Sejarah Batik Di Pekalongan

download Sejarah Batik Di Pekalongan

If you can't read please download the document

Transcript of Sejarah Batik Di Pekalongan

BATIK DAN SPIRITUALITAS Sejarah Batik di Pekalongan Kata Batik berasal dari bahasa Jawa "amba" yang berarti menulis dan "titik". Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan "malam" (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya "wax-resist dyeing". Dengan kata lain batik adalah kain yang ragam hiasnya dibuat dengan mempergunakan malam sebagai bahan perintang wama, sehingga zat warna tidak dapat mengenai bagian kain yang tertutup malam saat pencelupan. Untuk membubuhkan malam ke atas kain, dipergunakan canting, yaitu sebuah alat kecil berupa semacam mangkuk berujung pipa dan tembaga, yang diberi gagang kayu atau bambu.1 Berdasarkan standar Nasional mengenai pengertian batik, yaitu seni kain yang menggunakan proses perintang lilin atau malam sebagai bahan media untuk menutup permukaan kain dalam proses pencelupan warna.2 Bila dilihat dari akar katanya, kata batik berasal dari aktifitas orang saat menggambar kain berbentuk titik. Aktifitas membuat titik sebagai kata kerja menggunakan kata matik. Ma sebagai kata awal artinya perbuatan mengerjakan sesuatu. Perkembangan berikutnya kata matik menjadi mbatik dan akhimya batik. Orang yang pertama kali memperkenalkan kata batik dalam dunia internasional tidak diketahui dengan jelas. Namun berdasarkan cacatan sejarah 1 Lihat Helen Ishwara, LR Supriyaapto Yahya, Xenia Moeis, Batik Pesisir Pusaka Indonesia; Koleksi Hartono Sumarsono, ( Jakarta: KPG, Kepustakaan Popular Gramedia, 2011), hlm. 23 2 Fifin Syafrina, Pemanfaatan Teknik dan Desain Batik dalam berbagai media serta pemanfaatannya sebagai komuditas Ekonomi, (Jakarta: fakultas Seni Rupa IKJ, 1996), hlm.1seorang Belanda yang bernama Chastelain telah menggunakan istilah "batex" (batik) dalam laporannya pada tahun 1705 ke Gubemur Belanda Rijcklof Van Goens. Sedangkan jenderal Inggris dengan Gubernurnya Thomas Stanford Rafless sekitar tahun 1811 - 1816 menyebutkan pertama kali kata batik dalam laporannya saat melihat ola ragam hias pada kain yang mirip pola ragam hias kain India.3 Metode batik dengan merintang warna dalam pembuatan ragam hias pada sebuah kain sebetulnya sudah lebih dari seribu tahun yang dikenal di berbagai Negara belahan dunia. Zat perintang warnanya beragam dan pembubuhannya bukan dengan canting. Selain di Mesir. Cina, India dan beberapa kawasan Asia lainnya, termasuk Timur Tengah, metode merintang warna ditemukan juga di beberapa tempat di Afrika. Tidak diketahui dengan pasti di mana metode itu pertama kalinya muncul atau lahir. Apakah lahir di suatu tempat lalu diperkenalkan ke tempat-tempat lain? Ataukah lahir di berbagai daerah dan Negara yang tidak saling berhubungan?. Pekalongan adalah salah satu daerah penghasil batik yang sangat besar. Bahkan boleh dikatakan 70% pasokan bataik di Nusantara ini, dihasilkan di daerah Pekalongan dan sekitarnya. Kota yang terletak di Pantai Utara Jawa Tengah ini memiliki sejarah panjang dalam hal pembuatan batik. Keberadaan batik di Pekalongan hamper sama tuanya dengan perkembangan kota Pekalongan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada umumnya kotakota penghasil batik yang berada di daerah Pantai Utara Jawa Tengah dan3 Wahono, Gaya Ragam Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol), (Semarang: Dinas PEndidikan dan Kebudayaan, Museum jawa tengah Ronggowarsito, 2004), hlm. 32Madura, memiliki kesamaan, baik dalam hal corak, warna, maupun tata niaga batiknya. Kota-kota tersebut meliputi Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Tuban, Madura. Batik yang dihasilkan dari wilayah-wilayah ini kemudian dikenal sebagai batik pesisiran. Sejak masa Hindu-Budha dan Islam sampai masa kemerdekaan, Pekalongan menempati posisi jauh dari pusat kekuasaan. Secara otonom, Pekalongan tumbuh sebagai kota niaga dan sejak awal kota tersebut sudah menjadi daerah dagang. Sampai dengan masa colonial, daerah itu memiliki pelabuhan laut yang ikut meramikan lalu lintas perdagangan antar pulau di Nusantara. Adanya pelabuhan itu mempengaruhi perkembangan social ekonomi maupun kependudukan. Urbanisasi kaum urban, baik dari luar daerah maupun dari dalam, ikut menentukan perkembangan Kota Pekalongan. 4 Sampai pada abad ke-11, nama Pekalongan disebut seebagai Pu-ChoaLung. Sedangkan Chou-Ju-Kua dari naskah Wai-tai-ta pada tahun 1178 Masehi menyebutkan bahwa She-Po (Jawa) adalah nama Pu-Choa-Lang atau Pekalongan. Oleh sebab itu pada masa Dinasti Sung diketahui bahwa Pekalongan adalah Pelabuhan utama untuk perdagangan Cina. Sebelum masa jayanya perdagangan Cina, Pekalongan Kuno merupakan wilayah yang terdiri dari desa-desa di pegunungan seperti Wonopringgo, Petungkriyono, Wonotunggal, kajen, talun, Telogo Pakis dan sebagainya. Wilayah wilayah ini tidak dijadikan wilayah pengembangan Mataram Kuno dalam berabad-abad lamanya. Namun setelah adanya pelabuhan kuno di Doro,4 Kusnin Asa, batik Pekalongan Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Paguyuban Pecinta batik Pekalongan, tth), hlm. 17menjadikan wilayah Pekalongan menjadi peradaban baru. Dengan pelabuhan ini kemudian mempengaruhi sistem perekonomian yang tidak hanya mengandalkan hasil pertanian dan perkebunan. Selain Doro, kajen diketahui sebagai wilayah merdeka yang maju sehingga dinamakan sebagai Bandar Guminsang. Pertumbuhan penduduk di Pekalongan termasuk lambat karena ada masa kuno Pekalongan tidak termasuk pada kekuasaan besar. Hal ini karena Doro menjadi pusat pelabuhan sehingga wilayah Pekaloangan tidak pernah menjadi pusat pemerintahan. Selain itu terjadinya pendangkalan pantai 4-6 meter pertahun maju ke utara, maka Doro mengalami pendangkalan dari kedalaman laut semula 100-150 meter. Bahkan pada abad XII pelabuhan Doro sudah tidak bisa lagi digunakan. Sungai Kupang yang menjadi ujung tombaknya telah mengalami pendangkalan dan sungai itu mengikuti proses terjadinya dataran dan mengalir sampai ke pantai utara Pekalongan yang sekarang. Dengan keberadaan candi-candi dan berbagai situs kuno di wilayah Pekalongan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Pekalongan memiliki kebudayaan keagamaan yang cukup berkembang. Sebuah sistem masyarakat yang sudah tertata rapi dengan berbagai struktur social telah terbentuk dan dinamakan sebagai sima. Di dalam sima ada kelompok pendeta (mPu) yang mengatur dan menjaga berbagai banguanan suci, ada kepala desa (Mathani) dan ada yang sebagai wakil raja yang dinamakan sebagai Bathara atau Sama sanak yang bertugas menarik pajak dari berbagai tempal suci. Selain itu pada struktur masyarakat ada yang bekerja sebagai petani, pengrajin, pedagang dan sebagainya yang disebut sebagai astacandala. Secaraekonomis astacandala bertugas menyediakan berbagai peralatan upacara keagamaan dan upacara desa. Dalam upacara manusuk Sima atau upacara peribadatan, para pengrajin membuat kain dan membatik. Golongan astacandala dalam struktur masyarakat Pekalongan Kuno sangat dihormati dan terhormat karena kependaiannya, Walaupun mereka dari kalangan rakyat biasa, namun para mpu atau pendheta menghormatinya karena mereka yang menyediakan berbagai peralatan upacara, khususnya kain batik, baik yang dikenakan sebagai tapih maupun sebagai alas penempatan barang sesaji pada waktu upacara. Di Telogo Pakis dan Linggoasri merupakan pusat peribadatan yang besar semenjak sebelum agama Hindu Budha dari India datang. Dengan toleransi yang tinggi agama baru dari India dapat berkembang dan beradaptasi dengan melahirkan berbagai aliran temasuk aliran Tantrayana dan bahirawa. Sistem kepercayaan baru dari India ini pada akhimya memberikan dampak perkembangan budaya termasuk pengembangan motif batik yang sudah dimiliki oleh masyarakat Pekalongan Kuno. Diantara motif itu berkenaan dengan simbul yang dipakai aliran Siwatra, Bahirawa dan Tantrayana yang berkembangan pasca kekuasaan Mataram-Hindu. Aliran Siwatra atau Saiwapaksa memiliki lambang berupa senjata panah Dewa Shiwa. Lambang ini yang dilikuskan dalam sehelai kain batik sehingga memiliki nilai kesakralan bagi aliran Siwatra tersebut. Pemakaian kain batik juga dapat dijumpai pada tradisi nyadran yang astacandala juga memiliki kepandaian dalamsudah dilakukan masyarakat Pekalongan Kuno. Nyadaran yang dimaksud adalah mengupahkan pembuatan kain batik kepada seseorang dukun bayi agar anaknya sembuh dari penyakitnya. Pada upacara nyadran besar yang diadakan setahun sekali saat selamatan seren tahun, masyarakat desa baik di pegunungan maupun di pantai menyertakan kain batik dengan pola tertentu untuk ikut dilarung dilaut. Sesaji tersebut sebagai persembahan dan ungkapan rasa terima kasih, baik kepada penguasa alam, Dewa, Tuhan maupun penguasa laut. Upacara seperti itu menjadi tradisi dan berlangsung sejaka masa Hindu. Tradisi nyadran tersebut merupakan sisa-sisa peninggalan masa Hindu Jawa Tengah pada abad ke -9 dan 10 masehi. Dengan demikian batik pada masa lampau dengan ragam hias yang mengandung kepercayaan, lebih cenderung digunakan sebagai sarana ritual dari pada penutup badan. Oleh karena itu kedudukan kain batik sangat disakralkan karena dianggap memiliki sifat magis.5 Pada masa lampau, batik belum merupakan barang koniersial. Pemakaian kain berpola hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja, seperti para brahmana dan pendeta. Sedangkan para raja lebih banyak menerima hadiah kain bercorak atau sulaman dengan hiasan tertentu seperti kain patola dari India, atau dari Thailad yang dibuat dengan teknis tenun ganda. Kain berpola tersebut jarang dimiliki oleh orang kebanyakan karena harganya yang semakin mahal. Dengan alasan inilah maka kaum astacandala membuat kain yang memiliki ragam hias yang sama namun dengan teknis yang berbeda, bukan tenun, namun teknik batik. Pada latarbelakang inila ragam hias batik mulai dibuat. Posisi Pekalongan sebagai daerah penghasil batik terbagi atas daerah Kota5 Kusnin Asa, hlm. 36Pekalongan dan wilayah daerah Kabupaten. Secara geografis posisi Pekalongan bagaikan bidak catur yang berbentuk kerucut. Perkembangan wilayahriya meluas ke bagian selatan dengan batas daerah Rogojembangan. Perkembangan ke arah utara makin menyempit karena berbatasan dengan laut Jawa. Adapun sebelah kiri dan kanannya dibatasi oleh dua kabupaten yaitu kabupaten batang dan Pemalang. Sebagian besar wilayah Kota Pekalongan berada di dataran rendah, dan kebanyakan daerah inilah yang menghasilkan batik. Sementara wilayah Pekalongan bagian selatan, yang berada di dataran atas, kebanyakan merupakan wilayah berpenghasilan pertanian dan perkebunan. Berdasarkan registrasi kependudukan masa kolonial tahun 1830, jumlah penduduk Kota Pekalongan yang berada di pusat kota adalah kurang dari satu juta jiwa. Mereka tinggal di sepanjang aliran sungui Loji, dan jumlahnya sekitar 300 orang, yang kebanyakan dari etnis Tionghua, Arab dan beberapa dari pribumi yang menguasai usaha perdagangan dan pembatikan. Hingga sensus terakhir sebelum masa perang tahun 1930, yaitu pada masa Pekalongan sebagai ibukota Karisidenan, dari dua setengah juta penduduk karisidenan Pekalongan, hampir separuhnya berada di wilayah Pekalongan. Semenjak penjajahan masa Belanda dan Jepang, sector perdagangan di Kota Pekalongan dipegang oleh golongan minoritas etnis Tionghua dan Arab. Sebuah sungai yang bemama Loji, mengalir membelah kota sejak berabad-abad yang lalu. Daerah di sepanjang aliran sungai menjadi tempat pemukiman para penduduk yang terdiri dari pribumi, Cina, Arab dan Eropa. Dari sungai Lojilah sebenamya perkembangan Kota Pekalongan dapat ditelusurisampai pada akhimya berdiri sebuah kota. Seni kerajinan batik hingga kini tetap berkembang di daerah daerah tertentu di tanah air ini. hal tersebut menunjukan bahwa jenis cultural yang patut diperhitungkan dalam komunitas nasional maupun internasional meskipun terus menerus di tempa arus globallisasi yang membawa serta liberarisme ekonomi dan persaingan bebas. Modal utama yang memungkinkan pencapaian tersebut adalah daya tahan yang dimiliki kerajinan batik itu sendiri yang juga ditopang oleh peningkatan sumberdaya manusia pendukungnya untuk terus berpacu dan beradaptasi dengan dinamika perubahan zaman, yang pada intinya berarti peningkatan etos kerja. Sedangkan daya tahan itu sendiri membuktikan bahwa seni kerajinan batik masih terus dibutuhkan. Menilik sejarahnya, seni kerajinan batik di negeri ini digolongkan dan dibedakan ke dalam dua jenis kelompok pembagian, yang terutama didasarkan. pada sifat ragam hias dan corak wamanya ditinjau dari sudut kelompok besar daerah pembuatan seni kerjainan batik. Pengelompokan yang dibuat sejak zaman penjajahan Belanda dan nampaknya tetap berlaku hingga sekarang ini menentukan dua kelompok besar yang membedakan seni kerajinan batik yang satu dengan yang lainnya yakni batik vorsstenlanden atau batik keraton dan batik pesisir. Batik Vorstenlanden adalah seni kerajinan batik yang terdapat di daerah kerajaan yang pada zaman penjajahan Belanda disebut vorstenlanden, dan menunjukkan pada dua daerah keratin-sentris yaitu Solo dan Yogja. Ragam hias pada batik Solo dan Yogja ini bersifat simbolis berlatarbelakang kebudayaanHindu-Budha-Jawa, dengan wama-wami dominan, yaitu sogan, indigo (biru), hitam dan putih.6 Sementara batik pesisir adalah semua seni karajinan batik yang berasal dari luar daerah Solo dan Jogja atau di luar daerah vorstenlanden. Ragam hias pada batik pesisir ini lebih bersifat naturalis dan banyak menunjukkan pengaruh kuat kebudayaan asing, dengan wama yang beraneka ragam. Yang termasuk ke dalam batik pesisir adalah batik Batavia, batik indramayu, batik Cirebon, batik Tegalan, batik Pekalongan, batik Batang, batik Lasem, batik Tuban, batik Madura. Termasuk juga dalam batik pesisir adalah batik Ponorogo, batik Banyumasan, batik Tulungagung dan sebagainya. Walaupun secara geografis, lebih dekat dengan keraton.Corak ragam dan motif batik Pekalongan Dalam kontek historis Pekalongan, pembuatan batik dimulai sebagai kain alternative membuatan kain untuk kepentingan upacara yang tidak mahal, sebagaimana kain tenun berganda seperti Patola dari India dan kain tenun dari Thailand. Dengan corak dan ragam yang sama, masyarakat pengrajin, atau astacandala, menggunakan teknik pembuatan kain untuk upacara dan kepentingan kerajaan yang bukan tenun, namun batik. Dengan adanya tuntutan kebutuhan untuk keperluan upacara keagamaan, maka kain-kain batik ragam6 Lihat Koko Sundari dan Yusmawati, Batik Pesisir, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 1999/2000), hlm. 1hiasnya disesuaikan dengan kepercayaan dan agama serta aliran-aliran yang ada.