Seismitas peta

29
7 BAB II SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI 2.1 Seismisitas Wilayah Indonesia Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan seismisitas tertinggi di muka bumi ini. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gempa-gempa beberapa tahun terakhir ini yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa di Aceh, Padang, Yogyakarta, Pangandaran, Bengkulu dan masih banyak lagi. Banyak sekali definisi dari seismisitas antara lain sebagai (Iqbal, 2007): - Aktivitas gempa - Distribusi gempa secara global atau lokal pada suatu tempat dan waktu tertentu - Suatu studi tentang lokasi, frekuensi dan magnitudo gempa Untuk memahami seismisitas wilayah Indonesia, maka diperlukan pengetahuan mengenai tatanan tektoniknya dan sejarah kegempaan di wilayah Indonesia. 2.1.1 Tatanan Tektonik di Indonesia Dulunya bentuk wilayah Indonesia ini tidak berbentuk kepulauan seperti sekarang ini. Berdasarkan sejarahnya, wilayah Indonesia mengalami berbagai perubahan bentuk (geocities, 2003). Bagian barat Indonesia kira-kira 50 juta tahun yang lalu terbentuk karena ujung tenggara benua Eurasia yang tersesarkan lebih jauh ke arah tenggara sebagai akibat tumbukan antara benua kecil India dengan Himalaya, sedangkan Indonesia bagian timur masih berupa lautan. Pada saat itu pergerakan lempeng berupa penunjaman terjadi di sebelah barat Sumatera, menyambung ke selatan Jawa dan melingkar ke tenggara-timur. Berikutnya 40-20

description

Peta Gempabumi

Transcript of Seismitas peta

Page 1: Seismitas peta

7

BAB II

SEISMISITAS WILAYAH INDONESIA KHUSUSNYA

PANGANDARAN DAN SURVEI GPS SEBAGAI METODE

PEMANTAUAN DEFORMASI BUMI

2.1 Seismisitas Wilayah Indonesia

Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan seismisitas tertinggi di

muka bumi ini. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh gempa-gempa beberapa tahun

terakhir ini yang melanda wilayah Indonesia seperti gempa di Aceh, Padang,

Yogyakarta, Pangandaran, Bengkulu dan masih banyak lagi. Banyak sekali

definisi dari seismisitas antara lain sebagai (Iqbal, 2007):

- Aktivitas gempa

- Distribusi gempa secara global atau lokal pada suatu tempat dan waktu

tertentu

- Suatu studi tentang lokasi, frekuensi dan magnitudo gempa

Untuk memahami seismisitas wilayah Indonesia, maka diperlukan

pengetahuan mengenai tatanan tektoniknya dan sejarah kegempaan di wilayah

Indonesia.

2.1.1 Tatanan Tektonik di Indonesia

Dulunya bentuk wilayah Indonesia ini tidak berbentuk kepulauan seperti

sekarang ini. Berdasarkan sejarahnya, wilayah Indonesia mengalami berbagai

perubahan bentuk (geocities, 2003). Bagian barat Indonesia kira-kira 50 juta tahun

yang lalu terbentuk karena ujung tenggara benua Eurasia yang tersesarkan lebih

jauh ke arah tenggara sebagai akibat tumbukan antara benua kecil India dengan

Himalaya, sedangkan Indonesia bagian timur masih berupa lautan. Pada saat itu

pergerakan lempeng berupa penunjaman terjadi di sebelah barat Sumatera,

menyambung ke selatan Jawa dan melingkar ke tenggara-timur. Berikutnya 40-20

Page 2: Seismitas peta

8

juta tahun yang lalu, Sulawesi dan Laut Maluku mulai terbentuk sebagai akibat

tumbukan benua-benua mikro.

Perubahan bentuk tersebut diakibatkan karena penunjaman atau subduksi

sehingga kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan. Lempeng

yang berperan dalam penunjaman tersebut adalah lempeng Samudera Pasifik dan

India-Australia yang bergerak 2-5 cm per tahun relatif terhadap lempeng Eurasia

(oaseislam, 2003). Ketiga lempeng tersebut saling berinteraksi satu sama lain.

Lempeng Eurasia dan lempeng Australia bertumbukan di lepas pantai barat

Sumatera, lepas pantai selatan Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusa

Tenggara dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan.

Sedangkan tumbukkan antara lempeng Australia dan lempeng Pasifik di sekitar

pulau Papua. Dan ketiga lempeng tersebut bertemu di sekitar Sulawesi. Interaksi

antara ketiga lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya dua sabuk gunung api

yang melewati Indonesia yaitu Sirkum Mediterania akibat penunjaman lempeng

Australia ke dalam lempeng Eurasia dan Sirkum Pasifik akibat penunjaman

lempeng Pasifik ke dalam lempeng Eurasia. Interaksi ketiga lempeng tersebut

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu wilayah yang memiliki

aktivitas kegempaan tertinggi di dunia.

Adapun zonasi aktivitas gempa bumi di Indonesia berdasarkan sejarah

kekuatan sumber gempa (Pirba, 2006), dapat terbagi menjadi :

• Daerah sangat aktif yaitu magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi antara lain di

Halmahera dan pantai utara Irian.

• Daerah aktif yaitu magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi

antara lain di lepas pantai barat Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi

tengah.

• Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa terjadi

antara lain di Sumatera, kepulauan Sunda dan Sulawesi tengah.

• Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin

terjadi antara lain di pantai barat Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan

bagian timur.

Page 3: Seismitas peta

9

• Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 jarang terjadi antara lain di

daerah pantai timur Sumatera dan Kalimantan tengah.

• Daerah stabil, tidak ada catatan sejarah gempa yaitu di pantai selatan Irian dan

Kalimantan bagian barat.

Lokasi dari gempa-gempa yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia (USGS, 2006)

2.1.2 Zona Subduksi Pangandaran

Pada Gempa Pangandaran 2006, bentuk interaksi lempeng yang terjadi

adalah bentuk konvergensi berupa subduksi atau penunjaman. Subduksi dapat

terjadi ketika lempeng samudera yang rapat massanya lebih besar bertumbukkan

dengan lempeng benua yang lebih tebal dan stabil namun rapat massanya lebih

kecil. Proses subduksi lempeng samudera akan berlangsung terus hingga lempeng

samudera kembali mencair dan menjadi magma.

Zona subduksi Pangandaran merupakan hasil tumbukan lempeng Australia

yang bergerak dengan kecepatan 6-7 cm/tahun ke arah utara menumbuk lempeng

Eurasia yang bergerak dengan kecepatan 2 cm/tahun ke arah timur sepanjang

5500 kilometer mulai dari Myanmar melewati pulau Sumatera, Jawa, dan menuju

Page 4: Seismitas peta

10

Australia. Tumbukkan kedua lempeng ini bertemu pada kedalaman 5000 meter di

bawah permukaan air laut dan membentuk Palung Jawa sehingga laut di daerah

tumbukkan ini sangatlah dalam. Jalur palung Jawa ini membentang dari Aceh

hingga Flores mendorong lempeng Eurasia dengan kecepatan yang berbeda.

Minster dan Jordan (1978, dalam Ghose and Oike, 1988) memperkirakan

kecepatan lempeng 6 cm/tahun dekat ujung utara Sumatra sampai 7,8 cm/tahun di

dekat pulau Sumba.

Selain kecepatan dorongannya, arah penunjamannya pun bervariasi. Yang

paling mencolok adalah daerah yang dipisahkan oleh selat Sunda. Arah

penunjaman yang hampir tegak lurus di bagian pulau Jawa ke arah timur

menghasilkan ragam penunjaman lempeng yang lebih sederhana dibandingkan di

bagian Sumatra. Hal tersebut berimplikasi pada letak kedalaman aktivitas gempa.

Di sebelah barat selat Sunda, aktivitas gempa umumnya tidak melebihi kedalaman

200 km sedangkan di sebelah timur selat Sunda aktivitas gempa terletak pada

kedalaman 350-500 km.

Penampang fisiografi dari palung Jawa dapat dilihat dari gambar 2.2 di bawah ini.

Gambar 2.2 Palung jawa dan proses subduksinya (Rovicky, 2006)

Page 5: Seismitas peta

11

Di sebelah utara Palung Jawa terdapat sebuah busur kepulauan yang

disebut sebagai busur sunda (Sunda Arc) yang juga merupakan hasil interaksi

lempeng. Busur ini membentang dari kepulauan Andaman-Nicobar di barat

sampai busur Banda di Timor dan pulau Jawa termasuk di dalamnya.

Subduksi juga menghasilkan sepasang busur yaitu busur vulkanik dan

busur non-vulkanik (Rovicky, 2006). Busur vulkanik terdiri dari rangkaian gunung

berapi yang menjadi tulang punggung pulau-pulau busur samudera, sedangkan

busur non-vulkanik terdiri dari rangkaian pulau-pulau yang terletak di samudera

busur vulkaniknya. Di selatan Jawa busur non-vulkanik berada di bawah dasar

laut.

Di zona subduksi Pangandaran ini juga terdapat seismic gap atau “zona

tenang” yaitu wilayah yang sepi gempa dalam waktu cukup lama tetapi

mengakumulasi energi regangan sangat besar sehingga dapat terjadi gempa. Oleh

karenanya fenomena ini perlu diamati lebih jauh karena memungkinkan terjadinya

gempa besar di daerah tenang ini. Seismic gap selatan Jawa terletak pada garis

bujur 110º BT dengan lebar sekitar 75 km berarah utara-selatan terhadap palung

Jawa.

2.1.3 Sejarah Kegempaan di Sekitar Pantai Selatan Jawa

Sejarah kegempaan yang terjadi di sekitar pantai selatan Jawa

menunjukkan bahwa zona subduksi Jawa memiliki potensi magnitude dan waktu

terjadinya kegempaan yang lebih kecil dibandingkan dengan zona subduksi

Sumatera (Natawidjaya, 2006). Hal itu salah satunya dimungkinkan karena

lempeng Jawa yang sudah berusia lebih dari 150 juta tahun sehingga gerakan

tektoniknya tidak terlalu mendorong pulau Jawa. Magnitude dan kedalaman

kegempaan di sekitar pulau jawa dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini.

Page 6: Seismitas peta

12

Gambar 2.3 Peta seismisitas Pulau Jawa 1973-2007 (USGS)

Sejarah gempa yang terekam di pulau Jawa hanya tersedia dalam rentang

waktu 1849-2000 (LIPI) atau sumber lain menyebutkan dalam selang waktu 1833-

2003 telah terjadi 68 kali dengan kategori gempa yang merusak (BMG). Pada

tahun 1859 terjadi gempa di Pacitan dengan perkiraan di atas 7 SR. Kemudian di

Yogyakarta pernah terjadi gempa besar yang menewaskan 500 orang lebih pada

tahun 1867. Dan dua gempa besar terakhir adalah gempa Jogja Mei 2006 lalu

dengan magnitude 6,3 SR dan gempa Pangandaran Juli 2006 dengan magnitude

6,8 SR dengan pusat gempa yang berdekatan dengan gempa yang terjadi pada

tahun 1921. Demikian juga dengan data sejarah kegempaan yang menimbulkan

tsunami tidak tercatat secara alami dikarenakan di pesisir selatan Jawa tidak

ditemukan koloni terumbu karang. Pesisir selatan Jawa memiliki topografi yang

berbeda, tidak ditemukan jajaran kepulauan dan perairan dangkal sehingga kecil

kemungkinan tumbuhnya terumbu karang. Jika terdapat terumbu karang maka

sejarah terjadinya gempa besar dapat diketahui. Ketika gempa akibat sesar naik

maka pesisir pantai akan naik yang menyebabkan terumbu karang naik ke

permukaan dan mati. Tetapi ketika pesisir tersebut tenggelam kembali akibat

proses geologis turun, maka terumbu karang tersebut akan tumbuh kembali atau

Page 7: Seismitas peta

13

dengan kata lain periode naik turunnya permukaan pesisir dalam ratusan tahun

dapat tercatat secara alami.

Sedikitnya informasi kegempaan di sekitar pantai selatan jawa ini

menyebabkan sulitnya memperkirakan potensi gempa yang diiringi tsunami di

daerah ini.

2.2 Gempa Bumi

Gempa bumi dapat disebabkan oleh tumbukan antar lempeng, aktifitas

gunung api, runtuhan batuan dan ledakan. Dalam kaitannya dengan gempa

Pangandaran 2006, maka tumbukan antar lempeng adalah penyebabnya. Pada

zona subduksi Pangandaran, lempeng samudera menumbuk hingga menyusup ke

bawah lempeng benua. Kemudian gerakan terus-menerus tersebut akan

mengalami perlambatan akibat gaya gesekan antar kedua lempeng yang

menyebabkan penumpukkan energi di zona subduksi dan zona patahan.

Pergerakan tersebut akan terus berlangsung hingga batas elastisitas tumbukan

tersebut terlampaui, maka kedua lempeng akan melepaskan energi secara tiba-tiba

dan menimbulkan getaran partikel ke segala arah yang disebut gelombang gempa

bumi. Mekanisme tumbukkan yang menyebabkan gempa bumi dapat dilihat pada

gambar 2.3 di atas.

Gempa bumi dapat terjadi dimana pun namun para peneliti kegempaan

berkesimpulan bahwa 95 % gempa bumi terjadi sekitar batas lempeng. Suatu titik

di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat

dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter, sedangkan titik di pemukaan

bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Setyawan, 2007). Gambar dari

kedua titik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.4 di bawah ini.

Page 8: Seismitas peta

14

Gambar 2.4 Fokus dan episenter (www.geocities.com/.../earthquake/fault)

2.2.1 Siklus Gempa Bumi

Siklus gempa bumi atau earthquake cycle dapat didefinisikan sebagai

perulangan gempa karena gempa bumi yang terjadi di suatu daerah akan terjadi

lagi di masa yang akan datang. Dalam satu siklus gempa bumi biasanya akan

berulang dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun. Periode perulangan

gempa dapat ditunjukkan oleh gambar 2.5 di bawah ini.

Gambar 2.5 Periode earthquake cycle (Vigny, 2005)

Page 9: Seismitas peta

15

Untuk dapat melakukan analisis terhadap suatu siklus gempa bumi maka

diperlukan data-data berupa penelitian dokumen sejarah gempa dan penelitian-

penelitian geologi dan geofisika seperti stratigrafi batuan, terumbu karang dan

paleo-tsunami untuk gempa yang terjadi di laut, likuifaksi dan lain-lain (Andreas

et al, 2006). Dengan adanya data geologi batuan, diharapkan dapat memprediksi

kejadian gempa yang telah lampau yaitu dengan cara mempelajari

ketidakselarasan dan dengan adanya pola pertumbuhan terumbu karang,

diharapkan dapat melihat dan menghitung kejadian serta perulangan gempa bumi.

Dengan melakukan analisis terhadap fenomena earthquake cycle,

diharapkan kita dapat melakukan prediksi waktu terhadap kemungkinan terjadinya

gempa bumi. Namun prediksi tersebut hanya dapat menembus kisarannya saja

dengan akurasi tahunan sampai puluhan tahun. Hal tersebut diakibatkan banyak

faktor seperti sifat fisis batuan yang komplek. Prediksi terhadap perulangan

gempa ini merupakan salah satu upaya dalam mitigasi bencana sehingga jika telah

diketahui kisaran perulangannya, maka kita semua akan lebih bisa mempersiapkan

diri menghadapinya sehingga dapat meminimalisir kerugian dari gempa bumi

tersebut.

2.2.2 Tahapan Gempa Bumi

Dalam satu siklus gempa bumi terdapat beberapa tahapan mekanisme

terjadinya gempa bumi, yaitu tahapan interseismik, preseismik, coseismic, after

slip, postseismik, dan slow slip event. Tahapan dari mekanisme gempa bumi

tersebut dapat dilihat pada gambar 2.6 berikut ini.

Page 10: Seismitas peta

16

Gambar 2.6 Tahapan Gempa bumi (Andreas, 2005)

a) Interseismik

Tahapan ini merupakan tahapan awal dari siklus gempa bumi, dimana

energi di dalam bumi menggerakkan lempeng hingga bertemu pada suatu bidang

temu. Kemudian dapat terjadi kuncian akibat gaya gesek antara kedua lempeng

yang bertemu dan energi mulai terakumulasi di sekitar bidang temu lempeng

tersebut. Akumulasi energi ini menyebabkan terjadinya akumulasi deformasi atau

interseismic deformation. Pada kasus subduksi, arah dari laju interseismik ini

searah dengan laju lempeng samudera yang menunjam lempeng benua.

b) Preseismik

Preseismik terjadi sesaat sebelum terjadinya gempa bumi. Sampai saat ini

preseismik merupakan tahapan gempa bumi yang masih diperdebatkan oleh para

ahli karena terkadang terdapat sinyal preseismik tapi lebih sering kejadian gempa

bumi tidak menunjukkan sinyal apa-apa. Contoh sinyal preseismik yang terekam

adalah pada gempa besar di Haiceng Cina ditemukan adanya perilaku anomali

dari binatang, kemudian pada gempa Tonakai 1944 ditemukan adanya akselerasi

deformasi sekitar 4 hari sebelum gempa utama. Contoh terakhir adanya anomali

muka air tanah yang menurun secara drastis sebelum terjadinya gempa Chici di

Taiwan tahun 1999.

Page 11: Seismitas peta

17

c) Coseismik

Tahapan coseismik terjadi ketika gempa utama atau mainshock, dimana

getaran bumi paling kuat dirasakan pada tahapan ini. Gempa utama ini

menyebabkan sebagian kerak bumi tergeser atau terdeformasi secara permanen

sampai orde meter. Coseismik dapat terjadi secara vertikal maupun secara

horisontal. Secara vertikal dapat berupa naiknya permukaan tanah (uplift) maupun

penurunan tanah (subsidence). Laju dari arah pergerakan coseismik ini

berlawanan arah dengan arah laju interseismik.

d) After Slip

After slip adalah tahapan ketika sisa-sisa energi gempa dilepaskan kembali

melalui gempa-gempa susulan (aftershock) yang kekuatannya lebih kecil dari

gempa utama. Jumlah gempa susulan yang terekam berkisar antara puluhan

sampai dengan ratusan. Semakin lama waktu berlalu dari gempa utama, maka

semakin lemah kekuatan yang dihasilkan dari gempa susulan ini. Contoh dari

aftershock yang terjadi pada gempa Pangandaran 2006 dapat dilihat pada gambar

2.7.

Gambar 2.7 Distribusi gempa bumi utama dan susulan di selatan Jawa Barat (BMG, 2006)

Page 12: Seismitas peta

18

e) Postseismik

Tahapan postseismik sebenarnya hampir sama dengan afterslip karena

baik postseismik maupun after slip terjadi setelah gempa utama. Namun yang

membedakan jika pada after slip masih terjadi gempa-gempa susulan sedangkan

pada postseismik energi dilepaskan tanpa gempa atau bersifat aseismik. Jadi

postseismik dapat didefinisikan sebagai tahapan setelah gempa terjadi dimana

sisa-sisa energi dilepaskan secara perlahan dalam kurun waktu yang lama namun

tetap menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu

meter atau bahkan untuk gempa berkekuatan besar dapat menghasilkan deformasi

postseismik mencapai lebih dari satu meter. Contoh pergeseran dari deformasi

postseismik yang terjadi pada gempa Parkfield tahun 2004 di California dapat

dilihat pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pergeseran akibat coseismik dan postseismik pada gempa Parkfield 2004

(J. Langbein)

Pergeseran dari deformasi postseismik ini biasanya kurang dari satu meter

tetapi nilai deformasi postseismik dapat memberikan nilai deformasi hampir dua

kali lipat dari deformasi coseismik. Hal tersebut terjadi pada gempa Mine Hector

di Amerika (Herring, 2002). Untuk lama terjadinya deformasi ini tergantung

banyak faktor salah satunya kekuatan gempa yang terjadi. Hasil penelitian di

Page 13: Seismitas peta

19

Jepang menunjukkan sinyal postseismik gempa Sanriku 7 Mw (Momen

Magnitude) berlangsung sampai dengan 3 tahun, kemudian gempa Tokachi 8 Mw

berlangsung sekitar 6 tahun dan gempa Aceh 2004 9,2 Mw mengindikasikan

terjadinya deformasi postseismik sampai sekitar 10 tahun dan memberikan nilai

deformasi dalam fraksi meter (Kimata, 2005).

Tujuan dari mempelajari deformasi postseismik adalah untuk mengenali

deformasi kerak bumi setelah gempa utama sebagai acuan dalam mempelajari

proses siklus gempa bumi. Deformasi ini memiliki berbagai macam mekanisme

antara lain :

Deep Afterslip

Deformasi postseismik tipe ini diindikasikan dengan adanya pergeseran

signifikan komponen horisontal dari titik-titik pengamatan GPS (Shen et al., 1994;

Savage and Svarc, 1997; Bock et al., 1997). Deep afterslip terletak di bawah

tumbukan antar lempeng dan dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah ini.

Gambar 2.9 Lokasi dari Deep afterslip (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5)

Viscoelastic Rebound

Mekanisme dari viscoelastic dapat digunakan sebagai model postseismik.

Contohnya adalah pada patahan Emerson and Camp diasumsikan terjadi

pergeseran coseismik ke arah timur sebesar 0.7 meter sehingga dapat menyatakan

bahwa patahan tersebut berupa normal fault. Berbeda dengan deep after slip, jika

pada tipe Viscoelastic Rebound terletak pada seluruh daerah horisontal di lokasi

yang sama dengan deep afterslip atau terletak di sepanjang kerak bumi bagian

bawah. Letak dari postseismik tersebut menyebabkan daerah tumbukan

Page 14: Seismitas peta

20

mengalami penurunan dan berbentuk bulat. Letak dari viscoelastic relaxation

ditunjukkan pada gambar 2.10 di bawah ini :

Gambar 2.10 Lokasi dari Viscoelastic Rebound (topex.ucsd.edu/evelyn/thesis/chap_5)

Fault Zone Collapse

Mekanisme dari fault zone collapse dijelaskan dengan pergeseran normal

bidang tumbukan dikarenakan tertutupnya kerak bumi yang terbuka selama gempa

bumi pada zona tumbukan yang terpenuhi fluida. Mekanisme ini diterangkan

pertama kali oleh Massonet et al (1996) untuk menjelaskan berbagai macam dari

tipe deformasi postseismik dengan mengkombinasikan interferogram. Manfaat

lain dari mekanisme ini adalah dapat menghitung kekuatan dari zona patahan yang

diikuti gempa bumi untuk menjelaskan pertambahan kecepatan seismik yang

didapatkan dari survei seismik setelah gempa.

Pore Fluid Pressure Re-Equilibration

Pore fluid pressure re-equilibration setelah gempa bumi dapat menyebabkan

deformasi poroelastic dikarenakan bertambahnya tekanan pada gradient daerah

perpanjangan dan kompresi tumbukan patahan, retakan hidrolik coseismik dan

mekanisme hidrotermal. Pada kasus pertama, aliran fluida mengalir disebabkan

tekanan yang timbul karena deformasi coseismik. Retakan hidrolik coseismik

dijelaskan oleh Wyatt et al (1994) untuk menggambarkan ketidaksesuaian antara

regangan yang diukur dengan regangan tensor. Mekanisme hidrotermal dijelaskan

oleh pertambahan panjang dari batuan setelah berinteraksi dengan aliran panas

dari mantel. Reagangan yang diakibatkan mekanisme ini begitu kecil dan tidak

dapat dideteksi kecuali dengan pengukuran geodetik.

Page 15: Seismitas peta

21

Dalam kaitannya dengan mitigasi bencana alam, studi deformasi

postseismik memegang peranan penting karena menjadi salah satu cara dalam

memahami terjadinya gempa bumi. Dengan memahami postseismik dapat

mengerti akan akumulasi deformasi dan kemudian dilepaskan di wilayah sekitar

gempa. Seperti juga telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahapan

postseismik ini energi gempa masih dilepaskan secara perlahan dalam waktu yang

sangat lama. Release energi ini dapat menghasilkan slip pada bidang sesar. Hasil

slip ini kemudian membentuk geometri postseismik slip dan slip ini pun dapat

menyebabkan stress transfer. Jika sebelumnya di daerah sekitar gempa stress

transfer terjadi karena coseismik slip, maka daerah di sekitar gempa tersebut akan

semakin meningkat potensi kegempaannya karena ditambah oleh stress transfer

akibat deformasi postseismik.

f) Slow Slip Event

Slow slip event atau silent earthquake adalah fenomena pergerakan (slip)

pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi atau bersifat aseismik.

Tahapan ini berlangsung sangat lambat berkisar beberapa hari sampai beberapa

minggu. Mekanisme tahapan ini terjadi ketika lempeng menunjam lempeng yang

lainnya sehingga menghasilkan deformasi interseismik dengan arah vektor

pergeseran menuju lempeng yang tertujam, namun pemantauan GPS kontinyu

menunjukkan suatu waktu vektor pergeseran berubah arah ke sisi lempeng yang

menunjam.

Keenam tahapan gempa bumi tersebut dapat diamati dengan menggunakan

ilmu dan teknologi seperti ilmu seismologi, geologi, geofisika, geodesi dinamis

dan lain-lain. Data seismologi dapat merekam tahapan coseismik dan afterslip

dengan mencatat ukuran dan lokasi gempa utama dan gempa susulan. Data

geofisika dapat merekam tahapan interseismik melalui kajian penjalaran energi

gelombang pada struktur bumi, dan tahapan preseismik seperti penelitian

akselerasi deformasi dan penelitian anomali muka level air tanah. Dan data

Page 16: Seismitas peta

22

geodetik dapat merekam hampir seluruh tahapan gempa bumi melalui penelitian

deformasi (Andreas et al, 2006).

2.2.3 Gempa Bumi Pangandaran 2006

Pada tanggal 17 Juli 2006 tepatnya pukul 15.19 WIB telah terjadi gempa

yang disertai gelombang tsunami di sebelah selatan pantai Pangandaran. Adapun

kekuatan gempa ini adalah 6,8 skala Ritcher dengan pusat gempa berada pada

kedalaman 33 km dengan koordinat Epicenter 9,46 LS – 107,19 BT (BMG,2006).

Pusat gempa tersebut berada di sebelah selatan Pameungpeuk dengan jarak sekitar

150 km. Ilustrasi dari gempa tersebut ditunjukkan oleh gambar 2.11.

Keterangan :

Sumber BMG

Sumber USGS

Sumber Geofon

Gambar 2.11 Pusat gempa Pangandaran 2006 (BMG, 2006)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gempa Pangandaran

merupakan salah satu akibat dari aktivitas seismik di zona subduksi Pangandaran

dan pusat gempa terletak 200 km dari daratan terdekat. Interaksi antara lempeng

Australia yang menunjam ke dalam lempeng Eurasia menghasilkan gempa

tersebut dan kemudian terjadi deformasi dasar laut sehingga gempa akan diikuti

Page 17: Seismitas peta

23

tsunami. Berdasarkan hasil mekanisme terjadinya gempa, gempa di laut selatan

pulau Jawa tersebut merupakan tipe reverse fault atau sesar naik dengan arah

barat laut-tenggara dan kemiringan bidang sesar 7º. Mekanisme patahan tersebut

dapat diperjelas oleh gambar 2.12 berikut ini.

Gambar 2.12 Mekamisme patahan gempa utama (USGS, 2006)

Pada gempa Pangandaran pun terjadi gempa susulan yang diamati mulai

tanggal 17 hingga 23 Juli 2006 dari jaringan stasiun gempa Gunung Guntur dan

stasiun gempa temporer Pangandaran dan Pameungpeuk. Sampai tanggal 21 Juli

2006 tercatat telah terjadi 77 kali gempa susulan dengan magnitude 4-6 Skala

Ritcher dengan 3 kali gempa susulan berkekuatan cukup besar.

Gempa Pangandaran ini kurang dirasakan getarannya oleh masyarakat di

sekitar pantai Pangandaran, getaran cukup terasa oleh orang-orang yang berada di

rumah di sekitar pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, bahkan gempa

dirasakan di gedung-gedung tinggi beberapa kota di Jawa Barat. Namun sama

halnya seperti gempa Aceh bahwa bencana sesungguhnya adalah bukan gempa

tersebut melainkan gelombang tsunami. Kira-kira 40 menit setelah gempa utama,

masyarakat di sekitar pantai dikejutkan oleh datangnya gelombang air dengan

tinggi maksimal 7 meter dan masuk hingga ke daratan sampai sejauh 500 meter.

Gelombang tsunami ini menerjang hampir seluruh wilayah selatan Jawa Barat dan

Jawa Tengah seperti Cilauteureun, Kab. Garut, Cipatujah, Kab. Tasikmalaya,

Pangandaran, Kab. Ciamis, pantai selatan Cianjur dan Sukabumi serta pantai

Cilacap, Kebumen, Kab. Bantul, dan Yogyakarta untuk bagian daerah Jawa

Tengah.

Page 18: Seismitas peta

24

Gempa yang diiringi gelombang tsunami ini telah menelan korban jiwa

yang banyak yaitu 378 orang meninggal dan ratusan lainnya cedera serta puluhan

jiwa dinyatakan hilang. Selain itu ratusan rumah mulai dari sepanjang pantai

Krapyak, Kalipucang, Parigi, dan Cipatujah, Kab. Tasikmalaya hancur serta hotel-

hotel sepanjang daerah wisata Pangandaran bagian barat. Adapun peta kerusakan

yang diakibatkan oleh gempa Pangandaran beserta tsunaminya dapat dilihat pada

gambar 2.13 berikut ini.

Gambar 2.13 Peta Kerusakan Akibat Gempa dan Tsunami Pangandaran 2006

(United Nation, 2006)

Page 19: Seismitas peta

25

2.3 Survei GPS Sebagai Metode Pemantauan Deformasi

Dalam kaitannya dengan potensi dan mitigasi bencana, metode deformasi

merupakan salah satu metode yang saat ini sangat sering digunakan. Pada metode

ini yang dipelajari adalah pola dan kecepatan deformasi yang terjadi pada sebuah

blok kerak bumi. Dan untuk menghasilkan pola dan kecepatan deformasi tersebut

diperlukan informasi posisi yang akurat dari titik-titik pengamatan deformasi.

Salah satu teknologi yang dapat memberikan informasi posisi tersebut adalah GPS

sehingga GPS dapat digunakan dalam upaya pemantauan deformasi, termasuk

deformasi postseismik yang diakibatkan gempa Pangandaran 2006.

2.3.1 Global Positioning System

GPS memiliki nama resmi NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing

and Ranging Global Positioning System). Dengan mengamati satelit GPS, para

pengguna GPS dapat memperoleh informasi mengenai posisi secara akurat di

permukaan bumi. Informasi lainnya yang dapat diperoleh dari pengamatan GPS

adalah informasi mengenai kecepatan, arah, jarak dan waktu.

Pada dasarnya sinyal GPS terdiri dari 3 komponen (Abidin, 2000), yaitu :

- Penginformasi Jarak (kode) berupa kode-P dan kode-C/A.

- Pesan Navigasi yang berisi informasi mengenai satelit dan orbit.

- Gelombang Pembawa (L1 dan L2) yang bertugas membawa data kode dan

pesan navigasi.

Dari ketiga komponen tersebut terdapat dua data pengamatan dasar GPS

yaitu waktu tempuh dari kode-P dan kode-C/A dan fase dari gelombang L1 dan

L2. Waktu tempuh tersebut akan menghasilkan jarak pseudorange, sedangkan fase

(φ) adalah data pengamatan GPS berupa jumlah gelombang penuh yang terhitung

sejak saat pengamatan dimulai dan data fase ini yang digunakan dalam aplikasi-

aplikasi yang menuntut ketelitian posisi yang sangat tinggi.

Page 20: Seismitas peta

26

2.3.2 Survei GPS Teliti Dalam Pemantauan Deformasi

Deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu benda

(Kuang, 1996). Berdasarkan definisi tersebut deformasi dapat diartikan sebagai

perubahan kedudukan atau pergerakan suatu titik pada suatu selang waktu

tertentu. Dalam kaitannya dengan deformasi akibat pergerakan kerak bumi,

perubahan atau pergerakan yang dimaksud adalah perubahan atau pergerakan

titik-titik pengamatan yang diletakkan di sekitar daerah yang terkena gempa bumi

dalam suatu selang tertentu sehingga dapat menunjukkan adanya perubahan dalam

suatu besaran tertentu. Oleh karena itu untuk mengetahui pola dan kecepatan

deformasi, maka dilakukan pengamatan GPS terhadap titik-titik pantau baik

secara episodik maupun kontinu. Dengan metode episodik maka pemantauan

dilakukan secara berkala dalam selang waktu tertentu, sedangkan dengan metode

kontinu maka pemantauan dilakukan terus-menerus secara otomatis.

Dalam pemantauan deformasi kerak bumi atau pergeseran lempeng di

wilayah Indonesia, GPS merupakan salah satu teknologi yang memegang peranan

utama. Stasiun pengamatan GPS yang telah dibangun sejak tahun 1991 hingga

2006 berjumlah lebih dari 300 stasiun pemonitor (www.bakosurtanal.go.id).

Dengan pemantauan deformasi menggunakan GPS ini, diharapkan akumulasi

strain atau penumpukkan energi di wilayah Indonesia dengan seismisitas tinggi

dapat termonitor dengan baik.

Contoh dari survei GPS untuk pemantauan deformasi ditunjukkan oleh

gambar 2.14.

Page 21: Seismitas peta

27

Gambar 2.14 Penggunaan GPS dalam studi dinamika bumi secara episodik

Pada studi deformasi kerak bumi ini, metode survei GPS memberikan

beberapa keunggulan (Friedrik, 1999), antara lain :

− GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran dalam tiga dimensi sehingga

dapat memberikan informasi pergerakan titik-titik pantau baik dalam arah

horisontal maupun dalam arah vertikal.

− GPS memberikan nilai vektor pergeseran dalam suatu sistem referensi yang

tunggal.

− GPS mampu memberikan nilai vektor pergeseran yang teliti sampai dengan

fraksi milimeter.

2.3.2.1 Mekanisme Pengolahan Data GPS Untuk Keperluan Deformasi

Prinsip dasar penentuan posisi menggunakan GPS adalah dengan cara

reseksi jarak (pengikatan ke belakang) yaitu dengan pengukuran jarak secara

simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya telah diketahui. Namun dalam

pergerakannya, satelit mengalami beberapa gangguan seperti kesalahan ephemeris

(orbit) dan kesalahan jam satelit sehingga informasi orbit yang terdapat pada

pesan navigasi sinyal GPS (Broadcast ephemeris) masih mengandung kesalahan

sehingga ketelitian informasi orbit tersebut kurang baik. Oleh karena itu,

Page 22: Seismitas peta

28

diperlukan informasi orbit dengan ketelitian yang tinggi karena dalam pemantauan

deformasi diperlukan hasil posisi yang menuntut tingkat ketelitian hasil yang

tinggi (fraksi mm). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan data precise

ephemeris yang memiliki tingkat ketelitian kurang dari 5 cm, sedangkan pada

broadcast ephemeris memiliki ketelitian 2,6 m (Warren, 2002). Visualisasi dari

proses pemilihan data fase dan informasi orbit untuk keperluan deformasi dapat

ditunjukkan pada gambar 2.15 sebagai berikut.

Gambar 2.15 Ekstrak Data fase dan informasi orbit teliti

Pada saat sinyal GPS dalam perjalanannya dari satelit sampai pengamat

tidak terlepas dari berbagai kesalahan dan bias. Kesalahan dan bias tersebut dapat

terkait karena satelit GPS, medium propagasi yang dilalui sinyal satelit, receiver

GPS, data pengamatan dan lingkungan sekitar pengamat (Abidin, 2000) :

a) Kesalahan Orbit (Ephemeris)

Kesalahan ephemeris adalah kesalahan dimana orbit yang dilaporkan

ephemeris orbit tidak sama dengan orbit yang sebenarnya sehingga dapat

mempengaruhi ketelitian posisi titik-titik yang ditentukan.

RINEX

RINEX navigation files

Data orbit satelit

Tidak digunakan

RINEX observation files

Data Pengamatan Fase

Diolah pada software

Informasi Orbit (Precise ephemeris)

Page 23: Seismitas peta

29

b) Bias Ionosfer

Radiasi matahari menyebabkan lapisan ionosfer mempunyai sejumlah

elektron dan ion bebas yang bergantung pada besarnya intensitas radiasi matahari

serta densitas gas pada lapisan tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi

kecepatan, arah, polarosasi, dan kekuatan sinyal yang melaluinya. Dalam hal ini,

ionosfer akan memperlambat data pseudorange dan mempercepat data fase. Oleh

karenanya ukuran jarak yang dihasilkan menjadi kurang teliti.

c) Bias Troposfer

Pada saat sinyal satelit melewati lapisan troposfer, sinyal akan mengalami

refraksi yang menyebabkan perubahan pada kecepatan dan arah sinyal sehingga

dapat mempengaruhi hasil ukuran jarak. Lapisan troposfer ini memperlambat data

pseudorange dan data fase.

d) Multipath

Multipath adalah fenomena yang terjadi karena sinyal dari satelit tiba di

antena GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda (Abidin, 2000). Dalam

hal ini satu sinyal merupakan sinyal yang sebenarnya dan sinyal yang lain

merupakan sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda di sekitar

antena seperti gedung, pepohonan, mobil, dan lain-lain. Adanya lebih dari satu

lintasan menyebabkan sinyal-sinyal tersebut berinteferensi.

e) Cycle Slip

Cycle slip adalah terputusnya jumlah gelombang penuh pada saat

pengamatan berlangsung. Hal tersebut salah satunya bisa diakibatkan karena

matinya receiver GPS.

f) Ambiguitas Fase

Ambiguitas fase adalah jumlah gelombang penuh berupa bilangan bulat

dan merupakan kelipatan panjang gelombang yang tidak terukur oleh receiver

pada saat pengamatan berlangsung (Zikra, 2004). Penentuan ambiguitas

diperlukan pada saat pengubahan data fase menjadi hasil ukuran jarak sehingga

dihasilkan ketelitian yang sangat presisi. Nilai ambiguitas fase akan selalu tetap

selama pengamatan tidak terjadi cycle slip. Penentuan ambiguitas fase ini

Page 24: Seismitas peta

30

dilakukan dengan cara pemberian koreksi terhadap nilai ambiguitas fase yang

mengembang (float) sehingga didapat nilai ambiguitas fase yang integer.

g) Kesalahan Jam

Kesalahan jam ini dapat berupa kesalahan jam satelit maupun kesalahan

jam receiver. Bentuk kesalahan jam ini adalah dalam bentuk offset waktu atau

offset frekuensi yang dapat mempengaruhi ukuran jarak.

Ada beberapa macam cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan

atau mengurangi efek kesalahan dan bias pengamatan yaitu mengestimasi

parameter dari kesalahan dan bias dalam proses hitung perataan, pengurangan data

pengamatan (differencing), menghitung besar kesalahan dan bias secara langsung

atau dari model, menggunakan strategi pengamatan dan pengolahan data yang

tepat, dan mengabaikan kesalahan dan bias itu sendiri (Abidin, 2000).

Secara umum, metode penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi

dua, yaitu Metode Penentuan Posisi Absolut dan Metode Penentuan Posisi Relatif.

Penentuan posisi absolut hanya membutuhkan satu receiver GPS saja, sedangkan

pada penentuan posisi relatif atau diferensial membutuhkan minimal 2 buah

receiver GPS. Dalam survei GPS yang menuntut ketelitian tinggi misalnya pada

survei deformasi Pangandaran ini, metode yang digunakan adalah metode

diferensial dengan moda Jaring artinya titik-titik pengamatan di sekitar

Pangandaran diikatkan ke beberapa titik ikat atau referensi.

Metode diferensial dengan moda jaring dapat didefinisikan sebagai proses

penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah

diketahui koordinatnya dengan menggunakan data pengamatan fase dari sinyal

GPS (Abidin, 2002). Pada umumnya jenis survei yang dilakukan adalah survei

statik.

Titik-titik pengamatan deformasi diletakkan pada daerah sekitar patahan

sehingga dapat dilihat pola pergerakannya. Selanjutnya titik-titik pengamatan

tersebut diikatkan ke sebuah kerangka referensi yaitu ITRF (International

Terrestrial Reference Frame). Kerangka ini terdiri dari 300 titik yang menyebar di

seluruh permukaan bumi dan didapatkan dengan pengukuran secara kontinu

Page 25: Seismitas peta

31

menggunakan metode-metode pengamatan VLBI, LLR, GPS, SLR dan DORIS.

ITRF memiliki koordinat dengan ketelitian 1-3 cm dan kecepatan dengan

ketelitian 2-8 mm/tahun (Abidin, 2000). Kerangka ITRF terdiri dari titik-titik yang

disebut titik IGS (International GNSS Service) yang menyebar hampir di seluruh

lempeng tektonik utama dan lempeng-lempeng kecil sehingga kerangka ini dapat

digunakan sebagai referensi dalam studi pemantauan deformasi bumi. Pada

realisasinya dalam pengolahan data GPS, titik-titik hasil pengamatan akan

diikatkan (differensial) ke beberapa titik IGS sesuai dengan letak terdekat dan

baik tidaknya kondisi titik ikat tersebut sehingga titik-titik pengamatan GPS dan

titik IGS akan membentuk suatu jaring yang optimum atau observation-maximum

(OBS-MAX). Parameter utama dari jaring optimum tersebut adalah jarak antar titik

diusahakan yang pendek (baseline pendek). Adapun letak dari titik-titik IGS ini

dapat dilihat pada gambar 2.16 di bawah ini.

Gambar 2.16 Stasiun-stasiun ITRF/ IGS (igscb.jpl.nasa.gov)

Page 26: Seismitas peta

32

Pada pengolahan jaring GPS dengan strategi OBS-MAX tersebut sama

halnya dengan pengolahan jaring GPS pada umumnya, yaitu terdiri dari :

1) Pengolahan data dari setiap baseline dalam jaringan.

2) Perataan jaring yang melibatkan semua baseline untuk menentukan koordinat

dari titik-titik dalam jaringan.

3) Transformasi koordinat titik-titik tersebut dari datum WGS 1984 ke datum

yang diperlukan oleh pengguna.

Pengolahan baseline bertujuan untuk menghitung vektor baseline (dX, dY,

dZ) antara dua titik ujung baseline. Data yang digunakan untuk pengestimasian

vektor tersebut adalah data double-difference yaitu data pengamatan pengamat-

satelit dalam suatu epok tertentu. Data digunakan agar efek kesalahan jam satelit

dan receiver dieliminasi, sehingga tersisa ambiguitas fase dan efek atmosfer.

Proses pengolahan baseline digambarkan pada gambar 2.16 berikut ini.

Page 27: Seismitas peta

33

Gambar 2.17 Tahapan penentuan suatu baseline GPS (double-difference)

Selanjutnya vektor-vektor baseline yang telah ditentukan diproses dalam

suatu hitung perataan jaringan yang bertujuan untuk menentukan koordinat final

dari titik-titik dalam jaringan. Pada umumnya metode perhitungan yang

digunakan adalah metode perataan kuadrat terkecil. Ada dua tahapan dalam

perataan jaringan GPS ini yaitu perataan jaring bebas dan perataan jaring terikat.

Pada perataan jaring bebas menggunakan hanya satu titik ikat IGS untuk

mengecek konsistensi vektor baseline, satu terhadap yang lainnya membentuk

suatu jaring GPS yang optimal. Sedangkan pada perataan jaring terikat, semua

Pemrosesan Awal (outlier detection)

Penetapan/penentuan koordinat dari satu titik ujung baseline untuk berfungsi sebagai titik referensi

Pendeteksian dan pengkoreksian cycle slips

Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity float)

Penentuan Ambiguitas Fase

Penentuan posisi secara diferensial (menggunakan double-difference fase, ambiguity-fixed)

Solusi Baseline Definitif

Page 28: Seismitas peta

34

titik ikat IGS digunakan untuk menghasilkan koordinat final. Tujuan dari perataan

jaring terikat adalah untuk memeriksa konsistensi data ukuran baseline dengan

titik-titik IGS yang telah ada. Setelah solusi dari jaring didapat, semua titik-titik

IGS yang digunakan dilakukan sebuah uji berdasarkan rata-rata dari 3 parameter

translasi menggunakan transformasi Helmert. Jika ada titik IGS yang tidak sesuai

maka titik tersebut harus dihilangkan dari proses pengolahan data dan proses

perataan jaring kembali dilakukan.

Jika semua koordinat final telah ditentukan maka para pengguna bisa

melakukan transformasi dari datum WGS84 ke dalam datum tertentu yang

diperlukan.

2.3.2.2 Pengaruh Pergerakan Lempeng Dalam Studi Deformasi

Lempeng-lempeng di muka bumi ini yang berjumlah kurang lebih 20

lempeng utama dan lempeng-lempeng kecil lainnya mengalami pergerakan setiap

tahunnya misalnya lempeng Eurasia yang bergerak 2 cm/tahun ke arah timur dan

lempeng Australia yang bergerak 7 cm/tahun ke arah utara, demikian juga dengan

lempeng-lempeng kecil. Titik-titik pengamatan deformasi terletak pada suatu

lempeng atau blok yang bergerak sehingga hasil pengamatan data GPS saja tidak

dapat dijadikan sebagai indikator pergeseran karena masih dipengaruhi

pergerakan lempeng tersebut. Dalam kasus deformasi postseismik Pangandaran

ini, titik-titik pengamatan GPS terletak pada Sunda block. Oleh karena itu,

diperlukan sebuah perhitungan yang dapat memodelkan pergerakan lempeng atau

blok di tempat titik pengamatan berada. Penentuan pergerakan lempeng tersebut

dapat dijelaskan oleh Leonhard Euler (1776) melalui teorema Euler fixed point

yang menyatakan bahwa setiap pergerakan pada permukaan bumi dapat

direpresentasikan sebagai rotasi dari titik rotasi kutub yang dipilih yang disebut

Euler Pole. Para ahli menggunakan teorema ini untuk memahami pergerakan dari

tektonik lempeng.

Euler pole menjelaskan pergerakan lempeng yang satu misal lempeng B

relatif terhadap lempeng yang lainnya misal A maka pergerakan lempeng B akan

Page 29: Seismitas peta

35

diletakan pada kerangka referensi lempeng A. Kecepatan rotasi suatu lempeng

dinyatakan dengan, ω = dθ/dt dimana dθ adalah rotasi yang dialami lempeng.

Kecepatan rotasi dari lempeng B relatif terhadap lempeng A dilambangkan

dengan AωB. Dengan informasi itu dapat ditentukan kecepatan di suatu titik pada

lempeng B relatif terhadap lempeng A dan diformulasikan dengan rumus :

v = AωBRsin(α)

dimana R adalah jari-jari bumi dan α adalah sudut antara titik dengan sumbu

rotasi. Ilustrasi dari Euler pole ini dapat dilihat dari gambar 2.18 di bawah ini.

Gambar 2.18 Ilustrasi Euler Pole (www.britannica.com)

Dengan mengetahui kecepatan lempeng tersebut, maka hasil vektor

pergeseran sudah tidak dipengaruhi pergerakan lempeng lagi karena hasil

pengolahan data GPS telah dikurangi oleh kecepatan atau pergerakan suatu blok

sehingga informasi mengenai deformasi di setiap titik dapat ditentukan.