s Kro Fulo Derma

6
SKROFULODERMA PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru – paru, kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ lainnya. Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang menyebar secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis verukosa), secara endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis gumosa, tuberculosis orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken skrofulosorum, tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum). Salah satu tuberculosis kutis yang menyebar secara endogen adalah skrofuloderma. Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul akibat penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang telah terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis atau setelah mendapatkan vaksinasi. EPIDEMIOLOGI Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara – Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk. Skrofuloderma menyerang semua usia tetapi lebih sering terjadi pada anak – anak dan dewasa muda. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovis. ETIOLOGI Penyebab utamanya adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis berbentuk batang, panjang 2-4/μ dan lebar 0,3-0,5/ μ, tahan asam, tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal pertumbuhan 37°C. Selain M. tuberculosis, M. bovisjuga dapat menyebabkan terjadinya skrofuloderma. PATOGENESIS

description

skrofuloderma

Transcript of s Kro Fulo Derma

Page 1: s Kro Fulo Derma

SKROFULODERMA

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru – paru,

kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ lainnya.

Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun

eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis

yang menyebar secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis

verukosa), secara endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis

gumosa, tuberculosis orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken

skrofulosorum, tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum).

Salah satu tuberculosis kutis yang menyebar secara endogen adalah

skrofuloderma. Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang

timbul akibat penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah

kulit yang telah terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar

getah bening, tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis

atau setelah mendapatkan vaksinasi.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara –

Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk

Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi

pada musin hujan dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang

buruk. Skrofuloderma menyerang semua usia tetapi lebih sering terjadi pada

anak – anak dan dewasa muda. Prevalensinya tinggi pada anak – anak yang

mengonsumsi susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovis.

ETIOLOGI

Penyebab utamanya adalah Mycobacterium tuberculosis. M.

tuberculosis berbentuk batang, panjang 2-4/μ dan lebar 0,3-0,5/ μ, tahan asam,

tidak bergerak, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal

pertumbuhan 37°C. Selain M. tuberculosis, M. bovisjuga dapat menyebabkan

terjadinya skrofuloderma.

PATOGENESIS

Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh

karenanya porte d’entrée skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau

paru, jika di ketiak maka kemungkinan porte d’entrée pada apeks pleura, jika di

Page 2: s Kro Fulo Derma

lipat paha porte d’entrée pada ekstrimitas bawah. Kadang – kadang ketiga

tempat predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan

lipatan paha.

Krofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di bawah kulit

yang terserang tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi kadang –

kadang dapat juga berasal dari tulang, atau kedua – duanya atau tuberculosis

epididimis.

Tuberkulosis kelenjar getah bening tersering terjadi dan yang terkena adalah

kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula, leher bagian lateral,

ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer didapatkan pada daerah

yang aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar getah bening yang

meradang.

Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar getah

bening dari daerah yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang

terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar

getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar

getah bening pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa terjadi

meskipun jarang dan reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi

sebelumnya berbeda dengan mereka yang belum tersensitasi.

GAMBARAN KLINIK

Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening

(limfadenitis tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar

getah bening ini konsistensinya padat pada perabaan. Mula – mula hanya

beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi.

Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis yang menyebabkan perlekatan

kelenjar tersebut dengan jaringan sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut

mengalami perlunakan yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya

menjadi bermacam – macam, yaitu didapati kelenjar getah bening melunak dan

membentuk abses yang akan menembus kulit dan pecah, bila tidak disayat dan

dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut

tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila ditekan,

menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan

perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan menembus kulit di atasnya

dengan demikian membentuk fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus

yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak teratur, dan di

sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung, jaringan

granulasinya tertutup oleh pus yang purulen, jika mongering menjadi krusta

warna kuning.

Page 3: s Kro Fulo Derma

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa

tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak

teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang – kadang terdapat di atas sikatriks,

biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks

tersebut.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahu penyebabnya. Pemeriksaan

bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan bakteriologik

yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan PCR.

Pemeriksaan BTA dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson

mendeteksi kurang lebih 10.000 basil per mL. Pada pemeriksaan PCR

(Polymerase Chain Reaction) dapat juga digunakan untuk mendeteksi M.

tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan medium non sekeltif

(Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang lama karena M.

tuberculosis butuh waktu 3 – 4 minggu untuk berkembang biak.

2. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada gambaran

histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari lapisan

dermis sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami

nekrosis kaseosa oleh sel – sel epitel dan sel – sel Datia Langhan’s.

3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)

Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes

tuberculin yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita

pernah terinfeksi tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi

tersebut masih berlangsung aktif atau telah berlalu.

4. LED

Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih penting

untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.

DIAGNOSIS

Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,

gambaran klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi. Selain itu dapat

juga ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologik.

Page 4: s Kro Fulo Derma

DIAGNOSIS BANDING

1. Aktinomikosis

Skrofuloderma di leher biasanya mempunyai gambaran klinis yang khas

sehingga tidak perlu diadakan diagnosis banding. Walaupun demikian

aktinomikosis sering dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di

leher. Aktinomikosis biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan

beberapa muara fistel produktif.

2. Hidradenitis supurativa

Jika skrofuloderma terdapat di daerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis

supurativa yakni infeksi oleh Piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit

tersebut bersifat akut dan disertai dengan tanda – tanda radang akut yang

jelas, terdapat gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa

biasanya menimbulkan sikatriks sehingga terjadi tarikan – tarikan yang

mengakibatkan retraksi ketiak.

3. Limfogranuloma venereum

Skrofuloderma yang terdapat di lipatan paha kadang – kadang mirip dengan

penyakiy venerik yaitu limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang

penting adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesis

disertai gejala konsitusi (demam, malese, artralgia) dan terdapat kelima

tanda radang akut. Lokalisasinya juga berbeda, pada LGV yang diserang

adalah kelenjar getah bening inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma

menyerang getah bening inguinal lateral dan femoral. Pada stadium lanjut

LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang berarti pembesaran kelenjar di

inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei positif, pada skrofuloderma

tes tuberculin positif.

PENGOBATAN

Pengobatan tuberkulosis kutis pada prinsipnya sama dengan pengobatan

tuberkulosis paru, yaitu menggunakan kombinasi beberapa obat dan diberikan

dalam jangka waktu tertentu. Sesuai rekomendasi WHO, untuk kasus

tuberkulosis kutis maka pengobatan yang diberikan dimasukkan dalam kategori

III (2HRZ 6HE, 2HRZ4HR, 2HRZ4H3R3)

Kriteria penyembuhan pda skrofuloderma ialah semua fistel dan ulkus telah

menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang dari 1 cm dab

berkonsistensi keras), dan sikatriks yang semula eritematosa menjadi tidak

Page 5: s Kro Fulo Derma

eritema lagi. LED dapat dipakai sebagai pegangan untuk menilai penyembuhan

pada penyakit tuberculosis. Jika terjadi penyembuhan, LED akan menurun dan

menjadi normal.

Pengobatan topical pada pasien tuberculosis kutis tidak sepenting pengobatan

sistemik. Jika basah, kompres dengan kalium permanganate 1/50.000. Jika kering

diberikan salep antibiotic.

Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan. Terapi pembedahan pada

skrofuloderma biasanya diindikasikan untuk kasus :

- terapi dengan antituberkulosis gagal

- penderita skrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh

- penderita skrofuloderma berulang

- penderita skrofuloderma disertai dengan penyakit yang berat.

PROGNOSIS

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa

tahun dengan meninggalkan bekas Lukas (sikatriks) yang memanjang dan tidak

teratur. Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah

diseburkan, prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nascimento LV. Mycobacteria. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors.

Tropical dermatology. China: Elsevier Churchill Livingstone; 2006. p. 253-

4.

2. Suhariyanto B, Prasetyo R. Terapi alternative pada pengobatan

skrofuloderma. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical

of dermato-venerology 2006 Agust 2:18:133-5.

3. Tappeiner G, Wolff Klaus. Tuberculosis and other mycobacterium infection.

In: Feedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,

editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New York:

McGraw-Hill; 2003. p. 1933-46.

4. Djuanda A. Tuberkulosis kulit. Dalam: Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M,

Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4 th ed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran UI;1999. p. 64-72.

5. Meltzer MS. Cutaneous tuberculosis [Online] 2006 Nov 20 [cited 2007

March 7];[10 screens]. Available from:URL:http://www.eMedicine.com.

Page 6: s Kro Fulo Derma

6. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja E. Skrofuloderma pada dada. Berkala

ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology

2002 Apr 1:14:101-5.

7. Siregar HS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed.2. Jakarta: EGC;2004.

8. Silva MR, Catro MCR. Mycobacterium infection. In: Bologna J, Jorizzo J,

Rapini RP, editors. Dermatology. Vol.1. London: Mosby;2003. p. 1145-58.