Ringkasan-Disertasi-Makinuddin

download Ringkasan-Disertasi-Makinuddin

of 43

Transcript of Ringkasan-Disertasi-Makinuddin

RINGKASAN DISERTASI PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN IKRAR TALAK DI INDONESIA PASCA UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu KeIslam-an Konsentrasi Pemikiran Islam Oleh : Makinudin FO. 1507.20 PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN IKRAR TALAK DI INDONESIA PASCA UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Ke-Islam-an Konsentrasi Pemikiran Islam

Oleh : Makinudin FO. 1507.20

PROGRAM PASCA SARJANA S3 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2011 1

PROGRAM PASCA SARJANA S3 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2011

PERSETUJUAN TIM PENGUJIDisertasi ini telah diuji dalam ujian tahap pertama pada tanggal 21 Pebruari 2011 dan dianggap layak untuk diuji dalam tahap kedua. Tim Penguji: 1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. 2. Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A. 3. Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, M.A. 4. Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. 5. Prof. Dr. H. Said Aqil al-Munawar, M.A. 6. Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M.A. 7. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. (Ketua) (Sekretaris) (Promotor/Anggota) (Promotor/Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)

PENGESAHAN DIREKTURDisertasi ini telah diuji dalam ujian tahap pertama pada tanggal 21 Pebruari 2011 dan dianggap layak untuk diuji dalam tahap kedua Tim Penguji: 1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. 2. Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, M.A. 3. Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, M.A. 4. Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. 5. Prof. Dr. H. Said Aqil al-Munawar, M.A. 6. Prof. Dr. H. Zainul Arifin, M.A. 7. Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A. (Ketua) (Sekretaris) (Promotor/Anggota) (Promotor/Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)

Surabaya, 19 Mei 2011

Direktur

Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. NIP. 195008171981031002

2

UCAPAN TERIMA KASIH Dengan selesainya penulisan disertasi ini, tidak ada ungkapan kata yang pantas diucapkan kecuali hanya memanjatkan syukur dan hamdalah kepada Allah SWT. yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis. S}alawa>t dan sala>m semoga terlimpahkan kepada Nabi Muh}ammad ibn 'Abdilla>h yang telah mengantarkan umat manusia dari jalan yang gelap ke jalan yang lurus, sekaligus sebagai mubayyin tehadap nas}-nas} Alqur'an, baik yang bersifat ta'ki>d, tafsi>r maupun tashri>'. Penulis menyadari bahwa kesabaran, kemauan keras, keuletan dan ketekunan dalam pengumpulan data penelitian mendorong penulis untuk berhubungan dengan pihak lain. Baik dalam hal untuk mendapatkan data kepustakaan maupun data lapangan sehingga terwujudlah disertasi ini. Oleh karena itu, disertasi ini tidak sematamata merupakan hasil karya penulis sendiri, tetapi ada bantuan dari pihak lain yang telah meluangkan waktunya secara tulus ikhlas. Untuk itu, ucapan terima kasih yang mendalam disampaikan kepada: Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si., yang telah banyak memberikan masukan, saran dan bimbingan di tengah kesibukannya sewaktu dalam perkuliahan maupun dalam pelaksanaan tugas sehari-harinya. Beliau selalu menanyakan tentang studi penulis pada Program Pascasarjana IAIN Surabaya walaupun bertemu di tengah jalan. Inilah di antara banyak dorongan yang selalu kembali menyegarkan dan menginjeksi semangat penulis untuk segera menyelesaikan studi. Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. sekaligus promotor pengganti almarhum Prof. Dr. KH. Sjechul Hadi Permana, S.H., M.A yang telah mendorong penulis mengikuti program Pascasarjana S3, memberikan masukan dan selalu menanyakan kapan disertasi selesai. Lebih dari itu, beliau sebagai dosen pembina mata kuliah Tafsir Ahkam di Fakultas Syari'ah IAIN Surabaya selalu memberikan masukan dan arahan dalam metode pengajaran Tafsir Ahkam. Demikian juga almarhum Prof. Dr. KH. Sjechul Hadi Permono, S.H., M.A. yang telah memberikan ilmu, baik sewaktu di S2 maupun S3. Dia telah mendorong kepada para mahasiswanya untuk selalu

berpikir maju, terutama terkait dengan istinba>t} dan istidla>l dalam upaya memecahkan masalah kontemporer, semoga Allah SWT. menerima segala amal baiknya dan mengampuni kesalahan dan kekhilafannya, a>mi>n ya> rabb al-'a>lami>n. Dr. Iskandar Ritonga, M.A., selaku promotor yang dengan penuh kesabaran, ketekunan dan ketelitian dalam membimbing, memberikan masukan materi dan bahkan sampai sekaligus meminjami buku serta mengoreksi tulisan secara mendalam, sejak pengajuan proposal dan penyelesaian disertasi. Beliau sangat bertanggung jawab dalam memberikan bimbingan penyelesaian disertasi, sehingga setiap kata yang ada pada disertasi tidak luput dari pandangannya, tak kurang hingga tanda baca pada setiap detail kalimat. Begitu juga, Prof. Dr. H. Abd. A'la, M.A., waktu itu menjabat sebagai Asisten Direktur I dan sekarang menjabat Pembantu Rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya, dengan sikap sederhana telah banyak mengantar dalam membantu proses menuju ujian kualifikasi. Saya sangat berhutang budi kepada ayahanda, almarhum H. Jamhari (wafat 1964) ketika penulis masih berusia kanak-kanak, ibu Hj. Fatimah yang membesarkan dan memberikan kasih sayang. Semoga jerih payah yang telah dicurahkan demi kesuksesan anaknya dibalas oleh Allah SWT. dan selalu dalam ampunan-Nya. Penulis juga sangat berhutang budi kepada para guru, dosen dan kyai yang telah memberikan ilmu, mengarahkan dan meletakkan pondasi yang kokoh sehingga tertanam nila-nilai keislaman yang kuat. Dukungan dan perhatian yang sangat besar untuk menempuh studi di S3 dari istri yang tercinta, Nur Cholifatur Rosidah, S.Pd., dan anak-anak saya, Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam (sedang menempuh penyelesaian skripsi di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya), Faradina Millatul Maula Syarifah (kelas 3 SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng) dan Fawallia 'Ansyarril Alamiah (kelas 5 SDN Grogol II Jombang). Saya ucapkan terima kasih atas pengertian dan kesabarannya. Dukungan yang sangat berharga dari ketua dan/atau hakim Pengadilan Agama Mojokerto (Drs. Sumasno, S.H., M.H.), Pengadilan Agama Jombang (Drs. Idham Kholid, S.H.) dan Pengadilan Agama Kediri (Drs. Masykuri Hasan, M.HI dan A. Djaeni, S.H.), Pengadilan Agama Singaraja (Drs. H. Mudzakkir

3

Soelsap, M.HI.) yang telah memberikan arahan, masukan dan sekaligus meminjamkan buku-buku yang terkait dengan disertasi, lebih-lebi mereka sebagai orang yang langsung bertugas menangani dan menyelesaikan masalah ikrar talak. Sungguh sangat besar ucapan terima kasih kepada seluruh teman-teman dosen, baik di IAIN Sunan Ampel Surabaya maupun Institut Keislaman Hasyim Asy'ari (IKAHA) Tebuireng yang selalu memberikan semangat untuk cepat selesai dalam pembuatan disertasi. Lebih-lebih pihak-pihak yang telah memberikan data kepustakaan, baik di perpustakaan IAIN, IKAHA maupun Pesantren Tebuireng dan Madrasatul Qur'an Tebuireng. Terima kasih yang sangat mendalam kepada Masrokhin Sadja, M.HI. dan isterinya, yang dengan tekun dan kesabaran dapat membantu dalam proses pengetikan disertasi, bahkan telah dimulai sejak awal penulis mengikuti studi di S3 dalam penulisan tugastugas berupa makalah. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. penulis panjatkan doa semoga amal baik yang mereka berikan, berupa bantuan, dorongan, dan arahan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. dengan berlipat ganda, a>mi>n ya> rabb al-'a>lami>n. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu ke-Islam-an di Indonesia dan diteruskan oleh penulis atau peneliti berikutnya.

Surabaya, 2011 Penulis,

12 Januari

Makinudin

4

ABSTRAK Judul : Pandangan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Ikrar Talak di Indonesia Pasca Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974S Penulis : Makinudin Promotor : Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. Kata kunci : Hukum Islam, Ikrar Talak, Indonesia Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam adalah hukum positif di Pengadilan Agama Indonesia. Akan tetapi, masih banyak orang Islam yang tidak mau menjalankan dan meyakini bahwa pelaksanaan talak yang diucapkan di depan Pengadilan adalah sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada nas}. Bahkan, di antara mereka menganggap tidak sesuai dengan syariat Islam terutama mereka yang selalu berpegang teguh pada kitabkitab fiqih salaf. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mendalam tentang ikrar talak di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan 1) mengapa ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama ? dan 2) bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pelaksanaan ikrar talak di Indonesia ? Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan ikrar talak di Indonesia sebagai mana yang berlaku di pengadilan agama dan memandangnya dengan pisau hukum Islam secara utuh dan bulat. Untuk menjawab kedua permasalahan tersebut dilakukan penelitian kualitatif. Sementara itu, data penelitian ini bersumber dari data kepustakaan, berupa kitab, buku, majalah dan perundangundangan yang terkait dengan ikrar talak dan data lapangan sebagai penguat data kepustakaan melalui wawancara dengan hakim dan atau panitera Pengadilan Agama Mojokerto, Jombang dan Kediri. Untuk memahami fenomena terkait denggan pelaksanaan ikrar talak di depan Pengadilan yang sedang diteliti, maka data yang telah terkumpul dianalisis secara induktif-deduktif dengan melalui

pendekatan kaidah lughawiyah dan tashri'iyah, maslahah dan teori utilitarianisme Bentham. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) pelaksanaan ikrar talak di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama, karena untuk mempersulit dan menghindari perbuatan kesewenangwenangan suami dalam menceraikan isterinya serta untuk melindungi perempuan. 2) menurut pandagan hukum Islam, bahwa pelaksanaan ikrar talak sebagaimana berlaku di Indonesia adalah sesuai dengan makna yang terkandung dalam Alquran, surat al-Nisa>' (4) : 34, 35 dan al-T{ala>q (65): 1-3 dan jiwa hadis abghad al-h}ala>l ila Alla>h al-t}ala>q dan juga sesuai dengan maslah}ah yang merupakan maqa>sid al-shari>'ah yang berupa h}ifz al-nasl (memelihara keturunan) walaupun tidak sesuai dengan fiqh yang bereda di kalangan masyarakat muslim. Dengan jawaban tersebut, pelaksanaan ikrar talak di depan pengadilan bersifat mengikat kepada umat Islam Indonesia, karena ia adalah produk ahl al-h}al wa al-'aqd sesuai dengan kaidah fiqh bahwa keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadiyah-adalah mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.

5

ABSTRACT Title : The Implementation of Pledge of Divorce in Indonesia in the Perspective of Islamic Law after The Act Number 1 Year 1974 : Makinudin : Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Dr. Iskandar Ritonga, M.Ag. : Islamic Law, Pledge of Divorce, Indonesia

qa>'idah lughawiyah and tashri'iyyah, maslah}ah theory and Bentham theory of utilitarianism. The result of this research shows 1) The implementation of declaration of pledge of divorce should be done before the court of religion affair is in order to complicate and avoid the husband's unfairness and to admire the woman's dignity as well 2) According to view punish of Islam, that implementation of divorce pledge such as in indonesia is as according to meaning which implied in al quran, letter of al-Nisa>' (4) : 34, 35 and al-T{ala>q (65): 1-3 and head of hadis lawful abghad h}ala>l ila Alla>h al-t}ala>q and as according to problems of representing maqa>sid al-shari>'ah which in the form of h}ifz al-nasl (looking after clan) although disagree with fiqh circulating in moslem society. By answering, execution of divorce pledge in front of justice have the character to commit to people of Islam Indonesia, because he is the product of ahl hal wa al-'aqd as according to methode to fiqh, decision of government in problem of ijtiha>diyah is fasten and bridge the gap opinion.

Writer Promotor Keyword

The Act Number 1 Year 1974, The Government Regulation Number 9 Year 1975, The Act Number 7 Year 1989, The Act Number 3 Year 2006, The Act Number 50 Year 2009, and Islamic Law Compilation are positive law at Indonesia Court of Religion Affair. However, there are still many Indonesian people who are unwilling to implement and believe the implementation of divorce declaration uttered before the court is in line with the islmaic teaching which is based on nas}. Even, among them suppose it is not in line with Islamic law especially those who hold tightly fiqih salaf books. Therefore, it is needed to conduct a comprehensive research about divorce declaration before the court. This research aims to answering the following question 1) Why should the implementation of pledge of divorce be done before the court of religion affair ? 2) How is the Islam point of view toward the implementation of pledge of divorce at Indonesia. So that, this research aims to understanding the implementation of divorce declaration at Indonesia as carried out in religion court and analize it from Islam point of view comprehensively. To answer the question above, the writer conducted this qualitative research. Meanwhile, this research data are taken reference in the form of kitab, magazine and act related to divorce declaration and field data as lasing as suppotting data reference through interviewing with judge and or religion clerk of The Court of Mojokerto, Jombang and Kediri. To understand of phenomenon deal with the implementation of divorce declaration gefore the court is being studied, the collected data is analized inductively and deductively through approach of

6

: 1 4791 : : , . . , . . : , , 1 4791 9 5791 7 9791 3 6002 5 9002 . , . - . )1( )2( , . . . . , 7

. )1( , . )2( : 43, 53 1-3 " " . " "

(I) PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Alqur'an dan hadis merupakan sumber hukum bagi umat Islam dalam melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari, baik bersifat diya>ni> maupun qad}a>i>. Bersifat diya>ni>, artinya jika dalam pelaksanaannya tidak membutuhkan keikutsertaan pemerintah. Diya>ni> dilaksanakan hanya berdasarkan ketaatan, seperti shalat dan puasa. Sedangkan, bersifat qad}a>i> jika membutuhkan keikutsertaan pemerintah atau kekuasaan negara, seperti perkawinan, talak, waris dan wakaf.1 Abd al-Qa>di>r 'Awdah dalam kitabnya, al-Tashri'> al-Jinai>> alIsla>mi>, menyatakan, walaupun fuqaha'> membagi hak ke dalam hak Allah dan hak individu (h}aq al-fard), kebanyakan mereka menyatakan bahwa setiap suatu perbuatan hukum yang menyentuh hak orang banyak (jama>'ah) atau hak individu murni yang dianggap hak Allah, tergolong hak jama>'ah. Hal ini, karena diundangkannya setiap hukum shara' adalah untuk diataati dan diikuti. Sedangkan, sebagian hak Allah terhadap hamba-Nya adalah mereka harus mengikuti perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan mengamalkan shari>'at-Nya. Dengan demikian, pada setiap hukum terdapat hak Allah.2 Surat al-T}ala>q (65): 1-3 merupakan surat yang isinya sering dilupakan atau ditinggalkan oleh para ulama fiqh, termasuk ulama di Indonesia, terutama terkait dengan keharusan ada saksi dalam talak sebagaimana termaktub dalam lafal, wa ashhidu> dhaway 'adl. Hal ini, karena mereka pada umumnya mengikuti madhhab alSha>fi'i, termasuk juga madhhab lain, yang tidak mewajibkan adanya saksi dalam talak. Adanya saksi hanya berhukum sunnah (nadb) atau petunjuk nas} dalam hal ini sekadar dianggap berfaedah irsha>d (memberi petunjuk), berbeda dengan Shi'ah Imamiyah (wajib), sesuai dengan kaidah pokok s}igha>t al-amr. Di samping itu, mereka kebanyakan selalu beralasan dengan hadis yang berbunyi,1 2

thala>thun jidduhunna jiddun wa hazluhunna jiddun, al-nika>h} wa alt}ala>q wa al-raj'ah3(ada tiga perkara yang hukumnya sama antara sengaja dan tidak sengaja, yaitu nikah, talak dan rujuk). Hadis yang melalui sanad Abu> Hurayrah ini, menurut Ibn 'Adi> adalah d}a'i>f> (lemah). Demikian juga menurut H}a>rith b. Abi> Usa>mah melalui Hadis 'Uba>dah b. S}a>mit yang telah menjadikan Hadis itu pada tingkat marfu'> adalah d{a'i>f dalam sanadnya, karena terdapat nama Ibn Luhay'ah dan hadis itu juga terjadi inqit}a>' (terputus sanadnya).4 Akibatnya, jika mendasarkan pada hadis ini, putusnya perkawinan melalui talak ini mudah sekali. Bahkan, kebanyakan mereka tidak memperhatikan hal-hal yang terjadi setelah talak, seperti nafkah, 'iddah, mut'ah, dan pemeliharaan anak. Begitu juga, ayat Alqur'an yang mengatur tahapan-tahapan jika suami ingin menceraikan istrinya, yaitu istri nushu>z (ketidakharmonisan), termaktub dalam alNisa>' (4)>: 34, 35 dan suami nushu>z, termaktub dalam al-Nisa>' (4): 128. Suami tidak boleh langsung menceraikan istrinya, tanpa melalui tahapan-tahapan, harus mempunyai alasan-alasan, apalagi yang nushu>z berasal dari suami. Begitu juga, hadis yang menyatakan "abghad al-h}ala>l ila> Alla>h al-t}ala>q5 (sesuatu yang halal yang sangat dibenci Allah adalah talak) Sebagai negara hukum, Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, baik dalam pengertian formil maupun materiil, baik undang-undang organik maupun non organik, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Hal ini membuktikan bahwa hukum harus ditegakkan di bumi Indonesia. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam dan berkeinginan membumikan ajarannya melalui perundang-undangan sebagai perwujudan ayat Alqur'an dalam surat al-Ma>'idah (5): 48, fah}kum baynahum bima> anzala Alla>h (maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang3 4

Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), 12. Abd al -Qadir 'Awdah, al-Tashri>' al-Jina>i> al- Isla>mi>, vol.1 ( Beirut, Da>r al-Ka>tib al 'Arabi)>, 204-205.

Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud, vol.2 (Beirut: D anzala Alla>h (dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah), maka mereka harus masuk dalam lembaga legislatif (lembaga pembuat undang-undang) atau penguasa (eksekutif atau pemerintah dalam arti sempit). Perintah ayat ini harus dijabarkan melalui kaidah Us}u>l al-Fiqh, ma> la> yatim al-wa>jib illa> bih fahuwa wa>jib 6 (suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib), al-amr bi al-shayi amr bi wasa>ilihi7 (perintah sesuatu adalah perintah sarananya) atau kaidah yang berbunyi, li al-wasa>il h}ukm al-maqa>s}id8 (sarana adalah sama hukumnya dengan tujuan atau pokok) dan inna ma> la> yatim al-wa>jib illa> bih yaku>nu wa>jiban ma> da>ma maqdu>ra>9 (sesungguhnya sesuatu yang wajib tidak dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu itu hukumnya wajib selama mampu dikerjakan). Hal ini, karena setiap hukum yang berasal dari penguasa bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat, sebagaimana dalam kaidah fiqh, h}ukm al-h}a>kim fi> masa>il al-ijtiha>d yarfa' alkhilaf10(hukum yang diputuskan hakim atau penguasa tentang masalah ijtihad dapat menghilangakan perbedaan). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo UU Nomor 3 Tahun 2006 Jo UU Nomor 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa ikrar talak yang diucapkan oleh suami kepada isterinya harus ada alasan-alasan, melalui proses permohonan cerai talak, diucapkan oleh suami di hadapan majlis hakim dan dengan dihadiri para saksi. Akan tetapi, sebagian masyarakat Indonesia menganggap ikrar talak yang diatur dalam peraturan perundangundangan tersebut tidak sesuai dengan shariat Islam, sehingga tidak perlu diikuti. Akibatnya, mereka menjadi bingung apakah mengikuti6

pendapat para kyai (berdasarkan fiqh) atau hukum positif (ius constitutum), seperti kapan talak itu dianggap jatuh, sehingga terjadi kesenjangan antara pelaksanaan ikrar talak menurut masyarakat Islam (law in action), kitab fiqh (law in book) dan undang-undang (law in act). Oleh karena itu, perlu dibahas dengan menggunakan metode istinba>t} dan/atau istidla>l yang dipakai oleh mereka dengan melalui pendekatan manhaji. B. Rumusan Masalah 1. Mengapa pelaksanaan ikrar talak di Indonesia harus di depan sidang Pengadilan Agama? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pelaksanaan ikrar talak di Indonesia ? C. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualiatif, yaitu penelitian yang mengungkap suatu fenomena tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan yang benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisisnya yang relevan, bukan berupa angka-angka dan statistik,11 yang datanya berasal dari library research (penelitian kepustakaan). Namun demikian, dibutuhkan field research (penelitian lapangan) sebagai penguat, yaitu data yang diperoleh dari Pengadilan Agama di Jawa Timur (PA Mojokerto, PA Jombang dan PA Kabupaten Kediri). 2. Jenis Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data tentang keberadaan perceraian di Pengadilan Agama; data tentang alasan-alasan cerai talak di Indonesia; data tentang proses pengajuan cerai talak di Indonesia; data tentang keberadaan saksi dalam cerai talak sebagai bahan pertimbangan hakim memberi izin suami mengikrarkan talak; data tentang saksi hakim dalam ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama; data tentang pelaksanaan ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama; data tentang pelaksanaan ikrar talak menurut Hukum Islam (fiqh) dan data tentang pendapat hakim Pengadilan Agama mengenai cerai talak di Indonesia.11

Abd al-Kari>m Zayda>n, al-Waji>z fi> Us}u>l al-Fiqh (Beirut: Muassat al-Risa>lah, 1986), 299. 7 Abd al-Hamid Hakim, al-Bayan (Djakarta: Sa'adijah Putra, 1972), 27. 8 Ibid. 9 Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al Fiqh (Beirut: Da>r al Fikr al 'Arabi>, t.t), 176. 10 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), 154.

Djam'an Satori dan Aan Komariyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: ALFABETA, 2009), 25.

9

3. Sumber Data Penelitian Data penelitian ini bersifat normatif, sehingga sumber datanya sekunder, bukan primer. Walaupun demikian, untuk memperkuat data sekunder diperlukan data primer (empiris), wawancara dengan para hakim di Pengadilan Agama Mojokerto, Jombang dan kab. Kediri. Data bahan primer penelitian ini adalah perundangundangan, yaitu UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No. 32 Tahun 1954, UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, UU No.7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Tahun 2006 jo UU No. 50 Tahun 2009 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Data bahan primer yang dari kitab, antara lain: al-T}ala>q fi> al- Shari>'ah al-Isla>miyah wa al-Qa>nu>n Bahth Muqa>ran, oleh Ah}mad al-Ghundhu>r; al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah, Muh{ammad Abu> Zahrah; al-Fiqh al-Muqa>rin li al-Ah}wa>l al-Sakhshiyah, Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n; al-Rawd}ah al-Bahiyah fi Sharh} al-Lam'ah al-Dimashqiyah, oleh Zayn al-Di>n al-Jaba>i> al-'A; al-Tafsi>r alHadi>th Tarti>b al-Suwar H}asab al-Nuzu>l, oleh Muh}ammad 'Azzah Daruzah; Majma' al-Baya>n fi> Tafsir al-Qur'a>n, oleh Abu 'Ali al-Fadl al-T}abra>si>; al-Tibya>n fi> Tafsir al-Qur'a>n, oleh Abu> Ja'far Muh}ammad al-T{u>si. Sedangkan, data bahan skunder, antara lain: Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, oleh Amir Syarifuddin; Hukum Perkawinan Islam, oleh Ahmad Azhar Basyir; Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, oleh M Djamil Latif; Hukum Perkawinan di Indonesia, oleh Arso Sosroatmodjo dan A Wasit Aulawi; Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, oleh Khoiruddin Nasution; Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, oleh Khoiruddin Nasution; Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, oleh Khoiruddin Nasution dan Hak-hak Wanita dalam Putusan Pengadilan Agama, oleh Iskandar Ritonga. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan bersifat normatif dengan teknik pengumpulan datanya berupa dokumen, berupa perundang-undangan republik Indonesia (ius constitutum) dan pendapat para ahli hukum Indonesia yang membahas talak. Namun demikian, teknik pengumpulan data dengan interview atau

wawancara juga dibutuhkan dalam upaya memperkuat data dokumen dengan mewawancarai para hakim, ter`masuk panitera Pengadilan Agama (Mojokerto, Jombang, Kab. Kediri) di wilayah PTA Jawa Timur, sebagai responden yang tidak bersifat representatif (perwakilan) tetapi respondennya atau informannya berdasarkan suatu proses pencapaian kualitas informasi atau purposive sampling.12 5. Pendekatan Penelitian a. Pendekatan al-Qawa>'id al-Lughawiyah (kaidah kebahasaan).13 b. Pendekatan al-Qawa>'id undangan).14 c. Pendekatan mas}lah{ah.15 d. Pendekatan teori utilitarianisme atau utilitisme (Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering), suatu pendekatan yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Teori ini dapat dimasukkan dalam positivisme hukum, karena teori ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah12

al-Tashri>'iyah

(kaidah

perundang-

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Meode Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),106; Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 91. 13 Pendekatan kaidah kebahasaan yang terkait dengan suatu na}s atau teks hukum tidak dapat dilepaskan dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. Penafsiran memiliki karakter hemeneutik atau penafsiran. Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Penerapan hermeneutik terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukm mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan tersirat, bunyi hukum dan semangat hukum. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar, 163-164. 14 Pendekatan kaidah ini, dalam ilmu hukum, dimasukkan dalam penefsiran teleologis, yaitu mencari tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundangundangan. Amiruddin dan Zainal Asyikin, Pengantar, 166. 15 al-Ghazali mengartikan mas}lah}ah adalah mendatangkan manfaat atau menolak mafsadah (kerusakan) yang menjadi tujuan Sha>ri'. Sedangkan, al-T}u>fi> mengartikan maslah}ah adalah sebab yang menyampaikan pada tujuan Shari', baik ibadah maupun adat. H}usayn H}a>mid H}assa>n, Naz}ariyat al-Maslah}ah fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (Kairo: Dd}i> (t}alaqa), yang bentuk mas}darnya berupa lafal t}ala>q. Walaupun berbentuk lafal tala>q, tetapi bermakna tat}li>q, seperti lafal sala>m bermakna tasli>m. Menurut bahasa (lughah), talak bermakna melepaskan ikatan, baik yang bersifat h}issi< (konkrit, berdasarkan inderawi), seperti t}allaqtu al-bai>r (saya melepaskan unta) maupun yang bersifat ma'nawi> (abstrak), yang kemudian makna ini digunakan dalam pengertian talak menurut istilah fiqh. Bahkan, untuk talak secara ma'nawi> tidak boleh digunakan lafal yang berasal dari lafal at}laqa atau mas>dar it}la>q (wazan if'a>l), harus lafal t}allaqa atau t}atli>q (wazan taf'i>l).18 Artinya, jika ada lafal at}laqtuki (saya melepaskan kamu), maka dianggap kina>yah (mengandung makna lain), sehingga membutuhkan niat, berbeda dengan t}allaqtuki (lafal s}ari>h{), yang bermakna "saya menceraikan kamu (isteri)", tidak mengandung makna lain selain perceraian. Sedangkan, menurut istilah, talak bermakna lepasnya ikatan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan menggunakan kata-kata tertentu, baik lepas seketika atau fi al-h}a>l (talak ba>in) ataupun tidak atau fi> ma'a>l (talak raj'i).19Talak ba>in kubra'> merupakan talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya sebanyak tiga kali. KHI mengartikan, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, 130 dan 131 KHI. KHI mengharuskan ikrar talak harus di depan Pengadilan Agama bagi orang Islam dan harus ada alasanlasan yang jelas dan melalui aturan beracara di Pengadilan.18

B. Rukun dan Syarat Talak Rukun talak ada 5 (lima), yaitu (1) s}i>ghah atau lafal talak; (2) mah}al (istri); (3) wilayah atau kekuasaan suami; (4) qas}d (tekad atau kehendak untuk berbuat); dan (5) mut}alliq (suami atau wakilnya yang menceraikan). Misalnya,al-Sharbi>ni> (w. 946 H) dalam al-Iqna'>, alQalyu>bi> dalam H}a>shiyat al-Qalyu>bi> (w. 1069 H), al-Ba>ju>ri> (w. 1276 H) dalam H}a>shiyah al-Ba>ju>ri>, Abu Zakariya> al-Ans}a>ri (w. 926 H) dalam Fath} al-Wahh>ab. Sementara itu, ada yang menyatakan bahwa rukun talak ada 4 (empat) dengan tidak memasukkan al-wila>yah,seperti Abd al-Rah{ma>n al-Jazi>ri> (w. 1941 M)> dalam Kita>b al-Fiqh 'ala> al-Madha>hib al-Arba'ah dan Abu> Zakariya> dalam Tuh}fat al-T}ulla>b. Sedangkan, Zayn al-Di>n al-Jubba>'i al-'A>mili> (w. 965 H) dalam al-Rawd}ah memasukkan ishha>d (persaksian sewaktu suami ikrar talak) dan qas}d dalam rukun talak.20Rukun talak yang berupa s}i>ghah atau lafal yang diucapkan sewaktu ikrar talak bila dilihat dari bentuk ucapan ikrar, yaitu ada yang s}ari>h (jelas menunjukkan makna) dan kina>yah (mengandung arti lain selain talak). Jika lafal itu s}ari>h, maka ulama sepakat lafal t}alaq, sara>h, } dan mufa>raqah merupakan lafal yang digunakan untuk menunjukkan maksud talak, sehingga tidak dibutuhkan niat, seperti suami berkata kepada istrinya kamu sekarang saya talak, berbeda jika menggunakan lafal kina>yah, seperti suami berkata kepada istri pergilah kamu dari rumahku, harus ada niat.Sementara itu, Shi'ah mengharuskan niat walaupun dengan lafal s}ari>h} dan s{i>ghat al-t}ala>q harus dari lafal t}ala>q saja, tidak boleh dari lafal sara>h} dan mufa>raqah walaupun keduanya termaktub dalam Alqur'an.21Pendapat Shi'ah tentang lafal ikrar talak dengan lafal t}ala>q lebih mengena pada sasaran jika diterjemahkan ke bahasa lain. Bagi bangsa Indonesia, ternyata kata talak saja yang dapat dipahami secara hakiki, termasuk yang digunakan dalam ikrar talak di depan sidang Pengadilan Agama.20

Muh}ammad Zayd al-Abya>ni>, Sharh} al-Ah}ka>m al-Shar'iyah fi> al-Ah}wa>l alShakhshiyah, vol. 2 (Kairo: Da>r al-Sala>m li al-T}iba>'ah wa al-Nashr, 2006), 501. Bahkan, Shi'ah mengharuskan lafal yang berupa isim fa>'il, yaitu t}a>liq, bukan mut}allaqah. 19 Ibn 'A>bidin, al-Durr al-Mukhta>r Sharh} Tanwi>r al-Abs}a>r, vol.3 (Beirut: Da>r al Fikr, 1979), 226-227. Definisi Ibn 'Abidin banyak dijadikan rujukan oleh para penulis mutaakhir, karena mencakup talak bain, sughra> dan kubra', dan talak raj'i>, seperti Husayn al-Dhahabi, Muh}ammad Abu Zahrah, Ahmad al-Ghundhu>r dan Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n.

al-Sharbi>ni>, al-Iqna>' fi> H}all al-Fa>z}i Abi> Shuja'>, vol.2 (Mesir: Da>r Ihya'> al-Kutub al'Arabiyah, t.t), 148; Abu> Zakariya> al-Ans}a>ri>, Fath} al-Wahha>b, vol.2 (t.t, t.p, t.th), 72; al-Qalyu>bi>, H}a>shiyah al-Qalyu>bi>, vol.3 (Mesir: Mat}ba'at Must}afa> al Ba>bi> alH}ala>bi>, 1956), 323; al-Ba>ju>ri>, H}a>shiyah al Ba>ju>ri>, vol.2 (Mesir: Mat}ba'at Mus}ta>fa> al Ba>bi> al H}alabi>, t.th), 139; Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh 'Ala> al-Madha>hib al-Arba'a>h, vol.4 (Beirut: Da>r al-Kutb al-'Ilmiyah, 1987), 280-281; Abu> Zakariya' alAns}a>ri>, Tuh}fat al T}ulla>b bi Sharh} Tah}ri>r Tanqi>h al-Lubba>b (Surabaya: Maktabat Sa>lim b Sa'ad b Nabha>n, t.t), 104; al-'A>mili>, al-Rawd}ah al- Bahiyah fi> Sharh} alLam'ah al-Dimashqiyah, vol. 6 (Beirut: Da>r al Ta'a>ruf, t.th),. 11. 21 al-'A, al-Rawd}ah, hal. 12.

12

Ulama fiqh mensyaratkan istri yang ditalak (mut}allaqah), harus (1) masih dalam ikatakan perkawinan dengan suaminya; (2) sebagai istri yang sedang tunggu 'iddah talak raj'i> (masih dapat kembali sebagai istri) atau sebagai istri yang sedang tunggu 'iddah talak ba>in s}ughra'>, karena keduanya masih dianggap sebagai istri sampai habis masa 'iddahnya; (3) sebagai seorang perempuan yang sedang dalam 'iddah sebab terjadi perpisahan (furqah) yang dianggap sebagai talak, bukan fasakh, seperti istri masuk Islam dan suaminya masih tetap non muslim, atau karena sebab i>la>' (menurut H{anafiyah); dan (4) sebagai seorang perempuan yang sedang tunggu 'iddah dari furqah yang dianggap fasakh yang akadnya tidak rusak dari asasnya dan tidak hilang kehalalannya seperti istri yang murtad, karena fasakh pada keadaan ini terjadi karena sesuatu yang dapat mencegah kekalnya, setelah terjadi akad yang sah. 22 Unsur qas}d sebagai rukun talak selalu menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini, karena sebagian ulama menyatakan bahwa lafal (qas}d) tersebut tidak sama dengan niat, sedangkan ulama lainnya menyamakan dengan niat. Amir Syarifuddin membedakan antara keduanya dengan pengertian bahwa qas}d adalah tekad atau kehendak untuk berbuat, sedangkan niat adalah kesengajaan hati.23Akibat perbedaan pengertian ini, dalam kitab fiqh ditemukan pendapat mayoritas ulama yang menganggap bahwa orang yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan cara main-main atau bergurau adalah jatuh talaknya. Hal ini diperkuat dengan adanya hadis yang menyatakan bahwa ada tiga perbuatan, baik sungguh-sungguh atau tidak, dianggap sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak, dan rujuk. Mereka menyatakan bahwa hadis, innama> ala'ma>l bi al-niyyah wa innama> li kulli imriin ma> nawa>.24(sesungguhnya seluruh amal harusdibarengi dengan niat, dan apa yang dikerjakan seseorang bergantung pada niatnya" ditakhsi}>s} dengan hadis :25 thala>thun jidduhunna jiddun wa hazluhunn jiddun...(ada tiga perkara yang hukumnya sama antara sengaja dan tidak sengaja, yaitu nikah, talak dan rujuk). Pernyataan ulama tersebut tidak konsisten, karena di sisi lain mereka mensyaratkan22 23

dalam nikah harus niat demi kehati-hatian sebagaimana pendapat alH{a>wi> (Abd al-Ka>ri>m Muh}ammad bin Abd al-Karim al-Ra>fi'i> Abu> alQa>sim al-Qazwi>ni>, w. 634 H., bukan al-Ma>wardi>, w. 450 H) yang mengikuti al-Ghaza>>li (w. 505 H).26 Pada talak tidak harus ada niat sehingga walaupun dengan bergurau tetap jatuh talak, padahal nikah dan talak berada dalam satu matan hadis. Hal ini dipahami jika ternyata hadis itu sah}ih atau minimal h}asan, lebih-lebih jika hadis itu d}a'i>f. Berdasarkan penelusuran ulama hadis diketahui bahwa sanad hadis tersebut terdapat inqit}a>' (terputus) yaitu pada perawi yang bernama Ibn Luhay'ah.27Di samping itu, jika mencari definisi niat dalam kitab-kitab fiqh klasik, maka ditemukan bahwa niat adalah qas}d al-shayi muqtaranan bi fi'lihi (bermaksud melakukan sesuatu, yang dibarengkan dengan perbuatannya). Karena itu, tidak tepat jika talak itu terjadi pada suami yang melakukannya dengan bermain-main atau bergurau, sebagaimana pendapat al-Ba>qir (w. 114 H), al-S}a>diq (w. 148 H), dan al-Na>s}ir dari kalangan Shi'ah, yang sebenarnya merupakan pendapat dalam mazhab Ma>liki> dan H}ambali>. Mereka mensyaratkan untuk terjadinya talak harus ada unsur kerelaan dengan bentuk ucapan, mengerti maknanya, dan menghendaki isinya, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah (2): 227, wa in 'azamu> al-t}ala>qa fa inna Alla>ha sami>'un 'ali>m (Dan jika mereka ber'azam atau berketetapan hati untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengetahui).28 Hal ini, karena talak membutuhkan niat, sedangkan orang yang bergurau tidak ada unsur kehendak ('azam) dan niat. Oleh karena itu, talak yang diucapkan suami yang bergurau adalah tidak jatuh. 29 Syarat mut}alliq (suami yang menalak) adalah berakal, baligh (cukup umur), dan atas kehendak sendiri.Ulama Shi'ah Imamiyah26

Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Da>r al Fikr, 1977), 215. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, 205. 24 Muslim, S{ah{i>h Muslim, vol.2., 158. 25 Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud, vol.2 (Beirut: Dni>, Sharh} al-Ah}ka>m fi> al-Ah}wal al-Shakhsiyyah, vol.2 (Kairo: Da>r al Sala>m, 2006), 508. al-H}a>wi> al-S}aghi>r (karya al-Qazwi>ni>), sedang al-H}a>wi> al-Kabi>r (karya al-Ma>wardi>). 27 al-S}an'a>ni>, Subul al-Sala>m, vol.3 (Singapura, al-H}aramayn, 1960), 175. 28 Departemen Agama RI, Al-Qur'an, 55 29 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, hal. 214. Ibn Rushd menyebutkan bahwa umat Islam sepakat bahwa talak dapat terjadi jika dengan niat dan dengan lafal yang s}ari>h (jelas), Ibn Rushd (Bida>yat al-Mujatahid wa Niha>yat al-Muqtas}id, vol. 2 (Mesir: Da>r al-Kutub al-Hadi>thah, t.th), 77. Yu>suf al-Qard}a>wi> termasuk ulama kontemporer yang mengharuskan ada niat dalam talak. Yu>suf Qard}a>wi>, Mala>mih} al-Mujtama' li Muslim Alladhi> Anshuduh (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 246

13

menganggap terjadi talak jika dilakukan oleh orang yang sedang mabuk sebagai hukuman dan pencegahan bagi pelakunya. Sementara itu, jika pelakunya dipaksa, maka mayoritas ulama mengatakan tidak jatuh talaknya, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nah}l (16): 106, illa> man ukriha wa qalbuhu> mutmainnun bi al-i>ma>n (Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)30 dan hadis Nabi Muhammad SAW. yang berbunyi, rufi'a 'an ummati> al-khat}a' wa al-nisya>n wa ma> ustukrihu> 'alayh 31 (diangkat dari ummatku (diampuni dosanya), karena keliru, lalai dan dipaksa). Dalam hal ini, orang yang dipaksa adalah tidak ada unsur kehendak (ira>dah) dan pilihan bebas (ikhtiya>r), berbeda dengan H}anafiyah yang menganggap jatuh talaknya, karena dalam diri pelakunya terdapat unsur ikhtiya>r (kehendak) dan qas}d (kesengajaan), yang merupakan komponen dari ahliyah (kecakapan melakukan perbuatan hukum), sehingga dia melakukan sesuatu yang paling ringan di antara dua sesuatu yang paling jelek (ahwan al-sharrayn).32 C. Persaksian dalam Talak Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang persaksian dalam talak, yaitu sebagian mengharuskan ada saksi dan sebagian lainnya tidak mengharuskan ada saksi. Mayoritas ulama fiqh tidak mengharuskan adanya saksi dalam talak, sebagaimana pendapat dari madha>hib al-arba'ah (mazhab empat, H}anafiyah, Ma>likiyah, Sha>fi'iyah dan H>}ana>bilah). Bahkan, jika diteliti tentang talak pada kitab-kitab yang ditulis mereka, maka akan sulit menemukan lafal shaha>dah fi> al-t}ala>q. Jika saja ada bahasan shaha>dah dalam kitab30

mereka, maka hanya shahadah dalam rujuk, bukan talak, karena menurut pendapat qawl qadi>m (pendapat al-Shafi'i di Badgdad), bahwa rujuk harus ada saksi, seperti kitab al-Muhadhdhab, karya alShayra>zi> (w. 476 H). Akibat dari tidak adanya kesaksian dalam talak, orang terlalu mudah dalam menjatuhkan talak walaupun sewaktu akad nikah menggunakan dua orang saksi lak-laki. Kelompok yang tidak mengharuskan ada persaksian dalam talak menyatakan, persaksian hanya menjadi syarat sahnya perkawinan, yang berasal dari mayoritas fuqaha, baik salaf maupun khalaf. Mereka beralasan (1) Talak merupakan sebagian hak yang dimiliki seorang lelaki (suami), yang diberikan Allah kepadanya dan tidak membutuhkan pembuktian (bayyinah), persaksian sewaktu dia menggunakan haknya. Begitu juga, tidak ada dalil dari Nabi Muh}ammad SAW. dan para shahabatnya, yang menunjukkan disyariatkannya persaksian.33(2) Tidak diketemukan praktek dari shahabat dan Nabi Muh}ammad SAW. tentang disyaratkannya persaksian sewaktu menjatuhkan talak. Mensyaratkan adanya persaksian merupakan perbuatan penambahan (ziya>dah) dengan tanpa dalil yang bersifat menetapkan. Perilaku ini telah dipegangi oleh mayoritas ummat Islam.34 Kelompok yang mengharuskan ada persaksian dalam talak dari dua orang lelaki yang adil, berasal dari Shi'ah Ithna> 'Ashariyah. Mereka menggunakan dalil dari surat al-T{ala>q (65) : 2 (wa ashhidu> dhaway 'adl minkum). Perintah shaha>dah pada ayat tersebut datang setelah disebut tentang terjadinya talak dan dibolehkannya rujuk (kembali) ke istri yang sedang dalam masa tunggu 'iddah. Oleh karena itu, petunjuk yang sesuai (muna>sib) dengan amr (perintah) adalah kembali kepada keduanya. Sesungguhnya, adanya penentuan ta'li>l ishha>d (alasan diberlakukannya persaksian), yaitu dapat dijadikan pelajaran oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, adalah dapat menggugah hati dan menguatkannya. Hal ini dilakukan, karena kedatangan para saksi yang adil tidak akan sunyi dari nasihat yang baik, yang dapat mencegah suami istri melakukan33 34

Depag, Al-Qur'an, 418 Hadis yang menggunakan redaksi lafal rufi'a termasuk hadis mashhu>r di kalangan ulama ahli us}u>l al-fiqh (us}uliyu>n), yang keberadaanya dianggap hadis sah}i>h} oleh Ibn H}ibba>n dan al-H}a>kim walaupun tidak ditemukan dalam dalam kitab hadis. Mah}mud al-Tah}h}an, Taysi>r Mus}t}alah} al-Hadi>th (Surabaya, Toko Kitab al-Hida>yah, t.th), 24. 32 Muh}ammad Suwayd, al-Madha>hib al-Isla>miyah al-Khamsah Wa al-Mazhab alMuwah}h}id (Beirut: Da>r al-Taqri>b Bayn al-Madha>hib al-Isla>miyah, 1995), 203. Ah}mad al-'Ayni>, al-Bina>yah Fi} Sharh} al-Hida>yah, vol. 5 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), 26. Pendapat H}anafiyah ini tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil, lebih-lebih bertentangan dengan pendapat jumhu>r al-s}ahabah (Umar b al-Khat}t}a>b, Ibn 'Umar, 'Ali> b Abi> T}a>lib dan Ibn 'Abba>s) dan juga dengan Ma>lik, al-Sha>fi'i>, Ah}mad dan Da>wud. Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, vol. 2 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1977), 212.31

Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah, 220. Muh}ammad Abu> Zahrah, al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah, 430. Artinya, jika saja lafal, ishhadu>, pada surat al-T}ala>q (65): 2 dipahami sebagai amr, tetapi hanya menunjukkan nadb (sunnah), tidak wuju>b.

14

talak, sehingga keduanya mendapat jalan keluar dari terjadinya talak, yang merupakan suatu perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah. Hal demikian merupakan sesuatu yang masuk akal, yang menunjukkan adanya keserasian antara memulai pernikahan dan mengakhirinya. Dengan demikian, kehadiran dua orang saksi menjadi syarat dalam memulai pernikahan, maka ia juga sebagai syarat dalam mengakhirinya.35 Muh}ammad Abu> Zahrah (w. 2001 M/1421 H) menyatakan, jika saja kami memilih apa yang ditetapkan di Mesir, maka kami akan memilih pendapat ini (Shi>'ah). Artinya, untuk terjadinya perceraian harus dihadiri dua orang saksi laki-laki yang adil, sehingga suami istri dapat kembali hidup berumah tangga sebagaimana semula, keduanya dapat mempersempit terjadinya talak dan suami dapat mengekang hawa nafsunya. Bahkan, Z}a>hiriyah mengatakan, talak tidak akan terjadi kecuali setelah istri diberitahukan tentang terjadinya talak. Oleh karena itu, jika suami menceraikan istrinya, sementara ia ghayb (tidak ada di tempat), maka suami mencabut kembali terhadap apa yang telah diucapkannya. 36 Di antara pendukung kelompok yang mengharuskan adanya persaksian dalam talak dari kalangan shahabat, yaitu 'Ali> bin Abi> T}>a>lib (w. 40 H) dan 'Imra>n bi H}us}ayn (52 H), dari kalangan tabi'in, yaitu Muh}ammad al-Ba>qir (w. 114 H), Ja'far al-S}a>diq (w. 148 H) dan kedua anak lelakinya, juga 'At}a> (w. 115 H), Ibn Jurayj (w. 150 H) dan Ibn Si>ri>n (w. 110 H). Dalam kitab, Jawa>hir al-Kala>m, dijelaskan bahwa 'Ali> bin Abi> T}a>lib berkata kepada seorang bertanya kepadanya (tentang talak), apakah engkau mempersaksikan kepada dua orang lelaki yang adli sebagaimana Allah SWT. memerintahkan. Kemudian dia menjawab dengan jawaban "belum". Ali berkata: pergilah! Sesungguhnya talakmu belum dianggap talak. Begitu juga 'Imra>n bin H}us}ayn ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, kemudian dia menyetubuhinya, padahal dia belum mempersaksikan tentang talak dan rujuknya. Kemudian 'Imra>n berkata: Kamu menceraikan tidak mengikuti sunnah dan merujuk juga tidak mengikuti sunnah, persaksikanlah atas perbuatan talak35

dan rujuk terhadap istri dan jangan kamu ulangi (wa la> ta'ud). Begitu juga, Ja'far S}a>diq (w. 148 H) berkata, barangsiapa yang menceraikan istri dengan tanpa saksi, maka talaknya tidak dianggap (tidak sah). Begitu juga, Sayyid al-Murtad}a> dalam kitabnya, al-Intis}a>r, menyatakan bahwa dalil yang digunakan oleh Shi'ah Imamiyah, tentang persaksian dua orang lelaki adil sebagai syarat terjadinya talak, adalah al-T}ala>q (65): 2. Dalam hal ini, Allah memerintahan persaksian dalam talak. Sedangkan, lahirnya perintah tersebut, menurut kebiasaan shara', adalah menunjukkan wujub. Padahal memberikan pemehaman terhadap sesuatu yang lahirnya wuju>b kepada sunnah (istih}ba>b) adalah benar-benar keluar atau menyalahi kebiasaan shara' dengan tanpa melalui dalil. 37 Al-Suyu>t}i> (w. 911 H) dalam kitabnya, al-Durr al-Manthu>r, meriwayatkan dari Abd al-Raza>q dan 'Abd b H}umayd dari 'At}a>' (w. 115 H), dia berkata: Nikah dengan saksi, talak dengan saksi dan rujuk dengan saksi. Begitu juga, Ibn Jurayj, sebagaimana diceritakan Ibn Kathi>r (w. 774 H), bahwa ''At}a>' berkata tentang Wa ashhidu> dhaway 'adl. Dia berkata: Nikah, talak dan rujuk tidak boleh (la> yaju>z) dilakukan tanpa dipersaksikan oleh dua saksi lelaki yang adil, kecuali dalam keadaan udhur. Perkataan 'At}a>', la> yaju>z, adalah jelas sekali menunjukkan wajibnya persaksian pada talak, menurut 'Ata, disamakan dengan nikah, yakni harus ada bayyinah (bukti saksi).38 Sayyid Sabiq (w. 2000 M.) mengatakan bahwa jika telah jelas bagi kamu bahwa wajibnya persaksian pada talak adalah mazhab para shah}abat dan ta>bi'in, maka kamu mengetahui bahwa bahwa pengakuan secara ijma' atas sunnahnya persaksian dalam talak sebagaimana terdapat dalam sebagian kitab fiqh adalah ijma>' mazhab, bukan ijma>' sebagaimana dalam kitab Us}u>l al-Fiqh. Sayyid Sa>biq (w. 2000 M.) mengakhiri perkataannya dengan mengatakan, apa yang kami sebutkan sebelumnya, dari riwayat al-Suyu>t}i> (w. 911 H.) dan Ibn Kathi>r (w. 772 H.), yaitu adanya kewajiban persaksian dalam talak adalah tidak hanya didominasi oleh para ulama dari keluarga Nabi Muh}ammad SAW., sebagaimana diriwayatkan oleh37

Ibid. 36 Muhammad Abu Zahrah, al-Ah}wa>l al-Shakhshiyah (Mesir: Dr, vol. 8 (Beirut: Dar alFikr, 1983), 1059-1060. Ibn Kathir, Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Az}i>m, vol. 4 (Beirut: Da>r alFikr, 1992), 45638

15

Sayyid Murtad}a> dalam kitab al-Intis}a>r, tetapi juga mazhab 'At}a> (w. 115 H.), Ibn Si>ri>n (w. 110 H.) dan Ibn Jurayj (w. 150 H.). 39 Adapun ulama tafsir yang condong kepada petunjuk amr (perintah) pada lafal "ashhidu>", yaitu al-Qa>simi> (w. 1322 H.) menyatakan bahwa lahir ayat menunjukkan wajib pada talak dan rujuk. Sementara itu, melakukan tarji>h} wajib dilakukan dengan dalil yang menguatkannya. Sedangkan, sesuatu yang memperkuat wajib adalah bahwa seluruh perintah pada ayat tersebut, baik sebelum maupun sesudahnya adalah menunjukkan wajib secara ijma>', tidak ada dalil yang dapat memalingkan amr tentang ishha>d dari lahirnya, sehingga seperti yang lafal yang mendahuluinya dan yang datang kemudian. Begitu juga, 'Ali al-Sabuni menyatakan jika suami menghendaki memilih talak atau rujuk, maka dia wajib mempersaksikan (fa 'alayhima> an yushhida>) dua orang lelaki yang adil dalam agamanya, akhlaknya dan istiqa>mahnya.40 D. Ikrar Talak di Depan Sidang Pengadilan Agama Perspektif Berbagai Mazhab dalam

H/1277 M); Fath} al-Wahha>b, karya Abu> Zakariya>' al-Ans}a>ri> (w. 926 H); Bada>i' al-Sana>i', karya al-Kasa>ni> al-H}anafi> (w. 587 H/1191 M); Sharh} Fath} al-Qadi>r, karya Ibn al-Huma>m al-H}anafi> (w. 681 H); alMabsu>t} , karya al-Sarakhsi> (w. 490 H); al-Mughni>, karya Ibn Quda>mah al-Maqdisi> (w. 682 H); Majmu>' al-Fata>wa> Ibn Taimiyah, karya Ibn Taimiyah (w. 728 H/ 1328 M), kecuali kitab-kitab yang ditulis oleh pemikir-pemikir kontemporer, seperti Muh}ammad 'Azzah Darwu>zah (w. 1404 H), Shah}rur dan al-Ghundu>r. Bahkan tidak setiap penulis kitab kontemporer pun belum tentu mengharuskan ikrar talak dilakukan di depan Pengadilan walaupun mereka mengharuskan ada saksi, seperti Abu> Zahrah, Badra>n Abu> al-'Aynayn Badra>n. Sementara itu, di kalangan ulama kontemporer ada ulama yang mengkrtik keras terhadap ulama yang mengharuskan ikrar talak di depan sidang pengadilan, seperti Yu>su>f al-Qard}a>wi>, alSiba>'i>, Abd al-Kari>m Zayda>n, H}usayn al-Dhaha>bi> dan Abd alWahha>b Khalla>f. Yu>suf al-Qard}a>wi menyatakan, tidak termasuk kemaslahatan jika talak itu diserahkan kepada pengadilan (mah}kamah). Tidak setiap sesuatu yang menjadi penyebab talak itu tergolong sesuatu yang boleh dibeberkan ke pengadilan, yang selalu dibicarakan oleh para pengacara dan panitera, yang pada akhirnya menjadi buah bibir orang. Walaupun orang-orang Barat mengharuskan talak melalui pengadilan, tidak berarti talak menjadi berhenti dan pengadilan tidak dapat membendung laki-laki maupun perempuan menghentikan talak.41 Walaupun demikian, al-Qard}a>wi menyatakan, kebanyakan ulama fiqh terlalu memperluas terjadinya perceraian walaupun dalam keadaan mabuk, marah dan bahkan dipaksa, padahal hadith menyatakan tentang talak dalam keadaan marah (tidak jatuh) dan Ibn 'Abbas berkata, sesungguhnya talak itu terjadi melalui niat. Namun demikian, sesuatu yang ditunjukkan nas dan tujuan shari'ah dalam membentuk keluarga dan memeliharanya adalah mempersempit terjadinya talak. Talak tidak terjadi kecuali dengan kata-kata tertentu, waktu tertentu dan niat tertentu sebagaimana

Dalam kitab-kitab klasik, yang ditulis oleh para imam mazhab dan pengikutnya tidak diketemukan, bahwa ikrar talak itu harus diucapkan di depan Pengadilan, sebagaimana kitab, alMudawwanah, karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M); H}a>shiyah al-Da>su>qi>, karya al-Da>su>qi> (w. 1230 H/1815 M); al-Umm, karya al-Sha>fi'i> (w. 204 H); al-Majmu>', karya al-Nawa>wi> (w. 67639

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 221 al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta>'wil, vol. 15 (Beirut Dn Tafsi>r At al-Ah}ka>m min al-Qur'a>n, vol. 2 (T.t: T.p, t.th), 590. Sayyid Qut{ub mengatakan Wa ha>dha> ma'a al-ishha>d 'ala> al-imsa>k aw al-fira>q (Dalam hal ini disertai dengan saksi baik pada rujuk maupun talak), Sayyid Qut}ub, fi> Z}ila>l al-Qur'a>n, vol. 6 (Jidah: Da>r al-'Ilm, 1986), 3593; Muh}ammad 'Azzah Darwuzah, al-Tafsi>r al-H}adi>th Tarti>b al-Suwar H}asab al-Nuzu>l, vol. 8 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1964), 334. 'Azzah menyatakan, yaji>b istishha>d shahi>dayn 'adlayn min al-muslimi>n 'ala> al-t}ala>q wa al-'iddah wa al-mura>ja'ah wa yajib 'ala> alshuhu>d an yuaddu> shaha>datihim bidu>n muh}a>bah; al-T}abra>si>, Majma' al-Baya>n, 480. Muh}ammad Sayyid al-T}ant}a>wi>, al-Tafsi>r al-Wasi>t} li al-Qur'a>n al-Karim, vol. 14 (Mesir: Nahdah, 1998), termasuk juga al-Alusi, Ruh} al-Ma'a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur'a>n al'Az}i>m wa al-Sab'i al-Matha>ni>, vol. 14 (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1994), 330. al-T}ant}a>wi> dan al-Asi> secara tidak langsung mengambil rujukan dari al-T}abra>si>. al-T}abra>si> menyatakan bahwa secara lahir menunjukkan bahwa ayat itu menunjukkan perintah persaksian dalam talak dan hal ini diriwayatkan dari para imam ahl al-bayt r.a, dan persaksian adalah wajib dan menjadi syarat sahnya talak.40

41

Yu>suf al-Qard}a>wi>, Mala>mih{ al-Mujtama>' li Muslim Alladhi> Anshadah (Kairo: Maktabat Wahbah, 2001), 248.

16

yang dipegangi al-Bukhari dan ulama salaf dan dikuatkan oleh Ibn Taymiyah dan Ibn Ibn al-Qayyim.42 Mus}t}afa> al-Siba>'i menyatakan, talak melalui pengadilan, sebagaimana terjadi di Barat, adalah sangat jelas dampak bahayanya dari satu segi dan tidak ada kegunaannya dari segi lainnya. Dari segi dampak bahayanya, talak akan membuka rahasia rumah tangga dari kedua belah pihak di depan pengadilan dan para pengacara. Terkadang rahasia ini sebaiknya ditutupi oleh pemiliknya. Sedangkan, ketiadaan manfaat talak di pengadilan adalah jika seseorang meneliti tentang perceraian di pengadilan yang terjadi di Barat, maka dia menjadi yakin bahwa keterlibatan pengadilan itu merupakan bentuk tersendiri dalam topik bahasan ini (talak). Dalam hal ini, sedikit sekali seorang perempuan (isteri) atau laki-laki (suami) yang mengajukan perceraian ke pengadilan ditolak. Kebanyakan para selebriti perempuan memperlihatkan akan kesenangannya terhadap perceraian dari suami mereka dan kawin dengan laki-laki lain sebelum mereka datang ke pengadilan. Tidak lama kemudian, pengadilan mengabulkan permohonan perceraian mereka.43 Abd al-Kari>m Zayda>n menyatakan, walaupun prinsipnya talak itu haram, tetapi talak tidak boleh dilakukan oleh suami setelah mendapat izin dari pengadilan, karena (1) Tidak ada dalil, baik Alqur'an maupun hadis yang membatasi hak suami menceraikan isterinya dengan mengharuskan izin dari hakim sewaktu suami menceraikan isterinya, (2) Tidak ada seorang ulama manapun yang mengharuskan ada izin dari hakim sewaktu suami menjatuhkan talak, sejak masa shahabat dan masa sesudahnya. Ini merupakan ijma>' suku>ti> tentang tidak bolehnya mensyaratkan talak harus mendapatkan izin dari pengadilan, (3) Keharusan menjatuhkan talak melalui pengawasan dan penetapan izin dari pengadilan sewaktu menjatuhkan talak tidak akan mendapatkan kemaslahatan dari isteri. Hal ini, karena hakim jika dia mampu mencegah terjadinya talak melalui izin pengadilan, maka dia tidak mampu mencegah kejelekan pergaulan rumah tangga atau dapat menghilangkan sebab-sebab yang mendorong suami menceraikan atau mendapatkan izin42 43

menceraikan isterinya, (4) Di antara sebab-sebab perceraian yang dapat diterima adalah hal-hal yang bersifat kejiwaan (al-umu>r alnafsiyah), antara lain ada kebencian suami terhadap isterinya seperti adanya kesulitan untuk melangsungkan perjodohan, karena adanya unsur kebencian suami atau kedua-duanya, termasuk juga suami tidak ada rasa persahabatan dengan isterinya, seperti suami sudah tidak ada keinginan untuk menggaulinya. Hal-hal tersebut merupakan urusan kejiwaan yang tidak masuk dalam kekuasaan peradilan, (5) Faktor-faktor penyebab perceraian terkadang berupa sesuatu yang tidak baik untuk dibuka di muka hakim, demi untuk meminta izin perceraian, padahal sebaiknya hal tersebut perlu disembunyikan dan (6) Aturan tah{kim antara suami isteri sewaktu terjadi perselisihan antara keduanya tidak perlu membutuhkan izin dari hakim sebagaimana dikumandangkan oleh sebagian ulama.44 Husayn al-Dhahabi> menyatakan, walaupun hikmah diundangkannya aturan perceraian itu telah jelas dalam Islam, tetapi ada juga kecondongan (pemikiran) yang mendorong perceraian itu harus berada di tangan hakim (yad al-qa>d{i>), yakni suami tidak dapat memiliki hak mutlak dalam menceraikan isterinya. Ini merupakan pemikiran yang tidak mengandung kemaslahatan, bahkan sebaliknya yaitu mengandung mafsadah (kerusakan) dan mad}arah (bahaya). Kebanyakan terjadinya talak didasarkan pada sebab-sebab yang ada dalam hati dan jiwa, yang tidak mungkin diketemukan buktinya dantidak dapat diketemukan melalui indra atau diketemukan dalilnya melalui tanda-tanda. Untuk itu, bagaimana seorang hakim dapat menjelaskan sesuatu yang sangat dirahasikan oleh pemiliknya dan disimpan dalam hatinya. Sementara itu, pertentangan dalam kehidupan rumah tangga tidak merupakan pertentangan antara pihak z{a>lim dan maz{lu>m, tetapi kebanyakan terkait dengan urusan kecintaan yang telah rusak dan porak poranda dan hubungan perjodohan tidak layak lagi untuk diteruskan. Sedangkan, hati merupkan urusan Allah, bukan berada di tangan hakim (bi yad alqa>d}i>). Kemudian, sesungguhnya sebagian dari sebab-sebab talak terdapat sesuatu yang jika dibeberkan di depan peradilan (ama>m alqad}a>''), dicatatkan dalam pencatatan pengadilan dan dibantah oleh44

Ibid., 350. Ibid., 350.

^Abd al-Kari>m Zayda>n, al-Mufas{s{al fi Ah{ka>m al-Mar'ah wa al-Bayt al-Muslim fi> al-Shari>'ah al-Isla>miyah, vol. 7 (Beirut: Mu'assat al-Risa>lah, 1994), 357-358.

17

pihak lawan, maka rahasia rumah tangga akan terlihat dan ditujukan kepada suami atau isteri, padahal salah satu etika dalam Islam adalah menjaga rahasia mereka dari orang lain, menjaga kehormatan mereka dan tidak merusak tabir (rahasia) mereka.45 Muh}ammad 'Azzah Darwuzah (w. 1404 H) merupakan penulis kitab tafsir yang sangat berbeda dengan lainnya, terutama dengan para penulis kontemporer seperti Must}afa> al-Siba>'i, Husayn alDhaha>bi dan Yu>suf al-Qard{awi. 'Azzah Darwuzah (w. 1404 H) sangat tegas dalam memahami lafal fa in khiftum alla> yuqi>ma> dalam surat al-Baqarah (2): 229 dan lafal wa in khiftum shiqa>q dalam surat al-Nisa' (4): 35, terutama tekait dengan mukha>t}ab dlami>r (tum), yaitu tertuju kepada hukka>m (hakim) atau aimmah (penguasa). Di samping itu, dia sangat tegas dalam menentukan istishha>d dan iqa>mat al-shaha>dah dengan menyatakan, keduanya dilakukan untuk melihat permasalahan talak dari pihak hakim (qa>d}i>). Semua ini dan hadis-hadis telah banyak menyebutkan keberadaan para suami dan isteri yang selalu datang (mura>ja'ah) kepada Nabi Muh}ammad SAW. dan para penggantinya (khulafa>ih) tentang talak, i', z}iha>r, nafkah, rad}a>'ah dan lainnya. Kedatangan mereka kepada Nabi Muh}ammad SAW. dan penggantinya dalam upaya memecahkan masalahmasalah yang terjadi antara mereka, yang dalam hal ini boleh dikatakan, sesungguhnya tidak ada larangan shara' untuk mengkaitkan masalah talak dengan pengadilan shara' (pengadilan agama). Jika hal ini dilakukan, maka akan terbentuk pelaksanaaan talak yang sempurna dengan melakukan pengkaijian dan penajaman tentang sebab-sebab talak dari pihak hakim.46 'Azzah juga menyatakan, pendapat yang mengatakan bahwa rahasia-rahasia manusia tidak sah disebarluaskan walaupun melalui pengadilan adalah tidak pada tempatnya. Hal ini, karena pengadilan dapat dipercaya untuk menjaga rahasia manusia. Di sana terdapat hal-hal yang sangat banyak sekali, yang di dalamnya terkandung rahasiarahasia dan dikaitkan dengan pengadilan, baik secara shara' maupun undang-undang (qa>nu>n). Dia juga menyatakan, apa yang dikatakan bahwa Allah telah membolehkan suami menceraikan isterinya dan45

tidak sah menghalang-halangi haknya dan jika suami menggunakan haknya, sedangkan pelaksanaannya tidak dianggap terjadi, maka dia menggauli isterinya secara haram. Dalam hal ini, 'Azzah menyatakan, sesungguhnya pada masa Nabi Muh}ammad SAW. dan para penggantinya, orang-orang selalu datang kepada beliau dan penggantinya dan mengikuti apa yang difatwakan. 47 'Azzah menyatakan, dalam Alqur'an terdapat ungkapan-ungkapan ('iba>ra>t) yang menjadikan peradilan sebagai tempat untuk memecahkan permasahan talak. Oleh karena itu, jika pemerintah (wali> amr al-muslimi>n) telah menetapkan hal tersebut (talak) yang berdasarkan atas arahan-arahan Alqur'an dan a>thar nabawiyah (Hadis), maka menjadi mengikat dan memaksa (mulzim). Pada akhirnya, perceraian yang dilakukan suami dengan tanpa melalui peradilan adalah tidak terjadi atau tidak sah (laghw). Model seperti ini telah ditetap dan diterapkan dalam undang-undang di Tunisia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sementara itu, sesuatu yang dapat dipahami secara cepat, sesungguhnya uli> (ahl) al-h}al wa al-'aqd dan ahl al-shu>ra>' telah menyetujuinya berdasarkan atas kajian-kajian (dira>sa>t) dan istinba>t} shar'iyah. Selanjutnya, dia menyatakan, barangkali hal tersebut (seluruhnya atau sebagian undang-undang di Tunisia) sesuai dengan apa yang telah kami paparkan. 48

H}usayn al-Z}ahabi>, al-Shari>'ah al-Isla>miyah Dira>sah Muqa>ranah bayn Ahl alSunnah wa al-Shi>'ah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), 243. 46 Muh}ammad 'Azzah Darwu>zah, al-Tafsi>r al-Hadi>th Tarti>b al-Suwar H}asab alNuzu>l, vol. 8 (Beirut: Da>r al-Gharb al-Isla>mi>, 1994), 433-434.

47 48

Ibid., 434. Ibid.

18

(III) PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun pergaulan masyarakat, sehingga diputuskan bersama oleh suami isteri.49 Dengan melihat prinsip-prinsip perkawinan tersebut, tampaklah bahwa salah satu dari prinsip perkawinan di Indonesia adalah mempersulit (mempersukar) terjadinya perceraian atau talak. B. Alasan dan Proses Perceraian di Indonesia Alasan-alasan yang harus ada dalam cerai, baik cerai talak maupun cerai gugat telah diatur dalam Pasal 39 ayat 2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain (kekerasan dalam rumah tangga). 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar taklik talak. 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.49

A. Perceraian Dipersulit dalam Hukum Indonesia Pasal 4 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan tentang azas-azas atau prinsip-prinsip perkawinan: 1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan immaterial. 2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. 3. Undang-undang ini mengatur prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raga untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Undang-undang menentukan batas umur untuk kawin baik pria maupun bagi wanita, adalah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun) bagi wanita. 4. Undang-undang ini menganut azaz monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan terpenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 5. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, sehingga perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1981), 23-24.

19

Alasan-alasan perceraian dari huruf a sampai dengan huruf f diatur secara tegas, baik dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 39 ayat 2), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (Pasal 19) maupun Kompilasi Hukum Islam (Pasal 116). Sedangkan, alasan huruf g dan h hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 116). 50 C. Bentuk-Bentuk Perceraian di Indonesia Pengertian perceraian (talak) tidak ditemukan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Akan tetapi, istilah tersebut diketemukan dalam Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut dinyatakan: Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan 131 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan, Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan bentuk-bentuk perceraian secara tegas. Akan tetapi, jika dipahami secara mendalam bahwa dalam undang-undang tersebut menjelaskan cerai talak dan cerai gugat, sebagaimana dipahami dalam Pasal 39 (cerai talak) dan Pasal 40 (cerai gugat). Sedangkan, Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan bahwa permohonan cerai (talak) yang diperuntukan khusus yang berperkara di pengadilan agama, yang kemudian diatur dalam Pasal 66-72 UU Nomor 7 Tahun 1989. Sementara itu, cerai gugat diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang kemudian diatur dala Pasal 73-86 UU Nomor 7 Tahun 1989.50

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjelaskan tentang proses cerai talak: (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. 51 (2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. (3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.

51

Adanya penambahan alasan perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam pada huruf h (murtad) menimbulkan masalah, karena jika terjadi rukun antara suami istri, maka murtad tidak dapat dijadikan alasan perceraian, padahal dalam fiqh dinyatakan bahwa murtad merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan walaupun suami istri rukun dalam rumah tangga.

Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan tempat permohonan diajukan, yang isinya: Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Dalam hal ini, Ahmad Rofiq menyatakan, kutipan tersebut menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan adalah yang mewilayahi tempat tinggal permohonan. Sementara itu, dalam Undang-Undang Peradilan Agama mengubah atau memperbaharuinya, tempat mengajukan permohonan adalah ke pengadilan yang mewilayahi tempat kediaman termohon, atau dalam bahasa kompilasi tempat tinggal (domisili) isteri. Perubahan tempat mengajukan permohonan tersebut sekaligus mengubah secara prinsip pengaturan yang ada dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975. Hal ini dimaksudkan seperti kata Munawir Sadzali, untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada isteri. Bobot keringanan terhadap pihak perempuan akan lebih jelas lagi dalam gugatan perceraian. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 296-297. Dalam Pasal 28 (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan, Suami yang hendak menjatuhkan talak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b, Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, memberitahukan maksudnya dengan surat kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Hasbullah Bakry, Kumpulan Lengkap Undang-Undang, 321.

20

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohnan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. (5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak. 52 Permohonan sebagaimana termaktub dalam Pasal 66 tersebut memuat: a. nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu isteri; b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI). Terhadap permohonan ini, Pengadilan Agama mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya banding dan kasasi (Pasal 113 KHI). Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan. Pasal 68 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan (1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan; (2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan: Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud Pasal 14 dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian (Pasal 131 ayat 1 KHI). Pasal 70 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana dirinci dalan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975: (1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan;

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) isteri dapat mengajukan banding; (3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan isteti atau wakilnya untuk mengahdiri sidang tersebut; (4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri isteri atau kuasanya; (5) Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah tidak datang menghadiri sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya; (6) Jika suami dalam tenggang waku 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama. 53 Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menjelaskan: Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Pasal ini kemudian dirinci dalam Pasal 131 ayat 5 KHI, yang menyatakan: Setelah sidang penyaksian ikrar talak, pengadilan agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada pegawai pencatat nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk53

52

Selain itu, ayat (5) memberi peluang diajukannya kumulasi obyektif atau gabungan tuntutan. Hal ini dimaksudkan agar mencari keadilan melalui pengadilan dapat menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan, 66.

Dengan Pasal 16 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 70 ayat 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, ikatan perkawinan suami isteri tetap utuh, belum terjadi talak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat 4 KHI yang menyatakan: Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.

21

diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan oleh pengadilan agama. Selanjutnya, Pasal 71 UU Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan: (1) panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak; (2) hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi. D. Ikrar Talak di Pengadilan Agama Ikrar talak yang berlaku di Indonesia harus dilakukan di depan sidang pengadilan agama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 39, ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1989 dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ikrar talak diucapkan oleh suami setelah pengadilan berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian. Dalam hal ini, pengadilan menetapkan bahwa permohonan yang diajukan suami atau kuasa hukumnya dikabulkan. Terdahap penetapan ini, istri dapat mengajukan keberatan dengan melalui banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Kemudian setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht), pengadilan menentukan hari penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut. Dalam sidang tersebut, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akte otentik untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. Jika istri telah mendapatkan panggilan secara sah atau patut, tetapi dia tidak datang menghadap sendiri atau wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak dengan tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Hal ini berbeda, jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah

atau patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut dan perceraian talak tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama, Pasal 70 ayat 1-6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam cerai talak diterapkan ketentuan penggugat dan tergugat, bersifat contensiosa, yang produk hukumnya berupa keputusan. Akan tetapi, sewaktu ikrar talak diterapkan ketentuan yang bersifat volunteer, yang produk hukumnya ketetapan, sehingga bersifat sepihak, yang berarti pengadilan semu. Dengan demikian, dalam ikrar talak ada dua produk, yaitu keputusan untuk pemberian izin talak dan ketetapan untuk ikrar talak. Hal ini berbeda dengan cerai gugat yang bersifat contensiosa, yang berarti pengadilan yang sebenarnya.54 Walaupun suami sudah datang pada hari penyaksian ikrar talak dan sidang majlis sudah dimulai, Hakim Majelis masih berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, sehingga hakim bersifat aktif, bukan pasif. Dalam hal ini, hakim masih mempunyai harapan barangkali suam berniat untuk tidak melanjutkan perceraian dan hidup kembali sebagaimana keadaan semula, karena dia melihat nasib anak-anaknya jika terjadi perceraian. Akan tetapi, jika suami tidak berkehendak untuk kembali, Hakim Ketua mempersilahkan kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak, yang dihadiri istrinya atau kuasa hukumnya. Pada masa yang lalu, sebelum mengucapkan ikrar talak, hakim mengatakan kepada suami dengan ucapan: Pak hakim, saksikan ucapan ikrar talak saya ini. Kemudian, baru hakim melakukan penyaksian ikrar talak. Akan tetapi, pada saat ini hakim majlis langsung bertindak sebagai saksi dengan tidak ada permohonan dari suami atau wakilnya dengan tanpa melihat saksi dari hakim itu harus lelaki semua sebagaimana dalam pendapat Shi'ah, sesuai dengan bunyi Alqur'an, wa ashhidu> dhaway 'adl, tanpa memandang jender. Namun demikian, dalam praktek sampai saat ini dalam penyaksian melalui pengadilan (hakim) tidak pernah terjadi ikrar talak dengan54

Masykuri Hasan, Wawancara, Kediri, 10 Agustus 2010. Sementara itu, Idham Khalid menganggap cerai talak tergolong contensiosa. Jika dikatakan volunteer itu, maka hanya dilihat dari kata permohonan, tetapi prosesnya dengan contensiosa (ada lawan). Idham Kholid, Wawancara, Jombang, 18 Agustus 2010.

22

tanpa ada dua orang laki-laki, yang terlibat. Pengertian hakim majelis harus dipahami secara utuh, termasuk Panitera. Karena Panitera tergolong orang yang terlibat dalam sidang penyaksian pengucapan ikrar talak, sehingga dapat sebagai saksi. Hal ini, secara tidak langsung walaupun undang-undang tidak mengharuskan lakilaki, pengadilan masih tetap melibatkan 2 (dua) saksi laki-laki, sehingga kaidah 'adad ma'du>d pada lafal "dhaway 'adl" masih tetap berlaku, sekaligus untuk menghindari khila>f (perbedaan) tentang khila>f mustah{ab (keluar dari perbedaan adalah disunnahkan). 55 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 51K/AG/1981, tanggal 25 Agustus 1982 menyatakan bahwa talak yang dilakukan tidak di depan sidang pengadilan juga tanpa diketahui oleh dua orang saksi adalah tidak berdasarkan Hukum Islam. Dalam hal ini, Sumasno (ketua PA Mojokerto) mengatakan bahwa ketentuan harus ada dua orang saksi ini harus dilihat (1) jika yang dimaksud dua orang saksi ini diambil dari orang di luar hakim55

majelis, maka tidak pernah dilakukan, sedangkan (2) jika yang dimaksud dua orang saksi itu hakim yang terlibat dalam hakim majelis, maka dilakukan pada setiap pengucapan ikrar talak, bahkan tidak hanya dua orang hakim, tetapi tiga orang hakim. Lebih lanjut, Masykuri Hasan (hakim PA Kab. Kediri) menyatakan bahwa hakim tidak harus mengikuti yurisprudensi. Artinya, hakim boleh mengenyampingkan yurisprudensi dan tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan, sebagaimana bunyi Pasal 16 PP. Nomor 9 Tahun 1975. Sebelum suami mengucapkan ikrar talak, hakim menanyakan dahulu tentang keadaan isterinya, yaitu apakah sedang haid atau tidak atau suci yang sudah disetubuhi. Jika isterinya sedang haid atau suci yang sudah disetubuhi, menurut Masykuri Hasan (hakim Pengadilan Agama Kabupaten Kediri), pengucapan ikrar talak harus ditunda, karena akan memperlama masa 'iddah seorang isteri dan sekaligus menghindari khlila>f. Hal ini, karena mengucapakan ikrar talak pada waktu isteri sedang haid dianggap talak bid'ah dan sebagian ulama menganggapnya tidak sah (tidak jatuh talak). Sementara itu, Idham Khalid (wakil ketua/hakim Pengadilan Agama Jombang), menanyakan kepada isteri (mut{allaqah), apakah kamu menerima jika kamu dicerai dalam keadaan haid. Jika dia menerima, suami diperintahkan mengucapkan ikrar talak, sedangkan jika dia tidak menerima, maka ikrar talak ditunda. Akan tetapi, jika menerima, suami diperintahkan untuk mengucapkan ikrar talak walaupun dalam keadaan haid, sehingga disebut talak bid'ah dengan resiko masa tunggu 'iddah lebih lama. Hal ini karena para ulama tetap menyatakan bahwa ikrar talak yang diucapkan dalam keadaan haid atau suci yang sudah disetubuhi tetap jatuh walaupun haram. Artinya, haram li ghayrih, bukan haram lidha>tih, yakni memperpanjang masa 'iddah.56 E. Berlakunya Ikrar Talak di Indonesia. Penetapan berlakunya ikrar talak dimaksudkan untuk mengetahui kapan seorang mantan istri memulai masa tunggu56

Idham Khalid (wakil ketua PA Jombang, Wawancara, Jombang, 13 Agustus 2010. Hal ini berbeda dengan Moh. Djaeni (Panitera PA Kabupaten Kediri) yang berpendapat bahwa yang dimaksud hakim majelis adalah para hakim yang menghadiri penyaksian ikrar, yang terdiri atas 1 (satu) hakim ketua dan 2 (dua) hakim anggota, bukan panitera. Panitera hanya sebagai pelengkap yang membantu dan mencatat hal-hal yang terjadi dalam sidang. Dia juga mengatakan bahwa saksi dari hakim dalam ikrar talak tidak mengenal gender. Artinya, saksi dari hakim boleh perempuan semua, hanya saja sampai saat ini belum pernah terjadi, karena masih kekurangan hakim perempuan. Artinya, pada suatu waktu dapat terjadi hakim yang bersidang terdiri atas perempuan semua dan dibenarkan. Tidak diperintahnya hakim untuk menjadi saksi oleh suami yang mengucapkan ikrar talak adalah karena sudah dipahami bahwa pengadilan berkududukan sebagai saksi, sehingga walaupun tidak diperintahkan dengan sendirinya para hakim yang terlibat dalam ikrar talak sudah dianggap sebagai saksi. A. Djaeni, Wawancara, Kediri, 18 Agustus 2010. Sumasno, ketua PA Mojokerto, mengatakan, sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, ikrar talak disaksikan oleh dua orang saksi di luar hakim majelis dan sebelum ikrar talak hakim menyuruh kepada suami agar dia memerintah hakim majelis untuk menyaksikan. Akan tetapi, setelah UU Nomor 7 Tahun 1989, saksi dari luar ditiadakan (cukup dengan hakim majlis saja), karena untuk mempercepat jalannya sidang, di samping bertambahnya kasus perceraian. Sumasno (ketua PA Mojokerto), Wawancara, Mojokerto, 27 Agustus 2010. Sementara itu, Mudzakkir Soelsap, hakim PA Singaraja Bali, menyatakan bahwa suami dalam ikrar talak tidak boleh diwakili oleh pengacara perempuan dan non muslim dan dalam praktek terkadang ikrar talak diucapkan di hadapan hakim tunggal, padahal masalah ini dianggap masalah ta'abbudi. Mudzakkir Soelsap, Wawancara, Tebuireng, 31 Agustus 2010.

Masykuri Hasan (hakim PA Kab. Kediri), Wawancara, Kediri, 18 Agustus 2010; Idham Kholid (wakil ketua PA Jombang), Wawancara, Jombang, 10 Agustus 2010. Mudzakkir Soelsap berpendapat sama dengan Idham Kholid tentang mengucapkan ikrar talak sewaktu isteri sedang haid atau suci yang sudah disetubuhi.

23

('iddah), baik 'iddah talak raj'i> atau talak ba>in kubra>'. Bahkan, untuk mantan isteri yang tidak menunggu 'iddah, yaitu yang belum disetubuhi suaminya (qabl al-dukhu>l). Dalam hal ini harus dimengerti bahwa segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak harus dicatat oleh panitera. Begitu juga, hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi (Pasal 71 ayat 1-2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Artinya, produk akhir dari cerai talak ini berupa penetapan, yang berarti volunter walaupun sebelumnya masuk dalam kategori contensiosa.57

57

Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975: Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan dalam sidang; Pasal 71 (2) hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan banding atau kasasi dan Pasal 123 KHI: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini berbeda dengan cerai gugat, sebagaimana diterangkan dalam Pasal 81 (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989: Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum.

24

(III) HUKUM TALAK DI INDONESIA

A. Proses Ikrar Talak di Indonesia Pada Penjelasan Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain atau tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga. Kemudian alasan-alasan tersebut diulangi dan dipertegas lagi dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan menambah dua anak pasal, yaitu: g. Suami melanggar taklik-talak; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga.5858

Tambahan alasan perceraian pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang berupa taklik talak dan murtad sangat penting, karena sebelumnya tidak ada. Taklik talak adalah suatu janji atau pernyataan yang biasanya dibacakan suami setelah akad nikah.Taklik talak merupakan suatu ijtihad baru sangat penting untuk melindungi istri dari kesewenang-wenangan atau tidak bertanggung jawabnya suami. Namun demikian, jika dikatakan khulu' pada talik talak ini, ternyata imbalannya ('iwad}) tidak sebagaimana biasanya, sehingga lebih tepat dinamakan talak muba>ra'ah, sebagaimana terjadi pada cerai gugat di Indonesia. Perceraian melalui taklik talak ini tidak berlaku dalam cerai talak,terjadinya talak, baik untuk cerai talak maupun cerai gugat. Walaupun demikian, alasan murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga ini, menurut penulis tidak tepat untuk diterapkan, karena seluruh ulama fiqh sepakat bahwa murtad merupakan sebab putusnya perkawinan secara mutlak. Artinya, janganlah memudahkan penggunaan kaidah fiqh "yughtafar fi> al-thawa>ni> ma> la> yughtafar fi> alibtida>' (tidak diampuni suatu perbuatan yang terjadi di awal, diampuni perbuatan yang terjadi di tengah-tengah). Maknanya, pada waktu nikah suami isteri samasama muslim (awal), di tengah-tengah perjalanan isteri atau suami beralih agama (murtad), jika tidak menyebabkan ketidak rukunan, tidak terjadi putusnya perkawinan. Hal ini bertentangan dengan qu> 'anfusakum wa ahli>kum na>ra>. (jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka) yang merupakan takhs}i>s} dari ayat "la> ikrah fi> al-di>n" (lafal 'am dengan ciri isim nakirah dalam redaksi nafi atau kalimat negatif pada lafal la> ikra>h). Jika diberlakukan Pasal 116 huruf h KHI ini, maka dimungkinkan akan terjadi anak atau cucu yang bukan muslim. Oleh karena itu, tindakan pencegahan (preventif) harus dilakukan, sesuai dengan teori Sadd alDhari>'ah. Hakim harus lebih peka dalam melihat murtad sebagai alasan perceraian dalam Islam dan dapat mengenyampingkan apa yang ada pada KHI. Pasal 44 KHI menyebutkan: Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Hal ini sesuai dengan kandungan Alqur'an yang melarang pria non muslim mengawini wanita muslim walaupun kita>bi> (yahudi/nasrani)>, karena akan membawa ke neraka. Bahkan, walaupun Alqur'an membolehkan pria muslim kawin dengan wanita kita>biyah, para ulama lebih baik untuk tidak menerapkannya, apalagi di Indonesia yang tidak asli kita>biyah, karena akan membawa pengaruh pada anak atau cucunya yang dimungkinkan tidak menganut agama Islam. Hal ini dilaku