Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at ... · Mengkaji ketersediaan obat dan alat...

31
1 Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 30 November 2017 Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional Temuan Tingkat Nasional

Transcript of Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at ... · Mengkaji ketersediaan obat dan alat...

1

Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)

30 November 2017

Reviews of Implementation of Pharmaceutical Policy at

Healthcare Facilities under Jaminan Kesehatan Nasional

Temuan Tingkat Nasional

2

Menteri Kesehatan untuk:

5. Mengkaji ketersediaan obat dan alat kesehatan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk:

….......................................................

6. Meningkatkan jumlah kerjasama dengan apotek yang memenuhi syarat untuk menjamin ketersediaan obat Program Rujuk Balik

dengan penunjukan kerja sama yang transparan sesuai kebutuhan dan kondisi geografis

Instruksi Presiden Republik IndonesiaNomor 8 tahun 2017

TentangOPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

3

Rancangan Studi & Temuan Umum

Survei Tingkat Nasional

4

Sampel Survei: 10 Kabupaten/Kota di 5 Provinsi

Lembaga Pemerintah Pusat:

• Kementerian Kesehatan [Ditjen Falmakes]

• LKPP

Lembaga Pemerintah Daerah:

• Dinas Kesehatan di 10 Kabupaten/Kota, di lima provinsi [Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat]

Fasilitas Pelayanan Kesehatan:

• Rumah sakit [17 RSUD, 11 RS Swasta]

• FKTP [20 Puskesmas, 9 Klinik]

• Distributor Farmasi [3 di Kantor Pusat, 10 di Kantor Cabang Tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota]

• Apotek [24 di lima provinsi]

Industri Farmasi:

• Perusahaan Farmasi [2 Perusahaan Publik, 1 Perusahaan Swasta]

5

Hasil Studi

Tingkat Nasional

6

Proporsi Obat Fornasyang belum masuk

dalam e-Catalogadalah 7,6%, di 2016,menunjukkan masih ada sejumlah obat dengan HPS yang kurang menarik

Proporsi obat dalam e-catalogue tanpa e-

purchasing adalah31,9%, di 2016, menunjukkan

ketidaksesuaian RKO.

E-purchasing meningkatmenjadi IDR 6,05 trillliun di tahun 2016, menunjukkan

industri farmasi dan provider beradoptasi dengan sistem

pengadaan ini

7

RKO

• RKO RS >> Dinkes Kab/Kota >> Pemda Kab/Kota

• Dikompilasi oleh Pemda Provinsi >> RKO Nasional [dikompilasi oleh Kementerian Kesehatan]

HPS

• HPS disusun berdasarkan RKO [oleh Kemenkes]

• RKO + HPS >>> Lelang harga >>>>> e-Catalog [oleh LKPP]

e-Purchasing

• RS [Publik] melakukan e-Purchasing ke perusahaan farmasi pemenang lelang dengan harga e-Catalog

• Distributor memenuhi pesanan

Sistem e-Purchasing melalui e-Catalog, 2016

8

9

2016

• Proporsi e-Purchasing terhadap RKO lebih tinggi dibanding pada 2015, banyak yang >100%

• >>> Sulit bagi industri farmasi untuk memenuhi permintaan.

2016

• Masih ada item obat dengan e-Purchasing sangat rendah, bahkan TANPA e-Purchasing

• >>> Beberapa industri farmasi mengalami kesulitan karena inventory yang menumpuk.

2016

• Ketidaksesuaian antara RKO dan e-Purchasingmengindikasikan bahwa proses penetapan RKO masih perlu ditingkatkan.

e-Purchasing lebih baik, namun belum cukup baik…

10

Dari RKO..…

..…sampai HPS Obat JKN

11

Sistem dan kelengkapan teknologi informasi [TI], baik di tingkat faskes maupun Dinkes, kurang memadai dan terfragmentasi.

Perlu pengembangan sistem TI yang terintegrasi [baik di tingkat faskes maupun Dinkes] dan peningkatan SDM yang menanganinya.

Data setempat terkait epidemiologi tidak tersedia, sehingga RKO tidak benar-benar didasarkan pada kebutuhan obat sesuai kelas terapinya.

Perlu dilakukan telaah epidemiologis, sehingga RKO memiliki kesesuaian yang baik dengan kebutuhan terapi penyakit yang tinggi prevalensinya.

Fasilitas pelayanan kesehatan, terutama rumah sakit, tidak terbiasa menyusun RKO. Sumberdaya manusia penyusun RKO langka, dan pemahamannya kurang.

Diupayakan peningkatan jumlah maupun kapasitas SDM. Untuk itu perlu dilakukan rekrutmen dan pelatihan bagi tenaga kefarmasian [Apoteker, TTK] yang direkrut.

Mengapa Penetapan RKO Kurang Sesuai?

12

FaskesUntuk RKO tahun mendatang, pada April Faskes wajib memasukkan data RPOB tahun sebelumnya ke Dinkes.

DinkesMengkompilasi RKO dan mengirimkan ke Dinkes di atasnya sampai ke Kemenkes.

KemenkesMengkompilasi RKO dari Dinkes dan RSUP menjadi RKO Nasional [dengan adjustmentterbatas, karena e-Monev belum berjalan optimal].

RKO Faskes = [RPOB x 18] – Inventori

RPOB = rerata pemakaian obat bulanan

Agustus–Oktober, Anggaran untuk Pengadaan Obat

diumumkan.

Mengantisipasi pemangkasan oleh

DPR[D], Faskes mengusulkan RKO lebih

besar dari kebutuhan riil.

Formula Penetapan RKO yang Terlalu Umum

13

Tingginya e-Purchasing sejumlah item obat mengindikasikan diskrepansi yang lebar antara harga obat JKN dan harga obat regular [dan, di sisi lain, harga obat tertentu sangat tinggi].

Karena harga obat JKN sangat ditentukan oleh HPS [yang jadi harga dasar dalam lelang harga e-Catalog], transparansi dan akuntabilitas dalam penetapan HPS perlu ditingkatkan.

7.6% item obat Fornas tidak masuk e-Catalog di tahun 2016 mengindikasikan

masih banyak item obat dengan HPS yang kurang menarik bagi industri farmasi.

HPS bukan hanya ditetapkan berdasarkan volume RKO—tetapi juga mempertimbangkan harga referensi internasional, selain margin yang wajar, inflasi, dan HPS tahun sebelumnya.

Penetapan HPS memang bukan hanya dipengarhi oleh akurasi RKO, tetapi RKO yang terlalu tinggi membuat HPS lebih rendah dari yang seharusnya―dan sebaliknya.

Guna meningkatkan akurasi—dan agar tidak terjadi pemborosan akibat HPS terlalu tinggi—mekanisme dan formula penetapan RKO harus disempurnakan, e-Monev ditingkatkan.

Apakah penetapan HPS Bermasalah ?… Solusinya?

14

Dari Pendanaan..…

..…sampai Pembelian Obat JKN

15

• Banyak faskes publik [puskesmas, RSUD] memiliki sumber dana yang beragam [DAK, APBD, kapitasi], dan hanya sedikit yang sudah BLUD (sekitar 300 an)

• >>> Fleksibilitas penggunaan dana pembelian obat kurang.

• Penyediaan obat oleh Dinkes sering tidak sesuai dengan permintaan puskesmas

• >>> Untuk menjamin ketersediaan obat JKN perlu pemanfaatan dana kapitasi secara optimal.

• Aturan tentang pembelian obat menggunakan dana kapitasi kurang jelas di sejumlah daerah, sehingga faskes ragu

• >>> Ketersediaan obat JKN kurang memadai, walau dana untuk pembelian untuk itu tersedia.

Sumber dana beragam, fleksibilitas kurang…

16

Keraguan penggunaan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN di faskes publik di beberapa daerah mengindikasikan belum meratanya dukungan peraturan yang kondusif.

Pemerintah perlu menyediakan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan faskes publik memanfaatkan dana kapitasi untuk penyediaan obat JKN secara optimal.

Ketidaktersediaan obat JKN di tengah ketersediaan dana yang memadai mengindikasikan akar permasalahan yang kompleks, terkait peraturan-perundangan yang mendasar.

Pengadaan obat berbasis e-Catalog [secara online maupun manual] seyogyanya diatur sama dengan pembelian biasa, bukan procurement—tak perlu oleh pejabat bersertifikat.

Di kawasan dengan infrastruktur memadai, sumber dana yang didominasi DAK dan APBD memperlebar gap antara kebutuhan dan pemasokan obat JKN di faskes publik.

Agar pembelian obat tepat sasaran, berikan status BLUD ke puskesmas di kawasan dengan infrastruktur memadai; lengkapi dengan peraturan-perundangan yang mendukung.

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [1]

17

Ketidaktersediaan beberapa item obat yang dipesan oleh faskes mengindikasikan adanya ketidakdisiplinan, baik di tingkat faskes maupun pemasok.

Diberlakukan sistem reward and punishment yang jelas, baik bagi faskes [yang melakukan pemesanan obat berlebihan atau tidak kirim RKO] maupun pemasok [yang cedera janji].

e-Catalog usage ratio yang bervariasi [10% sampai 90%] di faskes publik dan e-Order yang harus dilakukan malam hari mengindikasikan infrastruktur TI yang kurang memadai.

Perlu dikembangkan infrastruktur teknologi informasi [TI], terutama koneksi Internet, yang lebih baik—lebih cepat dan lebih robust, tidak mudah down—terutama di kawasan Timur.

Proses e-Purchasing yang makan waktu—jika untuk isi formulir pemesanan perlu 3 menit per item obat, 100 item saja perlu 5 jam—mengindikasikan adanya kendala administratif.

Agar tidak terlalu makan waktu, proses pemesanan diupayakan sesederhana mungkin, tidak mengharuskan pengisian banyak formulir atau pengisian berulang-ulang.

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [2]

18

Faskes swasta umumnya masih harus melakukan pemesanan obat JKN secara manual—tidak dapat melakukan e-Purchasing—dan dengan harga lebih tinggi.

Faskes swasta yang berkontrak dengan BPJS Kesehatan harus diperlakukan sama dengan faskes publik, termasuk dalam hal akses pada e-Catalog.

Prinsipal tidak dapat memenuhi pesanan obat dari faskes dengan segera—dan baru sampai tiga bulan setelah e-Catalog tayang.

Pemenang lelang ditetapkan tiga bulan sebelum e-Catalog tayang agar industri farmasi dapat mempersiapkan produksi obat yang 90% lebih bahan bakunya masih harus diimpor.

Ketidaktersediaan obat yang dipesan yang kadang terjadi pada tingkat industri farmasi mengindikasikan adanya kelemahan dalam penetapan pemenang e-Catalog.

Penetapan pemenang lelang e-Catalog didasarkan pada multikriteria termasuk kapasitas pabrikan. Jika LKPP tidak memiliki kompetensi untuk itu, sertakan BPOM yang merupakan otoritas pengawas obat.

Dana Cukup, Ketersediaan Obat Kurang… Solusinya? [3]

19

Dari Delivery..…

..…sampai Pembayaran oleh BPJS-K

20

• Lead time panjang, bahkan pesanan kadang tidak dipenuhi, terutama di kawasan Indonesia Timur

• >>> Adanya kendala infrastruktur transportasi dan skala ekonomi, atau kendala peraturan perundang-undangan.

• Produk obat diterima dalam keadaan cacat, mulai dari blister atau strip yang tidak berisi tablet sampai obat yang telah mengalami perubahan fisik

• >>> Adanya kendala teknis produksi dan/atau distribusi.

• Pembayaran atas klaim obat, oleh rumah sakit maupun apotek PRB, sangat lama

• >>> Adanya kendala administratif, teknis, dan/atau sumberdaya [manusia dan lainnya].

Lead time panjang, pembayaran tersendat…

21

Pesanan berkala dari faskes, terutama di kawasan Indonesia Timur, sering sangat terlambatpengirimannya, bahkan tidak dipenuhi, oleh distributor dengan berbagai alasan.

Persentase fee seyogyanya tidak seragam untuk semua item obat—yang murah dan/atau bulky ditetapkan lebih tinggi. Di sisi lain, faskes belajar melakukan pooling pemesanan.

Lonjakan permintaan beberapa jenis obat tertentu, seperti fenobarbital dan psikitropika lainnya, sulit dipenuhi sehingga rawan terjadi kekosongan.

Peraturan yang membatasi peningkatan impor bahan baku >30% dari jumlah impor pada tahun sebelumnya perlu dipertimbangkan-ulang.

Lead time panjang, 2 sampai 5 bulan, sehingga ketersediaan obat di tingkat faskes terganggu, padahal kebutuhan pasien tidak mungkin ditunda.

Faskes harus melakukan perencanaan pembelian yang baik atau, kalau tidak, harus dapat mencari sumber obat alternatif sehingga pasien tetap memperoleh obat sesuai indikasinya.

Lead time dan Pembayaran Klaim Lama… Solusinya?

22

Secara administratif, proses klaim panjang dan rumit—banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh faskes—dan, di sisi lain, proses verifikasi terkendala SDM dan peralatan.

Proses administratif seyogyanya disederhanakan, tanpa mengurangi asas kehati-hatian sehingga tidak terjadi moral hazard; SDM BPJS-K dan peralatannya dilengkapi.

Pembayaran klaim yang terlambat akan menyebabkan keterlambatan pembayaran oleh faskes ke distributor dan prinsipal, sehingga pemesanan obat selanjutnya tidak dipenuhi.

Guna menghindari ketidaktersediaan obat karena hal ini, pembayaran klaim harus dijamin kelancarannya dan faskes yang tidak memiliki hubungan khusus tidak didiskiriminasi.

Walau tidak ada keluhan terkait efficacy, produk obat yang diterima faskes kadang cacat [blister kosong sebagian] atau telah berubah secara fisik [vitamin C berubah warna].

Dilakukan asesmen pada prinsipal [dalam hal produk obat cacat] dan/atau distributor [dalam hal perubahan fisik], terutama agar hal serupa tidak terulang.

Lead time dan Pembayaran Klaim Lama… Solusinya? [2]

23

Sisi Lain Harga Obat JKN:

Yang Murah Semakin Murah....

Yang Mahal Kelewat Mahal ....

24

Pasar Obat JKN

76 juta penduduk[30% populasi]

122 juta[Tumbuh 60,5%]

256 juta

2013

2014

2019

Sumber: IMS Health; Mandiri Securities

Roadmap to National Health Insurance 2012–2020

2015

142 juta[Tumbuh 16,4%]

2016

172 juta[Tumbuh 21,1%]

25

…..Obat Murah Cenderung Semakin Murah…

1908 3180 6580

167%

207%

0%

50%

100%

150%

200%

250%

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

2014 2015 2016

Da

lam

juta

un

it

Volume PMDN dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016

Volume % Kenaikan

Rp1022 Rp2515 Rp4747

246%

189%

0%

50%

100%

150%

200%

250%

300%

Rp0

Rp1000

Rp2000

Rp3000

Rp4000

Rp5000

2014 2015 2016

Da

lam

Mili

yar

Ru

pia

h

Value PMDN dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016

Value % Kenaikan

26

…..Obat Mahal Cenderung Bertahan Tinggi…

Rp177Rp793

Rp1312

447%

165%

0%

100%

200%

300%

400%

500%

Rp0

Rp200

Rp400

Rp600

Rp800

Rp1000

Rp1200

Rp1400

2014 2015 2016

Da

lam

Mili

yar

Ru

pia

h

Value PMA dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016

Value % Kenaikan

20 54 88

270%162%

0%

50%

100%

150%

200%

250%

300%

0

20

40

60

80

100

2014 2015 2016

Da

lam

juta

un

it

Volume PMA dan Proporsi KenaikanTahun 2014 - 2016

Volume % Kenaikan

27

Harga Rata-rata Satuan Obat

Rp535 Rp791 Rp721

Rp8,808

Rp14,564 Rp14,872

Rp0

Rp4,000

Rp8,000

Rp12,000

Rp16,000

2014 2015 2016

Obat PMDN vs PMA(Nilai Total Pembelian/Volume)

Obat Generik Obat Non-generik

• Harga rata-rata satuan pada obat generik sedikit mengalami penurunan di tahun 2016• Untuk Obat-obatan non-generik harga rata-rata satuan obat stabil tinggi dan mengalami

kenaikan di tahun 2016

28

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

2014 2015 2016

1.0%1.7% 1.3%

15%

24%22%

Perbandingan Value dan Volume PMA dibandingValue dan Volume TOTAL

Volume Value

• Untuk obat-obatan PMA hanya memiliki volume sekitar 1% dibandingkan dengan total volume obat yang di pesan secara nasional;

• Namun secara harga, obat-obatan PMA berkontribusi sekitar 22% dari total pembelian

29

• Harga cenderung menurun, lebih rendah dibanding di negara ASEAN lain

Produk obat PMDN, umumnya OGB yang “high

volume, low value”

• Harga cenderung stabil tinggi, lebih mahal dibanding di negara ASEAN lain

Produk obat PMA, umumnya obat paten yang

“low volume, high value”

Mengancam Industri dan Sistem JKN…

Mengancam keberlangsungan industri farmasi

Mengancam langsung keberlanjutan sistem JKN

30DELIVERYPEMBELIAN

Obat [murah]

tertentu hanya

diminati oleh

perusahaan

farmasi tak

bereputasi.

PENDANAANPERENCANAAN

KETERSEDIAAN OBAT

YANG KURANG

MENCUKUPI MELALUI

e-PURCHASING

Faskes, terutama RS, tidak

terbiasa menyusun RKO.

SDM penyusun RKO langka dan

pemahamannya kurang.

Perlu transparansi

dan akuntabilitas

dalam penetapan

HPS.

e-Purchasing harus dilakukan

oleh pejabat bersertifikat

Item obat yang dipesan

kadang tidak tersedia

sehingga harus dilakukan

order secara manual

Faskes swasta

umumnya harus

melakukan order

secara manual

Obat yang

diterima kadang

dalam keadaan

cacat

Proses klaim secara

administratif panjang

dan rumit.

Sistem dan kelengkapan TI kurang

memadai dan terfragmentasi; sistem e-

Monev belum berjalan baik.

PROCUREMENT

Banyak puskesmas

dan RS Publik belum

BLUD, sumber dana

beragam [DUK,

APBD, kapitasi].

Dana kapitasi

sering sulit

dimanfaatkan

untuk pembelian

obat karena tidak

ditunjang aturan

yang jelas.

Proses verifikasi

lambat, makan

waktu

Koneksi Internet

lambat, kadang

“down”

Proses data entry untuk

e-Purchasing makan waktu;

input data obat yang dipesan

harus item demi item dan

e-Order harus dilakukan

berulang-ulang

Lead time panjang,

delivery sering tidak

tepat waktu bahkan

kadang pesanan tidak

terpenuhi.

Sumber: TNP2K Study, 2017

Data setempat terkait

epidemiologi tidak tersedia.

Sistem penetapan RKO tiak akurat

menyebabkan penetapan HPS yang

tidak sesuai

Penetapan harga dan

Pemenang

PEMBAYARAN

Temuan Umum Perencanaan & Pengadaan Obat

31

Terima kasih