Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

33
2 KATA SEBAGAI SARANA PENYAIR Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra Oleh Yohanes Peka Wisok, Drs., M.Si Darius Jehanih, S.Ag., M.Si LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG, 2009

Transcript of Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

Page 1: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

2

KATA SEBAGAI SARANA PENYAIR

Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

Oleh

Yohanes Peka Wisok, Drs., M.Si

Darius Jehanih, S.Ag., M.Si

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG, 2009

Page 2: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

3

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

bimbinganNya, kami dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: ‘Kata

Sebagai Sarana Penyair, Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra’ ini.

Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah bahwa dalam kehidupan

keseharian sangat terasa dunia sastra pada umumnya seolah-olah tidak menyentuh

sama sekali kehidupan sosial kemasyarakatan sama sekali. Dunia sastra seakan

mempunyai dunia sendiri di tengah dunia pada umumnya. Demikian pula dunia

para penyair pada khususnya, juga sangat terasa seolah-olah berpisah dengan

dunia masyarakat pada umumnya.

Disamping itu, apa yang dikerjakan dan dihasilkan dunia sastra pada

umumnya dan para penyair pada khususnya seolah tak bermanfaat bagi banyak

orang. Sebab yang dikerjakan bukan sebuah hasil rekayasa teknologi yang dapat

membantu kelayakan hidup manusia melainkan sebuah rekasa dan konstruksi kata

demi kata dan kalimat demi kalmiat dalam sekumpulan sajak dan puisi. Dan apa

yang dikatakan pun tidak banyak dimengerti orang. Sebab itu, peneliti mencoba

mengungkapkan kebenaran anggapan ini. Selanjutnya juga mau diungkap dalam

penelitian ini adalah dunia sastra dan para penyair dengan kata-kata yang

diteriakkan tidak bermakna apa-apa atau dapat mengubah sebuah realitas sosial

masyarakat.

Page 3: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

4

Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat berjalan dengan lancar oleh

adanya kerja sama dan dukungan dari banyak pihak. Maka perkenankan kami

menyampaikan terimakasih kepada:

1. Universitas Katolik Parahyangan, melalui Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) yang mendukung kami dalam

bentuk pendanaan.

2. Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto, yang telah menjadi penelaah dalam

seminar penelitian ini.

3. Rekan-rekan sejawat di Lingkungan Fakultas Filsafat dan Pusat Kajian

Humaniora yang telah memberikan masukan dan dukungan semangat

dalam upaya penyelesaian penelitian ini.

4. Ibu Lince Gen yang telah dengan setia menjadi tempat kami bertanya

literatur yang kami butuhkan di perpustakaan Fakultas Filsafat – Unpar.

Kami menyadari bahwa kritikan dan penyempurnaan terhadap hasil

penelitian ini, menambah kekayakan makna dalam mengartikan setiap ayat dan

bait-bait sajak yang kami teliti ini.

Bandung, 23 Maret 2009

Peneliti

Page 4: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

5

ABSTRAK

Setiap pribadi manusia itu unik. Situasi yang diciptakan dan yang pada

akhirnya mengitarinya juga unik. Keunikan diri seseorang dan dunia ciptaannya

memungkinkan banyak hal dalam dirinya tidak dapat dipahami secara utuh. Akan

tetapi harus disadari bahwa sekalipun unik, namun ada struktur dasar yang sama

antara diri seseorang individu dengan pribadi yang lain di luar dirinya.

Demikian pula, dunia yang diciptakan seorang pribadi dengan dunia yang

merupakan hasil rekayasa pribadi lain.

Dengan cara berpikir demikian, maka dapat dikatakan bahwa ada banyak

hal yang tidak bisa dimengerti secara utuh dari diri seseorang. Sebaliknya juga

benar, bahwa ada bganyak hal yang bias dipahami dan diketahui dari diri

seseorang. Karena itu, dunia sastra, para penyair dan kata-kata yang digunakan

dalam kehidupan seni budaya sastra yang ditekuninya dengan segala

keunikannya tidak serta merta membuat dunia sastra berpisah dari dunia

manusia pada umumnya. Demikian juga sang penyair dan kata-kata yang

dipakainya dengan makna yang khas tidak membuatnya asing di tengah sesame

manusia, di tengah masyarakat.

Dunia sastra memang memilki keunikannya tersendiri. Bahasa yang

digunakan dirangkai dalam kalimat bermakna dalam penuh kiasan dan analogi.

Seribu satu macam kata dirangkai dalam kalimat ucapan dan bait-baik sajak dan

puisi yang mengandung makna polisemi.

Page 5: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

6

Para penyairnya pun seolah memiliki dunia sendiri lepas dari masyarakat.

Padahal, para penyair yang sedang berbicara, sebenarnya mereka berbicara

tentang kenyataan hidup setiap hari. Bukan saja tentang kehidupan dirinya

sendiri melainkan kehidupan sosial suatu masyarakat dan juga sebuah bangsa.

Para penyair mengkritik kebijakan pembangunan yang mengabaikan rakyat, tidak

berarti penyair itu seorang politisi. Dia hanya seorang sahabat semua jenis

manusia hanya yang senantiasa berbicara tidak untuk kepentingan dirinya, dan

tidak untuk mencari musuh melainkan dalam nada kritis dia tetap menjadi

sahabat.

Page 6: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

7

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATARBELAKANG PENELITIAN 1 1.2. RUMUSAN MASALAH 2 1.3. TUJUAN PENELITIAN 2 1.4. KEGUNAAN PENELITI AN 3 1.5. WAKTU PENELITIAN 3

BAB II KATA SEBAGAI SARANA PENYAIR

2.1. KATA-KATA DALAM SASTRA 5 2.2. KATA-KATA DALAM SAJAK-PUISI RENDRA 6

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

4.1. LATARBELAKNG RENDRA DALAM SASTRA INDONESIA 13

4.1.1. PENGARUH YANG DIALAMI RENDRA 14

4.1.1. Pengauruh Budaya 15 4.1.2. pengauruh Agama 20

4.1.3. pengauruh Hidupnya Di Tengah Masyarakat 22

4.1.2. ALASAN RENDRA MENGGUNAKAN KATA 24 4.1.2.1. Pemikiran Kreatif Dalam Sastra 25

4.1.2.2. Kata Menciptakan Realitas 26

4.2. MANUSIA DAN CITA-CITA INDUK 27

4.3. INDONESIA MENJADI DIRINYA SENDIRI 32

4.4. PENYAIR PAMFLET DAN POLITIK 40

BAB V KESIMPULAN

BACAAN RUJUKAN 47

Page 7: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

8

BAB I

PENDAHULUAN

I. l. LATARBELAKANG PENELITIAN

Dunia penyair dan sastra dianggap unik. Dengan segala trik dan strategi

penggunaan kata membuat kalayak sulit memahami dirinya dan kata yang

digunakannya dalam karya seni sastranya. Kata-kata yang digunakan dalam karya

sastra yang sulit dimengerti, penyair pun terkadang dianggap sebagai orang yang

tidak selalu terlibat dalam persoalan sosial yang melanda masyarakat.

Dalam pembicaraan sehari-hari, umumnya dipahami bahwa setiap orang

mempunyai kata-kata. Namun setiap kata yang dipakai seseorang dalam konteks

yang berbeda akan melahirkan makna berbeda, demikian juga digunakan seorang

penyair dalam karya sastranya. Sebagai misal, terdapat perbedaan makna bila

seorang penyair berucap, “kita punya kata-kata, mereka punya tank, panser”.

Ucapan ini merupakan keluhan Sutardji Calzoum Bachri. Dia berusaha

membebaskan kata dan membiarkan kata menentukan dirinya. Ungkapan ini

mengandung di dalamnya, kesebalan hati atas tindakan para punguasa yang

sewenang-wenang.

Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri, W.S. Rendra justru sangat

mengunggulkan kata-kata. Demikian ungkapnya, ‘Mereka justru hanya memiliki

senjata, kita punya kata”. (Rendra, dalam Horison No. 11, 1982, 538). Ungkapan

Rendra ini mengandung di dalamnya suatu hasrat luhur. Pucuk pimpinan jangan

Page 8: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

9

hanya ditopang oleh kekuatan senjata melulu. Kewibawaan otoritas harus

didukung oleh akal sehat, kebijaksanaan dan perikemanusiaan.

I. 2. RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan latarbelakang tersebut, maka masalah penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kata yang digunakan seorang penyair dalam karya sastranya

memiliki kekuatan dalam ruang seni sastra ?

2. Sejauhmana kekuatan kata yang digunakan penyair menjadi sarana yang

membaharui keadaan sosial yang tidak adil.

1. 3. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengungkapkan kekuatan kata dalam penggunaannya pada ruang seni

sastra khususnya puisi.

2. Menganalisis penggunaan kata oleh penyair sebagai media penentang

ketidakadilan.

1. 4. KEGUNAAN PENELITIAN

1. Penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memahami fungsi kata yang

digunakan dalam dunia sastra khususnya puisi.

2. Penelitian ini dapat menjadi bahan untuk mempertimbangankan

keterlibatan penyair dalam menentang ketidakadilan.

Page 9: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

10

I. 5. WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus s.d. Desember 2007.

Page 10: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

11

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

Kata dalam sebuah bahasa puitis digunakan penyairnya dengan makna

polisemi. Maka sebuah puisi atau juga sajak harus bisa ditafsir dalam banyak segi.

Sebab tatkala seorang penyair membuat transformasi arti, tidak sekedar bermain

dengan kata; dia sesungguhnya menunjukkan dimensi dalam dari realitas yang

sering luput dari pemahaman sehari-hari. Sebagai contoh; Ketika Sutardji

Calzoum Bachri menulis “Duri dari segala rindu/ duka dari segala daku/ sia dari

segala saya”, (Bachri,1981: 16), maka dapat disadari bahwa kerinduan manusia

selalu ditandai kepedihan yang menusuk dari dalam seperti duri, bahwa ‘daku’

yang eksistensial selalu ditandai ‘duka’ bahwa riwayat ‘saya’ selalu mengandung

sesuatu yang ‘sia-sia’.

Dalam aliran pemikiran hermeneutika seperti Martin Heidegger, Hans

George Gadamer, Paul Ricoeur ditemukan kembali secara baru defenisi manusia

yang diberikan Aristoteles sebagai zoon logon echon, yang secara kurang tepat

diterjemahkan oleh para pemikir zaman Skolastik sebagai animal rationale.

Dalam bahasa Yunani logos berarti 1) akal budi, 2) buah pikiran, perhitungan,

penilaian, dan 3) kata, ucapan cerita, wacana. Dalam bahasa Indonesia bisa

diusulkan terjemahan menjadi manusia adalah makluk yang berbudi bahasa. Kata

budi dalam bahasa Indonesia sekaligus berarti ratio (akal) dan kesadaran etis.

Kalau budi menunjukkan demensi personal, maka bahasa yang di dalamnya kata

berada menyatakan dimensi sosial dimana manusia mengada, dan berada.

Page 11: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

12

Kata adalah cerminan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kekuatan jika

diasalkan dari kehidupan, pikir dan rasa (Rendra, Empat Kumpulan Sajak Cinta,

tt.). Seorang penyair tidak mempunyai apa pun selain kata untuk mengungkapkan

isi kerohaniannya. Dalam sajak protes, kata adalah sarana, medium persaksian

penyair tentang penderitaan. “inilah sajakku,/ Pamplet masa darurat,/ apakah

artinya keseniaan,/ bila terpisah dari derita lingkungan”(Rendra,1980, 24). Kata

dalam sajak pamplet menjadi serentak tantangan dan undangan untuk kembali.

Persaksian harus diberikan agar setiap orang menjadi dirinya dan Indonesia harus

kembali kepada dirinya. Karena setiap apa pun yang menghambat pertumbuhan

pribadi dan merugikan perkembangan bersama adalah gejala ketidak-adilan sosial

yang harus dilawan.

Kata merupakan media potensial pengungkap makna pada konteksnya dan

sekaligus pengungkap diri, pikiran manusia. Maka dalam sebuah rumusan yang

agak paradoksal Paul Ricoeur berkata, The word is much more and much less than

the sentence (Ricoeur,1974). Kata memang ‘kurang’ dalam kalimat karena setiap

kata yang dijumpai dalam kamus atau pun dalam perbedaharaan kolektif lisan

hanyalah mempunyai arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana,

ketika seorang pembicara, penyair menggunakannya untuk menyampaikan

sesuatu kepada orang lain atau pendengar. Kata dalam kamus termasuk tatanan

semiotis, kata dalam wacana menjadi komponen semantis.

Kata melebihi kalimat. Kalimat sebagai ‘peristiwa ujaran’ bersifat

sementara, sedangkan kata sebagai kata selalu tersedia untuk penggunaan baru

terus menerus. Dan karena kata selalu dipakai terus menerus dalam konteks baru,

Page 12: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

13

kata mempunyai sejarah: ia mengalami sedimentasi dan inovasi arti. Dalam

sejarah pemakaian kata bisa mendapat lebih dari satu arti. Maka kata dalam puisi,

sajak tidak bisa dipahami secara rijit.

Page 13: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

14

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam studi linguistik dimana obyek studi utamanya adalah bahasa yang

dipakai manusia maka metode yang dipakai adalah kualitatif dengan hukum

berpikir induksi dengan maksud mendata kata, frase, kalimat yang dipakai

kemudian menganalisa guna mengetahui pemikiran, kehendak, jati diri atau

keberadaan orang yang menggunakan organ-organ atau medium-medium bahasa

tersebut dengan menghubungkannya dengan konteks dan realitas dimana bahasa

tersebut diucapkan.

Dalam penelitian ini, dengan obyek studi utamanya adalah kata-kata yang

dipakai seorang penyair dalam meneriakkan persoalan ketidakadilan sosial

digunakan pendekatan kualitatif dengan kombinasi antara metode kritis, analitika

bahasa, fenomenologi, analisis hermeneutika dan transendental.

Untuk memudahkan pengawasan dalam penelahan atas obyek yang diteliti

perlu terlebih dahulu dikemukakan pendekatan-pendekatan yang dimaksud: 1)

Yang dimaksud metode kritis adalah upaya mengetahui sistem pemikiran, falsafah

yang dianut seseorang dan atau sekelompok orang. Yang terutama diselidiki ialah

konsistensi dan koherensi paham-pahamnya. Konsistensi artinya sesuai dengan

azas, prinsip dasar yang dianut. Sedangkan koherensi artinya satu unsur sesuai

dengan unsur lain, sehingga merupakan satu keseluruhan yang utuh. Kalau

ternyata tidak konsisten dan tidak koheren perlu dicari tahu dimana letak

Page 14: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

15

kesalahan; entah dalam kesalahan berargumentasi atau karena konsep-konsepnya

bersifat kontradiktoris

2) Metode analitika bahasa. Metode ini bertolak dari bahasa sehari-hari

(ordinarry language) dan menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran dengan

maksud supaya pikiran dapat diungkapkan secara tepat dan jelas. Metode ini mau

membersihkan bahasa dari kerancuan dan kekaburan arti. Metode ini membantu

untuk berpikir dan memahami pikiran orang secara tepat dan jelas dan

memampukan setiap pengguna bahasa untuk berkata secara tepat. Di balik cita-

cita bahasa ideal yang serba logis dan persis, sebenarnya tersembunyi tendensi

rasionalistik yang menekankan rasio manusia. Namun kenyataan bahwa bahasa

ideal itu tidak mungkin diwujudkan karena mengandaikan atau membutuhkan

kosa kata yang banyak. Padahal perasaan, kerinduan, harapan, kecemasan

manusia lebih kuat diekspresikan bukan dalam bahasa yang logis melainkan

dalam bahasa analogis, simbolis

3) Metode fenomenologi. Metode ini berusaha untuk menemukan kembali

kekayaan arti sesuatu dalam pengalaman akan arti oleh manusia. Tetapi karena

fenomenologi mau menjelaskan gejala dalam hubungan dengan kesadaran

manusia maka yang perlu diteliti ialah bagaimana arti, makna sesuatu yang

muncul dalam kesadaran manusia. Karena langkah-langkah yang harus dipatuhi

dalam metode ini adalah: 1) mengamati sesuatu dengan sangat teliti sebagai

fenomena, gejala yang menampakan diri pada kesadaran. 2) Reduksi Eidetis,

peneliti mengungkapkan semua aspek yang tidak perlu sehingga yang tinggal

Page 15: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

16

hanya apa yang paling hakiki yaitu yang universal yang mengatasi dimensi ruang

dan waktu. Kesadaran yang individual itu sendiri meruang dan mewaktu.

4) Metode Hermeneutika. Metode ini mengandung makna menjelaskan,

menerjemahkan, menafsir. Tindakan manusia itu luas sekali dan mencakup

seluruh bidang pengetahuan manusia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah;

‘kalau betul pengetahuan manusia itu bersifat penafsiran apakah manusia bisa

mengetahui kebenaran?’ Kaum hermeneutik menyelidiki penafsiran dan metode-

metode yang dipakai oleh ilmu-ilmu sosial untuk mengetahui metode mana yang

bisa dipertanggungjawabkan untuk mendekati kebenaran.

Dalam hubungan dengan upaya memahami pemikiran, dan teriakan para

penyair dalam kata, kalimat, cara kerja hermeneutika dengan fokus pada teks

sebagai obyek penelitian terdekat merupakan perhatian utama guna mengetahui

eksistensi manusia sebagai obyek perhatian terjauh. Maka dalam hubungan

dengan obyek penelitian kata sebagai senjata penyair menentang ketidakadilan

hermeneutika merupakan metode yang tepat.

5. Metode Transedental. Gejala merupakan rangsangan yang tidak teratur.

Rangsangan-rangsangan itu ditangkap oleh panca indera dan langsung disusun

menurut dua forma a priori panca indera yaitu ‘ruang dan waktu’. Hasil godokan

panca indera diteruskan ke akal budi supaya diolah menjadi konsep. Tetapi untuk

menjadi konsep, semua data panca indera disusun lagi menurut 12 forma a priori

akal budi, yaitu: 1) Kuantitas: tediri atas: Kesatuan/ Unitas, Kebanyakan/

Pluralitas, Keseluruhan/ Totalitas. 2) Kuallitas: terdiri atas: Realitas, Negasi,

Limitasi. 3) Relasi: terdiri atas: Substansi-Aksidens, Sebab-akibat, Interaksi. 4)

Page 16: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

17

Modalitas terdiri atas: Mungkin-Tidak mungkin, Ada-Tiada, Keniscayaan-

Kebetulan. Semua pengetahuan konseptual, rasional mendapat bahan dari

pengalaman inderawi lalu disusun menurut kategori a priori akal budi ini.

Pengetahuan inderawi tanpa kategori a priori (melihat dengan mata) adalah buta;

sebaliknya kategori a priori tanpa pengetahuan inderawi adalah kosong. Konsep

lahir dari sintesis pengalaman inderawi dan kategori a priori.

.

Page 17: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

18

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. 1. KEMBALI PADA CITA-CITA INDUK

Dalam kondisi tertentu, penyair cenderung meneriakan hal yang melawan

arus. Ia mau mengembalikan kondisi masyarakat ke dalam alam normal. Alam

normal yang dimaksud adalah jati diri. Penyair tidak rela masyarakat, apa lagi

setiap individu yang ada di dalamnya hilang lebur dalam keharmonisan hampa,

uniformitas, unitas anonim. Setiap indvidu harus menjadi diri mereka sendiri apa

adanya.

Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. (“Sajak Sebotol Bir”, XI, 1-2). Penyair memberitakan suatu bahaya sedang merusakkan setiap orang. Ia

melihat suatu kecenderungan aneh. Orang meninggalkan keunikan dirinya.

Panggilan ke-penyairannya mendesak dia untuk memberikan himbauan agar

setiap orang menjadi diri. Orang harus merumuskan diri seturut bakat dan

kesanggupannya yang khas. Peran yang dimainkan seperti ini, maka para penyair

terkadang juga disebut sebagai nabi sekular. Ia senantiasa berteriak tentang hal

yang bertentangan dengan hakekat manusia. Sebuah panggilan tugas yang tidak

kalah mulianya.

Jalan menuju perwujudan diri bukan tanpa tantangan. Karena itu, di

tempat lain penyair mengharapkan agar setiap orang perlu menciptakan

Page 18: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

19

kemungkinan agar mereka yang tersingkir dapat kembali kepada jalan hidupnya

yang benar.

Berilah jalan kepada kambing hitam kerna ia telah dahaga padang hijau. Berilah jalan kepada semang hilang

kerna ia telah dahaga sinar terang. (“Nyanyian dari Jalanan”, sajak “Aminah”, XIII, 10-13)

Untuk kembali kepada diri, pertama-tama orang harus menerima

kenyataan dirinya. Sambil menentukan orang untuk menerima diri, ia memberi

gairah untuk memulihkan semangat hidup yang lesu. “Sesalkan mana yang mesti

kau sesalkan/ tapi jangan kau rela dibikin korban” (“Bersatulah Pelacur-pelacur

Kota Jakarta”, III, 9-10)

Dalam sajak-sajak mutakhir yang kemudian, sajak-sajak protes Rendra

lebih dialamatkan kepada kepincangan struktur sosial. Lembaga, tata aturan

maupun adat kebiasaan dalam masyarakat yang tidak memungkinkan setiap

individu berkembang ke arah kepenuhan diri akan diberontakinya.

Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk dan ungkapan diri ditekan menjadi peng-iya-an. (Bait I, “Aku Tulis Pamplet ini”)

Hambatan menjadi diri muncul dari dua sisi. Situasi masyarakat yang tidak

menentu merupakan faktor penghambat luar. Sedangkan faktor penghambnat yang

utama adalah dalam kurangnya pengenalan terhadap diri sendiri. Kesukaran

berhadapan dengan diri nampak dalam sikap tidak puas terhadap diri sendiri.

Page 19: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

20

Tidak menerima diri dibahasakan penyair dalam gaya hiperbol “kita marah

terhadap diri”.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang Gejala-gejala yang muncul lalu lalang Tidak bisa kita hubung-hubungkan. Kita marah pada diri sendiri. Kita sebal terhadap masa depan. Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai. (“Sajak Anak Muda”, bait IX).

Sajak adalah pengungkapan dengan segenap hati. Karena itu, himbauan

penyair Rendra agar setiap orang kembali kepada diri amat bertalian erat dengan

pandangan penyair tentang dirinya. Apabila Rendra dihadapkan pada pertanyaan

“Siapakah dirinya”, maka jawaban pertama muncul adalah “saya seorang

manusia”. Manusia (Rendra) sebagai fakta induk (aku-primum), kemudian

dijelaskan Rendra sebagai makluk hidup yang mempunyai pikiran dan batin yang

merdeka. Ia lahir ke dunia tanpa pilihan. Tetapi ia mempunyai kedaulatan untuk

berusaha dan menentukan pilihan-pilihan guna memperbaiki hidupnya sepanjang

kemampuan diri yang dibawa dari lahir mengisinkan(Rendra, 1990, 21).

Rendra adalah puisi, Rendra adalah drama. Ungkapan ini sejalan dengan

apa yang disampaikan Yevgeny Yevtuschenko. Kalau penyair coba membagi

dirinya menjadi dua bagian, penyair dan manusianya, mau tidak mau ia akan

bunuh diri sebagai seniman, demikian tulis Yevgeny(Yevgeny dalam Horison,

1968, 211-212). Benarlah, Rendra menyolok untuk dibicarakan karena sajak-sajak

dan dramanya. Namun ia masih mampu membuat distinksi antara dirinya sebagai

manusia dan bakat-bakatnya. Rendra pertama-tama adalah manusia. Ia lalu

memberi bobot kemanusiaannya oleh menghidupkan bakat-bakat sekunder yang

Page 20: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

21

dimilikinya. “cita-cita induk (meng-aku) itu diintegrasikan oleh seribu satu cita-

cita sekunder”(Bakker, 2000). Dengan kata lain, yang paling utama pada setiap

orang ialah “memanusia”. Proses pemanusiaan itu kemudian didukung oleh

kesetiaan kepada bakat dan tugas konkret. Jelaslah, Rendra bukanlah puisi,

Rendra bukanlah drama. Karena kalau tidak demikian maka puisi tetaplah untuk

puisi dan drama tetaplah untuk drama. Padahal hasrat Rendra untuk menempatkan

puisi dan drama adalah kehidupan manusia sudah cukup jelas. “Apakah artinya

kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”, serunya menggugat. Sajak pamplet

tidak bisa diasingkan ke dalam dirinya sendiri. Paling tidak sajak turut

memuliakan manusia dan kemanusiaan manusia, sekaligus sajak merupakan

senjata guna menentang ketidakadilan, penindasan, pemiskinan terhadap manusia

4. 2. INDONESIA: HARUS KEMBALI KEPADA DIRINYA

Setiap orang memiliki keunikan, demikian juga setiap bangsa memiliki

kekhasan, keunikan budaya. Seperti usaha untuk menjadi ‘aku-unik’ mengalami

hambatan. Menurut penilaian Rendra, sajak zaman Mataram II, ketika kesatuan

pulau Jawa goyah dan tidak pernah utuh lagi, dan secara politik dan ekonomi

dikalahkan oleh bangsa kulit putih, sejak itu pikiran dan batin orang Jawa

kehilangan pamornya(Rendra, dalam Sarinah, 1990). Nasib seperti mereka itu

menimpa wilayah jajahan umumnya.

Di zaman kemerdekaan, nasib bangsa Indonesia seluruhnya sedang

dipimpin oleh sementara orang yang kurang mengindahkan kekhasan bangsa.

Hidup dikuasai kehendak manusia

Page 21: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

22

tanpa menyimak jalannya alam Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai dan hutan. Di Bali: pantai, gunung, tempat tidur dan pura, telah dicemarkan. (Bait akhir “Sajak Pulau Bali”).

Keunikan bangsa dan nilai-nilai luhurnya sedang dirongrong. Padahal

nilai-nilai itu adalah unsur vital pengasal kekuatan bangsa. Penyair

membahasakan nilai-nilai luhur itu dalam simbol naluri ginjal, hati, sungai dan

hutan.

Di zaman pembangunan, kepincangan sosial nampak dimana-mana. Di

bidang ekonomi misalnya, kesetiaan kepada semangat demokrasi ekonomi

Pancasila mengalami kemerosotan. Nilai gotong-royong, kekeluargaan dan

musyawarah demi perwujudan kesejahteraan bersama perlahan-lahan diabaikan.

Membawa sajak-sajak Rendra, secara spontan orang akan bertanya, entahkah di

Indonesia azas perekonomian masih disusun sebagai usaha bersama berdasarkan

azas kekeluargaan? (Baca pasal 33 UUD 1945). Karena bukan koperasi, tetapi

para cukonglah yang kuat sebagai kelompok pemilik modal. Mereka membentuk

jaringan ekonomi raksasa yang mengancam usaha golongan ekonomi lemah.

Kelompok konglomerat ini bukannya menanggapi penderitaan jutaan bahkan 2

per 3 warga bangsa Indonesia. Mereka bukannya menawarkan bantuan, melainkan

memperlakukan bangsa Indonesia dengan cara yang sehina-hinanya yaitu berak di

atas kepala mereka.

Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya

Page 22: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

23

mendengar 130 juta (jutaan) rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka. (Bait I, “Sajak Sebatang Lisong”).

“Di langit” memberi daya bayang yang kuat pada tingkat kehidupan

ekonomi yang tinggi. Kata “langit” mengingatkan kita pada istilah “tinggal

landas”. Dalam konteks sajak di atas, kata “langit” lebih tepat dihubungkan

dengan situasi pemisahan antara kelompok manusia yang sangat kaya dengan

kelompok manusia yang sama sekali tidak kaya atau miskin. Penyair menilai

bahwa jurang pemisah antara yang kaya dengan tidak kaya atau miskin semakin

lebar. Kontras balik perlukisan untuk “langit” ialah “selokan”. Dalam “sajak

Orang Miskin”, selokan adalah simbol ketakberdayaan ekonomi.

Orang-orang miskin di jalan yang tinggal di dalam selokan yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. (Bait I, “Sajak Orang Miskin”)

Kata “selokan’ memimpin imajinasi kepada suasana perkampungan

kumuh. Penyair sendiri rupanya turun dan mengalami situasi kemelaratan yang

paling para dari orang-orang yang terlupakan. Ia memberi lukisan persaksian yang

lebih hidup:

Dalam pandangan mata berkunang-kunang aku melihat kamu membawa helaian plastik itu ke satu gubuk karton kamu lapiskan ke atas gubukmu, dan lalau kamu masuk dengan anakmu…… Sebungkus nasi yang dicuri itulah santapan. Kolong kios buku di terminal

Page 23: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

24

itulah peraduan. (“Sajak Kenalan Lamamu”, bait III 14-23)

Indonesia semakin asing dari dirinya, bukan cuma karena kecenderungan

orang banyak untuk meninggalkan nilai-nilai luhur. Dalam sajak yang sama kita

mendapat persaksian lain. Ternyata bangsa kita ini sukar kembali kepada

keunikan dirinya, karena peraturan dan hukum diselewengkan oleh sementara

penguasa yang tidak bertanggung jawab. Ada bahaya kuasa yang diterima dari

rakyat telah ditempatkan lebih tinggi melampaui hukum, demikian penyair

mengawaskan. Hukum diselewengkan dan orang enggan melepaskan kedudukan.

Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…….

meninggi…….ke awan……. Peraturan dan hukum, kitalah yang empunya. Kita tulis dengan keringat di ketiak, di atas sol sepatu kita. Kitalah gelandangan kaya yang perlu meyakinkan diri dengan pembunuhan. (“Sajak Kenalan Lamamu”, bait XI, 4-12)

Di bidang pendidikan kita diawaskan untuk tidak menerapkan model

pendidikan Barat secara lurus. Ini berguna bagi generasi muda, agar mereka

cukup kuat berakar pada budaya sendiri. Mereka dididik untuk memiliki karakter

khas budaya bangsa yang mampu diandalkan dalam berhadapan dengan pengaruh

budaya asing, luar. Dengan itu dapatlah terhindar apa yang disebut “masa

mengambang”, atau yang oleh Rendra disebut “peradaban fatamorgana”.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Di sana anak-anak memang disiapkan untuk menjadi alat dari industri. Dan industri mereka berjlan tanpa berhenti. Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?

Page 24: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

25

Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan menjadi benalu di dahan. (“Sajak Anak Muda”, bait XI)

Apa bila pendidikan tidak cukup kuat menanam warna khas nilai-nilai

luhur bangsa, maka akibatnya dapat terasa dalam pola pikir dan pola fisik

pembangunan bangsa. Ketika si ‘aku-liris’ berjalan lagi menempuh matahari

sepanjang sejarah pembangunan, ia menemukan sisi gelap lain dari sistem

pembangunan bangsa. Ia berpapasan dengan para arsitektur yang sudah dapat

bekerja dengan disiplin waktu yang ketat. Tetapi ia toh menjadi kesal. Karena

prestasi yang mereka capai dijadikan dasar alasan bukan untuk mendidik,

melainkan untuk menghinakan sesama bangsa.

Dan di langit; para teknokrat berkata: bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun, mesti di-up-grade, disesuaikan dengan teknologi yang diimpor. Bait VI “Sajak Sebatang Lisong”).

Anak-anak bangsa sudah dibekali keahlian untuk membangun, namun

mereka belum cukup bijaksana untuk memadukan keahliannya dengan gaya

arsitektur tradisional budayanya sendiri. Inilah contoh dari apa yang dinamakan

penyair “teknologi yang diimpor”.

Searah dengan kemerosotan fisik, mental bangsa pun rusak. Indonesia

yang kaya tidak saja menderita kemiskinan jasmani, tetapi juga menderita

kemerosotan jiwa. Setelah lepas dari tata cara penghormatan yang berciri feodal,

kita juga tergoda untuk menerapkan tata cara penghormatan asing. Karena itu, ia

Page 25: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

26

menghimbau agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Singkatnya,

Indonesia harus kembali kepada kesahajaan budayanya.

Jangan kamu bilang negara ini kaya kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompa dan blacu. Dan perlu diusulkan

agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

(“Sajak Orang Miskin”, bait V)

Sajak-sajak protes adalah cerminan dari harapan, duka dan kecemasan,

sakit hati dan cinta penyair terhadap umat manusia umumnya. Dalam sajak

pamplet, Indonesia merupakan penghadiran bangsa-bangsa yang hanyut dalam

peradaban yang tidak ia kuasai. Indonesia ikut “terjangkit” kelesuan daya-daya

kehidupan sejak tahun 1975(Dick Hartoko, 1986, 116). Penyair besar melihat

dirinya sebagai satu dari anak bangsa yang kehilangan daya kreativitas. Ia

mengemukakannya dalam nada sindiran yang tajam.

Kita hanyut dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. Di mana kita hanya mampu berak dan makan, Tanpa ada daya untuk menciptakan. Apakah kita akan berhenti sampai di sini?

Persaksian itu harus diberikan agar negara-negara berkembang dan

Indonesia khususnya, harus kembali kepada dirinya. Negara-negara yang mau

maju tidak sepatutnya menjadi sama serupa dengan negara-negara industri dalam

berbagai bidang kehidupan. Karena itu, ia bertanya, “apakah negara-negara yang

ingin maju harus menjadi negara industri?” (“Sajak Sebotol Bir”, IX, 1).

“Awasan” mendesak untuk diberikan. Orang desa harus diingatkan agar

jangan terpancing untuk menjadi orang Jakarta. Orang Jakarta diingatkan agar

Page 26: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

27

jangan terpancing untuk menjadi serupa dengan orang New York. Dan untuk

negeri tercinta Indonesia, jangan direduksi, difermak wajahnya menjadi Jerman,

Jepang ataupun Amerika. Sebaliknya, sang penyair dengan tegas menghendaki

kita harus menjadi diri kita sendiri.

Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri. Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi, dan menghamba ke Jakarta. Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi dan menghamba ke Jepang, Eropa, atau Amerika. (“Sajak Sebotol Bir”, bait X, 3-9).

Keprihatian Rendra atas kepincangan sosial (baca ketidak-adilan sosial,

penindasan dan kemiskinan) di kemukakan dalam nada protes yang mendesak.

Sedangkan penyair lain ketika berhadapan dengan situasi sosial yang kacau,

mengemukakan kegelisan dalam nada yang lebih tenang, meskipun terasa agak

pesimis. Kalau Rendra menuntut agar Indonesia setia kepada dirinya (jangan

dikuasai satu mimpi menjadi orang lain), maka Taufik Ismael misalnya

menghendaki agar Indonesia yang sama dikembalikan kepada si ‘aku-liris’. “Ku”

adalah wakil dari setiap anak negeri yang cinta tanah air. Hanya kepada mereka

sajalah Indonesia dikembalikan.

Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang bernyala bergantian…. ………. Kembalikan Indonesia Padaku. (“Kembalikan Indonesia Padaku”, bait XII-XIII).

Topeng ketidak-adilan, penindasan dan kemiskinan dibuka. Setiap orang

dihadapkan kepada nuraninya sendiri. Nuraninya, sekaligus menjadi cermin, kaca

Page 27: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

28

pemotret dirinya. Dengan itu kesetiaan penyair terhadap umat manusia

diwujudkan. Maka, kita pun butuh suatu sikap dalam menghadapi sajak-sajak

protes. Kita tidak boleh terjebak dalam angan politik murahan tanpa

memperhatikan esensi diri manusia. Sajak perlu dibaca dalam kaca mata polisemi.

Ia mengandung banyak makna yang harus disimak lebih jauh dan dalam, agar kita

dapat memahami kekayaan makna yakni manusia itu sendiri.

4. 3. PENYAIR PAMPLET BUKAN POLITISI

Dari sajak-sajaknya, memberi kesan Rendra dicap sebagai pemberontak.

Kenyataan tidak sebagai seorang politisi. Akan tetapi, sajak-sajaknya sangat

menyentuh wilayah politik, kebijakan politik, kekuasaan para politisi. Maka,

menjadi pertanyaan adalah manakah posisi Rendra dan sajak-sajak protesnya,

kalau ia bukanlah seorang politisi?

Dengan mengutip Hoffe, Magnis Suseno mengemukakan tiga tingkatan

kriteria untuk menilai betul atau tidaknya tindakan politik. Pertama, tingkatan

umum. Tingkatan ini mencakup semua orang tanpa kecuali. Sebab, setiap manusia

berurusan dengan prinsip moral dasar seperti keadilan, kebajikan, dan kebenaran.

Prinsip ini memang abstrak dan tidak dapat diterapkan secara langsung. Kedua,

politik pada tingkatan menengah. Tingkat politik pada level ini menyangkut

bidang permasalahan tertentu. Kebijaksanaan dirumuskan secara konkrit untuk

diterapkan dalam masyarakat. Orang berusaha mengemukakan pola legitimasi dan

tuntutan normatif dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, politik pada

tingkat keahlian. Politik pada level ini berkaitan dengan keahlian ilmu-ilmu

Page 28: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

29

politik. Para ahli politik membangun kriteria-kriteria politik untuk menilai zaman

dan situasi(Magnis Suseno, 1987, 19-24).

Setiap warga negara yang baik memiliki keprihatinan atas nasib

bangsanya, meskipun ia bukan seorang politisi. Seperti manusia lainnya, Rendra

dan penyair lainnya menghendaki keadilan sosial, kemiskinan dibasmi. Sajak-

sajaknya menyinggung kebijaksanaan sosial dan penerapannya. Namun dari

sudut politik, Rendra lebih cocok dikelompokkan dalam “tingkatan politik

umum”. Ia sama seperti rakyat biasa lainnya. Dalam sajak protesnya, Rendra tidak

memiliki tujuan politis secara langsung. Ia mengemukakan persaksiannya tanpa

menentukan target politik yang harus dicapai. Pendeknya, Rendra tidak berpegang

pada prinsip politik. Akan tetapi sebagai seniman, ia sendiri merumuskan

pendiriannya:

“Tetapi saya mempunyai target sebagai seniman. Dan ini saya lukiskan dalam sajak-sajak saya……. Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka ada orang memanah rembulan ada anak-anak burung terjatuh dari sarangnya orang-orang harus dibangunkan kesaksian harus diberikan agar kehidupan bisa terjaga”(Rendra, dalam Horison, 1982).

Rendra adalah “pemberontak” yang lebih mencintai diplomasi daripada

kekerasan. Ia cuma seorang penyair yang bertelinga peka terhadap jerit suara

orang-orang menderita. Kerena itu, menurut A. Teeuw, tidaklah pada tempatnya

kalau sajak-sajak protes Rendra dipakai oleh para pengecam sosial untuk menarik

kereta politiknya. Demikian juga para penguasa yang takut akan saja-sajak protes

Rendra secara tidak langsung akan memusuhinya. Padahal, sebenarnya penyair

Page 29: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

30

ingin menjadi kawan seperjuangan yang paling baik(A.Teew, dalam Potret

Pembangunan dalam Puisi. hal. 24). Ia ingin menjadi lawan bicara sekaligus rekan

berpikir yang baik.

Aku ingin berbicara wajar dan bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. (Sajak “Aku Tulis Pamplet”, IV, 3-4)

Page 30: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

31

BAB V

KESIMPULAN

Puisi tak dapat ditipu, demikiian tulis Yevgeny(Yevgeny dalam Horison,

1968, 211-212). Puisi akan meninggalkan mereka yang menipunya. Puisi hanya

mungkin kuat, memikat dan tahan zaman kalau ditulis dengan seluruh diri.

Penyair tidak menulis menurut pikiran ataupun perasaannya, melainkan ia menulis

seturut hati nuraninya.

Nurani seorang penyair dan sajak-sajaknya dicetuskannya tidak bisa

ditukarkan dengan kekayaan, kedudukan dan bahkan dengan agama sekalipun.

Itulah sebabnya mengapa ibu Brotoatmodjo misalnya, tidak dapat mengerti

mengapa Rendra anaknya tidak mau menerima subsidi dari beberapa yayasan

yang mau bekerja sama dengannya. Padahal pada waktu itu (tahun 1970-an)

Rendra sebagai kepala keluarga sudah memiliki tanggung jawab menghidupi

seluruh anggota keluarganya yang terbilang sangat berat. Tetapi cerita ini cuma

catatan kaki. Karena “otobiografi penyair adalah puisinya. Selebihnya hanyalah

merupakan catatan kaki belaka”, demikianlah tulis Yevgeny. Jelaslah riwayat

penyair adalah kisah tentang keuletannya mencerna pengalaman dalam nurani,

lalu dicetuskan dalam kebaruan sajak yang menyapa.

Nurani penyair pamplet adalah endapan nurani orang-orang yang

menderita (ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan). Sajak-sajak protes yang

lahir dari kandungan nurani tetaplah menarik untuk diperdengarkan. Karena

dalam sajak, kita dapat melepaskan sedikit dari beban derita ke dalam kata.

Page 31: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

32

Sebab dalam apa pun bahasa, lisan atau tulis banyak kosa kata yang ada dapat

mengungkapkan banyak hal dengan makna mendalam tentang kehidupan

masyarakat pengguna bahasa. Ketika banyak bahasa daerah di tanah air bahkan

kata-kata bahasa Indonesia sendiri kehilangan kata-kata dan mengalami

kemunduran dan terancam punah kosa kata dan peristilahan tertentu, ada baiknya

kita mengajukan sebuah pertanyaan refleksif: Apakah aku masih mengenal dunia,

sesama dan diriku di tengah lingkup kebudayaan yang asli? Adalah sebaris puisi

Supardi Djoko Damono sebagaimana tertulis dalam majalah Horison no. 12

(Desember 1991) berikut ini membuat kita tetap sadar:

dalam setiap kata yang kau baca selalu ada huruf yang hilang – kelak kau pasti akan kembali menemukannya

di sela-sela kenangan penuh ilalang. Bila kita, hari ini kembali ke kampung halaman (dalam artian kultural), apakah

yang akan kita temukan? Sebuah aksara budaya yang hilang di sela-sela kenangan

penuh ilalang? Sebelum semuanya terlambat, sanggupkah kita menemukannya

kembali?

Page 32: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

33

DAFTAR KEPUSTKAAN Austin, J.L. 1975 How To Do Things With Words, 2nd edt., Oxford: Clarendon Press Bakker, A. 2000. Antropologi Metafisika. Yogjakarta: Kanisius De Saussure, F. 1985 Course in General Linguistics. London: Duck-worth Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogjakarta: Kanisius Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Empat Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan

Budaya. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Linus Suryadi, A. G. 1987. Tonggak Ontologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Lubis Muchtar 1992 Budaya, Masyarakat, dan manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia Rendra. W.S. 1982. “Saya Punya mental Juara” dalam Horison No. 11, 1982 Empat Kumpulan Sajak dalam sajak “Surat Cinta”. 1980 Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Studi

Pembangunan. 1990 Perkawinan Pikiran, Batin dan Gairah Hidup, dalam Sarinah. Ricoeur, P. 1974 The Conflict of Interpretations. Evanston: Northwestern Univ.

Pres. 1976 The Interpratation Theory, Fort Worth. The Texas Christian Univ.

Pres. Sugiharto, Bambang I. 1996 Postmodernisme. Yogjakarta: Kanisius Yevgeny, Y. 1968 Bab Pertama Sebuah Otobiografi dalam Horison. Juli 1968

Page 33: Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra

34