Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra
Transcript of Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra
2
KATA SEBAGAI SARANA PENYAIR
Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra
Oleh
Yohanes Peka Wisok, Drs., M.Si
Darius Jehanih, S.Ag., M.Si
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG, 2009
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
bimbinganNya, kami dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: ‘Kata
Sebagai Sarana Penyair, Sebuah Studi Kritis Terhadap Sajak W.S. Rendra’ ini.
Dasar pemikiran dari penelitian ini adalah bahwa dalam kehidupan
keseharian sangat terasa dunia sastra pada umumnya seolah-olah tidak menyentuh
sama sekali kehidupan sosial kemasyarakatan sama sekali. Dunia sastra seakan
mempunyai dunia sendiri di tengah dunia pada umumnya. Demikian pula dunia
para penyair pada khususnya, juga sangat terasa seolah-olah berpisah dengan
dunia masyarakat pada umumnya.
Disamping itu, apa yang dikerjakan dan dihasilkan dunia sastra pada
umumnya dan para penyair pada khususnya seolah tak bermanfaat bagi banyak
orang. Sebab yang dikerjakan bukan sebuah hasil rekayasa teknologi yang dapat
membantu kelayakan hidup manusia melainkan sebuah rekasa dan konstruksi kata
demi kata dan kalimat demi kalmiat dalam sekumpulan sajak dan puisi. Dan apa
yang dikatakan pun tidak banyak dimengerti orang. Sebab itu, peneliti mencoba
mengungkapkan kebenaran anggapan ini. Selanjutnya juga mau diungkap dalam
penelitian ini adalah dunia sastra dan para penyair dengan kata-kata yang
diteriakkan tidak bermakna apa-apa atau dapat mengubah sebuah realitas sosial
masyarakat.
4
Kami menyadari bahwa penelitian ini dapat berjalan dengan lancar oleh
adanya kerja sama dan dukungan dari banyak pihak. Maka perkenankan kami
menyampaikan terimakasih kepada:
1. Universitas Katolik Parahyangan, melalui Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) yang mendukung kami dalam
bentuk pendanaan.
2. Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto, yang telah menjadi penelaah dalam
seminar penelitian ini.
3. Rekan-rekan sejawat di Lingkungan Fakultas Filsafat dan Pusat Kajian
Humaniora yang telah memberikan masukan dan dukungan semangat
dalam upaya penyelesaian penelitian ini.
4. Ibu Lince Gen yang telah dengan setia menjadi tempat kami bertanya
literatur yang kami butuhkan di perpustakaan Fakultas Filsafat – Unpar.
Kami menyadari bahwa kritikan dan penyempurnaan terhadap hasil
penelitian ini, menambah kekayakan makna dalam mengartikan setiap ayat dan
bait-bait sajak yang kami teliti ini.
Bandung, 23 Maret 2009
Peneliti
5
ABSTRAK
Setiap pribadi manusia itu unik. Situasi yang diciptakan dan yang pada
akhirnya mengitarinya juga unik. Keunikan diri seseorang dan dunia ciptaannya
memungkinkan banyak hal dalam dirinya tidak dapat dipahami secara utuh. Akan
tetapi harus disadari bahwa sekalipun unik, namun ada struktur dasar yang sama
antara diri seseorang individu dengan pribadi yang lain di luar dirinya.
Demikian pula, dunia yang diciptakan seorang pribadi dengan dunia yang
merupakan hasil rekayasa pribadi lain.
Dengan cara berpikir demikian, maka dapat dikatakan bahwa ada banyak
hal yang tidak bisa dimengerti secara utuh dari diri seseorang. Sebaliknya juga
benar, bahwa ada bganyak hal yang bias dipahami dan diketahui dari diri
seseorang. Karena itu, dunia sastra, para penyair dan kata-kata yang digunakan
dalam kehidupan seni budaya sastra yang ditekuninya dengan segala
keunikannya tidak serta merta membuat dunia sastra berpisah dari dunia
manusia pada umumnya. Demikian juga sang penyair dan kata-kata yang
dipakainya dengan makna yang khas tidak membuatnya asing di tengah sesame
manusia, di tengah masyarakat.
Dunia sastra memang memilki keunikannya tersendiri. Bahasa yang
digunakan dirangkai dalam kalimat bermakna dalam penuh kiasan dan analogi.
Seribu satu macam kata dirangkai dalam kalimat ucapan dan bait-baik sajak dan
puisi yang mengandung makna polisemi.
6
Para penyairnya pun seolah memiliki dunia sendiri lepas dari masyarakat.
Padahal, para penyair yang sedang berbicara, sebenarnya mereka berbicara
tentang kenyataan hidup setiap hari. Bukan saja tentang kehidupan dirinya
sendiri melainkan kehidupan sosial suatu masyarakat dan juga sebuah bangsa.
Para penyair mengkritik kebijakan pembangunan yang mengabaikan rakyat, tidak
berarti penyair itu seorang politisi. Dia hanya seorang sahabat semua jenis
manusia hanya yang senantiasa berbicara tidak untuk kepentingan dirinya, dan
tidak untuk mencari musuh melainkan dalam nada kritis dia tetap menjadi
sahabat.
7
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATARBELAKANG PENELITIAN 1 1.2. RUMUSAN MASALAH 2 1.3. TUJUAN PENELITIAN 2 1.4. KEGUNAAN PENELITI AN 3 1.5. WAKTU PENELITIAN 3
BAB II KATA SEBAGAI SARANA PENYAIR
2.1. KATA-KATA DALAM SASTRA 5 2.2. KATA-KATA DALAM SAJAK-PUISI RENDRA 6
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN
4.1. LATARBELAKNG RENDRA DALAM SASTRA INDONESIA 13
4.1.1. PENGARUH YANG DIALAMI RENDRA 14
4.1.1. Pengauruh Budaya 15 4.1.2. pengauruh Agama 20
4.1.3. pengauruh Hidupnya Di Tengah Masyarakat 22
4.1.2. ALASAN RENDRA MENGGUNAKAN KATA 24 4.1.2.1. Pemikiran Kreatif Dalam Sastra 25
4.1.2.2. Kata Menciptakan Realitas 26
4.2. MANUSIA DAN CITA-CITA INDUK 27
4.3. INDONESIA MENJADI DIRINYA SENDIRI 32
4.4. PENYAIR PAMFLET DAN POLITIK 40
BAB V KESIMPULAN
BACAAN RUJUKAN 47
8
BAB I
PENDAHULUAN
I. l. LATARBELAKANG PENELITIAN
Dunia penyair dan sastra dianggap unik. Dengan segala trik dan strategi
penggunaan kata membuat kalayak sulit memahami dirinya dan kata yang
digunakannya dalam karya seni sastranya. Kata-kata yang digunakan dalam karya
sastra yang sulit dimengerti, penyair pun terkadang dianggap sebagai orang yang
tidak selalu terlibat dalam persoalan sosial yang melanda masyarakat.
Dalam pembicaraan sehari-hari, umumnya dipahami bahwa setiap orang
mempunyai kata-kata. Namun setiap kata yang dipakai seseorang dalam konteks
yang berbeda akan melahirkan makna berbeda, demikian juga digunakan seorang
penyair dalam karya sastranya. Sebagai misal, terdapat perbedaan makna bila
seorang penyair berucap, “kita punya kata-kata, mereka punya tank, panser”.
Ucapan ini merupakan keluhan Sutardji Calzoum Bachri. Dia berusaha
membebaskan kata dan membiarkan kata menentukan dirinya. Ungkapan ini
mengandung di dalamnya, kesebalan hati atas tindakan para punguasa yang
sewenang-wenang.
Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri, W.S. Rendra justru sangat
mengunggulkan kata-kata. Demikian ungkapnya, ‘Mereka justru hanya memiliki
senjata, kita punya kata”. (Rendra, dalam Horison No. 11, 1982, 538). Ungkapan
Rendra ini mengandung di dalamnya suatu hasrat luhur. Pucuk pimpinan jangan
9
hanya ditopang oleh kekuatan senjata melulu. Kewibawaan otoritas harus
didukung oleh akal sehat, kebijaksanaan dan perikemanusiaan.
I. 2. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan latarbelakang tersebut, maka masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah kata yang digunakan seorang penyair dalam karya sastranya
memiliki kekuatan dalam ruang seni sastra ?
2. Sejauhmana kekuatan kata yang digunakan penyair menjadi sarana yang
membaharui keadaan sosial yang tidak adil.
1. 3. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengungkapkan kekuatan kata dalam penggunaannya pada ruang seni
sastra khususnya puisi.
2. Menganalisis penggunaan kata oleh penyair sebagai media penentang
ketidakadilan.
1. 4. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk memahami fungsi kata yang
digunakan dalam dunia sastra khususnya puisi.
2. Penelitian ini dapat menjadi bahan untuk mempertimbangankan
keterlibatan penyair dalam menentang ketidakadilan.
10
I. 5. WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus s.d. Desember 2007.
11
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN
Kata dalam sebuah bahasa puitis digunakan penyairnya dengan makna
polisemi. Maka sebuah puisi atau juga sajak harus bisa ditafsir dalam banyak segi.
Sebab tatkala seorang penyair membuat transformasi arti, tidak sekedar bermain
dengan kata; dia sesungguhnya menunjukkan dimensi dalam dari realitas yang
sering luput dari pemahaman sehari-hari. Sebagai contoh; Ketika Sutardji
Calzoum Bachri menulis “Duri dari segala rindu/ duka dari segala daku/ sia dari
segala saya”, (Bachri,1981: 16), maka dapat disadari bahwa kerinduan manusia
selalu ditandai kepedihan yang menusuk dari dalam seperti duri, bahwa ‘daku’
yang eksistensial selalu ditandai ‘duka’ bahwa riwayat ‘saya’ selalu mengandung
sesuatu yang ‘sia-sia’.
Dalam aliran pemikiran hermeneutika seperti Martin Heidegger, Hans
George Gadamer, Paul Ricoeur ditemukan kembali secara baru defenisi manusia
yang diberikan Aristoteles sebagai zoon logon echon, yang secara kurang tepat
diterjemahkan oleh para pemikir zaman Skolastik sebagai animal rationale.
Dalam bahasa Yunani logos berarti 1) akal budi, 2) buah pikiran, perhitungan,
penilaian, dan 3) kata, ucapan cerita, wacana. Dalam bahasa Indonesia bisa
diusulkan terjemahan menjadi manusia adalah makluk yang berbudi bahasa. Kata
budi dalam bahasa Indonesia sekaligus berarti ratio (akal) dan kesadaran etis.
Kalau budi menunjukkan demensi personal, maka bahasa yang di dalamnya kata
berada menyatakan dimensi sosial dimana manusia mengada, dan berada.
12
Kata adalah cerminan kebijaksanaan. Kebijaksanaan adalah kekuatan jika
diasalkan dari kehidupan, pikir dan rasa (Rendra, Empat Kumpulan Sajak Cinta,
tt.). Seorang penyair tidak mempunyai apa pun selain kata untuk mengungkapkan
isi kerohaniannya. Dalam sajak protes, kata adalah sarana, medium persaksian
penyair tentang penderitaan. “inilah sajakku,/ Pamplet masa darurat,/ apakah
artinya keseniaan,/ bila terpisah dari derita lingkungan”(Rendra,1980, 24). Kata
dalam sajak pamplet menjadi serentak tantangan dan undangan untuk kembali.
Persaksian harus diberikan agar setiap orang menjadi dirinya dan Indonesia harus
kembali kepada dirinya. Karena setiap apa pun yang menghambat pertumbuhan
pribadi dan merugikan perkembangan bersama adalah gejala ketidak-adilan sosial
yang harus dilawan.
Kata merupakan media potensial pengungkap makna pada konteksnya dan
sekaligus pengungkap diri, pikiran manusia. Maka dalam sebuah rumusan yang
agak paradoksal Paul Ricoeur berkata, The word is much more and much less than
the sentence (Ricoeur,1974). Kata memang ‘kurang’ dalam kalimat karena setiap
kata yang dijumpai dalam kamus atau pun dalam perbedaharaan kolektif lisan
hanyalah mempunyai arti potensial. Arti itu baru menjadi aktual dalam wacana,
ketika seorang pembicara, penyair menggunakannya untuk menyampaikan
sesuatu kepada orang lain atau pendengar. Kata dalam kamus termasuk tatanan
semiotis, kata dalam wacana menjadi komponen semantis.
Kata melebihi kalimat. Kalimat sebagai ‘peristiwa ujaran’ bersifat
sementara, sedangkan kata sebagai kata selalu tersedia untuk penggunaan baru
terus menerus. Dan karena kata selalu dipakai terus menerus dalam konteks baru,
13
kata mempunyai sejarah: ia mengalami sedimentasi dan inovasi arti. Dalam
sejarah pemakaian kata bisa mendapat lebih dari satu arti. Maka kata dalam puisi,
sajak tidak bisa dipahami secara rijit.
14
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam studi linguistik dimana obyek studi utamanya adalah bahasa yang
dipakai manusia maka metode yang dipakai adalah kualitatif dengan hukum
berpikir induksi dengan maksud mendata kata, frase, kalimat yang dipakai
kemudian menganalisa guna mengetahui pemikiran, kehendak, jati diri atau
keberadaan orang yang menggunakan organ-organ atau medium-medium bahasa
tersebut dengan menghubungkannya dengan konteks dan realitas dimana bahasa
tersebut diucapkan.
Dalam penelitian ini, dengan obyek studi utamanya adalah kata-kata yang
dipakai seorang penyair dalam meneriakkan persoalan ketidakadilan sosial
digunakan pendekatan kualitatif dengan kombinasi antara metode kritis, analitika
bahasa, fenomenologi, analisis hermeneutika dan transendental.
Untuk memudahkan pengawasan dalam penelahan atas obyek yang diteliti
perlu terlebih dahulu dikemukakan pendekatan-pendekatan yang dimaksud: 1)
Yang dimaksud metode kritis adalah upaya mengetahui sistem pemikiran, falsafah
yang dianut seseorang dan atau sekelompok orang. Yang terutama diselidiki ialah
konsistensi dan koherensi paham-pahamnya. Konsistensi artinya sesuai dengan
azas, prinsip dasar yang dianut. Sedangkan koherensi artinya satu unsur sesuai
dengan unsur lain, sehingga merupakan satu keseluruhan yang utuh. Kalau
ternyata tidak konsisten dan tidak koheren perlu dicari tahu dimana letak
15
kesalahan; entah dalam kesalahan berargumentasi atau karena konsep-konsepnya
bersifat kontradiktoris
2) Metode analitika bahasa. Metode ini bertolak dari bahasa sehari-hari
(ordinarry language) dan menyelidiki hubungan antara bahasa dan pikiran dengan
maksud supaya pikiran dapat diungkapkan secara tepat dan jelas. Metode ini mau
membersihkan bahasa dari kerancuan dan kekaburan arti. Metode ini membantu
untuk berpikir dan memahami pikiran orang secara tepat dan jelas dan
memampukan setiap pengguna bahasa untuk berkata secara tepat. Di balik cita-
cita bahasa ideal yang serba logis dan persis, sebenarnya tersembunyi tendensi
rasionalistik yang menekankan rasio manusia. Namun kenyataan bahwa bahasa
ideal itu tidak mungkin diwujudkan karena mengandaikan atau membutuhkan
kosa kata yang banyak. Padahal perasaan, kerinduan, harapan, kecemasan
manusia lebih kuat diekspresikan bukan dalam bahasa yang logis melainkan
dalam bahasa analogis, simbolis
3) Metode fenomenologi. Metode ini berusaha untuk menemukan kembali
kekayaan arti sesuatu dalam pengalaman akan arti oleh manusia. Tetapi karena
fenomenologi mau menjelaskan gejala dalam hubungan dengan kesadaran
manusia maka yang perlu diteliti ialah bagaimana arti, makna sesuatu yang
muncul dalam kesadaran manusia. Karena langkah-langkah yang harus dipatuhi
dalam metode ini adalah: 1) mengamati sesuatu dengan sangat teliti sebagai
fenomena, gejala yang menampakan diri pada kesadaran. 2) Reduksi Eidetis,
peneliti mengungkapkan semua aspek yang tidak perlu sehingga yang tinggal
16
hanya apa yang paling hakiki yaitu yang universal yang mengatasi dimensi ruang
dan waktu. Kesadaran yang individual itu sendiri meruang dan mewaktu.
4) Metode Hermeneutika. Metode ini mengandung makna menjelaskan,
menerjemahkan, menafsir. Tindakan manusia itu luas sekali dan mencakup
seluruh bidang pengetahuan manusia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah;
‘kalau betul pengetahuan manusia itu bersifat penafsiran apakah manusia bisa
mengetahui kebenaran?’ Kaum hermeneutik menyelidiki penafsiran dan metode-
metode yang dipakai oleh ilmu-ilmu sosial untuk mengetahui metode mana yang
bisa dipertanggungjawabkan untuk mendekati kebenaran.
Dalam hubungan dengan upaya memahami pemikiran, dan teriakan para
penyair dalam kata, kalimat, cara kerja hermeneutika dengan fokus pada teks
sebagai obyek penelitian terdekat merupakan perhatian utama guna mengetahui
eksistensi manusia sebagai obyek perhatian terjauh. Maka dalam hubungan
dengan obyek penelitian kata sebagai senjata penyair menentang ketidakadilan
hermeneutika merupakan metode yang tepat.
5. Metode Transedental. Gejala merupakan rangsangan yang tidak teratur.
Rangsangan-rangsangan itu ditangkap oleh panca indera dan langsung disusun
menurut dua forma a priori panca indera yaitu ‘ruang dan waktu’. Hasil godokan
panca indera diteruskan ke akal budi supaya diolah menjadi konsep. Tetapi untuk
menjadi konsep, semua data panca indera disusun lagi menurut 12 forma a priori
akal budi, yaitu: 1) Kuantitas: tediri atas: Kesatuan/ Unitas, Kebanyakan/
Pluralitas, Keseluruhan/ Totalitas. 2) Kuallitas: terdiri atas: Realitas, Negasi,
Limitasi. 3) Relasi: terdiri atas: Substansi-Aksidens, Sebab-akibat, Interaksi. 4)
17
Modalitas terdiri atas: Mungkin-Tidak mungkin, Ada-Tiada, Keniscayaan-
Kebetulan. Semua pengetahuan konseptual, rasional mendapat bahan dari
pengalaman inderawi lalu disusun menurut kategori a priori akal budi ini.
Pengetahuan inderawi tanpa kategori a priori (melihat dengan mata) adalah buta;
sebaliknya kategori a priori tanpa pengetahuan inderawi adalah kosong. Konsep
lahir dari sintesis pengalaman inderawi dan kategori a priori.
.
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4. 1. KEMBALI PADA CITA-CITA INDUK
Dalam kondisi tertentu, penyair cenderung meneriakan hal yang melawan
arus. Ia mau mengembalikan kondisi masyarakat ke dalam alam normal. Alam
normal yang dimaksud adalah jati diri. Penyair tidak rela masyarakat, apa lagi
setiap individu yang ada di dalamnya hilang lebur dalam keharmonisan hampa,
uniformitas, unitas anonim. Setiap indvidu harus menjadi diri mereka sendiri apa
adanya.
Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. (“Sajak Sebotol Bir”, XI, 1-2). Penyair memberitakan suatu bahaya sedang merusakkan setiap orang. Ia
melihat suatu kecenderungan aneh. Orang meninggalkan keunikan dirinya.
Panggilan ke-penyairannya mendesak dia untuk memberikan himbauan agar
setiap orang menjadi diri. Orang harus merumuskan diri seturut bakat dan
kesanggupannya yang khas. Peran yang dimainkan seperti ini, maka para penyair
terkadang juga disebut sebagai nabi sekular. Ia senantiasa berteriak tentang hal
yang bertentangan dengan hakekat manusia. Sebuah panggilan tugas yang tidak
kalah mulianya.
Jalan menuju perwujudan diri bukan tanpa tantangan. Karena itu, di
tempat lain penyair mengharapkan agar setiap orang perlu menciptakan
19
kemungkinan agar mereka yang tersingkir dapat kembali kepada jalan hidupnya
yang benar.
Berilah jalan kepada kambing hitam kerna ia telah dahaga padang hijau. Berilah jalan kepada semang hilang
kerna ia telah dahaga sinar terang. (“Nyanyian dari Jalanan”, sajak “Aminah”, XIII, 10-13)
Untuk kembali kepada diri, pertama-tama orang harus menerima
kenyataan dirinya. Sambil menentukan orang untuk menerima diri, ia memberi
gairah untuk memulihkan semangat hidup yang lesu. “Sesalkan mana yang mesti
kau sesalkan/ tapi jangan kau rela dibikin korban” (“Bersatulah Pelacur-pelacur
Kota Jakarta”, III, 9-10)
Dalam sajak-sajak mutakhir yang kemudian, sajak-sajak protes Rendra
lebih dialamatkan kepada kepincangan struktur sosial. Lembaga, tata aturan
maupun adat kebiasaan dalam masyarakat yang tidak memungkinkan setiap
individu berkembang ke arah kepenuhan diri akan diberontakinya.
Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring laba-laba Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk dan ungkapan diri ditekan menjadi peng-iya-an. (Bait I, “Aku Tulis Pamplet ini”)
Hambatan menjadi diri muncul dari dua sisi. Situasi masyarakat yang tidak
menentu merupakan faktor penghambat luar. Sedangkan faktor penghambnat yang
utama adalah dalam kurangnya pengenalan terhadap diri sendiri. Kesukaran
berhadapan dengan diri nampak dalam sikap tidak puas terhadap diri sendiri.
20
Tidak menerima diri dibahasakan penyair dalam gaya hiperbol “kita marah
terhadap diri”.
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang Gejala-gejala yang muncul lalu lalang Tidak bisa kita hubung-hubungkan. Kita marah pada diri sendiri. Kita sebal terhadap masa depan. Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai. (“Sajak Anak Muda”, bait IX).
Sajak adalah pengungkapan dengan segenap hati. Karena itu, himbauan
penyair Rendra agar setiap orang kembali kepada diri amat bertalian erat dengan
pandangan penyair tentang dirinya. Apabila Rendra dihadapkan pada pertanyaan
“Siapakah dirinya”, maka jawaban pertama muncul adalah “saya seorang
manusia”. Manusia (Rendra) sebagai fakta induk (aku-primum), kemudian
dijelaskan Rendra sebagai makluk hidup yang mempunyai pikiran dan batin yang
merdeka. Ia lahir ke dunia tanpa pilihan. Tetapi ia mempunyai kedaulatan untuk
berusaha dan menentukan pilihan-pilihan guna memperbaiki hidupnya sepanjang
kemampuan diri yang dibawa dari lahir mengisinkan(Rendra, 1990, 21).
Rendra adalah puisi, Rendra adalah drama. Ungkapan ini sejalan dengan
apa yang disampaikan Yevgeny Yevtuschenko. Kalau penyair coba membagi
dirinya menjadi dua bagian, penyair dan manusianya, mau tidak mau ia akan
bunuh diri sebagai seniman, demikian tulis Yevgeny(Yevgeny dalam Horison,
1968, 211-212). Benarlah, Rendra menyolok untuk dibicarakan karena sajak-sajak
dan dramanya. Namun ia masih mampu membuat distinksi antara dirinya sebagai
manusia dan bakat-bakatnya. Rendra pertama-tama adalah manusia. Ia lalu
memberi bobot kemanusiaannya oleh menghidupkan bakat-bakat sekunder yang
21
dimilikinya. “cita-cita induk (meng-aku) itu diintegrasikan oleh seribu satu cita-
cita sekunder”(Bakker, 2000). Dengan kata lain, yang paling utama pada setiap
orang ialah “memanusia”. Proses pemanusiaan itu kemudian didukung oleh
kesetiaan kepada bakat dan tugas konkret. Jelaslah, Rendra bukanlah puisi,
Rendra bukanlah drama. Karena kalau tidak demikian maka puisi tetaplah untuk
puisi dan drama tetaplah untuk drama. Padahal hasrat Rendra untuk menempatkan
puisi dan drama adalah kehidupan manusia sudah cukup jelas. “Apakah artinya
kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan”, serunya menggugat. Sajak pamplet
tidak bisa diasingkan ke dalam dirinya sendiri. Paling tidak sajak turut
memuliakan manusia dan kemanusiaan manusia, sekaligus sajak merupakan
senjata guna menentang ketidakadilan, penindasan, pemiskinan terhadap manusia
4. 2. INDONESIA: HARUS KEMBALI KEPADA DIRINYA
Setiap orang memiliki keunikan, demikian juga setiap bangsa memiliki
kekhasan, keunikan budaya. Seperti usaha untuk menjadi ‘aku-unik’ mengalami
hambatan. Menurut penilaian Rendra, sajak zaman Mataram II, ketika kesatuan
pulau Jawa goyah dan tidak pernah utuh lagi, dan secara politik dan ekonomi
dikalahkan oleh bangsa kulit putih, sejak itu pikiran dan batin orang Jawa
kehilangan pamornya(Rendra, dalam Sarinah, 1990). Nasib seperti mereka itu
menimpa wilayah jajahan umumnya.
Di zaman kemerdekaan, nasib bangsa Indonesia seluruhnya sedang
dipimpin oleh sementara orang yang kurang mengindahkan kekhasan bangsa.
Hidup dikuasai kehendak manusia
22
tanpa menyimak jalannya alam Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai dan hutan. Di Bali: pantai, gunung, tempat tidur dan pura, telah dicemarkan. (Bait akhir “Sajak Pulau Bali”).
Keunikan bangsa dan nilai-nilai luhurnya sedang dirongrong. Padahal
nilai-nilai itu adalah unsur vital pengasal kekuatan bangsa. Penyair
membahasakan nilai-nilai luhur itu dalam simbol naluri ginjal, hati, sungai dan
hutan.
Di zaman pembangunan, kepincangan sosial nampak dimana-mana. Di
bidang ekonomi misalnya, kesetiaan kepada semangat demokrasi ekonomi
Pancasila mengalami kemerosotan. Nilai gotong-royong, kekeluargaan dan
musyawarah demi perwujudan kesejahteraan bersama perlahan-lahan diabaikan.
Membawa sajak-sajak Rendra, secara spontan orang akan bertanya, entahkah di
Indonesia azas perekonomian masih disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
azas kekeluargaan? (Baca pasal 33 UUD 1945). Karena bukan koperasi, tetapi
para cukonglah yang kuat sebagai kelompok pemilik modal. Mereka membentuk
jaringan ekonomi raksasa yang mengancam usaha golongan ekonomi lemah.
Kelompok konglomerat ini bukannya menanggapi penderitaan jutaan bahkan 2
per 3 warga bangsa Indonesia. Mereka bukannya menawarkan bantuan, melainkan
memperlakukan bangsa Indonesia dengan cara yang sehina-hinanya yaitu berak di
atas kepala mereka.
Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya
23
mendengar 130 juta (jutaan) rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka. (Bait I, “Sajak Sebatang Lisong”).
“Di langit” memberi daya bayang yang kuat pada tingkat kehidupan
ekonomi yang tinggi. Kata “langit” mengingatkan kita pada istilah “tinggal
landas”. Dalam konteks sajak di atas, kata “langit” lebih tepat dihubungkan
dengan situasi pemisahan antara kelompok manusia yang sangat kaya dengan
kelompok manusia yang sama sekali tidak kaya atau miskin. Penyair menilai
bahwa jurang pemisah antara yang kaya dengan tidak kaya atau miskin semakin
lebar. Kontras balik perlukisan untuk “langit” ialah “selokan”. Dalam “sajak
Orang Miskin”, selokan adalah simbol ketakberdayaan ekonomi.
Orang-orang miskin di jalan yang tinggal di dalam selokan yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. (Bait I, “Sajak Orang Miskin”)
Kata “selokan’ memimpin imajinasi kepada suasana perkampungan
kumuh. Penyair sendiri rupanya turun dan mengalami situasi kemelaratan yang
paling para dari orang-orang yang terlupakan. Ia memberi lukisan persaksian yang
lebih hidup:
Dalam pandangan mata berkunang-kunang aku melihat kamu membawa helaian plastik itu ke satu gubuk karton kamu lapiskan ke atas gubukmu, dan lalau kamu masuk dengan anakmu…… Sebungkus nasi yang dicuri itulah santapan. Kolong kios buku di terminal
24
itulah peraduan. (“Sajak Kenalan Lamamu”, bait III 14-23)
Indonesia semakin asing dari dirinya, bukan cuma karena kecenderungan
orang banyak untuk meninggalkan nilai-nilai luhur. Dalam sajak yang sama kita
mendapat persaksian lain. Ternyata bangsa kita ini sukar kembali kepada
keunikan dirinya, karena peraturan dan hukum diselewengkan oleh sementara
penguasa yang tidak bertanggung jawab. Ada bahaya kuasa yang diterima dari
rakyat telah ditempatkan lebih tinggi melampaui hukum, demikian penyair
mengawaskan. Hukum diselewengkan dan orang enggan melepaskan kedudukan.
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…….
meninggi…….ke awan……. Peraturan dan hukum, kitalah yang empunya. Kita tulis dengan keringat di ketiak, di atas sol sepatu kita. Kitalah gelandangan kaya yang perlu meyakinkan diri dengan pembunuhan. (“Sajak Kenalan Lamamu”, bait XI, 4-12)
Di bidang pendidikan kita diawaskan untuk tidak menerapkan model
pendidikan Barat secara lurus. Ini berguna bagi generasi muda, agar mereka
cukup kuat berakar pada budaya sendiri. Mereka dididik untuk memiliki karakter
khas budaya bangsa yang mampu diandalkan dalam berhadapan dengan pengaruh
budaya asing, luar. Dengan itu dapatlah terhindar apa yang disebut “masa
mengambang”, atau yang oleh Rendra disebut “peradaban fatamorgana”.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Di sana anak-anak memang disiapkan untuk menjadi alat dari industri. Dan industri mereka berjlan tanpa berhenti. Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
25
Kita hanya menjadi alat birokrasi! Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan menjadi benalu di dahan. (“Sajak Anak Muda”, bait XI)
Apa bila pendidikan tidak cukup kuat menanam warna khas nilai-nilai
luhur bangsa, maka akibatnya dapat terasa dalam pola pikir dan pola fisik
pembangunan bangsa. Ketika si ‘aku-liris’ berjalan lagi menempuh matahari
sepanjang sejarah pembangunan, ia menemukan sisi gelap lain dari sistem
pembangunan bangsa. Ia berpapasan dengan para arsitektur yang sudah dapat
bekerja dengan disiplin waktu yang ketat. Tetapi ia toh menjadi kesal. Karena
prestasi yang mereka capai dijadikan dasar alasan bukan untuk mendidik,
melainkan untuk menghinakan sesama bangsa.
Dan di langit; para teknokrat berkata: bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun, mesti di-up-grade, disesuaikan dengan teknologi yang diimpor. Bait VI “Sajak Sebatang Lisong”).
Anak-anak bangsa sudah dibekali keahlian untuk membangun, namun
mereka belum cukup bijaksana untuk memadukan keahliannya dengan gaya
arsitektur tradisional budayanya sendiri. Inilah contoh dari apa yang dinamakan
penyair “teknologi yang diimpor”.
Searah dengan kemerosotan fisik, mental bangsa pun rusak. Indonesia
yang kaya tidak saja menderita kemiskinan jasmani, tetapi juga menderita
kemerosotan jiwa. Setelah lepas dari tata cara penghormatan yang berciri feodal,
kita juga tergoda untuk menerapkan tata cara penghormatan asing. Karena itu, ia
26
menghimbau agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Singkatnya,
Indonesia harus kembali kepada kesahajaan budayanya.
Jangan kamu bilang negara ini kaya kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompa dan blacu. Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
(“Sajak Orang Miskin”, bait V)
Sajak-sajak protes adalah cerminan dari harapan, duka dan kecemasan,
sakit hati dan cinta penyair terhadap umat manusia umumnya. Dalam sajak
pamplet, Indonesia merupakan penghadiran bangsa-bangsa yang hanyut dalam
peradaban yang tidak ia kuasai. Indonesia ikut “terjangkit” kelesuan daya-daya
kehidupan sejak tahun 1975(Dick Hartoko, 1986, 116). Penyair besar melihat
dirinya sebagai satu dari anak bangsa yang kehilangan daya kreativitas. Ia
mengemukakannya dalam nada sindiran yang tajam.
Kita hanyut dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. Di mana kita hanya mampu berak dan makan, Tanpa ada daya untuk menciptakan. Apakah kita akan berhenti sampai di sini?
Persaksian itu harus diberikan agar negara-negara berkembang dan
Indonesia khususnya, harus kembali kepada dirinya. Negara-negara yang mau
maju tidak sepatutnya menjadi sama serupa dengan negara-negara industri dalam
berbagai bidang kehidupan. Karena itu, ia bertanya, “apakah negara-negara yang
ingin maju harus menjadi negara industri?” (“Sajak Sebotol Bir”, IX, 1).
“Awasan” mendesak untuk diberikan. Orang desa harus diingatkan agar
jangan terpancing untuk menjadi orang Jakarta. Orang Jakarta diingatkan agar
27
jangan terpancing untuk menjadi serupa dengan orang New York. Dan untuk
negeri tercinta Indonesia, jangan direduksi, difermak wajahnya menjadi Jerman,
Jepang ataupun Amerika. Sebaliknya, sang penyair dengan tegas menghendaki
kita harus menjadi diri kita sendiri.
Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri. Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi, dan menghamba ke Jakarta. Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi dan menghamba ke Jepang, Eropa, atau Amerika. (“Sajak Sebotol Bir”, bait X, 3-9).
Keprihatian Rendra atas kepincangan sosial (baca ketidak-adilan sosial,
penindasan dan kemiskinan) di kemukakan dalam nada protes yang mendesak.
Sedangkan penyair lain ketika berhadapan dengan situasi sosial yang kacau,
mengemukakan kegelisan dalam nada yang lebih tenang, meskipun terasa agak
pesimis. Kalau Rendra menuntut agar Indonesia setia kepada dirinya (jangan
dikuasai satu mimpi menjadi orang lain), maka Taufik Ismael misalnya
menghendaki agar Indonesia yang sama dikembalikan kepada si ‘aku-liris’. “Ku”
adalah wakil dari setiap anak negeri yang cinta tanah air. Hanya kepada mereka
sajalah Indonesia dikembalikan.
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang bernyala bergantian…. ………. Kembalikan Indonesia Padaku. (“Kembalikan Indonesia Padaku”, bait XII-XIII).
Topeng ketidak-adilan, penindasan dan kemiskinan dibuka. Setiap orang
dihadapkan kepada nuraninya sendiri. Nuraninya, sekaligus menjadi cermin, kaca
28
pemotret dirinya. Dengan itu kesetiaan penyair terhadap umat manusia
diwujudkan. Maka, kita pun butuh suatu sikap dalam menghadapi sajak-sajak
protes. Kita tidak boleh terjebak dalam angan politik murahan tanpa
memperhatikan esensi diri manusia. Sajak perlu dibaca dalam kaca mata polisemi.
Ia mengandung banyak makna yang harus disimak lebih jauh dan dalam, agar kita
dapat memahami kekayaan makna yakni manusia itu sendiri.
4. 3. PENYAIR PAMPLET BUKAN POLITISI
Dari sajak-sajaknya, memberi kesan Rendra dicap sebagai pemberontak.
Kenyataan tidak sebagai seorang politisi. Akan tetapi, sajak-sajaknya sangat
menyentuh wilayah politik, kebijakan politik, kekuasaan para politisi. Maka,
menjadi pertanyaan adalah manakah posisi Rendra dan sajak-sajak protesnya,
kalau ia bukanlah seorang politisi?
Dengan mengutip Hoffe, Magnis Suseno mengemukakan tiga tingkatan
kriteria untuk menilai betul atau tidaknya tindakan politik. Pertama, tingkatan
umum. Tingkatan ini mencakup semua orang tanpa kecuali. Sebab, setiap manusia
berurusan dengan prinsip moral dasar seperti keadilan, kebajikan, dan kebenaran.
Prinsip ini memang abstrak dan tidak dapat diterapkan secara langsung. Kedua,
politik pada tingkatan menengah. Tingkat politik pada level ini menyangkut
bidang permasalahan tertentu. Kebijaksanaan dirumuskan secara konkrit untuk
diterapkan dalam masyarakat. Orang berusaha mengemukakan pola legitimasi dan
tuntutan normatif dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, politik pada
tingkat keahlian. Politik pada level ini berkaitan dengan keahlian ilmu-ilmu
29
politik. Para ahli politik membangun kriteria-kriteria politik untuk menilai zaman
dan situasi(Magnis Suseno, 1987, 19-24).
Setiap warga negara yang baik memiliki keprihatinan atas nasib
bangsanya, meskipun ia bukan seorang politisi. Seperti manusia lainnya, Rendra
dan penyair lainnya menghendaki keadilan sosial, kemiskinan dibasmi. Sajak-
sajaknya menyinggung kebijaksanaan sosial dan penerapannya. Namun dari
sudut politik, Rendra lebih cocok dikelompokkan dalam “tingkatan politik
umum”. Ia sama seperti rakyat biasa lainnya. Dalam sajak protesnya, Rendra tidak
memiliki tujuan politis secara langsung. Ia mengemukakan persaksiannya tanpa
menentukan target politik yang harus dicapai. Pendeknya, Rendra tidak berpegang
pada prinsip politik. Akan tetapi sebagai seniman, ia sendiri merumuskan
pendiriannya:
“Tetapi saya mempunyai target sebagai seniman. Dan ini saya lukiskan dalam sajak-sajak saya……. Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka ada orang memanah rembulan ada anak-anak burung terjatuh dari sarangnya orang-orang harus dibangunkan kesaksian harus diberikan agar kehidupan bisa terjaga”(Rendra, dalam Horison, 1982).
Rendra adalah “pemberontak” yang lebih mencintai diplomasi daripada
kekerasan. Ia cuma seorang penyair yang bertelinga peka terhadap jerit suara
orang-orang menderita. Kerena itu, menurut A. Teeuw, tidaklah pada tempatnya
kalau sajak-sajak protes Rendra dipakai oleh para pengecam sosial untuk menarik
kereta politiknya. Demikian juga para penguasa yang takut akan saja-sajak protes
Rendra secara tidak langsung akan memusuhinya. Padahal, sebenarnya penyair
30
ingin menjadi kawan seperjuangan yang paling baik(A.Teew, dalam Potret
Pembangunan dalam Puisi. hal. 24). Ia ingin menjadi lawan bicara sekaligus rekan
berpikir yang baik.
Aku ingin berbicara wajar dan bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. (Sajak “Aku Tulis Pamplet”, IV, 3-4)
31
BAB V
KESIMPULAN
Puisi tak dapat ditipu, demikiian tulis Yevgeny(Yevgeny dalam Horison,
1968, 211-212). Puisi akan meninggalkan mereka yang menipunya. Puisi hanya
mungkin kuat, memikat dan tahan zaman kalau ditulis dengan seluruh diri.
Penyair tidak menulis menurut pikiran ataupun perasaannya, melainkan ia menulis
seturut hati nuraninya.
Nurani seorang penyair dan sajak-sajaknya dicetuskannya tidak bisa
ditukarkan dengan kekayaan, kedudukan dan bahkan dengan agama sekalipun.
Itulah sebabnya mengapa ibu Brotoatmodjo misalnya, tidak dapat mengerti
mengapa Rendra anaknya tidak mau menerima subsidi dari beberapa yayasan
yang mau bekerja sama dengannya. Padahal pada waktu itu (tahun 1970-an)
Rendra sebagai kepala keluarga sudah memiliki tanggung jawab menghidupi
seluruh anggota keluarganya yang terbilang sangat berat. Tetapi cerita ini cuma
catatan kaki. Karena “otobiografi penyair adalah puisinya. Selebihnya hanyalah
merupakan catatan kaki belaka”, demikianlah tulis Yevgeny. Jelaslah riwayat
penyair adalah kisah tentang keuletannya mencerna pengalaman dalam nurani,
lalu dicetuskan dalam kebaruan sajak yang menyapa.
Nurani penyair pamplet adalah endapan nurani orang-orang yang
menderita (ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan). Sajak-sajak protes yang
lahir dari kandungan nurani tetaplah menarik untuk diperdengarkan. Karena
dalam sajak, kita dapat melepaskan sedikit dari beban derita ke dalam kata.
32
Sebab dalam apa pun bahasa, lisan atau tulis banyak kosa kata yang ada dapat
mengungkapkan banyak hal dengan makna mendalam tentang kehidupan
masyarakat pengguna bahasa. Ketika banyak bahasa daerah di tanah air bahkan
kata-kata bahasa Indonesia sendiri kehilangan kata-kata dan mengalami
kemunduran dan terancam punah kosa kata dan peristilahan tertentu, ada baiknya
kita mengajukan sebuah pertanyaan refleksif: Apakah aku masih mengenal dunia,
sesama dan diriku di tengah lingkup kebudayaan yang asli? Adalah sebaris puisi
Supardi Djoko Damono sebagaimana tertulis dalam majalah Horison no. 12
(Desember 1991) berikut ini membuat kita tetap sadar:
dalam setiap kata yang kau baca selalu ada huruf yang hilang – kelak kau pasti akan kembali menemukannya
di sela-sela kenangan penuh ilalang. Bila kita, hari ini kembali ke kampung halaman (dalam artian kultural), apakah
yang akan kita temukan? Sebuah aksara budaya yang hilang di sela-sela kenangan
penuh ilalang? Sebelum semuanya terlambat, sanggupkah kita menemukannya
kembali?
33
DAFTAR KEPUSTKAAN Austin, J.L. 1975 How To Do Things With Words, 2nd edt., Oxford: Clarendon Press Bakker, A. 2000. Antropologi Metafisika. Yogjakarta: Kanisius De Saussure, F. 1985 Course in General Linguistics. London: Duck-worth Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya. Yogjakarta: Kanisius Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Empat Pertanyaan; Esai-esai Sastra dan
Budaya. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Linus Suryadi, A. G. 1987. Tonggak Ontologi Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia. Lubis Muchtar 1992 Budaya, Masyarakat, dan manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia Rendra. W.S. 1982. “Saya Punya mental Juara” dalam Horison No. 11, 1982 Empat Kumpulan Sajak dalam sajak “Surat Cinta”. 1980 Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Lembaga Studi
Pembangunan. 1990 Perkawinan Pikiran, Batin dan Gairah Hidup, dalam Sarinah. Ricoeur, P. 1974 The Conflict of Interpretations. Evanston: Northwestern Univ.
Pres. 1976 The Interpratation Theory, Fort Worth. The Texas Christian Univ.
Pres. Sugiharto, Bambang I. 1996 Postmodernisme. Yogjakarta: Kanisius Yevgeny, Y. 1968 Bab Pertama Sebuah Otobiografi dalam Horison. Juli 1968
34