SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM …
Transcript of SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM …
SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Zein Hadi NIM : 11140430000080
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021
i
SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Zein Hadi NIM. 11140430000080
Pembimbing :
Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A
NIP. 195811281994031001
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1442 H/2021
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi ini berjudul “SANKSI DENDA PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 PERSPEKTIF HAM DAN HUKUM ISLAM” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Perbandingan Mazhab.
Jakarta, 28 Juli 2021 Mengesahkan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A NIP. 197608072003121001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Siti Hana, S.Ag., L.C., M.A NIP. 197402162008012013
(…………………)
2. Sekretaris : Hidayatullah, S.H., M.H NIP. 198708302018011002
(…………………)
3. Pembimbing : Dr. Supriyadi Ahmad, M.A. NIP. 195811281994031001
(…………………)
4. Penguji I : Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP. 196511191998031002
(…………………)
5. Penguji II : Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. NIP. 195903191979121001
(…………………)
24/08/2021
iv
ABSTRAK
Zein Hadi, NIM 11140430000080, Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi
Covid-19 Perspektif HAM Dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019), Skripsi, Program Studi Perbandingan Mazhab, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021 M.
Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi Covid-19 Perspektif HAM Dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019). Tujuan Dari Penelitian Ini Untuk mengidentifikasi Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi Covid-19 Pada Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Hukum Islam
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Adapun sumber data yang digunakan yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum non hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi kepustakaan) dan menganalisi data secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu masalah yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi denda penolakan vaksinasi COVID-19 melanggar hak asasi manusia karena tidak disertai persetujuan pasien di dalamnya. Adapun persetujuan dan penolakan pasien dalam tindakan medis sangat diperlukan dan penolakan pasien adalah hak yang harus dihormati. Sedangkan hukum Islam lebih menekankan pada pemberantasan wabah itu sendiri agar terciptanya kemaslahatan umum.
Kata Kunci : Sanksi denda, Vaksinasi, Covid 19, HAM, Hukum Islam.
Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Daftar Pustaka : 1968 - 2018
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te خ
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet س
s es س
vi
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء
apostrop
y ya ي
vii
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
a fathah ــــــــــ
ــ ــــــــ i kasrah
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
ــــــــــ ي ai a dan i
au a dan u ــــــــــ و
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin
Keterangan
â a dengan topi diatas اـــــ
î i dengan topi atas ىـــــ
û u dengan topi diatas وـــــ
viii
d. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan
lam )ال), dialih aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah
atau huruf qamariyyah. Misalnya: الإجثهاد = al-ijtihâd الزخصح = al-rukhsah,
bukan ar-rukhsah
e. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: الشفعح = al-syuî
„ah, tidak ditulis asy-syuf „ah
f. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شزعح 1
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزعح الإسلامح 2
قارنح المذاهة م 3 Muqâranat al-madzâhib
g. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa
jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan
huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata
sandangnya. Misalnya, الثخاري= al-Bukhâri, tidak ditulis Al-bukhâri.
ix
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara
ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis
secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan
berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
1 -al-darûrah tubîhu al الضزورج تثح المحظىراخ
mahzûrât
الإقتصاد الإسلام 2 al-iqtisâd al-islâmî
أصىل الفقه 3 usûl al-fiqh
4 الأشاء الإتاحح الأصل فى al-„asl fi al-asyyâ‟ al-
ibâhah
المصلحح المزسلح 5 al-maslahah al-mursalah
x
بسم الله الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tugas
akhir jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saya bersyukur dapat membuat skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti sekarang
ini,
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada
jalan kemudahan. Saya sangat berterima kasih kepada pihak-pihak yang terus
mendukung, membantu serta memberikan masukan dalam proses saya
menyelesaikan tugas akhir ini. Pada kesempatan yang berharga ini saya
mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazdhab.
Bapak Hidayatullah S.H., M.H., Sekertaris Program Studi Perbandingan
Madzhab.
4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab, yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat
saya. Tidak lupa pula kepada pimpinan dan seluruh staff perpustakaan yang
xi
telah menyediakan fasilitas untuk keperluan studi kepustakaan, terutama
perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum.
6. Kedua Orang Tua, Drs. Nur Aidi, M. Pd. Dan Munanih, S. Pd. I, Kakak dan
adik-adik yang telah memberikan segalanya baik materiil maupun moril,
serta doa, dukungan dan dorongan tiada henti sehingga penulis dapat
menyelesaikan Studi S1.
7. Diri Sendiri, yang telah bertahan sejauh ini.
8. Hudalina Mustika, SH. Sang terkasih yang turut andil besar dalam
memotivasi penggarapan skripsi ini.
9. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Qotrun Nada (IMQN) Cabang Ciputat,
Ikatan Keluarga Besar Qotrun Nada (Ikqnada) terimakasih atas
kebersamaannya, semoga panjang umur perkawanan.
10. Kawan – kawan seperjuangan yang selalu saling memotivasi dan
mengingatkan untuk menyelesaikan studi serta menjadi teman diskusi ;
Akbar Wijaya, SH., Muhammad Kamal, S.Hum., Fahmi Pajrianto, SH., Ari
Al Maulana, SH., Khalil Gibran Syaukani, SH., Ahmad Fauzi, S.Sos.,
Angga Yudha, SH., Ulpan Anggi, SH., Ade Yusroni, SH., Sahrul Fauzi,
SH., Dimas Permadi Arya, SH.
11. Seluruh pihak yang membantu dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan dan
juga doa yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi
berkah dan amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi saya penulis serta pembaca pada umumnya. penulis memohon
maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
Ciputat, 05 Juli 2021
Penulis,
Zein Hadi NIM. 11140430000080
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ ii ABSTRAK .................................................................................................. iii PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ iv KATA PENGANTAR................................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Rumusan Masalah ..................... 7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................... 8
E. Metode Penelitian ..................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ................................. 13
1. Pengertian Tindak P idana ................................................. 14
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ............................................. 16
3. Macam-Macam Tindak Pidana .......................................... 20
B. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan ..................................... 22
1. Pengertian Pemidanaan ..................................................... 22
2. Teori – Teori Pemidanaan ................................................ 24
C. Tinjauan Umum Tentang Hukuman/Uqubah ............................ 30
1. Pengertian Hukuman.......................................................... 30
2. Dasar Hukum .................................................................... 31
3. Tujuan Hukuman .............................................................. 33
4. Syarat Hukuman ................................................................ 35
5. Macam-Macam Hukuman .................................................. 36
xiii
BAB III PENOLAKAN VAKSINASI COVID-19 DALAM DOKTRIN INFORMED CONSENT A. Informed Consent ................................................................... 40
1. Pengertian ....................................................................... 40
2. Syarat-Syarat Informed Consent ......................................... 42
3. Hal Dimana Persetujuan Medik Tidak Diperlukan ............. 44
B. Sanksi Penolak Vaksinasi ....................................................... 45
BAB IV ANALISIS SANKSI DENDA BAGI PENOLAK VAKSINASI COVID-19 A. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif
Hak Asasi Manusia (HAM) .................................................... 48
B. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif
Hukum Islam ......................................................................... 57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 68
B. Rekomendasi .......................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70
LAMPIRAN .................................................................................................. 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada Tahun 2019, dunia dilanda oleh sebuah wabah penyakit yang
sangat mematikan. Penyakit tersebut memakan banyak korban dan
penyebarannya sangat masif sampai dunia tidak siap menghadapinya.
Penyakit tersebut bernama Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Permasalahan
paling pelik dari penyakit ini adalah penularannya yang sangat mudah
sehingga penyebarannya menjadi cepat dengan skala yang luas.
WHO (World Health Organization) China Country Office
menemukan kejadian pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota
Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Tiongkok mengidentifikasi kasus itu
sebagai Coronavirus jenis baru. Kemudian WHO menetapkan kejadian
tersebut sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan
Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of International Concern
(PHEIC), lalu COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi tertanggal 11 maret
2020.
Indonesia menemukan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.
Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah
Indonesia. Kondisi penyebaran COVID-19 sudah hampir menjangkau
seluruh wilayah di Indonesia dengan jumlah kasus dan jumlah kematian
yang semakin meningkat dan semakin berefek terhadap berbagai aspek
kehidupan masyarakat di Indonesia. Tercatat sampai dengan tanggal 9 Juli
2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 70.736 kasus konfirmasi
COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%).1
1 Kementrian Kesehatan, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
2019 (COVID-19), Rev-5, 2020. h., 19
2
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertera dalam pasal 1
ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat
berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan
mempunyai sanksi tegas apabila dilanggar. Maka, arti Indonesia sebagai
negara hukum adalah segala aspek kehidupan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus didasarkan pada hukum dan segala produk
perundang-undangan serta turunannya yang berlaku di wilayah NKRI.2
Kondisi penyebaran COVID-19 sudah hampir menjangkau seluruh
wilayah dengan jumlah kasus yang semakin meningkat membuat
Pemerintah Indonesia menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19). Di samping itu, atas pertimbangan-
pertimbangan tersebut telah dikeluarkan juga Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Sebagai bentuk penanggulangan COVID-19, Indonesia mengambil
kebijakan untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
yang dilaksanakan untuk menekan penyebaran COVID-19 semakin
meluas. Pengaturan PSBB ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan
secara teknis dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar. Namun,
menurut pakar hukum tata negara Yusil Ihza Mahendra, landasan hukum
tersebut dianggap “tanggung” karena tidak memuat sanksi bagi para
pelanggarnya.3
Semenjak vaksin untuk COVID-19 ditemukan dan mulai diuji coba
serta siap diproduksi massal, banyak negara yang mulai melakukan
2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Pilar Demokrasi, Serpihan
Pemikiran Hukum, Media dan HAM, (Jakarta: Konstitusi Perss), h., 12 3 https://news.detik.com/berita/d-4966096/yusril-landasan-hukum-psbb-serba-tanggung-
karena-tanpa-sanksi-pidana. Diakses pada hari sabtu, 23 Januari 2021pukul 00:43WIB.
3
vaksinasi terhadap warganya agar bisa memutus penyebaran dan
memusnahkan COVID-19, salah satunya adalah Indonesia. Vaksin adalah
antigen yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu4. Vaksin
akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri/virus penyebab penyakit
tertentu, sehingga akan menjadi kebal. Cakupan vaksinasi yang tinggi dan
merata akan membentuk kekebalan kelompok (Herd Immunity) sehingga
dapat mencegah penularan suatu penyakit. 5
Pemerintah indonesia telah siap melakukan upaya vaksinasi
sebagai tindak lanjut dari kebijakan PSBB. Kebijakan itu tertuang dalam
Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksinasi
Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019
(COVID-19), dan secara teknis diatur dalam Peraturan Mentri Kesehatan
No. 84 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka
Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Salah satu daerah yang telah siap melaksanakan vaksinasi adalah
Jakarta, yang tertuang dalam Peraturan Daerah DPRD Provinsi DKI
Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease
2019. Perda ini mencakup seluruh kegiatan mengenai pemberantasan
COVID-19 di wilayah DKI Jakarta. Salah satu hal yang termaktub dalam
peraturan tersebut adalah adanya sanksi denda bagi siapa saja yang
menolak divaksin. Sanksi tersebut tertuang dalam pasal 30 Perda No. 2
Tahun 2020. Dalam pasal tersebut tertulis bahwa, setiap orang yang
menolak divaksin akan dikenakan denda maksimal 5 juta rupiah;
“Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan
pengobatan dan/atau vaksinasi COVID-19, dipidana dengan
pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).”
4 Peraturan Menteri Kesehatan No. 84 Tahun 2020 Pasal 1 5 Kementerian Kesehatan, Buku Saku InfoVaksin, 2020, h., 3
4
Tidak hanya penolakan vaksin yang mendapatkan denda dalam
Perda tersebut, tapi bagi yang menolak tes cepat molekuler sebagaimana
dituangkan pada Pasal 29, setiap orang yang dengan sengaja tanpa izin
membawa jenazah yang berstatus probable atau konfirmasi yang berada di
fasilitas kesehatan sebagaimana Pasal 31, dan setiap orang terkonfirmasi
Covid-19 yang dengan sengaja meninggalkan fasilitas Isolasi atau fasilitas
kesehatan tanpa izin petugas sebagaimana Pasal 32 dikenakan pula sanksi
denda dengan besaran maksimal yang berbeda-beda.
Namun, vaksinasi tidak mendapat sambutan hangat sepenuhnya.
Terdapat beberapa gelombang masyarakat yang menyatakan penolakan
terhadap vaksinasi, bahkan beberapa menyatakannya dengan sangat keras.
Penolakan ini tidak terlepas dari isu-isu dan berita palsu yang beredar di
masyarakat. Salah satu yang menolak dengan sangat lantang adalah Ribka
Tjiptaning, anggota DPR RI komisi IX dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) bidang kesehatan dan ketenagakerjaan. Dia
menyatakan lebih baik ia membayar denda lima juta rupiah dari pada harus
divaksin. Lebih lanjut ia mengungkapkan alasannya menolak vaksinasi,
Pertama, karena masih ragu dengan keamanan dampak dari vaksin
tersebut, Kedua karena tidak ingin dipaksa dan mengatakan bahwa
pemaksaan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Ketiga,
karena menganggap vaksinasi hanya sebagai bisnis yang dilakukan oleh
pemerintah semata.6
Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri dari tiga kata yaitu hak, asasi
dan manusia. Hak adalah kata yang diserap dari bahasa arab haqq yang
bermakna benar, tepat. Asasi juga kata yang diserap dari bahasa arab asas
yang bermakna dasar, fundamental. Manusia, jika mau diartikan sederhana
adalah makhluk yang berakal budi. Menurut Ibn Nujaim, seorang ahli fiqh,
hak adalah hubungan khusus antara seseorang dengan sesuatu atau kaitan
6 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210113074635-32-592938/ribka-tjiptaning-orang-pertama-menolak-vaksin-di-indonesia diakses pada hari sabtu, 23 Januari 2021 pukul 02:17.WIB
5
seseorang dengan orang lain yang tidak dapat diganggu gugat. Menurut
Ebrahim Moosa, seorang pejuang HAM, hak adalah sesuatu yang sudah
baku dan tidak dapat diingkari. Lebih lanjut HAM memiliki banyak
pengertian, diantaranya;7
1. John Locke, HAM merupakan hak – hak yang dianuegrahkan
langsung oleh Tuhan sebagai kodrat sejati manusia.
2. Abdullahi Ahmed An-Naim, HAM merupakan hak – hak yang
harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan kenyataan bahwa ia
adalah manusia.
3. Adnan Buyung Nasution, HAM adalah hak – hak yang dengan
dalih apapun tidak dapat dilenyapkan karena dia manusia.8
Dalam hal ini HAM membuat seseorang bisa menerima sesuatu
yang memang pada dasarnya ada untuknya. Pilihan juga merupakan
sebuah hak asasi yang harus dilindungi dan difasilitasi. Ketika pilihan
direbut maka HAM telah dicederai.
Vaksinasi adalah upaya pengobatan. Dalam islam sangat
dianjurkan jika memang obat tersebut sudah dipastikan kehalalannya.
Faktanya vaksin yang ada sekarang telah mendapatkan label halal lewat
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 2 Tahun 2021 Tentang Produk
Vaksin COVID-19 dari Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China Dan PT. Bio
Farma (Persero), tetapi dengan catatan keamanannya bisa terjamin oleh
para ahli.
Oleh karena itu perlu adanya studi lebih lanjut perihal kebijakan
DPRD DKI Jakarta di dalam Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang
Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 dengan berbagai sudut
pandang hukum. Dan salah satu yang akan menjadi bahan perbandingan
7 Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia (Jakarta:
Gramedia), h., 40-43. 8 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi Manusia dan
Demokrasi (JAKARTA: Kata Hasta Pustaka, 2007), h., 44.
6
adalah HAM dan hukum islam. Karenanya, Penulis mengajukan skripsi
yang berjudul “Sanksi Denda Penolakan Vaksinasi COVID-19
Perspektif HAM dan Hukum Islam (Analisis Peraturan Daerah DKI
Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus
Disease 2019)” .
7
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah dalam penelitian ini, di antaranya :
a. Kewajiban vaksin untuk menghentikan penyebaran virus
b. Sanksi denda penolakan vaksinasi
c. Dasar hukum pidana penolakan vaksinasi
d. Dampak positif dan negatif dari kebijakan Peraturan daerah DKI
Jakarta No. 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Coronavirus
Disease 2019
e. Pengobatan yang halal dalam Islam
f. Hak menolak pengobatan
2. Pembatasan Masalah
Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih objek Perda
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang
Penanggulangan Coronavirus Disease 2019. Mengingat adanya sanksi
denda bagi yang menolak untuk divaksin.
Pembatasan masalah dalam skripsi dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Covid-19 dibatasi pada varian virus corona yang muncul dan
ditemukan pada tahun 2019 di Wuhan, Tiongkok yang
sekarang penyebarannya sampai ke seluruh dunia
b. Vaksinasi dibatasi dengan program vaksinasi Covid-19 yang
diselenggarakan oleh pemerintah
c. Sanksi denda dibatasi pada sanksi denda bagi orang yang
menolak program vaksinasi Covid-19 yang diselenggarakan
oleh pemerintah
d. HAM dibatasi pada Informed Consent/persetujuan atau
penolakan terhadap tindakan medik yang merupakan suatu
8
prinsip yang memberikan warga negara hak untuk mengatur
nasibnya sendiri.
e. Hukum Islam dibatasi pada pengupayaan pengobatan yang
mana sejalan dengan prinsip-prinsip tujuan hukum islam
yaitu hifz al nafs (menjaga nyawa)
f. Perda Nomor 2/Tahun 2020 dibatasi dengan pasal 30 yang
memuat sanksi terhadap penolak vaksinasi Covid-19
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, penulis dapat
merumuskan beberapa masalah agar mempermudah pembahasan serta
sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan pidana denda bagi penolak vaksinasi
COVID-19 ?
b. Bagaimanakah hukum penolakan vaksinasi COVID-19 dalam
perspektif HAM dan Hukum Islam?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun manfaat penelitian disesuaikan pada perumusan
masalah di atas yang meliputi :
a. Untuk mengetahui pengaturan pidana denda bagi penolak
vaksinasi
b. Untuk mengetahui pertimbangan sanksi denda penolak
vaksinasi menurut HAM dan Hukum Islam
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah :
a. Manfaat Akademis. Memberi sumbangan pemikiran dalam
rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan
khususnya terkait masalah pidana denda bagi penolak vaksinasi.
Selain itu dapat dijadikan perbandingan dalam penyusunan
penelitian selanjutnya dan menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab dan Hukum.
b. Manfaat Praktis. Untuk memberi sumbangan informasi kepada
khalayak umum mengenai penegakan hukum terhadap penolak
vaksinasi di DKI Jakarta.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan
dibahas oleh penulis lainnya, maka penulis me-review hasil-hasil
penelitian yang sudah dihasilkan lebih jauh. Dalam hal ini penulis
menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan variabel judul
skripsi yaitu:
1. Muhammad Qolbi, Tinjauan hukum islam dan hukum positif
terhadap sanksi pidana pencemaran air: studi perda Kota Surabaya
No. 2 Tahun 2004. Program Studi Jinayah Siyasah, UIN Syarif
10
Hidayatullah Jakarta. Dalam karyanya yang ditulis memuat sanksi
pidana pencemaran air di dalam peraturan daerah.
2. Khalil Gibran Syaukani, SANKSI PIDANA KEPADA PEMBERI
SUMBANGAN TERBUKA TERHADAP GELANDANGAN DAN
PENGEMIS (Studi Pemberlakuan Peraturan Daerah Kota Bogor
Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Dan Penanganan
Kesejahteraan Sosial ). Program Studi Perbandingan Mazhab, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. dalam karyanya yang ditulis memuat
sanksi pidana bagi pemberi sumbangan kepada pengemis di dalam
peraturan daerah.
3. Vega Eli Rahmawati, IDENTIFIKASI ALASAN PENOLAKAN
ORANG TUA MELAKUKAN IMUNISASI DPT. Program Studi
Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam karyanya
ia memuat tentang penolakan terhadap imunisasi.
Dengan demikian pembahasan tentang “Sanksi Denda Penolakan
Vaksinasi COVID-19 Perspektif HAM dan Hukum Islam (Analisis
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang Penanggulangan
Coronavirus Disease 2019)”. Dalam hal ini belum ditemukan atau dikaji,
baik berupa buku atau karya ilmiah lain. Oleh karena itu penulis berusaha
mengangkat persoalan di atas dengan melakukan telaah literatur yang
menunjang penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah langkah-langkah strategis yang bersifat
umum dan terencana yang dilakukan guna menjawab persoalan yang
diteliti.
1. Pendekatan Penelitian
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis-
Normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis-
normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
11
meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar
untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.9
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan bersifat
deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan data yang diperoleh dari
hasil pengamatan, wawancara, dokumen dan catatan lapangan,
kemudian dianalisa yang dituangkan kedalam bentuk skripsi
untuk memaparkan permasalahan dengan judul yang dipilih yaitu
Pidana Denda Penolakan Vaksinasi COVID-19 Perspektif HAM
dan Hukum Islam.
3. Sumber data
Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber penelitian yang berupa data primer, data sekunder, dan
data tersier. Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian
ini adalah:
a. Bahan primer merupakan bahan yang diperoleh dari kajian
kepustakaan dengan cara membaca, mencatat, serta
mengkaji bahan-bahan hukum yang terkait dengan
penulisan skripsi ini, Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2
Tahun 2020 Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease
2019.
b. Bahan sekunder merupakan bahan yang dapat menjadi
penunjang bahan primer, seperti buku-buku, jurnal dan
Karya ilmiah lainnya yang berhubungan dangan judul
penelitian yang dilakukan.
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13 -14
12
c. Bahan tersier yang penulis pergunakan dalam hasil
penulisan penelitian ini meliputi: Kamus Hukum dan Media
Internet.10
4. Teknik Pengumpulan Data
Didalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
pengemupulan data, yaitu menggunakan studi pustaka (libary
research). Metode kepustakaan dilakukan dengan cara dengan cara
menelusuri, membaca, dan mencermati pengetahuan yang ada
dalam pustaka dan sumber bacaan yang berkaitan dengan materi
yang dibahas dalam skripsi ini dan berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data menggunakan metode deskriptif, kualitatif dan
komparatif yakni menyajikan dan menggambarkan data-data
sebelumnya yang masih berhubungan juga dikomparasikan antara
hukum positif, HAM, dan hukum Islam.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh
Penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah
penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”.
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h., 141
13
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi atas lima bab, yang masing-masing
bab akan diuraikan dalam beberapa sub bab. Untuk lebih memperjelas dan
mempermudah dalam pembahasan, berikut sistematika penulisan skripsi
ini:
BAB I PENDAHULUAN, Membahas mengenai pendahuluan yang
didalamnya berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan kajian terdahulu, dan sistematika
pembahasan.
BAB II TINJAUAN UMUM, Dalam bab ini akan berisi kerangka konsep
dan kerangka teori. Kerangka konsep akan membahas tentang
Tindak Pidana, Teori Pemidanaan dan Konsep Uqubah.
Selanjutnya kerangka teori menjelaskan teori yang akan
digunakan sebagai alat analisis yang berisi tentang teori
kebebasan, teori hak asasi, teori maslahah mursalah dan teori
penegakan hukum.
BAB III PENOLAKAN VAKSINASI, bab ini akan membahas tentang;
Penolakan vaksinasi dalam doktrin informed consent ,
pemberian sanksi bagi penolak vaksinasi serta mekanisme
sanksi tersebut.
BAB IV ANALISIS, bab ini akan berisikan tentang analisis pidana denda
bagi penolak vaksin dalam perspektif Ham dan hukum islam
serta kewajiban vaksin dengan teori – teori yang sudah
disebutkan.
BAB V PENUTUP, berisikan kesimpulan dari bab sebelumnya serta
rekomendasi bagi penulis selanjutnya agar dapat menjadi bahan
penelitian selanjutnya.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda, yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam
Wetboek van strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi
mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit. Strafbaar feits adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggungjawab. Biasanya tindak pidana disinonimkan
dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni delictu. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “delik adalah
perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang tindak pidana”.11
Menurut Hans Kelsen, Delik adalah suatu kondisi dimana sanksi
diberikan berdasarkan norma hukum yang ada.12
Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran
dalam memberikan ciri tertentu mengenai peristiwa hukum pidana. Tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dikenai hukuman pidana.
Prof. Moeljanto, S.H. merumuskan pidana dengan suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana melanggar larangan tersebut dan
dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana oleh suatu aturan hukum, namun perlu
diingat bahwa larangan ditunjukan kepada perbuatannya. (yaitu suatu
11 Teguh Prastyo, “Hukum Pidana”, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 47. 12 Asshiddiqie Jimly, Ali Safa‟at M, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”, Kompres,
Jakarta, 2012, hlm 46.
15
keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang), sedangkan
ancaman pidana ditunjukan kepada orang yang menimbulkan kejadian
itu.13
Menurut R. Soesilo, delik adalah suatu perbuatan yang melanggar
atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan
kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.14
Kansil juga berpendapat bahwa perbuatan yang dapat dihukum
(tindak pidana atau delik) ialah perbuatan yang melanggar undang-undang
dan oleh karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan
dengan sengaja oleh orang yang dipertanggungjawabkan.15
Menurut Mr. Tresna, peristiwa pidana itu adalah rangkaian
perbuatan manusai yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman.16
Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan itu baru dianggap
sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan Undang-Undang dan
diancam dengan hukuman. Apabila bertentangan dengan hukum (Undang-
Undang), artinya hukum tidak melarangnya dan tidak ada hukumannya
dalam Undang-Undang maka perbuatan itu tidak dianggap sebagai tindak
pidana. Setidaknya ada beberapa istilah yang digunakan oleh para ahli
hukum dalam penerjemah istilah tersebut kedalam bahasa Indonesia yaitu
tindak pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat
dihukum, perbuatan yang boleh dihukum dan perbuatan pidana.17
13 Pipin saripin, “Hukum Pidana Di Indonesia”, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm 51 14 R. Soesilo, “Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik Khusus”,
Politeia, Bogor, 2000, hlm 26 15 C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia”, cet, XI, Balai
Pustaka, Jakarta, 2003, hlm 116 16 Mr. Tresna, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, Eresco, Bandung, 1986,
hlm 55 17 Wirjono prodjodikiro, “Asas-asa Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, Eresco,
Bandung, 1986, hlm 55
16
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dapat itu dapat dibedakan dari dua
sudut pandang, yaitu yang pertama dari sudut teoritis dan yang kedua dari
sudut undang-undang. Sudut teoritis ialah yang berdasarkan pendapat para
ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusan sedangkan sudut undang-
undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan
menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-
undangan yang ada.
Menurut Moeljatno diketahui bahwa unsur-unsur tindak pidana itu
adalah sebagai berikut:
1) Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia
2) perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan pidana
3) perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang
4) harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan
5) perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.
Dan sedangkan menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur
tindak pidana yaitu sebagai berikut:
1) Subjek
2) Kesalahan
3) Bersifat Melawan Hukum dan tindakan
4) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/
perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana
5) Waktu, tempat dan keadaan unsur objektif lainnya.18
Berikut ini adalah unsur tindak pidana dari sudut undang-undang
yaitu:
1) Unsur Tingkah Laku
18 Mukhlis R, “Tindak Pidana di Bidang Pertahanan di Kota Pekan Baru”, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 4 No.1, (November, 2007), h., 204
17
Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat, oleh
karena itu perbuatan atau tingkah laku harus disebutkan dalam
rumusan. Tingkah laku adalah unsur mutlak tindak pidana.
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif
atau positif (handelen) juga dapat disebut perbuatan materiil
(materiil feit) dan tingkah laku pasif atau negatif (natalen). Tingkah
laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku untuk mewujudkannya
atau melakukannya diperlukan wujud gerak atau gerakan-gerakan
dari tubuh atau bagian dari tubuh, sedangkan tingkah laku pasif
adalah berupa tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu
tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya seseorang itu dalam
keadaan tertentu, harus melakukan perbuatan aktif, dan dengan
tidak berbuat demikian seseorang itu disalahkan karena
melaksanakan kewajiban hukumnya.
2) Unsur Sifat Melawan Hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau
terlarangnya dari suatu perbuatan, yang sifatnya bersumber pada
undang-undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber dari
masyarakat (melawan hukum materiil).
3) Unsur Kesalahan
Kesalahan atau schuld adalah unsur mengenai keadaan atau
gambaran batin orang sebelum atau pada saat memulai perbuatan,
karena itu unsur ini selalu melekat pada diri pelaku dan bersifat
subyektif.
4) Unsur Akibat Konstitutif
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada tindak pidana
materiil (materiel delicten) atau tindak pidana dimana akibat
menjadi syarat selesainya tindak pidana; tindak pidana yang
mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana, tindak
pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
5) Unsur Keadaan yang Menyertai
18
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana
yang berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana
perbuatan dilakukan.19
Tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum
pidana itu pada umunya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur Subjektif dan unsur
Objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur
yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si
pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung
didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur Objektif itu
adalah unsur-usnur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan
dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan.
a. Unsur-unsur subjektif
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus dan culpa),
2) Maksud atau voornmen pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP.
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan, pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte road
seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan-
kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP. Perasaan
takut atau vress seperti yang terdapat di dalam rumusan
tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.
b. Unsur-unsur Objektif
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut pasal
19 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana , (Jakarta : Bina Aksara,1985), h., 70
19
415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut
pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai berikut.20
Menurut moeljanto, unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum).21
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum.
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada
pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman
(diancam dengan pidana mengambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu
dalam kenyataan benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana
merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Menurut bunyi batasan yang dimuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur
tindak pidana adalah:
a. Kelakuan manusia
b. Diancam dengan pidana
c. Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Batasan yang dimuat Jonkers (penganut paham nonisme) dapat
dirinci unsurunsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
20 Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 193
21 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 79
20
d. Dipertanggungjawabkan.
Schravendijk dalam batasan yang dimuatnya secara panjang lebar
itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);
e. Dipersalahkan/kesalahan.22
Walaupun rincian dari ketiga rumusan diatas tampak berbeda-beda
namun pada hakekat dan persamaannya, yaitu: tidak memisahkan antara
unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai
perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
3. Macam-Macam Tindak Pidana
Pergolongan tindak pidana didalam KUHP terdiri atas kejahatan
dan pelanggaran. Didalam teorinya, macam-macam tindak pidana adalah
sebagai berikut:
a. Kejahatan dan pelanggaran (menurut sistem KUHP)
Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum adalah
pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,
misalnya perbutan seperti Pembunuhan, melukai orang lain,
mencuri dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran merupakan
westdelict atau delik Undang-Undang adalah perbuatan melanggar
apa yang ditentukan oleh Undang-Undang, misalnya keharusan
memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) bagi pengendara kendaraan
bermotor dijalan umum.23
b. Delik Formil dan Materil
22 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”,PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm 80 23 Teguh Prasetyo, “Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 58
21
1) Delik formil adalah delik yang perumusannya
menitikberatkan kepada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidan oleh Undang-Undang. Perumusan
delik formil tidak memperhatikan dan atau tidak
memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan
sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan
semata-mata pada perbuatannya.
2) Delik materil adalah delik yang perumusannya
menitikberatkan kepada akibat yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh Undang-Undang. Untuk selesainya
tindak pidana yang dilakukan, tetapi sepenuhnya
digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang
tersebut.24
c. Delik aktif (delicta commissionis) dan Delik pasif (delicta
omissionis).
Berdasarkan macam perbuatannya;
1) Delik aktif (delicta commisionis) adalah delik yang terjadi
karena seseorang dengan berbuat aktif melakukan
pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur dalam
Undang-Undang.
2) Delik pasif (delicta ommissionis) adalah delik yang terjadi
karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat).
3) Delik campuran (delicta commisionis perommissionis
commisceo) adalah delik yang berupa pelanggaran suatu
perbuatan yang dilarang. Akan tetapi dapat dilakukan
dengan cara tidak berbuat.25
d. Delik Dolus dan Culpa Delik
24 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2000,
hlm 126 25 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta, 2000,
hlm., 50.
22
Dolus adalah delik yang memuat dengan cara kesengajaan.
Sedangkan delik Culpa adalah delik yang mengatur unsur
kealpaan.26
e. Delik tunggal dan berganda
Delik tunggal adalah delik yang dilakukan dengan perbuatan satu
kali. Sedangkan delik berganda adalah delik dengan melakukan
perbuatan dua atau lebih.
f. Delik aduan dan delik murni
Delik aduan adalah delik yang penuntutannya hanya bisa dilakukan
apabila ada pengaduan dari pihak korban. Delik murni adalah delik
yang menentukannya tidak perlu dilakukan pengaduan dari pihak
korban.27
B. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada
umumnya. Hukum pidana ada untuk memberikan sanksi bagi siapa saja
yang melakukan kejahatan. Berbicara mengenai hukum pidana tidak
terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan pemidanaan. Arti kata pidana
pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan diartikan sebagai
penghukuman. Moeljatno membedakan istilah pidana dan hukuman.
Beliau tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan
bahwa istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah dihukum berasal
dari perkataan word gestraft. Beliau menggunakan istilah yang
inkonvensional, yaitu pidana untuk kata straf dan diancam dengan pidana
untuk kata word gestraft. Hal ini disebabkan apabila kata straf diartikan
hukuman, maka kata straf recht berarti hukum-hukuman. Menurut
Moeljatno, dihukum berarti diterapi hukum, baik hukum perdata maupun
hukum pidana. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum
26 Wirdjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, cet ke 5, hlm 20.
27 Wirdjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Bulan Bintang, Jakarta, 1993, cet ke 5, hlm 22.
23
tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup juga
keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.28
Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana hal
tersebut dikatakan demikian karena pemidanaan merupakan puncak dari
seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah
melakukan tindak pidana. ”A criminal law without sentencing would
morely be a declaratory system pronouncing people guilty without any
formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana tanpa
pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang
pasti terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang
kesalahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan
pidana dan proses pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat
dicela”, maka di sini pemidanaan merupakan ”perwujudan dari celaan”
tersebut.29
Sudarto menyatakan bahwa ”pemidanan” adalah sinomin dengan
perkataan penghukuman. Lebih lanjut Sudarto mengatakan:
”Penghukuman berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan
sebagai penetapan hukum atau memutus beratkan tentang hukumnya.
Menetapkan/memutuskan hukumnya untuk suatu peristiwa tidak hanya
menyangkut bidang khusus hukum pidana saja, akantetapi juga bidang
hukum lainnya (hukum perdata, hukum administrasi dsb.). sehingga
menetapkan hukum dalam hukum pidana, maka istilah tersebut harus
disempitkan artinya. Pengertian penghukuman dalam perkara pidana
kerapkali sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/ penjatuhan
pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini juga mempunyai makna
yang sama dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam
pengertian “sentence conditionaly” atau “voorwaardelijk veroordeeid”
28 Moeljatno, Membangun Hukum Pidana , (Jakarta : Bina Aksara, 1985), h., 40 29 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana . (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006), h., 125
24
yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.
Sedangkan W.A. Bonger menyatakan bahwa pemidanaan adalah sebagai
berikut :30
“Menghukum adalah mengenakan penderitaan. Menghukum sama
artinya dengan “celaan kesusilaan” yang timbul terhadap tindak pidana itu,
yang juga merupakan penderitaan. Hukuman pada hakikatnya merupakan
perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat (dalam hal ini negara) dengan
sadar. Hukuman tidak keluar dari satu atau beberapa orang, tapi harus
suatu kelompok, suatu kolektivitas yang berbuat dengan sadar dan
menurut perhitungan akal. Jadi “unsur pokok” baru hukuman , ialah
“tentangan yang dinyatakan oleh kolektivitas dengan sadar”.
Pemidanaan merupakan suatu tindakan terhadap seseorang yang
melakukan tindak pidana, dapat dibenarkan secara normal bukan karena
pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si
pelaku pidana, korban atau masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga
teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena seseorang telah
berbuat jahat tetapi pidana dijatuhkan agar pelaku kejahatan tidak lagi
berbuat jahat dan orang lain takut untuk melakukan kejahatan. Pemidanaan
itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam
melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seseorang yang melakukan
tindak pidana sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya
kejahatan serupa.
2. Teori-teori Pemidanaan
Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana
berdasarkan aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari
teori-teori sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukumm,
30 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan Oleh R.A. Koesnoen.
(Jakarta : PT. Pembangunan), h., 24-25
25
terdapat beberapa teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku
tindak pidana yaitu :
1) Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)
Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus
dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan
itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan
terhadap orang yang melakukan tindak pidana, oleh karena
kejahatan itu maka menimbulkan penderitaan bagi si korban.
Jadi dalam teori ini dapat disimpulkan sebagai bentuk
pembalasan yang diberikan oleh negara yang bertujuan
menderitakan pelaku tindak pidana akibat perbuatannya, dan
dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang dirugikannya.
Mengenai teori absolute ini Muladi dan Barda Nawawi
Arief menyatakan sebagai berikut: “Pidana merupakan akibat
mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan, jadi dasar pembenaran dari pidana
terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.”31
Bahwasannya teori absolute ini tidak hanya memikirkan
bagaimana pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana
yang tersebut juga sebenarnya memiliki hak untuk di bina atau
dibimbing agar menjadi manusia yang lebih berguna sesuai
dengan harkat dan martabatnya.
2) Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)
Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari
pidana itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada
maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari
manfaat dari pada pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan
nama teori nisbi yang menjadikan dasar penjatuhan hukuman
31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , (Bandung : Alumni, 1984), h., 10
26
pada maksud dan tujuan hukuman sehingga ditemukan manfaat
dari suatu penghukuman.
Untuk bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang
teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief
mengemukakan pendapat yaitu sebagai berikut:
“Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah
melakukan suatu tindak pidana tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini
sering disebut sebagai (Utilitarian Theory) jadi dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini terletak
pada tujuannya, pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum
est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan Ne
Peccetur (supaya orang tidak melakukan kejahatan).”32
Jadi teori relative ini adalah bertujuan agar bisa mencegah
supaya ketertiban dalam masyarakat tidak terganggu. Teori
relatif dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dibagi menjadi
dua sifat prevensi umum dan khusus, Andi Hamzah
menegaskan, bahwa :
“Teori ini dibedakan menjadi prevensi umum dan
prevensi khusus. Prevensi umum, menghendaki agar
orang-orang pada umumnya tidak melakukan tindak
pidana. Sedangkan prevensi khusus, tujuan pemidanaan
ditujukan kepada pribadi pelaku tindak pidana agar tidak
lagi mengulagi perbuatan yang dilakukannya.33
3) Teori Kombinasi (Gabungan)
32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung :
Alumni, 1984), h., 11 33 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi ,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 1986), h., 34.
27
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan
adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan
atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai
dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum. Satochid
Kartanegara menyatakan:
“Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan dari pada hukum.”
Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu :
a. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan
pembalasan tetapi membalas itu tidak boleh melampaui
batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat
b. Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan
pertahanan tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh
lebih berat dari pada suatu penderitaan yang beratnya
sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terhukum.34
Teori pemidanaan pada saat ini telah mengalami
perkembangan yang dapat dikelompokkan menjadi beberap
teori yaitu :
a. Retributif
34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung,
Alumni, 1984, Hal. 212
28
Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum
dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori
ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu
tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan
terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan
jahat. Teori retributif meletigimasi pemidanaan sebagai
sarana pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan
seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang
amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu
pelaku kejahatan harus di balas dengan menjatuhkan
pidana. Ciri khas teori retributif ini terutama dari
pandangan immanuel kant adalah keyakinan mutlak
keniscayaan pidana, sekalipun sebenernya pidana tak
berguna. Pandangan diarahkan pada masa lalu dan buka
ke masa depan dan kesalahannya hanya bisa ditebus
dengan menjalani penderitaan. Nigel walker
mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi
menjadi dua aliran yaitu retributif terbatas yang
berpandangan bahwa pidana tidak harus cocok atau
sepadan dengan kesalahan pelaku, akan tetapi pidana
yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang
sepadan dengan kesalahan pelaku. Kedua, retributif
yang distribusi yang berpandangan bahwa sanksi pidana
dirancang sebagai pembalasan terhadap pelaku
kejahatan, namun beratnya sanksi harus di distribusikan
kepada pelaku yang bersalah.35
b. Detterence (pencegahan)
Teori detterence ini tidak berbeda dengan teori
retributif, detterence merupakan suatu bentuk teori
pemidanaan yang didominasi oleh pandangan
35 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Reflika Aditama ,2011), h., 41.
29
konsekuensialis. Berbeda dengan pandangan retributif
yang memandang penjatuhan sanksi pidana hanya
sebagai pembalasan semata, maka dalam teori
detterence memandang adanya tujuan lain yang lebih
bermanfaat dari pada sekedar pembalasan.
Secara teori detterence dibedakan dalam dua bentuk
sebagai berikut :
(a) General Detterence
Penjatuhan suatu sanksi pidana adalah suatu
proses pemberian derita dan karenanya harus di
hindari. Penjatuhan suatu sanksi pidana dapat
dibenarkan manakala memberikan keuntungan.
Keuntungan yang dimaksud disini ialah
keuntungan yang hanya dapat dicapai melalui
mekanisme penjatuhan sanksi pidana kepada
pelaku dan benar-benar tidak dapat dicapai
dengan cara lain. Atas dasar argumentasi bahwa
sebagian besar jenis kejahatan merupakan hasil
dari perhitungan rasional, maka sanksi pidana
sebagai sarana pencegah kejahatan secara
umum, dalam perumusan dan penjatuhannya hal
ini harus memperhitungkan tujuan akhir yang
akan dicapai.
(b) Special Detterence
Merupakan suatu sarana pencegahan pasca
proses pemidanaan. Penjatuhan hukuman
merupakan mekanisme yang harus di buat agar
pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindak
pidana lagi dikemudian hari. Meskipun dalam
pandangan lain suatu penjatuhan hukuman juga
merupakan sarana pencegahan bagi mereka
30
berpotensi sebagai calon pelaku untuk berpikir
sebelum melakukan suatu tindak pidana, dalam
pandangan ini sanksi pidana memberikan efek
jera penjeraan dan penangkalan sekaligus.
Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan
seseorang yang dijatuhi hukuman dari
kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama.
Sementara tujuan penangkalan merupakan
sarana menakuti-nakuti bagi penjahat-penjahat
potensial dalam masyarakat.36
C. Tinjauan Umum Tentang Hukuman/Uqubah 1. Pengertian Hukuman
Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan
balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut
„uqubah. Lafadz „uqubah menurut bahasa berasal dari kata „aqoba, yang
memiliki sinonim ; „aqobahu bidzanbihi au „ala dzanbihi, yang
mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain ; akhodzahu
bidzanbihi, yang artinya menghukum atas kesalahannya.37
Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan atau
pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan sebagainya yang
dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang38 dan lain
sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa). Secara istilah, dalam
hukum pidana Islam disebutkan, hukuman adalah seperti didefinisikan
oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut ;
36 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung : Reflika Aditama ,2011), h., 75. 37 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet-Ke IVX
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). h. 952 38 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke- 3, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h. 411.
31
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memlihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan syara‟.”39
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas dapat diambil intisari
bahwa hukuman atau uqubah adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau
akibat akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan
sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut
hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. dengan
tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masryarakat,
sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
2. Dasar Hukum
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya
menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari
kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam
berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik
berdasarkan Al-Qur‟an, Hadis Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil
amri atau lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan
hukuman bagi kasus-kasus ta‟zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya
menyelamatkan manusia dari ancaman kejahatan.40
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya : Surat Shad
ayat 26 :
تبع ول بلق الناس ب ي فاحكم الرض ف خلي فة جعلنك ان د يداو يضلك الوى ت سبيل عن ف
ان الل الساب ي وم نسوا با شديد عذاب لم الل سبيل عن يضلون الذين
39 Abdul Qodir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-
„Araby, tt), h. 609. 40 Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, cet ke- 1 (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), h. 47. dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fikih Jinayah, cet ke- 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 60.
32
Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah dimuka bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman)
di antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa
yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S.
Shad, 38:26)
Surat An-Nisa ayat 135 :
ولو علاى ان فسكم او الوا ي ها الذين امن وا كون وا ق وامي بلقسط شهداء لل لدين والق ربي ان يكن يا
تبعوا الواى ان ت عد فل ت اول بما ا لوا وان ت لوغنيا او فقي ر ا فالل با كان الل فان ت عرضوا او ا
اخبي ر ت عملون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu
memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. An-Nisa, 4:135)
Sabda Rasulullah SAW :
Artinya: Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, sesungguhnya
Rasulullah SAW. bersabda “Qadhi-qadhi (hakim-hakim) itu ada
tiga golongan, dua golongan di neraka dan satu golongan di surga.
Seorang hakim yang memutus dengan curang (tidak benar)
sedangkan dia mengetahui kebenaranya, maka dia di neraka. Dan
33
seorang memutus dengan kebodohan dan merusak hak orang lain,
dia juga di neraka. Dan seorang hakim yang memutus dengan jujur
(benar) maka dia di surga” (H.R. At-Turmudzi).
3. Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut
Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad-u wazzajru) dan
kedua, adalah perbaikan serta pengajaran (al-islah wat-tajdzib). Dengan
tujuan tersebut tersebut, pelaku jarimah (terpidana) tidak mengulangi
perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan preventif
bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.41
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari‟at Islam tidak lupa
memberikan perhatian terhadap pelaku jarimah (terpidana). Karena
hukuman (sanksi) juga bertujuan mengusahakan kebaikan dan pengajaran
bagi pelaku jarimah. Selain itu diharapkan juga dengan adanya hukuman
ini dapat membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa
saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan
mengetahui batas-batas hak dan kewajiban masing-masing. Dalam
aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai
berikut:42
Pertama, untuk memelihara masyarakat (prevensi umum).
menyelamatkan masyarakat dari perbuatannya. Pelaku sendiri sebenarnya
bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang banyak,
maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Sebagaimana
ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus
didahulukan daripada kepentingan perseorangan.
Oleh karena itulah, hukum mengorbankan kesenangan
perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Tujuan ini
dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu,
41 Rahmat Hakim, h. 62. 42 Rahmat Hakim, h. 64.
34
pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif bagi
orang lain.
Kedua, sebagai upaya pencegahan atau preventif khusus bagi
pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima
balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Yang harapannya pelaku
menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak
akan mengulangi perbuatan yang sama di masa datang. Dan juga orang
lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga akan
dikenakan kepada peniru.
Ketiga, sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta‟dib dan
tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya
mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik
pula. Dia diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya telah
mengganggu hak orang lain, baik materil ataupun moril dan merupakan
perkosaan terhadap hak orang lain.
Keempat, hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah
(terpidana) akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang dilakukannya.
Karena pada intinya menjadi kepantasan jika suatu perbuatan dibalas
dengan perbuatan lain yang sepadan, baik dibalas dengan dengan
perbuatan baik dan jahat dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil.
Al-Qur‟an memberikan keterangan :
لها ث ؤا سيئة سيئة م وجز
Artinya: Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
serupa,...” (Q.S. Syuraa, 42 : 40)
ومن من عمل صال ا فلن فسو علي ه اساء اف
35
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuk dirinya
dan barangsiapa yang berbuat kejahatan maka akibatnya atas
dirinya...” (Q.S. Fushshilat, 41 : 46)
Yang dalam hukum Islam tujuan dari adanya hukuman adalah
untuk menjaga jiwa setiap manusia, seperti hukuman qishos lahir sebagai
upaya menjaga kehidupan, dengan adanya hukuman pembalasan yang
simbang diharapkan agar menjadi alat pencegahan (preventif) terhadap
orang yang akan melakukan kejahatan. Yang dalam bukunya Prof. Islamil
Muhammad Syah mengatakan, dalam upaya memelihara jiwa, Islam
melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman
qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga dengan demikian
diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sepuluh
kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga
akan mati atau jika yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka
si pelaku juga akan cedera pula.43
4. Syarat Hukuman
Berkaitan dengan pemberian hukuman, hukuman itu sendiri harus
memiliki syarat-syarat sebagai bentuk adanya hukum itu sendiri. Dengan
kata lain agar hukum itu dapat diakui keberadaanya. Adapun diantara
beberapa syarat tersebut diantaranya :44
a. Hukuman harus ada dasarnya dari syara‟.
Hukuman dianggap mempunyai dasar (syari‟iyah) apabila
ia didasarkan kepada sumber-sumber syara‟, seperti Al-Qur‟an,
AsSunnah, Ijma‟, atau undang-undang yang ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta‟zir.
Yang hukuman tersebut disyaratkan tidak bertentangan dengan
ketentuanketentuan syara, karena apabila bertentangan maka
ketentuan hukuman tersebut batal.
43 Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.70
44 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: 2015), H. 143.
36
Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim
tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri
walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan
lebih utama daripada hukuman yang telah ditetapkan.
b. Hukuman harus bersifat pribadi (perorangan)
Hukuman disyaratkan harus bersifat pribadi atau
perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan
kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai
orang lain yang tidak bersalah. Dengan kata lain dapat dikatakan
sebagai pertanggungjawaban pidana.
c. Hukuman harus berlaku umum
Selain kedua syarat yang telah disebutkan diatas, hukuman
juga disyaratkan harus berlaku umum. Ini berarti hukuman harus
berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun
pangkat, jabatan, status dan kedudukannya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa di dalam hukum semua orang statusnya sama.
Di dalam hukum pidana Islam, persamaan yang sempurna
itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had atau qishash,
karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh
syara‟. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud, maka akan
dihukum dengan hukuman sesuai dengan jarimah yang
dilakukannya. Adapun dalam hukuman ta‟zir persamaan yang
dituntut ialah aspek dampak hukuman terhadap pelaku, yaitu
mencegah, mendidik dan memperbaikinya. 45
5. Macam Hukuman
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa
bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima
penggolongan.
45 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 141.
37
a. Hukuman di tinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan
hukuman yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian,
yaitu sebagai berikut;46
1) Hukuman pokok („Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang
ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman
asli, seperti hukuman qishash untuk jarimah pembunuhan,
hukuman dera seratus kali untuk jarimah zina, atau hukuman
potong tangan untuk jarimah pencurian.
2) Hukuman pengganti („Uqubah Badaliayah), yaitu hukuman
yang mengantikan hukuman pokok, apabila hukuman pokok
tidak dapat dilaksanakan dengan alasan yang sah, seperti
hukuman diat (denda) sebagai pengganti hukuman qishash,
atau hukuman ta‟zir sebagai pengganti hukuman had atau
hukuman qishash yang tidak bisa dilaksanakan.
3) Hukuman tambahan („Uqubah Taba‟iyah), yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara
tersendiri, seperti larangan menerima warisan bagi orang yang
membunuh yang akan diwarisinya, sebagai tambahan untuk
hukuman qishash atau diat, atau hukuman pencabutan hak
menjadi saksi bagi orang yang melakukan jarimah qadzaf
(menuduh orang lain berbuat zina), di samping hukuman
pokoknya yaitu jilid (dera) delapan puluh kali.
4) Hukuman pelengkap („Uqubah Takmiliyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat harus ada
keputusan tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang
membedakannya dengan hukuman tambahan.
b. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat
ringannya hukuman, maka hukuman dapat dapat dibagi menjadi dua
bagian;47
46 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 143.
38
1) Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas
tertinggi atau batas terendah. Dalam hukuman jenis ini, hakim
tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi hukuman
tersebut, karena hukuman itu hanya satu macam.
2) Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan
batas terendah. Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan
kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua
batas tersebut, seperti hukuman penjara atau jilid pada jarimah-
jarimah ta‟zir.
c. Hukuman ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan
hukuman tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu
sebagai berikut.
1) Hukuman yang sudah ditentukan („Uqubah Muqaddarah), yaitu
hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan
oleh syara‟ dan hakim berkewajiban untuk memutuskannya
tanpa mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan
hukuman yang lain. Hukuman ini disebut hukuman keharusan
(„Uqubah Lazimah). Dinamakan demikian, karena ulil amri
tidak berhak untuk menggugurkannya atau memaafkannya.
2) Hukuman yang belum ditentukan („Uqubah Ghairu
Muqaddarah), yaitu hukuman yang diserhkan kepada hakim
untuk memilih jenisnya dari sekumpulan hukuman-hukuman
yang ditetapkan oleh syara‟ dan menentukan jumlahnya untuk
kemudian disesuaikan dengan pelaku dan perbuatannya.
Hukuman ini juga disebut hukuman pilihan („Uqubah
Mukhoyyaroh), karena hakim dibolehkan untuk memilih di
antara hukuman-hukuman tersebut.
d. Hukuman ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka
hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut,
47 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 144.
39
1) Hukuman badan („Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman yang
dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman mati, jilid
(dera) dan penjara.
2) Hukuman jiwa („Uqubah Nafsiyah), yaitu hukuman yang
dikenakan kepada jiwa manusia, bukan badannya, seperti
ancaman, peringatan, atau teguran.
3) Hukuman harta („Uqubah Maliyah), yaitu hukuman yang
dikenakan terhadap seseorang, seperti diat, denda, dan
perampasan harta.
e. Hukuman ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan
hukuman, hukuman dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut.
1) Hukuman hudud,
2) Hukuman qishash dan diat,
3) Hukuman kifarat,
4) Hukuman ta‟zir,
40
BAB III
PENOLAKAN VAKSINASI DALAM DOKTRIN INFORMED CONSENT
A. Informed Consent
Pada artikel 3 dari Declaration of Human Right 1948
dicamtumkan bahwa "Everyone has the right to life, liberty and security of
person”. Disini secara tegas dikatakan bahwa semua orang berhak untuk
hidup, kebebasan dan keamanan pribadi. Berdasarkan artikel 3 dari
deklarasi ini maka seseorang juga berhak untuk menolak dilakukannya
suatu tindakan medik demi terpenuhinya makna dari pernyataan
internasional tersebut. Hal ini senada dengan Negara Indonesia yang
berdasarkan atas hukum menurut Konstitusi UUD 1945. Dimana pada
pasal 28-A dikatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Juga pada pasal 28-H
butir 1 dikatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
1. Pengertian
Informed Consent atau persetujuan tindakan adalah persetujuan
seseorang untuk memperbolehkan sesuatu yang terjadi (mis. operasi,
transfusi darah, prosedur invasif). (Potter & Perry, 2005).
Ijin tertulis dari pasien harus tersedia untuk tiap pelaksanaan
operasi dan prosedur-prosedur diagnostik yang besar, seperti
thoracosinthesis, laparatomy, cystoscopy, yang disertai menembus
rongga tubuh. Surat persetujuan berarti bahwa pasien telah memiliki
pengetahuan yang diperlukan (1) sifat prosedur yang akan dilakukan
(2) pilihan dan (3) resiko yang berkaitan dengan tiap pilihan. Surat ijin
yang ditandatangani melindungi pasien dari pelimpahan wewenang
bedah dan melindungi ahli bedah dan rumah sakit terhadap pengaduan
41
bedah yang tidak disertai wewenang atau pasien tidak menyadari
resiko yang menyertai (.Long, 1996).
Informed Consent memungkinkan pasien dan keluarga membuat
keputusan berdasarkan informasi penuh tentang fakta. Persetujuan
harus diperoleh dari seseorang yang dapat memahami penjelasan
supaya mereka memahami benar keputusan yang mereka buat. Perawat
harus selalu mengklarifikasi pemahaman pasien dan keluarga tentang
informasi yang telah diberitahukan kepada mereka untuk memastikan
bahwa persetujuan diberikan berdasarkan informasi yang sebenarnya.
Pasien yang menolak suatu tindakan perawatan atau tindakan medis
lainnya harus diinformasikan tentang apapun konsekuensi bahayanya (
Potter & Perry, 2005).
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana
tindakan diberikan oleh perawat, dokter maupun petugas medis lain
yang diberi wewenang untuk melakukan tindakan medis maupun
perawatan. Pasien berhak bertanya apabila informasi yang diberikan
dirasakan masih belum jelas, pasien berhak meminta pendapat ataupun
penjelasan dari semua rencana tindakan yang akan dilakukan dan
berhak menolak tindakan ataupun yang akan dilakukan terhadap
dirinya (Rano, 2008).
Peran perawat sangat besar dalam hal ini, perawat berperan sebagai
advokat pasien, perawat memperkenalkan bahwa pasien dan dokter
telah membicarakan resiko-resiko, keuntungan-keuntungan dan
alternatif dari prosedur. Perawat profesional memanfaatkan
ketrampilannya guna penyuluhan dan memberi penjelasan kepada
pasien bila terjadi salah pengertian dan mendorong proses membuat
persetujuan dari pasien. Proses harus berlangsung sebelum pasien
mendapat obat sedatif. Pasien mempunyai hak untuk menolak operasi,
42
dan itu adalah wewenang pasien. Perawat mengemban tanggung jawab
bahwa persetujuan merupakan persetujuan informasi. (Long, 1996)
Pada Bab I butir Id Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan
Medik Nomor: HK.00.063.5.1866 Tentang Pedoman Persetujuan
Tindakan Medik (Informed Consent) tanggal 21 April 1999, Pedoman
Persetujuan Tindakan Medik, disebutkan bahwa : Informed Consent
terdiri dari kata Informed yang berarti telah mendapat informasi dan
Consent berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan Informed
Consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent)
atau ijin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa
paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan
kedokteran yang dimaksud.
Informed consent merupakan syarat terjadinya suatu transaksi
terapeutik (penanganan medis), karena transaksi terapeutik itu
bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to
self-determination) dan hak atas informasi (the right to information).
(Wila Chandrawila, 2001). Informed Consent merupakan suatu hal
yang berkaitan erat dengan tindakan medik yang dilakukan oleh dokter
dan diatur dalam suatu Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/
MENKES 1 PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik
dengan pedoman pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.063.5.1866 Tentang
Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) tanggal 21
April 1999.
2. Syarat – Syarat Informed Consent
Tidak semua pasien boleh memberikan pernyataannya, baik setuju
maupun tidak setuju, syarat seorang pasien berhak memberikan
43
pernyataan, adalah : pasien tersebut sudah dewasa : dewasa yang
dimaksudkan disini adalah mereka yang telah dianggap bisa membuat
keputusan secara rasional, yaitu umur lebih dari 21 tahun. Pasien
dalam keadaan sadar : pasien harus dapat diajak komunikasi secara
wajar dan lancar jadi tidak sedang pingsan, coma atau terganggu
kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan ataupun hal-hal
lainnya. Pasien dalam keadaan sehat akal : sehat akal yang dimaksud
adalah dalam keadaan sadar penuh tentang pikirannya atau tidak gila
(Potter & Perry, 2005).
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan
pernyataan persetujuan terhadap rencana tindakan yang akan akan
dilakukan adalah pasien itu sendiri, apabila ia memenuhi tiga kriteria
diatas. Bila dikarena suatu hal maka persetujuan tindakan bisa
diwakilkan oleh wali keluarga atau wali hukumnya, bila pasien itu
anak anak maka orang tuanya, atau paman/ bibinya, atau urutan wali
lainnya yang sah (Rano, 2008).
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana
tindakan bisa saja dilakukan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut
dalam kondisi gawat darurat. Dalam kondisi ini tindakan yang
dilakukan adalah tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien. Semua
tindakan yang dilakukan tidak berarti kebal hukum karena bila
tindakan itu tidak sesuai dengan standar pelayanan atau prosedur yang
berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi maka pasien
ataupun keluarga dapat mengaju-kan tuntutan hukum (Yuwono, 1995).
Menurut Rano (2008), Pelaksanaan Informed consent dianggap
benar bila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1)
Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan
untuk tindakan medis dan perawatan yang dinyatakan secara spesifik,
(2) Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan
44
diberikan tanpa paksaan, (3) Persetujuan atau penolakan tindakan
medis dan perawatan diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat
mental dan yang berhak memberikannya dari segi hukum, (4)
Persetujuan atau penolakan tindakan medis dan perawatan diberikan
setelah diberikan cukup informasi dan penjelasan yang diperlukan. Jadi
intinya Informed consent adalah suatu ijin atau pernyataan setuju dari
pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional sesudah mendapatkan
informasi dari dokter dan atau perawat dan yang sudah dimengertinya.
3. Hal Dimana Informed Consent Tidak Diperlukan
Meskipun persetujuan dari pasien mutlak diperlukan sebelum
dilakukan dan ada sanksinya bila melakukan tindakan medik tanpa
seijin pasien, ada tiga hal dimana persetujuan medik tidak sama sekali
tidak diperlukan. Hal ini diatur dalam 7, pasal 11 dan pasal 14
Permenkes Tentang Informed Consent .
Pasal 7.
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan
operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan
untuk menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2)
dilakukan, dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau
keluarganya.
Pasal 11
Dalam hal pasien tidak sadar atau pingsan serta tidak didampingi
oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan
gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera
untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun.
Pasal 14
45
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan
program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik
tidak diperlukan.
B. Sanksi Penolak Vaksinasi
Sebagai upaya untuk mendistribusikan vaksin dan “memaksa”
rakyat agar mau divaksin maka presiden menetapkan Peraturan Presiden
(Perpres) No. 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease
2019. Dan setiap orang yang sudah terdaftar sebagai sasaran vaksin
COVID-19 wajib mengikuti vaksinasi. Pasal 13A poin (2) disebutkan :
Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID-l9 berdasarkan pendataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mengikuti Vaksinasi COVID- 19.
Dan bagi siapapun yang menolak vaksin akan dikenakan sanksi
seperti penangguhan bantuan sosial, penagguhan layanan administrasi
sampai denda. Dalam pasal 13A poin (4) disebutkan :
Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID- 19 yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID- 19
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif, berupa:
a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial
atau bantuan sosial;
b. penundaan atau penghentian layanan administrasi
pemerintahan; dan/atau
c. denda.
46
Selanjutnya dalam pasal 13B disebutkan bahwa bagi penolak
vaksinasi yang menyebabkan terhalangnya pelaksanakan penanggulangan
COVID-19 akan dikenakan juga sanksi yang lain.
Pasal 13B
Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID-19, yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID-19
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan
menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan
penyebaran COVID-19, selain dikenakan sanksi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13A ayat (a) dapat dikenakan sanksi
sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit
menular.
Sanksi tersebut terangkum dalam Undang – Undang No. 4 Tahun
1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
Pasal 14
(1) Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan
penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1
(satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,-
(satu juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan
terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana
kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda
setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah
kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) adalah pelanggaran.
47
Selain sanksi dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi DKI
Jakarta pun menambah sanksi tersebut untuk lebih menggalakkan program
vaksinasi yang harusnya bisa mempercepat penanggulangan COVID-19
lewat Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020 Tentang
Penanggulangan Corona Virus Disease 2019.
Pasal 30
Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan
pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana
denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Beberapa daerah lain seperti Jawa Tengah, Bali dan Sumatera
Utara memilih kebijakan yang tanpa ancaman sanksi dan lebih memilih
mengajak masyarakat dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya
vaksinasi dan upaya persuasif lainnya.
48
BAB IV
ANALISIS SANKSI DENDA BAGI PENOLAK VAKSINASI COVID-19
A. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif Hak
Asasi Manusia (HAM)
Gelombang penolakan vaksinasi COVID-19 tak terlepas dari
maraknya kabar simpang siur dan berita bohong yang disebarkan secara
massif dan terstruktur dari berbagai kalangan mulai dari para politisi
sampai dengan para tokoh publik. Kabar tersebut membuat masyarakat
takut bahkan enggan untuk divaksin padahal vaksinasi adalah upaya untuk
bisa memerangi dan menghambat penyebaran virus yang penularannya
sangat cepat ini. Gelombang penolakan ini memiliki beberapa alasan
seperti keraguan terhadap keamanan vaksin tersebut, masih merasa sehat
tanpa perlu divaksin dan lainnya bahkan memiliki alasan alasan yang
sangat konspiratif.
Upaya pemerintah dalam mengatasi penolakan terhadap vaksinasi
adalah dengan menerbitkan aturan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.
14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99
Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam
Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019, dalam
Pasal 13A poin (2) disebutkan :
setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID-l9 berdasarkan pendataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mengikuti Vaksinasi COVID- 19.
Kewajiban untuk ikut serta dalam program vaksinasi bagi orang –
orang yang sudah terdaftar sebagai penerima vaksin sudah tercantum
dalam peraturan tersebut sehingga penolakannya akan melanggar aturan
yang sudah dibuat dan setiap pelanggaran pastinya akan ada sanksinya
seperti tercantum dalam pasal 13A poin (4) :
49
Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima
Vaksin COVID- 19 yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID- 19
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan sanksi
administratif, berupa:
a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau
bantuan sosial;
b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan;
dan/atau
c. denda.
Sejalan dengan peraturan tersebut pemerintah daerah DKI Jakarta
pun menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta No. 2 Tahun 2020
Tentang Penanggulangan Coronavirus Disease 2019 yang dalam pasal 30
disebutkan :
Pasal 30
Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan
pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana
denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Tambahan sanksi tersebut bertujuan untuk lebih menekan orang –
orang yang menolak vaksinasi dengan berbagai alasan terutama di wilayah
DKI Jakarta yang tingkat penyebaran dan penularannya merupakan yang
paling tinggi di antara daerah lain yang ada di Indonesia.
Istilah Informed Consent belum ada pembakuan dalam dalam
Bahasa Indonesia. Kadang Informed Consent diterjemahkan sebagai
persetujuan atas dasar penjelasan, persetujuan sesudah penjelasan,
persetujuan tindakan medis, atau persetujuan sesudah diskusi informasi
medis. Definisi Informed Consent dalam Permenkes No. 585 tahun 1989
adalah “persetujuan atau izin yang diberikan oleh pasien dan keluarganya
untuk melakukan tindakan medik atas dirinya”. Namun ada juga yang
berpendapat bahwa sebaiknya Informed Consent tidak hanya berupa
50
persetujuan tapi juga berupa penolakan atau penghentian terhadap
tindakan medis. Oleh karena itu, paham ini lebih suka menyebut Informed
Choice ketimbang Informed Consent. 48
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008
tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan
3 yaitu :
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedoketran gigi yang dilakukan
terhadap pasien.
2. Keluarga tedekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung,
anak kandung , saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi selanjutnya disebut
tindakan kedokteran adalah suatu tidakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitative yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan infasif adalah tindakan medis yang lansung yang
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah
tindakan medis yang berdasarkan tingkat probilitas tertentu, dapat
mengakibatkan kematian dan kecacatan
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi
dan dokter gigi sepesialis lulusan kedokteran atau kedokteran gigi
baik didalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah
republik indonesia dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien kompetan adalah pasien dewasa atau bukan anak-anak
menurut peraturan perundang-undangan atau telah pernah
48 Rukmini, Informed Consent Imunisasi dan Kebijakan di Indonesia, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol 11 No. 2, 2008, h. 201
51
menikah,tidak kesadaran fisiknya, maupun berkomunukasi secara
wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (reterdasi)
mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuat keputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan
2. Persetujuan yang sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dapat
diberikan secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberika setelah
pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya
tindakan kedokteran yang dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedoketran yang mengandung risiko tinggi harus
memproleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujaun.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) satu dapat diberikan
persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir
khusus yang dibuat.
4. Persetujuan yang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diberikan dalam ucapan setuju atau bentuk gerakan mengangguk
kepala yang dapat diartikan sebagai ungkapan setuju.
52
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan
persetujuan tertulis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan akan pengobatan yang telah maupun
yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pasal 56 ayat (1)
Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya
setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan
tersebut secara lengkap.
Pasal 65 ayat (2)
Pengambilan organ atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan
mendapat persetujuan pendonor dan atau ahli waris atau
keluarganya.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Pasal 32 poin J
53
Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara
tindakan medis, tujuan tindakan medis,alternatif tindakan, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan
Pasal 32 poin K
Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang
dideritanya.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
585/Menkes/Per/IX/ 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis pada Bab
1, huruf (a)
“persetujuan tindakan medis/informed consent adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan pada pasien
tersebut”
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585 yang
ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yanmed 21 April 1999 yangmemiliki 8
bab dan 16 pasal yaitu :
Bab (I) Ketentuan umum pasal (1)
Bab (II) Persetujuan pasal (2 dan 3)
Bab (III) Informsi pasal (4,5,6, dan 7 )
Bab (IV) Yang berhak memberikan persetujuan pasal (8,9,10, dan 11)
Bab (V) Tanggu Jawab pasal (12)
Bab (VI) Sanksi pasal (13)
Bab (VII) Ketentuan lainnya pasal (14)
Bab (VIII) Ketentuan Penutup pasal (15 dan 16)
54
Hal-hal yang diatur dalam pelaksanaan informed consent berisi
sebagai berikut :
1. Persetujuan atau Penolakan Tindakan Medis diberikan untuk
tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik (the consent must
be for what will be actually performed). Dan persetujuan atau
Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan yang memang berhak memberikan-nya dari segi
hukum.
2. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain
yang tersedia dan serta risikonya masing-masing (alternative
medical prosedure and risk ). Dan informasi dan penjelasan tentang
prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dilakukan
(prognosis with and without medical produce)
3. Yang berhak memberikan persetujuan ialah mereka yang dikatakan
meiliki sehat mental dan dalam keadaan sadar. Diman kurang lebih
berumur 21 dalam status telah menikah. Tetapi dibawah
pengampu. Maka persetujuan diberikan oleh wali pengampu,bagi
mereka yamg berada dibawah umur 21 dan belum menikah
diberikan oleh orang tua atau wali atau keluarga terdekat.
4. Bila terdapat dokter yang melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan,dilaksanakan sanksi administrasi berupa pencabutan
surat izin praktik.
5. Pemberian informasi ini diberikan oleh dokter yang bersangkutan
dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan
sepengatahuan dan tanggung jawab dari dokter yang bersangkutan,
dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi,untuk
tindakan operasi harus dokter memberikan informasi ,untuk bukan
tindakan operasi sebaiknya dokter yang bersangkutan tetapi dapat
juga oleh perawat.
55
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1419/MENKES/PER/X/2005 Tentang Penyelenggaraan Dokter dan
Dokter Gigi ini memiliki Pasal 34 Bagian. Diantara 34 pasal ini salah satu
yang mengenai informed consent yakni pasal 17. Adapun isi dari pasal 17
seperti dibawah ini :
Pasal 17
1. Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan
penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan.
2. Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus
mendapat persetujuan dari pasien.
3. Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-
undangan.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun1983
tentang Kode Etik Kedokteran Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 34 Tahun 1983
di dalamnya terkandung bebrapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
dokter di Indonesia. Kewajiban tersesbut meliputi :
1. Kewajiban umum
2. Kewajiban terhadap penderita
3. Kewajiban terhadap teman sejawatnya
4. Kewajiban diri sendiri.
Adapun tindakan medik yang dimaksud dalam Permenkes adalah
“tindakan diagnostik atau terapeutik” (pasal 1 ayat b), sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa imunisasi/vaksinasi tidak memerlukan persetujuan
tindakan medik. Informed Consent atau persetujuan tindakan medis tidak
56
diperlukan pada program imunisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
untuk kepentingan masyarakat banyak seperti di posyandu dan puskesmas.
Di lian pihak, berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 45 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Persetujuan
diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.
Di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 39 menyatakan bahwa
praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara dokter
dengan pasien. Kata “kesepakatan” menunjukkan bahwa setiap tindakan
kedokteran yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan si pasien.
Dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menyatakan bahwa
suatu tindakan kedokteran dilakukan terhadap pasien untuk tujuan
preventif, diagnostic, terapeutik, dan rehabilitatif. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa imunisasi yang termasuk tindakan preventif (pencegahan
penyakit) dalam pelaksanaannya membutuhkan informed consent.
Adapun hak pasien dalam praktik kedokteran yaitu mendapatkan
penjelasan lengkap tentang tindakan medis (hak informasi), meminta
pendapat dokter lain (hak atas pendapat kedua), mendapatkan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medis, memberikan persetujuan, menolak
tindakan medis dan mendapatkan isi rekam medis (hak atas rahasia
kedokteran). Pemenuhan hak-hak pasien juga selaras dengan pasal 4 UU
No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UU No. 29 tahun
2004).
Informed Consent pada program imunisasi/vaksinasi adalah salah
satu kewajiban dari petugas kesehatan yang merupakan wujud dari
penghormatan hak pasien. Namun merunut pada pasal 14 Permenkes No.
290 Tahun 2008 bahwa persetujuan medik untuk program pemerintah
tidak diberlakukan yang artinya informed consent tidak berlaku pada
vaksinasi covid-19.
57
Pasal 14
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan
program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk
kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik
tidak diperlukan.
Dengan begitu, pemberian sanksi bagi penolak vaksinasi COVID-
19 merupakan suatu hal yang tepat karena sejalan dengan hak asasi
manusia dan etika kedokteran. Karena walaupun persetujuan pasien
diperlukan dalam segala tindakan medis termasuk vaksinasi. Juga, karena
persetujuan dan penolakan adalah hak dari setiap orang dan itulah fungsi
informed consent dalam kedokteran, akan tetapi pada program pemerintah
persetujuan medic tidak diperlukan
B. Analisis Sanksi Denda Penolak Vaksinasi COVID-19 Perspektif
Hukum Islam
Agama Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berikhtiar di
setiap kesempatan dan melarang umatnya untuk berpasrah diri tanpa
berusaha terebih dahulu. Ikhtiar adalah bagian dari proses manusia untuk
bisa mendapatkan hasil yang diinginkan dan tentu saja untuk mendapat
ridho dari Allah SWT. Bahkan ketika sakit pun berikhtiar dan berusaha
masih tetap dianjurkan, yaitu berusaha untuk mencapai kesembuhan.
Seperti dalam hadis Nabi SAW :
49إن الله تعال أن زل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ول تداووا بلرام
Artinya: “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obatnya
dan menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka
49 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beriut: Dar al Fikr, jilid 4), h., 7.
58
berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang
haram.” (HR. Abu Dawud dari Abu Darda)
Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa umat islam diperintahkan
untuk berusaha mencari kesembuhan ketika sedang sakit dengan cara
berobat. Dan Allah menjamin bahwasanya setiap penyakit yang datang
pada manusia dari Allah SWT. pasti akan ada pula obatnya. Allah juga
memerintahkan manusia untuk mencari obat yang halal digunakan secara
syariat dan melarang keras berobat dengan sesuatu yang diharamkan oleh
syariat. Dalam hadis lain juga dikatakan :
رب وا عن أنس قال: قدم أنس من عكل أو عري نة فاجت ووا المدي نة، فأمرىم النب صلى الله عليه وسلم ، وأن ي بلقا
من أب والا وألبانا
Dari Anas ra. berkata: Sekelompok orang datang dari Suku „Uk l
atau „Urainah, lalu mereka merasa tidak nyaman di Madinah
(hingga sakit). Kemudian Nabi Muhammad saw. menyuruh mereka
untuk mendatangi unta dan meminum air kencing dan susunya
Hadis ini dipahami sebagai anjuran untuk berusaha
menyembuhkan diri ketika sedang terjangkit dengan suatu penyakit
dengan mencari obatnya dan meminumnya. Berobat mencari jalan
kesembuhan merupakan suatu yang sangat baik dan sangat dianjurkan
dalam agama. Nabi juga menganjurkan untuk selalu menjaga kesehatan
dan menjaga kondisi tubuh agar terhindar dari berbagai macam penyakit,
seperti dalam hadis :
من تصبح بسبع ترات عجوة ، ل يضره ذلك الي وم سم ول سحر
Artinya : “Barangsiapa mengkonsumsi tujuh butir kurma Ajwah
59
pada pagi hari, maka pada hari itu ia tidak akan terkena racun
maupun sihir”
Upaya mencari kesembuhan ini juga selaras dengan maqashid
syariah. Maqashid syariah secara umum berarti maksud umum
diturunkannya syariah oleh sang pembuat syariah. Tujuan hakiki hukum
islam adalah kemaslahatan50, dan kemaslahatan tidak akan tercapai jika
lima unsur maqashid syariah tidak diwujudkan dan dipelihara.
Unsur – unsur maqashid syariah yaitu ;
1. Hifz ad-Din, hak beragama yaitu hak untuk beribadah dan
menjalankan ajaran ajaran agama. Hak ini bukan hanya terbatas
pada menjaga kesucian agama namun juga penyedian sarana
ibadah dan relasi yang baik antar para pemeluk agama, baik
yang seagama maupun yang berbeda agama.
2. Hifz an-Nafs, hak hidup yaitu hak untuk diarahkan agar
manusia bisa mendapat penghidupan yang baik, salah satunya
hidup yang terhindar dari berbagai macam penyakit.
3. Hifz al-Aql, hak mendapat pendidikan yaitu pemenuhan hak
intelektual bagi setiap individu yang ada di masyarakat.
4. Hifz al-Mal, hak pemeliharan harta dan mendapatkan harta
yaitu hak untuk mendapatkan penjagaan harta dari kejahatan
yang bisa menimbulkan hilang hartanya.
5. Hifz al-Irdl, hak atas kehormatan manusia yaitu upaya untuk
menjaga kehormatan diri dan keluarga dari segala tuduhan
fitnah orang lain.
Salah satu dari maqashid syariah adalah hifz an-nafs yaitu hak
hidup dan penghidupan yang lebih baik dimana upaya pengobatan dan
mendapat pengobatan ketika sedang sakit merupakan hak manusia atas
50 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Mesir : Dar al-Fikr al-Arabi, 1958), h.366
60
kesehatannya yang wajib dipenuhi dan wajib dijalani baik oleh dirinya
sendiri maupun oleh pemerintah.
Di tengah maraknya penyebaran COVID-19 yang semakin tak
terbendung pemerintah akhirnya mengadakan program vaksinasi yang
akan diberikan kepada masyarakat luas secara berkala dengan sasaran
yang sudah ditetapkan dan sudah didata untuk kesesuaian bisa menerima
vaksin atau tidaknya. Program vaksinasi ini dicanangkan bisa menangkal
laju penyebaran COVID-19 dan bisa membentuk kekebalan kelompok
(Herd Immunity) sehingga penyebaran COVID-19 bisa terhenti dan akan
muncul masyarakat yang sehat kembali.
Situasi terdampak wabah ataupun penyakit menular bukanlah
situasi yang baru terjadi, situasi tersebut bahkan pernah terjadi pada masa
Nabi SAW. Bisa dilihat dari sumber - sumber dan literatur klasik yang
mengkisahkan Nabi berjuang menghadapi pandemi. Beberapa upaya Nabi
Muhammad SAW dalam menghadapi dan menangkal wabah/pandemi :
1. Menghindar
Dalam riwayat al Bukhari, Rasulullah bersabda :
فر من المجذوم كما تفر من الأسد
“Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta),
sebagaimana engkau lari dari singa yang buas” (HR al-Bukhari).
Nabi menyarankan umatnya untuk membentengi diri dari penyakit
yang dapat menular dengan cepat dengan menghindari kontak langsung
dengan orang – orang yang terjangkit. Saran ini diterapkan lewat anjuran
physical distancing dan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) oleh
pemerintah demi menahan laju penyebaran COVID-19
61
2. Tenggang Rasa
Dalam riwayat al Bukari, Rasulullah bersabda :
ا تديموا إل المجذومي النظر
“Jangan lama-lama kamu memandang orang-orang yang
menderita penyakit lepra”(HR. al Bukhari)
Anjuran ini diperuntukkan agar tidak memandang penyakit yang
diderita oleh seseorang sebagai sebuah aib yang akhirnya akan menyakiti
hati orang yang menderita penyakit tersebut. Hal ini kini diterapkan dalam
bentuk isolasi mandiri yang bertujuan agar penderita COVID-19 bisa
fokus menyembuhkan diri di rumahnya dan mencegah orang lain tertular
juga menghindari pandangan – pandangan negatif jika si penderita
berkeliaran di luar rumah.
3. Tawakal
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah bersabda :
ل عدوى ول طي رة، ول ىامة ول صفر
“Tidak ada penyakit menular, tidak ada dampak dari thiyarah
(anggapan sial), tidak ada kesialan karena burung hammah,
tidak ada kesialan para bulan Shafar” (HR. Muslim)
Hadis ini menyatakan bahwa penyakit menular itu tidak ada akan
tetapi Allah lah yang menularkan penyakit tersebut. Oleh karena itu
tawakal sangat diperlukan dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kesimpulan “ketiadaan penularan”
merupakan ketentuan yang bersifat umum, namun perintah untuk
menjauhi penyakit tetap disarankan karena dalam rangka Syadzudz
Dzarai, yakni menutup kemungkinan munculnya bahaya dengan tetap
percaya kepada takdir Allah SWT.
62
4. Bersabar
اء، فجعلو الل رحة للمؤمني، ف ليس من عب عثو الل على من ي د ي قع الطاعون، أنو كان عذاب ي ب
يمكث ف ب لده صابر ا، ي علم أنو لن يصيبو إل ما كتب الل لو، إل كا هيد ف ن لو مثل أجر ال
“(tho„un) itu azab yang Allah timpakan pada siapa saja yang
dikehendaki-Nya, dan menjadikannya rahmat bagi mukminin.
Tidaklah seorang hamba yang di situ terdapat wabah penyakit,
tetap berada di daerah tersebut dalam keadaan bersabar, meyakini
bahwa tidak ada musibah kecuali atas takdir yang Allah tetapkan,
kecuali ia mendapatkan pahala seperti orang yang mati syahid”
(HR. al Bukhari)
Sabar dan tidak cepat panik adalah saran yang diberikan Nabi
ketika menghadapi pandemi, bahkan orang yang bersabar ketika
menghadapi pandemi dan tetap meyakini ketentuan Allah jika pun ia
ditakdirkan untuk meninggal karena penyakit tersebut maka ia mati dalam
keadaan syahid.
5. Optimistis
إن الل ل ي نزل داء إل أن زل لو شفاء
“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan satu penyakit kecuali
diturunkan pula baginya obat.” (HR. al Bukhari)
Pandemi COVID-19 adalah cobaan, ujian dan rahmat dari Allah
SWT. Agar manusia tetap mengingat kebesaran Allah. Dan tidaklah Allah
menurunkan suatu penyakit kecuali disertai dengan penawarnya, maka
ketika obatnya atau pencegahnya sudah ada disegerakan berobat untuk
mencapai kesembuhan.
63
Namun, seperti dalam hadis yang penulis sebutkan bahwa Allah
SWT. Mewajibkan muslim untuk berobat dengan suatu yang halal dan
melarang berobat dengan sesuatu yang diharamkan. Juga disebutkan dalam
Firman Allah SWT :
يطن انو تبعوا خطوت ال ي ها الناس كلوا ما ف الرض حلل طيب ا ول ت عدو لكم يا
بي م
Artinya “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 168
Oleh karena itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No.
2 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 Dari Sinovac Life
Sciences Co. Ltd. China Dan Pt. Bio Farma (Persero) memutuskan bahwa:
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Vaksin Covid-19 adalah
vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd.
China dan PT. Bio Farma (Persero) dengan nama produk yang didaftarkan
sebanyak tiga nama, yaitu
(1) CoronaVac,
(2) Vaksin Covid-19,
(3) Vac2Bio.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China
dan PT. Bio Farma (Persero) hukumnya suci dan halal.
64
2. Vaksin Covid-19 produksi Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China
dan PT. Bio Farma (Persero) sebagaimana angka 1 boleh
digunakan untuk umat Islam sepanjang terjamin keamanannya
menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Lalu selanjutnya dalam fatwa MUI No. 14 Tahun 2021 Tentang
Hukum Penggunaan Vaksin COVID-19 Produk AstraZeneca memutuskan
bahwa :
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
Vaksin COVID-19 Produk AstraZeneca adalah vaksin COVID-19
yang diproduksi oleh AstraZeneca di SK Bioscience Co.Ltd., Andong,
Korea Selatan.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Vaksin COVID-19 produk AstraZeneca hukumnya haram karena
dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang
berasal dari babi.
2. Penggunaan Vaksin COVID-19 produk AstraZeneca, pada saat ini,
dibolehkan (mubah) karena :
a. Ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajar syar‟iyyah)
yang menduduki kondisi darurat syar‟iy (dlarurah
syar‟iyyah);
b. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya
tentang adanya bahaya (resiko fatal) jika tidak segera
dilakukan vaksinasi COVID-19;
c. Ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak
mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 guna
ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity);
65
d. Ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah;
dan
e. Pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis
vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang
tersedia
3. Kebolehan penggunaan vaksin COVID-19 produk AstraZeneca
sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku jika alasan
sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, b, c, d dan/atau e hilang.
4. Pemerintah wajib terus mengikhtiarkan ketersediaan vaksin
COVID-19 yang halal dan suci.
5. Umat islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi COVID-
19 yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan
kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah COVID-19.
Dalam fatwa tersebut, MUI menyatakan kehalalan pada vaksin
sinovac dan menyatakan haram pada vaksin astrazeneca, akan tetapi masih
membolehkan penggunaannya karena ketersediaan vaksin yang memang
tidak memadai dan keadaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang
darurat secara syariat. Sebagai catatan jika poin kedaruratannya hilang
maka hukum kebolehan memakainya pun ikut hilang dan status hukum
vaksin astrazeneca kembali kepada semula yaitu haram.
Umat islam pun diwajibkan untuk berpartisipasi dalam program
vaksinasi untuk bisa mencegah bertambah parahnya wabah.
Mengupayakan kesembuhan agar bisa terhindar dari wabah/pandemi
dihukumi wajib pula sebagaimana dikatakan oleh imam al Qasthalani :
“(Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika
kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu
sakit) (al-Nisaa:102). Di dalam ayat ini adanya keringanan untuk
meletakkan senjata saat para pasukan terbebani dengan bawaan,
seperti dalam keadaan basah kuyup kehujanan atau karena sakit.
66
Meskipun demikian mereka tetap harus waspada terhadap musuh.
Ayat tersebut juga menunjukkan wajibnya menjaga kewaspadaan
dari segala bahaya yang akan datang. Dari sinilah difahami bahwa
berobat dengan obat dan menjaga diri dari wabah penyakit serta
menghindari dari duduk-duduk di bawah dinding yang miring
adalah wajib.”51
Dalam hal ini pun sejalan dengan qaidah ushul fiqih :
يء امر بوسائلو المر بل
“Perintah terhadap sesuatu juga berarti perintah untuk
menjalankan sarananya”
Dipahami dari kaidah bahwa jika menjaga diri wabah,
pengupayaan untuk mencari obat dan menjaga kesehatan merupakan suatu
kewajiban maka melakukan upaya pengobatan, upaya pencegahan
termasuk vaksinasi hukumnya sangat dianjurkan.
Juga disebutkan dalam kaidah lain bahwa perintah terhadap sesuatu
adalah larangan bagi kebalikannya
لمر بيء ني عن ضدها
“Perintah terhadap sesuatu adalah larangan untuk melakukan
sebaliknya”
Dan jika berobat dan melakukan pengobatan terhadap penyakit
yang mewabah adalah suatu yang sangat dianjurkan maka melakukan
sebaliknya yaitu menolak pengobatan dan upaya pengobatan lainnya
adalah suatu yang sangat tidak dianjurkan dalam islam, dan upaya untuk
51Syihabuddin Ahmad Al Qasthalani, Irsyadu Sari Syarah Shahih Bukhari , (Lebanon :
Darul Kutub Ilmiah, 1950, jilid 7), h., 96
67
memberi sanksi bagi penolak pengobatan tersebut adalah hal yang sangat
tepat karena berkaitan dengan nyawa orang banyak dan kemaslahatan
umum.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Pengaturan sanksi bagi penolak vaksinasi covid-19 menurut;
a. Perda DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 : Denda 5 juta rupiah
b. Perpres No. 14 Tahun 2021 : penundaan bantuan sosial, penundaan
layanan administrasi pemerintahan dan denda.
2. Penolakan vaksinasi menurut hak asasi manusia (HAM) terangkum dalam
konsep informed consent, karena informed consent merupakan Hak untuk
menentukan nasib sendiri. Vaksinasi termasuk dalam tindakan medis
karena termasuk tindakan preventif, oleh karenanya termasuk dalam ranah
informed consent dan pelaksanaannya membutuhkan persetujuan dari
orang yang akan divaksin seperti tertera pada pasal 45 ayat (1) UU Praktik
Kedokteran No. 29 tahun 2004. Dan sanksi kepada penolak vaksin sudah
tepat karena pasien tidak berhak memberikan penolakan atas tindakan
medis terhadap dirinya karena persetujuan medic tidak berlaku pada
program pemerintah dan vaksinasi covid-19 merupakan program
pemerintah. Penolakan vaksinasi dalam hukum islam pun sangat tidak
dianjurkan karena Nabi sangat menganjurkan berobat dan upaya
pengobatan lainnya. Bahkan, al-Qasthalani menyatakan bahwa
menghindari diri dari wabah penyakit adalah wajib hukumnya dan
vaksinasi adalah upaya untuk bisa memberantas wabah tersebut, maka
sanksi terhadap penolak vaksin sudah sangat tepat.
69
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis dapat
memberikan saran sebagai berikut:
1. Kepada Masyarakat
Masyarakat sangat berpengaruh dalam pelaksanaan penegakan
hukum terhadap penanganan penolakan vaksinasi secara maksimal.
Masyarakat harus lebih selektif dalam memilih dan memilah informasi,
karena gelombang penolakan vaksinasi muncul akibat disinformasi yang
beredar di media massa yang disampaikan oleh tokoh publik, politisi yang
berbeda kubu dengan pemerintah dan beberapa orang yang tidak kompeten
dalam bidang kesehatan yang berbicara mengenai hal – hal yang
dikhawatirkan dari program vaksinasi ini, entah itu dari segi efektifitasnya
dalam menangkal COVID-19 ini maupun dari segi efek samping yang
timbul karenanya. Masyarakat harus selalu percaya dan paling minimal
mempertimbangkan segala saran pemerintah terkait penanggulangan virus
ini agar penyebaran virus yang penularannya cepat ini bisa segera teratasi
dan program vaksinasi ini akhirnya bisa membentuk kekebalan kelompok
yang membuat masyarakat terbebas sepenuhnya dari COVID-19
2. Kepada Mahasiswa
Penulis berusaha menyajikan penelitian ini dengan bahasa yang
mudah dipahami, ringkas dan jelas. Namun masih banyak hal-hal yang
perlu diperbaiki. Adapun perbaikan dari penelitian sanksi denda penolakan
vaksinasi covid-19, diantaranya:
- Menjelaskan lebih detail dari segi fiqih jinayahnya
- Mendalami fatwa MUI yang membolehkan vaksin yang
mana terkandung zat yang haram
- Menjelaskan penyelesaian sengketa jika perda
berbenturan dengan undang – undang di atasnya.
70
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Kesehatan, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Rev-5, 2020
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Pilar Demokrasi,
Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta: Konstitusi Perss https://news.detik.com/berita/d-4966096/yusril-landasan-hukum-psbb-serba-
tanggung-karena-tanpa-sanksi-pidana.. Peraturan Mentri Kesehatan No. 84 Tahun 2020 Pasal 1 Kementrian Kesehatan, Buku Saku InfoVaksin, 2020 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210113074635-32-592938/ribka-
tjiptaning-orang-pertama-menolak-vaksin-di-indonesia Monib, Mohammad dan Islah Bahrawi. Islam dan Hak Asasi Manusia (Jakarta:
Gramedia) Nasution, Adnan Buyung. Arus Pemikiran Konstitusionalisme: Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi (JAKARTA: Kata Hasta Pustaka, 2007) Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beriut: Dar al Fikr) Al-Hakim, Al Mustadrak Ala As-Sahihain, (Beirut: Dar Al-Fikr) Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001) Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005) Moch Halim Sukur, Penanganan Pelayanan Kesehatan di Masa Pandemi Covid 19
Dalam Perspektif Hukum Kesehatan, (Jurnal Inicio logis Vol. 1 No.1 2020) Diah Handayani dkk, Penyakit Virus Corona 2019, (Jurnal Respilogi Indonesia
Vol. 40 No. 2 2020) Zilhadia, Kejadian Luar Biasa Covid 19, Sebuah Tinjauan Literatur Secara
Singkat, (Pharmaceutical and Biomedical Sciences Journal Vol.2 No.1 2020)
Matdio Siahaan, Dampak Pandemi Covid 19 Pada Dunia Pendidikan, (Jurnal
Kajian Ilmiah Vol. 1 No.1 2020)
71
Fakhrur Rozi Yamali dan Ririn Noviyanti, Dampak Covid 19 Terhadap Ekonomi Indonesia, (Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol.4 No.2 2020)
Ika Puspita Dewi, Metode Pemberian dan Sistem Penghantaran Peningkat
Imogenesitas Vaksin DNA (Vol.7 No.2 2017) Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1985) Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006)
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi. Terjemahan Oleh R.A. Koesnoen.
(PT. Pembangunan, Jakarta) Mukhlis R, Tindak Pidana di Bidang Pertahanan di Kota Pekan Baru, (Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 4 No.1) Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2015) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya
Bakti, 2003) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung,
Alumni, 1984) Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, (Pradnya Paramita, 1986) Marlina, Hukum Penitensier, (Reflika Aditama , Bandung, 2011) Paket Advokasi Vaksinasi COVID-19 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210113074635-32-592938/ribka-
tjiptaning-orang-pertama-menolak-vaksin-di-indonesia https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3646967/menolak-vaksinasi-corona-
ini-alasan-psikologisnya https://tirto.id/kriteria-orang-yang-tidak-boleh-dapat-vaksin-covid-19-menurut-
papdi-f9ay Jakarta.go.id Rukmini, Informed Consent Imunisasi dan Kebijakan di Indonesia, (Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, Vol 11 No. 2, 2008) Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Mesir : Dar al-Fikr al-Arabi, 1958),
72
Syihabuddin Ahmad Al Qasthalani, Irsyadu Sari Syarah Shahih Bukhari,
(Lebanon : Darul Kutub Ilmiah, 1950) Teguh Prastyo, “Hukum Pidana”, (PT Grafindo Persada, Jakarta, 2012) Asshiddiqie Jimly, Ali Safa‟at M, “Teori Hans Kelsen Tentang Hukum”,
(Kompres, Jakarta, 2012) Pipin saripin, “Hukum Pidana Di Indonesia”, (Pustaka Setia, Bandung, 2000) R. Soesilo, “Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik
Khusus”, (Politeia, Bogor, 2000) C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum Indonesia”, cet, XI,
(Balai Pustaka, Jakarta) Mr. Tresna, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, (Eresco, Bandung,
1986) Wirjono prodjodikiro, “Asas-asa Hukum Pidana di Indonesia”, cet, V, (Eresco,
Bandung, 1986)
Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, (PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997)
Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana”, (PT Raja Grapindo Persada, Jakarta,
2007)
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet-Ke IVX
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke- 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Abdul Qodir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Juz 1, (Beirut: Dar Al-
Kitab Al- „Araby, tt) Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, cet ke- 1 (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), h. 47. dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam; Fikih Jinayah, cet ke- 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
73
Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992)
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: 2015) Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (fikih Jinayah),
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006)