Rinitis Pada Industri Tekstil

14
Int. Arch. Otorhinolaryngol. 2013; 17(1): 26-30 DOI: 10.7162/S1809-97772013000100005 Prevalensi Gejala Rhinitis pada Pekerja Tekstil yang Terpapar Debu Kapas Ivan de Picoli Dantas, Fabiana Cardoso Pereira Valera, Carlos Eduardo Monteiro Zappelini, Wilma Terezinha Anselmo-Lima. 1) Otorhinolaryngologist. Mahasiswa PhD, Rumah Sakit Universitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo. 2) Postdoctoral Otorhinolaryngology. Profesor pada Departemen Ophtalmology, Otorhinolaryngology, dan Bedah Kepala-Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo. 3) Dokter. Residen Otorhinolaryngology. Rumah Sakit Universitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo. 4) Profesor. Departemen Ophtalmology, Otorhinolaryngology, dan Bedah Kepala-Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo. Institusi: Universitas Sao Paulo, Brazil. ABSTRAK Pendahuluan: Saluran napas merupakan satu dari beberapa titik utama sebagai tempat masuknya benda asing ke dalam tubuh. Dikarenakan lokasinya, saluran napas seringkali terpapar agen berbahaya, misalnya gas, asap, dan aerosol. Tujuan: Evaluasi gejala occupational rhinitis (rhinitis karena pekerjaan) pada pekerja yang terpapar debu kapas. Metode: Studi populasi prospektif yang terdiri dari pekerja dari “Nova Esperanca” Cooperative of Nova Odessa (Sao Paulo) yang dilakukan pada September-Desember 2008. Data dikumpulkan melalui

description

JURNAL READING

Transcript of Rinitis Pada Industri Tekstil

Int. Arch. Otorhinolaryngol. 2013; 17(1): 26-30DOI: 10.7162/S1809-97772013000100005

Prevalensi Gejala Rhinitis pada Pekerja Tekstil yang Terpapar Debu Kapas

Ivan de Picoli Dantas, Fabiana Cardoso Pereira Valera, Carlos Eduardo Monteiro Zappelini, Wilma Terezinha Anselmo-Lima.1) Otorhinolaryngologist. Mahasiswa PhD, Rumah Sakit Universitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo.2) Postdoctoral Otorhinolaryngology. Profesor pada Departemen Ophtalmology, Otorhinolaryngology, dan Bedah Kepala-Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo.3) Dokter. Residen Otorhinolaryngology. Rumah Sakit Universitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo.4) Profesor. Departemen Ophtalmology, Otorhinolaryngology, dan Bedah Kepala-Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo.Institusi: Universitas Sao Paulo, Brazil.

ABSTRAKPendahuluan: Saluran napas merupakan satu dari beberapa titik utama sebagai tempat masuknya benda asing ke dalam tubuh. Dikarenakan lokasinya, saluran napas seringkali terpapar agen berbahaya, misalnya gas, asap, dan aerosol.Tujuan: Evaluasi gejala occupational rhinitis (rhinitis karena pekerjaan) pada pekerja yang terpapar debu kapas.Metode: Studi populasi prospektif yang terdiri dari pekerja dari Nova Esperanca Cooperative of Nova Odessa (Sao Paulo) yang dilakukan pada September-Desember 2008. Data dikumpulkan melalui kuisioner individual oleh penulis berdasarkan kriteria klinis rhinitis.Hasil: Menggunakan kuisioner, penulis mengevaluasi 124 pekerja. 63.7% di antara pekerja mengeluhkan obstruksi hidung, 57.2% hidung gatal, 46.7% rhinorea, dan 66.1% bersin-bersin. Dari seluruh pekerja yang mengeluhkan gejala serius, di antaranya 9% obstruksi hidung, 9% hidung gatal, 4% rhinorea, dan 6.4% bersin-bersin.Diskusi: Agen aerosol pada lingkungan dapat memperburuk bahkan memicu terjadinya rhinitis. Berdasarkan patogenesisnya, mekanisme inflamasi alergi saluran napas klasik melibatkan sel mast, IgE, histamin, eosinofil, dan limfosit yang mungkin bertanggung jawab pada perkembangan rhinitis akibat paparan alergen dengan berat molekul tinggi seperti protein dari hewan atau tumbuhan. Studi ini menunjukkan hubungan kuat antara paparan debu kapas pada pekerja tekstil industri dengan gejala-gejala rhinitis.Kesimpulan: Analisis data menunjukkan gejala klinis rhinitis pada pekerja, yang mengindikasikan pentingnya perlindungan dan terapi pada kondisi ini di tempat kerja.Kata kunci: rhinitis, industri kapas, debu, mukosa hidung.

PENDAHULUANSaluran napas merupakan salah satu dari sekian tempat yang menjadi masuknya subtansi asing ke dalam tubuh. Hidung dan komponennya merupakan tempat pertama yang kontak dengan agen inhalasi. Komponen pada hidung mengaktivasi mekanisme pertahanan pertama: filtrasi udara, pengaturan kelembaban, sensasi bau, dan iritan. Fungsi ini penting tapi sering diabaikan.Dikarenakan lokasinya, hidung seringkali terpapar agen berbahaya seperti gas, uap, dan aerosol (debu, asap, kabut). Agen ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan, iritasi, alergen, dan efek korosif pada saluran napas. Terkait perawatan yang diberikan kepada para pekerja, seringkali sulit mengidentifikasi agen penyebab tersebut. Rhinitis karena pekerjaan (occupational rhinitis/OR) berbeda dengan rhinitis eksaserbasi oleh karena pekerjaan maupun rhinitis jenis lain (alergi atau non-alergi) yang diperburuk oleh pekerjaan, tetapi bukan disebabkan oleh komponen dari pekerjaan itu sendiri.Penyakit inflamasi pada mukosa hidung biasanya didapatkan gejala obstruksi hidung, rhinorea, disertai dengan bersin-bersin dan hidung yang terasa gatal. Karena tingginya derajat paparan dan terbatasnya mekanisme pertahanan tubuh, hidung dan komponennya merupakan sistem organ yang paling rapuh terkait polutan lingkungan.Kondisi-kondisi yang menyertai sebelumnya juga dapat berpengaruh, misalnya deviasi septum, hipertrofi konka, polip nasi, stenosis lubang hidung, atresia koana, korpus alienum pada hidung, tumor, rhinitis kronis, kelainan transport mukosilier, kelainan sistemik lain (alergi, diabetes mellitus, endokrinopati, imunodefisiensi); penggunaan obat-obatan hidung, kontak dengan iritan lokal (misalnya detergen, insektisida, cat, dan serat kapas), dan kontak dengan iritan lingkungan (asap, tembakau, AC, dll). Pada studi ini, penulis menginvestigasi pekerja yang hanya terkena debu kapas, yang mana merupakan alergen/faktor iritan terkait dengan proses inflamasi. Walaupun sebagian besar pengetahuan mengenai perlindungan dan manajemen kondisi terhadap gejala rhinitis tersebut sudah diketahui, perusahaan tidak selalu menganggap penting perlindungan individu pekerja, dan tentu saja ini dapat membahayakan para pekerja.Tujuan dari studi adalah mengetahui prevalensi gejala rhinitis terkait paparan debu kapas pada pekerja di Nova Esperanca Cooperative berlokasi di Nova Odessa, Sao Paulo yang memiliki spesialisasi pada industri tekstil pada September-Desember 2008.

METODEAnalisis dan observasi studi cross-sectional disetujui oleh Komite Etik Rumah Sakit Universitas, Fakultas Kedokteran Universitas Sao Paulo (protokol no. 10183/2009). Studi ini tidak menyimpan kepentingan lain.Studi populasi dilakukan pada 124 pekerja di Nova Esperanca Cooperative of Nova Odessa, Sao Paulo, dilakukan antara September-Desember 2008. Pekerja yang secara periodik terpapar debu kapas menjadi sampel penelitian setelah dilakukan inform consent untuk berpartisipasi pada penelitian ini.Data dikumpulkan menggunakan kuisioner yang dikembangkan penulis berdasarkan gejala klinis rhinitis, dimana para sampel menjawab kuisioner secara privat dan individual.Variabel yang digunakan antara lain: gender (kategori pria atau wanita), rentang usia (dalam tahun), derajat gejala klinis (kategori: sangat berat, berat, moderat, ringan, dan tidak muncul atau asimtomatis).Seluruh sampel diinformasikan mengenai tujuan dan metode dari penelitian ini secara lisan dan tertulis, dan studi ini dilakukan berdasarkan kesukarelaan sampel, dan informasi bersifat individu.

HASILDari total 124 sampel pekerja di Nova Esperanca Cooperative of Nova Odessa, Sao Paulo, dilakukan penelitian antara September-Desember 2008. Usia rata-rata pekerja adalah 36.5 tahun dan 68.5% di antaranya adalah wanita. Enam orang di antara pekerja (4%) sudah pernah melakukan operasi hidung dan 6 pekerja lain tidak merespon kuisioner yang diberikan.79 sampel (63.7%) mengeluhkan obstruksi hidung; 71 sampel (57.2%) mengeluhkan hidung gatal; 58 sampel (46.7%) mengeluhkan rhinorea; 82 sampel (66.1%) mengeluhkan bersin-bersin (Gambar 1).

Di antara pasien dengan riwayat obstruksi hidung, hanya 11 sampel (9%) yang melaporkan gejala yang sangat berat (mengganggu), 14 sampel (11%) melaporkan gejala yang cukup berat, 21 sampel (17%) melaporkan gejala yang moderat, 33 sampel (27%) melaporkan gejala ringan, dan 45 sampel (36%) tidak mengeluhkan adanya gejala obstruksi hidung (Gambar 2).

Ketika ditanya mengenai hidung yang gatal, 11 sampel (9%) melaporkan gejala yang sangat berat, 16 sampel (13%) melaporkan gejala yang cukup berat, 15 sampel (12%) melaporkan gejala yang moderat, 29 sampel (23%) melaporkan gejala yang ringan, dan 53 sampel (43%) tidak mengeluhkan adanya hidung yang gatal (Gambar 3).

58 sampel (46.7%) mengeluhkan adanya rhinorea. Dari 58 sampel tersebut, 5 orang (4%) melaporkan gejala yang sangat berat, 12 sampel (10%) melaporkan gejala yang cukup berat, 19 sampel (15%) melaporkan gejala yang moderat, 22 sampel (18%) melaporkan gejala ringan. 66 sampel lain (53%) tidak melaporkan adanya gejala tersebut (Gambar 4).

Gejala lain, yaitu bersin-bersin dilaporkan sangat berat pada 8 sampel (6.4%). 17 sampel (13.7%) mengeluhkan gejala yang cukup berat, 24 sampel (19.3%) mengeluhkan gejala yang moderat, dan 33 sampel (26.6%) mengeluhkan gejala ringan. 43 sampel (34.6%) tidak mengeluhkan gejala tersebut (Gambar 5).

DISKUSIRhinitis akibat pekerjaan (Occupational Rhinitis/OR) diketahui dengan munculnya gejala klinis rhinitis terkait dengan paparan agen yang berat molekulnya tinggi atau rendah dan atau substansi iritan pada tempat kerja. Agen aerosol dapat memperburuk bahkan memicu gejala klinis rhinitis. Studi ini dimaksudkan untuk menjelaskan hubungan kuat antara paparan dari debu kapas pada pekerja industri tekstil dengan gejala-gejala rhinitis.Pada review terbaru, Della Guistina et al, mengobservasi adanya hubungan kuat antara penyakit saluran napas atas terkait dengan pekerjaan dan agen kausatif yang berhubungan dengan pekerjaan individu, lingkungan, yang sama seperti dengan penelitian ini. Studi terbaru terutama untuk menolong diagnosis penyakit tersebut dan menemukan hubungan antara paparan dan gejala yang ditemukan.Gejala OR memiliki manifestasi yang sama dengan rhinitis lain dan menghubungkan antara paparan pada mukosa hidung dengan stimulasi eksternal dari tempat kerja. Sehingga, individu yang terkena akan menunjukkan kongesti hidung akibat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular; hidung gatal dan bersin akibat stimulasi saraf sensorik, dan coryza karena stimulasi kelenjar dan peningkatan permeabilitas vaskuler.Pada tahun 1995, Bardana menjelaskan mengenai klasifikasi OR: (1) Mengganggu (annoying): ketika individu yang memiliki sensitivitas penciuman yang sangat tinggi, menyebabkan terjadinya gejala ketika terpapar substansi seperti parfum atau deterjen; (2) Iritan; ketika inflamasi yang tidak spesifik terjadi pada hidung tanpa melibatkan mekanisme alergi-imunologi; (3) Korosif: terjadi akibat paparan zat kimia konsentrasi tinggi atau gas kimia misalnya klorin atau amonia yang memicu inflamasi hingga perlukaan pada mukosa hidung dan perubahan permanen pada fungsi fisiologis pembau pada hidung; (4) Alergi/imunologi: melibatkan mediasi IgE dan mekanisme lain.Berdasarkan Bagatin, et al, penyakit inflamasi pada mukosa hidung terlihat melalui gejala obstruksi hidung dan rhinorea, disertai dengan iritasi, hidung gatal, dan bersin-bersin. Insidensi rhinoconjunctivitis terkait pekerjaan terutama lebih tinggi dalam 12-20 bulan pertama dalam masa aktivitas profesional dan akan meningkat seiring dengan peningkatan durasi paparan sampai 24 bulan. Di antara para pekerja yang diwawancarai dalam studi tersebut, gejala utama yang dilaporkan adalah bersin-bersin (61%) diikuti dengan obstruksi hidung (63.7%).Selain aksi iritasi langsung dari debu kapas, penyebab lain dari rhinitis pernah dilaporkan pada literatur. Ini termasuk akrilat (yang mana mengenai pekerja tekstil), diisocyanates (mengenai pekerja yang membuat polyurethane, misalnya busa, pelapis, tekstil, dan cat).Berdasarkan penelitian Arrais, paparan debu kapas dan material lain yang sering digunakan di industri tekstil, gejala yang ditemukan pada pekerja diperkirakan terkait dengan reaksi alergi. Dari pandangan patogenesis, mekanisme alergi klasik pada inflamasi saluran napas melibatkan sel mast, IgE, histamin, eosinofil, dan limfosit; yang diperkirakan bertanggung jawab atas perkembangan gejala klinis rhinitis akibat paparan alergen tersebut.Sama seperti di atas, gas dan iritan lain dapat secara langsung melukai epitel jalan napas, menghasilkan edema jalan napas, inflamasi, dan kematian sel. Epitel ini dapat menghasilkan mediasi inflamasi dengan menghasilkan faktor kemotaktik seperti interleukin. Selain itu, iritasi pada epitel jalan napas akibat debu kapas secara langsung dapat menimbulkan edema, inflamasi, dan proses patogenik lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya.Perkiraan 14.000 L udara disirkulasikan dalam 40 jam/minggu waktu bekerja. Jika aktivitas fisik pekerja baik, ventilasi paru juga akan lebih baik, yang mana akan meningkatkan inhalasi substansi yang tidak diinginkan.Pada zaman ini, rhinitis merupakan problem seluruh dunia, dan sering dieksaserbasi akibat progres industri. Teknologi industri yang memfasilitasi perkembangan substansi baru pada industri tekstil meningkatkan densitas populasi urban dan peningkatan polusi lingkungan. Walaupun memiliki prognosis yang baik, kondisi ini tidak boleh diabaikan. Penelitian lebih jauh harus dilakukan terkait dengan topik ini.Pencegahan didasarkan pada pemantauan lingkungan untuk mengontrol dan meredam paparan agen penyebab (substitusi, isolasi, penyaringan), intervensi dalam organisasi kerja (pengurangan stres lingkungan, jumlah individu yang terkena, dan durasi paparan), kebersihan lingkungan dan tubuh, pemeriksaan kesehatan berkala, pelatihan dan penggunaan alat pelindung individu (masker, respirator, filter, dan perlengkapan lain).

KESIMPULANAnalisis data dengan jelas menunjukkan bahwa pekerja memiliki gejala-gejala rhinitis, dan memerlukan pencegahan serta terapi terkait kondisi tersebut di tempat kerja. Hal ini sangat penting, terutama untuk mengurangi ketidaknyamanan para pekerja dan komplikasi hidung dan sinus yang mungkin muncul.Terkait dengan dampak sosial-ekonomi dari penyakit terkait pekerjaan dan untuk masyarakat secara umum, seorang multiprofesional diperlukan, bukan hanya pada area kesehatan, termasuk insinyur mesin, higienist, asisten sosial, dan psikolog.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagatin E, Costa EA. Doenas das vias areas superiores. J Bras Pneumol. 2006;32 (Supl 1):S17-S26.2. Slavin RG. Occupational rhinitis. Ann Allergy Asthma. Immunol. 2003;90:2-6.3. Shusterman D. Upper respiratory tract disorders. In: LaDou J, editor. Occupational and environmental medicine. 2nd ed. Stanford CT: Appleton and Lange 1997. p.291-304.4. Brasil. Ministrio da Sade. Doenas relacionadas ao trabalho: manual de procedimentos para os servios de sade. Braslia, DF: Ministrio da Sade; 2001. p.310-62. [Srie A. Normas e Manuais Tcnicos, 114].5. Galvo CES. Asma e Rinite Ocupacionais: Viso Imunoalrgicas. Rev Bras Alerg Imunopatol. 2010:33(1);02-07.6. Della Giustina TBA, Pereira MRG, Costa EA, Seligman J, Ibanez RN, Nudelmann AA. Guia das doenas ocupacionais otorrinolaringolgicas. Rev Bras Otorrinolaringologia Supl. Cad Debates [peridico na Internet] 2003 [cited 2004 Jan 2];69(1):1-24. (Available from: http://www.rborl.org.br/ suplementos/detalhes_debates.asp?id=14).7. Spiegel JR, Sataloff RT. Cancers of the head and neck. In: Harber P, Schenker MB, Balmes JR, editors. Occupational and environmental respiratory disease. St Louis: Mosby Yearbook; 1996. p. 276-90.8. Slavin RG. Occupational rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol. 2003;90:2-6.9. Bardana EJ Jr. Occupational asthma and related respiratory disorders. Dis month. 1995;41:143-99.10. Brasil. Ministrio da Sade. Doenas relacionadas ao trabalho: manual de procedimentos para os servios de sade. Braslia, DF: Ministrio da Sade; 2001. p.310-62. [Srie A. Normas e Manuais Tcnicos, 114].11. Arrais A. Doenas do nariz e seios paranasais. In: Prado FC, Ramos OL, Rothschild HA, editores. Atualizao teraputica: manual prtico de diagnstico e tratamento.19a Ed. So Paulo: Artes mdicas; 1999. p.1258-64.12. Christiani DC, Malo JL. Upper airways involvement. In: Bernstein IL, Chan-Yeun M, Malo JL, Bernstei DI, editors. Asthma in the workplace. 2nd ed. New York: Marcel Dekker; 1999. p.331-9.13. Schenker MB, Christiani D, Cormier Y, et al. Respiratory health hazards in agriculture. Am J Crit Care Med. 1998;158:S1-S76.