Review II THI 2
-
Upload
binar-s-suryandari -
Category
Documents
-
view
113 -
download
0
description
Transcript of Review II THI 2
Review II untuk Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional 2Nama : Binar Sari SuryandariNPM : 1006664685Sumber : Ulf Hannerz, “Cosmopolitans and Locals in World Culture” dalam
Theory, Culture, and Society, Vol.7, 1990, hlm. 237-251.
Konsepsi Kaum Kosmopolitan Sebagai “Citizens of the World” dan Pembentukan Budaya Dunia
Dalam mempelajari masyarakat transnasional dalam kajian ilmu hubungan internasional, akan
ditemukan sebuah terminologi yang disebut dengan kosmopolitanisme dan kaum kosmopolitan.
Terminologi atau konsep ini muncul sebagai bentuk penjelasan jenis masyarakat dalam dunia
internasional yang terkait dengan nilai-nilai universal. Dalam artikel yang berjudul “Cosmopolitans
and Locals in World Culture” ini, Hannerz berusaha menjelaskan tentang kaum kosmopolitan dan
kaum lokal dalam budaya dunia, serta pandangannya tentang budaya dunia internasional.
Bagi Hannerz, saat ini dunia telah membentuk sebuah budaya dunia. Menurutnya, dengan
semakin modernnya dunia dan meningkatnya saling keterhubungan antar manusia, hal ini terwujud
dengan lebih mudah dan cepat. Kaum kosmopolitan memiliki pengaruh yang besar dalam
pembentukan budaya dunia bersama yang satu. Kosmopolitan sering dikaitkan dan dirujuk secara
sempit sebagai siapapun yang bepergian dan melampaui batas-batas negara. Namun bagi Hannerz,
kosmopolitanisme lebih dari sekedar pemahaman tersebut. Kosmopolitan lebih menekankan pada
unsur budaya yang juga dapat mengubah struktur. Dalam artikel ini juga dikatakan bahwa budaya
sangat terkait dengan hubungan dan interaksi sosial antar manusia.
Pengertian sempit seperti yang telah disebutkan sebelumnya tersebut tentu akan menimbulkan
banyak pertanyaan mengenai terminologi-terminologi lain yang serupa, seperti pelancong (traveler),
turis, exile, dan kaum ekspatriat. Dalam artikel ini, Hannerz pun menjelaskan perbedaan dari
terminologi-terminologi tersebut dengan kaum kosmopolitan. Pada dasarnya, terminologi-terminologi
tersebut sama-sama merujuk pada kaum yang bepergian dan melintasi batas negara. Namun demikan,
setiap terminologi memiliki penekanan tertentu dalam definisi dan pengertiannya. Demikian pula
dengan terminologi kosmopolitan yang dalam artikel ini banyak dibandingkan dengan kaum lokal
dalam pembentukan budaya dunia.
Turis merupakan salah satu terminologi atau istilah yang sangat sering digunakan dan sudah
sangat sering ditemukan. Secara singkat, turis berbeda dengan kaum kosmopolitan karena kaum
kosmopolitan lebih merupakan partisipan dalam sebuah budaya, sedangkan turis tidak dapat dikatakan
sebagai partisipan dalam budaya tertentu. Turis hanyalah ‘penonton’ yang melihat dan memperhatikan
1
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
budaya-budaya yang tengah berlangsung di depan mata mereka. Turis tidak memiliki kompetensi yang
sama dengan apa yang dimiliki oleh kaum kosmopolitan untuk dapat menjadi partisipan. Kaum
kosmopolitan seringkali disalah-artikan sebagai turis, namun hal ini membuat kaum kosmopolitan
kesal, karena bagi mereka disalah-artikan sebagai turis akan mengancam ke-‘kosmopolitanisme’-an
yang dimiliki oleh diri mereka.
Kelompok exile di lain sisi juga berpindah dari satu teritori budaya ke teritori budaya yang lain
Namun demikian, exile tetap berbeda dengan kaum kosmopolitan. Berbeda dengan kelompok turis,
kelompok exile mungkin memiliki kompetensi untuk juga menjadi partisipan, namun mereka pada
dasarnya tidak menginginkan hal tersebut. Dengan demikian, kelompok exile merupakan kebalikan
dari kelompok turis, namun mereka juga tidak dapat dikatakan sebagai kaum kosmopolitan karena
nyatanya mereka sendiri tidak menginginkan untuk dapat menjadi partisipan dalam proses kebudayaan.
Sedangkan kaum ekspatriat merupakan sekelompok orang yang memilih untuk tinggal di luar negeri
dalam beberapa waktu, namun tidak semua dari mereka hidup sesuai dengan ‘model
kosmopolitanisme’ walaupun kelompok inilah yang paling siap untuk dapat diasosiasikan dengan
kosmopolitanisme dibandingkan dengan kelompok lainnya. Namun demikian, perbedaan terbesar
adalah bahwa kelompok ini mampu ‘membeli’ pengalaman dan menganggap perjalanannya ini sebagai
sebuah pekerjaan, dan bukan sebagai gaya hidup seperti bagaimana para kosmopolitan menjalaninya.
Di lain pihak, kelompok lokal merupakan kelompok yang merasa aman dengan zona budayanya
sendiri, dan tidak menginginkan untuk dapat terlibat dengan budaya lainnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kelompok lokal merupakan kebalikan dari kaum kosmopolitan.
Kosmopolitanisme yang menjadi fokus dari artikel yang ditulis oleh Hannerz ini pada dasarnya
merupakan sebuah paham konsep yang cukup sering ditemukan dalam kajian ilmu hubungan
internasional, terutama ketika masuk dalam kajian masyarakat transnasional. Dalam buku International
Relations: The Key Concepts, Griffiths dan O’Callaghan menyebutkan bahwa kosmopolitanisme
merupakan kebalikan dari konsep komunitarianisme.1 Pada dasarnya kedua konsep ini sama-sama
menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti budaya, namun konsep ini memiliki perbedaan pendapat
mengenai sumber dari nilai-nilai moral tersebut. Komunitarian menganggap bahwa sumber dari nilai-
nilai moral yang dianut oleh seseorang berasal dari komunitas politik yang diikuti oleh orang tersebut.
Sedangkan bagi kosmopolitan, setiap individu dari manusia lah yang menjadi sumber asal dari nilai-
nilai moral yang dianutnya.2 Lebih jauh dalam bagian yang lain, Griffiths dan O’Callaghan
1 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: The Key Concepts (New York: Routledge, 2004), hlm. 482 Ibid.
2
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
menyebutkan bahwa bagi beberapa teoris, istilah masyarakat kosmopolitan mengacu pada
kemungkinan terciptanya demokrasi global dan kewarganegaraan dunia (world citizenship) atau
mengacu pada kerangka baru untuk kerjasama di antara pergerakan sosial transnasional.3 Pengertian ini
menekankan posisi kosmopolitan yang dilihat dari aspek sosial yang dijalin antara masyarakat di
dunia.
Selain itu, Griffiths dan O’Callaghan juga mengatakan bahwa terdapat tiga cara yang
menjelaskan elaborasi dari konsep kosmopolitanisme ini. Tiga cara yang dimaksud adalah dengan
mengacu pada kondisi sosial-budaya, ideologi atau filosofi, serta mengacu pada proyek politik. Tiga
acuan yang menjadi sumber elaborasi dari konsep kosmopolitanisme tersebut memiliki penekanan
pada aspek yang berbeda-beda. Dalam kondisi sosial-budaya, muncullah sebuah konsep ‘a
cosmopolitan world’ yang menekankan istilah kosmopolitanisme sebagai kondisi di mana manusia saat
ini mampu ‘bergerak’ dan berpindah lebih jauh. Dengan demikian, yang termasuk dalam kategori
kosmopolitan di sini adalah manusia yang memiliki kekayaan yang cukup dan mandiri ataupun
manusia yang menjlani gaya hidup berkeliling dunia (globetrotting). Dalam pembentukan istilah
kosmopolitanisme yang mengacu pada ideologi atau filosofi, masyarakat kosmopolitan disebut sebagai
mereka-mereka yang menciptakan komunitas moral dan kemanusiaan dalam lingkup dunia yang
berkomitmen pada gagasan hak asasi manusia yang universal.4 Berbeda dengan kedua acuan tersebut,
pembentukan istilah kosmopolitanisme yang mengacu pada proyek politik menekankan pada struktur
politik transnasional, serta global governance dan pembatasan atas kedaulatan negara. Lebih dalam
lagi Griffiths dan O’Callaghan menyebutkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa merupakan
jenis proyek politik yang mengusahakan terbentuknya kosmopolitanisme.5
Hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Griffiths dan O’Callaghan, Toni Erskine
juga menjelaskan perbedaan di antara komunitarian dan kosmopolitan. Erskine mengatakan bahwa
komunitarianisme mengkritik kosmopolitanisme karena kaum komunitarian lebih percaya dengan
sistem yang state-centric dan bahwa identitas sangat menentukan pembentukan diri seseorang.6 Namun
demikian, Erskine lebih jauh membedakan kosmopolitanisme menjadi dua jenis, yaitu
kosmopolitanisme politik dan kosmopolitanisme etik. Dua jenis kosmopolitanisme ini memiliki
pandangan yang berbeda tentang bagaimana istilah ‘citizen of the world’ diartikan dan terbentuk.
Kosmopolitan politis mendorong adanya transformasi atau eliminasi batas-batas negara demi 3 Ibid., hlm. 55.4 Ibid.5 Ibid.6 Toni Erskine, “Normative IR Theory” dalam Dunne, Kurki, dan Smith, International Relations Theories: Discipline and Diversity, Second Edition (New York: Oxford University Press, 2010), hlm. 42-44.
3
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
terciptanya pemerintahan dunia yang melampaui pembagian wilayah politik. Berbeda dengan itu,
kosmopolitan etis lebih menekankan pada cakupan global atas pendirian moral. Bagi kosmopolitan
etis, hal tersebutlah yang akhirnya melahirkan adanya ‘citizen of the world’. Bagi kosmopolitan etis,
saat ini manusia telah menjadi ‘citizen of the world’ karena manusia memiliki kewajiban bagi semua
manusia lainnya secara global. Sedangkan bagi kosmopolitan politis manusia di dunia akan menjadi
‘citizen of the world’ ketika dunia telah menjadi negara dunia (world state).7 Pada dasarnya apa yang
dikemukakan oleh Erskine ini menjelaskan bagaimana kosmopolitanisme dari dua penekanan yang
berbeda. Kosmopolitan politis lebih menekankan penghapusan batas-batas negara untuk menciptakan
masyarakat yang ‘transnasional’. Sedangkan kosmopolitan etis lebih menekankan pada nilai-nilai
moral yang dianut, dan bagaimana nilai-nilai tersebut dapat mendorong seseorang untuk berinteraksi
dan berhubungan dengan masyarakat lainnya secara transnasional.
Lebih jauh lagi, dalam artikelnya Raffaele Marchetti menyebut kosmopolitanisme sebagai salah
satu model alternatif dalam politik global. Dalam artikel tersebut Marchetti lebih menekankan bentuk
kosmopolitan yang mengacu pada konteks politik. Kosmopolitanisme menyadari adanya pengaruh
yang besar dari aspek politik dan kewarganegaraan dari kehidupan manusia.8 Dalam artikel ini pula
Marchetti menjelaskan adanya tiga fase pengidentifikasian kosmopolitanisme, yaitu fase asli etika pada
tahun 1970-an, fase institusional yang terkonsolidasi pada tahun 1990-an, dan fase segmen sosial yang
dimulai sejak tahun 2000.9 Bahkan dalam artikel tersebut, Marchetti juga mengemukakan pendapatnya
bahwa kosmopolitanisme merupakan model ideal dalam politik global berdasarkan beberapa nilai dan
prinsip seperti globalisme, universalisme, partisipasi, dan keadilan prosedural.10
Dalam kajian mengenai kosmopolitanisme, David Held dikenal sebagai ‘Bapak’ masyarakat
kosmopolitan. Maka akan sangat menarik untuk mengetahui pandangannya mengenai konsep
kosmopolitanisme ini. Held dalam bukunya yang berjudul Global Transformations: Politics,
Economics, and Cultures, mengatakan bahwa kosmopolitanisme kultural tidak setuju dengan gagasan
bangsa (nation) sebagai komunitas politik dan budaya primer dan menuntut relokasi atas power dalam
institusi dibanding dalam penggunaan negara.11 Dalam hal ini, Held menekankan perlunya ada relokasi
dan pembentukan institusi sebagai bentuk perwujudan kosmopolitanisme. Apa yang dikemukakan oleh
Held ini jelas menjadi ancaman bagi proyek-proyek kaum nasionalis yang menjunjung tinggi adanya
7 Ibid.8 Raffaele Marchetti, “Mapping Alternative Models of Global Politics” dalam International Studies Review, Vol. 11, 1999, hlm. 142.9 Ibid.10 Ibid.11 David Held, et.al., Global Transformations: Politics, Economics, and Cultures (Oxford: Polity Press, 1999) hlm. 374.
4
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
bentuk negara dan batas-batasnya. Namun demikian, walaupun Held mengusung bentuk institusi
daripada bentuk negara, Held mengakui bahwa perwujudan kosmopolitanisme melalui bentuk rezim
seperti Uni Eropa sangat sulit direalisasikan.12 Hal ini sebenarnya cukup berkontradiksi, karena di satu
sisi dapat dipahami bahwa Held mengusung bentuk institusi sebagai perwujudan kosmopolitanisme,
namun di sisi yang lain Held merasa bahwa hal tersebut sulit untuk dapat benar-benar tercipta.
Dari pembahasan yang telah dilakukan, dapat dipahami lebih dalam mengenai konsep
kosmopolitanisme dalam kajian hubungan internasional. Bahan utama yang ditulis oleh Hannerz secara
umum menjelaskan kosmopolitanisme yang sangat kental dengan unsur budayanya. Kosmopolitanisme
ini pada dasarnya sangat penting untuk dapat mempelajari kajian masyarakat transnasional secara lebih
dalam. Artikel yang ditulis oleh Hannerz ini merupakan artikel yang sangat menarik untuk dibaca
karena di dalamnya Hannerz menjelaskan definisi kosmopolitan yang lebih mudah dipahami. Menurut
saya, penggunaan metode komparatif merupakan kunci dari artikel ini hingga menjadi mudah
dipahami. Dengan membandingkan antara kosmopolitanisme dengan konsep-konsep lainnya yang
agak serupa, pembaca menjadi lebih mengerti akan konsep kosmopolitanisme secara lebih tepat.
Melalui artikel tersebut, pembaca juga menjadi lebih memahami bahwa kosmopolitanisme tidak hanya
sekedar pemahaman tentang sesuatu yang melintasi batas-batas negara. Artikel ini mampu dengan jelas
menjelaskan penekanan kosmopolitanisme sebagai sebuah konsep yang berbeda dengan konsep-
konsep lainnya, serta bagaimana hubungan konsep kosmopolitanisme diperlukan dalam menjelaskan
fenomena-fenomena masyarakat transnasional yang terjadi.
Jika mengacu pada pembahasan yang disertai dengan bahan-bahan pembanding dan
komplementer yang telah diuraikan sebelumnya, maka terlihat jelas bahwa kosmopolitanisme
merupakan sebuah paham konsep yang masyarakatnya merangkul segala jenis perbedaan yang ada dan
menerimanya sebagai satu bentuk budaya bersama. Kosmopolitanisme merupakan suatu paham yang
kaumnya tidak bernegosiasi dengan budaya-budaya baru yang mereka temukan. Mereka akan langsung
menerima dan bahkan menjunjung tinggi setiap budaya yang mereka temukan tersebut. Budaya dunia
yang transnasional merupakan suatu hal yang diusahakan dan diinginkan oleh para kosmopolitan.
Lebih jauh lagi, kosmopolitanisme menganggap semua tempat sebagai ‘rumah’ mereka. Keterbukaan
merupakan kunci dan karakteristik utama bagi paham ini. Keterbukaan akan hal baru dan
penerimaannya akan hal tersebut membuat kosmopolitanisme menjadi paham yang sangat menghargai
prinsip nilai globalisme dan universalisme.
12 Ibid.
5
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Para tokoh dan ahli menekankan kosmopolitan pada aspek yang berbeda-beda. Namun
demikian, dalam setiap aspek yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh tersebut pada dasarnya memiliki
benang merah yang sama. Pendekatan-pendekatan terhadap kosmopolitanisme tersebut sama-sama
menjelaskan bagaimana kaum ini berusaha melihat dunia sebagai satu kesatuan tanpa mempedulikan
adanya pemisahan-pemisahan yang selama ini dilakukan dan dibentuk sendiri oleh manusia. Secara
pribadi, saya melihat bahwa pemisahan-pemisahan ini hanyalah konsep khayalan dan tidak nyata yang
akhirnya dipertebal dengan adanya regulasi-regulasi seperti batas-batas negara. Hal ini pulalah yang
sekiranya sejalan dengan apa yang dirasakan oleh kaum kosmopolitan dalam rangka membentuk dunia
transnasional yang satu dengan pengikatan budaya yang satu dan menghargai nilai-nilai universal yang
berlaku. Namun demikian, saya kurang setuju dengan pendapat kosmopolitan mengenai bagaimana
identitas dan keterlibatan seseorang pada afiliasi atau komunitas tertentu kurang begitu diperhitungkan.
Penghargaan nilai-nilai universal dan bagaimana setiap budaya dihargai dan dianggap sama adalah hal
yang saya lihat sebagai sesuatu yang cukup luar biasa. Namun demikian, kita tidak dapat begitu saja
menutup mata akan adanya pengaruh dari latar belakang seseorang yang membentuk identitas dan pada
akhirnya mengarahkan seseorang tentang apa yang harus dan pantas dilakukan. Identitas tetap
merupakan suatu hal yang penting dan tidak dapat disingkirkan dengan begitu saja.
Kosmopolitanisme juga mendorong munculnya istilah ‘citizen of the world’ yang melihat
bagaimana manusia merupakan warga dari dunia yang satu dan tidak terpisah-pisah oleh konsep negara
ataupun teritori budaya. Kaum kosmopolitan yang merangkul segala jenis perbedaan dan terutama
segala jenis budaya mendorong munculnya istilah tersebut. Namun demikian, lebih jauh lagi, saya
melihat bahwa istilah ini tidak hanya didasari oleh adanya perangkulan dan penghargaan atas nilai-nilai
yang dilakukan oleh kaum kosmopolitan. Perkembangan teknologi yang menyebakan menguatnya
konektivitas atau saling keterhubungan antara manusia menjadi sebuah hal yang penting. Menurut saya
dengan kemajuan teknologi yang pesat, manusia tidak harus secara nyata bepergian melintasi batas
negara. Melalui teknologi, manusia dapat melakukan hubungan dengan masyarakat lainnya secara
transnasional tanpa harus berpindah atau bergerak sedikitpun. Perkembangan teknologi yang sangat
canggih dan luar biasa ini nyatanya mampu mendorong terciptanya toleransi dan rasa menghargai antar
satu sama lain. Saling keterhubungan manusia dapat menyebabkan manusia lebih memahami bahwa
pada dasarnya jarak dan perbedaan yang dihasilkan dari pemisahan atas jarak-jarak tersebut tidaklah
lagi penting. Manusia dapat pula lebih memahami nilai-nilai universal yang sama-sama mereka anut
sebagai manusia. Melalui teknologi pun manusia dapat menyadari adanya nilai-nilai yang pada
6
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
dasarnya sama-sama dianut oleh setiap manusia di dunia, serta bahwa manusia memiliki kewajiban
terhadap alam dan manusia lainnya di dunia.
Sebagai kesimpulan, kosmopolitan merupakan sebuah paham yang cukup penting dalam kajian
masyarakat transnasional mengingat bahwa paham ini sangat menjunjung tinggi arti globalisme dan
hubungan yang terjalin antar manusia secara transnasional. Paham ini melahirkan istilah ‘citizen of the
world’ yang merupakan sebuah penjelasan mengenai bagaimana kosmopolitanisme melihat manusia
dalam kehidupan di budaya dunia global. Kepesatan perkembangan teknologi pun mendukung
terealisasikannya istilah tersebut, karena pada dasarnya teknologi mampu meningkatkan tingkat
konektivitas manusia sehingga manusia dapat saling terhubung, berinteraksi, atau bahkan melakukan
aktivitas yang bersifat transnasional tanpa harus benar-benar berpindah dari tempatnya. Teknologi
menjadi sebuah faktor yang secara besar mendorong hal tersebut untuk terwujud secara nyata.
Teknologi pun menjadi wadah tempat masyarakat saling berbagi nilai dan norma bersama sehingga
budaya bersama dapat tercipta. Pemahaman kosmopolitanisme dapat digunakan sebagai tool of
analysis yang cukup baik dalam mengkaji ilmu hubungan internasional serta untuk melihat kaitan dan
hubungan antara sumber-sumber nilai dengan praktik serta pengaruhnya dalam dunia yang nyata.
Namun demikian, secara keseluruhan, jika kembali merujuk pada bahan utama yaitu artikel
yang ditulis oleh Hannerz, saya kurang setuju dengan pernyataan Hannerz yang mengatakan bahwa
saat ini memang telah terbentuk satu budaya dunia. Menurut saya, proses pembentukan satu budaya
dunia tersebut tidak akan dapat dengan cepat terjadi. Walaupun adanya perkembangan teknologi dapat
mendorong pembentukan tersebut untuk berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan, namun secara
pribadi saya merasa hal ini belum sepenuhnya terwujud saat ini. Hal ini dikarenakan proses
pembentukan dan penerimaan nilai yang sama bagi seluruh manusia pada dasarnya akan sulit karena
adanya perbedaan identitas dan latar belakang yang dimiliki oleh semua orang. Namun demikian, apa
yang dikemukakan oleh Hannerz ini sangat mungkin dapat terjadi, terutama ketika setiap manusia
mampu menyingkirkan perbedaan dan proses ini didukung serta dibantu oleh media atau teknologi
yang semakin canggih.
7