Review Jurnal Manpem

download Review Jurnal Manpem

of 15

description

idontgiveafuck

Transcript of Review Jurnal Manpem

ABSTRAK

Tujuan dari riset ini adalah untuk menganalisa kinerja kelembagaan pemasaran tembakau Madura di Kabupaten Sumenep; dan untuk mengembangkan lembaga-lembaga pemasaran tembakau yang meyejahterakan petani. Data utama yang digunakan berdasarkan kuisioner dari sampling 300 petani, 50 pedagang grosir, dan 5 perusahaan rokok di Sumenep, dan data tambahan didapatkan dari perusahaan-perusahaan rokok, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Gugus Kerja Tembakau, dan Biro Pusat Statistik. Data dikumpulkan dan kemudian dianalisa menggunakan metode profit sharing, benefit cost ratio, farmers share, market integration, market connection index indicator. Hasil yang didapatkan bahwa strutur pasar temabakau bersifat oligopsoni, dimana petani menjadi price taker. Temuan penelitian ini adalah keungtungan bagi petani adalah 46,18 % , grosir adalah 7.54 % . Benefit Cost Rasiopetani 1.12 dan grosir 3.98 . Bagian petani adalah 78,57 pada 2006. Market Connection Index yaitu 1.09. Integrasi pasar tembakau jangka panjang yaitu 0.96.

PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari jumlah tenaga kerja yang diserap dan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kenyataan ini menyebabkan sektor pertanian menjadi tulang punggung penggerak roda perekonomian Indonesia. Sub- sektor perkebunan merupakan sub-sektor pertanian yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap PDB sektor pertanian, dengan share sebesar 18 persen tahun 2007. Sub- sektor tersebut diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sekitar 6 juta orang atau 15 persen dari total tenaga kerja pada sektor pertanian (BPS, 2007). Salah satu komoditas sub-sektor perkebunan yang cukup menonjol adalah komoditas tembakau. Komoditas tersebut mempunyai karakteristik yang unik, di satu pihak komoditas ini memberikan nilai ekonomi yang cukup besar, karena sektor ini mampu menyediakan lapangan kerja, pendapatan negara, dan perolehan devisa baik dari ekspor tembakau maupun produk olahannya. Namun, di lain pihak pengembangan komoditas ini mendapatkan hambatan dengan gencarnya promosi anti rokok yang dicanangkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Tembakau Madura merupakan jenis tembakau yang mempunyai karakteristik dan keunikan tersendiri dibandingkan dengan jenis tembakau lainnya karena mempunyai aroma yang khas dan merupakan bahan baku utama bagi industri rokok kretek di samping cengkeh dan bahan-bahan lainnya. Industri rokok kretek dalam negeri yang besar merupakan pasar utama bagi tembakau Madura dan setiap pabrikan mempunyai standar kualitas yang berbeda-beda. Tapi secara umum, tembakau Madura yang dikembangkan oleh petani di lahan perkebunan rakyat merupakan tembakau yang banyak dibutuhkan oleh pabrikan rokok terutama pabrikan dalam negeri. Memperhatikan potensi wilayah dan prospek di masa depan, komoditas tembakau merupakan komoditas unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan terutama di Kabupaten Sumenep yang merupakan sentra produksi tembakau terbesar di Madura selain Kabupaten Pamekasan. Potensi produk tembakau yang cukup besar ini tidak diiringi oleh kesejahteraan di tingkat petani yang notabene adalah produsen utama. Permasalahan yang dihadapi oleh petani setiap musim tembakau adalah tingkat harga jual tembakau yang tidak memihak kepada petani. Hal ini diperparah dengan sistem kelembagaan pemasaran tembakau yang cenderung bersifat oligopsoni. Saptana et.al., (2004) mengemukakan beberapa titik-titik kelemahan yang perlu segera dibenahi dalam sistem komoditi tembakau yaitu dengan: (a) meningkatkan tingkat produktivitas dan rendemen; (b) meningkatkan efisiensi pada industri pengolahan; (c) menurunkan harga sarana produksi; (d) meningkatkan harga jual output tembakau melalui penghapusan berbagai distorsi yang pada pasar output. Dari kondisi tersebut, permasalahan harga yang terkait dengan pendapatan petani merupakan faktor yang krusial. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai bagaimana pola kelembagaan pemasaran komoditas tembakau serta dampak dari pola kelembagaan pemasaran komoditas tembakau terhadap kesejahteraan petani tembakau.

METODE PENELITIAN

Sampel, Data, dan Metode Pengumpulan Data Penelitian dilakukan di daerah Kabupaten Sumenep Jawa Timur, yang dilakukan pada bulan MaretNovember 2009. Alasan pemilihan daerah penelitian dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan salah satu sentra produksi tembakau Indonesia. Kabupaten Sumenep juga merupakan daerah pengembangan teknologi terbaru terhadap usaha tani tembakau.. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan berbagai nara sumber, dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Nara sumber dalam penelitian ini, antara lain: petani tembakau, pedagang tembakau, dan pihak manajemen gudang tembakau. Untuk melengkapi data, maka dilakukan diskusi dengan beberapa ahli di bidang tembakau, antara lain dari pakar, BAPEDA, Dinas Kehutanan dan Perkebunaan, Lembaga Tembakau Kabupaten Sumenep. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait, antara lain: Dinas Perkebunan, Lembaga Tembakau, Bappeda, dan BPS.

Metode Analisis Analisis Pola Kelembagaan Pemasaran Komoditas Tembakau Analisis ini digunakan untuk mengetahui pola kelembagaan pemasaran pada komoditas tembakau. Analisisnya berbentuk deskriptif eksploratif, yakni analisis melalui data sekunder dan data primer yang berasal dari petani, manajemen gudang, tengkulak/agen dan perusahaan serta hasil Fokus Group Discussion (FGD) dengan dinas terkait yaitu dinas perkebunan. Dari data tersebut dapat dihitung margin keuntungan dari pelaku pemasaran, benefit cost ratio, farmer share, market integration, dan Market Connection Index (MCI). Analisis pemasaran digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi sistem tataniaga, yang menyangkut efisiensi operasional dan efisiensi harga. Sistem tataniaga menjadi efisien apabila bagian yang diterima para pelaku tataniaga (petani, pedagang kecil, dan pedagang besar) layak dan stabil. Margin tataniaga ditentukan oleh jasa/pengeluaran yang diberikan dan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga yang terkait dalam kegiatan tataniaga. Margin tataniaga ini merupakan selisih antara harga ditingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Dalam margin tataniaga, terdapat komponen keuntungan yang diperoleh oleh lembaga tataniaga dan semua biaya yang dikeluarkan oleh lembaga terkait dalam sistem tataniaga suatu komoditi dalam proses penyampaian barang dari produsen sampai kepada konsumen. Jadi margin tataniaga merupakan penjumlahan antara biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga. Pengembangan Model Kelembagaan Pemasaran Tembakau yang Meningkatkan Kesejahteraan Petani Analisis ini adalah lanjutan dari analisis pola kelembagaan yang terjadi saat ini (existing condition). Setelah diketahui pola kelembagaan pemasaran yang terbentuk di lapangan selama ini maka dapat dianalisis dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Selanjutnya pengembangan model dilakukan dengan mengadakan FGD dengan pihak yang terkait, yaitu petani, pedagang kecil, pedagang besar, pemerintah, dan pemangku kepentingan yang terkait dengan tembakau. Pengembangan model ini digunakan untuk membentuk model kelembagaan pemasaran komoditas tembakau yang lebih menguntungkan bagi semua pelaku pasar terutama petani tembakau. Peran terpenting dari kelembagaan adalah menciptakan pasar (market-creating) yang bisa melindungi hak kepemilikan dan melaksanakan kontrak. Dalam perekonomian yang berbasis pasar, fungsi terpenting kelembagaan bisa dipilah dalam tiga klasifikasi berikut (Rodrik dan Subramanian, 2003): (i) meregulasi pasar (market regulating), khususnya untuk mengatasi persoalan-persoalan eksternalitas (externalities), skala ekonomi (economies of scale), dan informasi yang tidak sempurna (imperfect information); (ii) menstabilisasi pasar (market stabilizing), yang bertujuan untuk menurunkan inflasi, meminimalisasi volatilitas makro ekonomi, dan mencegah krisis keuangan; dan (iii) melegitimasi pasar (market legitimizing), yakni kebijakan untuk menopang kegagalan pasar, seperti asuransi dan perlindungan sosial, redistribusi, dan manajemen konflik.

Batasan Operasional Berikut beberapa batasan operasional untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran terhadap konsep-konsep yang terdapat pada penelitian ini. 1) Kelembagaan tataniaga komoditas tembakau adalah suatu kelembagaan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hubungan (interrelationship) antara prinsipal dengan agen yang berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam melakukan transaksitransaksi. 2) Agent adalah petani tembakau baik petani tembakau yang melakukan transaksi/penjualan kepada pedagang dalam suatu ikatan kerjasama. 3) Principal adalah pedagang yang melakukan transaksi/pembelian komoditas tembakau dengan petani dalam suatu kontrak kerjasama. 4) Hubungan principal-agent adalah suatu bentuk hubungan keterikatan antara dua orang/kelompok dimana satu pihak sebagai prinsipal dan pihak lain sebagai agen dalam kerangka ekonomi, sebagai akibat dari adanya informasi asimetrik. 5) Bandul adalah pedagang tembakau yang membeli dari petani dan menjualnya kembali kepada juragan atau pedagang besar. 6) Margin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat produsen/petani dengan harga di tingkat konsumen yang meliputi biaya tata niaga dan keuntungan lembaga tata niaga diukur dalam Rp/kg tembakau. 7) Biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pelaku tata niaga untuk menggerakkan produk dari produsen ke konsumen, yang meliputi biaya pengangkutan, pergudangan, penyusutan, tenaga kerja, dan ekspedisi, serta biaya-biaya lainnya yang diukur dalam Rp/kg tembakau. 8) Keuntungan lembaga tataniaga adalah keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam menggerakkan produk dari tingkat produsen sampai pada tingkat konsumen, diukur dalam Rp/kg tembakau. 9) Harga di tingkat produsen/petani adalah harga jual petani kepada pedagang perantara perorang/badan. 10) Harga di tingkat pedagang adalah harga di tingkat pedagang perantara perorangan/badan sebelum produk sampai pada gudang pabrikan. 11) Harga di tingkat gudang adalah harga konsumen terakhir komoditas tembakau sebelum dikirim ke pabrik rokok untuk diolah. 12) Farmers share adalah bagian harga yang diterima petani tembakau, yang merupakan perbandingan antara harga di tingkat produsen/petani dengan harga di tingkat konsumen akhir (gudang pabrikan). 13) Kesejahteraan petani adalah pendapatan yang diperoleh petani dari hasil usaha tani yang dilakukan.

ANALISIS DAN PEMBAHASANAnalisis Kelembagaan Pemasaran Tembakau Tembakau adalah komoditas perdagangan utama di Madura, khususnya di Pamekasan dan Sumenep. Alur perdagangan tembakau tersebut memunculkan kelembagaan pemasaran secara otomatis antara petani dan pedagang. Bentuk kelembagaan yang terjadi adalah sistem kelembagaan tradisional; yaitu posisi pembeli dan pedagang tidak seimbang. Hal ini terlihat pada posisi pedagang lebih kuat dibandingkan dengan petani. Dalam sistem kelembagaan tradisional dalam perdagangan tembakau inilah muncul istilah bandul yaitu orang yang berperan sebagai pialang atau perantara perdagangan antar petani dengan juragan besar atau konsumen akhir. Posisi bandul sebagai pedagang memiliki peran yang besar, karena bandul mempunyai informasi yang lebih lengkap dibandingkan petani. Adanya asymetric information dalam sistem kelembagaan pemasaran tembakau ini yang membuat petani tidak mempunyai daya tawar yang kuat dalam pemasaran komoditas produksinya. Informasi yang diterima oleh petani tentang harga cenderung bias. Hampir sebagian besar petani tidak mengetahui harga yang ditetapkan oleh gudang pabrikan. Selain masalah harga, petani tidak memperoleh informasi yang memadai tentang kualitas tembakau yang diinginkan oleh konsumen akhir. Keadaan asymmetric information tersebut semakin diperkuat dengan kondisi rantai pemasaran yang panjang. Petani tembakau tidak bisa (sulit) menjual hasil panen tembakaunya langsung ke gudang. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam pemasaran akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen. Hubungan antara harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen pabrikan sangat bergantung pada struktur pasar yang menghubungkannya dan biaya transfer. Apabila semakin besar margin pemasaran ini akan menyebabkan harga yang diterima petani produsen menjadi semakin kecil dan semakin mengindikasikan sebagai sistem pemasaran yang tidak efisien. Tomek dan Robinson (dalam Suharyanto et.al., 2005). Seperti yang tertera dalam gambar 2 berikut ini menunjukkan rantai pemasaran komoditas tembakau Madura yang cukup panjang dari produsen (petani) terhadap konsumen akhir (gudang pabrikan).

Menurut Imelda dan Harini (dalam Astuti 2007), petani akan mengalami kerugian akibat saluran tataniaga yang panjang. Pada umumnya, petani memiliki kelemahan dalam kegiatan tataniaga. Akibatnya pengrajin memiliki posisi tawar yang lemah dan harga yang diterima menjadi lebih rendah. Secara teoretis, hubungan antara petani dan pedagang dalam sistem pemasaran seperti itu disebut sebagai hubungan principal-agent. Dimana pedagang atau bandul sebagai principal dan petani sebagai agent. Hubungan tersebut juga berlaku antara bandul dengan juragan besar dan bahkan antara juragan besar dengan pihak gudang atau pabrikan. Para pelaku melakukan transaksi secara terstruktur dan dilakukan dengan pelaku yang relatif kenal dekat. Bahkan pola pemasaran antara bandul dan juragan serta juragan dan gudang hubungannya lebih erat. Bandul akan protes bila menerima langsung dari petani. Kondisi ini menciptakan kegagalan pasar (market failure) dalam pasar komoditas tembakau. Perilaku pasar seperti itu sejalan dengan penelitian Kertawati (2008), bahwa pasar tembakau bersifat tertutup dan tidak sembarangan penjual (petani atau pedagang) bisa langsung masuk ke dalam pasar tembakau. Penjual harus memperoleh kepercayaan dari pembeli, sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik.Dengan adanya market failure tersebut petani kesulitan untuk menjual langsung pada konsumen akhir dalam hal ini gudang atau pabrikan. Kesulitan-kesulitan tersebut berupa kegagalan untuk diterima atau ditolak oleh gudang karena ketidaksesuaiannya dengan kualitas yang diinginkan oleh gudang atau pabrikan dalam hal ini sebagai pembeli. Kesulitan yang lain adalah ketidakmampuan dalam bargaining harga. Dalam konsep kelembagaan pemasaran principal-agent, pihak principal memegang peranan penting, termasuk dalam penentuan harga. Kesulitan yang lain adalah ada biaya ekstra yang harus dikeluarkan yaitu: biaya informasi, biaya angkut/transportasi, dan biaya lainnya. Biaya lainnya adalah waktu yang terbuang ketika menjual ke gudang, karena harus antri lama bahkan sampai beberapa hari. Selain memakan waktu, hal tersebut akan mempengaruhi kualitas tembakau, karena semakin lama tembakau tersimpan tanpa perlakuan khusus, maka kualitas tembakau tersebut akan berkurang. Resiko lainnya adalah tembakau yang ditolak oleh gudang, harga jualnya akan merosot ketika di jual kepada bandul. Dengan tingkat resiko yang tinggi tersebut pihak petani tidak berani untuk mengambil resiko terlalu tinggi. Untuk meminimalisir resiko yang harus dihadapi oleh petani, maka petani cenderung memilih untuk menjual kepada bandul yang dia kenal atau bandul yang menawar lebih tinggi. Dalam analisis kelembagaan hubungan petani dan bandul seperti ini merupakan hubungan yang wajar, karena hubungan antara petani dan bandul tidak hanya hubungan transaksi jual beli komoditas. Hubungan sosial (social relationship) yang erat antara petani dan bandul mendorong petani untuk menjual kepada bandul yang lebih mereka kenal. Insentif yang diperoleh oleh petani, adalah kesempatan tawar menawar yang lebih leluasa, kemudahan dalam proses sortir, kemudahan dalam pengangkutan, dan kemudahan dalam mendapatkan pinjaman. Bahkan transaksi komoditas tidak dilakukan dengan kontan atau tunai pada saat jual beli dan petani lebih suka menjual kepada bandul yang mempunyai hubungan lebih erat dengan alasan meminimalisir resiko. Seperti halnya hubungan antara petani dan bandul, hubungan antara bandul dan juragan terdapat hubungan yang erat. Bandul hanya menjual tembakau yang dibeli dari petani kepada juragan mereka sendiri. Karena bandul juga mengalami kesulitan jika menjual kepada juragan yang lain. Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa juragan hanya menerima tembakau dari bandul yang berada dibawah koordinasinya. Bahkan juragan tidak akan mengambil tembakau langsung dari petani, karena akan terjadi protes dari bandul-bandul yang ada dibawah koordinasinya. Apabila hal itu terjadi, maka juragan akan mengalami kesulitan dalam mencapai target yang ditetapkan gudang terhadapnya. Peranan juragan sendiri sangat besar dalam kontek hubungan kelembagaan dengan bandul, untuk menjaga hubungan baik dengan bandul, juragan memberi pinjaman sejumlah uang kepada bandul sebagai modal untuk membeli tembakau petani. Bandul membalas kepercayaan juragan tersebut dengan menjual tembakau sesuai dengan yang ditentukan juragan. Trust antara bandul dan juragan amat sangat penting dalam kontek hubungan kelembagaan seperti ini. Hubungan yang lain antara juragan dan bandul adalah, juragan memberi komisi terhadap sejumlah tembakau yang berhasil dibeli oleh bandul dari petani. Jadi modal pembelian seluruhnya dikeluarkan oleh juragan. Diantara juragan dengan gudang atau pabrikan juga terdapat hubungan yang erat. Juragan atau pedagang besar bertindak sebagai perwakilan gudang atau pabrikan dalam pembelian tembakau. Hubungan ini lebih sistematis dibandingkan dengan hubungan antara petani dengan bandul atau bandul dengan juragan. Gudang hanya menerima tembakau dari gudang yang ditunjuk dan juragan hanya menyetorkan tembakau pada gudang yang menjadi patron-nya. Hubungan tersebut terjalin sangat erat sehingga tercipta hubungan sosial ekonomi yang amat sangat kuat. Hubungan tersebut bersifat simbiosis mutualisme antara juragan dan gudang. Pedagang mendapat kemudahan untuk memasukkan tembakau ke gudang dengan relatif mudah, tanpa proses sortir yang ketat. Hal itu disebabkan karena saling percaya antara juragan dan gudang. Gudang diuntungkan dengan kepastian ketersediaan stok yang diinginkan tercapai sesuai dengan target yang ditetapkan oleh gudang dengan proses yang lebih sederhana dan efisien. Hubungan yang kuat antara pelaku perdagangan tersebut baik itu antara petani dan bandul, antara bandul dan juragan; serta antara juragan dan gudang akan menekan biaya transaksi (transaction costs). Biaya transaksi tersebut meliputi: biaya informasi (information cost), biaya negosiasi (negotiation cost), dan biaya monitoring (monitoring cost). Hubungan kelembagaan yang baik tersebut dikarenakan sudah saling kenal dan sudah saling mengetahui perilaku masing-masing. Sehingga kegiatan transaksi dilakukan dengan hanya kesepakatan harga saja. Pada kelembagaan pemasaran tembakau Madura gunung, ada transaksi selain transaksi komoditas. Transaksi itu adalah transaksi kredit berupa pinjaman modal untuk biaya tanam dan biaya operasional lainnya. Biasanya pihak pabrikan memberikan pinjaman berupa pupuk dan bibit dengan perjanjian bahwa hasil panen akan dibeli oleh pihak gudang. Hal tersebut dilakukan oleh pihak ke gudang dan hanya terbatas pada areal tanam yang dikenal menghasilkan tembakau yang berkualitas. Tembakau yang berkualitas tersebut adalah tembakau gunung dengan aromanya yang khas. Tetapi beberapa petani tidak terlalu tertarik dengan pola transaksi kredit atau pinjaman seperti itu. Hal itu dikarenakan harga yang dikenakan relatif lebih rendah dari harga pasar. Upaya yang dilakukan oleh gudang pabrikan dengan memberikan pinjaman modal untuk biaya operasional ataupun pinjaman berupa bibit dan pupuk dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan akan kualitas tembakau yang berkualitas. Petani juga mendapatkan kemudahan karena ada kepastian dari pemasaran hasil produksi mereka dan kemudahan pembiayaan dalam penanaman tembakau. Analisis Pemasaran Tembakau Madura Margin Pemasaran Tembakau Madura Analisis kelembagaan pemasaran tembakau Madura dengan struktur pasar yang unik, menyebabkan sebagian besar petani menjual tembakau rajangannya kepada pedagang dalam hal ini bandul. Hal ini disebabkan karena dalam pemasaran tembakau Madura terdapat suatu keterkaitan yang erat antara bandul, juragan dan gudang. Sehingga petani menghadapi resiko yang besar apabila menjual langsung ke gudang, karena kemungkinan besar tidak diterima. Untuk menghindari kemungkinan tersebut petani menjual komoditasnya kepada bandul sebagai pedagang pengepul. Analisis pemasaran tembakau dapat dilakukan dengan menghitung margin tata niaga. Margin tataniaga merupakan jumlah biaya tataniaga dan keuntungan dari lembagalembaga yang terlibat dalam transaksi. Analisis margin tataniaga di mulai dari tingkat petani sebagai produsen sampai gudang pabrikan sebagai konsumen akhir, karena tembakau merupakan bahan baku pembuatan rokok bagi perusahaan tersebut. Biaya tata niaga meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menyalurkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Di tingkat petani biaya usahatani meliputi biaya pengolahan lahan, sewa lahan, tenaga kerja, bibit, obat, pupuk, dan biaya pengeringan. Sedangkan biaya pemasaran meliputi biaya pengangkutan, tenaga kerja, gudang, packing, penyusutan. Saliem (dalam Suharyanto, dkk 2005) menyatakan bahwa tujuan analisis margin pemasaran bertujuan untuk melihat efisiensi pemasaran yang diindikasikan oleh besarnya keuntungan yang diterima oleh masing-masing pelaku pemasaran. Semakin tinggi proporsi harga yang diterima produsen, semakin efisien sistem pemasaran tersebut. Penurunan harga yang ditetapkan gudang pada tahun 2009 berpengaruh terhadap harga jual di tingkat petani yaitu sebesar 87.50% dari harga konsumen akhir, dimana keuntungan yang diperoleh petani sebesar 46.18% dari harga yang ditetapkan oleh gudang. Turunnya harga terkait dengan oversupply tembakau di pasar selain disebabkan penurunan kualitas tembakau akibat dari kondisi alam (hujan yang terlalu awal). Margin keuntungan di tingkat bandul 3.33% yang diperoleh dari selisih harga jual pada tingkat juragan atau pedagang besar dan harga beli dari petani, setelah dikurangi biaya tata niaga di tingkat bandul. Margin keuntungan yang diperoleh juragan atau pedagang besar adalah 7.54% dari harga gudang pabrikan. Margin keuntungan yang besar yang diterima oleh juragan atau pedagang besar, dikarenakan biaya yang dikeluarkan oleh juragan atau pedagang besar relatif kecil. Dengan besarnya kuantitas tembakau yang di perdagangkan oleh juragan, maka keuntungan yang diperoleh akan menjadi semakin besar karena mencapai scale of economic. Keuntungan yang besar tersebut juga disebabkan bias informasi tentang harga yang ditetapkan oleh gudang yang diterima oleh petani bahkan juga bandul. Sehingga juragan bisa mengambil untung dari adanya asymmetric information tersebut. Hasil ini sejalan dengan penelitian Santoso (2001), yang menyatakan kurangnya pengetahuan petani tentang tata cara penjualan tembakau dan persaingan yang ketat mengakibatkan petani pada kondisi yang tidak menguntungkan. Selain itu hubungan kelembagaan yang erat antara juragan dan pedagang besar membuat pasar tembakau cenderung ke arah pasar yang oligopsoni, jumlah pembeli atau pengguna input jumlahnya sangat kecil. Kondisi ini mendorong pasar tidak berjalan tidak efisien, karena pembeli input bisa menentukan harga dan mekanisme pasar tidak berjalan dengan baik.

Walaupun prosentase margin keuntungan di tingkat petani cukup besar terhadap harga di tingkat pedagang, tapi bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan dengan menggunakan analisis benefit cost ratio petani mendapatkan keuntungan relatif paling kecil. Sedangkan angka benefit yang diterima juragan sebagai pedagang besar yang terbesar. Sudiyono (dalam Suharyanto et.al.,:2005) menyatakan bahwa margin pemasaran yang tinggi tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya-biaya yang harus dikeluarkan lembaga-lembaga pemasaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran. Besarnya keuntungan yang diterima oleh juragan pedagang besar karena biaya yang dikeluarkan oleh juragan besar relatif lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan analisis benefit cost ratio dapat disimpulkan juragan atau pedagang besar mendapatkan benefit yang paling besar dari tataniaga tembakau. Bahkan petani sebagai produsen mendapatkan benefit yang paling kecil dari tataniaga tembakau ini, dengan resiko yang relatif besar yang dihadapi petani dibandingkan dengan pelaku tataniaga tembakau lainnya. Farmer Share Tembakau Madura Analisis farmer share ini digunakan untuk mengukur seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dibandingkan dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Tembakau Madura digunakan untuk industri rokok kretek, maka konsumen akhir adalah gudang yang merupakan perwakilan dari pabrikan rokok. Dari tabel 2 diperoleh gambaran perkembangan farmer share mulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Tabel 2 dapat menjelaskan bahwa farmer share tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebesar 89.06%.

Kecenderungan peningkatan farmer share diakibatkan oleh semakin terbukanya akses informasi tentang harga yang berlaku, sehingga petani sedikit mempunyai nilai tawar dalam penentuan harga. Tingkat harga yang tinggi yang ditetapkan oleh gudang pabrikan, juga berperan terhadap peningkatan harga di tingkat petani. Walaupun pada tahun berikutnya nilai farmer share cenderung mengalami penurunan. Dari analisis farmer share ini, efisiensi jalur pemasaran dapat dinilai. Semakin pendek alur pemasaran dan terbukanya arus informasi, mengakibatkan harga di tingkat produsen semakin tinggi. Tingkat Keterpaduan Pasar Untuk melihat sejauhmana pembentukan harga di tingkat produsen dipengaruhi oleh perubahan harga di tingkat konsumen akhir, digunakan analisis keterpaduan pasar. Analisis ini dapat digunakan untuk menganalis keterpaduan pasar dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Dengan menggunakan formula Timmer diperoleh hasil sebagai berikut.

Dari hasil perhitungan market connection index untuk melihat keterpaduan pasar diperoleh angka 1.09. Artinya keterpaduan pasar tembakau Madura relatif kecil. Itu berarti bahwa perubahan harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara penuh pada tingkat produsen. Dalam jangka pendek perubahan harga yang terjadi di tingkat gudang sebagai konsumen akhir tidak langsung membentuk perubahan harga di tingkat petani sebagai produsen. Hal tersebut bisa diartikan bahwa pembentukan harga di tingkat petani lebih disebabkan faktor-faktor di luar harga. Hal tersebut disebabkan oleh adanya asymmetric information dan kurangnya infrastruktur dalam pembentukan pasar yang efektif. Tapi dalam jangka panjang nilai d2=0,96, menunjukkan bahwa keterpaduan pasar cukup tinggi. Artinya dengan aturan tata niaga tembakau, keterbukaan informasi, tersedianya infrastruktur yang memadai pembentukan harga di tingkat konsumen dapat ditransmisikan secara penuh kepada petani sebagai produsen. Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani Petani tembakau yang berada di Kabupaten Sumenep berharap hasil panen tembakau bagus dan tingkat harga yang baik. Harapan tentang perbaikan harga komoditas tembakau merupakan motivasi petani untuk selalu menanam tembakau setiap musim tanam tembakau tiap tahunnya selain faktor tradisi turun temurun. Perkembangan harga tembakau rajangan di tingkat gudang pabrikan (berdasarkan grade gudang pabrikan) dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 dapat dinyatakan bahwa kenaikan harga pada tahun 2006. Rata-rata kenaikan harga masing-masing grade adalah Rp2.000,-. Bahkan pada tahun 2008 kenaikan harga mencapai harga yang tertinggi yaitu grade G + mencapai Rp32.000,- dan harga tembakau rajangan grade O40 (grade relatif rendah) sebesar Rp18.000,-. Tapi pada tahun 2009 harga tembakau rajangan kembali turun, bahkan mencapai harga terendah dalam 6 tahun terakhir. Fluktuasi harga tembakau merupakan resiko tersendiri bagi petani walaupun sebenarnya itu merupakan suatu hal yang jamak terjadi di sektor pertanian, seperti yang dinyatakan Singh dalam Sahara (2001) dalam Suharyanto et.at:(2005) bahwa fluktuasi harga yang tinggi di sektor pertanian merupakan suatu fenomena yang umum akibat ketidakstabilan (inherent instability) pada sisi penawaran. Hal ini berarti harga hasil pertanian disebabkan oleh sifat alami dari produksi pertanian, yaitu dalam jangka pendek tidak dapat merespon tambahan permintaan atau tidak dapat mengurangi produksi pada saat harga yang rendah. Dengan tingkat produktivitas panen tembakau yang relatif tetap, secara kuantitas petani tembakau memperoleh jumlah hasil panen yang sama dengan areal tanam yang sama. Sedangkan kualitas hasil panen tembakau lebih disebabkan iklim cuaca yang mendukung budi daya tembakau. Iklim yang sulit diprediksi berpengaruh terhadap kualitas hasil panen. Dengan asumsi bahwa kuantitas produksi tetap berdasarkan produktivitas lahan dan kualitas hasil panen tembakau tetap berdasarkan iklim-ceteris paribus, maka harga merupakan variabel yang penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan harga yang relatif kecil berakibat terhadap total revenue dari petani. Dengan total biaya yang semakin meningkat baik itu biaya tetap maupun biaya variabel, pendapatan petani semakin menurun setiap tahunnya. Kondisi tersebut mengakibatkan nilai tukar petani menjadi rendah terutama petani tembakau. Nilai tukar petani Jawa Timur bulan September 2009 sebesar 99.74 (BPS Provinsi Jawa Timur, 2009) menunjukkan bahwa kesejaheraan petani di bawah rata-rata. Nilai Tukar Petani dibawah 100 berarti petani mengalami defisit karena pendapatan yang diterima petani di bawah kondisi break even point. Artinya kemampuan petani menukar hasil produksi pertanian yang dihasilkan terhadap kebutuhan petani dalam memenuhi kebutuhannya rendah. Kontribusi sub-sektor perkebunan rakyat, yang didalamnya termasuk komoditas tembakau memberikan kontribusi terhadap penurunan nilai tukar petani.

KESIMPULAN Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentuk kelembagaan pemasaran tembakau yang berlangsung selama ini di Kabupaten Sumenep adalah kelembagaan tradisional, yaitu pedagang memiliki peranan yang sangat penting. Petani biasanya menjual komoditasnya kepada pedagang yang sudah lama dikenalnya. Dalam ilmu kelembagaan hubungan antara petani dan pedagang seperti itu merupakan hubungan principal-agent, yaitu petani sebagai principal dan pedagang sebagai agent. Selain hubungan antara petani dengan pedagang, hubungan semacam itu juga terjadi antara pedagang dengan gudang. Pedagang dalam melakukan transaksinya, melalui gudang yang telah mereka kenal sejak lama, sehingga diantara mereka terjalin hubungan baik. Sebagian besar petani menjual komoditasnya melalui pedagang pengumpul. Dari hasil analisa, keuntungan yang diperoleh petani sebesar 46,18 persen dari harga konsumen akhir (gudang perusahaan rokok). Margin keuntungan yang diperoleh juragan pedagang besar sebesar 7,54 dari harga gudang, dan bandul mendapatkan margin keuntungan sebesar 3,33 persen dari harga konsumen akhir. Namun apabila margin keuntungan yang masing-masing pelaku tataniaga tersebut dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, petani mendapat benefit cost rasio yang paling kecil, yaitu sebesar 1,12, sedangkan pedagang besar dengan rasio 9,55. Besarnya keuntungan tersebut karena biaya yang dikeluarkan pedagang besar/juragan kecil dibanding dengan pelaku tataniaga lainnya, juga volume perdagangan yang diterima. Dari hasil perhitungan margin pemasaran ini maka petani mendapatkan keuntungan yang paling kecil, padahal resiko yang diterima petani relatif besar dibandingkan dengan pelaku pemasaran lainnya. Pada analisis keterpaduan pasar didapatkan nilai Market Connection Index sebesar 1,09; menunjukkan bahwa keterpaduan pasar tembakau Madura kecil. Artinya perubahan harga di tingkat konsumen tidak ditransmisikan secara penuh ke tingkat produsen. Pembentukan harga di tingkat petani lebih dominan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada pada pasar lokal. Faktor tersebut diantaranya ketidaklancaran arus informasi, baik harga dan maupun kualitas tembakau. Rendahnya keterkaitan pasar pada tembakau Madura juga disebabkan kurang ditunjangnya infrastruktur yang memadai, terutama infrastruktur jalan. Infrastruktur yang kurang memadai tersebut menyebabkan akses petani ke pasar menjadi rendah, sehingga arus informasi pasar menjadi kurang lancar. Namun dalam jangka panjang dimana d2=0,96; menunjukkan bahwa keterpaduan pasar komoditas ini dalam jangka panjang cukup tinggi. Artinya dalam jangka panjang apabila terjadi perubahan harga di pasar sentral akan ditransmisikan secara penuh ke pasar lokal. Kesejahteraan petani cenderung tidak mengalami peningkatan, karena dibandingkan harga tembakau cenderung mengalami penurunan. Dengan produktivitas yang cenderung stagnan dan harga yang semakin rendah pendapatan petani semakin menurun. Tingkat inflasi semakin memperburuk tingkat kesejahteraan petani, karena pendapatan petani riil (daya beli petani) semakin rendah. Hal tersebut bisa dilihat dari nilai tukar petani sebesar 99.74% yang berarti pendapatan petani di bawah kondisi break even point. Pola kelembagaan pemasaran yang tidak menguntungkan petani karena adanya asymmetric information dan rentang pemasaran yang terlalu lebar, diperlukan model kelembagaan pemasaran yang efektif. Model kelembagaan yang efektif dan menguntungkan kedua belah pihak, dimana petani sebagai produsen menjual langsung kepada gudang pabrikan sebagai konsumen akhir. Diperlukan peran lembaga independen non-profit yang bertindak sebagai penghubung antara petani dan gudang pabrikan, yang bisa menjembatani kepentingan kedua belah pihak. Penelitian ini menghadapi beberapa keterbatasan terutama data yang berkaitan dengan kesejahteraan. Data yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan hasil usaha tani tembakau dengan melihat pergerakan harga setiap tahunnya, dengan asumsi bahwa produktivitas dan kualitas hasil panen tembakau adalah tetap. Penelitian selanjutnya di sarankan untuk menggunakan indikator kesejahteraan yang lebih bisa mencerminkan tingkat kesejahteraan petani secara riil. Tehnik pengumpulan data yang terkait dengan informasi hubungan antar pelaku tataniaga tembakau perlu diperbaiki. Tehnik kuesioner dan FGD masih belum mampu menggali lebih dalam lagi informasi yang bersifat tertutup dan penting bagi penelitian. Keterbatasan informasi akses informasi ini bisa diatasi dengan tehnik pengumpulan data yang lebih baik dan relevan pada penelitian-penelitian selanjutnya terkait dengan tataniaga tembakau Madura.