SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Warisan...

1
AIR bagi masyarakat Gorontalo memiliki banyak fungsi. Tidak saja untuk membersihkan tubuh dan lain-lain yang bersifat sik, tapi bisa juga dimanfaatkan un- tuk mengusir kesedihan. Di sana, kehilangan anggota keluarga akibat meninggal dunia bisa menimbulkan ke- sedihan mendalam. Masyara- kat Gorontalo menghadapi hal itu biasanya dengan segera menyelenggarakan tradisi mutimualo. Prosesi yang dilakukan tepat tujuh hari setelah mening- galnya anggota keluarga itu mengharuskan seluruh ang- gota keluarga yang ditinggal- kan mandi bersama. Tidak sembarang mandi, acara itu harus dilakukan dan dipimpin pemuka adat. Satu demi satu anggota keluarga disiram air oleh sang pemuka adat. Dengan mendapat siram- an air tadi, keluarga besar percaya kesedihan akibat ke- matian anggota keluarga bisa hilang seketika. Ada kepercayaan, kesedihan tadi larut dalam air yang disi- ramkan saat mandi. Selain itu, selesai mandi, badan terasa se- gar sehingga pikiran segar dan kesedihan pun terhapuskan. Meski sekadar mandi, ada beberapa aturan yang harus dit- erapkan saat mutimualo. Selain harus dilaksanakan saat tujuh hari waktu kematian, prose- sinya dilakukan sore hari. Sebelumnya, pihak keluarga harus menyediakan tiga butir kelapa yang belum dikupas. Ketiga butir kelapa itu diikat untuk kemudian dijadikan tempat duduk bagi suami atau istri yang ditinggalkan sang mendiang. Anggota keluarga lainnya menyediakan daun pu- ring, sisiru, parang serta sebutir kelapa yang telah dikupas. Setelah semua perlengkapan tersedia, seluruh anggota kelu- arga berjalan bersama mening- galkan rumah menuju sungai yang menjadi lokasi prosesi. Saat keluar rumah, mereka harus lewat pintu depan dan saat kembali dari prosesi harus masuk lewat pintu belakang. Yang unik, saat mereka masuk ke rumah, ada orang yang mengagetkan mereka de- ngan memukul-mukul benda sebagai bunyi-bunyian. Di te- ngah prosesi mandi bersama itu, baju anggota keluarga yang sudah meninggal dihanyutkan ke sungai. (*/M-1) K AMPUNG Wae Rebo mungkin misterius bagi sebagian be- sar orang. Tidak banyak yang tahu. Sampai serombongan arsitek dari be- berapa konsultan di Jakarta menyambanginya pada 2008 dengan niat belajar kearifan lokal, lalu menjembataninya dengan sebuah yayasan untuk bisa melestarikan rumah adat. Hingga akhirnya menggelar pameran dan meluncurkan buku bertajuk Pesan dari Wae Rebo, Juni silam. Ketertarikan para arsitek atas Wae Rebo bermula dari selembar foto yang memuat sederet rumah adat berbentuk kerucut dengan atap ijuk dan alang-alang. Foto menjadi pe- mandangan di depan mata saat mereka tiba di kampung pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut itu. Wae Rebo terletak di Kam- pung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Martinus Anggo, pemandu wisata asal Wae Rebo yang juga tinggal di sana, sekaligus pendam- ping Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW), menuliskan, kam- pungnya itu sudah memasuki generasi ke-18. Dengan satu generasi bisa mencapai usia 60 tahun, berarti usia Kampung Wae Rebo saat ini berkisar 1.080 tahun. Sampai 2009, jumlah penduduk Wae Rebo mencapai 88 kepala keluarga, atau sekitar 1.200 jiwa, tinggal di rumah- rumah tradisional. Sebenarnya tak hanya Wae Rebo yang memiliki rumah tradisional unik berbentuk kerucut. Adat dan budaya ini meluas di tiga kabupaten di bagian barat Pulau Flores, yakni Manggarai Timur, Mang- garai, dan Manggarai Barat. Namun, semua musnah, tak lagi diminati. Tinggal Wae Rebo yang masih termasuk kampung tradisional dengan rumah adatnya. Menurut kisah Martinus, leluhur Wae Rebo mewariskan tujuh rumah adat sejak tahun 1920-an. Tiga di antaranya sudah punah, sekarang di- gantikan rumah berbentuk konvensional yang dianggap lebih praktis dan tak memakan banyak biaya. Empat sisanya masih berdiri, dengan dua di antaranya sudah tidak layak huni karena rusak. Rumah adat itu disebut mbaru niang, rumah bundar berbentuk kerucut, dan setiap rumah dihuni delapan keluarga. Warga Wae Rebo tidak mam- pu lagi membangun rumah- rumah adat akibat kondisi nansial yang terbatas. Pem- bangunan rumah adat memang sarat ritual sehingga membu- tuhkan bantuan pihak luar. Toh ironi itu tak memupuskan semangat dan rasa hormat mereka pada peninggalan le- luhur. Sebuah ungkapan mendarah daging pada warga Wae Rebo: neka hemong kuni agu kalo’, yang artinya mengarah pada Wae Rebo sebagai tanah pusaka. “Tanah tempat kelahiran ini tidak boleh dilupakan kemana pun warga Wae Rebo pergi. Memberikan sesajian kepada leluhur setiap tahun adalah hal yang sangat penting da- lam mengikat hubungan de- ngan leluhur,” demikian ujar Martinus. Lima tingkat Meskipun dihalangi ham- batan penghasilan, warga Wae Rebo tidak mengubur keingi- nan untuk membangun kem- bali rumah adatnya. Mbaru niang terdiri dari lima tingkat dengan fungsi berbeda. Ting- kat pertamanya disebut lutur, sebagai tempat tinggal para keluarga. Tingkat kedua dinamai lobo (loteng), fungsinya sebagai tempat menyimpan bahan ma- kanan dan barang-barang yang digunakan sehari-hari. Lalu, tingkat ketiga, dinama- kan lentar, digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benih tanaman, seperti jagung, padi, dan kacang-kacangan. Adapun tingkat keempat disebut lempa rae, berfungsi se- bagai tempat menyimpan stok makanan cadangan. Stok itu akan digunakan pada masa- masa gagal panen atau musim kemarau yang berkepanjang- an. Tingkat paling atas dinamai hekang kode, difungsikan untuk menyimpan langkar, sebutan untuk anyaman dari bambu yang berbentuk persegi sebagai tempat menyimpan sesajian buat leluhur. Bentuk rumah yang kerucut, menyerupai payung, konon melambangkan perlindungan dan persatuan warga. Cara hidup warga Wae Rebo yang komunal memudahkan mereka untuk berkoordinasi dan pengaturan strategi dalam segala masalah yang harus di- tangani bersama. Meski mendapatkan ban- tuan dana, warga membangun sendiri mbaru niang . Tidak hanya untuk melestarikan peninggalan leluhur, tapi juga mewariskan ilmunya kepada warga muda yang belum per- nah membangun sendiri rumah tradisional. Material Semua material rumah diam- bil dari alam. Untuk penutup atap, digunakan alang-alang, yang dikumpulkan dan dirang- kai menjadi jalinan panjang yang diikat, lalu dititipkan di rumah warga untuk dikering- kan di tungku. Semakin lama diasapi dan kering, alang-alang akan se- makin awet. Kombinasi de- ngan ijuk memperkuat daya tahannya. Material utama pembangun rumah adalah kayu. Tiang- tiang utamanya dibuat dari kayu worok berusia sekitar 70 tahun yang dibawa dari area beradius 10 kilometer di sekeliling kampung. Satu pohon dapat dibuat menjadi sembilan tiang. Untuk mendapatkan kayu itu, warga harus melalui proses panjang guna mendapatkan izin pen- ebangan dari Dinas Kehutanan setempat. Untuk lantai, mbaru niang menggunakan papan dari kayu ajang, sedangkan bambu di- gunakan sebagai rangka atap dan tangga utama, kayu uwu untuk balok serta rotan se- bagai pengikat. Warga juga merangkai kayu kenti yang berdiameter 1 sentimeter un- tuk dibentuk menjadi ikatan panjang yang akan diikatkan melingkar secara horizontal pada setiap tingkat rumah. Seperti organisasi konstruksi modern, pekerjaan pemba- ngunan mbaru niang juga di- bagi dalam sistem kerja. Untuk alang-alang, misalnya, ada warga yang bertanggung jawab atas kualitasnya. Alang-alang yang dikum- pulkan warga. Diperiksa, apa- kah benar-benar cukup baik untuk digunakan sebagai atap rumah. Bahkan dari mbaru niang sebelumnya, semua material terbukti awet selama 70-100 ta- hun. Tak kenal korupsi material tentu saja. Dalam prosesi penggarapan- nya, kaum laki-laki mengum- pulkan material dan menger- jakan konstruksi rumah, kaum perempuan menyiapkan ma- kan tiga kali sehari, ditambah dua kali kudapan untuk semua. Semua warga juga bergantian memantau proses konstruksi. Upacara Leluhur, seperti juga masya- rakat adat di mana-mana, me- megang posisi penting dalam kehidupan masyarakat Wae Rebo. Pembongkaran rumah lama tak ketinggalan didahului upacara adat dengan memo- tong ayam. Setelah rumah lama dibong- kar dan tanah diratakan, di- lakukan upacara adat pena- naman tiang, melibatkan telur, ayam, dan babi, dengan mak- sud memohon perlindung- an Tuhan dan leluhur dalam proses konstruksinya. Dalam proses pengatapan sampai puncak mbaru niang, upacara adat bernama raket bo- bong dilakukan dengan kembali memotong ayam. Tujuannya memohon pada leluhur dan Tuhan agar rumah yang baru didirikan itu kuat, tidak cepat lapuk, sekaligus melambang- kan pembangunan rumah su- dah selesai. Saat rumah siap dihuni, upacara adat kembali dilaku- kan, namanya we’e mbaru, de- ngan memotong ayam dan babi. Artinya, penghuni rumah telah sah secara adat menempa- ti rumah baru selama-lamanya, dalam dampingan leluhur di tanah pusaka mereka. (M-1) miweekend@ mediaindonesia.com 14 | Local Wisdom SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Mutimualo, Cara Buang Sedih Masyarakat Gorontalo RAGAM BUDAYA Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm) Direktur Utama: Rahni Lowhur-Schad Direktur Pemberitaan: Saur M. Hutabarat Dewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra- djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo- pratomo, Toeti Adhitama Redaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu- tabarat Kepala Divisi Pemberitaan: Usman Kansong Deputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden Suban Kepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius Suhardi Sekretaris Redaksi: Teguh Nirwahjudi Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.Sihombing Asisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto Redaktur: Agus Mulyawan, Agus Wahyu Kristianto, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Gantyo Koespradono, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Lintang Rowe, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surachman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelisti- jono Staf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Anton Kustedja, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, David Tobing, Denny Parsaulian, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mutiah, Dwi Tupani Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugrah, Fardiansah Noor, Gino F. Hadi, Handi An- drian, Heni Rahayu, Heru Prihmantoro, Heryadi, Hillarius U. Gani, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang Sumantri, Jerome Eugene, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnu Broto, Kennorton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mohamad Irfan, Muhamad Fauzi, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rina Garmina, Ririn Radiawati Kusuma, Rini Widuri Ragillia, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pra- mono, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumaryanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalati Yani, Tutus Subronto, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zu- baedah Hanum Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Pa- lembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya) MICOM Asisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. Nababan Redaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, Widhoroso Staf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Si- laban, M. Syaifullah, Nurtjahyadi, Panji Arimurti, Prita Daneswari, Rani Nuraini, Ricky Julian, Widjokongko, Wisnu Arto Subari. PUBLISHING Asisten Kepala Divisi: Jessica Huwae Staf: Adeste Adipriyanti, Regina Panontongan, Sem Sahala Purba CONTENT ENRICHMENT Asisten Kepala Divisi: Yohanes S. Widada Periset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah- mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto ARTISTIK Redaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata Areadi Staf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dhar- ma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston King Manajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander Stefanus Kepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful Bachri Asisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas Sujiyono Asisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki Triardianto Perwakilan Bandung: Aji Sukaryo (022) 4210500; Medan: A Masduki Kadiro (061) 4514945; Padang: Yondri (0751) 811464; Pekanbaru: Ferry Mustanto (0761) 856647; Surabaya: Tri Febri- anto (031) 5667359; Bogor: Arief Ibnu (0251) 8349985, Den- pasar: Pieter Sahertian (0361) 239210, Lampung: Muharis (0721) 773888; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi Yudhanto (0274) 7497289; Palembang: Andi Hendriansyah (0711)317526, Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Perce- takan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke-ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Sudir- man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Purnama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirku- lasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media In- donesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindo- nesia.com, DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DE- NGAN ALASAN APA PUN Warisan Mbaru Niang di Wae Rebo Setelah puluhan tahun sempat pudar, masyarakat Wae Rebo kembali membangun rumah adat mereka. Tidak hanya melestarikan peninggalan leluhur, mereka juga menurunkan nilai tradisi kepada generasi penerus. Warga Wae Rebo tidak mampu lagi membangun rumah- rumah adat akibat kondisi finansial yang terbatas.” Wendy Mehari PARTISIPASI ARTIKEL Bagi pemerhati budaya, pusat-pusat kajian kebudayaan, bisa mengirimkan artikel bertema local wisdom (kearifan lokal); ke e-mail: miweekend@ mediaindonesia.com (Maksimal 7.500 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon dan fotokopi KTP) PATA AREADI

Transcript of SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Warisan...

Page 1: SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA Warisan …ftp.unpad.ac.id/koran/mediaindonesia/2010-08-14/mediaindonesia... · dunia bisa menimbulkan ke-sedihan mendalam. ... (031) 5667359;

AIR bagi masyarakat Gorontalo memiliki banyak fungsi. Tidak saja untuk membersihkan tubuh dan lain-lain yang bersifat fi sik, tapi bisa juga dimanfaatkan un-tuk mengusir kesedihan.

Di sana, kehilangan anggota keluarga akibat meninggal dunia bisa menimbulkan ke-sedihan mendalam. Masyara-kat Gorontalo menghadapi hal itu biasanya dengan segera menyelenggarakan tradisi

mutimualo.Prosesi yang dilakukan tepat

tujuh hari setelah mening-galnya anggota keluarga itu mengharuskan seluruh ang-gota keluarga yang ditinggal-kan mandi bersama.

Tidak sembarang mandi, acara itu harus dilakukan dan

dipimpin pemuka adat. Satu demi satu anggota keluarga disiram air oleh sang pemuka adat. Dengan mendapat siram-an air tadi, keluarga besar percaya kesedihan akibat ke-matian anggota keluarga bisa hilang seketika.

Ada kepercayaan, kesedihan

tadi larut dalam air yang disi-ramkan saat mandi. Selain itu, selesai mandi, badan terasa se-gar sehingga pikiran segar dan kesedihan pun terhapuskan.

Meski sekadar mandi, ada beberapa aturan yang harus dit-erapkan saat mutimualo. Selain harus dilaksanakan saat tujuh

hari waktu kematian, prose-sinya dilakukan sore hari.

Sebelumnya, pihak keluarga harus menyediakan tiga butir kelapa yang belum dikupas. Ketiga butir kelapa itu diikat untuk kemudian dijadikan tempat duduk bagi suami atau istri yang ditinggalkan sang

mendiang. Anggota keluarga lainnya menyediakan daun pu-ring, sisiru, parang serta sebutir kelapa yang telah dikupas.

Setelah semua perlengkapan tersedia, seluruh anggota kelu-arga berjalan bersama mening-galkan rumah menuju sungai yang menjadi lokasi prosesi.

Saat keluar rumah, mereka harus lewat pintu depan dan saat kembali dari prosesi harus masuk lewat pintu belakang.

Yang unik, saat mereka masuk ke rumah, ada orang yang mengagetkan mereka de-ngan memukul-mukul benda sebagai bunyi-bunyian. Di te-ngah prosesi mandi bersama itu, baju anggota keluarga yang sudah meninggal dihanyutkan ke sungai. (*/M-1)

KAMPUNG Wae Rebo mungkin misterius bagi sebagian be-sar orang. Tidak

banyak yang tahu. Sampai serombongan arsitek dari be-berapa konsultan di Jakarta menyambanginya pada 2008 dengan niat belajar kearifan lokal, lalu menjembataninya dengan sebuah yayasan untuk bisa melestarikan rumah adat. Hingga akhirnya menggelar pameran dan meluncurkan buku bertajuk Pesan dari Wae Rebo, Juni silam.

Ketertarikan para arsitek atas Wae Rebo bermula dari selembar foto yang memuat sederet rumah adat berbentuk kerucut dengan atap ijuk dan alang-alang. Foto menjadi pe-mandangan di depan mata saat mereka tiba di kampung pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut itu.

Wae Rebo terletak di Kam-pung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Martinus Anggo, pemandu wisata asal Wae Rebo yang juga tinggal di sana, sekaligus pendam-ping Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW), menuliskan, kam-pungnya itu sudah memasuki generasi ke-18. Dengan satu generasi bisa mencapai usia 60 tahun, berarti usia Kampung Wae Rebo saat ini berkisar 1.080 tahun. Sampai 2009, jumlah penduduk Wae Rebo mencapai 88 kepala keluarga, atau sekitar 1.200 jiwa, tinggal di rumah-rumah tradisional.

Sebenarnya tak hanya Wae Rebo yang memiliki rumah tradisional unik berbentuk kerucut. Adat dan budaya ini meluas di tiga kabupaten di bagian barat Pulau Flores, yakni Manggarai Timur, Mang-garai, dan Manggarai Barat. Namun, semua musnah, tak lagi diminati. Tinggal Wae Rebo yang masih termasuk kampung tradisional dengan rumah adatnya.

Menurut kisah Martinus, leluhur Wae Rebo mewariskan tujuh rumah adat sejak tahun 1920-an. Tiga di antaranya sudah punah, sekarang di-gantikan rumah berbentuk konvensional yang dianggap lebih praktis dan tak memakan banyak biaya. Empat sisanya masih berdiri, dengan dua di antaranya sudah tidak layak huni karena rusak. Rumah adat itu disebut mbaru niang, rumah bundar berbentuk kerucut, dan setiap rumah dihuni delapan

keluarga.Warga Wae Rebo tidak mam-

pu lagi membangun rumah-rumah adat akibat kondisi fi nansial yang terbatas. Pem-bangunan rumah adat memang sarat ritual sehingga membu-tuhkan bantuan pihak luar. Toh ironi itu tak memupuskan semangat dan rasa hormat mereka pada peninggalan le-luhur.

Sebuah ungkapan mendarah daging pada warga Wae Rebo: ‘neka hemong kuni agu kalo’, yang artinya mengarah pada Wae Rebo sebagai tanah pusaka. “Tanah tempat kelahiran ini tidak boleh dilupakan kemana pun warga Wae Rebo pergi. Memberikan sesajian kepada leluhur setiap tahun adalah hal yang sangat penting da-lam mengikat hubungan de-ngan leluhur,” demikian ujar Martinus.

Lima tingkatMeskipun dihalangi ham-

batan penghasilan, warga Wae Rebo tidak mengubur keingi-nan untuk membangun kem-bali rumah adatnya. Mbaru niang terdiri dari lima tingkat dengan fungsi berbeda. Ting-kat pertamanya disebut lutur, sebagai tempat tinggal para

keluarga.Tingkat kedua dinamai lobo

(loteng), fungsinya sebagai tempat menyimpan bahan ma-kanan dan barang-barang yang digunakan sehari-hari.

Lalu, tingkat ketiga, dinama-kan lentar, digunakan sebagai tempat untuk menyimpan benih tanaman, seperti jagung, padi, dan kacang-kacangan.

Adapun tingkat keempat disebut lempa rae, berfungsi se-bagai tempat menyimpan stok makanan cadangan. Stok itu akan digunakan pada masa-masa gagal panen atau musim kemarau yang berkepanjang-an.

Tingkat paling atas dinamai hekang kode, difungsikan untuk menyimpan langkar, sebutan untuk anyaman dari bambu

yang berbentuk persegi sebagai tempat menyimpan sesajian buat leluhur.

Bentuk rumah yang kerucut, menyerupai payung, konon melambangkan perlindungan dan persatuan warga.

Cara hidup warga Wae Rebo yang komunal memudahkan mereka untuk berkoordinasi dan pengaturan strategi dalam segala masalah yang harus di-tangani bersama.

Meski mendapatkan ban-tuan dana, warga membangun sendiri mbaru niang. Tidak hanya untuk melestarikan peninggalan leluhur, tapi juga mewariskan ilmunya kepada warga muda yang belum per-nah membangun sendiri rumah tradisional.

MaterialSemua material rumah diam-

bil dari alam. Untuk penutup atap, digunakan alang-alang, yang dikumpulkan dan dirang-kai menjadi jalinan panjang yang diikat, lalu dititipkan di rumah warga untuk dikering-kan di tungku.

Semakin lama diasapi dan kering, alang-alang akan se-makin awet. Kombinasi de-ngan ijuk memperkuat daya tahannya.

Material utama pembangun rumah adalah kayu. Tiang-tiang utamanya dibuat dari kayu worok berusia sekitar 70 tahun yang dibawa dari area beradius 10 kilometer di sekeliling kampung.

Satu pohon dapat dibuat menjadi sembilan tiang. Untuk mendapatkan kayu itu, warga harus melalui proses panjang guna mendapatkan izin pen-ebangan dari Dinas Kehutanan setempat.

Untuk lantai, mbaru niang menggunakan papan dari kayu ajang, sedangkan bambu di-gunakan sebagai rangka atap dan tangga utama, kayu uwu untuk balok serta rotan se-bagai pengikat. Warga juga merangkai kayu kenti yang berdiameter 1 sentimeter un-tuk dibentuk menjadi ikatan panjang yang akan diikatkan melingkar secara horizontal pada setiap tingkat rumah.

Seperti organisasi konstruksi modern, pekerjaan pemba-ngunan mbaru niang juga di-bagi dalam sistem kerja. Untuk a lang-alang, misalnya, ada warga yang bertanggung jawab atas kualitasnya.

Alang-alang yang dikum-pulkan warga. Diperiksa, apa-kah benar-benar cukup baik

untuk digunakan sebagai atap rumah.

Bahkan dari mbaru niang sebelumnya, semua material terbukti awet selama 70-100 ta-hun. Tak kenal korupsi material tentu saja.

Dalam prosesi penggarapan-nya, kaum laki-laki mengum-pulkan material dan menger-jakan konstruksi rumah, kaum perempuan menyiapkan ma-kan tiga kali sehari, ditambah dua kali kudapan untuk semua. Semua warga juga bergantian memantau proses konstruksi.

UpacaraLeluhur, seperti juga masya-

rakat adat di mana-mana, me-megang posisi penting dalam kehidupan masyarakat Wae Rebo. Pembongkaran rumah lama tak ketinggalan didahului upacara adat dengan memo-tong ayam.

Setelah rumah lama dibong-kar dan tanah diratakan, di-lakukan upacara adat pena-naman tiang, melibatkan telur, ayam, dan babi, dengan mak-sud memohon perlindung-an Tuhan dan leluhur dalam proses konstruksinya.

Dalam proses pengatapan sampai puncak mbaru niang, upacara adat bernama raket bo-

bong dilakukan dengan kembali memotong ayam. Tujuannya memohon pada leluhur dan Tuhan agar rumah yang baru didirikan itu kuat, tidak cepat lapuk, sekaligus melambang-kan pembangunan rumah su-dah selesai.

Saat rumah siap dihuni, u pacara adat kembali dilaku-kan, namanya we’e mbaru, de-ngan memotong ayam dan babi. Artinya, penghuni rumah telah sah secara adat menempa-ti rumah baru selama-lamanya, dalam dampingan leluhur di tanah pusaka mereka. (M-1)

[email protected]

14 | Local Wisdom SABTU, 14 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA

Mutimualo, Cara Buang Sedih Masyarakat Gorontalo

RAGAM BUDAYA

Pendiri: Drs. H. Teuku Yousli Syah MSi (Alm)Direktur Utama: Rahni Lowhur-SchadDirektur Pemberitaan: Saur M. HutabaratDewan Redaksi Media Group: Elman Saragih (Ketua), Ana Widjaya, Andy F.Noya, Bambang Eka Wijaya, Djadjat Sudra-djat, Djafar H. Assegaff, Laurens Tato, Lestari Moerdijat, Rahni Lowhur Schad, Saur M. Hutabarat, Sugeng Suparwoto, Suryo-pratomo, Toeti AdhitamaRedaktur Senior: Elman Saragih, Laurens Tato, Saur M. Hu-tabaratKepala Divisi Pemberitaan: Usman KansongDeputi Kepala Divisi Pemberitaan: Kleden SubanKepala Divisi Content Enrichment: Gaudensius SuhardiSekretaris Redaksi: Teguh Nirwahjudi

Asisten Kepala Divisi Pemberitaan: Abdul Kohar, Ade Alawi, Haryo Prasetyo, Ono Sarwono, Rosmery C.SihombingAsisten Kepala Divisi Foto: Hariyanto

Redaktur: Agus Mulyawan, Agus Wahyu Kristianto, Cri Qanon Ria Dewi, Eko Rahmawanto, Eko Suprihatno, Fitriana Siregar, Gantyo Koespradono, Hapsoro Poetro, Henri Salomo Siagian, Ida Farida, Jaka Budisantosa, Lintang Rowe, Mathias S. Brahmana, Mochamad Anwar Surachman, Sadyo Kristiarto, Santhy M. Sibarani, Soelisti-jonoStaf Redaksi: Adam Dwi Putra, Agung Wibowo, Ahmad Maulana, Ahmad Punto, Anton Kustedja, Aries Wijaksena, Asep Toha, Basuki Eka Purnama, Bintang Krisanti, Clara Rondonuwu, Cornelius Eko, Da vid Tobing, Denny Parsaulian, Deri Dahuri, Dian Palupi, Dinny Mu tiah, Dwi Tu pa ni Gunarwati, Edwin Tirani, Emir Chairullah, Eni Kartinah, Eri Anugrah, Fardi an sah Noor, Gino F. Hadi, Handi An-drian, Heni Rahayu, Heru Prihmantoro, Heryadi, Hillarius U. Gani, Iis Zatnika, Intan Juita, Irana Shalindra, Irvan Sihombing, Jajang Su mantri, Jerome Eugene, Jonggi Pangihutan M., K. Wisnu Broto, Ken norton Hutasoit, M. Soleh, Maya Puspitasari, Mirza Andreas, Mo hamad Irfan, Muhamad Fauzi, Raja Suhud V.H.M, Ramdani, Ratna Nuraini, Rina Garmina, Ririn Radiawati Kusuma, Rini Widuri Ragillia, Rommy Pujianto, Selamat Saragih, Sica Harum, Sidik Pra-mo no, Siswantini Suryandari, Sitriah Hamid, Sugeng Sumariyadi, Sulaiman Basri, Sumar yanto, Susanto, Syarief Oebaidillah, Thalati Yani, Tutus Subronto, Wendy Mehari, Windy Dyah Indriantari, Zu-baedah Hanum

Biro Redaksi: Eriez M. Rizal (Bandung); Kisar Rajagukguk (Depok); Firman Saragih (Karawang); Yusuf Riaman (NTB); Baharman (Pa-lembang); Parulian Manulang (Padang); Haryanto (Semarang); Widjajadi (Solo); Faishol Taselan (Surabaya)

MICOMAsisten Kepala Divisi: Tjahyo Utomo, Victor J.P. NababanRedaktur: Agus Triwibowo, Asnawi Khaddaf, Patna Budi Utami, WidhorosoStaf: Abadi Surono, Abdul Salam, Alfani T. Witjaksono, Charles Si-laban, M. Syaifullah, Nurtjahyadi, Panji Arimurti, Prita Daneswari, Rani Nuraini, Ricky Julian, Widjokongko, Wisnu Arto Subari.

PUBLISHINGAsisten Kepala Divisi: Jessica HuwaeStaf: Adeste Adipriyanti, Regina Panontongan, Sem Sahala Purba

CONTENT ENRICHMENTAsisten Kepala Divisi: Yohanes S. WidadaPeriset: Heru Prasetyo (Redaktur), Desi Yasmini S, Radi Negara

Bahasa: Dony Tjiptonugroho (Redaktur), Adang Iskandar, Mah-mudi, Ni Nyoman Dwi Astarini, Riko Alfonso, Suprianto

ARTISTIKRedaktur: Diana Kusnati, Gatot Purnomo, Marjuki, Prayogi, Ruddy Pata AreadiStaf Redaksi: Ali Firdaus, Ananto Prabowo, Andi Nursandi, Annette Natalia, Bayu Wicaksono, Budi Haryanto, Budi Setyo Widodo, Dhar-ma Soleh, Donatus Ola Pereda, Endang Mawardi, Gugun Permana, Hari Syahriar, Haryadi, Marionsandez G, M. Rusli, Muhamad Nasir, Muhamad Yunus, Nana Sutisna, Novi Hernando, Nurkania Ismono, Permana, Tutik Sunarsih, Warta Santosi, Winston KingManajer Produksi: Bambang Sumarsono Deputi Manajer Produksi: Asnan

Direktur Pengembangan Bisnis: Alexander StefanusKepala Divisi Marketing Communication: Fitriana Saiful BachriAsisten Kepala Divisi Iklan: Gustaf Bernhard R Asisten Kepala Divisi Marketing Support & Publishing: Andreas SujiyonoAsisten Kepala Divisi Sirkulasi-Distribusi: Tweki TriardiantoPerwakilan Bandung: Aji Sukaryo (022) 4210500; Medan: A Masduki Kadiro (061) 4514945; Padang: Yondri (0751) 811464; Pekanbaru: Ferry Mustanto (0761) 856647; Surabaya: Tri Febri-anto (031) 5667359; Bogor: Arief Ibnu (0251) 8349985, Den-pasar: Pieter Sahertian (0361) 239210, Lampung: Muharis (0721) 773888; Semarang: Desijhon (024) 7461524; Yogyakarta: Andi

Yu dhanto (0274) 7497289; Palembang: Andi Hendriansyah (0711)317526,Telepon/Fax Layanan Pembaca: (021) 5821303, Telepon/ Fax Iklan: (021) 5812107, 5812113, Telepon Sirkulasi: (021) 5812095, Telepon Distribusi: (021) 5812077, Telepon Perce-takan: (021) 5812086, Harga Langganan: Rp67.000 per bulan (Jabodetabek), di luar P. Jawa + ongkos kirim, No. Reke-ning Bank: a.n. PT Citra Media Nusa Purnama Bank Mandiri - Cab. Taman Kebon Jeruk: 117-009-500-9098; BCA - Cab. Su dir-man: 035-306-5014, Diterbitkan oleh: PT Citra Media Nusa Pur nama, Jakarta, Alamat Redaksi/Tata Usaha/Iklan/Sirku-lasi: Kompleks Delta Kedoya, Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Se latan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat - 11520, Telepon: (021) 5812088 (Hunting), Fax: (021) 5812102, 5812105 (Redaksi) e-mail: [email protected], Percetakan: Media In-do nesia, Jakarta, ISSN: 0215-4935, Website: www.mediaindo-nesia.com,DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JURNALISTIK, WARTAWAN MEDIA INDONESIA DILENGKAPI KARTU PERS DAN TIDAK DI PERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA IMBALAN DE-NGAN ALASAN APA PUN

Warisan Mbaru Niang di Wae ReboSetelah puluhan tahun sempat pudar, masyarakat Wae Rebo kembali membangun rumah adat mereka.

Tidak hanya melestarikan peninggalan leluhur, mereka juga menurunkan nilai tradisi kepada generasi penerus.

Warga Wae Rebo tidak mampu lagi membangun rumah-rumah adat akibat kondisi finansial yang terbatas.”

Wendy Mehari

PARTISIPASI ARTIKEL

Bagi pemerhati budaya, pusat-pusat kajian kebudayaan, bisa

mengirimkan artikel bertema local wisdom

(kearifan lokal); ke e-mail:miweekend@

mediaindonesia.com(Maksimal 7.500 karakter

tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor

telepon dan fotokopi KTP)

PATA AREADI