Sejarah Moneter Periode 1953 1959

download Sejarah Moneter Periode 1953 1959

of 19

Transcript of Sejarah Moneter Periode 1953 1959

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    1/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    1

    SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER

    Periode 1953-1959 

    Cakupan :

    Halaman

    1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1953-1959

    2

    2. Pengerahan Dana Masyarakat 1953-1959 4

    3. Sistem Kebijakan Devisa Tahun 1953-1959 10

    4. Arah kebijakan 1953-1959 16

    5. Langkah-langkah strategis 1953-1959 17

    6. Kebijakan Nilai Tukar 1953-1959 18

    7. Kebijakan Utang Luar Negeri 1953-1959 19

     

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    2/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    2

    1.  Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode1953 - 1959

    Setelah kembali menjadi NegaraKesatuan Republik Indonesia

    (NKRI) pada tanggal 17 Agustus

    1950, Indonesia langsungdihadapkan oleh beberapa

    masalah penting, termasuk

    masalah ekonomi. Perangkemerdekaan telah mewariskanburuknya kondisi ekonomi yang

    segera menjadi beban yang harus

    dipikul oleh republik muda ini.Jatuhnya nilai rupiah dan

    merosotnya kegiatan ekspor telah

    meningkatkan laju inflasi dankrisis devisa yang terus berlanjut, bahkan semakin memuncak pada tahun 1954.Sementara itu, pengeluaran pemerintah untuk kegiatan non pembangunan cukup

    besar. Hal ini berkaitan dengan usaha mengatasi ketegangan antara pusat dan

    daerah, gerakan separatis DI/TII, serta perseteruan dengan Belanda untuk merebutIrian Barat. Posisi devisa mulai memburuk sejak pertengahan tahun 1951. Posisitersebut terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada bulan April-Mei 1954. Untuk

    memperbaiki posisi cadangan devisa, pemerintah menempuh beberapa kebijakanyang terfokus pada penggalakan kegiatan ekspor dengan memberikan kemudahankepada beberapa eksportir. Pemerintah juga melakukan pembatasan impor secara

    kuantitatif pada pertengahan tahun 1954 dan tahun-tahun berikutnya. Pembatasan

    impor ini dilaksanakan, antara lain, dengan cara mempertinggi pungutan-pungutantambahan atas impor. Upaya tersebut berhasil meningkatkan posisi cadangan devisadari Rp 1,549 miliar pada kurun waktu April-Mei 1954 menjadi Rp 2,731 miliar pada

    akhir Maret 1955. Peningkatan tersebut juga ditunjang dengan adanya impor-impor

    tertentu yang dibiayai dengan kredit luar negeri.

    Pada kurun waktu 1957-1958, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yangsemakin berat. Laju inflasi terus meningkat dan terus memperbesar tekananterhadap posisi cadangan devisa. Secara eksternal, hal tersebut disebabkan oleh

    resesi di negara-negara industri yang mengakibatkan turunnya permintaan hargabahan mentah sehingga pendapatan hasil ekspor merosot. Secara internal, kondisiekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan politik dalam negeri yang

    memuncak pada kurun waktu 1957-1958 serta keterlibatan Indonesia dalam

    konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat. Oleh karenapermasalahan tersebut, agar pemerintahan dapat terus berjalan, Bank Indonesia(BI) terus melakukan pembiayaan deficit spending pemerintah yang terus

    meningkat.

    Pada akhir tahun 1958, beberapa negara di Eropa Barat, yang dipelopori olehInggris, Jerman Barat, dan Perancis, mengambil keputusan bahwa mata uangmereka convertible terhadap dollar Amerika. Keputusan itu dibarengi dengan

    pembubaran European Payments Union (EPU). Perkembangan tersebut menimbulkan

    dampak negatif bagi Indonesia yang sebelumnya secara tidak langsung ikut serta

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    3/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    3

    dalam Inter European Convertibility -bagian dari sistem EPU. Sejak saat itu,Indonesia masuk di pasar valuta asing Eropa Barat secara langsung.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    4/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    4

    2. Pengerahan Dana Masyarakat 1953-1959

    Setelah periode perang kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia yangmemprihatinkan menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia pada periode 1950-an.Pada periode itu, dunia perbankan telah mengelola beberapa dana masyarakat

    dalam bentuk giro, deposito berjangka dan tabungan. Geliat pengerahan danamasyarakat pada periode ini mulai terlihat dalam bentuk transaksi saham atauobligasi pada pasar modal atau bursa efek. Pada periode 1953–1959, secara umum

    pengerahan dana masyarakat menunjukkan tren meningkat. Peningkatan tersebut

    disebabkan oleh meningkatnya pendapatan sebagian masyarakat yang jugadidukung dengan bertambah luasnya jaringan perbankan. Meskipun terjadipeningkatan, jumlah pengerahan dana masyarakat pada periode ini, secara

    kuantitatif belum cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitufaktor kebiasaan masyarakat yang lebih gemar menanamkan dananya pada suatuaset tertentu dan faktor belum adanya kampanye yang dilakukan oleh pemerintah

    untuk menggalakkan tabungan. Untuk situasi pasar modal, pada periode ini relatif

    masih sangat sepi, meski ada beberapa transaksi yang dilakukan.

    Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah

     penduduk yang besar, serta dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia

    membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan. Namun,keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, menyebabkan pengerahan danamasyarakat menjadi sangat penting bagi terlaksananya pembangunan.

    Pada artikel ini akan dijelaskan mengenai definisi dana masyarakat dan kondisinya

     pada periode 1953-1959. 

    Indonesia dengan luas wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke,

    dengan populasi jumlah penduduk yang sangat besar, serta kekayaan alamnya yangmelimpah, memerlukan dana yang cukup besar untuk membangunperekonomiannya, agar Indonesia sebagai negara dapat tumbuh dan maju sejalan

    dengan perkembangan negara lainnya. Namun, keterbatasan dana yang dimilikipemerintah, tidaklah cukup untuk membiayai usaha pembangunan di Indonesia.Oleh karena itu, diperlukan pengerahan dana masyarakat dan tabungan pemerintah.

    Dana masyarakat diperoleh melalui simpanan pada lembaga keuangan yang berupa.

    1.  Giro, simpanan masyarakat pada bank yang penarikannya dapat dilakukan

    setiap saat, baik dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran,

    atau dengan cara pemindahbukuan.

    2. 

    Tabungan, simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanyadilakukan berdasarkan atas syarat-syarat tertentu.

    3.  Deposito, simpanan dari pihak ketiga pada bank yang penarikannya dilakukandalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian.

    Dana lainnya juga dapat berupa dana yang ditarik oleh perbankan melaluipengeluaran surat-surat berharga dan setoran jaminan.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    5/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    5

    Tabungan pemerintah adalah penerimaan rutin yang berasal dari pajak, yangmerupakan surplus anggaran rutin. Besarnya bergantung pada besarnya

    pengeluaran rutin dan kebijakan fiskal. Tabungan pemerintah ini dipergunakan untukmembiayai investasi-investasi pemerintah.

    Pasar uang merupakan suatu tempat perdagangan dana-dana jangka pendek berupa

    surat berharga yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun dan dikelompokkandalam.

    1.  Pasar kertas-kertas perbendaharaan negara

    2.  Pasar diskonto: wesel, promes, aksep, sertifikat deposito dengan transaksiatas dasar diskonto

    3.  Pasar call money: transaksi pinjaman sewaktu-waktu dapat ditagih danberjangka waktu kurang dari 7 hari

    4.  Prolongasi: pinjaman kurang dari 1 bulan dengan jaminan efek atau surat

    berharga5.  Pasar modal adalah suatu tempat penawaran dan permintaan dana jangka

    panjang, atau tempat saham dan obligasi diperjualbelikan. Di Indonesia,

    pasar modal dikenal sebagai "bursa efek". Kegiatan bursa efek dapatdibedakan dalam dua golongan, yaitu pasar primer dan pasar sekunder.

    Dilihat dari jenis surat berharga yang diperjualbelikan, pasar dapat dibedakan dalampasar obligasi dan pasar saham. Pasar obligasi memperjualbelikan surat-surat utang,

    baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun badan-badan hukum dengan jangkawaktu lebih dari 1 tahun. Adapun pasar saham memperdagangkan surat-surat buktipenyertaan modal dalam suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

    Pengerahan dana masyarakat periode tahun 1953-1959 ini merupakan babak awal

    Indonesia membangun perekonomiannya melalui pengerahan dana masyarakat dan

    tabungan pemerintah sebagai modal untuk membiayai pembangunan. PerekonomianIndonesia pada awal periode ini begitu memprihatinkan. Namun, pendapatan

    sebagian masyarakat meningkat dari tahun ke tahun meskipun pada tahun 1954mengalami sedikit penurunan.

    Peningkatan dana masyarakat di sektor perbankan berupa simpanan giro, tabungan,

    dan deposito, pada tahun 1953 berjumlah Rp2.637 juta dan pada tahun 1959berjumlah Rp7.695 juta, atau mengalami peningkatan rata-rata 31,97% per tahun.

    Latar belakang peningkatan tersebut adalah bertambah luasnya jaringan dan jangkauan bank-bank.

    Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa pada tahun 1959 simpanan dana

    masyarakat adalah sebesar Rp7.695 juta, turun 18,93% dari tahun 1958 (Rp 9.401 juta). Penurunan ini diakibatkan oleh adanya Peraturan Pemerintah Pengganti

    Undang-Undang (Perpu) No. 2 dan No. 3 Tahun 1959, yang membekukan sementarasaldo rekening koran dan deposito berjangka dari bank pemerintah dan bank swasta,serta adanya penurunan nilai uang rupiah. Jumlah dana simpanan tabungan dandeposito yang berhasil dihimpun oleh bank-bank pada periode ini sangat kecil.

    Penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai menanamkan

    dananya pada aset bergerak maupun yang tidak bergerak. Selain itu, kampanyeuntuk menggalakkan tabungan masyarakat belum dapat dilakukan secara efektif.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    6/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    6

    Anggaran pemerintah pada periode 1953-1959 selalu menunjukkan angka yangdefisit. Defisit anggaran ini (ditandai warna merah tua pada grafik di samping)

    membuat pemerintah tidak dapat membiayai investasi yang tidak bersifat inflatoir.

    Sebagai upaya menutup kekurangan kas, pemerintah menggunakan pinjaman dari

    bank sentral yang bersifat inflatoir, dengan catatan :

    1.  Tidak ada tambahan utang pada tahun 1955, karena adanya peraturan baru

    tentang bea impor2.  Utang pemerintah kepada Bank Indonesia tahun 1959 lebih kecil daripada

    tahun sebelumnya, karena adanya perolehan penghasilan dari penurunan nilaiuang kertas bank Rp1.000 dan Rp500 menjadi Rp100 dan Rp 50 sebagaidampak dari kebijakan pemerintah pada waktu itu

    Deficit spending  yang dibiayai dengan pinjaman dari bank sentral telahmengakibatkan terjadinya tingkat inflasi yang cukup tinggi. Bila dilihat dari tingkat

    harga 19 bahan makanan di Jakarta (indeks 1953 = 100) tampak tingkat inflasisebagai berikut :

    Tabel 1Tingkat Inflasi Periode 1953-1959 (dalam persen)

    Tahun Tingkat Inflasi (%)

    1954 6

    1955 33

    1956 14

    1957 10

    1958 46

    1959 21

    Sementara itu, kegiatan perdagangan efek di Indonesia telah dimulai sejak sebelum

    kemerdekaan, bertempat di Jakarta (1912), Surabaya (Januari 1925) dan Semarang(Agustus 1925).

    Pada 10 Mei 1940, bersamaan dengan penyerbuan tentara Jerman ke Belanda, bursa

    efek di Jakarta, Surabaya dan Semarang ditutup. Penutupan bursa tersebut cukupmeresahkan para pedagang efek. Maka, pada 23 Desember 1940 bursa efek diJakarta dibuka kembali. Namun, pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942menyebabkan bursa efek di Jakarta, Semarang maupun Surabaya ditutup kembali

    selama kurang lebih 3 ½ tahun.

    Kondisi keamanan setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, masih belum

    stabil dan baru dua tahun kemudian Indonesia mulai memikirkan kembali kegiatan

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    7/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    7

    bursa efeknya. Pada 3 Juni 1952, bursa efek di Jakarta secara resmi dibuka kembalidengan memperdagangkan:

    1.  Saham-saham dari perusahaan atau perkebunan Belanda 2.  Sertifikat saham perusahaan Amerika yang dikeluarkan oleh kantor

    administrasi di Belanda

    Pada awal tahun 1953, perusahaan bursa di Indonesia masih belum berkembang,

    karena masyarakat pada umumnya belum mengetahui keuntungan yang dapatdiperoleh dari kegiatan bursa. Sebagian besar masyarakat masih memilih menabungdengan membeli barang bergerak maupun tidak bergerak.

    Pada masa ini, bursa efek di Jakarta memperjualbelikan obligasi 3% RI 1950 kurang

    lebih sebesar Rp236 juta nominal. Sementara itu perputaran efek yang paling utama

    dalam pasar saham adalah saham Escompto Bank N.V., sebanyak kurang lebih Rp4 juta.

    Bank Industri Negara mengeluarkan tranche pertama pada 1 Mei 1954, sebanyak

    Rp50 juta. Sedangkan tranche kedua dengan jumlah yang sama, dikeluarkan pada 1Desember 1954. Kedua tranche ini hanya disediakan bagi pemegang simpananrupiah yang dibekukan, yang bukan penduduk Indonesia.

    Pengeluaran obligasi BIN ini sukses, karena

    1.  Dapat diperdagangkan di bursa Jakarta maupun Amsterdam. 2.  Pemegang obligasi ini diberikan ijin umum oleh Lembaga Alat-Alat

    Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mentransfer bunga danpelunasannya ke luar negeri, sehingga mereka memperoleh kepastian untukdapat memindahkan miliknya dalam rupiah ke valuta lain sebagai upayapelunasan pinjamannya.

    Emisi-emisi biasa, baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta, dalam tahun

    1954 tak terjadi, kecuali emisi saham N.V. Grand  Hotel Preanger sebesar Rp80.000.

    Hasil perdagangan efek di bursa Jakarta pada tahun 1954 mencapai nilai nominalRp200 juta, sebagian besar berasal dari obligasi 3% RI tahun 1950. Sementara itu,hasil perdagangan saham masih tetap kecil.

    Selama tahun 1955 hingga 1956, tidak terdapat pengeluaran saham baik berasal

    dari pihak pemerintah maupun swasta. Kesulitan untuk memperoleh saham di bursa,

    memberi peluang bagi lembaga-lembaga penanaman modal untuk meminjamkankredit jangka panjangnya secara di bawah tangan. Akibatnya, permintaan obligasiberkurang dan memberi dampak pada turunnya penjualan.

    Memasuki tahun 1956, perkembangan bursa efek di Indonesia belum menunjukkan

    perkembangan yang berarti, tetapi Bank Industri Negara tetap menerbitkan obligasi

    3% sebesar Rp 100 juta yang hanya dapat dimiliki masyarakat yang bukanpenduduk Indonesia.

    Sebagai akibat dari pembatalan persetujuan Konferensi Meja Bundar, sesuai denganUU No. 13 tanggal 15 Februari 1956, Indonesia menyatakan tidak akan membayar

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    8/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    8

    kembali pinjaman-pinjaman obligasi Belanda dan pinjaman Kotapraja dari masasebelum perang.

    Mengingat bahwa pinjaman tersebut mendapat jaminan dari Kerajaan Belanda, makapelunasan dan pembayaran bunganya dilakukan dengan mata uang Belanda. Hal ini

     juga berlaku bagi surat-surat obligasi yang masih berada di Indonesia, kecuali surat-

    surat yang sejak tanggal 3 Desember 1956 telah menjadi milik Republik Indonesiaatau salah satu dari badan-badannya.

    Sejak bulan Februari 1955, pemasukan efek ke Indonesia dikenakan bea impor

    (yang disebut TPI efek) sebesar 33 1/3%. Pada akhir bulan Maret 1957, pendapatanTPI efek, yang telah dikumpulkan semenjak tahun 1955, adalah sebesar Rp 40 juta.

    Hal ini menunjukkan bahwa pada periode Februari 1955 hingga April 1957, telahdiimpor efek-efek yang mempunyai nilai riil kurang lebih sebesar Rp 120 juta. Bagianterbesar dari efek tersebut terdiri dari obligasi 3% Bank Industri Negara.

    Sejak tahun 1957, masyarakat Indonesia telah mulai menggunakan jasa bursa efekuntuk memperoleh modal jangka panjang. Hal ini dimungkinkan karena BIN telah

    menempatkan dua dari empat tranche-nya masing-masing sebesar Rp25 juta,berupa pinjaman obligasi 5 1/2% yang jatuh tempo pada tahun 1972 dan terbukauntuk umum.

    Di luar bursa masih saja dijual obligasi-obligasi yang menawarkan bunga yang tinggiantara 12%-18%. Kadang-kadang dengan syarat tambahan bahwa di samping

    bunga tetap, pemegang obligasi berhak atas hak pembagian deviden dari labaperusahaan.

    Sebaliknya, kurs saham secara umum menurun dan keadaan bursa efek tidak

    seramai tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena memanasnyapermasalahan Irian Barat yang mengakibatkan likuidasi serentak dari depot-depot

    efek para warga negara Belanda yang pulang ke negerinya dan putusnya lalu lintasefek antara Indonesia dan Belanda.

    Sepinya bursa efek juga disebabkan oleh perubahan struktur perekonomian negara

    menjadi struktur yang bersifat nasional, sehingga jumlah perusahaan yang tercatatdalam bursa efek menurun karena harus mengadakan orientasi baru.

    Pada bulan Januari 1959, Bank Industri Negara mengeluarkan tranche yang keempatyaitu obligasi 5 1/2 % yang jatuh tempo pada tahun 1974 sebesar Rp 250 juta.

    Namun hingga tahun 1960, pinjaman ini baru dapat dialokasikan sebesar Rp106

     juta. Keistimewaan pinjaman ini tidak mewajibkan pembeli obligasi untukmenyimpan obligasinya pada salah satu bank penyimpan efek, serta meniadakanpenyelidikan oleh jawatan pajak asal mulanya uang yang digunakan sebagai

    penyertaan pertama dalam setiap pinjaman dan untuk pembelian obligasi.

    Memasuki tahun 1959, keadaan bursa efek di Jakarta tidak banyak menunjukkan

    perubahan. Makin berkurangnya investasi di bursa masih diakibatkan olehnasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, selain kebiasaan masyarakatyang masih memilih cara lama untuk menempatkan modalnya dan kebiasaan dunia

    perusahaan dalam memilih cara penarikan modal untuk perusahaannya, masihmelalui pinjaman kredit jangka panjang dibawah tangan kepada lembagapenanaman modal.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    9/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    9

    Sebagai upaya meningkatkan tambahan pada bahan investasi di bursa, pada tanggal25 Agustus 1959, pemerintah melakukan tindakan moneter berupa pinjaman

    konsolidasi dengan bunga sebesar 3½% pertahun. Namun hingga tahun 1960

    pengeluaran pinjamannya masih dalam taraf penyelesaian perhitungan keuangan,sedangkan pengeluaran obligasinya dan pendaftaran dalam buku besar pengakuanhutang masih dalam taraf persiapan. Akibat tindakan moneter tersebut, emisi

    obligasi 6% berhadiah tahun 1959 dari pemerintah yang direncanakan terbit padabulan Oktober 1959 ditunda. Realisasinya baru dapat diwujudkan pada awal bulanFebruari 1960. Harapan pemerintah dengan adanya pengeluaran kedua obligasi iniadalah perdagangan bursa efek di Indonesia dapat lebih maju dan berkembang.

    Periode 1953-1959 diwarnai oleh pembiayaan defisit anggaran pemerintah dengan

    uang muka dari Bank Indonesia. Sementara pengerahan dana masyarakat belumbegitu berarti.

    Periode 1953-1959 diwarnai oleh kontradiksi pengerahan dana dari sisi masyarakatdan pemerintah. Ketika pengerahan dana oleh masyarakat meningkat, pemerintah

     justru mengalami defisit anggaran. Sementara itu, kegiatan di lantai bursa belum

    menggairahkan akibat masih minimnya sosialisasi keuntungan bertransaksi di pasarmodal kepada masyarakat

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    10/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    10

    3. Sistem Kebijakan Devisa Tahun 1953-1959

    Pada periode demokrasi parlementer pemerintah menganut "sistem devisaterkontrol" yang berdasarkan deviezen ordonnantie 1940 dan deviezenverordening1940. Kedua undang-undang devisa tersebut pada intinya telah

    menetapkan cara dan sistem untuk menguasai seluruh penghasilan devisa baik darimasyarakat maupun negara. Nederlandsch Indisch Deviezen Institut (NIDI) yangkemudian menjadi Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) merupakan

    badan pemerintah yang berwenang dalam mengatur sistem penyelenggaraan devisa

    pada saat itu. Selama periode tersebut, pemerintah telah mengambil beberapakebijakan di bidang devisa dengan tujuan sedapat mungkin menghemat penggunaandevisa yang semakin berkurang. Kebijakan tersebut ditempuh melalui berbagai

    produk aturan yang berkaitan dengan transaksi pembayaran luar negeri terutamadalam sektor ekspor dan impor.

    Dalam Undang-Undang No.11 tahun 1953 pasal 13 ayat 9, dinyatakan bahwa salahsatu pekerjaan Bank Indonesia adalah “mengurus dan menyelenggarakanadministrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia.” Alat-alat tersebut dikenal dengan nama devisa.

    Pada artikel ini akan dibahas mengenai kebijakan devisa yang diambil pemerintah ditengah-tengah kondisi dalam negeri yang tidak mendukung. Dimulai dengan

    pembentukan LAAPLN hingga dikeluarkannya “Sumitro Reform” pada bulanSeptember 1955.

    Dalam pasal 13 ayat 9 UU Pokok Bank Sentral No. 11 Tahun 1953, ditetapkan bahwa

    salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengurus dan menyelenggarakanadministrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia yangdikenal dengan nama devisa.

    Devisa dapat berupa antara lain valuta asing yang dimiliki oleh sebuah negara

    sebagai alat pembayaran internasional yang catatan kursnya tersedia di BankSentral.

    Pada periode ini pemerintah menganut sistem devisa berdasarkan "DeviezenOrdonantie 1940 dan Deviezen Verordening 1940". Berdasarkan ketentuan tersebutpemerintah menganut sistem devisa terkontrol yang pada hakekatnya menetapkanpenguasaan seluruh devisa masyarakat oleh pemerintah.

    Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem tersebut dikenal dengan istilah

    "Rezim Devisa Terkontrol". Dalam sistem ini segala perijinan dan lalu lintas devisadiatur oleh Nederlandsch Indisch Deviezen Instituut (NIDI) dengan sistem danprosedur yang rumit. Kemudian, lembaga ini diganti menjadi Deviezen Instituut Voor

    Indonesie (DIVI) dan dipimpin oleh sebuah dewan yang diketuai oleh DirekturPerekonomian.

    Pada tahun 1949, DIVI diganti lagi menjadi Lembaga Alat Alat Pembayaran LuarNegeri (LAAPLN). Sebelum 1 Juli 1953, LAAPLN berada dibawah De Javasche Bank,tetapi setelah 1 Juli 1953 dibawah Bank Indonesia.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    11/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    11

    Berkaitan dengan hal tersebut, semua valuta asing yang diperoleh dari hasil eksporharus diserahkan kepada badan yang ditunjuk pemerintah saat itu bernama dana

    devisa dan berada di bawah pimpinan De Javasche Bank.

    Pada awal berdirinya Bank Indonesia 1 Juli 1953, Indonesia masih menerapkan

    kebijakan devisa dengan sistem terkontrol. Dalam sitem ini devisa hanya boleh

    dikuasai dan diawasi oleh negara. Kebijakan devisa merupakan salah satu komponenkebijakan penting dalam pembangunan negara.

    Sementara itu keadaan ini dalam negeri pada saat itu sangat tidak mendukung

    untuk meningkatkan perolehan devisa. Bahkan cadangan devisa Indonesia makinberkurang. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh:

    1.  Jatuh bangunnya Sistem Pemerintahan Parlementer.

    2.  Produktivitas ekonomi yang rendah.3.  Pemogokan besar-besaran di sentra perkebunan.

    4.  Penyelundupan karet yang merajalela.5.  Inflasi diakibatkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah.

    6. 

    Impor makin meningkat.

    Keadaan ini menyebabkan penerimaan devisa hanya bertumpu kepada volume

    ekspor, pajak ekspor, dan bea masuk Impor. Padahal volume ekspor sangat

    ditentukan oleh biaya produksi yang meningkat. Di samping itu, produksi dankualitas komoditi ekspor Indonesia pada saat itu masih kurang menggembirakan.

    Pada tahun 1953, upaya merangsang ekspor dilanjutkan dengan memberlakukansystem inducement. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan rangsangan kepada

    eksportir hasil-hasil rakyat berupa premi sebesar 6%-10% dalam bentuk hak/bukti

    (inducement). Bukti (inducement) ini merupakan hak membeli atas sejumlah devisayang dapat diperdagangkan.

    Sebaliknya, jumlah impor dibatasi dengan cara memberlakukan biaya TambahanPembayaran Impor (TPI) untuk barang-barang impor. Besarnya TPI berkisar antara

    33 1/3% sampai dengan 200%. Pada bulan April 1953, penghematan devisa

    semakin ditingkatkan dengan cara menaikkan uang muka impor dari 40% menjadi75%, kecuali uang muka impor untuk bahan baku dan barang-barang modal sebesar50%. Bulan September 1953, Indonesia melakukan perubahan hubungan dagang

    dengan Hongkong, yang dikenal kemudian dengan "Barter Hongkong". Eksportirdiperkenankan mengimpor barang dari Hongkong maksimum sama dengan nilaiekspornya. Selain itu Kementerian Perekonomian memberi ijin kepada eksportir

    untuk mengadakan "Transaksi Paralel Istimewa" yng memungkinkan eksportir dapatmencantumkan harga dibawah harga pasar dunia dalam transaksi luar negeri.

    Memasuki tahun 1954, tindakan penghematan devisa makin ditingkatkan. BulanJanuari 1954, pemerintah melakukan pembatasan jumlah dana yang boleh ditransferpekerja asing hanya sebesar 20% dari penghasilannya. Selain itu, laba perusahaan

    asing yang boleh ditransfer maksimum 60%, sedangkan sisanya yang 40%

    disetorkan, ke dalam rekening yang dibekukan di Bank Indonesia. Untuk transferpenyusutan, tidak disediakan devisa.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    12/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    12

    Dana dan laba yang ditransfer tersebut dikenakan bea sebesar 66 2/3%. Disampingitu bagi pihak yang mengimpor surat berharga atau efek dikenakan Bea sebesar 33

    1/3% .

    Di lain pihak, selain melakukantindakan penghematan devisa, pemerintah juga

    meningkatkan usaha untuk memperoleh devisa. Pada Bulan November 1954,

    eksportir wajib menyerahkan uang jaminan sebesar 15% dari nilai kontrakvalutanya, dengan maksud agar eksportir tersebut akan menjual devisanya kepadanegara.

    Usaha penghematan devisa pun terus berlangsung. Bulan Juli 1955 berlakuketentuan bukti impor sementara yaitu sertifikat yang harus dimiliki importir untukmemperoleh ijin mendapatkan devisa.

    Untuk meningkatkan penerimaan Negara sertifikat dimaksud dijual kepada importirdengan harga berkisar 25% sampai 100% dari harga barang yang akan diimpor.

    Pada bulan September 1955 diterbitkan Kebijakan dalam Bidang Impor yang dikenal

    dengan : "SUMITRO REFORM" yang bertujuan menyederhanakan, danmenghapuskan beberapa Ketentuan Impor yang berbelit-belit dan saling tumpangtindih.

    Pada ketentuan baru, Importir yang akan mendapat lisensi impor dikenakan Bea

    Tambahan Pembayaran Impor 50%-400% dari nilai impor sebagai uang muka.Dengan rincian :

    Golongan I = 50%Golongan II = 100%Golongan III = 200%

    Golongan IV = 400%

    Beberapa ketentuan yang dihapus, yaitu ketentuan tentang Bukti Impor Sementara,

    Bukti Impor Tekstil, dan Transaksi Paralel Istimewa. Masih dalam bulan yang sama,

    pemerintah menerbitkan kebijakan bidang import yang terkait dengan PenanamanModal Asing (PMA) dan Pinjaman Luar Negeri. Hal ini memang tidak berhubunganlangsung dengan pemasukan devisa, tetapi menjadi sarana yang efektif dalam

    rangka penghematan devisa.

    Di lain pihak masih dalam koridor untuk meningkatkan penerimaan devisa denganmenumbuh kembangkan kemampuan eksportir komoditi Teh dan tembakau.

    Pada bulan Oktober 1955 diberlakukan ketentuan pemberian premi ekspor sebesar5%-10% dari harga ekspor komoditi lemah disamping dibebaskan dari pajak ekspor.Sedangkan ekspor komoditi kuat tetap dikenakan pajak ekspor, seperti kopra,minyak sawit, tembakau, gula dan karet.

    Masih dalam rangka mendorong ekspor, pada bulan Maret 1956 pemerintahmenaikan premi ekspor seperti komoditi Serat preminya sebesar 25%, untuk

    komoditi kapuk preminya sebesar 15%. Dan berlaku ketentuan ekspor tembakauberdasarkan konsinyasi.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    13/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    13

    Tahun yang sama bulan Agustus, kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnyadisempurnakan dengan tujuan untuk menggalakkan ekspor dan diberlakukan

    ketentuan Bukti Pendorong Ekspor (BPE), dengan rincian sebagai berikut:

    1.  BPE berupa sertifikat

    2.  Sertifikat dapat diperjual belikan dengan harga pasar

    3. 

    Eksportir memperoleh Premi bervariasi 2% ~ 20% dari F.O.B4.  Nilai Nominal Sertifikat dinyatakan dalam mata uang negara Ekpor

    5.  Jangka waktu sertifikat 4 bulan dan bulan ke 5 dapat diuangkan melalui Dana

    Devisa. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Eksportir yang mengeksporGula,Timah serta Minyak dan hasil olahan Minyak yang lain.

    Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorongkenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikan

    penggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi

    sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkangolongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%.Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberi

    perkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.

    Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorong

    kenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikanpenggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi

    sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkangolongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%.

    Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberiperkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.

    Pada tanggal 20 Juni 1957 Dewan Moneter mengeluarkan keputusan No.30 tentang

    pemberian sertifikat Bukti Ekspor kepada eksportir dengan ketentuan sebagaiberikut:

    1.  Sertifikat berlaku selama dua bulan dan dapat diperdagangkan melalui bankdalam jangka waktu tersebut.

    2.  Pembeli sertifikat yang diizinkan hanya importir yang mempunyai izin impor dan

    atau mereka yang mempunyai izin transfer.3.  Semua penerima valuta asing yang berasal dari ekspor atau jasa dikenakan pajak

    atau Pembayaran Bukti Ekspor sebesar 20% dari harga efektif Bukti Ekspor.

    Bersamaan dengan itu, pemerintah melepaskan nilai rupiah dari kurs resmi dan

    membiarkan kurs terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang terpimpin,

    antara lain hanya pemegang izin impor yang dapat membeli devisa dan pembeliandevisa untuk memindahkan modal tidak diizinkan. Melalui pelepasan nilai rupiah

    tersebut, maka nilai tukar rupiah di pasar bebas bergerak dari Rp 31 per US$ padaakhir tahun 1956 menjadi Rp 49 pada akhir tahun 1957 dan pada akhir tahun 1958sebesar Rp 90.

    Berkaitan dengan ketentuan tersebut importir diwajibkan membayar uang jaminansebesar 20% dari harga c&f kepada Dana Devisa. Barang impor dibagi menjadi enamgolongan. Masing-masing golongan barang impor ini dikenakan Tambahan

    Pembayaran Impor (TPI) sebesar 0% untuk golongan I, 20% untuk golongan II,

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    14/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    14

    50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 140% untuk golongan V, dan175% untuk golongan VI.

    Disamping itu, kurs Bukti Ekspor (BE) meningkat dengan cepat. Jika pada Juni 1957tercatat 220, tetapi pada Maret 1958 meningkat menjadi 322, sehingga permintaan

    devisa juga ikut betambah. Untuk menahan laju permintaan devisa tersebut, Dewan

    Moneter memutuskan sejak tanggal 19 April 1958, kurs maksimum BE dibekukanpada tingkat 332 dan kembali pda “fixed rate system”.

    Nilai ekspor pada tahun 1957 yang tercatat sebesar Rp 11.052 juta merosot menjadiRp 8.612 juta di tahun 1958. Hal ini disebabkan oleh:

    1.  Terjadinya gangguan keamanan dan dilaksanakannya operasi militer.

    2.  Terjadinya perdagangan barter di beberapa daerah di Indonesia.

    3.  Kesulitan pengangkutan4.  Terjadinya penyelundupan disebagian besar perairan Indonesia

    Di sisi lain terjadi perkembangan politik yang kemudian berpengaruh pada Devisa

    Negara, yaitu ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian antara Republik Indonesiadengan Pemerintah Jepang pada tanggal 20 Januari 1958, perjanjian ini secara resmimengakhiri keadaan perang yang diwarisi dalam perang Dunia II sekaligus mengaturtentang pembayaran Pampasan perang oleh Jepang kepada Indonesia.

    Dalam tahun itu terjadi lonjakan Penambahan Devisa, hingga mencapai sebesar Rp.

    1.770 juta, hal ini diperoleh atas penghapusan hutang dagang yang terakumulasisebesar Rp. 1.336 juta, sehingga posisi devisa pada akhir Juni 1958 sebesar Rp4.464 juta,- Bersamaan dengan itu perkembangan perekonomian semakin kondusifkarena :

    1. 

    Beberapa daerah pengekspor komoditi handalan yang dikuasai Pemberontak

    mampu dibebaskan sebelum pertengahan 1958.2.  Masalah pengambilalihan Perusahaan Belanda oleh Pemerintah Indonesia dapatdiatasi dalam jangka waktu yang relatif pendek.

    3.  Secara berangsur-angsur produksi dalam negeri pulih kembali.

    Dalam tahun ini Kebijakan Pembatasan Impor guna menghemat devisa masih terus

    dilaksanakan dengan diberlakukannya peraturan LAAPLN No. A. 80 tanggal 3Februari 1958 mengenai uang Jaminan Impor harus dibayar Importir saatmengajukan Ijin Impor dan kenaikan Uang Jaminan Impor yaitu :

    1.  Tanggal 3 Februari 1958 dari 20% naik menjadi 100%2.  Tanggal 31 Desember 1958 dari 100% naik menjadi 133 1/3%

    3.  Tanggal 15 April 1959 dari 133 1/3% menjadi 230%

    Dengan sistem dan kebijakan devisa yang dilaksanakan tahun 1959 dan tahun

    sebelumnya telah mampu menambah jumlah devisa dan pada tahun itu tercatatsebesar Rp. 10.599 juta atau bertambah sebanyak 51,69% dari tahun 1958.

    Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 tahun 1959 tentangPenghapusan Sistem Bukti Ekspor berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959, karena

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    15/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    15

    sistem tersebut membawa dampak negatip pada tersedianya devisa dalam jumlahyang cukup disamping sertifikat mempunyai ciri floating rate sistem.

    Di samping itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah No.42 tahun 1959 tentangPungutan Ekspor dan Impor yaitu :

    Bidang Impor

    1.  Pungutan impor ditetapkan atas dasar nilai C & F

    2.  Pungutan TPI mulai dari 0% s.d 200%3.

     

    Kewajiban menyediakan jaminan dihapus

    Bidang Ekspor

    1.  Pungutan ekspor 20 % dari harga penjualan berdasarkan kurs baru.

    Selain itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1959 tentangDevaluasi mata uang Rupiah semula US$ 1 = Rp 11,40 berobah menjadi US$ 1 = Rp

    45 dengan sistem fixed rate. Dengan demikian, secara umum sistem dankebijaksanaan devisa periode 1953-1959 ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor,serta diterapkannya kebijakan yang dapat mendorong eksportir untuk meningkatkanekspornya dan membatasi nilai impor. Meskipun dalam perjalanannya dari tahun ke

    tahun diwarnai dengan fluktuasi, namun pada akhirnya mampu meningkatkan

    devisa. Dengan demikian, hasil kebijakan devisa 1953-1959, telah memberikanharapan dan menghantarkan cita-cita menuju kemakmuran dan kesejahteraanbangsa.

    Secara umum, kebijakan devisa periode 1953-1959 berkonsentrasi untuk menambahdevisa dari luar serta menghemat devisa yang berada di dalam negeri. Dalam

    pelaksanaannya, pemerintah berusaha menggiatkan ekspor dan membatasi impor.

    Hasilnya, jumlah devisa pada tahun 1959 tercatat sebesar Rp 10.599 juta, jauhmeningkat dari posisi tahun 1953 yang sebesar Rp 764 juta.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    16/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    16

    4. Arah kebijakan 1953-1959 

    Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan.

    Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan. Dibidang ekonomi, terdapat dua issue penting yang sangat berpengaruh ;

    1.  sisi supply (out-put riil) belum memenuhi kebutuhan karena pembangunanekonomi belum tertangani secara memadai,

    2.  pembiayaan pembangunan masih didominasi Pemerintah, padahal pendapatanPemerintah setiap tahunnya selalu lebih rendah dibanding pengeluarannya.

    Di bidang politik, persatuan nasional sebagaimana dicita-citakan bangsa Indonesia

    belum menjadi kenyataan, hal ini tercermin oleh masih terjadinya pemberontakan-pemberontakan maupun gangguan keamanan di berbagai wilayah. Kondisi-kondisi

    tersebut mengakibatkan peningkatan pada sisi pengeluaran Pemerintah yang jauh

    melebihi sisi penerimaan sehingga menimbulkan difisit APBN yang semakinmembesar pula. Tidak diperolehnya solusi lain untuk mengatasinya mana defisitAPBN tersebut ditutup dengan uang muka dari Bank Indonesia yang pemenuhannya

    dilakukan dengan cara pencetakan uang. Hal ini mengakibatkan pertambahan uang

    beredar yang tidak diimbangi oleh peningkatan out riil sehingga mendorong kenaikanharga (inflasi).

    Oleh karena itu, kebijakan moneter diarahkan untuk menekan tingkat inflasi melaluikebijakan-kebijakan moneter yang kontraktif. Di bidang devisa, kebijakan-kebijakan

    devisa diarahkan untuk mendorong ekspor dan menekan impor. 

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    17/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    17

     

    5. Langkah-langkah strategis 1953-1959

    Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektormoneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagisektor ekonomi tertentu.

    Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektormoneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagi

    sektor ekonomi tertentu. Sementara itu, upaya pencukupan suplai barang tidak

    dilakukan secara memadai. Dengan demikian maka kebijakan-kebijakan monetertidak bisa berjalan secara efektif karena belum terarah ke peningkatan out-put rill.

    Di bidang devisa, arus devisa keluar dikontrol secara ketat baik melalui prosedurperizinan maupun melalui pemberlakuan nilai tukar di atas nilai tukar resmi.

    Sementara itu, ekspor didorong melalui pemberian insentif ekspor, namun kebijakanini juga tidak efektif karena masih terbatasnya komoditas yang dapat diekspor.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    18/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    18

    6.  Kebijakan Nilai Tukar 1953-1959

    Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang

    diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni

    1957.

    Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang

    diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni1957. Dalam system ini, eksportir memperoleh sertifikat BE dari bank pada saatmenyerahkan devisa hasil ekspornya. BE ini dinyatakan dalam Rupiah sebesar

    Rp.11,40 setiap USD1,- dan harus dijual di bursa BE walaupun hanya boleh dibeli

    oleh importer yang mempunyai izin impor atau perorangan yang mempunyai izintransfer. Oleh karena itu indeks BE tersebut dapat berubah-ubah sesuai

    perkembangan di bursa BE. Dengan lain perkataan, nilai tukar Rupiah bagi devisa

    hasil ekspor pada dasarnya diambangkan secara terbatas.

    Berhubung indeks BE tersebut meningkat dengan pesat hingga Maret 1958, hal

    mana mencerminkan permintaan lebih tinggi dari penawaran maka pada tanggal 18April 1958 system BE dicabut dan Indonesia kembali menerapkan system nilai tukartetap yaitu Rp.11,40 per USD1,-

    Sementara itu, penerapan system devisa terkontrol yang antara lain berupa larangan

    pembelian devisa bagi pihak-pihak selain pemegang izin impor dan semua pihakuntuk pemindahan modal, telah mendorong berkembangnya nilai tukar Rupiah dipasar bebas yang cukup cepat. Kondisi ini kurang memberikan dorongan bagipengembangan ekspor.

  • 8/15/2019 Sejarah Moneter Periode 1953 1959

    19/19

    Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia

    19

    7.  Kebijakan Utang Luar Negeri 1953-1959

    Sejalan dengan hasil keputusan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di

    Negeri Belanda, bahwa jumlah utang luar negeri penguasa pendudukan Belanda

    dibebankan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang mencapai sebesar ƒ1.559,7 juta.

    Sejalan dengan hasil keputusan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) diNegeri Belanda, bahwa jumlah utang luar negeri penguasa pendudukan Belandadibebankan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang mencapai sebesar ƒ

    1.559,7 juta. Selain itu Pemerintah Republik Indonesia juga dibebani utang jangka

    pendek sebesar ƒ 2.859 juta yang merupakan utang lancar Belanda untukmembiayai defisit keuangan negara sebelum tahun 1949. Dengan demikian

    keseluruhan utang yang menjadi beban Pemerintah Republik Indonesia mencapai ƒ

    4.418,7 juta atau USD 1.159,1 juta. Dapat diinformasikan bahwa hutang tersebutdiperoleh oleh penguasa pendudukan Belanda antara lain dari bantuan pinjamanprogram Marshall Aid dari Pemerintah Amerika Serikat , dan juga diperoleh utang-utang luar negeri dari negara-negara lainnya.

    Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan April 1958 Pemerintah Jepang

    menghapus utang jangka pendek (hutang dagang) Indonesia setara Rp 1.336 juta,sebagai bentuk pembayaran pampasan perang. Penghapusan utang dagang tersebuttelah mengurangi beban utang luar negeri yang menurun sangat tajam dari Rp 1,9

    milyar pada akhir Maret menjadi Rp 578 juta pada akhir Juni 1958. Penghapusan

    utang tersebut menyebabkan dampak positif pada neraca pembayaran, sertamenyebabkan posisi cadangan devisa resmi pada Bank Indonesia dan Dana Devisameningkat tajam pada akhir tahun 1958.