Sejarah Pajak

25
PERPAJAKAN 1 “PENDAHULUAN” Oleh : Gek Putu Laksmi Paramithaswari (1215351199)

description

Perpajakan I

Transcript of Sejarah Pajak

PERPAJAKAN 1

PENDAHULUAN

Oleh :

Gek Putu Laksmi Paramithaswari

(1215351199)PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS UDAYANA

2013BAB 1

PENDAHULUAN

Sejarah Perpajakan

Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma cuma),tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat. Ketika itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanam lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Sementara itu, imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya memang hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah olah ada tekanan secara psikologis karena status sosial / kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.Namun dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah pada kepentingan rakyat itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Berkembangnya masyarakat hingga akhirnya membentuk suatu Negara dan dengan dilandasi unsur keadilan dalam pemungutan pajak melatarbelakangi dibuatnya suatu ketentuan berupa UU yang mengatur tentang cara pemungutan pajak, jenis jenis pajak yang dapat dipungut, pihak yang harus membayar pajak, serta besarnya pajak yang harus dibayar.

Sejak zaman Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak UU yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut :

1. Ordonasi Rumah Tangga (Stbl. 1908 No. 291)

2. Aturan Bea Metera (Stbl. 1921 No. 498)

3. Ordonasi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No. 291)

4. Ordonasi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932 No. 405)

5. Ordonasi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl. 1934 No. 718)

6. Ordonasi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 611)

7. Ordonasi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671)

8. Ordonasi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 No. 17)

9. UU Pajak Radio (UU No. 12 Tahun 1947)

10. UU Pajak Pembangunan (UU No. 14 Tahun 1947); dan

11. UU Pajak Peredaran (UU No. 12 Tahun 1952)

Kemudian, dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, maka diundangkan lagi beberapa UU, yaitu :

1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;

2. UU No.21 Tahun 1959 tentang Pajak Deviden yang diubah dengan UU No.10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti;

3. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;

4. UU No.74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; dan

5. UU No.8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd,PKK,dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO

Selain itu, dalam perkembangannya, beberapa UU ternyata tidak memenuhi rasa keadilan, lebih dari itu falsafah UU tersebut masih dibuat oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.

Menyadari kondisi tersebut, maka pada tahun 1983 pemerintah bersama- sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi UU Perpajakan yang ada dengan mencabut semua UU yang ada dan mengundangkan lima (5) paket UU Perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan system perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima UU tersebut adalah :

1. UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);

2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);

3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPh dan PPnBM);

4. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);dan

5. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM).

Empat dari lima UU tersebut pada tahun 1994 mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan UU, yaitu sebagai berikut :

1. UU No. 6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;

2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994; dan4. UU No. 12 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;

Selanjutnya pada tahun 1997, pemerintah kembali mengadakan perubahan atas UU Perpajakan yang ada dan membuat beberapa UU yang berkaitan dengan masalah perpajakan dalam rangka mendukung UU yang sudah ada, yaitu :

1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaiann Sengketa Pajak;

2. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

3. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

4. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan

5. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan dalam rangka memberikan rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak (WP), maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap UU Perpajakan yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini :

1. UU No. 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun 1994;

2. UU No. 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;

3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;

4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1997;5. UU No. 21Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 21 Tahun 1983 ;dan6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18 Tahun 1997

Perubahan UU PPh dan UU PPN dan PPnBM dilaterbelakangi dalam rangka mengamankan penerimaan Negara yang makin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, dan lebih memberikan keadilan, serta menciptkan kepastian hukum dan transparasi.

Dengan dilakukannya perubahan atas berbagai perangkat perundang undangan di bidang perpajakan menunjukkan bahwa pemerintah selalu memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders) dalam melanjutkan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak.

Pengertian Pajak, Retribusi, dan Sumbangan

a. Pengertian PajakUntuk mengetahui arti pajak, Santoso Brotodiharjo,S.H., dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang definisi pajak, beberapa diantaranya seperti dalam kutipan sebagai berikut :

1. Mr.Dr.N.J.Feldmann

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa, (menurut norma norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra prestasi, dan semata mata digunakan untuk menutup pengeluaran pengeluaran umum.

2. Dr. Soeparman Soemahamidjaja

Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma norma hokum, guna menutup biaya produksi barang barang dan jasa jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Ia mencantumkan istilah Iuran Wajib dengan harapan terpenuhinya cirri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan WP, sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah paksaan. Selanjunya ia berpendapat bahwa terlalu berlebihan bila khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsure paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan akan tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu :

1. Pembayaran pajak harus berdasarkan UU2. Sifatnya dapat dipaksakan3. Tidak ada kontra - prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak4. Pemungutan pajak dilakukan oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.

Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Negara yang hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis dan besarnya pajak yang dipungut.

Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.

Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan tidak ada maksud untuk mencari keuntungan, sedangkan swasta dalam melakukan kegiatan usahanya dikatakan selalu bersifat mencari keuntungan. Uang yang dikumpulkan dari pajak dan pengeluarannya dilakukan melalui mekanisme kontrol setiap tahun yang dikenal dengan nama ABN/APBD. Dari format APBN/APBD dapat diketahui untuk keperluan apa saja uang pajak digunakan.

b. Pengertian Retribusi

Pada prinsipnya pungutan dengan nama retribusi sama dengan pajak, yaitu empat unsur-unsur dalam pengertian pajak sama dengan retribusi, sedangkan imbalan (kontra-prestasi) dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah :

1. Pungutan retribusi harus berdasarkan UU

2. Sifat pungutannya dipaksakan

3. Pemungutannya dilakukan oleh Negara4. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum5. Kontra prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi

Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan. Karena kontra prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat paksaannya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis.

c. Pengertian Sumbangan

Dalam sumbangan pungutannya tidak berdasarkan UU, tetapi lebih bersifat pada gotong royong masyarakat setempat. Pada sumbangan, tidak ada sifat paksaan tetapi unsur sukarela, pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil sumbangannya, tetapi pemberi sumbangan juga dapat tidak merasakannya sama sekali jika pemberi sumbangan tersebut tidak pernah bertempat di suatu wilayah dimana jalan atau tempat ibadah yang dibangun merupakan hasil sumbangannya sebagian.

Peran dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan

1. Peran Pajak dalam Pembangunan

Hampir dalam setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah selalu didengungkan bahwa proyek yang dibangun dibiayai dari dana pajak yang telah dikumpulkan dari masyarakat. Untuk itu, dihaapkan masyarakat juga menjaga proyek yang ada untuk dapat dipakai bagi kepentingan bersama.

Lebih nyata lagi , ketika masyarakat menjalankan kehidupan sehari hari, sering kali tidak disadari bahwa sebenarnya mereka telah menikmati dan memanfaatkan sarana dan prasarana umum yang tersedia seperti sarana transportasi, komunikasi, pendidikan , kesehatan, keamanan, hukum dan sarana kegiatan sehari hari. Bahkan bila direnungkan secara dalam, sebenarnya manfaat pajak sudah kita rasakan terlebih dahulu sejak kita dalam kandungan.

Penyediaan sarana dan prasarana publik yang kita manfatkan hanya dapat tersedia karena peran pemerintah yang membutuhkan pengorbanan besar mengumpulkan dana guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara dapat menyediakan sarana dan prasarana untuk masyarakatnya hanya melalui sumber pembiayaan dari pajak.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibuat oleh pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu :

1. Penerimaan dari sektor pajak

2. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi)

3. Penerimaan dari sektor bukan pajak

Dari ketiga sumber penerimaan tersebut, penerimaan sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan member andil yang besar dalam penerimaan Negara.

2. Fungsi PajakDalam literatur pajak, terdapat dua fungsi yaitu, fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Namun fungsi pajak tersebut dikembangakan dan ditambah dua fungsi lagi, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi.

Fungsi Budgeter adalah fungsi yang bergerak di sektor publik yang berfungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak banyaknya sesuai dengan UU yang berlaku pada waktunya dan akan digunakan untuk membiayai pengeluaran pengeluaran negara.

Fungsi Regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Pada umumnya, fungsi ini dapat dilihat pada sektor swasta.

Fungsi Demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan sistem gotong-royong. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes terhadap pemerintah dengan mendapatkan pelayanan yang semestinya.

Fungsi Redistribusi ini lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyrakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil bagi masyarakat yang mempnyai penghasilan lebih sedikit (kecil).

Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional

a. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata

Sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah Direktorat Jenderal Pajak dengan masyarakat atau yang biasa disebut Wajib Pajak. Hubungan yang jelas tampak bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata.

Hubungan lain, misalnya mengenai pengertian dalam hukum pajak, banyak dipengaruhi oleh hukum perdata seperti pengertian WP yang dalam hukum perdata sering disebut subjek hukum walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada engertian WP.

b. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum public merupakan hubungan hukum yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah yang berkaitan dengan masalah tindak pidana. Ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab UU Hukum Pajak (KUHP) banyak digunakan dalam peraturan UU pajak. Apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP. Termasuk misalnya, dalam hal pembuktian tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan Pasal 184 KUHP.

Politik Hukum Perpajakan Indonesia

Politik hukum perpajakan yang dilakukan bangsa Indonesia berada pada dua ruang lingkup, yaitu pertama, legal policy yang meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi materi hukum di bidang perpajakan agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada mencakup penegasan fungsi lembaga dan pembinaan penegak hukum yang ada.

Ada dua aspek dari tujuan politik hukum, termasuk politik hukum perpajakan Indonesia, yaitu sebagai alat atau sarana dan langkah yang digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu system hukum nasional Indonesia.

Politik hukum perpajakan Indonesia tampak telah mengalami perubahan politik hukum yang sangat besar, terlihat dengan dimulainya reformasi perpajakan Indonesia pada tahun 1983. Sejak itu, hukum nasional di bidang perpajakan telah menunjukkan jati dirinya karena telah memiliki hukum sendiri dengan tidak lagi menggunakan perundang undangan peninggalan colonial Belanda.

Arah pembangunan politik hukum di bidang perpajakan tentu selain dimaksudkan untuk mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional, juga untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana, termasuk proses peradilan pajak yang cepat dan murah serta adanya pengawasan yang efektif dari masyarakat umumnya.

Politik hukum dengan cara mengubah pola berpikir dari WP dari system perpajakan tersebut, menjadi sasaran pokok sistem perpajakan yang dianut sejak reformasi perpajakan. Pengadilan pajak yang terbentuk sejak diundangkannya UU No. 14 tahun 2002 menunjukkan wujud keinginan politik hukum dalam menyelaraskan fungsi peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung bisa direalisasikan. Dengan kata lain, penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum terhadap proses penerapan UU yang ada boleh dikatakan sudah sesuai dengan fungsi yang sebenarnya.

Sejak reformasi perpajakan pertama, politik hukum perubahan UU Perpajakan yang terjadi paling sedikit telah melewati lebih dari lima tahun. Dari reformasi perpajakan pertama ke reformasi perpajakan kedua saja berlangsung setelah lebih dari 10 tahun, yatu dari tahun 1983 sampai tahun 1994. Selanjutnya, perjalanan menuju reformasi perubahan ketiga berlangsung 6 tahun berikutnya., yaitu sampai tahun 2000. Begitu juga dari reformasi perpajakan ketiga menuju refromasi perubahan UU keempat berlangsung dalam kurun waktu tujuh tahun. Artinya, perubahan perundang undangan perpajakan yang dilakukan lebih dari 5 (lima) tahun dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perubahan perekonomian dan era perdagangan bebas yang tidak bisa dihindari.

Dalam perjalanannya, politik hukum perpajakan yang terjadi sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik factor dunia usaha, maupun factor lembaga asing. Dunia usaha adalah factor dominan perjalanan politik hukum perpajakan Indonesia. Dunia usaha adalah lading dan mitra pajak, sebagai lading, tentu menginginkan kesuburan dan produktivitas yang tinggi, berkembang dan sehat.

Selain faktor dunia usaha yang memengaruhi kebijakan politik hukum penerapan ketentuan di bidang perpajakan, faktor lembaga asing atau negara asing juga cukup mempengaruhi politik hukum penerapan perpajakan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan reformasi UU perpajakan yang sedikit banyak mendapatkan saran dari lembaga IMF.

Politik hukum penegasan fungsi kelembagaan pada dasarnya mempunyai sasaran agar proses penerimaan pajak dapat tercapai. Politik hukum fungsi kelembagaan tersebut, tentu terkait erat dengan pembinaan pegawai dan penegakan hukum pajak. Pemberian reward dan punishment bagi pegawai harus berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Demikian pula dalam hal penegakan hukum, bagi WP harus mendapatkan perlakuan yang sama agar ketentuan perundang undangan yang sudah disepakati dapat berjalan dengan baik. Syarat Undang Undang Pajak Bagi Suatu Negara

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan).Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan undang-undang dan pelaksanaan pemungutan haruslah adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis).Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan).3. menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

4. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis).Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

5. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil).Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

6. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.Sisitem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.The Four Maxims Adam SmithMenurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.

Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.

Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Bab 2

Dasar Teori dan Yurisdiksi Pemungutan Pajak Dasar Teori Pemungutan Pajak

Teori Asuransi

Dapat diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat yang harus dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu sendiri, maka masyarakat harus membayar Premi kepada negara. Namun teori ini tidak tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak. Premi kurang tepat bila diartikan dalam pajak, Karena seharusnya sama dengan retribusi yang kontra-prestasinya dapat dirasakan secara langsung oleh pemberi premi. Sementara itu pengertian pajak tidak demikian. Premi yang diberikan kepada Negara tidak sama dengan premi yang diberikan kepada perusahaan dalam arti premi yang sesungguhnya.Teori Kepentingan

Dapat diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negaranya dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak, membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan, begitu pula sebaliknya.

Teori ini sebagai landasan teori untuk pemungutan pajak kurang tepat, sebab seharusnya kepentingan warga negara yang memiliki harta yang sedikit secara sosial kepentingannya lebih banyak dan seharusnya membayar pajak juga seharusnya lebih banyak. Namun hal yang demikian tentunya tidak mungkin, sehingga teori kepentingan sebagai landasan pemungutan pajak kurang tepat.

Teori Gaya Pikul

Teori ini berdasarkan asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Mr. A.J. Caren Stuart mengatakan bahwa yang harus dipenihi dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Gaya pikul untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi, karena merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang.

Menurut pendapat dari Sinninghe Damste bahwa gaya pikul ditentukan berdasarkan komponen, yaiitu penghasilan, kekayaan, dan susunan keluarga Wajib Pajak. Prof. De Langen menjelaskan bahwa kekuatan seseorang untuk membayar uang kepada negara adalah setelah dikurangi dengan minimum kehidupan. Teori ini ternyata diakui dan diikuti oleh para sarjana karena lebih menekankan pada unsur kemampuan seseorang dan rasa keadilan.

Teori Gaya Beli

Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak dilakukan kepada negara dimaksudkan untuk memilhara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga negara. Pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara lebih ditekankan pada fungsi regulerent dari pajak agar masyarakat tetap eksis. Menurut Prof. Adriani, teori gaya beli ini akan berlaku sepanjang masa baik terhadap masyarakat yang menganut sistem sosialisme (sosialistis) maupun masyarakat yang menganut sistem liberalism. Penulis lebih condong menyebut teori ini sebagai teori yang universal dan berlaku di seluruh dunia. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat akan tetap terjamin dengan pembayaran pajak berdasarkan teori ini.

Teori Bakti

Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi dari individu individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak. Melihat sejarah terbentuknya suatu negara, maka teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Teori bakti ini sering disebut juga sebagai teori kewajiban pajak mutlak.

Yurisdiksi Pemungutan Pajak

Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh.Asas Tempat Tinggal atau Asas Domisili

Merupakan Asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal di negara yang bersangkutan atas seluruh penghasilan dimana pun diperoleh tanpa memerhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau bukan. Negara yang menganut asas ini akan menentukan dalam UU-nya berapa lama orang tersebut bertempat tinggal di negara tersebut. Artinya, seseorang akan dianggap sebagai subjek pajak dari suatu negara apabila telah berdiam diri selama waktu yang ditentukan dalam UU pajak negara yang bersangkutan.

Asas Kebangsaan

Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu bangsa. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan. Amerika Serikat adalah contoh negara yang menganut Asas ini. Setiap orang yang memegang paspor Amerika akan dikenai pajak di Amerika sekalipun tidak tinggal di Amerika. UU PPh tidak menganut asas kebangsaan.Asas Sumber

Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu negara, maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada. Sebagai contoh, Apabila Mr. Alexander (warga negara Singapura dan bertempat tinggal di Singapura) memperoleh penghasilan berupa dividen dari perusahaan yang berada di Indonesia, maka atas penghasilan berupa dividen tersebut dikenakan pajak oleh negara Indonesia sebagai tempat sumber penghasilan berada. Pasal 26 UU PPh menegaskan bahwa atas penghasilan berupa dividen yang dibayarkan kepada WP luar negeri dipotong pajak sebesar 20% oleh pihak yang membayar. Dari contoh tersebut, jelas menunjukkan bahwa objek pajak berupa deviden, royalti, maupun hadiah yang diberikan kepada subjek pajak luar negeri yang diperoleh dari sumbernya di Indonesia, akan dikenakan pajak oleh Indonesia berdasarkan asas sumber.Stelsel Pemungutan Pajak

1. Riel Stelsel atau Stelsel NyataDimana pengenaan pajak didasarkan pada obyek ( misalnya penghasilan ) yang riel atau nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah obyek yang sesungguhnya diketahui. Kelebihan/kebaikan dari stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dipungut pada akhir periode ( setelah obyeknya diketahui ).

2.Fictieve Stelsel atau Stelsel AnggapanYaitu stelsel yang mendasarkan pemungutan pajak berdasarkan pada suatu anggapan ( fiksi ). Misalnya dalam kaitannya dengan Pajak Penghasilan, umumnya anggapan yang digunakan adalah penghasilan tahun sekarang ( tahun berjalan )

sama dengan penghasilan tahun yang lalu ( tahun sebelumnya ), sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan dari stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

3.Mix Stelsel atau Stelsel CampuranStelsel Campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Dalam penerapannya, stelsel campuran mula-mula pada awal tahun ditentukan jumlah pajak berdasarkan jumlah anggapan tertentu dan kemudian setelah tahun pajak berakhir diadakan koreksi sesuai dengan stelsel nyata. Kebaikan dari stelsel ini adalah bahwa pajak sudah dapat dipungut pada awal tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah fiskus menghitung kembali jumlah pajak setelah tahun pajak berakhir sehingga mengakibatkan beban pekerjaan fiskus bertambah drastic dan akibatnya seringkali tidak terselesaikan.Penggolongan Jenis Pajak

Dalam berbagai literatur llmu Keuangan Negara dan Pengantar llmu Hukum Pajak terdapat pembedaan atau penggolongan pajak (classes of taxes, kind of taxes) serta jenis-jenis pajak. Pembedaan atau penggolongan tersebut didasarkan pada suatu kriteria, seperti siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak yang bersangkutan.Penggolongan pajak diatur menurut sifat dan sistem pemungutannya, dan penggolongan-penggolongan tersebut semuanya dilakukan berdasarkan wajib pajak. Aturan mengenai perpajakan di Indonesia tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.Pengertian pajak sendiri adalah sistem iuran yang diwajibkan kepadamasyarakat suatu negara dan sudah diatur dalam undang-undang. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak pemerintah terkait bertujuan untuk membangun infrastruktur sebuah negara. Seperti,Rumah Sakit Umum Daerah, Jalan Raya, dan fasilitas umum lainnya yang berguna untuk masyarakat.Pada umumnya pajak digolongkan atas beberapa bagian seperti Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung, penggolongan pajak pusat dan pajak daerah, menurut golongan pajak, pajak subjektif dan objektif serta menurut pajak pribadi atau menurut pajak kebendaan.Menurut golongannya:1. Pajak langsung, pajak yang dikenakan pada wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain. Dalam arti ekonomis ialah pajak yang beban pembayarannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak bersangkutan dan tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Pajak angsung dalam arti administratif ialah pajak yang dipungut secara erkala. Contoh: pajak penghasilan (Pph)2. Pajak tidak langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau ilimpahkan kepada orang lain. Dalam pengertian ekonomis adalah ajak yang beban pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang lain, ang menanggung beban pajak pada akhirnya adalah konsumen.

Menurut sifatnya:1. Pajak Subjektif (pajak perseorangan); ialah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi pembayarnya (subyeknya). Status pembayar pajak akan mempengaruhi besar kecilnya pajak yang akan dibayarkan. Misal status bujangan atau perawan, status kawin, jumlah tanggungan keluarga dalam pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi,2. Pajak objektif. (pajak kebendaan); yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Dalam pemungutannya pertama-tama melihat obyeknya baik berupa benda, keadaan perbuatan dan peristiwa yang menyebabkan kewajiban membayar pajak. Besar kecilnya pajak tidak dipengaruhi oleh keadaan subyeknya, setelah ketemu obyeknya baru dicari subyeknya (orang atau badan yang bersangkutan), contoh: PPN, PKB dan PBB.

Menurut lembaganya pemungutnya:1. Pajak Pusat (Pajak Negara); adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh departemen keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya. Contoh: Pajak penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. Pajak yang dipungut pemerintah pusat, adalah oleh Dirjen Pajak, yakni:PPh: Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan pada tingkat keberhasilan tertentuPPN (Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa) dan Ph.Bm. (pajak penjualan atas barang mewah). Keduanya merupakan satu kesatuan sebagai pajak yang dipungut atas konsumsi dalam negeri oleh karena itu terhadap penyerahan atau import barang mewah selain dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenakan pajak penjualan atas barang mewahPBB adalah pajak atas harta tidak bergerak yang terdiri dari tanah dan bangunan (property tax)Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumenBea Lelang adalah pajak yang dikenakan atas barang yang penjualannya dengan cara penjualan lelang.Dirjen Bea Cukai, yaitu:Bea Masuk: bea atas barang masuk ke dalam kawasan pabeanPajak Eksport (bea keluar)Pajak Pertambahan Nilai (import): khusus untuk barang yang dibeli dari luar negeriDirjen Moneter, yaitu:Pajak atas minyak bumi sbg penghasilan produkPajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemda berdasarkan perda masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tanggadaerah masing-masing2. Pajak Daerah, terdiri atas: Pajak Propinsi, Pajak Kenderaan Bermotor dan Kenderaan di atas Air, Pajak Bahan Bakar Kenderaan Bermotor, Pajak Kabupaten/Kota, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan, ajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan. Pajak yang dipungut pemerintah daerah, adalah oleh:Pemda Propinsi, yakni:PKBPajak Bea Balik Nama KBPajak bea balik nama tanah (pulasi)pajak ijin menangkap ikan di wilayahnyaPemda Kabupate/Kota, yaitu:pajak pertunjukan dan keramaian umumpajak reklamePajak anjingPajak kendaraan tidak bermotorPajak pembangunanPajak radioPajak jalanPajak bangsa asingPajak potong hewan dllPemungutan lain bagi daerah, antara lain: bea jalan/jembatan, bea pangkalan, bea penambangan, bea sepadan/izin bangunan, bea penguburan, bea atas pengujian kendaraan bermotor, retribusi jembatan timbang, retribusi bus, taksi dll, retribusi tempat rekreasi, retribusi pasar, retribusi pesanggrahan, retribusi pelelangan ikan. Sedangkan Pajak yang dipungut atas barang tentang bea cukai daerah adalah bea rokok dan bea beras.

Sistem Pemungutan PajakPada dasarnya terdapat 3 ( tiga ) cara / system yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh seseorang, yaitu :

1. Official Assesment SystemOfficial Assesment System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif.

2. Self Assesment SystemSelf Assesment System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ), sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.

3. With Holding SystemWith Holding System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).

PERPAJAKAN 1

Dasar Teori dan Yurisdiksi Pemungutan Pajak

Oleh :

Gek Putu Laksmi Paramithaswari

(1215351199)PROGRAM EKSTENSI

FAKULTAS EKONOMIUNIVERSITAS UDAYANA

2013