Review Positivisme Pada Abad 20

4
Metode Riset Hubungan Internasional Aditya Rahman Fadly 1244010010 Positivisme Pada Abad 20 Pada pembahasan kali ini mungkin agak sedikit menarik karena paradigma positivis merupakan suatu elemen dari Great Debate yang tentunya mewarnai setiap dinamika konstelasi tatanan dunia internasional, adapun kita mengenal istilah perdebatan besar antara kaum pemikir dan loyalis positivis dengan postmodernis hal ini ditandai dengan munculnya era perang dingin (cold war) namun pada akhirnya terjadi hingga sampai detik ini. Ada satu poin yang bisa kita ambil dari perdebatan antara kaum positivis dengan postmodernis adalah metode yang dipergunakan dalam memahami dan memberikan langkah solutif dalam mengatasi segala macam fenomena yang berkembang di dunia internasional saat ini. Untuk itu positivisme cenderung mengkaji problematika perkembangan hubungan internasional dengan menitikberatkan pada penggunaan kajian empiris (bisa dibuktikan) dan bersifat netral. Adalah Auguste Comte tokoh dalam sosiologi dunia modern yang memperkenalkan persepsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki rasionalitas berpikir, bahwa keputusan yang diambil untuk memecahkan persoalan disandarkan pada rasional atau logika berpikir manusia secara jernih. Positivisme sendiri memiliki peran dalam Hubungan Internasional ketika berkaitan dengan Decision Maker pembuatan kebijakan nasional yang diambil oleh negara tersebut. Namun dalam pembahasan ini penulis mencoba untuk lebih memfokuskan untuk menelisik positivism, dari persepsi positivism dalam skala konteks Hubungan Internasional dapat dikaji atau diselesaikan dengan menggunakan data empiris melalui rumus-rumus, pesoalan yang terjadi dalam elatase Hubungan Internasional merpupakan bagian yang tida terpisahkan dalam pengertian lain bersifat mutlak. Menurut Nicholson (1996), pada dasarnya ada dua program postivisme kontemporer dalam studi Hubungan Internasional 1) Program penelitian kuantitatif, merupakan salah satu aliran

Transcript of Review Positivisme Pada Abad 20

Metode Riset Hubungan Internasional Aditya Rahman Fadly 1244010010

Metode Riset Hubungan Internasional Aditya Rahman Fadly 1244010010

Positivisme Pada Abad 20Pada pembahasan kali ini mungkin agak sedikit menarik karena paradigma positivis merupakan suatu elemen dari Great Debate yang tentunya mewarnai setiap dinamika konstelasi tatanan dunia internasional, adapun kita mengenal istilah perdebatan besar antara kaum pemikir dan loyalis positivis dengan postmodernis hal ini ditandai dengan munculnya era perang dingin (cold war) namun pada akhirnya terjadi hingga sampai detik ini. Ada satu poin yang bisa kita ambil dari perdebatan antara kaum positivis dengan postmodernis adalah metode yang dipergunakan dalam memahami dan memberikan langkah solutif dalam mengatasi segala macam fenomena yang berkembang di dunia internasional saat ini.Untuk itu positivisme cenderung mengkaji problematika perkembangan hubungan internasional dengan menitikberatkan pada penggunaan kajian empiris (bisa dibuktikan) dan bersifat netral. Adalah Auguste Comte tokoh dalam sosiologi dunia modern yang memperkenalkan persepsi bahwa pada dasarnya manusia memiliki rasionalitas berpikir, bahwa keputusan yang diambil untuk memecahkan persoalan disandarkan pada rasional atau logika berpikir manusia secara jernih. Positivisme sendiri memiliki peran dalam Hubungan Internasional ketika berkaitan dengan Decision Maker pembuatan kebijakan nasional yang diambil oleh negara tersebut. Namun dalam pembahasan ini penulis mencoba untuk lebih memfokuskan untuk menelisik positivism, dari persepsi positivism dalam skala konteks Hubungan Internasional dapat dikaji atau diselesaikan dengan menggunakan data empiris melalui rumus-rumus, pesoalan yang terjadi dalam elatase Hubungan Internasional merpupakan bagian yang tida terpisahkan dalam pengertian lain bersifat mutlak.Menurut Nicholson (1996), pada dasarnya ada dua program postivisme kontemporer dalam studi Hubungan Internasional 1) Program penelitian kuantitatif, merupakan salah satu aliran terpenting yang berkaitan dengan penelitian perdamaian dan adapun kedua adalah program rational choice seperti game theory. Disini kaum positivis cenderung membangun generalisasi empiris yang dapat diuji dan pada akhirnya untuk membangun teori empiris, mereka cenderung mengarah pada kuantifikasi, termasuk pada model matematik. Rational choice berupaya untuk menyediakan teori-teori empiris tentang bagaimana aktor-aktor internasional berperilaku ketika mereka memiliki informasi yang tidak sempurna atau tidak lengkap dengan aktor lain yang mereka hadapi aktor internasional dalam kasus HI. Kaum positivis tetap bersikukuh bahwa metodologi dan penelitian harus bebas nilai. Baik itu meliputi studi perdamaia, dan perang dalam Hubungan Iternasional, sebenarnya jika kita mempelajari lebih mendalam paradigma positivis muncul lebih dominan di tahun 1960-an, seperti yang kita ketahui ada 3 perspektif besar yang yang mewarnai setiap dinamika Hubungan Internasional sebagai berikut Realisme, Liberalisme, Marxisme ketika persepektif ini bekerja dibawah asumsi positivism. Jika mengacu pada penadapt (Smith, 1996) Positivisme petning dalam Hubungan Internasional bukan karena member metode dalam hubungan internasional melainkan karena epistimologi empirisnya telah menentukan apa yang bisa dipelajari dalam hubungan internasional. Positivisme dalam teori internasional memiliki asumsi-asumsi 4 poin yaiut pertama adalah kepercayaan dalam kesatuan ilmu, secara filosofis bisa dikenal dengan naturalism. Adapun asumsi yang diberikan pada pandangan tersebut adalah tidak ada perbedaan yang mendasar antara ilmu sosial dan ilmu alam. Sementara itu versi lemahnya, adalah meski ada perbedaan, mendasar antara ilmu alam masih digunakan dalam analisis ilmu sosial. Asumsi kedua adalah tidak ada perbedaan fakta dan nilai dalam bahasa filosofis, bisa disebut objektif, yang melihat pengetahuan sebagai sesuatu kemungkinan meski ada fakta bahwa observasi bisa subjektif. Asumsi ketiga adalah kepercayaan kuat adalam eksistesi keteraturan dalam ilmu sosial dan ilmu alam dan keempat adalah The Human Theory of Causation positivism berperan dalam hubunan internasional dalam pembuatan kebijakan negara. Namun bagi para penggagas teori kritis, positivism dipandang sebagai epistimologi gagal positivism dilihat tidak hanya sebagai sebagai inhumane" tetapi sebagai sebuah instrument dominasi dimana pengetahuan digunakan untuk melegitimasi status quo dan sistem kekuasaan yang ada. Karena itu munnculah paradigm Postmodernisme disokong oleh Richard Ashley.Namun yang menjadi kritikan oleh kaum teori kritikus adalah konsepsi kaum positivis logis akan ilmu sosial mendapat serangan tetap dari teoritikus kritis Madzhab Frankfurt pada 1950-an. Dengan mengubah alat analisis marxis menjadi produk budaya. Kritik mereka terhadap positivis pengetahuan ilmiah mendapati bahwa pengetahuan tersebut berdimensi satu karena mereduksi apapun yang ditelitinya. Termasuk manusia, menjadi objek yang bisa dimanipulasi dan dikontrol. Positivisme adalah sebentuk rasionalitas instrumental. Ilmu Positivis mempunyai kepentingan intinsik pada kontrol teknis dan karenanya menjadi opresif, produk opresi kelas di pusat kapitalisme. Yang dianggap sebagai kebebasan nilai ternyata merupakan nilai sendiri, yang tersembunyi dibalik kedok netralitas. Positivisme logis sebagai suatu filsafat ilmu pengetahuan sudah kehilangan kekuatannya akibat dari kontradiksi kontradiksi internal yang teridentifikasi oleh pengikutnya. Apabila mengacu pendapat dari Popper dan sebagian besar dari kaum positivis di abad 20, masalah dalam ilmu sosial adalah masalah teknis yang dapat dipecahkan dengan perhatian yang lebih cermat pada proses bekerjanya ilmu-ilmu itu dipusatnya dan masalah di masyarakat harus diatas pembaharuan sosial, yang harus dipandu penelitian ilmiah.

Referensi : Abel T (1948) The operation called versthlen: American Journal of sociology 54 : 211-18 Althusser, L. (1966) For Marx 9alib bahasa : B Brewster) Harmonds worth. Penguin. Turner, Jonathan, 2001, The Origins of positivism, the contributions of auguste conte and Herbert spencer in George Ritzer and Barry Smart, Handbook of Socia Theory, Londo, Sage Publication pp 30-42