Review Kuliah Ketiga Arsitektur Jawa

3
Crustasia Aji Westriani / I0211017 REVIEW KULIAH KETIGA ARSITEKTUR JAWA Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M. Trop. Arch. Arsitekur merupakan ilmu bangunan yang diartikan sebagai ruang hidup material yang mengekspresikan perilaku-perilaku manusia. Pada hal ini seperti Arsitektur Jawa, suatu hal yang melekat dengan unsur kata tradisional dalam pembahasannya. Tradisional sendiri berasal dari kata benda tradisi. Tradisi berarti suatu hal yang diulang-ulang dan telah melekat dalam hidup masyarakat. Sehingga secara sederhananya, Arsitektur Jawa merupakan ilmu bangunan yang diartikan sebagai ruang lingkup material yang dapat mengekspresikan perilaku-perilaku manusia jawa. Arsitektur Jawa merupakan tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang yang harus dikenali, digali, dan dilestarikan. Dalam landasan filosofis, dapat disebutkan dan ditekankan bahwa arsitektur jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan. Karena sesuai dengan kepercayaan masyarakat jawa dimana di dunia ini manusia hanya hidup sementara, yang diceritakan dengan “tiyang sumusup ing griya punika saged kaupamaaken ngaup ing sangandhaping kajeng ageng” yang berarti “manusia yang masuk (ngaup=ngeyup) ke suatu rumah dapat diibaratkan seperti keinginan untuk berteduh di bawah pohon (kajeng) yang besar”. Manusia di dunia ini hanya hidup sementara untuk mempersiapkan perjalanan selanjutnya menuju Yang Maha Kuasa. Dapat diketahui, pemikiran manusia jawa mengenai hal ini, tentunya akan berbeda dengan arsitektur di luar jawa yang menekankan arsitektur sebagai tempat berlindung. Untuk itu, pola pikir orang jawa mengenai rumah (omah) akan berbeda pula dengan pola pikir orang di luar jawa. Pada lingkup Arsitektur Jawa, pasti akan dikaitkan dengan istilah rumah, orang jawa menyebutnya dengan istilah omah. Kata omah berasal

description

,

Transcript of Review Kuliah Ketiga Arsitektur Jawa

Page 1: Review Kuliah Ketiga Arsitektur Jawa

Crustasia Aji Westriani / I0211017

REVIEW KULIAH KETIGA ARSITEKTUR JAWA

Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M. Trop. Arch.

Arsitekur merupakan ilmu bangunan yang diartikan sebagai ruang hidup material yang

mengekspresikan perilaku-perilaku manusia. Pada hal ini seperti Arsitektur Jawa, suatu hal yang melekat

dengan unsur kata tradisional dalam pembahasannya. Tradisional sendiri berasal dari kata benda tradisi.

Tradisi berarti suatu hal yang diulang-ulang dan telah melekat dalam hidup masyarakat. Sehingga secara

sederhananya, Arsitektur Jawa merupakan ilmu bangunan yang diartikan sebagai ruang lingkup material

yang dapat mengekspresikan perilaku-perilaku manusia jawa. Arsitektur Jawa merupakan tradisi yang

telah diwariskan oleh nenek moyang yang harus dikenali, digali, dan dilestarikan.

Dalam landasan filosofis, dapat disebutkan dan ditekankan bahwa arsitektur jawa merupakan

perwujudan dari arsitektur pernaungan. Karena sesuai dengan kepercayaan masyarakat jawa dimana di

dunia ini manusia hanya hidup sementara, yang diceritakan dengan “tiyang sumusup ing griya punika

saged kaupamaaken ngaup ing sangandhaping kajeng ageng” yang berarti “manusia yang masuk

(ngaup=ngeyup) ke suatu rumah dapat diibaratkan seperti keinginan untuk berteduh di bawah pohon

(kajeng) yang besar”. Manusia di dunia ini hanya hidup sementara untuk mempersiapkan perjalanan

selanjutnya menuju Yang Maha Kuasa. Dapat diketahui, pemikiran manusia jawa mengenai hal ini,

tentunya akan berbeda dengan arsitektur di luar jawa yang menekankan arsitektur sebagai tempat

berlindung. Untuk itu, pola pikir orang jawa mengenai rumah (omah) akan berbeda pula dengan pola

pikir orang di luar jawa.

Pada lingkup Arsitektur Jawa, pasti akan dikaitkan dengan istilah rumah, orang jawa

menyebutnya dengan istilah omah. Kata omah berasal dari bentukan dari dua kata yaitu kata om yang

diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan kata mah yang diartikan lemah

(keibuan). Kemudian kata omah diartikan sebagai miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa

Angkasa dan Ibu Pertiwi. padanan kata om- yang berarti ata omah merupakan bentukan dari dua

kata om, yang diartikan sebagai angkasa dan bersifat laki-laki (kebapakan), dan mah yang diartikan

sebagai lemah (tanah) dan bersifat perempuan (keibuan). Sehingga omah (rumah) dimaknai sebagai

miniatur dari jagad manusia yang terdiri Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dari ini pula dapat diketahui,

bahwa omah merupakan simbol yang memiliki sifat berbeda yang disatukan, seperti halnya Lingga Yoni.

Istilah omah pada kata rumah, oleh masyarakat jawa telah menjadi salah satu unsur identitas.

Dalam hal lain terdapat unsur identitas dalam masyarakat jawa untuk menyatakan seseorang tersebut

asli jawa atau dikatakan orang jawa (njawa), apabila telah memenuhi delapan unsur, yaitu nama, harta,

Page 2: Review Kuliah Ketiga Arsitektur Jawa

Crustasia Aji Westriani / I0211017

turangga, wisma, garwa, kalpika, kukila lan curiga. Istilah wisma pada unsur tersebut dapat pula disebut

omah. Dalam hal ini, pengertian omah pada kata wisma memiliki arti memberikan keteduhan bagi

dirinya dan orang lain. Oleh karena itu, sebuah keluarga akan memiliki rasa teduh dan aman apabila

sudah dalam sebuah perlindungan yang disebut omah.

Rumah pada Arsitektur Jawa yang diartikan sebagai ruang lingkup material manusia jawa, juga

tidak lepas pula pada kondisi fisik / kondisi material pada rumah atau omah itu sendiri. Dalam rumah

jawa yang mudah diidentifikasi adalah perwujudan bentuk dari atap. Bentuk atap pada rumah jawa ini

sangatlah berbeda dengan bentuk atap pada rumah-rumah tradisional nusantara yang lain. Bentuk atap

pada rumah jawa mengambil filosofi bantuk dari gunung. Filosofi bentuk gunung awalnya diwujudkan

dalam bentuk atap dengan nama atap Tajug. Pada perkembangannya, atap Tajug mengalami

pengembangan menjadi atap Joglo (tajug loro = penggabungan dua tajug) dan penyederhanaan menjadi

atap Limasan dan Kampung. Bantuk atap joglo ini mencerminkan bahwa pemiliknya adalah seorang

pejabat (priyayi) yang disegani. Atap tajug, yang pemakaiannya dibatasi pada bangunan-bangunan

peribadatan misalnya masjid. Perbedaan-perbedaan ini menunjukkan dimana masyarakat jawa telah

menunjukkan ekspresi pribadinya kepada bangunan-bangunan yang ditempatinya (omah) maupun yang

ada disekitanya.

Sedang dalam perwujudan makna kosmos dalam rumah itu sendiri dapat diamati dengan

diterapkannya konsep papat keblat lima pancer pada rumahnya. Yang artinya orientasi empat penjuru

mata angin dengan pusatnya di tengah sebagai penyeimbang. Dimana manusia berada di titik

penyeimbang dengan dipengaruhi keempat mata angin tersebut. Komponen-komponen pembentuk

bangunan ditempatkan di empat penjuru arah mata angin, lalu masing-masing ditarik garis diagonalnya

dan ditarik ke atas, menjadi atap. Yang menjadi simbol kembalinya manusia nanti kepada Tuhan Yang

Maha Esa, sangkan paraning dumadi, sebagai awal dan tujuan akhir hidup manusia.

Dapat disimpulkan bahwa, dalam merencanakan dan merancang bangunan tidak akan pernah

lepas dari nilai dan norma yang berlaku dalam budayanya.Hal ini dapat dilihat pada Arsitektur Jawa yang

merupakan sebuah sarana komunikasi visual dan memiliki arti didalam maupun diluar bangunannya.

Seperti, Arsitektur Jawa yang dapat mencerminkan segi perilaku masyarakat jawa.