RINGKASAN EKSEKUTIF AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI...

20
RINGKASAN EKSEKUTIF AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU Kementerian Kehutanan RI Kementerian Pertanian RI Kementerian Lingkungan Hidup RI Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+) Pemerintah Daerah Provinsi Riau 2014

Transcript of RINGKASAN EKSEKUTIF AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI...

RINGKASAN EKSEKUTIFAUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

Kementerian Kehutanan RIKementerian Pertanian RIKementerian Lingkungan Hidup RIUnit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP)Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+)Pemerintah Daerah Provinsi Riau

2014

2 RINGKASAN EKSEKUTIF

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya di Provinsi Riau, telah berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan dan menimbulkan berbagai dampak negatif. Pada karhutla pada periode 2 Januari - 13 Maret 2014 teridentifikasi 12.541 titik panas (hotspots) di lahan gambut (93,6 % dari seluruh titik panas) di seluruh Provinsi Riau. Pada periode tersebut, titik panas tertinggi terdapat pada tanggal 11 Maret 2014, yakni sebesar 2.049 titik panas. Dampak dari

PENGANTARkarhutla tersebut antara lain adalah, lebih dari 30.000 warga Riau terkena Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), radang paru-paru, iritasi mata dan kulit (Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Riau, 2014). Kerugian ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung, juga sangat besar. Tercatat, misalnya, kerugian ekonomis yang tidak kecil akibat tidak beroperasinya penerbangan komersial serta terganggunya jalur distribusi

3AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

barang dan gagal panen (Badan Penanggulangan Bencana Nasional, 2014).

Untuk mengatasi permasalahan di atas, pada tanggal 15-17 Maret 2014, Presiden melakukan kunjungan langsung ke Provinsi Riau dan memimpin upaya pemadaman karhutla. Pada kesempatan tersebut pula, Presiden meminta agar dilakukan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan secara cepat dan

menerapkan penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi pihak-pihak yang terbukti menyebabkan hal tersebut.

Sebagai tindaklanjut dari perintah Presiden sebagaimana dijelaskan di atas, Wakil Presiden menyelenggarakan rapat antar Pimpinan Kementerian/Lembaga pada tanggal 12 Juni 2014. Rapat tersebut menyepakati 13 (tiga belas) rencana aksi untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan secara nasional.Pembuatan

4 RINGKASAN EKSEKUTIF

kerangka dan pelaksanaan Audit Kepatuhan (audit compliance) terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan serta pemerintah kabupaten/kota merupakan bagiandari 13 (tiga belas) rencana aksi yang disepakati tersebut.Tujuan dari audit kepatuhan adalah untuk mengetahui tingkat kesiapan perusahaan dan kabupaten/kota tersebut dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain itu, audit kepatuhan dapat mengidentifikasi kebijakan yang seharusnya dilakukan serta upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang harus segera dilakukan.

Pada tanggal 11 Juli 2014, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP),Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD+), Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup telah menyelenggarakan rapat untuk mempersiapkan pelaksanaan audit kepatuhan dimaksud. Salah satu hasil dari rapat tersebut adalah kesepakatan pembentukan tim gabungan untuk audit kepatuhan. Selanjutnya, pada tanggal 26-28 Juli 2014 telah diadakan rapat di Mapolda Riau yang dihadiri oleh

PERIODE 2 JANUARI

TITIK PANAS TERDETEKSI DI LAHAN GAMBUT

DI PROVINSI RIAU

S/D 13 MARET 2014

12.541

93.6%

5AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

Gubernur Riau, Kepala Kepolisian Daerah Riau, Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Riau dan perwakilan masing-masing Kementerian/Lembaga dimana pada rapat tersebut disepakati bahwa Gubernur, Kapolda Riau dan Kejati Riau akan menjadi bagian dari anggota pengarah pelaksanaan audit kepatuhan bersama Pejabat setingkat Eselon 1 (satu) dari Kementerian/Lembaga terkait. Provinsi Riau dipilih karena memiliki tingkat hotspots yang tertinggi pada periode 2 Januari - 13 Maret 2014.

Pelaksanaan audit kepatuhan telah dilaksanakan dalam 4 (empat) tahap terhadap 17 (tujuh belas) perusahaan dan 6 (enam) kabupaten/kota di Provinsi Riau. Berikut ini adalah penjelasan ringkas atas pelaksanaan dan hasil dari audit kepatuhan tersebut.

6 RINGKASAN EKSEKUTIF

PELAKSANA AUDIT

TUJUAN AUDIT

METODOLOGI AUDIT

Tim yang melakukan audit merupakan tim gabungan yang terdiri dari perwakilan Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola REDD+, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembanguan (UKP PPP) dan ahli serta asisten teknis, di bawah pimpinan Prof. Bambang Hero Saharjo (ahli kebakaran hutan dan lahan dari Institut Pertanian Bogor). Tim dibentuk melalui Surat Keputusan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Dan Pengendalian Pembangunan Nomor 01 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Tim Gabungan Audit Kepatuhan dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan Lahan.

1. Mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai tingkat kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan;

2. Menemukan akar persoalan yang memiliki kontribusi terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang dilakukan perusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan; dan

3. Menyusun rekomendasi dalam rangka pembinaan dan pengawasan untuk mendorong kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

Kerangka audit kepatuhan dalam rangka pencegahan hutan dan lahan disusun dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewajiban pemerintah daerah dan perusahaan dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang ada. Kerangka audit tersebut digunakan sebagai dasar evaluasi yang dilakukan melalui pengumpulan

7AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

bahan dan keterangan di lapangan, baik melalui pemeriksaan serta analisis dokumen terkait, wawancara, kunjungan langsung ke objek audit, pemeriksaan fisik dan simulasi keadaan tertentu dari objek audit.

Hasil dari proses pengumpulan bahan dan keterangan tersebut dianalisis dan dinilai berdasarkan mekanisme penilaian tingkat kepatuhan. Selanjutnya, disesuaikan perananannya dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Secara umum, laporan audit kepatuhan dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan terdiri dari dua dokumen. Dokumen pertama merupakan ringkasan eksekutif (executive summary) yang menjabarkan hasil audit secara ringkas dan menganggkat hal-hal penting dari keseluruhan hasil audit. Sedangkan, dokumen kedua, merupakan laporan utama yang terdiri dari 4 (empat Bagian), yaitu :

1. Pendahuluan yang menjabarkan latar belakang sampai dengan metodologi yang terdiri dari 1 (satu) bab;

2. Laporan utama temuan dan rekomendasi perkebunan, kehutanan dan pemerintah daerah yang terdiri dari 3 (tiga) bab;

3. Tabel penilaian yang menjabarkan nilai secara keseluruhan untuk dapat mengkualifikasikan tingkat kepatuhan dari perusahaan yang terdiri dari 23 (dua puluh tiga) lampiran; dan

4. Tabel hasil audit yang menjelaskan secara detail hasil temuan dan rekomendasi dalam bentuk penjabaran tabel yang terdiri dari 23 (dua puluh tiga) lampiran.

8 RINGKASAN EKSEKUTIF

LINGKUP DAN OBYEK AUDIT1. Lingkup audit meliputi 3 (tiga) hal utama yang

diturunkan dalam penjabaran teknis, yakni:

a) Aspek Sistem dan Kelembagaan;

b) Aspek Sarana Prasarana dan Sumber Daya Manusia; dan

c) Aspek Biofisik dan Sosial Kemasyarakatan.

2. Objek audit meliputi 6 (enam) Kabupaten/Kota dan 17 (tujuh belas) perusahaan di Provinsi Riau, yaitu :

NO. NAMA PERUSAHAAN KETERANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

1. PT. SPM IUPHHK-HTI Bengkalis

2. PT. RRL IUPHHK-HTI

3. PT. SPA IUPHHK-HTI

4. PT SRL IUPHHK-HTI

5. PT. JJP Perkebunan Sawit Rokan Hilir

6. PT. SRL IUPHHK-HTI

7. PT. DRT IUPHHK-HA

8. PT. RUJ IUPHHK-HTI

9. PT. AA Distrik Berbari Dan Distrik Pusako

IUPHHK-HTI Siak

10. PT. SSL IUPHHK-HTI

11. PT. MEG Perkebunan Sawit

12. PT. TFDI Perkebunan Sawit

13. PT. SAM Perkebunan Sawit Indragiri Hilir

14. PT. BNS Perkebunan Sawit

15. PT. NSP IUPHHBK-SAGO Kepulauan Meranti

16. PT. SRL IUPHHK-HTI

17. PT. SG IUPHHK-HTI Dumai

Tabel I. Daftar Objek Audit Kepatuhan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

9AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

HASIL AUDIT

0%

PT. MEG PT. TFDI PT. JJP PT. BNS PT. SAGM

10%SANGAT

TIDAK PATUH0 - 19.9%

20 - 49.9%

50 - 74.9%

75 - 84.9%

85 - 100%

TIDAK PATUH

KURANGTIDAK PATUH

CUKUP PATUH

PATUH

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Diagram 1

Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan Perusahaan Perkebunan dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Secara umum hasil penilaian audit kepatuhan adalah sebagai berikut:

10 RINGKASAN EKSEKUTIF

SANGATTIDAK PATUH

0 - 19.9%

20 - 49.9%

50 - 74.9%

75 - 84.9%

85 - 100%

TIDAK PATUH

KURANGTIDAK PATUH

CUKUP PATUH

PATUH

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

PT. DR

T (HPH

)

PT. AA - PB (H

TI)

PT. SG (H

TI)

PT. NSP (Sago)

PT. SRL B

LOK

IV

PT. SPM (H

TI)

PT. SPA (HTI)

PT. SSL (HTI)

PT. SRL B

LOK

V T (HTI)

PT. SRL B

LOK

III (HTI)

PT. RU

J (HTI)

PT. RR

L (HTI)

Diagram 2

Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan

Perusahaan Kehutanan dalam

Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan

Lahan

Diagram 3

Hasil Penilaian Tingkat Kepatuhan

Kabupaten/Kota dalam Rangka

Pencegahan Kebakaran Hutan dan

Lahan KAB. SIAK KAB. ROKAN

HILIR

KAB. INDRAGIRI

HILIR

KAB. KEP. MERANTI

KOTA DUMAI

KAB. BENGKALIS

0%

10%SANGATTIDAK PATUH

0 - 19.9%

20 - 49.9%

50 - 74.9%

75 - 84.9%

85 - 100%

TIDAK PATUH

KURANGTIDAK PATUH

CUKUP PATUH

PATUH

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

11AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

Berdasarkan penilaian tersebut ditemukan bahwa :

1. Perusahaan Perkebunan : Dari 5 (lima) perusahaan perkebunan yang diaudit, 1 perusahaan tergolong sangat tidak patuh (18,50 % dari 97 kewajiban) dan 4 (empat) perusahaan tergolong tidak patuh (antara 23 % sampai 48 % dari 97 kewajiban);

2. Perusahaan Kehutanan : Dari 12 (dua) belas perusahaan yang diaudit 1 (satu) perusahaan tergolong sangat tidak patuh (7,22% dari 122 kewajiban), 10 (sepuluh) perusahaan tergolong tidak patuh (antara 26, 19 % sampai 47, 54 % dari 122 kewajiban) dan 1 (satu) perusahaan tergolong kurang patuh (52, 38 % dari 122 kewajiban);

3. Pemerintah Kabupaten dan Kota: Dari 6 (enam) kabupaten dan kota, 1(satu) kabupaten patuh (92, 74% dari 67 kewajiban), 1 (satu) kabupaten cukup patuh (82, 86% dari 67 kewajiban) , dan 4 (empat) kabupaten kurang patuh (antara 60, 56,54 % sampai 67,38% dari 67 kewajiban.

Secara umum terdapat beberapa temuan dari pelaksanaan audit tersebut, yaitu:

1. PERUSAHAANa) Seluruh Perusahaan Menjalankan Kegiatan di Atas

Gambut Dalam yang Rawan KebakaranBerdasarkan penelaahan peta, penelitian lapangan, pemeriksaan yang dilakukan terhadap dokumen lingkungan hidup dan pengambilan sampel menunjukan bahwa 17 (tujuh belas) perusahaan beraktivitas di atas wilayah gambut dalam yang rawan kebakaran. Gambut dalam memiliki kateristik mudah terbakar dan mampu menyimpan api sehingga budidaya di atas kawasan tersebut harus dilakukan secara sangat hati-hati. Sebagai contoh, salah satu perusahaan memiliki kedalaman gambut melebihi 3 meter (>3m) pada lokasi kebakaran seluas 200 ha (Maret 2013) yang merupakan areal Akasia umur 1 (satu) tahun yang berbatasan dengan perusahaan lain.

12 RINGKASAN EKSEKUTIF

b) Ketidakmampuan Perusahaan dalam Menjaga Konsesinya Terkait Erat Dengan Kebakaran Hutan Dan LahanTerlihat jelas adanya korelasi antara adanya “konflik” penguasaan lahan antara masyarakat dan perusahaan dengan potensi karhutla.Pada dalam wilayah konsesi hampir seluruh perusahaan yang diaudit terdapat wilayah yang secara de facto diduduki, dan dikuasai oleh masyarakat. Kondisi tersebut terjadi karenaperan aktif masyarakat sendiri maupun sebagai akibat dari tidak dilakukannya penjagaan dan pengelolaan konsensi secara aktif oleh perusahaan. Secara umum terdapat 3 (tiga) jenis konflikpenguasaan lahan yang memicu kebakaran hutan dan lahan, yaitu:

1) Konflik Terjadi di Kawasan Lindung Perusahaan

Kebakaran pada awal tahun 2014 terjadi di kawasan yang berbatasan dengan kawasan lindung yang tidak dikelola secara baik oleh perusahaan. Sebagaimana diketahui, perusahaaan HTI dan HPH memiliki wilayah yang digolongkan sebagai kawasan lindung, dan perusahaan secara hukum bertanggungjawab terhadap kawasan tersebut. Kendalanya, penjagaan terhadap kawasan tersebut kerap belum dilakukan secara baik oleh perusahaan. Hal ini terlihat misalnya disalah satu perusahaan di Kota Dumai dimanapenjagaan hanya diserahkan kepada masyarakat yang menjadi mitra perusahaan dengan alasan minimnya akses menuju kawasan tersebut. Contoh lainnya, lokasi kebakaran di Kepulauan Rupat terjadi pada kawasan lindung sebuah di salah satu perusahaandimana dalam lokasi tersebut tidak terdapat pos penjagaan, hal mana memungkinkan terjadinya perambahan di kawasan lindung tersebut.

2) Penguasaan Masyarakat Di Kawasan Konsesi

Penguasaan masyarakat di dalam wilayah konsesi dilakukan melalui pendudukan dan pembangunan perkebunan kelapa sawit dan tamanan budidaya lainnya. Sebagai contoh, terdapat salah satu perusahaan di Kabupaten Rokan Hilir yang seluruh wilayahnya dikuasai masyarakat sehingga mengakibatkan tidak adanya sama sekali aktivitas perusahaan di lapangan. Di kawasan tersebut, ditemukan pembakaran yang dilakukan secara terang-terangan di sekitar akses jalan di wilayah konsesi.

13AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

3) Konflik Masyarakat Yang Berbatasan Dengan Areal Konsesi

Konflik masyarakat dengan perusahaan yang berbatasan dengan pemukiman penduduk menjadi penyebab lain terjadinya kebakaran karena api menyambar dari perbatasan konsesi. Sebagai contoh, kebakaran di salah satu perusahaan yang arealnya berbatasan dengan masyarakat yang menduduki kawasan hutan karena adanya proyek pembangunan jalan pemerintah sehingga terbukanya akses.

Selain itu, pelibatan masyarakat dalam upaya pemadaman kebakaran belum dilakukan oleh seluruh perusahaan. Masih terdapat perusahaan yang belum melakukan pembinaan masyarakat sekitar untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran.

c) Pelaporan Perusahaan Tidak Dilakukan Secara Komprehensif, Sehingga Deteksi Dini Tidak Dapat Dilakukan Secara Optimal Pelaporan rutin terkait pelaksanaan aktivitas perkebunan/kehutanan sebenarnya merupakan sarana penting untuk memetakan permasalahan dalam rangka pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Permasalahannya, masih ditemukannya dokumen RKL- RPL atau UKL-UPL yang masih belum membahas secara detail antisipasi serta upaya kebakaran hutan dan lahan. Pada dokumen yang sudah mencantumkan antisipasi kebakaran pun, laporan pelaksanaan RKL-RPL belum memasukan secara detail perkembangan kebakaran di wilayahnya. Selain itu, terdapat dokumen RKL-RPL atau UKL–UPL yang tidak sesuai dengan kondisi dan aktivitas perusahaan. Sebagai contoh, dokumen RKL-RPL salah satu perusahaan di Kota Dumai menunjukan komitmen untuk melakukan penanaman sawit padahal sesuai dengan legislasi saat ini, aktivitas perusahaan tersebut dibatasi pada pengusahaan HTI.Hal tersebut karena perusahaan masih menggunakan RKL-RPL yang belum disesuaikan dengan legislasi saat ini.

d) Perusahaan Belum Memenuhi Kewajiban Minimum Dalam Rangka Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Tidak ada satu perusahaanpun yang memenuhi seluruh kewajibannyasebagaimana tercantum dalam berbagai legislasi yang ada saat ini (terdapat 97 kewajiban minimum untuk perkebunan, 122 kewajiban minimum untuk kehutanan dan 67

14 RINGKASAN EKSEKUTIF

kewajiban untuk pemerintah daerah) Kewajiban yang umumnya sebelum terpenuhi adalah terkait aspek sarana prasarana (Sapras), biofisik, sistem deteksi dini dan Sumber Daya Manusia (SDM). Sebagai ilustrasi, seluruh perusahaan perkebunan yang diaudit terdapat perusahaan yang sarana prasarananya pencegahan dan penanggulangan kebakaran terletak di luar konsesi karena belum dibangun camp di wilayah tersebut. Contoh lain menunjukkan bahwa terdapat perusahaan yang memiliki sarana prasarana dukungan pemadaman kebakaran tetapi tidak sesuai dengan kondisi geografiswilatah konsesi, misalnya memiliki mobil pemadam tetapi kondisi geografis wilayahnya tidak memungkinkan kendaraan tersebut mencapai berbagai wilayah konsesi (seharusnya mereka menggunakan kapal kecil sehingga dapat menjangkau seluruh wilayah konsesinya yang terhubung dengankanal-kanal).

2. PEMERINTAH DAERAHa) Pengawasan Terhadap Perusahaan Tidak Dilakukan

Selama ini pengawasanPemerintah Kabupaten/Kota terhadap perusahaan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Hal tersebut terungkap dari, misalnyajarang dilakukannya pengawasan kepatuhan terhadap perusahaan. Bahkan terdapat perusahaan yang tidak pernah didatangi oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Dinas Pertanian dan Kehutanan secara langsung. Bahkan beberapa BLHD tidak memiliki dokumen-dokumen terkait dari perusahaan yang harusnya diawasi.

Kondisi di atas terjadi karena berbagai faktor, baik karena masih minimnya kesungguhan untuk melakukan pengawasan secara optimal, maupun karena kendala organisasi, misalnya keterbatasan kualitas dan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM)untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Sebagai contoh, terdapat kabupaten/kota yang sama sekali belum memiliki Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD) yang diangkat secara resmi. Selain itu, berdasarkan wawancara yang dilakukan, masih terdapat beberapa pejabat daerah yang tidak memahami kewajiban dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.

b) Perlindungan dalam Tata Ruang Belum OptimalBerdasarkan pemeriksaan, belum seluruh kawasan gambut dalam dimasukan dalam kawasan lindung dalam peta RTRW Daerah.

15AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

Selain itu, terhadap beberapa konsesi di kawasan gambut dalam tidak dilakukan pengawasan yang ketat sehingga kerap terjadi kebakaran.

c) Pemerintah Daerah Belum Mengetahui Seluruh Kewajiban Pencegahan dan Penanggulangan KebakaranSeluruh kabupaten/kota yang menjadi objek audit belum mengetahui kewajiban yang harus mereka penuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut disebabkan dua faktor. Pertama,tidak adanya kompilasi seluruh peraturan yang memuat kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah. Mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan yang memuat kewajiban-kewajiban tersebut, kondisi ini tentu menyulitkan bagi pemerintah dan bagi perusahaan. Hal ini diperparah dengan minimnya pembinaan dari pusat terkait kewajiban pemerintah daerah. Kedua, inisiatif dan sumber daya manusia dari pemerintah daerah yang tidak secara aktif dan sungguh-sungguh mempelajari kewajiban yang harus mereka penuhi.

d) Pemerintah Daerah Tidak Menyediakan Dukungan PLTBBerdasarkan wawancara yang dilakukan, belum ada upaya secara khusus dari 6 (enam) Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyediaan alat Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). Alat untuk mendukung PLTB memiliki fungsi penting untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan oleh masyarakat ekonomi lemah karena mereka terkadang tidak memiliki alternatif lain selain melakukan pembakaran untuk mendukung aktivitas perladangan.

e) Dukungan Pendanaan Sangat TerbatasTerdapat beberapa permasalahan pendanaan yang menghambat proses pencegahan dan penanggulangan kabakaran hutan dan lahan, yaitu :

1) Tidak Dialokasikannya Anggaran Khusus Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran

Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengalokasikan secara khusus dana untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.

16 RINGKASAN EKSEKUTIF

Permasalahannya, belum semua daerah mengalokasikan secara khusus anggaran untuk mendukung pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Beberapa daerah memasukan anggaran tersebut di dalam alokasi anggaran lain, padahal penganggaran secara khusus merupakan kewajiban sebagaimana terdapat dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan.

2) Alokasi dan Pencairan Dana Operasional Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Tidak Dilakukan

Karena jumlah SDM Pemerintah Kabupaten/Kota terbatas, kerap diperlukan keterlibatan Manggala Agni (sebagai organisasi pemadaman yang berada di bawah Kemenhut) yang memiliki fasilitas paling lengkap untuk membantu pemadaman di luar kawasan konservasi dan hutan lindung. Namun demikian, tidak ada kebijakan yang jelas terkait kemungkinan pengalokasian anggaran pemerintah daerah untuk mendukung pendanaan aktivitas Manggala Agni. Beberapa pemerintah daerah tidak mengalokasikan angggaran bagi mereka dengan dalih bahwa hal tersebut berpotensi untuk menjadi temuan penyalahgunaan anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena Manggala Agni sudah mendapatkan dana dari Kemenhut. Selain itu, instansi lain seperti Kepolisian pun sulit mendapatkan dukungan pendanaan, baik alokasi dana BPBD maupun Pemda, karena persoalanpencairan dana yang mensyaratkan kondisi bencana sehingga hanya pada kondisi penanggulangan kebakaran dana tersebut dapat dicairkan. Hal tersebut berakibat tidak dapat dialokasikan dana yang memadai pada tahap pencegahan.

f) Kawasan yang Dilingkupi Manggala Agni Terlalu LuasCakupan satu Daerah Operasional (DAOP) Manggala Agni terlalu luas sehingga mereka tidak mampumelakukan pemadaman kebakaran secara optimal. Sebagai contoh, salah satu Mandala Agni memiliki DAOP yang meliputi 3 (tiga) kabupaten/kotameski jumlah regu dan peralatan mereka miliki terbatas. Selain itu, jabatan eselon Kepala Manggala Agni tidak tinggi, sehingga menyulitkan koordinasi dengan kepala dinas di daerah. Dalam banyak kasus saat dilakukan rapat koordinasi, kepala dinas mengirimkan perwakilan yang tidak dapat mengambil keputusan secara cepat karena keterbatasan kewenangan.

17AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

g) Pemberdayaan Masyarakat Peduli Api Tidak OptimalPemerintah daerah belum membentuk masyarakat peduli api di keseluruhan kawasan rawan kebakaran. Selain itu, masyarakat peduli api belum dilengkapi perlengkapan yang memadai serta pelatihan yang memadai untuk dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

G. REKOMENDASI 1. Perbaikan Kebijakan Perlindungan di Kawasan Rawan

KebakaranSeluruh perusahaan yang di audit (sebanyak 17 (tujuh belas) perusahaan) menguasai konsesi dan melakukan aktivitas di atas kawasan gambut yang rawan terbakar. Oleh karena itu, perlunya pengetatan kebijakan perlindungan kawasan gambut tersebut pada:

a) Tingkat hulu: pada saat pemberian izin maka pemberi izin wajib mempertimbangkan kawasan gambut dalam. Dalam jangka pendek, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) perlu memasukan wilayah gambut dalam sebagai wilayah kawasan lindung;

b) Tingkat hilir: untuk wilayah yang izinnya terlanjur diberikan, perlu adanya pengawasan yang intensif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan dan peran pejabat pengawas yang mempunyai kewenangan melakukan pengawasan. Apabila perusahaan tidak memenuhi kewajiban dalam melindungi kawasan gambut dalam khususnya dalam tata kelola air untuk memastikan gambut tidak terbakar maka upaya penegakan hukum, baik administrasi, perdata maupun pidana, perlu dilakukan secara tegas. Sedangkan,untuk kawasan gambut di luar konsesi, perlu dilakukan sinergisitas pengawasan dan pemantauan antara pemerintah daerah, kepolisian dan TNI.

2. Pelaksanaan Evaluasi KonsesiPerlu dipertimbangkan untuk mengevaluasi luas konsesi yang telah diberikan ke perusahaan dengan kemampuan manajerial dari perusahaan dalam menjaga konsesinya. Apabila dinilai perusahaan tidak sanggup melakukan pengelolaan dengan baik maka perlu dipertimbangkan untuk mengurangi luas konsesi dari perusahaan tersebut dan menyerahkannya kepada perusahaan lain yang sanggup mengelola.

18 RINGKASAN EKSEKUTIF

3. Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Resolusi KonflikPerlu didorong kapasitas daerah dalam mendorong proses resolusi konflik yang dapat menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di kawasan konsesi yang rawan terjadi kebakaran. Program ini dapat disesuaikan dengan program penguatan kepasitas daerah dalam penyelesaian kondlik yang saat ini dikoordinasikan oleh Menkopolhukam berdasarkan Instruksi Presiden.

4. Penguatan Sistem Informasi KarhutlaPemerintah daerah kadang tidak memiliki sistem informasi mengenai kawasan yang terbakar sehingga diperlukan ketersediaan informasi yang muktakhir dan menggambarkan baik potensi maupun kebakaran yang telah terjadi. Karhutla Monitoring System yang dimiliki oleh BP REDD+ dan peta rawan kebakaran dari Kemenhut dapat menjadi sumber informasi bagi Pemerintah Daerah, Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup sehingga dapat menggunakan untuk melakukan antisipasi kebakaran dikawasannya dan memberikan peringatan kepada perusahaan terkait potensi maupun kebakaran yang sudah terjadi.

5. Penguatan LegislasiPerlu adanya penguatan legislasi terkait pencegahan dan penanggulangankebakaran hutan dan lahan khususnya pembuatan legislasi yang terpadu dan mengatur seluruh aspek secara detail. Sebelum hal tersebut dilakukan, Kementerian Kehutanan perlu menyusun regulasi yang lebih detail terkait dengan kewajiban perusahaan dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Selain itu, perlu disusunnya baju hukum (legal blanket) untuk pedoman yang saat ini sudah dibentuk oleh Kementerian Pertanian agar lebih memiliki kekuatan hukum yang kuat.

6. Pengawasan BerjenjangPerlu adanya penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran, baik dalam bentuk penegakan hukum administrasi (yang prosesnya cepat), maupun penegakan hukum pidana dan perdata dalam hal pelanggaran yang dilakukan serius dan menimbulkan kerugian materiil dan/

19AUDIT KEPATUHAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROVINSI RIAU

atau imateriil besar. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan menimbulkan efek jera.Untuk memastikan seluruh pemerintah daerah menjalankan kewajibannya, perlu ada intitusi pusat yang melakukan evaluasi atas pemenuhan kewajiban secara berkala untuk memastikan adanya upaya daerah untuk memenuhi kewajibannya. Bagi pemerintah daerah yang tidak menjalankan fungsinya dapat dipertimbangkan untuk diberikan sanksi yang bersifat pembinaan.

7. Pemberdayaan Masyarakat Oleh PerusahaanPerlu dilakukan kegiatan yang berorientasi kemitraan dengan masyarakat dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan, misalnya melalui pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA) di wilayah-wilayah perbatasan yang rawan kebakaran. Hal ini bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah daerah namun juga perusahaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku MPA memiliki fungsi strategis mencegah kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, perusahaan dapat memberikan insentif bagi masyarakat yang tidak melakukan pembakaran.

8. Dukungan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) dan Insentif LainPemerintah daerah harus mencari cara untuk menyelesaikan permasalahan pembakaran lahan oleh masyarakat berekonomi lemah melalui penyediaan dukungan PLTB dengan teknologi yang ekonomis. Teknologi tersebut dapat didukung oleh BPPT dan Kementerian Pertanian.

Selain itu pemerintah dan perusahaan melalui CSR perlu memberikan insentif lain bagi masyarakat untuk tidak melakukan perladangan dengan cara membakar. Hal ini penting karena Meski pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk PLTB, tetap saja hal tersebut tidak mungkin menyamai tingkat efesiensi dari metode pembakaran seperti biasanya.Pemberian insentif tersebut dapat berupa, antara lain:

a. Dukungan penyediaan pupuk dan kebutuhan perlandangan yang murah bagi petani yang tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar;

20 RINGKASAN EKSEKUTIF

b. Insentif kepada desa yang berhasil menjaga lahan sehingga penjagaan lahan menjadi kepentingan bersama;

c. Pemberian bahan kebutuhan pokok bagi petani yang tidak membakar; dan

d. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan operasional di perusahaan dalam artian yang sesungguhnya akan merupakan bentuk solusi yang patut dipertimbangkan. Kegiatan operasional dimaksud seperti kegiatan di persemaian (penyiapan media tanam, pemasukan tanah ke dalam tanaman,dan lain-lain), penyiapan lahan (pembuatan lubang tanam, pembuatan ajir tanaman, penanaman secara manual), pemupukan dan pemeliharaan (penyemprotan herbisida, pruning, dan lain-lain).

9. Dukungan Anggaran yang MemadaiDiperlukan alokasi anggaran secara khusus dalam APBD setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk memastikan hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur dapat melakukan pengawasan pemenuhan kewajiban tersebut. Selain itu, diperlukan penguatan anggaran untuk mendukung aspek pencegahan (tidak hanya pemadaman), sehingga kebakaran hutan dan lahan dapat dicegah sedini mungkin.