wyata Guna Bandung tidak saja memberikan kriti k konstruktif, akan tetapi mereka telah bertindak positif dengan menerbitkan sen diri naskah Al-quran Braille dengan versi baru, yaitu dengan sistem tulisan Arab Braille yang mendekati dengan Al-quran Mushaf Imam Utsman bin Affan r.a. Bahkan hasil penerbitan ini telah pula ditashih oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-quran Departemen Agama RI. Dengan adanya Al-quran terbitan dari Wyata Guna Bandung itu, maka pada periode i ni timbullah 2 macam naskah Al-quran Braille, masing-masing: 1. Naskah yang diterbitkan oleh Yaketunis. 2. Naskah yang diterbitkan oleh Wyata Guna Bandung. Idealisme yang kuat dari rekan-rekan Wyata Guna Bandung terhadap masalah Al-qura n Braille ini mendorong Departemen Agama, yang saat itu telah memproyekkan Al-qu ran Braille sebagai bagian dari Departemen tersebut, untuk mempersatukan adanya dua naskah yang berlainan itu. Maka pada tanggal 11 s/d 12 Juni 1975, Departemen Agama menyelenggarakan Loka Karya Penulisan Al-quran Braille yang diselenggarak an di Wisma Sejahtera Jakarta, dan dihadiri oleh: 1. Utusan dari Departemen Agama, cq Kepala Proyek Penerbitan Al-quran. 2. Utusan Lajnah Pentashih Mushaf Al-quran Departemen Agama. 3. Utusan dari Wyata Guna Bandung. 4. Utusan dari Yaketunis Yogyakatrta. Diantara hasil keputusan Loka karya tersebut, terutama yang menyangkut segisegi penulisan Al-quran Braille, adalah bahwa Penulisan Al-quran Huruf Arab Brai lle berdasarkan Rasm Utsmani, tetapi dalam keadaan darurat menggunakan Rasm Iml aiy, sesuai dengan keputusan Lajnah Pentashih Mushaf Al-quran tahun 1975 di Ciaw i Bogor. Untuk segera tercapainya satu kesatuan yang diharapkan, bukanlah suatu hal yang mudah pemecahannya. Pada bulan Februari 1977 diadakan Musyawarah Kerja Ulama Al Quran Braille ke III di Jakarta yang dibuka oleh Menteri Agama, dalam amanatnya beliau berpesan agar permasalahan dalam penulisan Al Quran Braille harus ada penyeragaman dan hendakn ya masing-masing menerima keputusan hasil Loka Karya ke III Musyawarah Kerja Ula ma Al Quran Braille tahun 1975 di Jakarta. Sesuai dengan amanat Bapak Menteri tersebut, maka banyaklah masalah-masalah yang tercapai guna keperluan penyeragaman penulisan Al-quran Braille di Indonesia in i, meskipun di sana-sini masih memerlukan pembahasan-pembahasan yang mendalam. H al ini terjadi berkat adanya Loka Karya ke III Musyawarah Kerja Ulama Al-quran Braille tahun 1975 di Jakarta. Sebagai hasil tahap pertama dalam penyeragaman tulisan Al-quran Braille yang tel ah tercapai sampai saat ini adalah telah berhasilnya ditulis Al-quran Braille se banyak sepuluh juz (juz 1 s/d 10). Hasil ini telah diserahkan kepada pimpinan Tim Inti Penyeragaman PenulisanAl-quran Braille pada pertemuan Tim Inti Al-quran Braille di Wisma Sejahtera Yogyakarta pada tanggal 27-28 Februari 1978. Naskah tersebut masing-masing ditulis 5 (lima) juz. Wyata Guna Bandung menulis juz satu s/d lima, sedangkan juz 6 s/d juz 10 ditulis oleh Yaketunis Yogyakarta.BAB IV KEGIATAN KEGIATAN YANG BERTAUTAN DENGAN PERLUASAN PENGGUNAAN AL QURAN BRAILLE Dengan tidak henti-hentinya sejak kehadiran Al-quran Braille di Indonesia, usaha penyebarannya di kalangan tunanetra terus dilakukan, baik secara formal maupun non formal. Ada beberapa kegiatan yang di dalam hal ini sangat besar pengaruhnya di kalangan tunanetra, yang memotivasi mereka untuk mempelajari Al-quran Braill e. Antara lain, sebagai berikut: 1. Pendidikan formal berupa Sekolah Luar Biasa Islam tingkat Ibtidaiyah, PG ALB swasta khusus Tunanetra, dan PGALB jurusan ketunanetraan Negeri. Pada sekola h-sekolah ini, Al-quran Arab Braille merupakan salah satu mata pelajaran pokok. 2. Pameran-pameran, antara lain di arena Pameran Pustaka Internasional di B andung tahun 1964 (KIAA). Selain itu, pembacaan Al-quran Braille pada pertemuan Wanita Islam Asia Afrika, pameran visualisasi di Departemen Agama di Binagraha J akarta, serta pameran-pameran di beberapa daerah di luar Jawa, antara lain di Pa lembang dan Medan. 3. Berdirinya beberapa lembaga/yayasan, di mana Al-quran Braille diajarkan di dalamnya. Lembaga/yayasan tersebut antara lain: a. Yayasan Pendidikan tunanetra Islam di Purworejo. b. Yayasan Tunanetra Muslimin di Semarang. c. Lembaga Pendidikan Tunanetra di Palembang. d. Yayasan Pendidikan Tunanetra Indonesia di Ujung Pandang. e. Majelis Al-quran Tunanetra (Maqra) di Bandung. f. Madrasah Tunanetra Islam (MTA) Al-Khairiyah di Banten. 4. Penempatan beberapa Guru Agama Islam dari Tunanetra di beberapa sekolah Luar biasa, di mana Al-quran Braille merupakan salah satu pelajaran yang diberik an. 5. Penyelenggaraan MTQ Tunanetra seluruh Indonesia di Bandung. 6. Penyelenggaraan Pondok Ramadhan di Semarang dan Yogyakarta, di samping k ursus-kursus mengenai pengetahuan Al-quran Braille. 7. Tindakan-tindakan Positif dari Departemen Agama, dalam hal ini Badan Lit bang Departemen Agama sangat besar jasanya di dalam usaha penyatuan tulisan Al-q uran Braille.BAB V PERKEMBANGAN TULISAN AL QURAN BRAILLE DI TIMUR TENGAH Pada tahun 1977, Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam mengirimkan sebuah Naskah Al-quran ke Saudi Arabia, yaitu pada almktb al/qlimlsywn almkfwfinfi asrq al/ws t. Sistem tulisan yang kami pergunakan pada waktu itu adalah menggunakan versi lama (menurut ejaan imlaiyah). Pengiriman tersebut dimaksudkan agar diberikan tashih oleh maktab tersebut, mengingat maktab itu merupakan pusat bagi segala urusan t unanetra di Timur Tengah, termasuk urusan penerbitan Alquran Braille. Satu di antara kesalahan yang ditunjukkan adalah mengenai penulisan kalimah: arra hmanu yang ternyata keliru penulisannya, di mana semestinya antara m dan n ditulis fa thah isybaiyah, akan tetapi dalam naskah tersebut tertulis alif. Pada kesempatan itu, ditunjukkan pula kepada kami tulisan-tulisan Al-quran Huruf Braille yang lebih sederhana dan tidak memakan tempat, yang oleh mereka disebut all-ikhtisharatu. Pada kesempatan yang lain, mereka juga mengirimkan beberapa buku mengenai Araby Braille yang mereka gunakan, baik untuk menulis Al-quran maupun untuk Bahasa Ara b yang lainnya. Demikian semoga bermanfaat. Yogyakarta, 11-3-1978 TTD Drs. Fuady Az 2. Makalah yang disusun oleh Drs. Najmuddin SEJARAH PERKEMBANGAN AL-QURAN BRAILLE DI INDONESIA Disusun oleh Drs. M. Najmuddin (Kepala MTs LB/A Yaketunis Yogyakarta, Pengurus Yaketunis, Dewan Mufti ITMI) Disampaikan dalam pelatihan Da wah dan Lokakarya Standarisasi Al-Qur an Braille Ting kat Nasional Bandung 12 Juni 2007 Proses Masuknya Al-Qur an Braille di Indonesia Dalam Al-Qur an Braille terbitan Yordania tahun 1952 tercantum dalam halaman pembu ka dicantumkan bahwa abjad Braille lengkap dengan tanda sakalnya disahkan oleh U NESCO tahun 1951, dan Al-Qur an terbitan Yordania jilid 6 yang berisi awal surat A l-Ankabut sampai dengan akhir surat Az-Zumar dikirim ke Indonesia oleh Prof. Dr. Mahmud Syaltut. Menurut Bapak Moch. Solichin, BA (Ketua Yayasan Kesejahteraan T unanetra Islam Yogyakarta) menyebutkan bahwa pada sampul Al-Qur an tersebut terdap at tanda tangan Prof. Dr. Mahmud Syaltut tahun 1956. penjelasan Bapak KH. Syukri Ghoyali (Ketua MUI) dalam sela-sela Muker ke III Majlis Lajnah Al-Qur an di Jakar ta, beliau menjelaskan bahwa Prof. Dr. Mahmud Syaltut berkunjung di Indonesia ta hun 1959. Bapak Moch. Solichin menambahkan Al-Qur an Braille tersebut kemungkinan tidak dibawa langsung oleh Prof. Dr. Mahmud Syaltut tetapi setelah ditandatangan i kemudian dikirimkan ke Perpustakaan Braille Wiyata Guna Bandung. Peristiwa ini dapat dijadikan sebagai awal mula masuknya Al-Qur an Braille ke Indonesia. Keberadaan Al-Qur an Braille di perpustakaan tersebut kurang mendapat perha tian karena tunanetra di Indonesia belum ada yang mengenal huruf Arab Braille. Di Yogyakarta, pada tahun 1940an Supardi Abu Shomad seorang tunanetra belajar me ngaji di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Sebagai tunanetra, dalam belajar w aktu itu secara hafalan dan banyak tergantung dengan orang awas. Bapak Kyai meme rintahkan kepada santrinya untuk membimbingnya. Dalam membimbing menghafal Al-Qu r an santri minta imbalan seperti memijat, menimbakan air untuk mandi, bahkan pern ah juga jatah makan dibagi dua. Waktu itu Bapak Supardi memikirkan keberadaanya sebagai tunanetra dan timbul gagasan hendaknya ada suatu alat atau apa yang bisa digunakan atau membantu tunanetra dalam membaca sehingga tidak selalu tergantun g kepada orang awas. Meskipun tidak begitu lama di pondok pesantren, beliau berh asil menghafal surat-surat pendek, ayat Kursi, surat Yasin, doa-doa, dan lain-la in. Setelah Indonesia merdeka, beliau mengikuti pelatihan tunanetra dipenampunga n RS. Mata dr. YAP yang sekarang menjadi Yayasan Mardi Wuto Jalan C. Simanjuntak No. 2 Yogyakarta. Di panti tersebut, beliau berhasil mempelajari huruf latin Br aille. Pada tahun 1959, beliau bekerja di Kantor Sosial Daerash Istimewa Yogyaka rta Jalan. P. Mangkubumi No. 46 Yogyakarta yang sekarang menjadi Arjuna Plaza. B eliau bertugas melatih biola dan olahraga catur. Sebagai tunanetra muslim, belia u rajin mengerjakan sholat dan sering membaca Al-Qur an secara hafalan. Hal itu di ketahui oleh Bapak Arif Dirjen Rehabilitasi Penyandang Cacat Departemen Sosial R epublik Indonesia. Sewaktu beliau berkunjung ke Perpustakaan Braille Wiyata Guna Bandung, beliau melihat ada Al-Qur an Braille yang belum terjamah oleh tunanetra. Maka AL-Qur an tersebut beliau ambil untuk diberikan kepada Bapak Supardi Abdu Sh omad di Yogyakarta pada tahun 1963. Menerima AL-Qur an tersebut, Bapak Abdu Shomad sangat gembira karena apa yang menjadi gagasanya akan terwujud. Setelah membuka Al-Qur an tersebut, beliau tidak dapat membacanya karena belum mengenal huruf Ara b Braille. Dengan membawa Al-Qur an tersebut dan mesin ketik Braille beliau datang ke Perpustakaan Islam jalan Pangeran Mangkubumi Nomor 38. Bapak H. Muqodas Kepa la Perpustakaan Islam mengetahui ada seorang tunanetra yang datang dan beliau me merintahkan kepada stafnya Bapak H. Moch. Sholichin, BA agar memberikan uang kep ada Bapak Abdu Shomad. Keesokan harinya, Bapak Supardi datang kembali dan diberi uang lagi. Pada hari ketiga beliau datang dan sewaktu akan diberi uang beliau m enjelaskan behwa kedatanganya untuk minta bantuan membacakan Al-Qur an Braille yan g dibawanya. Hal itu mendapat sambutan baik dari Perpustakaan Islam dan pada hal aman depan terdapat abjad hijaiyah dan tanda sakalnya dalam tulisan cetak biasa (dengan tinta bukan Braille). Dari situjlah diketahui bentuk-bentuk tulisan Arab Braille. Dalam mempelajari Arab Braille, Bapak Supardi dibantu oleh Bpak Drs. F uadi Aziz dan Bapak Darma Pakilaran yang kedua-duanya waktu itu mahasiswa IAIN Y ogyakarta. Bapak Supardi hafal surat yasin dan hal itu mempermudah beliau dalam mempelajari Al-Qur an Braille. Dengan modal Al-Qur an Braille Bapak Supardi menggalang beberapa tokoh muslim di Y ogyakarta antara lain Bapak H. Muqodas, Bapak H. Moch Sholichin, Bapak Drs. H. M . Margono Puspo Suwarno, H.M Hadjid Busyairi, Bapak H. Haiban Hadjid, Bapak DR. Chumaidi, Bapak Dr. Ahmad Haidun Ruslan, Bapak Ghowi, Bapak H. Farid Ma ruf, Bapak Prof. Drs. Fathur Rahman, Bapak Drs. Fuadi Aziz, Bapak Machdum, Ibu Hj. Wajid H amidi, Ibu Hj. Yasin, dll untuk mendirikan Yayasan Muslim yang menyantuni penyan dang cacat dan akhirnya berdirilah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam pada ta nggal 1 Muharram 1383 H/ 13 Mei 1964 dengan ketua Bapak Supardi Abdu Shomad dan wakilnya Bapak H. Moch Sholichin, BA. Bapak Supardi AbduShomad juga memprakarsai berdirinya Pendidikan Guru Agama Luar Biasa Negeri Bagian Tunanetra di Yogyakar ta tahun 1967. Beliau pulalah yang menjadi Kepala Sekolah tersebut. Pada tahun 1 975 beliau sakit dan beliau wafat tahun 1979 di Krapyak lor Yogyakarta dan dimak amkan disana. Kegiatan pokok yayasan menyelenggarakan Pendidikan dan Penerbitan Al-Qur an Braille disamping SLB/A dan PGAP LB/A yang berubah menjadi MTs LB/A tahu n 1975. Disamping pendidikan formal, Yaketunis juga menyelenggarakan kursus Agam a Islam, Baca Tulis Arab dan Latin Braille serta Al-Qur an Braille. Tahun 1976 sam pai dengan 1979 Yaketunis menyelenggarakan Pondok Pesantern Ramadhan setiap bula n Ramadhan. Masing-masing angkatan dengan dua puluh peserta dan setelah selesai, masing-masing santri dibekali satu set Al-Qur an Braille.Penerbitan Al-Qur an pertama di Indonesia Tahun 1965, Yaketunis mulai menerbitkan Al-Qur an Braille mengg