SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT DATARAN TINGGI LINDU DI...
Transcript of SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT DATARAN TINGGI LINDU DI...
SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT DATARAN TINGGI LINDU
DI KABUPATEN SIGI, PROPINSI SULAWESI TENGAH
( SUATU STUDI ANTROPOLOGI KESEHATAN )
NINGSI
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASAR
2013
SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT DATARAN TINGGI LINDU
DI KABUPATEN SIGI, PROPINSI SULAWESI TENGAH
( SUATU STUDI ANTROPOLOGI KESEHATAN )
TESIS
Sebagai salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program studi Antropologi
Disusun dan diajukan oleh
NINGSI
Kepada
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASAR
2013
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN
Nama : Ningsi
Nim : P1900211004
Judul : Schistosomiasis Pada Masyarakat Dataran Tinggi Lindu Di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (suatu studi antropologi kesehatan)
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA Ketua Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi
Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA
TESIS
Schistosomiasis Pada Masyarakat Dataran Tinggi Lindu Di Kabupaten Sigi, Propinsi
Sulawesi Tengah ( suatu studi antropologi Kesehatan)
Disusun dan diajukan oleh
Ningsi
Nomor pokok : P1900211004
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis pada tanggal……. Dan dinyatakan Telah
Memenuhi Syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA Ketua Anggota
Ketua Program Studi Antropologi Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA Prof. Dr.Ir. Mursalim
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Ningsi
Nomor Mahasiswa : P1900211004
Program Studi : Antropologi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan
atau pemikiran orang lain.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau
keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanski atas
perbuatan tersebut.
Makasar, 2013
Yang menyatakan
N I N G S I
TESIS
SCHISTOSOMIASIS PADA MASYARAKAT DATARAN TINGGI LINDU
DI KABUPATEN SIGI, PROVINSI SULAWESI TENGAH
(SUATU STUDI ANTROPOLOGI KESEHATAN)
Disusun dan diajukan oleh
NINGSI
NOMOR POKOK P1900211004
telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 10 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasehat,
Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS. Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana Antropologi, Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Pawennari Hijjang, MA Prof. Dr. Ir. Mursalim
PRAKATA
Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas kuasa dan
rahmatnya jualah sehingga tesis ini dapat dirampungkan sesuai dengan harapan dan
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Antropologi pada
Program Studi antropologi. Tak lupa pula shalawat dan salam untuk junjungan nabi kita
Muhamad SAW. Tesis ini tak mungkin selesai tanpa bantuan berbagai pihak, baik yang
berperan secara langsung maupun tidak. Diantaranya untuk kedua orang tua kami,
suamiku Lutfi Sunuh serta anakku tercinta Alamsyah, Afrianti Rukmana, Asya
Nursafikah serta saudara-saudaraku yang selalu memberikan doa dan semangat,
sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan waktu yang direncanakan.
Tak lupa ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. M. Yamin
Sani, MS selaku komisi pembimbing pertama dan Bapak Prof. Dr. Pawennari
Hijjang,MA selaku komisi pembimbing kedua, atas keikhlasannya membimbing penulis,
meluangkan waktu dan memberikan petunjuk serta saran dan pikiran sejak
pelaksanaan penelitian, hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih tak
lupa penulis ucapkan pada masyarakat Lindu khusus para informan yang bersedia
menjadi narasumber dan memberikan informasi pada saat penelitian berlangsung.
Semoga Allah memberikan rahmat kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penulis dalam menuntut ilmu sampai menyelesaikan penelitian dalam
penulisan ini. Ahir kata penulis sangat menyadari tesis ini masih banyak kekurangan,
dan diharapkan saran dan kritikan untuk petunjuk dan kesempurnaannya. Harapan
penulis, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu
pengetahuan dalam bidang Antropologi kesehatan.
Makasar,…………………2013
NINGSI
ABSTRAK
NINGSI, Schistosomiasi Pada Masyarakat Dataran Tinggi Lindu di Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah (Suatu Studi Antropologi Kesehatan) dibimbing oleh Prof. Dr. M. Yamin Sani, MS dan Prof. Dr. Pawenari Hijjang, MA. Penelitian ini bertujuan menjelaskan pengetahuan, perilaku, persepsi masyarakat, peran petugas kesehatan serta lembaga lokal dalam mencegah dan terkait schistosomiasis. Penelitian dilakukan di Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi. Tehnik pengumpulan yang digunakan adalah observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Lindu telah mengetahui penyebab, gejala-gejala dan penularanan schistosomiasis. Perilaku masyarakat dalam hal pencegahan schistosomiasis masih kurang menunjukkan perilaku yang positif, terutama untuk mencegah diri agar tidak tertular schistosomiasis. Hasil observasi rata-rata masyarakat tidak menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot saat beraktivitas di sawah maupun di kebun. Perilaku pencarian pengobatan schistosomiasis dilakukan dengan mendahulukan pengobatan medis. Peran petugas kesehatan dan lembaga lokal dalam penanggulangan schistosomiasis masih dalam bentuk pemeriksaan tinja dengan pengobatan pada penderita. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan, perilaku dan lingkungan masyarakat memiliki peran yang lebih dominan terhadap kejadian schistosomiasis dan bisa dikatakan sebagai faktor resiko utama terjadinya schistosomiasis di kawasan Lindu. Kata kunci : Pengetahuan, persepsi, petugas kesehatan, schistosomiasis
ABSTRAK
NINGSI. Schistosomiasis on Lindu High Land Community at Si_oi Regency, Central
Sulawesi Province : A Study on Health Agcy (supervised by M. Vamin Sani and
Pawenati Hijang), the research aimed at analysing the knowledge, communitys
perception, the role of health officials and local institutions in preventing and coping
with schistosomiasis. The research was carried out at Lindu High Land, Sigi Regency,
Data were collected by using an observation, profound interview and documentary study.
The data were analysed in qualitative descriptive mlhod. - The research result indicates
that Lindu community already knows the causes, phenomena, and contagiousness of
schistosomiasis, The community perceives That the schistosomiasis is an ordinary
disease and is not a deadly use. The community has not indicated the positive behaviour
in preventing the schistosomiasis, pnmaniy in preventing themselves in Wider not to be
contagious with the schistosomiasis. The result of the observation indicates that the
average community members do not use the self-protecting device such as boots when
they have activities in the rice fields or plantation. The medication searching for the
srustosonuasts is carried out by putting pnonty on the medical treatment. The role of the
health officials and local institutions in coping, with the schistosomiasis is still on the
examination of faeces, medication on the patients. The research result also tndicates that
the knowledge, behaviour, and communitys environment have the mom dominant role on
the schistosomiasis incident and I- ba stated as the -primary rtiic factor -of the-
schistosomiasis incident attindttikifteL
Key-word : Knowledge, perception,s health officials,schistosomiasis
DAFTAR ISI
PRAKATA i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Schistosomiasis 7
B. Konsep Pengetahuan,Persepsi dan Perilaku Kesehatan 11
C. Pengaruh Lingkungan terhadap Kesehatan 26
D. Sistem Medis Berkenan Dengan Etnomedisin 30
E. Kerangka Pikir 36
BAB III. METODE PENELITIAN 39
A. Lokasi dan Waktu Penelitian 39
B. Jenis Penelitian 39
C. Populasi dan Sampel 40
D. Tehnik Pengumpulan Data 40
E. Tehnik Analisa Data 42
BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 43
A. Kondisi Geografis 43
B. Kondisi Demografis 50
C. Sejarah Kecamatan Lindu. 53
D. Kondisi Sosial Ekonomi 55
E. Kondisi Sosial Budaya 58
F. Potensi Sumber Daya Alam 60
G. Sarana dan Prasarana 62
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 64
A. Awal Mula Orang Lindu Dengan Schistosomiasis 64
B. Pengetahuan Medis 71
Masyarakat Lindu Terkait Schistosomiasis
C. Perilaku Masyarakat Lindu terkait dengan Schistosomiasis 80
D. Persepsi Masyarakat Lindu 88
Terhadap Schistosomiasis
E. Upaya Petugas Kesehatan dan Peran Lembaga 95
Lokal dalam Membantu Mencegah dan
Menanggulangi Schistosomiasis
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 106
A. Kesimpulan 106
B. Saran 108
DAFTAR PUSTAKA 110
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Jumlah desa, Jumlah penduduk dan luas wilayah Kecamatan Lindu 2012
2. Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin kecamatan Lindu 2012
3. Jenis pekerjaan menurut mata pencaharian hidup di kecamatan Lindu 2012
4. Jumlah penduduk menurut agama dan jenis kelamin Kecamatan Lindu 2012
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir
2. Peta Kecamatan Lindu
3. Suasana Lingkungan dan Pemukiman Masyarakat Lindu
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan masyarakat adalah masalah kompleks dari
berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun masalah
buatan manusia, sosial budaya, populasi penduduk, genetika dan
sebagainya. Lingkungan menyediakan sumber daya alam di mana manusia
yang hidup bermasyarakat mengelola sumber daya tersebut sedemikian
rupa berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang diwarisinya secara
turun-temurun. Manusia dengan pengetahuannya dapat mengubah,
mempengaruhi dan membentuk lingkungan yang dapat memberikan sumber
kehidupan sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Seringkali manusia
mendayagunakan alam lingkungannya dan berusaha melakukannya dengan
cermat dan penuh kehati-hatian, namun di sisi lain manusia kadang tidak
menyadari bahwa lingkungan dapat menyebabkan sumber penyakit bagi
mereka.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya dengan kebudayaan
yang dimilikinya, mereka tidak hanya mampu menyelaraskan diri dengan
lingkungan, namun manusia juga dapat merubah alam lingkungannya
menjadi suatu yang berarti dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini di sebabkan
kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang pada giliranya dapat di
jadikan pedoman untuk menanggapi dan menjawab seluruh tantangan alam
baik lingkungan fisik maupun sosial. Dari sekian banyak pengetahuan yang
dimiliki manusia, salah satunya adalah pengetahuan untuk menghindari
penyakit dan untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit.
Kita mengakui, bahwa keanekaragaman persepsi sehat dan sakit
beserta perawatan kesehatan pada umumnya ditentukan oleh pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma. Singkatnya semua adalah kebudayaan. Atas
dasar konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa pada umumnya
kebudayaan yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita
sebagai akibat dari perilakunya dan mengapa perawatan medis mengikuti
cara tertentu dan bukan cara lainnya (Logant dalam Kalangi 1993 : 5).
Salah satu penyakit yang cukup lama dialami secara turun temurun
oleh suatu komunitas, dan sampai saat ini masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dan pemerintah setempat adalah schistosomiasis.
Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu di
Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Hasil survei tinja oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Sigi, prevalensi schistosomiasis di Dataran Lindu
masih cukup tinggi yaitu 3,22% (2010), 2,67 % (2011) dan 1,13 % (2012).
Kasus schistosomiasis di atas 1 % sudah merupakan masalah kesehatan
masyarakat.
Schistosomiasis atau disebut juga demam keong, disebabkan oleh
parasit cacing. Parasit ini muncul dari siput (keong) untuk mencemari air
tawar dan kemudian menginfeksi manusia ataupun hewan mamalia (sapi,
kerbau, babi dsbnya) yang kulitnya bersentuhan dengan air. Schistosomiasis
selain menginfeksi manusia juga dapat ditularkan dari manusia ke hewan
mamalia dan dari hewan mamalia melalui perantara keong Oncomelania
hupensis lindoensis (Jastal 2008:1).
Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan, namun sampai
saat ini schistosomiasis masih terus ada di Dataran Lindu. Pemberantasan
schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan berbagai metode
yaitu pengobatan penderita dengan Niridazole pemberantasan siput penular
(keong O. hupensis Lindoensis) dengan moluskisida. Pemberantasan yang
dilakukan dengan metode tersebut dapat menurunkan prevalensi
schistosomiasis dengan sangat signifikan seperti di desa Anca dari 74%
turun menjadi 25%. Kemudian kegiatan secara intensif dimulai pada tahun
1982, dengan kegiatan penanganan pada manusianya yaitu pengobatan
penduduk secara massal yang ditunjang dengan kegiatan penyuluhan,
pengadaan sarana kesehatan dan pemeriksaan tinja penduduk serta
pemeriksaan keong. Hasil pemeriksaan tersebut mampu menurunkan
prevalensi schistosomiasis (Rosmini, 2009:113).
Sejalan dengan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam
penanggulangan schistosomiasis, namun sampai saat ini belum
memberikan hasil yang diharapkan. Tentu menimbulkan pertanyaan
mengapa kasus schistosomiasis masih tetap ada di Dataran Lindu, padahal
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Dapat dikatakan bahwa
kondisi sehat dan sakit schistosomiasis masyarakat di Dataran Lindu bukan
hanya dipengaruhi oleh faktor keong sebagai penular, namun aspek
lingkungan dan sosial budaya ikut berperan terjadinya penyakit ini.
Foster A (2009:15) menjelaskan, bahwa upaya seseorang untuk
mendapatkan kesehatan merupakan suatu pranata khusus yang terus
dipelihara dan dikembangkan. ketika peradaban berkembang maka budaya
manusia tentang kesehatan juga berkembang. Sekarang saat teknologi tak
terkendalikan, budaya kesehatan manusia mengarah pada budaya rasional
tentang kesehatan. Pemahaman masyarakat tentang kesehatan
berpengaruh terhadap tindakan yang di lakukannya.
Penanganan schistosomiasis di Dataran Lindu telah mengalami
perubahan seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan. Dulu sebelum informasi tentang schistosomiasis
diketahui oleh masyarakat Lindu, masyarakat memiliki kepercayaan bahwa
penyebab sakit berasal dari agent personalitik (sihir, gangguan mahluk halus
dan penyakit kutukan), hingga penanganan penyakit lebih berorientasi pada
pengobatan secara medis tradisional. Namun saat ini lambat laun hal itu
telah ditinggalkan, karena rata-rata masyarakat di Lindu telah mengetahui
penyebab schistosomiasis, yaitu dari keong yang biasa mereka sebut
dengan penyakit keong (susu), hingga tindakan pengobatan yang dilakukan
saat ini adalah pengobatan medis yang ditangani oleh petugas kesehatan.
Namun yang menjadi masalah adalah, mengapa kasus schistosomiasis
masih cukup tinggi padahal sebagian masyarakat di Lindu telah mengetahui
penyebab schistosomiasis.
Perlunya memahami akan konsep budaya masyarakat terkait
dengan kesehatan dan penyakit. Sehat tidak sekedar dilihat dari aspek
penampilan fisik, fisiologis, fungsi sosial, akan tetapi juga aspek yang dapat
memberikan pengaruh pada kondisi kesehatan individu seperti
pengetahuan, sikap, persepsi dan perilaku masyarakat yang di kondisikan
oleh pola budaya sangat perlu untuk diketahui, dan bagaimana upaya-upaya
masyarakat dalam pencegahan penyakit (Boedihartono dalam Masinambow,
1997:195 ).
Penelitian ini mencoba mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi
dikalangan masyarakat Lindu terkait dengan masalah schistosomiasis.
Fokus penelitian ini lebih pada aspek pengetahuan, perilaku dan persepsi
masyarakat terkait schistosomiasis, karena pengetahuan dan persepsi
merupakan dasar seseorang untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan terhadap masalah kesehatan yang dihadapi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengetahuan medis masyarakat Lindu berkenan dengan
etiologi penyakit, gejala, penularan dan pengobatan schistosomiasis?.
2. Bagaimana perilaku kesehatan masyarakat Lindu terkait
schistosomiasis?.
3. Bagaimana persepsi masyarakat Lindu tentang schistosomiasis?.
4. Bagaimana peran petugas kesehatan dan peran lembaga lokal dalam
mencegah dan menanggulangi schistosomiasis?.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengetahuan medis masyarakat Lindu terkait dengan
schistosomiasis meliputi: pengetahuan tentang penyebab, gejala
penyakit, penularan dan pencarian pengobatan.
2. Menguraikan perilaku kesehatan masyarakat terkait dengan
schistosomiasis.
3. Menguraikan persepsi masyarakat Lindu terkait dengan schistosomiasis.
4. Menguraikan dan menganalisis peran petugas kesehatan dan lembaga
lokal dalam mencegah dan menanggulangi schistosomiasis.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai bahan
pertimbangan bagi institusi kesehatan yaitu Dinas Kesehatan dalam
rangka membuat kebijakan yang terkait dengan upaya preventif
terhadap faktor risiko kejadian schsistosomiasis.
2. Manfaat Akademik
Dapat memperkaya khasanah kajian ilmiah pengendalian penyakit
bersumber dari binatang yang berdampak pada manusia, khususnya
dalam bidang ilmu antropologi kesehatan dan epidemiologi yang terkait
dengan faktor risiko kejadian schsistosomiasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Schistosomiasis
Schistosomiasis merupakan penyakit kuno yang sudah sejak lama
sejak manusia muncul dipermukaan bumi, namun banyak dikalangan
masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui penyakit ini. Jauh sebelum
ditemukan di Lore Lindu, penyakit ini diketahui pernah mewabah di Mesir
dan China pada masa lalu tahun 1500 sebelum Masehi (SM). Penelitian
yang dilakukan pionir paleopatologi Marc Armand Ruffer tahun 1910,
menemukan telur schistosoma haematobium pada ginjal dua mumi dari
Dinasti Firaun ke-20 Mesir (1250 SM-1000 SM), serta ditemukan pula telur
schistosoma japonicum di usus mumi yang berusia 100 tahun. Temuan ini
membuka mata dunia bahwa schistosomiasis telah ada di lembah sungai nil
sejak dulu (http:// ekspedisi. kompas. schistosoma. penyakit. kuno.di lore
lindu).
Adanya schistosomiasis pada mumi juga ditemukan di China dalam
penggalian situs prasejarah antara tahun 1971 dan 1974. George Davis
(2007) memaparkan asal-usul keong dari genus Oncomelania di Asia
berasal dari Sungai Mekong ketika famili Pomatiopsidae menyebar
kesejumlah penjuru dunia oleh aktivitas tumbukan Lempeng India dengan
Lempeng Benua Asia, dan menjelaskan subspesies keong di Sulawesi
memiliki jalur migrasi yang berasal dari aliran sungai di China, kemudian ke
Jepang, Filipina dan terakhir Sulawesi. Penyebaran keong Oncomelania
hupensis juga dipicu oleh aktivitas tektonik di Jepang. Karena proses isolasi
yang panjang, akhirnya terbentuk subspesies tersendiri seperti ditemukan di
China, Jepang, Taiwan, Filipina dan Sulawesi. Semua subspesies di negara-
negara itu mirip karena berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Sungai
Mekong dan Sungai Yangtze. Spesies ini berbeda dengan yang ada di Mesir
(http://ekspedisi.penyakit.kuno.di.Lore.Lindu).
Schistosomiasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Muller dan
Tesch pada tahun 1937, di mana ditemukan kasus pada laki-laki yang
berumur 35 tahun yang berasal dari desa Tomado Dataran Lindu yang
kemudian meninggal di Rumah Sakit di Palu Sulawesi Tengah. Pada tahun
yang sama saat itu desa Tomado dinyatakan sebagai daerah endemis
schistosomiasis oleh Brug dan Tesch, akan tetapi hospes perantara cacing
penyebab penyakit tersebut baru ditemukan pada tahun 1971 yaitu siput
Oncomelania di persawahan Paku desa Anca di Lindu. Davis dan Carney
menamakannya Oncomelania hupensis lindoensis pada tahun 1973 (
Hadidjaja P, 1985:74).
Schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh cacing schistosoma
japonicum yang hidup di hati, sehingga penyakit ini dapat menyebabkan
pembesaran limfa maupun hepar penderitanya. Parasit schistosomiasis
memiliki habitat pada pembuluh darah di sekitar usus. Parasit ini muncul
dari siput (keong) untuk mencemari air tawar, dan kemudian menginfeksi
manusia ataupun hewan mamalia yang kulitnya bersentuhan dengan air.
Schistosoma selain menginfeksi manusia juga dapat ditularkan dari manusia
ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia melalui perantara keong
oncomelania hupensis, lindoensi. Infeksi schistosomiasis dapat
menyebabkan anemia dan penyakit kronis yang merusak pertumbuhan dan
perkembangan kognitif, merusak organ dan meningkatkan resiko penyakit
lain. Bersama malaria, schistosomiasis merupakan salah satu penyakit
parasit paling merusak secara sosio-ekonomi di dunia. Menurut WHO
diperkirakan lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia terinfeksi dengan
cacing yang penularannya melalui keong tersebut. Schistosomiasis endemis
di 74 negara berkembang terutama di daerah pedesaan dan diperkirakan
terdapat 650 juta orang tinggal di daerah endemis (Hadidjaja P, 1985:73).
2.1.1 Siklus Penularan dan Gejala Schistosomiasis
Mata rantai penularan schistosomiasis yang paling lemah adalah pada
keong penularnya, sehingga jika dilakukan eliminasi pada keong
penularnya, maka penularan akan terhenti. Telah diketahui bahwa keong
Oncomelania hupensis lindoensis bersifat Host amfibius maka apabila
habitatnya terendam air terus menerus, maka keong akan mati, demikian
pula bila habitatnya menjadi kering maka keong juga akan mati. Sebaiknya
habitat keong dikeringkan dan diubah menjadi lahan pertanian masyarakat
(Sudomo M & Pretty, 2007:36).
Ada tiga jenis schistosoma yaitu Schistosoma mansoni, S.
haematobium dan S. japonicum, merupakan spesies utama yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Infeksi didapat melalui air yang
mengandung larva yang berenang bebas di sebut serkaria yang sebelumnya
berkembang di tubuh keong. Telur schistosoma dikeluarkan dari tubuh
manusia dan hewan mamalia, umumnya melalui urin sedangkan spesies lain
melalui feces. Telur menetas di air dan melepaskan larva (mirasidium)
memasuki tubuh keong air tawar yang cocok sebagai inang. Setelah
beberapa minggu, serkaria muncul dari keong dan menembus kulit manusia,
biasanya ketika orang sedang bekerja, berenang atau melintasi air, serkaria
kemudian memasuki aliran darah di bawa ke pembuluh darah paru
berpindah ke hati, berkembang menjadi matang dan migrasi kepembuluh
darah vena dirongga perut (Hadidja P, 1985:78).
Gejala klinis yang timbul tergantung pada jumlah dan letak telur pada
tubuh manusia. Schistosoma mansoni dan S. japonicum gejala utamanya
adalah pada hati dan saluran pencernaan dengan gejala-gejala seperti
diare, sakit perut, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegaly). Pada
S. haemotobium gejala klinis pada saluran kencing seperti sering kencing
dan kencing darah pada akhir kencing. Akibat patologis terpenting adalah
komplikasi yang timbul dari infeksi kronis berupa 466 pembentukan jaringan
fibrosis di hati, hipertensi portal dengan segala akibatnya dan mungkin saja
diikuti dengan timbulnya keganasan pada colon dan rectum; obstruksi
uropati, yang mendorong terjadinya infeksi oleh bakteri, kemandulan dan
juga kemungkinan timbul kanker kandung kemih pada saluran kencing
(www.tanyadokter.gejala.schisto.com/disaese.as?/id).
Gejala sistemik akut adalah demam, dapat terjadi pada infeksi primer
2 sampai 6 minggu setelah terpajan yaitu sebelum atau pada saat telur
diletakkan. Gejala umum akut jarang terjadi tetapi dapat saja timbul pada
infeksi s.haematobium. Diagnosis adalah dengan mengidentifikasi telur
dalam tinja dan urin. Tes serologi mungkin sensitif dan spesifik tetapi tidak
memberikan informasi tentang beban cacing atau status klinis. Obat yang
sering digunakan untuk penderita schistosomiasis adalah praziguantel
(www. tanyadokter.gejala.schisto.com/disaese.as/id).
2.2 Konsep Pengetahuan, Persepsi dan Perilaku Kesehatan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (over behavior) (Notoatmodjo, S 2011: 147).
Selanjutnya Marimbi (2009:34) menjelaskan, bahwa pengetahuan
dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, faktor-faktor di luar orang tersebut
seperti lingkungan, baik lingkunga fisik maupun nonfisik dan sosial budaya
yang kemudian pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini
sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya menjadi
perilaku.
Lebih lanjut Kalangie (1993:87), menjelaskan kesadaran seseorang
mengenai suatu gejala kesehatan tidak terpisah dari apa yang diketahuinya
atau ketahuannya mengenai gejala penyakit. Kesadaran mengenal gejala
penyakit berdasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian
konsep utama adalah pengetahuan (kognisi). Dalam masyarakat tradisional
sering menggunakan pengetahuan dan pola pikir budaya mengenai suatu
gejala kesehatan dan mengenai makna gejala itu. Perilaku atau bentuk-
bentuk tindakan seseorang merupakan eksistensi pengetahuan budaya atau
pola pikir, termasuk dalam pengetahuan budaya adalah kepercayaan, nilai,
dan norma sehubungan dengan gejala kesehatan. Konsekuensi logis
menyatakan bahwa perilaku terbentuk atau dipengaruhi oleh pengetahuan
budaya dalam proses enkulturasi dan sosialisasi. Namun demikian, banyak
perilaku menyimpang dari patokan-patokan budaya dan selalu terjadi baik
pada tingkat individu maupun pada tingkat kelompok masyarakat.
Perilaku menyimpang dapat merupakan indikator perbedaan
pengetahuan (kognisi) mengenai gejala kesehatan, maupun indikator
kenyataan bahwa perubahan budaya yang terkait dengan gejala penyakit
bisa dipengaruhi oleh masuknya pengetahuan (gagasan praktek baru),
misalnya melalui proses komunikasi inovasi pencegahan penyakit dan
perawatan medis. Perilaku menyimpang dapat pula berwujud pada
karakteristik kepribadian individu atau abnormalitas dari segi-segi patokan-
patokan budaya suatu masyarakat atau masyarakat pada umumnya
(Kalangi, 1993:88).
Lebih lanjut Weber dalam (Sarwono,S 1993:18), berpendapat bahwa
individu melakukan suatu tindakan berdasarkan pengalaman, persepsi,
pemahaman (pengetahuan), dan penafsirannya atas suatu stimulus atau
situasi tertentu (Sarwono,S 1993:18).
(Sarwono,S 1993:2) mendefinisikan persepsi adalah pengamatan
yang merupakan kombinasi dari penglihatan dan pendengaran, penciuman,
serta pengalaman masa lalu. Suatu objek yang sama di presepsikan secara
berbeda oleh beberapa orang. Persepsi masyarakat mengenai terjadinya
penyaki berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, karena
tergantung dari kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat
tersebut.
Terdapat tiga komponen model keyakinan kesehatan antara lain: 1)
Persepsi individu tentang kerentanan dirinya terhadap suatu penyakit, 2)
persepsi individu terhadap keseriusan penyakit tertentu misalnya
dipengaruhi oleh variable demografi dan sosiopsikologis, perasaan, anjuran
untuk bertindak, 3) Persepsi individu tentang manfaat yang diperoleh dari
tindakan yang diambil misalnya, seseorang mungkin mengambil tindakan
preventif, dengan mengubah gaya hidup, meningkatkan kepatuhan terhadap
terapi medis atau mencari pengobatan medis (Rosentoch dan Becker dalam
Marimbi 2009:59).
Sebelum membicarakan tentang perilaku kesehatan, terlebih dahulu
akan dibuat batasan tentang perilaku itu sendiri. Perilaku dari pandangan
biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat
diamati oleh pihak luar. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah
suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu
mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara dan
sebagainya (Marimbi, 2009: 79).
Menurut Sarwono S, (2004:25) perilaku kesehatan merupakan
segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan
serta tindakan yang berhubungan dengan kesehatan. Lebih lanjut Skiner
dalam Notoatmodjo, S (2007:136) menjelaskan perilaku kesehatan sebagai
(healthy behavior) sebagai respon seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan, minuman dan
pelayananan kesehatan. Dengan kata lain perilaku kesehatan adalah semua
aktivitas atau kegiatan seseorang yang berkaitan dengan pemeliharaan
kesehatan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini
mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah
kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan
apabila sakit atau terkena masalah kesehatan.
Lebih lanjut menurut Kalangi, N (2004) perilaku manusia dalam
menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku yang
selektif, terencana dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang
merupakan bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku
tersebut terpola dalam kehidupan nilai sosial budaya yang ditujukan bagi
masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang
dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau
pemenuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan
norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat
membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-
individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan
kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun
menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh karena itu dalam memahami suatu
masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan
kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya
(file:///D:/download/hubungan-aspek-sosial-budaya-html)
Dalam penjabaran Blumm dalam Notoatmodjo,S (2003:146-147)
empat faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat yaitu;
1. Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh dan peranan terbesar, diikuti perilaku
fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya
digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek
fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik
contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya.
Sedangkan lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia
seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya.
2. Perilaku
Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada
perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh
kebiasaan, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pendidikan sosial
ekonomi, dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada manusia.
3. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan
sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan
terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan
masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas
dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua
adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi
masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta
program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang memerlukan.
4. Keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri
manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan
seperti diabetes melitus dan asma bronchial.
Mengacu pada teori di atas nampak lingkungan dan perilaku
merupakan hal yang sangat dominan kaitannya dengan terjadinya suatu
penyakit. Namun demikian, perilaku masyarakat tidak serta merta berdiri
sendiri tanpa adanya faktor lain yang mendukung pola perilaku individu
ataupun masyarakat. Menurut Skinner perilaku merupakan respon atau
reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R”
atau Stimulus – Organisme – Respon (Marimbi 2009: 67).
Teori WHO dalam Marimbi (2009:77-78), menganalisis bahwa yang
menyebabkan seseorang berperilaku tertentu adalah;
1) Pemikiran dan perasaan (thougts and feeling), yaitu dalam bentuk
pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan dan penilaian seseorang
terhadap objek kesehatan; a) Pengetahuan diperoleh dari pengalaman
sendiri atau pengalaman orang lain, b) Kepercayaan sering atau
diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima
kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian
terlebih dahulu, c) Sikap menggambarkan suka atau tidak suka
seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman
sendiri atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang
mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif
terhadap tindakan-tindakan kesehatan tidak selalu terwujud di dalam
suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu, sikap akan diikuti oleh
tindakan mengacu kepada pengalaman orang lain, sikap diikuti atau
tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasar pada banyak atau sedikitnya
pengalaman seseorang.
2) Tokoh penting sebagai panutan apabila seseorang itu penting untuknya,
maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh.
3) Sumber-sumber daya (resources) mencakup fasilitas, uang, waktu,
tenaga dan sebagainya.
4) Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber
di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of
life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk
dalam waktu yang lama dan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat
sesuai dengan peradapan umat manusia.
Beberapa penelitian yang terkait dengan perilaku kesehatan
masyarakat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kasnodiharjo (1990:15),
tentang aspek sosial budaya terkait dengan penanggulangan penyakit
schistosomiasis dan filariasis, dari segi kebiasaan masyarakat contoh,
penduduk di daerah endemis filariasis umumnya pekerjaan pokoknya bertani
di ladang atau menyadap karet di hutan. Pekerjaan ini biasanya mereka
lakukan hingga sore/senja hari, Malahan mereka tidak jarang tinggal/tidur di
tempat kerja seperti itu dalam waktu yang relatif lama. Selain itu penduduk di
daerah endemis sewaktu tidur biasanya tidak menggunakan/memasang
kelambu. Tentunya kebiasaan semacam ini akan mendukung terjadinya
penyakit filariasis, karena risiko mendapat infeksi filariasis sangat besar.
Penelitian schistosomiasis yang dilakukan oleh Kasnodihardjo
mengenai kebiasaan seorang individu dalam melindungi diri dan
keluarganya tentu dipengaruhi pula oleh pengetahuan mereka tentang
bahaya suatu penyakit. Hal ini tercermin dalam penelitian Kasnodihardjo
(1997:12) sebagian besar penduduk di daerah endemis schistosomiasis
seperti di Napu sudah mengetahui schistosomiasis adalah penyakit menular
dan berbahaya. Ini menunjukkan pengetahuan masyarakat tentang
schistosomiasis sudah cukup baik, meskipun hasil penelitian tahun 1985
masyarakat menganggap penyakit schistosomiasis adalah penyakit
keturunan.
Memahami hasil penelitian Kasnodihardjo tersebut, tentang
pengetahuan masyarakat akan bahaya suatu penyakit akan secara
langsung memberikan respons terhadap perilaku mereka dalam
pencegahan penyakit, namun kenyataannya masyarakat kurang
menunjukkan perilaku kesehatan dalam upaya pencegahan penyakit,
walaupun dari seluruh responden penelitian menyatakan tahu bahwa
schistosomiasis adalah penyakit berbahaya. Menurut Kasnodihardjo
pengetahuan mereka tentang schistosomiasis sudah cukup baik, namun
perilaku melindungi diri untuk tidak tertular schistosomiasis tidak mereka
lakukan seperti dengan menggunakan alat sepatu boot pada saat
beraktivitas di areal kebun dan persawahan. Sampai saat ini belum
diketahui apa penyebab masyarakat khususnya para petani yang bekerja di
sawah dan di kebun jarang menggunakan alat pelindung diri saat bekerja.
Menurut Kasnodihardjo dan Sudomo (1990:38) bahwa, untuk
melalukan pemberantasan suatu penyakit sebaliknya bukan hanya proses
penyampaian pengetahuan suatu penyakit atau nilai-nilai baru tentang suatu
penyakit, melainkan bagaimana mendorong sikap dan perilaku masyarakat
untuk melindungi diri dan keluarganya dari bahaya penyakit. Begitu pula
halnya menurut Sudomo, dengan pendidikan yang baik dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang kebersihan dan pola hidup sehat
masyarakat.
Begitu pula dari segi kepercayaan yang dipahami masyarakat
sebagai suatu penerimaan akan suatu ide atau keadaan sebagai suatu
kebenaran bagi seseorang atau masyarakat. Sampai saat ini masih banyak
di antara penduduk di daerah endemis fiilariasis yang percaya bahwa
filariasis merupakan penyakit keturunan. Sehingga apa yang telah menimpa
atau terjadi diterima sebagai nasib. Bahkan mereka percaya bahwa orang
sering demam karena gangguan setan/roh halts, padahal sebenarnya
demam karena terinfeksi filaria. Oleh karena itu mereka kadang-kadang
tidak segera mencari pengobatan. Bahkan penderita yang sudah
membengkak kakinya (elephantiasis) tidak di bawa ke dokter (Puskesmas
atau Rumah Sakit), melainkan biasanya menaruh kepercayaan untuk
penyembuhannya pada orang yang mereka anggap pintar (orang tua atau
dukun). Mereka menganggap bahwa hanya orang semacam itu yang dapat
menyembuhkan atau mengusir penyakitnya (Kasnodihardjo 1997:16)
Sikap dalam Kasnodihardjo (1997:16) adalah suatu keadaan mental
atau kecenderungan seseorang untuk bereaksi terhadap keadaan atau
lingkungannya. Contoh yang bisa dikaitkan dengan penelitian ini adalah,
masih banyak anggota masyarakat di daerah endemis filariasis yang
mempunyai sikap tidak positip terhadap penanggulangan filariasis. Masih
banyak di antara penduduk yang menolak dilakukan pengobatan dan
pengambilan darah. Mereka umumnya mempunyai alasan bahwa dengan
diobati mereka malah menjadi sakit, padahal sebelum diobati mereka sehat.
Bagi mereka yang sakit sebagai efek samping obat biasanya mengalami
perut mual, sakit kepala dan demam beberapa hari. Penduduk yang
menolak diambil darahnya karena mempunyai anggapan bahwa
pengambilan darah mempunyai tujuan komersial. Darah yang sudah
terkumpul akan diperjual belikan. Sikap mereka menolak pengobatan dan
pengambilan darah. Selain itu penduduk di daerah endemis filariasis
umumnya kurang tanggap terhadap lingkungannya. Hal ini tercermin pada
masih banyaknya daerah rawa-rawa di sekitar pemukiman tetap dibiarkan
terbuka, tanpa dimanfaatkan menjadi lahan produktif misalnya menjadi
lahan persawahan atau pemanfaatan lainnya. Menurut Sri Oemijati (1981)
daerah rawa yang tetap terbuka merupakan tempat yang cocok untuk
berkembang biaknya nyamuk dari jenis Mansonia. Nyamuk jenis ini
merupakan salah satu vektor penular penyakit filaria. Nampak dari hasil
penelitian ini menunjukkan sikap yang tidak positif bagi upaya
penanggulangan filariasis. Karena dengan masih adanya penduduk menolak
pengobatan akan menyebabkan penularan filariasis yang terus menerus
dalam masyarakat. Selain itu daerah rawa-rawa yang dibiarkan tetap
terbuka akan menunjang berkembangbiaknya nyamuk penular filariasis.
Begitu pula halnya dengan nilai menurut Alvin Bertrand (1980) dalam
Kasnodihardjo (1997:16) nilai adalah, perasaan-perasaan tentang apa yang
diinginkan ataupun tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh atau tidak
boleh. Nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang baik ataupun tidak
baik. Bila suatu keadaan dipercaya atau dianggap menguntungkan atau
bermanfaat oleh seseorang, maka orang tersebut akan menaruh nilai yang
tinggi. Sebaliknya bila suatu keadaan dianggap merugikan atau tidak
bermanfaat, maka orang tersebut akan menaruh nilai yang rendah, sebagai
contoh, pengobatan bisa dianggap oleh masyarakat merugikan, karena
setelah minum obat malah menjadi sakit padahal sebelum diobati mereka
merasa sehat. Dengan sakit yang dialami akibat minum obat misalnya
demam beberapa hari, mereka umumnya tidak dapat pergi ke ladang atau
menyadap karet di hutan. Tentunya hal ini mereka anggap merugikan,
karena mengganggu dalam melakukan pekerjaan. Sebaliknya bila
pengobatan tersebut akhirnya dirasakan bermanfaat bagi kesehatan baik
untuk diri seseorang atau masyarakat, maka orang tersebut akan
menerima/bersedia diobati.
Selanjutnya peneltian oleh Rosmini (2010:30) berkaitan dengan
penularan schistosomiasis di Dataran Tinggi Bada, menunjukkan penularan
schistosomiasis terjadi karena adanya kontribusi bersama-sama antara
faktor keong O.h. lindoensis, kontak manusia dan binatang mamalia yang
berperan sebagai reservoir dengan daerah fokus. Kejadian schistosomiasis
sangat berhubungan dengan perilaku buang air besar di jamban keluarga,
mandi/mencuci di sungai, menggunakan alat pelindung diri bila ke daerah
fokus dan menggunakan sumber air minum dari mata air. Begitu pula halnya
penelitian schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu, menunjukkan adanya
hubungan antara perilaku pemanfaaatan air terhadap tingkat kejadian
schistosomiasis serta penggunaan sepatu boot dan pemanfaatan jamban.
Nampak dari penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan
perilaku seseorang terhadap kesehatan, begitu pula halnya dengan
lingkungan. Bagaimana seseorang merespon lingkungan dengan kata lain,
bagaimana sesorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu
kesehatannya sendiri, keluarga dan masyarakatnya misalnya, dengan
mengelola pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan limbah
dan sebagainya.
Mengacu pada hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Kasnodihardjo tersebut di atas, menjadi acuan dan dasar bagi peneliti untuk
mengungkapkan fenomena-fenomena penyakit dalam masyarakat Lindu
terkait dengan semakin tingginya prevalensi schistosomiasis di daerah
tersebut. Perilaku budaya sehat setiap masyarakat tentunya berbeda untuk
setiap daerah, bagaimana pola tindakan seseorang dalam mencari
pengobatan, pencegahan atau kaitanya dengan sistem kepercayaan
terhadap suatu penyakit. Kemudian harus juga disadari bahwa individu dari
kelompok masyarakat berbeda dapat menganggap dirinya sehat sekalipun
sebenarnya tidak sehat, atau dapat menganggap dirinya sakit sekalipun
sebenarnya menurut pemeriksaan kedokteran sama sekali tidak sakit.
Selanjutnya teori Snehandu B. Kar dalam Marimbi (2009:82)
menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu
merupakan fungsi dari
1). Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau
perawatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).
2). Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support).
3). Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas
kesehatan (accessibility of information).
4). Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan
atau keputusan (personal autonomy).
5). Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action
situation).
Teori Kar di atas dapat di contohkan pada kasus seorang ibu yang
tidak mau ikut KB, mungkin karena ia tidak minat atau niat terhadap KB
(behavior) intention), atau barangkali juga karena tidak ada dukungan dari
masyarakat sekitarnya (socila support). Mungkin juga karena kurang atau
tidak memperoleh informasi yang kuat tentang KB (accessibility of
information), atau mungkin ia tidak mempunyai kebebasan untuk
menentukan misalnya harus tunduk kepada suaminya, mertuanya atau
orang lain yang ia segani (personal autonomy. Faktor lain yang mungkin
menyebabkan ibu ini tidak ikut KB adalah karena situasi dan kondisi yang
tidak memungkinkan, misalnya alasan kesehatan yang akan
mengganggunya (action situation).
Selanjutnya menurut Mechanic dalam Sarwono S (2004:35 ) perilaku
sakit erat hubungan dengan konsep diri, penghayatan situasi yang dihadapi,
pengaruh petugas kesehatan, serta pengaruh birokrasi (karyawan yang
mendapat jaminan perawatan kesehatan yang baik akan cenderung lebih
cepat merasa sakit daripada mereka yang justru akan kehilangan nafkah
hariannya jika tidak masuk kerja karena sakit). Ada dua faktor utama yang
menentukan perilaku sakit yaitu, persepsi atau definisi individu tentang suatu
situasi/ penyakit, serta kemampuan individu untuk melawan serangan
penyakit tersebut. Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa ada
orang yang dapat mengatasi gangguannya lebih ringan malah memperoleh
berbagai masalah, bukan saja fisik, melainkan masalah psikis dan sosial.
Dari hal tersebut di atas dapat dibuat kategorisasi faktor pencetus
perilaku sakit yaitu, faktor persepsi yang dipengaruhi oleh orientasi medis
atau sosio-budaya, faktor intensitas gejala (menghilang atau terus menetap),
faktor motivasi individu untuk mengatasi gejala yang ada, serta faktor
psikologis yang mempengaruhi respon sakit (Sarwono S, 2004:36).
Dari uraian di atas tampak bahwa perilaku kesehatan merupakan
suatu pola reaksi sosio-budaya yang dipelajari. Seperti Linton 1940 dalam
(Keesing 2009:68) mendefinisikan budaya adalah, keseluruhan dari
pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang
dimiliki atau diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu. Lebih lanjut
Kluckhon dan Kelly dalam (Keesing 2009:68) mendefinisikan budaya adalah
semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit
maupun implisit, rasional, irasional dan nonrasional, yang ada pada suatu
waktu sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia.
Jika kita memahami teori-teori di atas dapat dikatakan bahwa perilaku
kesehatan individu maupun masyarakat merupakan bagian dari budaya.
Bagaimana individu memahami suatu penyakit berdasarkan pengetahuan,
persepsi mereka, sehingga sampai pada taraf penyelesaian yang ditujukan
dengan perilaku pencegahan dan perawatan penyakit, tentunya tindakan
individu berdasarkan pada pola-pola budaya yang dipahami tentang
penyakit tersebut. Pada saat individu dihadapkan pada gejala suatu
penyakit gejala tersebut akan dikenal, dinilai, ditimbang untuk diputuskan
apakah akan bereaksi atau tidak, tergantung dari penghayatan individu
terhadap situasi penyakit tersebut.
2.3 Pengaruh Lingkungan terhadap Kesehatan
Antropologi kesehatan yang dari definisinya dapat disebutkan
berorientasi ke ekologi, menaruh perhatian pada hubungan timbal-balik
antara manusia dan lingkungan alamnya, tingkahlakunya, penyakit-
penyakitnya, dan cara-cara di mana tingkahlaku dan penyakit-penyakitnya
mempengaruhi evolusi kebudayaannya melalui proses umpanbalik (foster, A
2009:14).
Pandangan ekologi berguna mempelajari masalah-masalah
kesehatan. Studi ekologi dimulai dengan lingkungan, Sejauh yang
menyangkut manusia, lingkungan bersifat alamiah dan sosial budaya.
Semua mahluk hidup menyesuaikan diri dengan kondisi geografis dan iklim
yang terdapat di tempat tinggal mereka, dan manusia harus belajar untuk
mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Semua kelompok harus menyesuaikan diri pada lingkungan yang
mereka ciptakan sendiri.
Pendekatan ekologis merupakan dasar bagi studi tentang masalah-
masalah epidemiologi, cara-cara di mana tingkahlaku individu dan kelompok
menentukan derajat kesehatan dan timbulnya penyakit yang berbeda-beda
dalam populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh pada penyakit malaria
ditemukan pada daerah berikilim tropis dan subtropis, sedangkan pada
daerah beriklim dingin tidak ditemukan penyakit ini, juga pada daerah diatas
1700 meter di atas permukaan laut malaria tidak bisa berkembang. Contoh
lain, semakin maju suatu bangsa, penyakit yang dideritapun berbeda
dengan bangsa yang baru berkembang. Penyakit-penyakit infeksi seperti
malaria, demam berdarah, TBC, dll pada umumnya terdapat pada negara-
negara berkembang, sedangkan penyakit-penyakit non-infeksi seperti
stress, depresi, kanker, hipertensi umumnya terdapat pada negara-negara
maju. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang berbeda pada
kedua kelompok tersebut (Djekky R.D 2002:5).
Kejadian schistosomiasis pada masyarakat Dataran Lindu,
merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh faktor lingkungan baik
lingkungan fisik dan sosial. Lingkungan sosial sebagai tempat
individu/masyarakat menjalankan kegiatan-kegiatan atau peranan-peranan
dalam bentuk pelaksanaan hak-hak serta kewajiban sesuai dengan
kedudukan serta norma-norma dan aturan-aturan. Sedangkan lingkungan
fisik sebagai ruang alam tempat berbagai sumber mutlak diperlukan bagi
manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Kesatuan masyarakat dengan
lingkungan alamnya mewujudkan berbagai interaksi (antara masyarakat dan
lingkungan alamnya) untuk pemenuhan kebutuhan demi kelangsungan
hidupnya termasuk mekanisme-mekanisme pemecahan masalah akibat
perubahan-perubahan lingkungan dan perubahan kependudukan (Kalangi
1993:26).
Lingkungan fisik mempengaruhi kesehatan pada manusia, misalnya
pengaruh iklim, pencemaran udara, air, penurunan kualitas udara oleh gas
dan debu yang tercemar sehingga masyarakat menghadapi risiko terkena
gangguan kesehatan. Sedangkan gangguan kesehatan yang datang dari
lingkungan sosial. Manusia sering hidup dalam lingkungan sosial yang
membuat mereka marah, frustasi atau cemas dan perasaan-perasaan
demikian mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan. Tindakan
memperjuangkan kesehatan lingkungan tersebut ada yang berbentuk
perilaku kolektif dan ada yang berbentuk gerakan sosial seperti
membersihkan lingkungan desa dan perumahan (www. wordpress.
com/pegertian-lingkungan-sosial-budaya).
Blum dalam Hasyim Hamzah ( 2008:73) secara jelas menyatakan
bahwa determinan status kesehatan masyarakat merupakan hasil interaksi
domain lingkungan, perilaku dan genetika serta bukan hasil pelayanan
medis semata-mata. Kualitas lingkungan merupakan determinan penting
terhadap kesehatan masyarakat, penurunan kualitas lingkungan memiliki
peran terhadap terjadinya penyakit diare, ISPA, malaria, schistosomiasis
dan penyakit vektor lainnya
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau
keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap
terwujudnya status kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan
lingkungan tersebut antara lain mencakup: Perumahan, pembuangan
kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah,
pembuangan air kotor (limbah), pembuangan kotoran hewan dan rumah
hewan ternak (kandang), dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan
kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang
baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup
di dalamnya (Notoatmodjo,S , 2011:169).
Saat ini pengaruh dan beban terhadap lingkungan hidup sedemikian
besar sehingga mulai terasa gangguan-gangguan terhadap sistem bumi
kita. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi seiring tekanan besar yang
dilakukan manusia terhadap sistem alam sekitar, menghadirkan berbagai
macam risiko kesehatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
2.4 Sistem Medis Berkenan Dengan Etnomedisin
Jika kita berbicara tentang kesehatan dan penyakit yang terjadi pada
manusia, maka kita tak lepas dari konteks kultural masyarakat salah satunya
adalah etnomedisin. Etnomedisin adalah cabang antropologi medis yang
membahas tentang asal mula penyakit, sebab-sebab dan cara pengobatan
menurut kelompok masyarakat tertentu. Aspek etnomedisin merupakan
aspek yang muncul seiring perkembangan kebudayaan manusia. Di bidang
antropologi medis etnomedisin memunculkan termonologi yang beragam.
Cabang ini sering disebut pengobatan tradisionil, pengobatan primitif, tetapi
etnomedisin terasa lebih netral (Foster 2009:62).
Sebelum menjelaskan tentang sistem medis terkait dengan
etnomedisin pada masyarakat, terlebih dulu kita harus mengetahui
etnomedisin merupakan bagian dari ilmu antropologi kesehatan. Antropolgi
kesehatan merupakan istilah yang digunakan ahli-ahli antropologi untuk
mendeskripsikan penelitian yang tujuannya adalah definisi komprehensif
dan interpretasi tentang hubungan timbal- balik bio-budaya, antara tingkah
laku manusia di masa lalu dan masa kini dengan derajat kesehatan dan
penyakit, tanpa mengutamakan perhatian pada penggunaan praktis dari
pengetahuan tersebut, melalui pemahaman yang lebih besar tentang
hubungan antara gejala bio-sosial-budaya dengan kesehatan, serta melalui
perubahan tingkah-laku sehat ke arah yang diyakini akan meningkatkan
kesehatan yang lebih baik (Foster 2009:11).
Seperti Febrega dalam Foster Anderson (2009:11) merumuskan
bahwa; a) antropologi kesehatan menjelaskan berbagai faktor mekanisme
dan proses yang memainkan peranan di dalam atau mempengaruhi cara-
cara di mana individu-individu dan kelompok-kelompok terkena oleh atau
berespon terhadap sakit dan penyakit, b) mempelajari masalah-masalah
kesehatan dengan penekanan terhadap pola-pola tingkah laku.
Selanjutnya Hughes dalam Foster Anderson (2009:6) mengatakan
antropologi kesehatan mengkaji masalah-masalah kesehatan dan penyakit
dari dua kutub yang berbeda yaitu, kutub biologi dan kutub sosial budaya.
Salah satu kutub sosial budaya adalah, etnomedisin dan tingkah laku
manusia. Etnomedisin artinya yakin, kepercayaan dan praktek-praktek yang
berkenan dengan penyakit, yang merupakan hasil dari perkembangan
kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak berasal dari kerangka konseptual
kedokteran modern, merupakan urutan langsung dari awal perhatian ahli-
ahli antropologi mengenai sistem medis non-Barat, dengan mengumpulkan
data mengenai kepercayaan dalam pengobatan penduduk yang mereka
teliti. Etnomedisin awalnya mempelajari tentang pengobatan pada
masyarakat primitif atau yang masih dianggap tradisional, meski dalam
perkembangan lebih lanjut stereotipe ini harus dihindari karena pengobatan
tradisional tidak selamanya terbelakang atau salah.
Menurut kerangka etnomedisin penyakit dapat disebabkan oleh dua
faktor. Pertama penyakit yang disebabkan oleh agen seperti dewa, lembut,
makhluk halus, manusia, dan sebagainya. Pandangan ini disebut
pandangan personalistik. Penyakit juga dapat disebabkan karena
terganggunya keseimbangan tubuh karena unsur-unsur tetap dalam tubuh
seperti panas dingin dan sebagainya. Kajian tentang ini disebut kajian
naturalistik nonsupranatural. Di dalam realitas kedua prinsip tersebut saling
tumpang tindih, tetapi sangat berguna dalam konsep-konsep etnomedisin
(Foster 2009:63-64).
Sistem-sistem medis personalistik adalah, suatu sistem di mana
penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif, yang
berupa mahluk supranatural (mahluk gaib, atau dewa), mahluk yang bukan
manusia (hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun mahluk manusia (tukang
sihir) orang sakit adalah korbannya. Sistem-sistem medis naturalistik adalah,
penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan
pribadi. Sistem naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan,
sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetap di dalam tubuh seperti panas,
dingin, cairan tubuh dan yang berada dalam keadaan yang seimbang
menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan lingkungan
sosial (http://chemmank.blogsstool.com/etnomedisin).
Konsep naturalsitik dalam patologi humoral teori Yunani, bahwa
berdasarkan atas konsep humor (cairan) dalam tubuh manusia terdapat
empat unsur (tanah, air, udara, Api), dikenal Sejak Abad Ke 6 SM dan teori
keseimbangan ini sudah dikenal dan berkembang dimasa Yunani, hal ini
dibuktikan oleh deskripsi hipocrates tentang penyakit: tubuh manusia
mengandung darah, empedu kuning, dan empedu hitam. Unsur-unsur inilah
yang membentuk tubuh manusia dan menyebabkan tubuh merasakan sakit
atau sehat, penyakit akan timbul pada waktu tertentu pada setiap tahun,
penyakit akan menonjol pada musim yang cocok dengan sifat-sifatnya.
Penyakit yang disebabkan oleh kelebihan makanan diobati dengan puasa,
penyakit kekurangan makanan disembuhkan dengan memberi makanan.
Penyakit akibat kerja keras diobati dengan istirahat. Dokter harus
menanggulangi penyakit dengan prinsip oposisi terhadap penyebab
penyakit, sesuai dengan bentuknya, pengaruh musimnya, pengaruh usianya
dan menghadapi ketegangan dengan kesantaiannya. Keseimbangan
berbeda-beda terlihat pada wajah yaitu wajah kemerah-merahan dianggap
sehat, gembira, optimis. Flegmatis, tenang dapat mengendalikan diri.
Begitupun sebaliknya wajah yang tidak kemerah-merahan bersifat lamban,
apatis, masam, cepat marah, bertemperamen buruk, murung atau
melankolis, depresi, sedih ( http//chenmak.blogsstool.com.etnomedisin).
Selanjutnya Dunn dalam Foster (2009:41) mendefinisikan sistem
medis adalah, pola-pola dari pranata-pranata sosial tradisi-tradisi budaya
yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan,
meskipun hasil dari tingkahlaku khusus tersebut belum tentu kesehatan
yang baik.
Sistem medis dari semua kelompok dapat dipecah paling sedikit dua
kategori (Foster 2009:46)
1. Suatu sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai
cirri-ciri sehat, sebab-sebab sakit, serta pengobatan dan teknik-teknik
penyembuhan lain yang dilakukan oleh para dokter. Sistem-sistem teori
penyakit merupakan ide konseptual, suatu konstruk intelektual. Sistem ini
berkenan dengan klasifikasi, penjelasan, serta sebab akibat. Dalam arti
bahwa teknik-teknik penyembuhan merupakan fungsi dari suatu susunan
ide konseptual yang khusus tentang sebab-sebab penyakit.
2. Sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang
melibatkan interaksi antara sejumlah orang yaitu antara pasien dan
penyembuh. Fungsi yang terwujud dalam sistem perawatan kesehatan
adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, keluarganya
dan masyarakatnya dalam mengatasi masalah.
Perbedaan antara sistem teori penyakit dan sistem perawatan
kesehatan sangat bermanfaat untuk melihat kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan dari keseluruhan sistem medis. Leighton dalam
foster Anderson (2009:47) telah menunjukkan bagaimana sintesis dari
sistem-sistem yang kontras dapat meningkatkan kesehatan dikalangan
penduduk Navaho, jika seorang Indian diberitahu harus minum tablet setiap
hari, barangkali ia akan mengunyah beberapa tablet sekaligus kemudian ia
melupakannya. Namun bila diberitahu bahwa obatnya yang berwarna hijau
berasal dari daun tanaman foxglove, dan tubuhnya sangat cocok dan
senantiasa memerlukannya, seperti halnya pikirannya memerlukan lagu
yang indah, dan bahwa ia harus memakannya setiap pagi dan dipastikan
bahwa cara intruksi yang demikian lebih besar kemungkinan untuk dituruti.
Ini menunjukkan sistem perawatan kesehatan dan sistem teori penyakit
sangat bermanfaat sebagai sarana pendidikan dan penelitian.
Seperti halnya penyembuhan dikalangan masyarakat Amerika–
Spanyol kebanyakan tidak mengandalkan obat-obatan rumah dengan kata
lain Tuhan adalah penyembuh utama. Bagi penduduk Amerika-Spanyol
sering minta pertolongan orang orang suci, Bunda Maria atau kristus,
menyalakan lilin dan melakukan sembahyang pada altar altar mereka,
seringkali diucapkan janji atau sumpah pada kristus atau Bunda Maria: bila
permintaan mereka terkabul permohonan harus memenuhi janji janjinya.
Namun kristus dan maria semata mata hanya perantara bagi manusia yang
menjadi klien mereka, karena pada akhirnya tuhannya juga yang
menentukan hasilnya (Foster Anderson 2009:92).
Berdasarkan teori dan contoh kasus di atas dapat menjadi bahan
acuan ataupun dasar peneliti untuk menganalisis kejadian schistosomiasis
pada masyarakat di Dataran Lindu. Dalam penelitian ini peneliti akan
menggunakan sistem teori penyakit dari Foster Anderson yaitu dengan
melihat aspek-aspek sosial budaya terkait dengan schistosomiasis, dengan
menitikberatkan perhatian pada pengetahuan medis, persepsi dan peran
petugas kesehatan terkait dengan schistosomiasis.
2.5 Kerangka Pikir
Untuk mengkonstruksi lebih operasional studi ini maka yang menjadi
alur pikir peneliti sebagai berikut :
1. Umumnya masyarakat Lindu memiliki kebiasaan beraktifitas di areal
persawahan, perkebunan yang memungkinkan penularan
schistosomiasis bisa terjadi pada saat mereka beraktifitas. Keong
sebagai penular schistosomiasis hidup di air. Sebagian areal
persawahan dan perkebunan penduduk merupakan areal habitat keong.
Di mana pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan terkait dengan masalah
kesehatan dapat dikelompokkan menjadi, 1) pengetahuan tentang
penyebab sakit, gejala sakit 2) pengetahuan tentang cara pemeliharaan
kesehatan terkait dengan pencegahan penyakit dan pencarian
pengobatan, 3) Pengetahuan tentang proses penularan penyakit.
2. Perilaku/kebiasaan masyarakat Lindu yang ada hubungannya dengan
penularan schistosomiasis diantaranya perilaku pencegahan
schistosomiasis, perilaku pencarian pengobatan.
3. Persepsi masyarakat Lindu terhadap schistosomiasis tentunya
dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan budaya masyarakat. Persepsi
ditentukan berdasarkan pengetahuan maupun pengalaman-pengalaman
yang mereka lihat dan alami. Misalnya persepsi tentang schistosomiasis
Dari segi bahaya atau tidaknya schistosomiasis, persepsi tentang sehat
dan sakit, utamanya berhubungan penyebab sakit, pencegahan sakit
pengobatan dan cara penyembuhan yang di yakini.
4. Keberadaan fasilitas kesehatan dan peran petugas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan
penyakit, pengobatan dan perawatan penyakit. Peran petugas kesehatan
adalah suatu bentuk bantuan kepada masyarakat dalam hal pelaksanaan
upaya kesehatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dalam bentuk
bantuan tenaga, dana, sarana, prasarana serta bantuan moralitas
sehingga tercapai tingkat kesehatan yang optimal. Selain itu pula,
masyarakat dapat berperilaku baik dalam hal pencegahan
schistosomiasis jika ada tokoh penting sebagai panutan seperti tokoh-
tokoh masyarakat, yang kemudian apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh
masyarakat tersebut dapat diikuti dan cenderung didengar oleh
masyarakat. Peran lembaga-lembaga lokal sangat memberikan pengaruh
dalam penanggulangan schistosomiasis di Dataran Lindu.
Berdasarkan alur pikir peneliti di atas, kerangka pikir dalam penelitian ini
dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Bagan Kerangka Pikir :
Kejadian Schistosomiasis
Masyarakat Lindu
1. Pengetahuan masyarakat terkait schistosomiasis meliputi : penyebab penyakit, gejala, pencegahan, penularan dan pengobatan.
2. Perilaku kesehatan masyarakat terkait schistosomiasis: meliputi perilaku pencegahan, tindakan pemeliharaan kesehatan, pengobatan)
3. Persepsi masyarakat terhadap schistosomiasis
Peran Petugas Kesehatan dan
Lembaga Lokal Dalam Penanggulangan Schistosomiasis
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi
Provinsi Sulawesi Tengah, selama bulan Januari sampai Maret 2013 dan
penyusunan laporan penelitian dimulai dari bulan April sampai selesai.
Lokasi penelitian dipilih berdasarkan data kasus schistosomiasis. Lindu
merupakan suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik
yang keseluruhan unsur alamnnya dilindungi dan dilestarikan bagi
kepentingan penelitian dan pendidikan. Cagar biosfer di Lindu memiliki
banyak potensi dan keunikan yang bisa menjadi tempat demonstrasi
keterkaitan manusia dengan lingkungan alamnya. Potensi lain yang ada di
Lindu adalah adat-istiadat, potensi sejarah dan kearifan masyarakat lokal
yang mendukung kelestarian kawasan Lindu.
3.2 Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini yakni deskripsi tentang pengetahuan, persepsi dan peran
petugas kesehatan serta lembaga lokal dalam upaya penanggulangan
schistosomiasis, maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan
metode kualitatif. Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis ataupun lisan dari orang-
orang yang diamati. Metode pengumpulan data melalui pengamatan,
wawancara mendalam dan penelaahan dokumen. Melalui metode kualitatif
memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklarifikasikan
data yang menarik. Dengan demikian, penelitian kualitatif ini membimbing
peneliti untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga
sebelumnya dan membangun kerangka teoritis yang baru. Pemaparan data
dilakukan secara deskriptif dan sistematis mengenai fakta-fakta yang
ditemukan selama penelitian ini berlangsung.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.
Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat di Kecamatan Lindu..
Teknik pengambilan secara Purpossive Sampling yaitu sengaja memilih
beberapa orang informan warga Kecamatan Lindu yang dianggap memiliki
pengalaman dan pemahaman yang baik terhadap lingkungan sosial budaya
masyarakat serta mengetahui penyebaran schistosomiasis. Sampel
informan penelitian ini terdiri dari: Penderita schistosomiasis 6 orang,
petugas laboratorium 2 orang, tokoh adat 2 orang, tokoh agama 1 orang,
kader kesehatan 2 orang, kepala puskesmas 1 orang. Total seluruh
informan 14 orang.
3.4 Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data dan informasi sebanyak mungkin
mengenai pengetahuan, persepsi dan peran petugas kesehatan dan
lembaga lokal terkait schistosomiasis, maka peneliti menggunakan metode
pengumpulan data sebagai berikut :
a) Studi Pustaka (Library Research)
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data teoritis sehingga
dapat mempermudah pemecahan masalah dalam penelitian lapangan.
Data dan informasi ini, diperoleh dari bahan-bahan ilmiah berupa buku-
buku, dokumen-dokumen, serta karya ilmiah yang berhubungan dengan
objek penelitian.
b) Pengamatan (Observasi)
Pengamatan dilakukan dengan cara melihat secara langsung di
lapangan mengenai fenomena-fenomena seperti kebiasaan masyarakat
yang terkontaminasi dengan air, atau areal persawahan sawah dan
sungai yang sangat beresiko terinfeksi schistosomiasis. Kegiatan
masyarakat yang memiliki resiko sangat besar terhadap penularan
schistosomiasis adalah pekerjaan bertani, memancing.
c) Wawancara (In-Dept Interview)
Kegiatan wawancara yang dilakukan terhadap para informan
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
Wawancara persahabatan / wawancara pendahuluan
Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi ringan mengenai
informan, juga yang terutama adalah menumbuhkan keakraban antara
peneliti dengan informan.
Wawancara secara bebas dan mendalam
Untuk menggali dan mengumpulkan informasi yang berhubungan
dengan pokok permasalahan, yaitu sejauh mana pengetahuan, perilaku
dan persepsi masyarakat di sekitar kawasan terkait schistosomiasis serta
faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3.5 Teknik Analisis Data
Data yang berhasil dikumpulkan baik primer maupun sekunder
selama penelitian ini berlangsung, dianalisis dengan menggunakan teknik
kualitatif deskriptif. Pada tahap analisis ini dilakukan tiga (3) tahapan teknik
analisis data yaitu:
a) Editing data yaitu kegiatan mengoreksi data yang telah terkumpul, pada
tahap ini dilakukan kegiatan pembetulan kekeliruan, melengkapi data
yang belum lengkap dari hasil wawancara.
b) Penafsiran makna data yaitu selama wawancara berlangsung, setiap
jawaban informan digali sumbernya sesuai pendapat informan sehingga
mempermudah dalam proses perumusan kesimpulan hasil penelitian.
c) Perumusan kesimpulan hasil penelitian, sebagai jawaban masalah yang
diteliti dan saran-saran sesuai permasalahan yang dialami masyarakat.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografis
Dataran Tinggi Lindu secara administrasi terletak di wilayah
Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah, kurang lebih 97 Km arah selatan
Kota Palu, dengan jarak 80 Km dari kota Palu ke desa transit desa
Sadaunta, dan 17 Km dari Sadaunta menuju Lindu. Desa yang pertama
dijumpai saat sampai di Dataran Lindu adalah desa Puroo, kemudian Desa
Langko, Tomado dan Anca. Dataran Lindu terletak di tengah-tengah Palu
Sulawesi tepatnya pada bagian utara Kecamatan Kulawi yang berada pada
koordinat 120o 03’ BT dan 01o 20’ LS. Ketinggian wilayah Kecamatan Lindu
berkisar 600-1.600 m dpal, dengan luas wilayah 131.000 ha. Berdasarkan
SK menteri Pertanian No. 46/Kpts/Um/1978. Curah hujan 2000-3000 mm
dan suhu udara antara 17-30,5 oC sedangkan kelembaban 51-100%
(Sumber: kantor camat Lindu tahun 2012).
Dataran Lindu merupakan daerah dengan topografi yang relatif
bervariasi, dari dataran sampai perbukitan. Sebagian besar wilayah Lindu
merupakan kawasan hutan taman nacional, lahan pertanian dan perairan
berupa danau yang dikenal dengan Danau Lindu dengan ketinggian 960 m
(dpal), dengan sisi sebelah Barat dan Barat Daya merupakan daerah yang
berlereng terjal sedangkan sisi sebelah Timur dan Utara merupakan daerah
yang tidak begitu terjal. Danau Lindu dikelilingi oleh delapan pegunungan
yakni Nokilalaki, Adale, Kona’a, Tumaru, Gimba, Jala, Rindi, dan
Toningkolue. Danau Lindu tersebut sangat cocok dengan perikanan air
tawar kelistrikan dan pengembangan olahraga air serta pariwisata. Di
Dataran Lindu dilaksanakan festival Danau Lindu yang dilakukan setiap
akhir tahun.
Penggunaan lahan di wilayah Dataran Lindu berupa: sawah, tanah
ladang, perkebunan coklat, cengkeh dan kopi, sedangkan selebihnya
merupakan semak belukar dan hutan. Topografi daerah Kecamatan Lindu
yaitu merupakan suatu daerah perbukitan bergelombang yang topografinya
terdiri dari :
1. Bagian Barat merupakan dataran pantai yang landai dan berbukit (tanah
berombak)
2. Bagian Tengah landai dan berbukit
3. Bagiian Utara pegunungan dan berbukit
4. Bagian Timur landai dan berbukit
Batas Wilayah Dataran Kecamatan Lindu meliputi daerah-daerah
sekitarnya seperti yang terlihat pada 4 (empat) bagian di bawah ini :
1. Bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Palolo
2. Bagian Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kulawi
3. Bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan Lore Utara
4. Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Biromaru
Sebelum tahun 2002 perjalanan ke Dataran Lindu masih
menggunakan sarana transportasi tradisional yakni kuda patteke dengan
waktu tempuh berkisar 3-4 jam.Tetapi perubahan secara radikal telah terjadi
dewasa ini dan begitu cepat terjadi sejak september 2002 di mana sarana
transportasi modern berupa ojek telah merambah kawasan ini dan sekaligus
mengisi keheningan hutan Lindu dengan suara kebisingan motor yang
setiap saat melintas di tengah hutan. Awalnya pelebaran jalanan di
dilakukan secara bergotongroyong, namun belakangan ini pelebaran dan
pemeliharaan dilakukan secara berkelompok dan dikerjakan dengan sisem
upahan.
Danau Lindu yang berada di tengah rimba menyimpan sejumlah
pesona, keteduhan dan keheningan yang didambakan bagi orang-orang
yang merindukan suasana alami. Perjalanan dari desa Sedaunta menuju
Dataran Tinggi Lindu menggunakan waktu satu jam, harus melewati jalan
setapak, berliku, turun naik menembus hutan di antara tebing dan ngarai
yang curam dengan menggunakan sarana transportasi berupa motor ojek
dengan biaya Rp. 50.000/orang, tidak terasa melelahkan, tidak menakutkan
dan tidak membosankan karena disuguhi oleh pemandangan yang
menawan.
Jalan menuju Dataran Lindu cukup menantang, jika musim hujan
jalanan tersebut sangat licin. Masyarakat Lindu masih menggunakan ojek
sebagai alat angkut umum, begitu pula dengan hasil panen dan hasil
penangkapan ikan, semua masih menggunakan roda dua. meskipun jalan
telah diperlebar, jika kita berpapasan dengan roda dua lainnya maka salah
satunya harus berhenti dulu. Ketinggian dalam perjalanan menuju danau
berkisar 200 m sampai 2.610 m di atas permukaan laut. Dari Sadaunta
menuju lindu jurang berada pada sisi kanan kita sampai di Puncak, dari
Puncak sampai ke desa Puroo jurang berada disisi kiri. Kendaraan yang
kebetulan lebih dekat jurang diprioritaskan untuk lewat lebih dulu, sementara
kendaraan di sisi tebing harus berhenti merapatkan kendaraannya pada
tebing agar kendaraan yang berlawanan arah bisa lewat.
4.1.1 Kawasan Fokus keong
Pengendalian yang dilakukan sejak tahun 1974 oleh Departemen
Kesehatan belum dapat mengeliminasi fokus penularan schistosomiasis
secara tuntas. Faktor geografis Dataran Tinggi Lindu diyakini merupakan
salah satu sebab pengendalian penyakit ini belum bisa tuntas. Dengan
lingkungan yang bervariasi banyak menyebabkan perkembangan jumlah
dan luas habitat keong (Jastal 2008:3).
Penyebaran habitat keong di Dataran Lindu berada pada daerah
aliran air yang lambat, berkerikil, banyak serasah yang berasal dari daun
maupun ranting, serta berlumpur merupakan tipe karakteristik yang selalu
muncul sebagai habitat keong O. h. lindoensis yang dominan. Distribusi
fokus keong terletak di dalam hutan dan dekat dengan persawahan
penduduk. Resiko terjadinya penularan schistosomiasis berhubungan
dengan pemanfaatan lahan yang juga merupakan habitat keong
O.h.lindoensis. Hal ini juga membuktikan bahwa jika lahan diolah secara
terus menerus dapat menghilangkan habitat keong O.h.lindoensis ( Jastal,
2008:17).
Kawasan fokus keong tersebar di empat desa yang ada di Dataran
Lindu. Terbanyak fokus berada di sekitar areal persawahan dan perkebunan
penduduk. Jumlah fokus keong sebanyak 188 fokus. Total fokus aktif 129
dan 68 fokus tidak aktif. Fokus yang cukup rawan terdapat di desa Anca
yaitu di Paku (areal pertanian penduduk Anca) dan pinggiran danau yang
biasa disebut muara. Fokus ini sebagai sumber penularan schistosomiasis,
karena terletak di pinggir jalan setapak yang sering dilalui oleh warga
masyarakat Lindu maupun warga masyarakat dari Desa Dongi-dongi di
wilayah Kecamatan Palolo untuk melakukan aktifitas memancing dan
mencari rotan, bahkan di sekitar fokus tersebut banyak dibangun pondok
tempat menginap bagi orang dari desa Dongi-dongi. Fokus keong yang ada
di desa Anca tersebar dari mulai tepi danau semak-semak, lahan
persawahan dan kebun coklat, kopi sampai hutan di kawasan hutan Taman
Nasional Lore Lindu. Persawahan di desa Anca ada yang diolah dan tidak
diolah. Sumber air irigasinya berasal dari air yang berasal dari dalam hutan.
(sumber: petugas Lab schistosomiasis).
Di wilayah desa lainnya yaitu Puroo fokus aktif berada di Owo.
Tempat ini sebagai areal persawahan dan perkebunan warga Puroo. Di
daerah ini potensi terjadinya penularan schistosomiasis sangat besar,
dikarenakan aliran sungai kecil yang merupakan habitat keong O. h.
lindoensis di desa Owo, masuk ke areal persawahan penduduk yang masih
aktif digarap. Letak fokus yang berada di sekitar areal persawahan atau
kebun dapat menyebabkan tingginya resiko tertular schistosomiasis. Tiap-
tiap desa yang ada di Dataran Lindu semua ada fokus keong termasuk desa
Langko dan Tomado. Di Tomado fokus keong berada dekat pemukiman
peduduk, ada beberapa warga di Tomado yang masih menggunakan air
yang bersumber dari fokus (sumber: petugas Lab schistosomiasis).
Selain itu, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan volume air dari
mata air menjadi lebih banyak. Hal ini menyebabkan debit air yang keluar
juga semakin besar. Apabila aliran air yang sebelumnya hanya melalui parit
kecil tidak mencukupi lagi, maka air akan melimpah/membentuk jalur aliran
baru. Pada mata air yang merupakan habitat keong O. h. lindoensis, hal ini
akan menyebabkan terbentuknya pola penyebaran fokus yang berbeda
yang pada akhirnya akan membentuk fokus baru. Hingga masyarakat yang
sering beraktifitas di areal fokus keong sama sekali tidak mengetahui jika
fokus keong bisa berubah malah lebih dekat dengan persawahan dan
perkebunan mereka.
Faktor penebangan hutan di taman nasional juga turut
mempengaruhi penyebaran fokus di wilayah tersebut. Penebangan hutan
secara liar akan menyebabkan terbukanya lahan yang tidak terkendali yang
dapat mengakibatkan tanah longsor ataupun banjir. Apabila di daerah yang
dibuka tersebut terdapat fokus keong yang alami yang sebelumnya
penyebarannya hanya terkonsentrasi di tempat tersebut, besar
kemungkinan keong akan menyebar bersamaan dengan longsornya tanah
ataupun hanyut bersama banjir yang ditimbulkannya. Bagi keong yang
berhasil mempertahankan hidupnya, maka keong-keong tersebut
membentuk atau berkembangbiak di tempat yang baru (Jastal, 2008:48).
Untuk mengantisipasi agar warga tidak tertular schistosomiasis
berbagai cara dilakukan pemerintah yaitu, memberikan tanda-tanda areal
fokus keong, agar masyarakat mengetahui dan mematuhi arahan dari
petugas kesehatan dan tokoh-tokoh masyarakat. Seperti terlihat pada
gambar di bawah ini:
Gambar 1. Papan Fokus aktif schistosomiasis
Selain papan fokus aktif shistosomiasis, juga terdapat papan
peringatan lainnya yaitu papan areal penyebaran schistosomiasis yang
terdapat di 4 (empat) desa Kecamatan Lindu yaitu Desa Puro’o, Desa
Langko, Desa Tomado dan Desa Anca, berikut adalah salah satu papan
kawasan penyebaran schistosomiasis yang berada di Desa Langko :
Gambar 2. Salah Satu Papan Tanda daerah Kawasan Schistosomiasis
4.2 Kondisi Demografis
Desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Lindu ini letaknya
bersebelahan dan membentang dari Utara ke Selatan sepanjang bibir
Danau Lindu. Dengan kepadatan penduduk mencapai 4.960 jiwa. Beberapa
desa di Dataran Lindu saling berjauhan seperti dari desa Puroo menuju
Langko berjarak 4 sampai 5 km. Dari Tomado menuju Anca jarak berkisar 3
sampai 4 km. Di sekitar pemukiman warga terdapat areal persawahan, arael
tanaman jangka pendek seperti jagung, sayur-sayuran, tomat, dan umbi-
umbian. Posisi lahan pertanian tersebut sebagian berhadapan dengan jalan
utama desa Lindu. Sebagian penduduk di Lindu tersebar dibeberapa tempat
seperti desa Tomado, sebagian penduduknya berada di seberang danau
terdiri dari dusun Kanawu, Salutui dan Palili. Untuk ke dusun tersebut harus
menggunakan alat transportasi berupa perahu/kapal dengan biaya 25
ribu/orang, jika mengangkut barang upahnya berkisar 100 s/d 120 ribu .
Selanjutnya nama-nama desa, jumlah penduduk dan luas wilayah
yang ada pada wilayah Dataran Lindu seperti terlihat pada tabel di bawah
ini:
Tabel. 1 Nama-nama Desa, Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah
Di Kecamatan Lindu
No Nama Desa Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Luas Wilayah (Ha)
Ket
1 2 3 4
Puro’o Langko Tomado
Anca
721 771
1.443 566
443.23 1.735.37 4.671.71 2.176.44
- - - -
5 6 7
Kangkuro Lembo
Olu
390 432 367
441.10 1.371.23 1.135.40
- - -
Jumlah 4.960 12.193,48
Sumber : Kantor Camat Lindu Tahun 2012
Dengan melihat tabel di atas bahwa jumlah penduduk sebanyak 4.
960 jiwa, merupakan jumlah penduduk terbanyak adalah desa Tomado
dengan Luas Wilayah 4.671.71 Ha. Kecamatan Lindu dibagi menjadi 4 desa
yaitu, Desa Puroo, Langko, Tomado, dan Anca atau yang populer disingkat
PLTA. Ada beberapa bagian dari desa Anca terdiri dari Paku, Kalinco,
Bamba & Muara, Pongku, Langkasa. Desa Puroo terdiri dari Wongkodono,
Owo dan untuk desa Tomado terdiri dari Malo, Lombu, Powongi, Salutui,
Kanawu dan Luwo. Beberapa desa ini dihuni oleh pendatang dari berbagai
macam-macam daerah seperti etnis Toraja, Kulawi dan Bugis. Jumlah
penduduk menurut jenis kelamin pada masyarakat Kecamatan Lindu, seperti
terlihat pada tabel 2 di bawah ini :
Tabel. 2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Kecamatan Lindu
No Jenis Kelamin Jumlah Presentase %
1 Laki-laki 2.495 53,19
2 Perempuan 2.195 46,81
Jumlah 4.690 100%
Sumber : Kantor Camat Lindu Tahun 2012
Berdasarkan tabel di atas menggambarkan bahwa penduduk yang
berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2.495 atau 53,19 %. Sedangkan
penduduk yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 2.195 atau 46,81%.
Dengan melihat perbandingan penduduk di atas dapat disimpulkan bahwa
yang berjenis kelamin pria lebih banyak bila dibandingkan dengan penduduk
yang berjenis kelamin perempuan. Adapun jenis pekerjaan menurut jumlah
masyarakat Kecamatan Lindu, seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel. 3 Jenis Pekerjaan Menurut Mata Pencaharian
Di Kecamatan Lindu
No Jenis Pekerjaan Jumlah/Banyaknya
Presentase %
1 PNS 56 1,19
2 Honorer 256 5,46
3 TNI/Polri 78 1,66
4 Pedagang 233 4,97
5 Nelayan 459 9,79
6 Petani 1.987 42,37
7 Dan Lain-lain 1.621 34,56
Jumlah : 4.690 100%
Sumber : Kantor Camat Lindu Tahun 2012 Selanjutnya klasifikasi kondisi fisik bangunan rumah masyarakat
Lindu umumnya permanen dan beberapa rumah warga berbentuk rumah
panggung khususnya di Langko dan Anca. Rata-rata penduduk sudah
memiliki sarana MCK (mandi cuci kakus) di rumah masing-masing, kecuali di
desa Puroo dan Langko sebagian warganya belum memiliki jamban
kelaurga, mereka rata-rata melakukan aktifitas MCK di aliran-aliran air dan
sungai. Sampai saat ini di kecamatan Lindu belum ada alat penerang listrik,
rata-rata masyarakat masih menggunakan alat penerang dari mesin genset.
4.3 Sejarah Singkat Kawasan Lindu.
Dahulu kala lembah Lindu belum disebut Lindu, karena orang-orang
yang mendiami Lembah Lindu masing-masing menamai pemukiman mereka
sendiri-sendiri. Seperti Langko sekarang nama pemukiman mereka yang
terdahulu adalah Damanca tempat ini letaknya di bukit. Demikian pula Anca
di Bulukora, Paku di Gonci, Palili di Lembah, Ruo di Tineke, Olu di Puntana
dan Bulu Palio Wongkodono di Bulukora. Lembah Lindu pada saat itu masih
penuh dengan air dan rawa-rawa. Itulah sebabnya dahulu mereka memilih
tempat tinggal di Gunung atau di Bukit.
Setelah air yang menggenangi lembah Lindu itu surut maka penduduk
yang bermukim di gunung atau di bukit itu turun ke dataran, sebab rawa-
rawa yang ada di sekitar lembah Lindu itu sudah surut atau kering dan
akhirnya terbentuklah satu danau di tengah-tengah lembah Lindu yang
mereka sebut saat itu adalah sungai rawa kemudian berubah menjadi Rano
Lindu (Danau Lindu). Dengan demikian maka mereka merencanakan
pemukiman baru di sekitar tepi danau Lindu. Pemukiman yang mereka buat
ada 7 (tujuh) pemukiman, yang disebelah Barat ada 3 (tiga) pemukiman dan
disebelah Timur ada 4 (empat) pemukiman. Pemukiman yang ada disebelah
Barat adalah: Langko, Anca dan Paku. Pemukiman yang ada disebelah
Timur adalah; Wongkodono, Olu, Luo dan Palili.
Setelah Belanda masuk ke Dataran Kulawi dan sekitarnya termasuk
lembah Lindu maka pemerintahan mereka itu dirubah oleh Belanda menjadi
kerajaan yang berpusat di Kulawi. Di lembah Lindu diangkat seorang kepala
kampung yang bernama Hakere dari Langko untuk menjadi kepala
pemerintahan di sekitar lembah Lindu saat itu. Dengan demikian dari ke
Tujuh pemukiman yang ada di sekitar tepi Danau Lindu sudah digabung
menjadi 3 (tiga) Desa yaitu:
1. Desa Langko (digabung dengan Wongkodono)
2. Desa Tomado (digabung dengan Olu, Luo, Palili)
3. Desa Anca (digabung dengan Paku)
Pada tahun 1960 pemerintah memindahkan sebagian penduduk
Winatu dan Honca ke Dataran Lindu yaitu, disebelah Selatan dari desa
Langko yang sekarang ini disebut desa Puroo, sehingga yang bertambalah
desa di Dataran Lindu menjadi 4 (empat) yakni desa Puroo, desa Langko,
desa Tomado, desa Anca yang disingkat dengan PLTA.
Setelah pemukiman baru tersebut sudah terbentuk maka mereka
berunding untuk membentuk satu pemerintahan yang dapat mengatur
mereka dalam segala hal apa pun. Dengan demikian maka mereka
bermufakat membentuk satu pemerintahan yang terdiri dari : 1) Jogugu
adalah, seorang pemimpin yang bertugas mengambil keputusan dalam
perkara adat dan pemerintah. Struktur dari pemerintah Jogugu itu sendiri
adalah garis keturunan yang turun-temurun. 2) Kapita adalah, seorang
pemimpin yang bertugas menjalankan pemerintah sehari-hari. Dalam hal ini
seorang Kapita juga harus mempunyai keturunan raja agar bisa meneruskan
tongkat kepemimpinan. 3) Galara adalah, seorang pemimpin yang bertugas
menyusun norma-norma adat. Adapun kepemimpinan seorang Galara
adalah bebas ditunjukkan siapa saja yang mempunyai kemampuan dalam
bidang perkara adat. 4) Pabisara adalah, seorang pemimpin yang bertugas
menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kegiatan pemerintahan.
Kepemimpinan seorang Pabisara tidak ditentukan dengan melihat derajat
atau keturunan.
Dengan terbentuknya pemerintahan tersebut, maka mereka tinggal
di lembah Lindu dengan aman sebab jikalau ada suku-suku lain yang datang
mengganggu maka mereka bersatu untuk memeranginya. Sistem
pemerintahan ini sudah berlaku jauh sebelum Republik Indonesia merdeka.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Dataran Lindu sudah matang dan
terbiasa dengan pola hidup yang mematuhi hukum adat dan memiliki
struktur pemerintahan yang teratur.
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi
Tersedianya sarana dan prasarana ekonomi otomatis akan
mendukung aktifitas masyarakat yang bersangkutan. Salah satu variabel
dalam melihat suatu kemakmuran masyarakat dapat dilihat dari sarana dan
prasarana ekonomi yang mendukung aktifitas perekonomian masyarakat.
Sarana dan prasarana ekonomi yang di maksud tentu erat kaitannya dengan
jenis mata pencaharian masyarakat itu sendiri yang mendiami daerah
tertentu.
Namun di sisi lain aktifitas ekonomi dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat, seperti yang terjadi saat ini di Lindu. Untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi sehari-hari masyarakat petani di Lindu dihadapkan pada
suatu kondisi lingkungan yang memungkinkan mereka terserang
schistosomiasis. Petani yang aktif bekerja di sawah dan di kebun memiliki
resiko lebih rentan untuk tertular schistosomiasis, karena habitat keong yang
menjadi sumber penularan dapat ditemukan di lahan olahan pertanian
warga dan sebagian habitat keong menjadi jalan utama warga saat akan
melintas ke areal persawahan atau perkebunan. Potensi tertular
schistosomiasis sangat besar, karena petani selalu melakukan kontak
dengan air saat mereka bekerja utamanya di sawah. Petani di Lindu tidak
menggunakan irigasi moderen untuk mengairi sawahnya, rata-rata air yang
masuk di persawahan penduduk pada umumnya berasal dari sumber mata
air fokus keong dari hutan dan pegunungan, khususnya di dusun Paku
(Anca) dan Owo (Puroo). Penggunaan air dalam rangka kegiatan pertanian
merupakan sebab utama seseorang tertular schistosomiasis.
Masyarakat Lindu sebagian besar memiliki mata pencaharian bertani,
seperti pertanian, perkebunan dan bercocok tanam. Mengenai kepemilikan
sawah, jumlah petani pemilik tanah 1.987 petani, petani penggarap 200
orang sedangkan untuk jumlah nelayan 459 orang. Untuk menjual hasil
pertanian perkebunan dan bercocok tanam masyarakat setempat, terlebih
dahulu menuju desa Sadaunta yang berada di jalan provinsi yang
menghubungkan antara Kota Palu-Kulawi dengan menggunakan kendaraan
roda dua.
Masyarakat Dataran Lindu rata-rata memiliki 1 sampai 2 ha lahan
pertanian tiap keluarga. Penanaman tidak mengenal pemupukan atau irigasi
modern, mereka hanya mengandalkan irigasi dari mata air dan aliran air
sungai (non irigasi PU). Selain berprofesi sebagai petani sawah dan nelayan
masyarakat Lindu juga mempunyai lahan perkebunan, di mana masing-
masing masyarakat mempunyai tanaman yang bervariasi satu dengan yang
lainnya. Jenis-jenis tanaman perkebunan yang dijumpai antara lain kopi,
coklat, cengkeh, vanili dan umbi-umbian.
Mata pencaharian lain penduduk Lindu adalah sebagai nelayan.
Hasil tangkapan ikan ini biasanya dijual dan dikonsumsi sendiri. Jenis ikan
yang mempunyai daya beli yang tinggi seperti ikan mujair, selain ikan mujair
tersebut masyarakat juga sering menangkap jenis ikan gurami karena
menurut mereka ikan ini mempunyai protein tinggi. Namun jenis ikan ini tidak
dikomersialkan karena ukurannya lebih besar dari ikan-ikan yang lain. Jadi
masyarakat lebih terfokus kepada penangkapan jenis ikan mujair itu sendiri.
Selain ikan mujair dan gurami masih banyak lagi. Adapun jenis ikan yang
lain itu seperti ikan karper (sumi-sumi), ikan gabus, ikan tawes, ikan
belut/segili/masapi, dan jenis lainnya. Seperti jenis-jenis ikan di atas, ada
pula jenis ikan yang hidup di danau Lindu yang konon masyarakat yakin ikan
jadi-jadian, kategori ini adalah ikan segili/masapi. Karena jenis ikan ini
mempunyai ukuran panjang tidak seperti ukuran segili/masapi biasa.
4.5 Kondisi Sosial Budaya.
1. Budaya Kehidupan Masyarakat Lindu
Masyarakat Dataran Lindu memiliki ciri persamaan secara
keseluruhan. Budaya masyarakat diwarnai oleh homogenetis yang
mencerminkan pola-pola budaya masyarakat pedesaan (rural community)
sehinggga di dalam masyarakat hubungan antar warga desa masih
tertumpuh pada basis kekerabatan yang cukup kuat. Kenampakan luar yang
mudah dilihat sebagai bukti kuatnya ikatan tersebut ialah faktor agama, adat
istiadat, norma dan tata nilai kebiasaan tradisi warisan terdahulu. Komunitas
Lindu memiliki bahasa pengantar diantara warga dengan menggunakan
bahasa daerah Lindu yaitu bahasa “Tado dan uma”.
2. Peninggalan Budaya dan Adat Istiadat
Di pulau Bola/Lewuto terdapat peninggalan budaya berupa makam
leluhur yaitu makam Maradindo (umur + 3009 tahun) terbaring disebuah peti
panjang 3 m yang terbuat dari abad ke-16 serta lumpung batu panjang 2 m
lebar 1,7 m. Lumpung batu ini sebagai prasasti peninggalannya, sehingga
masyarakat yang ada di Dataran Lindu meyakini dan mempercayai jika
kuburan atau makam itu sendiri adalah leluhur nenek moyang To-Lindu.
Makam leluhur ini berada disebuah pulau yang berada di tengah-tengah
danau, di pulau ini tidak ada pemukiman masyarakat sama sekali karena
Pulau ini hanya dikhususkan untuk makam leluhur To-Lindu itu sendiri.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Lindu dalam menjaga
kelestarian danau Lindu adalah berupa aturan pelarangan penangkapan
ikan. Aturan ini dibuat oleh pemerintah desa, tokoh adat, dan dari pihak
masyarakat. Misalnya jika tangkapan ikan menurun, diberlakukan aturan
yang disebut ombo artinya berhenti menangkap ikan, hingga stok ikan mulai
bertambah. Tradisi ombo biasanya diberlakukan dua kali setahun biasanya
pada bulan Mei dan Oktober, namun tidak menentu kadang jangka
waktunya hanya 1 sampai 2 bulan, tergantung kesepakatan bersama antara
masyarakat dan pemerintah desa. Tradisi ombo sendiri terbagi atas 2
macam diantaranya: (1) Ombo Pemerintah yaitu pelarangan yang
diberlakukan oleh pemerintah, (2) Ombo Suaka yaitu pelarangan yang
berlaku dan disepakati oleh masyarakat Lindu. Bentuk kesepakatan dan
aturan adat yang tegas ini bertujuan untuk menjaga kelestarian danau
beserta kekayaan alamnya. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai
kesepakatan atau didenda satu ekor kerbau. Selain itu ada beberapa
perbuatan yang dianggap sebagai pelanggaran adat seperti mencuri,
berzinah, bercerai, meminang tetapi tidak dilanjutkan dengan upacara
perkawinan. Bila itu terjadi pelaku terkena sanksi/denda berupa kerbau,
dulang (baki kuning), mbesa (kain yang berusia ratusan tahun) dan lain-lain.
3. Sistem Kepercayaan
Agama merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan dalam
pengetahuan akhlak bagi setiap individu dalam suatu kelompok masyarakat.
Oleh karena itu, usaha secara terpadu dan berkesinambungan dalam
pembinaannya memerlukan perhatian yang positif dari unsur pemerintah,
tokoh-tokoh agama sehinggga dapat menciptakan kerukunan hidup
beragama dan antar umat beragama. Agama yang dianut masyarakat
Lindu adalah Kristen, Islam, Katolik. Berikut adalah tabel penduduk menurut
agama dan jenis kelamin :
Tabel. 4 Penduduk Menurut Agama dan Jenis Kelamin di Kecamatan Lindu
Tahun 2012
No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah
1. 2. 3. 4. 5.
Islam Kristen Katolik Hindu Budha
463 2.032
- - -
330 1.865
- - -
793 3.897
- - -
Jumlah 2.495 2.195 4.690
Sumber : Kantor Camat Lindu Tahun 2012
4.6 Potensi Sumber Daya Alam
Salah satu potensi sumber daya alam di Lindu adalah adanya danau
Lindu. Danau Lindu memiliki potensi sumber daya alam seperti adanya ikan
mujair, ikan mas, segili, dan lainnya. dan merupakan salah satu tempat mata
pencaharian hidup masyarakat Lindu. Untuk menjaga kelestarian danau
Lindu dan menjaga sumber daya yang ada. Pemerintah setempat bersama
majelis adat, membuat suatu aturan adat yaitu ombo ntodea atau larangan
menangkap ikan untuk waktu-waktu tertentu, hingga stok ikan mulai
bertambah, kecuali mengambil seperlunya untuk dimakan, tapi tidak untuk
dijual. Begitulah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Lindu untuk
tetap menjaga keseimbangan alam serta makhluk hidup lain yang berada di
sekitar mereka.
Kondisi alam di Dataran Lindu merupakan salah satu tempat
schistosomiasis berkembang biak karena merupakan daerah lembab yang
mudah bagi keong untuk dapat hidup seperti sawah, air sungai, air
tergenang dan parit. Oleh karena itu semua warga yang ada di Dataran
Lindu dianjurkan untuk dapat mengolah sawah-sawah mereka agar kiranya
dengan melakukan hal tersebut dapat menurunkan atau dapat mencegah
adanya schistosomiasis. Sebagai daerah kawasan enclave wilayah ini
dikelilingi oleh beragam jenis hutan antara lain :
a) Hutan Taman Nasional, bagi masyarakat Lindu adalah kawasan yang
tidak dapat dirambat apalagi membuka lahan pertanian atau perkebunan.
Dalam hal ini masyarakat menjaga kelestarian hutan ini dari kerusakan
yang ditimbulkan oleh tangan-tangan manusia.
b) Hutan Suaka Margasatwa, merupakan hutan yang di huni oleh beraneka
macam jenis hewan yang dilindungi oleh pemerintah sehinggga
masyarakat setempat tidak pernah melakukan penangkapan atau
pemburuan sama sekali. Bagi masyarakat Lindu hutan suaka
margasatwa merupakan kekayaan tersendiri yang ada di dataran Lindu.
c) Hutan Produksi Terbatas, dalam hal ini sebagian dari masyarakat ada
yang mengelola hutan produksi tersebut untuk tujuan tertentu (kebutuhan
ekonomi).
d) Hutan penggunaan lainnya, bagi masyarakat hutan ini dipergunakan
untuk membuka lahan perkebunan dan pertanian masyarakat.
e) Hutan Rakyat, merupakan kategori hutan adat sehinggga masyarakat
pada umumnya banyak melakukan aktivitas pengambilan hasil hutan
untuk dipergunakan sebagai kebutuhan rumah tangga.
Hasil dari hutan-hutan tersebut antara lain, kayu olahan berfungsi sebagai
pembuatan rumah dan transportasi danau (perahu), dammar dan rotan.
4.7 Sarana dan Prasarana
Fasilitas pendidikan yang tersedia di kecamatan Lindu adalah
sekolah dasar (SD) dan satu bangunan sekolah SMP. Masing-masing desa
yang ada di kecamatan Lindu memiliki satu bangunan sekolah dasar (SD).
Total sekolah dasar di Lindu ada enam bangunan.
Di Dataran Lindu terdapat sebuah bangunan laboratorium
schistosomiasis tepatnya di desa Tomado, dan dua unit pustu berada di
desa langko dan Puroo. Fungsi dari Laboratorium ini untuk kegiatan
musyawarah masyarakat dan petugas kesehatan dalam hal pelaksanaan
kegiatan dalam penanggulangan schistosomiasis seperti, kegiatan survey
tinja, pengobatan dan penelitian schistosomiasis.
Puskesmas merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam
membantu masyarakat dalam hal pengobatan dan perawatan penyakit.
Letak bangunan puskesmas berada di desa Tomado berdekatan dengan
laboratorium. Rata-rata petugas kesehatan seperti perawat dan bidan
adalah asli warga Lindu, kecuali dokter berasal dari kota Palu. Di sekitar
bangunan puskesmas dan laboratorium schistosomiasis terdapat satu
bangunan perumahan dokter dan tempat nginap bagi tamu yang akan
melakukan survei atau penelitian schistosomiasis.
Pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum yang ada di Dataran
Lindu pada umumnya masih menggunakan kendaraan roda dua (motor).
Akses jalan menuju ke Dataran Lindu dapat ditempuh dengan menggunakan
motor untuk bisa sampai ketujuan. Namun jika terjadi hujan lebat, maka
jalan menuju Lindu sangat sulit untuk dilalui karena kawasan ini berpotensi
terjadinya tanah longsor. Sehinggga akses jalan bisa terputus akibat tanah
longsor tersebut.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Awal mula Orang Lindu dengan Schistosomiasis
Pada tahun 1968-1970 orang Lindu diserang oleh satu wabah
penyakit yang mengherankan seluruh masyarakat Lindu saat itu, dengan
terjadinya kematian warga secara berturut-turut. Di mana pada waktu itu ada
satu keluarga bapak Bako dan ibu Rangilusu yang mempunyai seorang
anak bernama Tite yang meninggal dunia akibat serangan schistosomiasis,
hanya berselang setelah di kuburkan kemudian kakak dari anak yang
meninggal tadi meninggal pula. Kejadian ini terjadi pula pada warga lainnya
secara berturut-turut.
Warga Lindu yang meninggal tersebut sebenarnya sudah lama
merasakan sakit, Mereka merasakan sakit setelah beraktifitas di sawah,
kebun dan areal hutan. Di hutan mereka membuka lahan perkebunan,
mencari rotan, kayu dan berburu. Setelah beberapa bulan tanpa
penanganan yang baik penyakit mereka bertambah parah. Saat itu belum
ada tenaga kesehatan di Lindu, sehingga penanganan penyakit yang
dilakukan masih secara tradisional dengan mengharapkan pengobatan dari
seorang dukun (sando) dan minum ramuan tradisional yang mereka percaya
dan yakini dapat menyembuhkan penyakit yang di derita.
Gejala –gejala sakit yang dirasakan warga saat itu seperti sakit kepala
terus menerus, demam, ada yang seperti orang gila saat suhu badan naik,
sering muntah, bahkan muntah cacing, berak darah, muka pucat kulit
berubah menjadi kuning, dan dalam waktu beberapa bulan perut mulai
membuncit. Saat itu warga memiliki kepercayaan dan yakin bahwa penyakit
yang mereka rasakan karena sakit guna-guna kiriman orang, gangguan
mahluk halus (ghaib) dan penyakit kutukan atau dikatakan sebagai akibat
penyakit personalitik. Adapula yang memiliki keyakinan berdasarkan gejala-
gejala yang dirasakan diakibatkan oleh penyakit naturalistik seperti
pengaruh cuaca sehingga mengganggu kondisi tubuh. Ada sebagian warga
yang percaya bahwa mereka sakit malaria. Berbagai persepi yang muncul
dalam pikiran warga Lindu saat itu, hingga tindakan pertama yang dilakukan
adalah penanganan secara tradisional dengan mengandalkan seorang
dukun (sando).
Untuk mengobati warga yang sakit, dukun melakukan pengobatan
dengan cara meniup kepala orang yang sakit dengan mantra-mantra yang
dimilikinya, kemudian diberikan air yang sudah diberi mantra. Air tersebut
diminumkan pada orang yang sakit. Ada pula air yang di gunakan untuk
mandi bagi orang yang kena sihir atau guna-guna orang. Selain
pengobataan tradisional, masyarakat melakukan upaya penyembuhan
dengan melakukan ibadah dan doa bersama yang dipimpin oleh pendeta.
Bukan hanya kegiatan ibadah, mereka juga membuat tumbal sebagai tolak
bala yang disarankan oleh tokoh adat yaitu, tumbal melepas seekor ayam
dan kambing di dalam hutan dengan maksud sebagai pengganti diri mereka
agar tidak sakit lagi. membuat sesajen berupa beras ketan (pulut) berwarna
kuning, putih dan hitam. Semua sesajen disiapkan dan di bawa ke dalam
hutan atau tempat di mana mereka bekerja.
Semua usaha penyembuhan telah dilakukan, namun semua sia-sia,
hingga warga mengambil alternatif lain untuk mendapatkan kesembuhan
dengan membeli obat di kios-kios yang ada di Lindu saat itu. Obat yang
mereka beli adalah NIvaguin obat anti malaria. Karena mereka memiliki
persepsi bahwa penyakit yang dirasakan adalah malaria. Selain Nivaguin
mereka mengkonsumsi obat herbal yang mereka buat sendiri seperti daun
papaya kuning dan daun jambu yang direbus lalu airnya diminum. Selain itu
mereka menggunakan daun jarak (balacai) yang ditempelkan diperut untuk
menurunkan suhu badan yang panas/demam. Berbagai cara telah dilakukan
warga saat itu untuk mendapatkan kesembuhan, namun semua yang
dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan (sumber:
informan tokoh adat).
Melihat berbagai upaya yang dilakukan warga Lindu saat itu namun
usaha yang dilakukan semuanya sia-sia, malah semakin banyak warga yang
meninggal dunia. Dalam sehari warga Lindu yang meninggal dunia bisa
berjumlah 3 sampai 4 orang. Setelah melihat kejadian ini pergilah beberapa
warga untuk menyampaikan kepada pimpinan rumah sakit yang berada di
Kulawi. Pimpinan tersebut bernama Kelson, setelah mendapat laporan dari
masyarakat Lindu, Bapak Kelson langsung ke Lindu dan melakukan
berbagai hal guna mencari tahu apa penyebab dari kejadian yang
meresahkan warga. Namun dari peninjauan selama di Lindu bapak Kelson
tidak menemukan adanya penyebab kematian pada warga Lindu. Sehingga
Kelson melanjutkan perjalanan ke Palu untuk melaporkan kasus ini ke
Rumah Sakit di Palu.
Informasi ini sampai ke pihak badan WHO. Dokter yang pertama
yang menangani kasus schistosomiasis di Dataran Lindu adalah dokter
Karni. Dokter Karni bertugas di Kecamatan Kulawi saat itu. Tahun 1974
dokter Karni dan bersama tim badan WHO mulai melaksanakan penelitian
dengan mengambil tinja, darah, kencing dari beberapa anggota masyarakat
untuk di periksa. Setelah di periksa mereka menemukan dalam tinja seluruh
sampel ada cacing yang sangat halus yang hanya bisa dilihat dengan alat
mikroskop, namun saat itu belum diketahui penyebab sakit pada warga.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka di bawalah masyarakat
Lindu berjumlah 70 orang ke Rumah Sakit Undata Palu untuk dirawat.
Mereka diperiksa oleh beberapa dokter yang didatangkan dari luar negeri
seperti Cina, Taiwan, Jepang dan Amerika. Dokter-dokter tersebut
mengambil sampel pasien antara lain tinja, kencing, darah dan cairan dalam
hati. Seluruh sampel diperiksa dan di kirim ke Jakarta. Semua kegiatan
penelitian dan penanganan pasien di tangani oleh badan WHO. Selama satu
tahun mereka dirawat dan diobservasi di rumah sakit undata Palu. Sehingga
menimbulkan rasa kejenuhan, beberapa warga yang dirawat saat itu sempat
melarikan diri dari rumah sakit karena bosan dan mengingat keluarganya.
Hasil pemeriksaan sampel dan penelitian yang dilakukan terus
menerus, ke 70 orang warga Lindu yang dirawat semuanya positif terinfeksi
schistosomiasis. Setelah diperiksa ternyata cacing tersebut berkembang
biak dihati dan usus manusia. Setelah penyebabnya diketahui mereka
diberikan obat, obat yang diberikan saat itu adalah Niridazole. Meskipun
sudah diberikan pengobatan mereka masih terus diobservasi untuk melihat
perkembangan setelah pengobatan, dan semuanya dinyatakan sembuh.
Ada beberapa warga setelah pengobatan meninggal dunia, akibat penyakit
yang diderita sudah cukup parah dan komplikasi dengan penyakit lainnya.
Seiring berjalannya waktu penelitian dilanjutkan di air, areal
persawahan dan perkebunan penduduk. Dari hasil penelitian ditemukan
keong di areal pinggiran sawah, aliran-aliran air. Pertama kali yang
mendiagnosis schistosomiasis adalah dokter Mahmud dari Jakarta dengan
kesimpulan keong yang ada di Lindu sama dengan keong yang berasal dari
Cina. Saat itulah bantuan WHO terus datang pada masyarakat Lindu
dengan pelaksanaan pengobatan massal untuk seluruh warga Lindu. Saat
pengobatan berlangsung ada beberapa warga Lindu yang meninggal dunia,
seperti seorang bapak bernama Niu umur 58 tahun dan seorang ibu yang
bernama Sia meminum obat tersebut langsung meninggal, namun setelah
diteliti ternyata ibu tersebut sementara hamil. Tingginya efek samping dari
obat tersebut seperti gelisah, pusing, sakit kepala, hingga menyebabkan
kematian. Menurut bapak Pinus (petugas Lab) Sebenarnya bukan obat itu
yang menyebabkan kematian tetapi karena mereka memang sudah
mengalami keparahan schistosomiasis dan terjadi komplikasi dengan
penyakit lainnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh badan
WHO obat schistosomiasis yang dulunya Niridazole berubah menjadi
Praziguante sejak tahun 1983.
Sejak tahun 1973 Dataran Lindu merupakan salah satu tempat atau
daerah yang ditemukannya penyakit schistosomiasis. Hingga tahun 1974
dibangunlah laboratorium schistosomiasis oleh pemerintah pusat yang di
bantu oleh badan WHO. Pengobatan massal terus dilakukan sampai tahun
1982. Kemudian tahun 1983 mulai diberlakukan pemeriksaan tinja
masyarakat hingga saat ini.
Penularan schistosomiasis terjadi saat melintas di aliran air,
menggunakan air yang mengandung parasit schistosomiasis, kebiasaan
mandi, mencuci dan buang air besar di areal fokus keong. Tempat tumbuh
keong ini berkembang biak di daerah-daerah lembab seperti sawah, sungai
dan air tergenang. Sehingga masyarakat Lindu diharuskan untuk dapat
mengolah sawah dan tidak membiarkan air-air tergenang yang dapat
menyebabkan perkembangbiakan keong. Salah satu cara yang dilakukan
untuk mencegah penularan schistosomiasis ialah dengan menggunakan
sepatu boot saat bekerja diareal persawahan dan perkebunan (sumber:
tokoh adat dan petugas laboratorium schistosomiasis).
Apa yang dikemukakan di atas memberikan gambaran bahwa dalam
sistem-sistem nilai, kepercayaan, struktur sosial dan proses kognitif
masyarakat Lindu saat itu masih bersifat etnosentris, mereka terikat pada
cara-cara dan kepercayaan tradisional khsususnya menyangkut cara
menanggulangi penyakit. seperti peristiwa yang terjadi dikalangan
masyarakat Lindu, seseorang yang terserang penyakit, pertama-tama akan
berusaha menyembuhkannya sendiri dengan pengobatan rumah tangga
yang terdiri dari obat-obat ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan.
Bilamana langkah pertama ini tidak membawa hasil, maka pengobatan
langkah kedua ditentukan oleh perkiraan tentang kategori penyakit. Kalau
sebab penyakit diperkirakan berasal dari mahluk atau kekuatan
supraalamiah, maka ia akan menghubungi seorang dukun. Kalau sebab
penyakit disebabkan oleh nonsupraalamiah, maka seseorang akan
bertindak mencari penyembuhan ke dokter-mantri atau puskesmas.
Pada dasarnya setiap masyarakat pedesaan memiliki pula kondisi-
kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan kebudayaan.
Seiring berjalannnya waktu, kita dapat melihat keadaan sekarang yang
terjadi dikalangan masyarakat Lindu, bahwa perubahan telah terjadi
khususnya menyangkut kesehatan dan penanganan penyakit. Dari peristiwa
yang terjadi pada warga Lindu terkait schistosomiasis, memberikan
perubahan pada pemahaman kognitif mereka, saat ini warga Lindu telah
mengenal dan merasakan manfaat-manfaat dari sistem perawatan medis
modern.
Sikap positif masyarakat, tokoh-tokoh formal- informal, baik para
dukun telah terbuka terhadap program-program kesehatan sekarang ini
yang sedang berjalan. Selain perawatan medis tradisional, perawatan medis
modern merupakan kebutuhan utama masyarakat yang ada di Dataran
Lindu. Dalam pengambilan keputusan perawatan terhadap suatu penyakit,
mencerminkan kenyataan bahwa perawatan medis modern mulai
memegang peranan yang penting dalam komunitas Lindu.
5.2 Pengetahuan Medis Masyarakat Lindu Terkait Dengan Schistosomiasis
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia
tentang benda, sifat, keadaan dan harapa-harapan. Manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman (pengalaman sendiri atau pengalaman
orang lain), wahyu, intuisi dan berpikir logika atau percobaan bersifat
empiris. Pengetahuan.sangat besar perannya dalam pencapaian dan
perwujudan derajat kesehatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengetahuan merupakan dasar seseorang untuk mengambil keputusan dan
menentukan tindakan terhadap masalah kesehatan yang dihadapi.
Apa yang disadari oleh seseorang mengenai penyebab dan gejala
penyakit tidak terpisah dari apa yang diketahuinya atau kesadaran
mengenai gejala kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Dengan demikian konsep utama adalah pengetahuan (kognisi).
Pengetahuan budaya mengenai suatu gejala kesehatan yang dimiliki
seseorang merupakan pola pikirnya mengenai makna gejala itu. Hingga
perilaku ataupun bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh seseorang
merupakan konsekunsi logis (ideal atau normatif) dari eksistensi
pengetahuan budaya atau pola pikir. Termasuk dalam pengetahuan budaya
adalah kepercayaan, nilai, norma sehubungan dengan gejala kesehatan
(Kalangie, 1993:87).
Sebelum adanya informasi tentang penyebab schistosomiasis,
masyarakat Lindu sangat percaya bahwa penyebab schistosomiasis berasal
dari mahluk halus penghuni hutan dan penyakit turunan nenek moyang
dahulu atau penyakit personalitik. Namun setelah adanya penemuan dan
penelitian schistosomiasis yang dilakukan sejak tahun 1974, informasi
tentang penyebab schistosomiasis sudah banyak diketahui oleh kalangan
masyarakat Lindu, dan sampai saat ini secara turun temurun mereka
mengatakan etiologi schistosomiasis adalah keong dan biasa disebut
dengan penyakit keong dalam bahasa orang Lindu disebut susu.
Berbagai pengalaman yang mereka alami dan lihat baik di
lingkungan kerabat maupun tetangga terkait dengan penyakit
schistosomiasis. Sehingga hal yang demikian memberikan kesan dan
mempengaruhi pola pikir mereka, utamanya tentang penyebab dan
tindakan-tindakan apa yang harus diputuskan untuk mencegah penyakit ini.
Yang dulunya mereka percaya dan yakin bahwa schistosomiasis berasal
dari agent personalitik, seiring dengan berjalannya waktu informasi
kesehatan terus berkembang dan berubah, saat ini orang Lindu percaya
bahwa schistosomiasis bukanlah penyakit personalitik.
Masyarakat Lindu memiliki pemahaman kognitif untuk menjelaskan
tentang penyebab, gejala, pencegahan dan pengobatan schistosomiasis.
Namun bisa jadi pengetahuan kesehatan yang mereka miliki dan yakini tidak
selau diikuti dengan pelaksanaannya, dengan kata lain pengetahuan yang
baik tentang kesehatan tidak selalau diikuti dengan perubahan perilaku,
utamanya dalam hal pencegahan penyakit. Permasalahannya sejauh mana
pengetahuan masyarakat Lindu terkait dengan masalah schistosomiasis,
apakah pengetahuan yang baik terhadap kesehatan mampu ditunjukan
dengan perilaku baik dalam pemeliharaan kesehatan.
Sampai saat ini kehidupan masyarakat Lindu masih terasa suasana
tradisional yang mencerminkan suatu masyarakat yang sangat terikat oleh
pola-pola budaya lokal, khususnya berhubungan dengan kesehatan.
Masyarakat Lindu memiliki kerangka kognitif untuk menjelaskan tentang
adanya penyakit schistosomiasis dari segi etiologi penyakit baik secara
personalitik maupun naturalistik.
Pengetahuan masyarakat Lindu tentang agent personalitik sampai
saat ini masih ada. Namun tidak semua masyarakat Lindu memiliki
keyakinan atau kepercayaan bahwa schistosomiasis akibat agent
personalitik (mahluk ghaib, kutukan dsbnya). Masyarakat Lindu memiliki dua
pengetahuan tentang penyebab schistosomiasis. Ada yang mengatakan
bahwa penyebab schistosomiasis akibat sering melewati areal pohon enau
dan pohon pinang, karena menurut kepercayaan orang Lindu bahwa kedua
pohon tersebut sebagai tempat berkembangbiak keong, sehingga orang
akan tertular schistosomiasis. Warga yang percaya akan hal tersebut selalu
menghindari untuk tidak melewati areal-areal yang ditumbuhi pohon enau
dan pinang, khususnya para petani. Padahal habitat keong bisa hidup di
mana saja terutama di air dan areal yang lembab.
Selain itu, sebagian masyarakat Lindu masih meyakini dan percaya
adanya agent (personalitik) seperti penyakit sihir (guna-guna) dan gangguan
mahluk halus penghuni hutan yang bisa mengakibatkan sakit (illness).
Sedangkan dari agent naturalsitik penyebab schistosomiasis karena faktor
lingkungan, cuaca dan kondisi alam di mana keong hanya bisa hidup di
Dataran Lindu. Keseluruhan informan memiliki pengetahuan budaya bahwa
penyebab schistosomiasis adalah dari keong. Sebagaimana yang di
ungkapkan oleh bapak Bolemata umur 67 tahun, mantan penderita
schistosomiasis tahun 1973 sebagai berikut:
“ Saya penderita schistosomiasis tahun 1973 dan termasuk salah satu penderita yang pernah di bawa ke Undata Palu tahun 1973. Dulu orang Lindu belum tahu penyakit schistosomiasis, sehingga kami percaya penyebab kematian dikalangan masyarakat Lindu dahulu diakibatkan karena kutukan ataupun dari mahluk halus penghuni danau dan hutan. Saat itu pula kami melakukan pengobatan secara tradisional dengan menaruh tumbal di hutan. Untuk mengurangi berak darah, kami gunakan daun jambu. Namun setelah ada penelitian tentang schistosomiasis tahun 1973, saat itupula masyarakat Lindu mulai punya pengetahuan dan percaya schistosomiasis bukan penyakit kutukan, keturunan atau gangguan mahluk halus. schisto disebabkan oleh keong, dengan bukti setelah minum obat yang diberikan oleh badan WHO kami semuanya sembuh, dan kami tidak takut karena obatnya sudah ada sampai sekarang ini ” (wawancara tgl 12 februari 2013). Berdasarkan ungkapan bapak Bolemata tersebut, memberikan
gambaran bahwa masyarakat Lindu telah mengetahui penyebab
schistosomiasis. Penyebab schistosomiasis bukanlah dari mahluk halus
ataupun dari kutukan nenek moyang melainkan penyebabnya adalah karena
terinfeksi keong. Bagi mereka keong adalah penyebab utama yang
menimbulkan orang sakit schistosomiasis.
Meskipun demikian, masyarakat Lindu tidak meninggalkan pola-pola
pengetahuan tradisional berhubungan dengan penyebab penyakit dan
gejala-gejala sakit. Hal ini terbukti saat wawancara ada beberapa informan
yang percaya sakitnya diakibatkan oleh gangguan mahluk halus penghuni
hutan dan kebun. Informan memiliki pengetahuan budaya dalam
membedakan gejala penyakit baik secara personalitik maupun naturalistik.
Gejala schistosomiasis awalnya adalah gatal-gatal, kemudian dalam selang
waktu selama dua minggu akan mengalami gejala muntah, pusing, sakit
kepala dan demam. Seperti ungkapan bapak Lande umur 45 tahun
(penderita schistosomiasis).
“ Di Lindu masih banyak tempat-tempat keramat, khususnya di hutan dan di kebun, tidak boleh sembarang bicara di dalam hutan atau mengambil sesuatu yang menarik seperti bunga dsbnya. Kalau saya kena schistosomiasis gejalanya muncul setelah satu minggu, dengan gejala demam, mual, muntah, pusing sakit, kepala. Kalau penyakit keteguran setan gejalanya langsung saat itu juga setelah pulang dari kebun atau hutan, biasanya muntah badan terasa panas. Pengobatan yang dilakukan , biasanya ke puskesmas nanti tidak sembuh baru ke dukun (sando) ” (wawancara tanggal 28 februari 2013). Hal ini memberikan gambaran, bahwa masyarakat Lindu memiliki
dua konsep pengetahuan tentang gejala penyakit. Mereka memiliki
pemahaman kognitif secara tradisional bagaimana membedakan gejala
schistosomiasis, dan di sisi lain mereka percaya akan penyebab sakit secara
personalitik yang gejalanya hampir sama dengan gejala schistosomiasis.
Perilaku masyarakat Lindu dalam pencarian pengobatan merupakan
wujud sebagai konsekuensi pemahaman baru (pemahaman kognitif),
sebagai tingkat dasar dalam keseluruhan proses perubahan yang dikenal
sebagai penerimaan, adopsi dan penyesuaian. Dengan kata lain, bahwa
pengetahuan masyarakat Lindu tentang penyebab dan gejala penyakit, serta
tindakan pengobatan yang diyakini berdasarkan pada konsep kognitif
budaya yang mereka peroleh secara turun temurun dan berdasarkan
pengalaman sendiri.
Schistosomiasis tergolong penyakit endemik, yang akan terus terjadi
pada lingkungan yang masyarakatnya tidak melakukan pencegahan dengan
baik. Saat ini masyarakat Lindu telah menganggap bahwa schistosomiasis
adalah penyakit alami, biasa, tidak berbahaya dan tidak perlu ditakuti lagi.
Anggapan ini muncul karena masyarakat sudah dibiasakan dengan
masalah-masalah schistosomiasis seperti, kegiatan survey tinja dan
pengobatan bagi penderita yang dilakukan setiap enam bulan oleh petugas
kesehatan setempat. Bagi mereka sakit schistosomiasis tidak menimbulkan
gejala yang sangat parah asalkan pengobatannya dilakukan dengan baik.
Sikap ini juga dipengaruhi oleh pengalaman masyarakat bahwa dengan
minum obat sudah memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat Lindu.
Masyarakat Lindu memiliki pengetahuan bahwa schistosomiasis tidak akan
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan secara medis moderen.
Ada beberapa etnik di Dataran Lindu seperti suku Bugis yang
konsep pengetahuannya berbeda dengan komunitas Lindu. Warga Bugis
yang ada di Dataran Lindu memiliki pengetahuan bahwa schistosomiasis
sangat berbahaya dan bukan dianggap penyakit biasa. Dalam perawatan
kesehatan mereka tunjukan dengan perilaku pencegahan yang baik.
Mematuhi segala aturan budaya lokal dan sangat menghormati nasehat dan
saran dari petugas kesehatan. Menurut petugas kesehatan setempat, orang
Bugis sangat perhatian jika ada kegiatan-kegiatan berhubungan dengan
penanggulangan schistosomiasis. Mereka mendahulukan pencegahan baru
tindakan pengobatan, hal ini tercermin dalam perilaku kesehatan mereka.
Menurut petugas kesehatan di Lindu rata-rata orang Bugis yang berprofesi
sebagai petani, mereka menggunakan alat pelindung diri (sepatu boot) saat
bekerja. Begitu pula halnya dalam kegiatan pengobatan schistosomiasis,
secara perorangan maupun perkelompok mereka datang ke petugas
kesehatan untuk menanyakan apakan mereka terinfeksi schistosomiasis
atau tidak. Komunikasi dengan petugas kesehatan terus dijalankan.
Namun tidak semua orang Lindu memiliki perilaku kesehatan yang tidak baik
dalam hal pencegahan schistosomiasis.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan
menunjukkan, bahwa masyarakat Lindu yang melakukan pencegahan
schistosomiasis seperti penggunaan alat pelindung diri (sepatu boot) adalah
masyarakat yang memiliki pengetahuan positif tentang schistosomiasis dan
ekonomi yang lebih baik.
Masyarakat yang tidak memiliki alat pelindung diri salah satunya
karena faktor ekonomi, adapula yang memiliki ekonomi lebih baik, namun
mengesampingkan perilaku pencegahan dengan alasan bukan kebutuhan
utama. Bagi mereka sepatu boot bukanlah hal yang penting, Masyarakat
Lindu lebih mengutamakan kebutuhan primernya dari pada hal-hal yang
menurut mereka belum sepenuhnya untuk didahulukan.
Pengetahuan masyarakat Lindu tentang proses penularan
schistosomiasis membuktikan, rata-rata informan mengatakan
schistosomiasis adala penyakit menular. Penularan terjadi akibat sering
buang air besar disembarang tempat, tidak menggunakan sepatu boot dan
menginjak kotoran hewan seperti sapi, kerbau dan anjing. Ini menandakan
pengetahuan masyarakat Lindu tentang proses penularan schistosomiasis
masih sangat minim. Secara medis moderen penularan terjadi saat manusia
atau hewan mamalia menginjakkan kaki ataupun buang air besar di tempat-
tempat fokus keong yang mengandung parasit (serkaria). Serkaria keluar
dari tubuh keong dan menginfeksi manusia dan masuk ke dalam pori-pori
manusia dengan cepat mengikuti aliran darah.
Selain itu, masyarakat memiliki pengetahuan untuk mencegah dan
mengantisipasi agar tidak tertular schistosomiasis yaitu, dengan
menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot saat beraktifitas di
sawah dan di kebun, tidak melewati areal fokus keong. Begitu pula halnya
pengetahuan masyarakat tentang pengobatan mereka lebih percaya dan
yakin pada sistem pengobatan medis moderen yang dilakukan oleh para
dokter dan bidan. Bentuk-bentuk tindakan pengobatan yang dilakukan
masyarakat Lindu tentunya berdasarkan pengalaman mereka, bahwa
dengan berobat ke puskesmas mereka merasakan kesembuhan. Selain
pengobatan medis moderen masyarakat masih memiliki kepercayaan
dengan mengandalkan dukun dalam mengobati penyakit, tergantung gejala
yang dirasakan.
Dari hasil penelitian nampak sistem medis moderen lebih menonjol
dari pada sistem medis tradisional khususnya dalam penanganan
schistosomiasis. Perilaku yang mereka tunjukan dalam pencarian
pengobatan schistosomiasis berdasarkan pada pengetahuan secara turun
temurun, dan saran dari anggota keluarga. Meskipun demikian masyarakat
Lindu tidak mengesampingkan kepercayaan dan cara –cara perawatan
tradisional. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa ada penyakit-penyakit
tertentu yang disebabkan unsur-unsur magic atau gangguan penyakit
personalitik yang tidak dapat disembuhkan oleh dokter. Sedangkan apa
yang disembuhkan oleh doketr adalah penyakit –penyakit yang
nonsupraalamiah. Karena itu tidak jarang dukun menyarankan pasiennya
untuk berobat ke puskesmas, karena sesuai dengan pengetahuannya
bahwa penyakit yang di hadapi pasiennya hanya dapat disembuhkan oleh
dokter.
Hal di atas menggambarkan ciri dari konsep kebudayaan, bahwa
setiap kebudayaan selalu akan mengalami perubahan atau berada dalam
proses perubahan, cepat atau lambat. Makin mendalam terjadinya kontak-
kontak kebudayaan atau komunikasi gagasan-gagasan baru di luar makin
pesat berlangsungnya proses perubahan. Kenyataan apa saja yang terlihat
sekarang pada suatu kesatuan sosial itu merupakan hasil dari proses-proses
sejarah dan perubahan kebudayaan yang dialami.
Selanjutnya Marimbi (2009:34) menjelaskan, bahwa pengetahuan
dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, faktor-faktor di luar orang tersebut
seperti lingkungan, baik lingkunga fisik maupun nonfisik dan sosial budaya
yang kemudian pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini
sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya menjadi
perilaku.
5.3 Perilaku Kesehatan Masyarakat Lindu Terkait Schistosomiasis
Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan
kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma
kelompok yang bersangkutan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kesehatan dapat berupa perilaku/tindakan yang disadari (sengaja) atau tidak
disadari (tidak disengaja). Ada perilaku-perilaku yang disengaja atau tidak
disengaja membawa manfaat bagi kesehatan individu atau kelompok
kemasyarakatan dan sebaliknya ada perilaku yang disengaja berdampak
merugikan kesehatan (Kalangie, 1993:44). Dalam penelitian ini penulis
menjabarkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Lindu terkait dengan
schistosomiasis.
Pada umumnya warga Lindu yang dijangkiti schistosomiasis adalah
mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air, baik
dalam rangka bekerja sebagai petani di sawah ataupun melakukan kegiatan
sehari-hari seperti mencuci pakaian/alat-alat rumah tangga, buang air serta
mandi di sungai atau perairan yang terinfeksi parasit schistosomisis. Selain
itu adalah mereka yang sering menyusuri sungai untuk berburu binatang di
hutan-hutan atau mencari ikan sepanjang daerah yang mengandung parasit
schistosomiasis..
Masyarakat Lindu khususnya di desa Puroo, sebagian besar tidak
memiliki jamban keluarga, dengan alasan ekonomi belum mencukupi untuk
membangun jamban. Mereka masih memiliki kebiasaan menggunakan
aliran-aliran air yang berasal dari sungai di Owo untuk kegiatan mencuci,
mandi, dan buang air besar. Untuk kebutuhan air minum mereka
menggunakan air PDAM yang sudah disediakan pemerintah desa. Salah
satu kebiasaan warga Lindu yang tinggal di desa Puroo adalah kebiasaan
buang air besar di aliran-aliran air sungai. Waktu buang air besar
disesuaikan dengan keadaan setempat biasanya di lakukan pada jam 5
subuh sampai jam 9 pagi. Sedangkan aktifitas mandi di mulai jam 11 siang.
Hal ini sengaja dilakukan untuk menunggu air menjadi bersih kembali dari
kotoran manusia. Seperti ungkapan informan penderita schistosomiasis di
desa Puroo yaitu, ibu Sherly Lago umur 43 tahun sebagai berikut :
“ Masyarakat sini masih kurang memiliki jamban keluarga belum ada uang untuk membangun jamban, sehingga seringkali BAB (buang air besar) di sungai, rata-rata waktu BAB mulai jam 5 subuh sampai jam 9 pagi. Masih banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Sudah dari dulu kami menggunakan air sungai untuk mandi dan buang air besar “ (wawancara tanggal 20 Februari 2013.) Lebih Lanjut ibu Desi umur 30 tahun menyatakan bahwa: “ Schistosomiasis sudah bukan penyakit yang ditakutkan warga sini sudah dianggap biasa terjadi di Lindu, Jadi masyarakat sini sudah bosan hadapi ini penyakit, karena tiap 6 bulan kami diperiksa di ambil tinjanya. Rata-rata petani di sini sangat jarang pakai sepatu boot,karena tempat kami bekerja penuh lumpur, becek. Lumpurnya bisa sampai dilutut, kalau pakai sepatu boot lumpurnya masuk ke dalam sepatu ” (wawancara tanggal 20 Februari 2013). Ungkapan-ungkapan informan di atas memberikan gambaran bahwa
masyarakat masih memiliki perilaku yang bisa menjadi salah satu penyebab
tertajdinya penularan schistosomiasis. Masyarakat sudah menganggap
schistosomiasis adalah penyakit biasa dan tidak berbahaya. Begitu pula
dalam hal penggunaan alat pelindung diri. Petani mempunyai alasan untuk
tidak menggunakan sepatu boot saat berada di sawah maupun di kebun.
Menurut mereka penggunaan sepatu boot saat bekerja di sawah tidak
menjamin untuk terhindar dari schistosomiasis. Sepatu yang mereka pakai
sering tertanam di dalam lumpur.
Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa pengetahuan tidak
selalu berhubungan dengan perilaku positif seseorang dalam mencegah diri
untuk terhindar dari penyakit. Masyarakat Lindu mengetahui penyebab dan
cara pencegahan schistosomiasis hanya bisa dilakukan dengan
menggunakan sepatu boot saat berada di sawah dan di kebun, tidak
melewati areal fokus keong. Namun dari hasil observasi, konsep
pengetahuan yang baik tentang schistosomiasis tersebut, tidak selamanya
memberikan efek baik terhadap upaya pencegahan penyakit.
Saat observasi rata-rata petani di Lindu saat bekerja di sawah tidak
menggunakan sepatu boot. Dengan alasan belum ada uang untuk
membelinya. Ada beberapa petani mengenakan sepatu boot saat berangkat
dari rumah, namun setelah sampai di areal persawahan mereka
menanggalkan sepatu boot dengan alasan sawah penuh lumpur jika dipakai
akan terasa berat dan tidak nyaman. Berdasarkan hasil penelitian bahwa
masyarakat yang menggunakan alat pelindung diri (sepatu boot) adalah
mereka yang memiliki ekonomi yang lebih baik.
Hasil penelitian menunjukkan resiko terbesar untuk terinfeksi
schistosomiasis adalah masyarakat petani. Petani selalu dihadapkan pada
kondisi yang memungkinkan mereka terkontaminasi dengan air, didukung
pula oleh lamanya waktu bekerja. Petani di Lindu mulai beraktifitas pada
jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Di mana waktu-waktu tertentu penularan
schistosomiasis bisa terjadi.
Bila kita melihat akan keseluruhan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat desa seperti pada warga Lindu, adalah jelas bahwa penentuan
prioritas yang paling mereka utamakan. Masalah-masalah kesehatan
seolah-olah bersaing dengan masalah-masalah dari segi-segi hidup lainnya,
seperti ekonomi, dan keluarga. Tidak jarang prioritas pertama jatuh pada
pemenuhan kebutuhan hidup. Alasan ini pulalah yang antara lain, dapat
menjelaskan mengapa orang LIndu tidak melakukan pencegahan
schistosomiasis karena bagi mereka bukan prioritas utama. Faktor ekonomi
salah satunya. Banyak dari warga Lindu tidak memiliki sepatu boot karena
alasan ekonomi. Mereka lebih mendahulukan kebutuhan primernya dari
pada kebutuhan lainya.
Kalau kita melihat secara khusus akan pranata-pranata pencegahan
dan pemberantasan penyakit, dan perawatan kuratif, maka masalah-
masalah yang dihadapi merupakan hambatan budaya, sosial dan psikologis
yang sebenarnya berbentuk perilaku-perilaku yang merugikan atau merusak
kesehatan baik disadari maupun tidak disadari.
Berbicara mengenai pengetahuan dan perilaku kesehatan sedikitnya
terkait dengan masalah nilai-nilai budaya dan lingkungan masyarakat.
Faktor-faktor sosial-psikologi dan faktor budaya sering memainkan peran
dalam mencetuskan penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian orang Lindu tidak melakukan pencegahan terhadap
schistosomiasis, meskipun mereka memiliki pengetahuan (kognitif) dalam
menganalisis penyakit schistosomiasis baik dari segi penyebab, gejala dan
penularannya. Masyarakat Lindu pada umumnya hanya melakukan tindakan
pengobatan pada saat dinyatakan positif terinfeksi schistosomiasis.
Sebagai masyarakat yang masih memegang nilai-nilai budaya, tentunya
pola kebiasaan semacam ini bagi mereka adalah suatu tindakan positif,
yang sifatnya mengikat. Dengan demikian masyarakat berpikir dan
melakukan tindakan sesuai pemahaman dan pengalaman yang mereka
rasakan.
Perilaku pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat di Lindu
hanyalah perawatan kesehatan yaitu melakukan pengobatan setelah
didiagnosis positif terinfeksi schistosomiasis. Masyarakat melakukan dan
menerima sistem perawatan kesehatan secara medis moderen yaitu,
bersedia mengumpulkan tinja setiap enam bulan sekali dan bersedia minum
obat yang diberikan petugas kesehatan.
Bagi warga yang luput dari pemeriksaan tinja dan pengobatan,
petugas kesehatan akan mendatangi warganya yang tidak berpartisipasi
dalam kegiatan tersebut. Dari pengalaman petugas kesehatan, banyak dari
warganya setelah diberikan obat schistosomiasis, obat tersebut tidak
diminum sesuai dengan dosis yang dianjurkan dan bahkan menunda waktu
untuk meminumnya, dengan alasan lupa dan sibuk. Bagi mereka obat
schistosomiasis memiliki efek samping seperti pusing dan mual, sehingga
mereka sengaja mengulur-ngulur waktu, karena mengingat pekejaan sehari-
hari. Seperti yang diungkapkan bapak Andy Maku umur 49 tahun, penderita
schistosomiasis sebagai berikut:
“ Setiap minum obat saya tidak ke sawah karena tidak bisa bangun dari tempat tidur, kepala pusing mau muntah. Biasanya saya menunda waktu minum obat, karena mengingat pekerjaan belum selesai. Dosis obat diberikan sesuai dengan berat badan, berjumlah 6 biji, sekali minum 3 biji setiap 5 jam sampai habis ” ( wawancara tanggal 20 Februari 2013). Dalam hal pencarian pengobatan penyakit, warga Lindu lebih
mendahulukan berobat ke puskesmas, ini nampak pada jumlah pasien yang
berobat di puskesmas Lindu. Rata-rata pasien yang datang berobat
berjumlah 10 sampai 15 orang setiap hari. Menurut bapak Arwin umur 51
tahun sebagai kepala puskesmas di Lindu sebagai berikut:
“ Warga Lindu lebih mengutamakan berobat ke puskesmas, karena mereka selalu diberikan penyuluhan tentang kesehatan. Untuk mengantisipasi penyakit schistosomiasis pengobatan harus dilakukan dengan pengambilan tinja terlebih dahulu. kami tidak bisa berikan pengobatan tanpa pemeriksaan tinja, ditakutkan efek samping obat schistosomiasis bisa mengakibatkan kematian bagi orang yang komplikasi dengan penyakit lain ” ( wawancara tanggal 21 Februari 2013).
Hal di atas memberikan gambaran, meskipun masyarakat Lindu
hidup pada daerah yang terpencil, namun informasi kesehatan tak jauh
ketinggalan selalu mereka dapatkan. Masyarakat Lindu sangat percaya
pada petugas kesehatan untuk menangani schistosomiasis. Bagi mereka
dukun tak memiliki fungsi apa-apa untuk mengobati schistosomiasis, kecuali
jika sudah diobati oleh petugas kesehatan dan penyakitnya tak kunjung
sembuh baru mereka bisa ditangani oleh penyembuh tradisional yaitu,
dukun kampung atau biasa disebut sando. Masyarakat di Lindu masih
meyakini akan kemampuan supranatural, dukun dalam pengobatan
penyakit. Dukun kampung berfungsi menyembuhkan penyakit non-medis
seperti gangguan mahluk halus (keteguran setan) yang menghuni pohon
dan hutan. Selain itu, warga Lindu khsususnya yang beragama Kristen
memiliki kepercayaan pada pendeta untuk mengobati penyakit, bagi mereka
doa-doa yang dipanjatkan oleh pendeta dapat memberikan kesembuhan
penyakit.
Etnomedisin awalnya mempelajari tentang pengobatan masyarakat
primitif yang dianggap tradisional, strereotip ini harus dihindari karena
pengobatan tradisional tidak selamanya terbelakang atau salah, dengan
bukti di zaman yang semakin berkembang dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi saat ini, memungkinkan orang masih memiliki
kepercayaan untuk melakukan pengobatan secara tradisional atau
supranatural. Dalam sistem nilai dan kepercayaan, struktur sosial dan dalam
proses kognitif, masyarakat Lindu bersifat etnosentris artinya mereka terikat
pada cara-cara dan kepercayaan tradisional mereka.
Di mana saja di dunia ini khsususnya masyarakat pedesaan seperti
masyarakat di Dataran Lindu, walaupun telah menggunakan sistem
pelayanan formal atau pelayanan kesehatan primer, sama sekali tidak
meninggalkan gagasan dan praktek perawatan kesehatan tradisional melalui
prametra (dukun, pendeta, atau orang lain yang dianggap sakti). Bahkan
pada masyarakat perkotaan bentuk-bentuk perawatan kesehatan tradisional
masih dipergunakan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, hasil peneltian ini
menunjukkan bahwa: 1) Masyarakat Lindu memahami penyebab, gejala dan
penular schistosomiasis, namun tidak diikuti oleh perilaku baik dalam hal
pencegahan schistosomiasis. 2) Bagi masyarakat Lindu penyakit ini tidak
lagi berbahaya dan di anggap penyakit biasa, sehingga pencegahan tidak
dilakukan, yang ada hanyalah mengharap perawatan kesehatan yang
dilakukan oleh petugas kesehatan dengan melakukan pemeriksaan tinja dan
pengobatan penderita. 3) Terjadinya schistosomiasis diakibatkan oleh
pengaruh lingkungan alam yaitu hubungan timbal balik antara manusia
dengan lingkungan alamnya. Lingkungan alam yang menyediakan tempat
berkembangbiak keong sehingga keong hanya mampu hidup dan
berkembang pada wilayah kawasan Lindu. Orang yang lebih rentan tertular
schistosomiasis adalah petani, karena aktifitas ekonomi mereka sangat
berhubungan dengan areal-areal fokus keong. 3) Orang yang terinfeksi
schistosomiasis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium secara klinis
tidak menunjukkan gejala sakit yang dirasakan, tetapi mereka masih tetap
menjalankan aktifitas sehari-hari.
Dapat dikatakan bahwa perilaku kesehatan masyarakat Lindu
tergantung beberapa faktor antara lain pengetahuan budaya, persepsi
etiologi penyakit, persepsi derajat keparahan penyakit, kepercayaan dan
kemampuan ekonomi masyarakat.
5.4 Persepsi Masyarakat Lindu Terkait Schistosomiasis.
Kita mengakui bahwa keanekaragaman persepsi sehat dan sakit
beserta perawatan kesehatan antar komunitas pada umumnya ditentukan
oleh pengetahuan, nilai dan norma singkatnya kebudayaan masing-masing
masyarakat. Kita dapat mengatakan bahwa pada umumnya kebudayaan
menentukan apa yang menyebabkan orang menderita sakit sebagai akibat
dari perilakunya dan mengapa perawatan medisnya mengikuti cara tertentu
dan bukan cara lainnya (Logant dalam Kalangie, 1993:5).
Selanjutnya Dunn dalam Kalangi (1993:7) menjelaskan, konsep
sehat dan sakit sebagai suatu kondisi individu dan kelompok sosial yang
dinamis, selalu dalam keadaan berubah-ubah. Persepsi seseorang terhadap
kondisi kesehatannya tidak hanya dilakukan oleh yang bersangkutan secara
pribadi tetapi berlangsung dalam jaringan sosialnya, dengan komponen-
komponen perkelompokan, seperti kekerabatan, persahabatan, tetangga,
pekerjaan, dan komunitas. Proses ini berlaku pula dalam mengambil
keputusan perawatan medis yang harus diusahakan pada saat seseorang
jatuh sakit. Sebelum keputusan dibuat saran-saran diperoleh, diminta atau
tidak, dari orang-orang terdekat dari kelompok sosial mereka.
Persepsi penduduk desa atas kebutuhan kesehatan tidak selalu
sesuai dengan langklah-langkah yang harus dijalankan untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan. Hal ini terjadi pada masyarakat Lindu, mereka
menempatkan kesehatan adalah hal yang utama bagi dirinya dan
keluarganya, sehingga menempatkan prioritas pengobatan atau
pemeliharaan kesehatan berdasarkan pemahaman yang diyakini. Namun
disisi lainnya pencegahan untuk tidak tertular penyakit, seperti sanitasi
lingkungan, tidak menggunakan air yang mengandung parasit,
menggunakan sepatu boot, tidak melewati areal fokus keong, hal tersebut
justru yang dapat menjamin kesehatan dirinya tidak dianggap oleh mereka
bahwa perilaku semacam ini akan mencegah penyakit schistosomiasis.
Persepsi masyarakat Lindu tentang schistosomiasis adalah telah
menganggap schistosomiais sebagai penyakit ringan, biasa dan tidak
berbahaya. Persepsi ini muncul karena masyarakat sering dihadapkan pada
masalah-masalah schistosomiasis baik dari gejala-gejala sakit yang sering
dirasakan serta masalah pengobatan dan kegiatan survey tinja yang secara
rutin dilakukan oleh petugas kesehatan. Bagi mereka obat schistosomiasis
sangat mudah didapat dengan sekali pengobatan mereka merasakan
kesembuhan. Persepsi semacam ini akan memberikan pengaruh pada pola-
pola tindakan pencegahan, dan mereka akan lebih mengarah pada prioritas
utama yaitu pengobatan penyakit.
Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Lindu memiliki konsep
tersendiri tentang sehat dan sakit. Hasil wawancara mendalam dengan
beberapa informan, informan mengatakan orang sehat adalah orang yang
masih bisa bekerja di kebun, di sawah dan menangkap ikan di danau,
semua aktifitas bisa dikerjakan. Sedangkan orang sakit adalah, orang yang
hanya bisa tinggal di rumah, yang semua anggota tubuhnya seperti orang
lumpuh tak berdaya, badan terasa panas dan dingin. Meskipun hasil
pemeriksaan tinja mereka positif schistosomiasis, aktivitas tetap berjalan
karena bagi mereka gejala-gejala yang ditimbulkan belum terlalu parah.
Pada kenyataannya orang Lindu dapat menentukan kondisi
kesehatannya baik bilamana ia tidak merasakan terjadi suatu kelainan fisik
maupun psikis. Ataupun mereka menyadari akan adanya kelainan tetapi
tidak terlalu menimbulkan perasaan sakit dan tidak dipersepsikan sebagai
kelainan yang memerlukan perhatian medis secara khusus, karena
dianggap bisa sembuh dengan sendirinya, atau kelainan ini sama sekali
tidak dianggap penyakit atau dianggap penyakit ringan.
Pemahaman masyarakat Lindu tentang konsep sehat dan sakit
didasarkan pada pengalaman sendiri. Bagi mereka sehat merupakan harta
yang paling berharga. Orang sehat adalah orang yang masih bisa bekerja,
masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Seperti ungkapan informan ibu
tuti (penderita) umur 39 tahun meyatakan bahwa:
“ sehat bagi saya adalah orang yang masih bisa bekerja di sawah dan sakit orang yang tidak bisa bekerja yang sudah tak bisa jalan dan hanya bisa berbaring di tempat tidur”. Menurut ibu tuti jika pikiran sehat maka semuanya akan sehat, kita serahkan semuanya pada tuhan,karena kami percaya, tuhan adalah penjaga, penyembuh nomor satu bagi kehidupan keluarga kami ” ( wawancara tanggal 3 Maret 2013). Konsep sehat dan sakit setiap komunitas berbeda-beda ditiap
daerah. Ada kalanya konsep sehat sakit didasarkan pada pengalaman dan
pengetahuan masyarakat Sehubungan dengan itu, baik secara individual
maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak terlepas dari religi atau sistem
kepercayaan kepada Tuhan sebagai penguasa alam. Hal ini terlihat saat
observasi nampak sebagian warga di Lindu melaksanakan ibadah di gereja
setiap hari sabtu dan minggu. Mereka memiliki persepsi dan percaya bahwa
penyembuh utama penyakit adalah Tuhan, tanpa ibadah semua tidak akan
sempurna. Menurut informan, schistosomiasis adalah penyakit yang
diberikan tuhan dan sangat yakin ada hikmah dibalik semua yang menimpa
desa mereka. Kepercayaan itu pula yang menguatkan mereka untuk tetap
bertahan hidup.
Masyarakat Lindu memiliki persepsi bahwa schistosomiasis sebagai
penyakit alami yang diberikan tuhan yang tidak perlu lagi ditakuti. Seperti
yang dikatakan oleh informan K Melangko sebagai tokoh adat Lindu umur
72 tahun sebagai berikut :
“ saya merasakan tuhan menurunkan penyakit ini ke Lindu dengan bukti, kalau tidak ada penyakit schisto di kampung kita, mungkin orang di luar Lindu tidak akan tahu kampung kita, mungkin pemerintah tidak akan memperhatikan nasib kita yang tinggal di daerah terpencil ini. Schistosomiasis ini ada di Lindu karena lingkungan alam, terus terang kami juga bingung kenapa hanya ada di lindu mungkin lingkungan kami cocok untuk kehidupan keong sehingga di daerah lain schistosomiasis tidak ada ” (wawancara tanggal 3 maret 2013).
Ungkapan informan di atas menunjukan bahwa schistosomiasis
adalah penyakit yang diberikan tuhan untuk mereka, dan diyakini dapat
mendatangkan keberuntungan bagi kehidupan orang Lindu. Ini nampak
pada sistem perekonomian warga Lindu yang sangat maju khususnya hasil
pertanian seperti beras kopi dan cacao, serta hasil penangkapan ikan mujair
di danau Lindu. Rata-rata penduduk di Lindu memiliki lahan pertanian yang
penghasilannya cukup memuaskan. Meskipun di sisi lain perilaku ekonomi
justru akan berdampak pada kondisi kesehatan mereka.
Persepsi masyarakat Lindu terkait dengan pengobatan
schistosomiasis. Mereka memiliki persepsi bahwa pengobatan
schistosomiasis hanya bisa dilakukan secara medis moderen melalui
petugas kesehatan dan tidak dapat disembuhkan melalui penyembuhan
secara tradisonal. Penyembuhan secara tradisional sudah pernah dilakukan
oleh warga dengan mengandalkan seorang sando (dukun) namun tidak
merasakan kesembuhan. Awalnya warga setempat menganggap bahwa
penyakit ini disebabkan oleh adanya gangguan setan, kutukan, gangguan
mahluk halus, namun setelah upaya berobat ke dukun ini dilakukan tidak
membuahkan hasil yang sempurna. Kemudian dibuatlah semacam ramuan
tradisional dan dioleskan ke bagian tubuh yang dianggap dapat memberikan
dampak yang baik terhadap penyakit ini. Ada yang mengobatinya dengan
daun jambu dan daun pepaya namun hal ini tidak berhasil juga, sehingga
warga menyerahkan sepenuhnya kepada pihak petugas kesehatan.
Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang penderita
schistosomiasis bapak Etmon (28 tahun) mangatakan bahwa :
“ Saya sering kurang enak badan, badan terasa sakit, pusing,mual hingga harus banyak istrahat di rumah, sudah berbagai macam cara pengobatan tradisional yang telah saya lakukan seperti ke sando (dukun) agar penyakit ini cepat sembuh. Selain itu saya minum obat ramuan seperti rebusan air papaya, saya pikir malaria namun tidak ada perubahan. Sehingga saya berobat ke Puskesmas, setelah diperiksa ternyata saya kena schistosomiasis. Obat yang dikasih cukup membuat saya sembuh ” ( wawancara 27 Januari 2013).
Tindakan pencarian pengobatan yang dilakukan oleh informan ini,
bisa berdasarkan pada pengalamannya saat merasakan sakit. Namun
karena keinginan untuk mencapai kesembuhan belum dirasakan sehingga
mengambil elternatif lain untuk melakukan pengobatan medis moderen.
Pada kenyataannya perawatan medis moderen mulai memegang
peranan yang penting dikalangan orang Lindu. Seseorang terserang
penyakit pertama-tama akan berusaha menyembuhkannya sendiri dengan
pengobatan rumah tangga seperti obat ramuan dari tumbuh-tumbuhan atau
ke dukun. Bilamana langkah pertama ini tidak membawa hasil, maka
langkah kedua ditentukan oleh perkiraan tentang kategori penyakit.
Berdasarkan asumsi tentang penyakit yang dirasakan tersebut seseorang
mencari pertolongan, jika dengan pertolongan seorang dokter mereka
merasakan kesembuhan maka akan muncul keyakinan bahwa dengan
pengobatan ke dokter atau petugas medis moderen lebih efektif dapat
menghilangkan penyakit yang dirasakan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Foster dalam
(Kalangie 1993:166), Bahwa sikap pragmatis bukan lagi merupakan suatu
kenyataan yang asing di kalangan orang-orang desa. Bila mereka dapat
mengalami manfaat suatu perawatan medis moderen, mereka akan
mengesampingkan kepercayaan dan cara-cara perawatan medis tradisional
yang tidak efektif.
Selanjutnya, persepsi masyarakat dalam hal penggunaan alat
pelindung diri saat bekerja, rata-rata informan menyatakan pandangannya
bahwa penggunaan sepatu boot saat bekerja sangat baik untuk menghindari
agar tidak tertular schistosomiasis. Namun di sisi lain mereka merasa tidak
nyaman jika bekerja harus menggunakan sepatu boot. Begitu pula sikap
mereka terhadap penggunaan sepatu boot, ada yang menyatakan suka dan
tidak suka dalam penggunaan sepatu boot saat bekerja. Berbagai alasan
yang dikemukakan oleh informan, bahwa penggunaan alat pelindung diri
saat bekerja menimbulkan rasa tidak nyaman, susah bergerak jika
digunakan pada tempat-tempat yang berlumpur.
Persepsi dan sikap sebagian masyarakat Lindu terhadap
penggunaan alat pelindung diri saat bekerja di sawah dan di kebun,
tentunya berdasarkan pengalaman yang mereka lihat dan alami sendiri,
bahwa penggunaan alat pelindung diri saat bekerja membuat mereka sulit
untuk bergerak bebas khususnya di areal persawahan yang penuh lumpur.
Persepi dan sikap yang ada pada masyarakat merupakan
pernyataan pandangan suka dan tidak suka seorang individu terhadap suatu
situasi atau kondisi yang mereka lihat dan rasakan. Seperti pernyataan
bapak Lande salah seorang pengidap schistosomiasis, beliau memilik
persepsi bahwa percuma menggunakan alat pelindung diri (sepatu boot),
kalau di sekitar sawah mereka masih ada fokus, dan secara sengaja mereka
masih menggunakan air dari fokus, utamanya setelah bekerja di sawah
ataupun di kebun. Bapak Lande berharap agar kiranya nanti ada obat yang
dapat memberantas keong.
Kalau kita melihat secara khusus masalah kesehatan yang terjadi
dikalangan masyarakat Lindu terkait dengan schistosomiasis, dapat
dikatakan adalah masalah-masalah budaya, sosial dan psikologis. Sehingga
membentuk perilaku dan persepsi yang dapat merugikan kesehatan baik
disadari maupun tidak disadari. Tidaklah mengherankan kalau orang Lindu
lebih mengarahkan pada usaha-usaha mencari jalan untuk mengatasi
masalah-masalah kesehatan dengan pengobatan tanpa upaya yang baik
dalam pencegahan schistosomiasis.
5.5 Upaya Petugas Kesehatan dan Peran Lembaga Lokal dalam Membantu Mencegah dan Menanggulangi Schistosomiasis.
Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem
yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring
pengaman sosial (sosial safety net) ketika komunitas lokal berada dalam
situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan
pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal
lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang
digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan
sebagai modal sosial (sosial capital).
Modal sosial yang secara garis besar merupakan unsur pelumas
yang sangat menentukan bagi terbangunnya kerjasama antar individu atau
kelompok atau terbangunnya suatu perilaku kerjasama kolektif. Dalam
modal sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada pada
modal sosial yang mencakup (a) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran,
sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati); (b) Jaringan Sosial/Sosial
Networks (partisipasi, resiprositas, solidaritas, kerjasama); (c) Norma/norma
(nilai-nilai bersama, sanksi, aturan-aturan). Menurutnya ketiga elemen modal
sosial di atas berikut aspek-aspeknya pada hakikatnya adalah elemen-
elemen yang ada atau seharusnya ada dalam kehidupan sebuah kelompok
sosial, apakah kelompok itu bernama komunitas, masyarakat, suku bangsa,
atau kategori lainnya atau dengan kata lain elemen-elemen modal sosial
tersebut merupakan pelumas yang melicinkan berputarnya mesin struktur
sosial. (J. Mawardi : 2007:34)
Modal sosial merupakan sebuah langkah yang kerap diambil dalam
penanganan sebuah bencana atau permasalahan kompleks dari
masyarakat. Modal sosial merupakan sebuah upaya serta langkah-langkah
yang diambil berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh para tokoh
adat, tokoh agama dan pihak kesehatan dalam mencegah dan
menanggulangi schistosomiasis.
Salah satu modal sosial yang bisa dijadikan sebagai landasan
kerjasama antara pemerintah dan masyarakat Lindu dalam penanggulangan
schistosomiasis adalah adat-istiadat. Satu sisi kehidupan orang-orang di
Dataran Lindu adalah, orang-orang yang taat terhadap aturan adat istiadat
yang berlaku. Aturan adat sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat
menjadi mekanisme yang mengatur tata cara hidup, bersosialisasi maupun
pemenuhan kebutuhan mereka. Tingkat kepatuhan terlihat dalam
mekanisme pelaksanaan sanksi (givu) terhadap setiap pelanggaran adat
yang diputuskan oleh lembaga adat melalui musyawarah adat. Pelaksanaan
adat merupakan bagian dari kebudayaan orang Lindu. Adat yang berlaku di
Dataran Lindu secara efektif mengontrol perilaku masyarakat menggunakan
sumber daya alam seperti hutan, kayu, penangkapan ikan, dan hubungan
sosial.
Jika aturan-aturan adat ini diberlakukan untuk mengontrol perilaku
kesehatan guna pencapaian derajat kesehatan masyarakat di Lindu terkait
dengan schistosomiasis, maka kemungkinan besar prevalensi
schistosomiasis di Lindu akan menurun. Seperti ungkapan beberapa tokoh
adat di Lindu. Mereka mau menerapkan sanksi (givu) untuk warga Lindu
yang tidak mengumpulkan stool tinja dan tidak menggunakan sepatu boot
saat berada di sawah maupun melewati daerah-daerah fokus keong, yaitu
sanksi di keluarkan dari kampung dan tidak akan diberikan pengobatan jika
sakit schistosomiasis. Namun sanksi ini tidak disepakati oleh beberapa
tokoh adat lainnya, karena bagi mereka sanksi tersebut sangat
memberatkan warga Lindu.
Terkait dengan peran petugas kesehatan dalam mencegah dan
menanggulangi schistosomiasis masih dalam bentuk upaya pencegahan
(preventif) dan promotif yaitu, menggerakan masyarakat melalui perantara
tokoh-tokoh masyarakat seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda
dan para kader kesehatan. Khususnya dalam pengumpulan tinja dan
pengobatan schistosomiasis. Upaya petugas kesehatan selama ini adalah,
mengajak masyarakat untuk mewujudkan hidup sehat terbebas dari
schistosomiasis antara lain, menghimbau masyarakat untuk selalu
menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu boot dan sarung tangan
saat beraktifitas di areal persawahan dan perkebunan, tidak menggunakan
air yang terkontaminasi parasit schistosomiasis seperti mencuci tangan,
buang air besar dan mandi di air yang yang mengandung parasit.
Langkah-langkah strategis selanjutnya yang dikerjakan oleh
petugas kesehatan dalam upaya promotif yaitu: mengubah persepsi
masyarakat yang selama ini masih menganggap schistosomiasis adalah
penyakit biasa dan tidak lagi ditakuti warga, masyarakat sudah sangat
bergantung pada pengobatan yang dilakukan setiap enam bulan sekali oleh
petugas kesehatan. Upaya mengubah persepsi dan perilaku masyarakat
Lindu dalam pencegahan schistosomiasis diperlukan waktu dan
penanganan terus-menerus. Langkah petugas kesehatan dalam upaya
promotif ini, dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. Salah satunya
adalah upaya tokoh adat dan tokoh agama, di mana disetiap kesempatan
saat ibadah berlangsung selalu memberikan penyuluhan kesehatan, dan
mengharapkan partisipasi warga saat pelaksanaan pengumpulan stool tinja
dan pengobatan schistosomiasis. Selain itu memberikan motivasi agar
masyarakat sadar akan bahaya schistosomiasis.
Menurut petugas kesehatan, sebagian besar masyarakat di Lindu
mempunyai kesadaran untuk patuh pada petugas kesehatan dan tokoh-
tokoh masyarakat, namun kesadaran masyarakat kadang tidak berlangsung
lama. Hal ini nampak terlihat saat pengumpulan stool tinja banyak dari
warga yang tidak berpartisipasi, sehingga pengumpulan stool tinja hanya
mencapaii 70 % dari keseluruhan jumlah penduduk di Lindu.
Upaya lain yang dilakukan oleh petugas kesehatan adalah
memfasilitasi kegiatan-kegiatan desa, program-program pemberdayaan
masyarakat seperti memfasilitasi antara tokoh adat, kepala kampung
dengan pemerintah Kabupaten dan Propinsi, utamanya dalam hal
penanggulangan schistosomiasis. Salah satu upaya yang pernah dilakukan
pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat di Lindu adalah, bekerja sama
menimbun lokasi-lokasi fokus keong menjadi lahan kering seperti, rawa-
rawa dan memperbaiki saluran-saluran air. Namun penanganannya untuk
saat ini terhenti, karena keterbatasan dana/biaya, sehingga perawatan rawa-
rawa menjadi terlantar dan saluran air menjadi tidak lancar, hal ini memicu
perkembangan hidup keong. Seperti ungkapan tokoh adat bapak K,
Melangko (72 tahun) sebagai berikut :
” Seperti di Anca ada puluhan lokasi yang menjadi tempat berkembangnya keong, kalau itu diperbaiki, saluran pembuangannya jadi baik sehingga cepat kering. Masalahnya kurangnya perawatan terhadap lokasi-lokasi itu karena terbatasnya dana sehingga focus mulai lagi berkembang. Akibatnya bukan hanya petani sawah yang terkena tetapi semua orang yang lalu lalang melewati akan terkena schistosomiasis. Pada saat gencar-gencarnya penanganan schistosomiosis dulu, daerah rawa-rawa tersebut kering, berbeda dengan kondisi sekarang menjadi tergenang air lagi ” (wawancara tanggal 03 maret 2013). Lebih lanjut di katakan oleh bapak Pinus (55 tahun) petugas laboratorium
schistosomiasis di Lindu sebagai berikut :
“ Inisiatif pemberantasan fokus keong juga tidak muncul dari masyarakat karena daerah/tempat yang menjadi fokus keong adalah milik atau wilayah garapan warga lainnya. Kadang lokasi genangan air/rawa-rawa yang sebelumnya merupakan sawah dibiarkan oleh pemiliknya tidak terawat, saluran pembuangan tidak dibenahi. Oleh warga lainnya menganggap bahwa itu bukan kewajiban mereka untuk mengurus lokasi fokus keong karena bukan merupakan lahan hak miliknya”. (wawancara tanggal 11 februari 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan menggambarkan,
penanganan schistosomiasis pernah dilakukan dan sangat membutuhkan
biaya yang sangat besar di mana lokasi fokus keong sebagian merupakan
lahan milik warga. Melihat kasus ini betapa pentingnya kesadaran
masyarakat dalam upaya pemberantasan schistosomiasis.
Upaya lain yang diberikan pemerintah adalah, bantuan kepada kader
kesehatan berupa pemberian insentif (reward) kepada para kader supaya
lebih bersemangat dalam melaksanakan tugasnya menjalankan sosialisasi
penyaluran kegiatan survey tinja. Bentuk kompensasi yang diberikan kepada
kader bersama anggota keluarganya (suami, istri dan anak) yaitu, fasilitas
berobat di Puskesmas Lindu termasuk kemudahan fasilitas berobat lanjut.
Salah satu gagasan lembaga lokal dan petugas kesehatan setempat
adalah, bagaimana memasukkan budaya hidup sehat ke dalam sistem nilai
budaya orang Lindu. Terutama dalam konteks partisipasi masyarakat dalam
pencegahan dan pengobatan schistosomiasis. Beberapa hal yang menjadi
faktor pendukung dalam proses penanggulangan schistosomiasis adalah:
- Lembaga adat memberikan jaminan untuk memotivasi warga
- Lembaga adat memfasilitasi sosialisasi kegiatan pengumpulan tinja dan
pengobatan
- Terkait dengan penduduk musiman yang berada pada satu tempat
tertentu dan luput dari pemeriksaan tinja, lembaga adat menginstruksikan
bahwa pada saat pengumpulan tinja atau pembagian stool tinja harus
berada di desa
- Lembaga adat menghimbau kepada para petugas kesehatan, saat
pengumpulan tinja harus disesuaikan dengan musim bekerja orang-
orang penduduk musiman.
Bentuk kesepakatan bersama yang disepakati oleh petugas
kesehatan dan lembaga lokal adalah, diwajibkan seluruh warga Lindu untuk
mengumpulkan tinja, jika hal ini dilanggar maka petugas kesehatan tidak
akan memberikan pengobatan bagi warga yang tidak mengumpulkan tinja
meskipun secara klinis orang tersebut mengalami gejala-gejala
schistosomiasis. Namun bentuk kesepakatan ini masih saja dilanggar oleh
masyarakat karena belum ada sanksi atau aturan adat yang mengikat
kesepakatan ini. Seandainya bentuk kerjasama dalam penanggulangan
schistosomiasis ditegakkan dengan menggunakan sanksi atau aturan adat
yang kuat, seperti wajib menggunakan sepatu boot saat beraktivitas dan
wajib mengumpulkan tinja, memungkinkan prevalensi schistosomiasis akan
menurun di kawasan Lindu. Namun atas dasar kemanusiaan petugas
kesehatan masih tetap memberikan pengobatan bagi masyarakat yang
melanggar kesepakatan. Seperti yang dikemukakan oleh tokoh adat
setempat Bapak S. Toley (69 tahun) mengatakan bahwa ;
“ Kami ingin menerapkan sanksi adat, bagi warga yang tidak berperan serta, namun atas dasar kemanusiaan, kami dan petugas kesehatan tidak akan sampai hati melihat masyarakat mati karena schistosomiasis. Kami
harus musyawarahkan dulu dengan masyarakat semuanya, agar kerjasama yang kami lakukan dapat membangun sistem kebersamaan dengan mengumpulkan berbagai macam saran dari masyarakat untuk kita rembug lalu kita sampaikan kepada pemerintah desa maupun pemerintah daerah ” (wawancara tanggal 28 januari 2013). Selain itu upaya pihak kesehatan, tokoh masyarakat dan tokoh
agama selalu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk
membangun kerjasama dalam penanggulangan schistosomiasis.
Pemahaman masyarakat akan bentuk kerjasama belum terjalin dengan baik,
sehingga upaya ini masih terus digalakkan oleh pihak kesehatan. Serupa
dengan hal yang dihadapi oleh pihak kesehatan, begitu pula yang dirasakan
oleh masyarakat Lindu, selain obat kiranya ada vaksin yang dapat
memberantas habitat keong.
Bentuk kerjasama yang dibangun diharapkan memberikan dampak
yang sangat positif apalagi kaitannya dengan kesehatan. Dengan kerjasama
antara pihak kesehatan dan masyarakat dapat membawa ke arah
perubahan yang lebih baik kepada warga untuk menerapkan pola hidup
sehat dan menjaga lingkungan sekitarnya. Adapun yang menjadi acuan
utama kerjasama dalam penanggulangan schistosomiasis adalah,
terbentuknya jaringan-jaringan sosial yang dianggap mampu memberikan
dorongan yang cukup kuat untuk membangun kesadaran dan motivasi
warga untuk bertindak dalam pencegahan schistosomiasis.
Jaringan-jaringan sosial yang diharapkan ini adalah sebuah institusi
atau lembaga yang dapat mengayomi seluruh kebutuhan kesehatan
masyarakat secara praktis dan sederhana. Adapun sebuah institusi atau
lembaga kesehatan yang terbangun saat ini adalah, pembangunan
laboratorium schistosomiasis yang dikhususkan untuk kegiatan penelitian
dan kegiatan pengobatan schistosomiasis. Fungsi lainnya adalah, untuk
kegiatan survey tinja oleh petugas laboratorium kepada masyarakat. Dalam
pelaksanaannya petugas laboratorium bertugas untuk menyampaikan
perkembangan-perkembangan hasil penelitian yang didapatkan. Seperti
yang dikemukakan oleh bapak Pinus (55 tahun) petugas laboratorium
mengemukakan bahwa :
“ Setiap hasil survey tinja dan perkembangan hasil penelitian yang dilakukan selalu saya kabarkan kepada masyarakat dalam penyuluhan-penyuluhan kesehatan, maupun setiap ada rapat desa membahas mengenai penyakit keong ” (wawancara tanggal 11 Februari 2013). Laboratorium sebagai tempat musyawarah atau tempat penyuluhan
yang dilakukan petugas kesehatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan
kader kesehatan schistosomiasis. Hal-hal yang sering disampaikan adalah
mengenai gejala-gejala schistosomasis pertama kali memasuki kulit, ruam
dan gatal-gatal bisa terjadi. Sekitar 4 sampai 8 minggu kemudian muncul
gejala-gejala klinis seperti demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak
nyaman, mual, dan nyeri perut bisa terjadi.
Hal seperti inilah yang harus diketahui oleh warga setempat,
pentingnya membangun kerjasama untuk mengadakan penyuluhan-
penyuluhan kesehatan tidak lain adalah demi pencapaian tujuan secara
bersama. Berikut seperti yang diungkapkan oleh tokoh agama Gayus Lago
(42 tahun) bahwa :
“ Di dalam agama kami juga diajarkan tentang sebuah kerjasama antar umat beragama, saya ditunjuk sebagai orang yang mampu memberikan motivator dalam kontrol sosial masyarakat, ketika beribadah di gereja saya memimpin doa memohon kepada tuhan kami agar penyakit ini
segera dijauhkan dari kampung ini, dan mengharap masyarakat punya kesadaran untuk melindungi keluarganya dari bahaya schistosomiasis” (wawancara tanggal 21 Februari 2013). Ungkapan informan di atas memberikan gambaran, bahwa tokoh-
tokoh agama memiliki peran dalam penanggulangan schistosomiasis,
utamanya memberikan motivasi warga untuk melakukan pencegahan
schistosomiasis.
Dalam penanggulangan schistosomiasis sangatlah dibutuhkan peran
petugas kesehatan dan lembaga lokal yang dapat mengayomi masyarakat
dalam melakukan pencegahan penyakit. Pengembangan lebih kepada
motivasi dan pengetahuan pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan
sumberdaya alam dan lingkungan dengan means yang dimiliki atau
dikuasai, yaitu teknologi. ”Empower” adalah proses di mana orang
memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan keinginan untuk mengkritisi dan
menganalisa situasi yang mereka hadapi dan mengambil tindakan yang
tepat untuk merubah kondisi tersebut.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Hasil penelitian menunjukkan, masyarakat Lindu telah mengetahui
etiologi penyakit, gejala, penularan dan pengobatan schistosomiasis.
Penyebab schistosomiasis adalah keong ataupun tertular cacing
schistosomiasis, dengan gejala-gejala awal demam, gatal-gatal, mual,
sakit kepala, yang sering disebut oleh warga Lindu penyakit keong.
Berdasarkan pengalaman yang dialami dan pengetahuan masyarakat
bahwa schistosomiasis hanya bisa disembuhkan oleh obat yang
diberikan petugas kesehatan, dan tidak dapat disembuhkan melalui
penyembuhan secara tradisonal (dukun dan obat ramuan tradisional
dsbnya). Begitu pula halnya dengan proses penularan schostosomiasis,
informan memiliki pengetahuan bahwa penularan terjadi karena tidak
menggunakan alat pelindung diri (sepatu boot), melewati dan
menggunakan air yang bersumber dari fokus keong.
2. Persepsi masyarakat tentang schistosmiasis, telah menganggap sebagai
penyakit biasa, sering di alami dan tidak di takuti lagi, Hal ini terjadi
karena masyarakat dengan mudah mendapatkan obat schistosomiasis,
dan telah berharap dengan pengobatan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan.
3. Perilaku terkait dengan schistosomiais, hasil penelitian menunjukkan
masyarakat tidak melakukan pencegahan schistosomiasis, seperti
menggunakan alat pelindung diri (sepatu boot) saat beraktifitas di kebun
dan di sawah, masih memiliki kebiasaan BAB (buang air besar) dan
mandi di aliran-aliran air yang dicurigai mengandung parasit
schistosomiasis.
4. Peran petugas kesehatan dalam penanggulangan schistosomiasis
selama ini telah menunjukkan pelayanan yang baik pada sistem
pencegahan schistosomiasis, yaitu melakukan pengobatan secara rutin
kepada masyarakat setiap enam bulan sekali. Kerjasama ini diperankan
pula oleh lembaga-lembaga lokal seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh
pemuda. Namun kendala yang mereka hadapi adalah perilaku
masyarakat yang masih kurang menunjukkan perilaku pencegahan yang
baik dalam melindungi diri untuk tidak tertular schistosomiasis.
5. Nampak dari hasil observasi dan wawancara mendalam dengan
informan dari beberapa faktor di atas, lingkungan dan perilaku
merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya (dominan) terhadap
tinggi rendahnya prevalensi schistosomiasis di Lindu. Tingkah laku
penduduk rata-rata tidak menggunakan alat pelindung diri saat
beraktifitas dan mengandalkan pada pengobatan medis tanpa
memikirkan cara pencegahan dan penanggulangan yang baik untuk tidak
tertular schistosomiasis. Proses penularan akan terus terjadi jika perilaku
pencegahan terhadap penyakit ini tidak dilakukan, di dukung pula oleh
lingkungan alam yang senantiasa menyediakan habitat keong untuk
tetap hidup dan berkembang biak di seputar kawasan Lindu.
Hal ini sejalan dengan penjabaran Foster Anderson, bahwa aspek
biologis dan aspek sosio-budaya dari tingkah laku manusia dapat
mempengaruhi kesehatan dan penyakit pada manusia. Dapat
disimpulkan adanya hubungan timbal balik antara perilaku penduduk
dengan kondisi lingkungan alamnya, sehingga schistosomiasis sangat
sulit untuk diberantas.
B. Saran-Saran
Melihat kenyataan yang terjadi pada masyarakat di Lindu, penulis
mengajukan beberapa saran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
menuju masyarakat Lindu sehat dan terbebas dari schistosomiasis :
1. Perlunya pemberdayaan masyarakat dalam hal penanggulangan
schistosomiasis, di mana masyarakat diharapkan memiliki kesadaran
individual maupun kelompok, untuk melindungi diri dan keluarganya dari
bahaya schistosomiasis.
2. Perlunya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku positif
masyarakat melalui promosi kesehatan, guna terciptanya motivasi
menuju perilaku pencegahan yang lebih baik terhadap schistosomiasis
3. Diharapkan pemerintah Kabupaten Sigi maupun Propinsi dapat
memberikan perhatian pada lingkungan masyarakat Lindu, khususnya
tempat berkembangbiak keong, untuk dijadikan lahan kering ataupun
lahan pertanian warga Lindu.
4. Diharapkan pemerintah Kabupaten Sigi dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah, untuk melakukan penelitian guna menemukan
vaksin schistosomiasis yang mampu membasmi tempat-tempat
perindukkan keong .
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anderson, Foster. (2009). Antropologi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
E.K.M, Masinambow. (1997). Koenjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta : Penerbit Asosiasi Antropologi Indonesia Bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.
Hadidjaja, P. (1985). Schistosomiasis di Sulawesi Tengah Indonesia. Jakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasbullah, J. (2006). Sosial Kapital Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia. Jakarta : MR-United Press. Kalangie, N. (1993). Kebudayaan Dan Kesehatan. Pengembangan
Pelayanan Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. Penerbit Megapoln.
Marimbi, H. (2009). Sosiologi dan Antropologi Kesehatan. Yogyakarta:
Penerbit Nuha Medika. Mulyanto D. (2008). Antropologi Marx, Karl Marx Tentang Masyarakat Dan
Kebudayaan : Jakarta. Penerbit buku Ultimus. Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta. 2003.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2011). Kesehatan Masyaraka Ilmu dan Seni. Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta.
Poerwanto, H. (2000). Kebudayaan Dan lingkungan Dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Petunjuk Teknis Pemberantasan schistosomiasis P2M. (1989). Depkes.
Rooger, M Keesing & Samuel Gunawan. (2006). Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Sarwono, Solito.(2004). Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep dan
Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press.
Satori, D & Komariah, A. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung.
Penerbit Alvabeta.
B. Jurnal
Djkeky,R.Djhotn. (2002). Penerapan Ilmu Antropologi kesehatan Dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Papua. Jurnal Antropologi Papua ISSN-1693-1099. vol 1 no 1 Agustus .
J,Mawardi M. (2007). Peranan Sosial Kapital Dalam Pemberdayaan
Masyarakat. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, USU. (volume III) .
Jastal. (2008). Analisis Spasial Epidemiologi Schistosomiasis Dengan
Menggunakan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis Di Sulawesi Tengah : Laporan Balai Litbangkes P2B2 Donggala.
Hasyim Hamzah, (2008). Manajemen Penyakit lingkungan Berbasis
Wilayah. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan : Vol 11 no 2.
Kasnodiharjo. (1994). Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya
– Pandangan dari Perilaku. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Jakarta : Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No 96.
Kasnodiharjo. (1990). Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Penduduk Dalam Hubungannya Dengan Schistosomiasis Setelah Dilakukan Pemberantasan Di Daerah Lindu, Napu Sul-Tengah. Jakarta : Badan penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jurnal cermin Dunia Kedokteran no 60. Ditjen PPM dan PLP.
Kasnodiharjo. (1997). Masalah Sosio Budaya Dalam Upaya Pemberantasan Schistosomiasis Di Sulawesi Tengah. Jakarta : Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan. Jurnal Cermin Kedokteran no 118.
Kasnodihardjo. (1990). Aspek Sosial Budaya Dalam Penanggulangan
Filariasis. .Jakarta : Cermin dunia Kedokteran no 64. Rosmini. (2010). Studi Epidemologi Schistososmiasis di Dataran Tinggi
Bada Kabupaten Poso, Propinsi Sulawesi Tengah : Laporan Balai Litbangkes P2B2 Donggala.
Rosmini & Soeyoko. (2009). Penularan schistosomiasisi di desa Dodolo dan
Mekarsari Dataran Tinggi Napu Sulawesi Tengah: Media Litbang kesehatan Vol 10 no 3.
Sudomo, M & Pretty M.D Sasono. (2007). Pemberantasan Schistosomiasis
Di Indonesia. Jakarta : Buletin Penelitian Kesehatan vol. 35 no I. Depkes.
C. Situs Internet
Sejarah schistosomiasis. Online : http://ekspedisi.kompas.com.schistosomiasis.penyakit kuno.di Lore. Lindu. ( di akses tanggal 07 Oktober 2012).
Hubungan Aspek Sosial Budaya dan Kesehatan. Online: file:///D:/download/hubungan-aspek-sosial-budaya-dan.html.
(di akses tanggal 12 Juni 2013).
Perilaku kesehatan. Online : http://id. Wikipedia.org//wiki/perilaku manusia. ( diakses, tanggal 28 November 2012).
Siklus penularan schistosomiasis. Online : www.tanyadokter.com/disaese.as?/id. (diakses tanggal 12 Oktober 2012.
Lingkungan Sosial dan Budaya. Online : http://massofa.wordpress.com.pengertian-lingkungan-sosial-
budaya. (di akses, tanggal 08 November 2012) .
Pengertian Etnomendisin. Online : (http:// chenmank.blogsstool.com/etnomedisi. (di akses tanggal 08 November 2012).
Lampiran 1. Daftar nama Informan
NAMA INFORMAN
UMUR
1. Amos (Petugas Laboratorium Schisto)
2. Pinus ( Petugas Laboratorium Schisto)
3. Bolemata (Penderita)
4. Etmon (penderita)
5. Lande (Penderita)
6. Nin (Penderita – Ibu Rumah Tangga)
7. Andy Maku (Penderita)
8. Tuti (Penderita- Ibu rumah Tangga)
9. Arwin Sukara ( Kepala Puskesmas)
10. Gayus Lago ( Tokoh Agama)
11. Desy ( Kader schisto)
12. Sherly Lago ( Kader Schisto)
13. S. Toley ( Tokoh Adat)
14. K. Melangko ( Tokoh Adat)
59
55
67
28
45
40
49
39
51
42
30
43
69
72
LAMPIRAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Aktifitas petani yang berisiko terinfeksi schistosomiasis
Kebiasaan warga yang berisiko terinfeksi schistosomiasis
Salah satu tempat BAB (buang air besar) warga di Desa Puroo
Papan tanda areal fokus keong
Kebiasaan warga tidak menggunakan sepatu boot saat berangkat kerja
Aktifitas petani yang berisiko terinfeksi schistosomiasis
Aktifitas petani yang berisiko terinfeksi schistosomiasis
Desa Tomporene (Tomado)
Desa Langko
Desa Puroo
Danau Lindu Berada di desa Tomado
Danau berada di Desa Anca
Wawancara Peneliti dengan salah satu informan di Desa Puroo
Areal Jalan menuju Dataran Lindu
PETA KECAMATAN LINDU
Sumber : BPS Sulteng 2013