Rheumatoid Arthritis.docx

14
MAKALAH TUTORIAL FSO III RHEUMATOID ARTHRITIS Oleh: Kelompok 1 Erita Rahmani Gumilang Adi Ramadhani Firman Mulyo Wicaksono Weni Nurpita Sari Rizqi Nur Mufiedah S. Siti Rochma Anugerah Elfa Yudita Nabila Andjani Dewi Okta Briana Isnavira Marina Yunita Irwinda Grafiyan Putra Raden Yandi Ariaputra Angga Iswara Dilah Rahma R. Abni Rahmi N. Yasmintoko

Transcript of Rheumatoid Arthritis.docx

MAKALAH TUTORIAL FSO IIIRHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh: Kelompok 1Erita RahmaniGumilang Adi RamadhaniFirman Mulyo WicaksonoWeni Nurpita SariRizqi Nur Mufiedah S.Siti RochmaAnugerah Elfa YuditaNabila AndjaniDewi Okta BrianaIsnavira Marina YunitaIrwinda Grafiyan PutraRaden Yandi AriaputraAngga IswaraDilah Rahma R.Abni Rahmi N.Yasmintoko

Program Studi FarmasiFakultas Kedokteran Universitas Brawijaya20131. DEFINISIDefinisi Rheumatoid arthritis adalah kelainan inflamasi kronik dan biasanya progresif dengan penyebab tidak diketahui yang dicirikan oleh keterlibatan persendian simetrik poliartikular dan manifestasi sistemik. Kerusakan ekstra artikular, termasuk rematoid nodul, vasculitis, inflamasi pada mata, disfungsi neurologi, penyakit kardiopulmonari, limphadenopathy, dan splenomegali merupakan manifestasi dari penyakit ini. Walaupun biasanya penyakit ini kronis, beberapa pasien akan mengalami penguranhan secara spontan 2. PATOFISIOLOGIRheumatoid Arthritis (RA) dapat terjadi akibat inflamasi kronis dari jaringan synovial sendi sehingga menyebabkan jaringan ini berproliferasi dan disebut panus (Dipiro, 2008). Panus merupakan jaringan granulasi vascular yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi. Di sepanjang pinggir panus terjadi destruksi kolagen dan proteoglikan melalui produksi enzim oleh sel di dalam panus tersebut. Proses ini diduga sebagai bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Destruksi jaringan tersebut terjadi melalui kerja panus rheumatoid. (Price, 2002).Sistem imun terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Humoral bertanggung jawab terhadap pembentukan antibodi oleh sel plasma (sel B) dimana untuk kondisi RA dibentuk suatu rheumatoid factors. Imunoglobulin dapat mengaktifkan sistem komplemen. Komplemen yang aktif kemudian melepaskan factor kemotaksis, melakukan fagositosis, dan melepaskan limfokin (oleh sel-sel mononuclear yang kemudian dipresentasikan kepada sel T. Antigen yang dikenali oleh Major Histocompatibility Complex (MHC) menstimulasi produksi sel T dan sel B. Sel T yang teraktivasi memproduksi sitotoksin dan sitokin sehingga menimbulkan toksin jaringan dan aktivasi sel-sel imun lain. Makrofag distimulasi untuk menghasilkan prostaglandin dan sitokin. Sel B yang teraktivasi memproduksi sel plasma yang menghasilkan antibodi yang bekerjasama dengan komplemen sehingga menimbulkan akumulasi polimorfonuklear, menghasilkan sitokin dan ROS (Dipiro, 2008). Price (2002) mengatakan bahwa destruksi jaringan sendi dapat terjadi karena pencernaan oleh produksi protease, kolagenase, dan enzim-enzim hidrolitik lainnya. Enzim-enzim ini memecah kartilago, ligament, tendon, dan tulang pada sendi, serta dilepaskan bersama-sama dengan ROS dan metabolit asam arakidonat oleh leukosit polimorfonuklear dalam cairan synovial. Proses ini diduga sebagai bagian dari respon autoimun terhadap antigen yang diproduksi secara lokal. Dalam membrane synovial, sel T CD4+ berinteraksi dengan makrofag, osteoklas, fibroblast, dan kondrosit melalui sitokin-sitokin proinflamasi kemudian menghasilkan produk yang bersifat erosive bagi tulang dan kartilago. Substansi vasoaktif seperti histamine, kinin, dan prostaglandin memiliki peran yang tidak ka;ah penting dalam proses patofisiologis RA. Jumlah substansi-substansi tersebut meningkatkan aliran darah di lokasi inflamasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah sehingga menyebabkan edeme, eritema, dan nyeri yang berhubungan dengan inflamasi sendi (Dipiro, 2008).3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKOPenyebab dari penyakit reumatoid artritis tidak diketahui, namun patogenesis penyakit ini diperantarai olehimunitas.Akan tetapi, kemungkinanpenyebab reumatoid artritis lainnya yakni faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan. Selain itu kecenderungan wanita sering menderita penyakit reumatoid artritis dan sering di jumpai pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan adanya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada penyakit ini. Lagipula sejak tahun 1930,infeksi telah didugapenyebab reumatoid artritis.Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab reumatoid artritis juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok.Penyebab reumatoid artritis adalah sel-sel kekebalan tubuh, seperti limfosit,normalnya melindungi tubuh dari serangan asing. Akan tetapi dalam penyakit ini, sel ini justru menyerang persendian dan jaringan yang sehat. Penyebab pastinya memang belum diketahui, tapi peneliti meyakini bahwa hal ini disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan lingkungan. Seseorang yang kemungkinan memiliki kecenderungan genetik diserang bakteri atauvirus tertentu, bisa mengalami reumatoid artritis. Tapi hingga saat ini, peneliti belum menemukan infeksi khusus. Faktor risiko terkait dengan perkembangan RA meliputi:1. Jenis kelamin perempuan (3:1 perempuan dengan laki-laki), karena perempuan dipengaruhi oleh disregulasi hormon estrogen, estrogen mempengaruhi keseimbangan matriks dalam chondroitin, setelah perempuan mengalami menopause maka hormon estrogennya akan berkurang dan cenderung mungkin untuk mengalami RA1. Meningkatkan usia (onset puncak 35 sampai 50 tahun), semakin tinggi usia, semakin tinggi pula risiko RA, karena sistem imun dari seseorang yangsemakin tua akan semakin menurun juga, jadi mudah untuk terserang autoimun seperti RA ini.1. Saat merokok tembakau. Studi telah mengidentifikasi langsung hubungan antara penggunaan tembakau dan tingkat keparahan penyakit RA. Pengguna tembakau juga memiliki peningkatan manifestasi risiko paru dari RA. 1. Riwayat keluarga RA. Studi genetik menunjukkan korelasi antara RA dan adanya Major Histocompatibility Class II Human Leukocyte Antigens (HLA), khususnya HLA-DR1 dan HLA-DR4. HLA adalah molekul terkait dengan penyajian antigen pada limfosit T.1. Lingkungan juga potensial memapar. Jumlah kasus RA telah meningkat selama industrialisasi, meskipun link tertentu untuk faktor lingkungan belum ditentukan.4. PERMASALAHAN PASIEN Pasien mengalami bengkak pada jari, sendi sudah nampak adanya deformasi berupa sedikit penonjolan dan bengkok, kaku pada persendian tangan dan pergelangan tangan terutama pada pagi hari, disertai dengan hilangnya mobilitas sendi. Tanda tersebut merupakan tanda penyakit rheumatoid arthritis, dimana merupakan penyakit autoimun sehingga menyebabkan daerah persendian mengalami bengkak, kaku, sulit digerakkan, karena adanya rilis mediator inflamasi oleh sel T yang hiperreaktif. Hasil lab pasien saat ini menunjukkan LED 85 mm/jam menunjukkan bahwa LED pasien terlalu tinggi, berarti bahwa terjadi inflamasi, berarti bahwa terapi belum adekuat. Serum rheumatoid factor positif (+) menunjukkan bahwa pasien positif terserang penyakit rheumatoid arthritis. Pasien mengalami anemia normoromik dan normositik yang disebabkan oleh penggunaan methotrexate dan sulfalazine, karena penggunaan obat tersebut menyebabkan defisiensi folat.5. DATA LAB DAN KLINISAda beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita reumatoid artritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya. 1. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 1. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam dapat bersifat generalisasi terutama menyerang sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam. 1. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram. 1. Deformitas. kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan gerak ekstensi. 1. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 1. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak. Pada data lab pasien disebutkan bahwa LED 85 mm / jam. Laju endap darah (LED) adalah suatu indeks peradangan yang bersifat tidak spesifik. Pada artritis reumatoid nilainya dapat tinggi (100 mm/jam atau lebih tinggi lagi). Hal ini berarti bahwa laju endap darah dapat dipakai untuk memantau aktifitas penyakit. Artritis reumatoid dapat menyebabkan anemia normositik normokromik melalui pengaruhnya pada sumsum tulang. Anemia ini tidak berespons terhadap pengobatan anemia yang biasa dan dapat membuat penderita cepat lelah. Seringkali juga terdapat anemia kekurangan besi sebagai akibat pemberian obat untuk mengobati penyakit ini. Anemia semacam ini dapat berespons terhadap pemberian besi. Selain itu, serum rematoid faktor (+), berarti mengindikasikan pasien mengalami RA.6. TERAPI YANG DIDAPAT PASIENSaat pertama kali berobat ke klinik (2 tahun yang lalu), pasien ny. R mengeluhkan kaku pada persendian tangan dan pergelangan tangan terutama pada pagi hari, sebagai pradiagnosis kemungkinan pasien mengalami reumatic artritis sehingga pasien mendapat ibuprofen sebagai terapi yang digunakan pertama kali. akhir tahun lalu pasien mendapatkan tambahan terapi DMARDs berupa metotrexate dan sulfasalazin. sekarang pasien datang lagi dengan keluhan yang sama seperti saat 2 tahun yang lalu namun disertai dengan hilangnya mobilitas sendi. Hasil lab pasien saat ini menunjukan kadar LED 85mm/jam hal ini menandakan adanya inflamasi pada pasien, hasil lab lain yakni serum rhematoid faktor +, dan anemia normokromik dan normositik. kemungkinan anemia yang didapat dari pasien dikarenakan defisiensi folat akibat penggunaan kombinasi metotrexate dan sulfasalazin. selain itu sulfasalazin juga dapat mempengaruhi farmakokinetika dari metotrexate, sehingga pada pasien ny. R pemberian kombinasi dua obat DMARDs tersebut belum adekuat sehingga terapi diganti dengan inhibitor TNF alfa. salah satu contoh obatnya adalah etanercept yang efektif digunakan jika pemberian terapi dengan DMARDs gagal dan tidak memberikan respon yang adekuat. dikarenakan efek etanercept muncul setelah penggunaan sekitar 2-4 minggu maka pasien juga diberikan NSAID terlebih dahulu untuk mengatasi nyeri padapasien sambil menunggu onset dari Etanercept, jika efek etanercept sudah timbul maka penggunaan NSAID boleh dihentikan.7. ANALISA TERAPI1. Prinsip terapi untuk RA1. Mengurangi gejala inflamasi dan nyeri dengan menggunakan NSAID serta ditambah dengan exercise dengan fisioterapis1. Jika poin A tidak adekuat maka gunakan NSAID dan kortikosteroid1. Jika poin B tidak adekuat maka ganti dengan injeksi intra artikular kortiko steroid1. Jika poin C tidak adekuat gunakan DMARD dan imunomodulator (inhibisi sitokin TNF alfa) untuk mencegah kerusakan kartilago dan joint serta menurunkan tingkat progresivitas1. Penggunaan metrexate dan sulfasalazine lebih baik dihentikan, karena dari hasil lab pasien menunjukkan LED = 85 mm/jam ; serum reumatoid factor (+) ; anemia normokromik dan normositik, terapi farmakologi ini masih belum adekuat melihat kondisi pasiennya. 1. Sulfasalazine memiliki efek samping saluran cerna (anoreksia, nausea, muntah, diare), dermatologis (kemerahan, urtikaria), hematologis (leukopeni, agranulositosis), dan hepatik (enzim yang meningkat). Simtom saluran cerna bisa dikurangi dengan memulai pada dosis rendah dan mengkonsumsi obat bersama makanan. 1. Toksisitas dari metotrexat termasuk saluran cerna (stomatitis, diare, nausea, muntah), hematologis (trombositopeni, leukopeni), pulmonal (fibrosis, pneumotitis), dan hepatik (peningkatan enzim, sirosis). Pemberian asam folat bersamaan bisa mengurangi beberapa efek samping tanpa mengurangi efeknya. Tes untuk liver (AST atau ALT) harus dimonitor secara periodik, tapi biopsi liver hanya direkomendasikan untuk pasien dengan peningkatan enzim hepatik yang bertahan. MTX teratogenik, dan pasien harus menggunakan kontrasepsi dan menghentikan obat jika kehamilan diinginkan.1. untuk penggunaan obat digunakan Etanercept tetap dilanjutkan, penggunaan etanercept termasuk efektif, namun, efek etanercept lumayan lama, sehingga untuk mengatasi rasa sakit pasien digunakan dengan NSAID.dengan tambahan zat besi. Etanercept termasuk golongan biologic agent. Untuk biologic agent terapi kombinasinya dihentikan dulu, dibuat monoterapi biologic agent, jika tidak adekuat baru bisa digunakan kombinasi biologic agent dengan obat lain, biologic agent adalah obat yang paling efektif. 1. Toksisitas dari etanercept termasuk saluran cerna (stomatitis, diare, nausea, muntah), hematologis (trombositopeni, leukopeni), pulmonal (fibrosis, pneumotitis), dan hepatik (peningkatan enzim, sirosis). Pemberian asam folat bersamaan bisa mengurangi beberapa efek samping tampa mengurangi efeknya. Tes untuk cedera liver (AST atau ALT) harus dimonitor secara periodik, tapi biopsi liver hanya direkomendasikan untuk pasien dengan peningkatan enzim hepatik yang bertahan. MTX teratogenik, dan pasien harus menggunakan kontrasepsi dan menghentikan obat jika kehamilan diinginkan.8. KOMUNIKASI INFORMASI DAN EDUKASI (KIE) Istirahat cukup karena istirahat membantu mengurangi beban pada sendi yang mengalami peradangan dan mencegah kerusakan sendi yang lebih parah. Istirahat juga mampu mengurangi rasa sakit. Namun pasien juga sebaiknya tetap melakukan olah raga ringan seperti jalan-jalan. Pasien juga dapat menggunakan alat bantu olah raga yang tidak memberikan beban pada sendi. Penurunan berat badan dapat mengurangi beban pada sendi. Bila pasien merasa nyeri, bisa menggunakan NSAID topikal dan menggunakan bebat hangat. Menjelaskan mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi seperti mual, muntah, gatal di tempat injeksi. Bila berencana hamil, konsultasikan dahulu ke dokter Injeksi SC cukup sulit, jadi pasien bisa datang ke klinik untk injeksi atau diinjeksikan oleh kerabat yang bisa melakukan. Pasien disarankan untuk tidak mengonsumsi OTC yang memperparah efek samping, apabila masih menggunakan NSAID, jangan menggunakan OTC NSAID karena akan menyebabkan double NSAID (double terapi). Melakukan rotasi tempat suntikan (misal paha, perut dan lengan atas). Berilah jarak penyuntikan 1 inchi atau 3 jari dari tempat suntikan sebelumnya jika pada daerah yang sama. Etanercept disimpan di dalam lemari es (pada suhu 36o-46o F). Jangan di freezer. Obat yang sudah dilarutkan hanya dapat digunakan selama selang waktu 6 jam. Jika lebih, tidak boleh digunakan lagi. Mengingatkan pasien untuk melakukan tes laboratorium agar terapi dapat dimonitoring. Mengingatan pasien bahwa penyuntikan dilakukan dalam 2 kali dalam seminggu agar pasien tidak lupa. Jangan menggunakan vaksin jika menggunakan etanercept.

DAFTAR PUSTAKABrunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volum 3. Jakarta : EGC. 2002Chisholm-Burns M.A, Wells B.G, Schwinghammer, T.L et al. 2008. Pharmacotherapy Principles and Practice. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.Dipiro et al. 2008. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach. New York: Mc Graw HillPrice, Sylvia A, Wilson RN, Loraine M. 2006. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. London: Mosby