Review Film Inside Job (Politik Bisnis Internasional)
-
Upload
isnaini-khoirunisa -
Category
Documents
-
view
100 -
download
0
description
Transcript of Review Film Inside Job (Politik Bisnis Internasional)
Review Film Inside Job (2010)
(Politik Bisnis Internasional: Analisa Skema Teknis Krisis Sub-prime Mortgages)
Krisis Subprime Mortgage tahun 2008 di Amerika Serikat telah memberikan dampak
yang serius bagi perekonomian internasional. Film ini secara mendetail berusaha memberikan
penjelasan mengenai bagaimana krisis ini dapat terjadi dan kemudian apa yang dapat kita
lakukan setelah memahami alur krisis yang berdampak menakutkan itu. Beberapa praktisi
dan penteori ekonomi politik diminta menjawab beberapa pertanyaan terkait peristiwa
penting sebelum dan sesudah gelembung krisis akhirnya pecah pada tahun 2008. Alur yang
digunakan dimulai dari garis waktu awal abad 19 hingga masa pemerintahan Presiden AS
Ke-44, Barrack Obama. Beberapa fakta dan data disajikan tidak hanya melalui video
dokumenter tetapi juga dengan grafik dan tabel sehingga penjelasan mengenai permasalahan
yang berakar kompleks tersebut dapat dijelaskan secara sistematis dan komperehensif.
Film Inside Job terbagi kedalam lima bagian yang masing-masing memiliki sesi
pendeskripsian yang lebih khusus. Diawali oleh cuplikan keadaaan yang tengah terjadi di
Islandia yang mengalami dampak krisis perekonomian yang serius. Terjadinya krisis
ekonomi yang diawali dari liberalisasi ekonomi menghadirkan konsekuensi yang tidak
terduga sebelumnya. Ketika mayoritas bank-bank besar yang telah diprivatisasi oleh pihak
swasta terkena dampak dari krisis perekonomian global, negara menjadi pihak paling
bertanggung jawab dalam pemulihan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi dalam kasus
yang dialami Islandia, pemerintah terkesan melepaskan diri dari tanggung jawabnya.
Kemudian terakhir, masyarakat sipil harus menanggung kesulitan ekonomi dan pengangguran
tanpa adanya jaminan sosial yang memadai. Serangkaian gambaran tersebut adalah nyata
terjadi sebagai koreksi perekonomian yang terlalu optimis.
Krisis yang terjadi di Amerika Serikat bukanlah sesuatu yang dapat dijelaskan secara
teknis karena penyebabnya lebih bersifat sistemik. Sistem perekonomian Amerika Serikat
yang sejak abad 90an mengalami kejayaan diprediksi akan terus kokoh dengan cara
membebaskan pergerakan pasar. Akan tetapi lama kelamaan, jaringan sistem yang dibentuk
dari perancang kebijakan ekonomi di AS nyatanya tidak terlepas dari konsekuensi resiko
yang besar. Penyebabnya tidak hanya terbatas pada surat hutang berkualitas rendah dari
kredit perumahan (Subprime Mortgage), tetapi juga karena adanya inovasi penting pada
sektor finansial. Inovasi finansial ini dilakukan tidak lain adalah sebagai terobosan baru
1
selepas dari depresi besar tahun 1920an di AS. Hal ini terjadi pada keadaan dimana aliran
uang yang beredar di sektor riil tidak dapat menyeimbangkan pertumbuhan pesat yang terjadi
di sektor finansial (mismatch). Akan tetapi sangat disayangkan bahwa modifikasi sektor
keuangan ini justru membawa resiko baru yang lebih besar akibat saling terkaitnya satu
sektor dengan sektor lain sehingga semuanya harus bertanggung jawab akibat krisis yang
mungkin terjadi.
Poin penting yang ingin diulas dalam analisa film ini dititik beratkan pada kebijakan
pemerintah AS dalam mengubah sistem perekonomian tradisionalnya. Bagaimana kebijakan
yang dibuat dapat mempengaruhi secara mainstream sistem perekonomian di tingkat lokal,
regional dan internasional. Dibalik perumusan kebijakan tentunya terdapat konsekuensi yang
diperhitungkan secara matang oleh pembuat keputusan. Dalam hal ini, Alan Greenspan dapat
dikatakan sebagai salah satu aktor yang dipercaya dalam merumuskan kebijakan moneter
sebagai seorang Chairman (Ketua) of the Federal Reserve Board selama periode 1987 hingga
Januari 2006. Posisi yang strategis selama kurun waktu cukup lama tersebut membuatnya
menjadi salah satu pejabat keuangan yang paling kuat di dunia pada masanya. Alan
Greenspan menduduki posisi penting tersebut karena ia dianggap sebagai orang yang berhasil
membawa AS melewati dua peristiwa penting, yaitu stagnasi dan inflasi pada era tahun
1980an. Kedua, kebijakannya dianggap mampu membawa perekonomian AS menuju
kemakmuran pada era 1990an. Dan terakhir perannya dianggap berhasil mendinamisasi pasar
modal AS.
Karena perannya yang begitu berpengaruh tersebut, maka ia berwenang dalam
menetapkan kebijakan maupun menciptakan sistem baru. Salah satunya adalah kebijakan
moneter longgar (easy money) yang memompa kredit di sektor perumahan. Greenspan adalah
seorang yang percaya bahwa inovasi di sektor finansial dan peredaran uang dengan campur
tangan seminimal mungkin akan dapat menciptakan kemajuan ekonomi. Akibat dari pola
kebijakan ala Greenspan inilah pasar AS berkembang dengan supercepat. Proporsi hutang
sektor finansial domestik terhadap perndapatan nasional AS meroket dari hanya sekitar 5
persen pada tahun 1967 meroket menjadi hampir 140 persen pada tahun 2006. Hal ini
ditambah dengan kenyataan bahwa sebagian besar kenaikan hutang tersebut dimotori oleh
sektor rumah tangga (household) yang terbiasa menghutang demi membiayai segala bentuk
kebutuhan hidupnya dengan suku bunga yang rendah.
2
Selain kebijakan suku buka rendah, pada masa kepemimpinan Greenspan ada dua hal
krusial yang juga turut mendorong meroketnya pasar hutang dna sektor finansial di AS.
Pertama dibatalkannya undang-undang yang mengatur pemisahan bank komersial dengan
bank investasi dalam Glass-Steagall Act yang ditetapkan sejak 1933. UU tersebut dibatalkan
pada tahun 1999. Pembatalan UU ini dianggap sebagai salah satu momentum berkembangnya
apa yang dinamakan sebagai “sistem perbankan bayangan”. Penggabungan kedua sektor
tersebut pada akhirnya membuat pasar uang yang terhimpun di bank tidak selalu mengalir ke
sektor riil tetapi juga masuk pada investasi produk derivatif. Maka dari itu terdapat
diskoneksitas antara sektor riil dan sektor finansial, dimana perbankan bukan lagi
menggerakkan sektor riil tetapi menjadi peniup balon sektor finansial.
Kedua, adanya perkembangan pesat dari sistem perbankan bayangan itu sendiri,
ditandai dengan semakin banyaknya variasi produk-produk derivatif. Produk derivatif adalah
sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau
berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut "produk turunan"
(underlying product); daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu aset,
pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, aset atau suatu
nilai disuatu masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok.
Di sistem perbankan bayangan inilah sektor finansial berkembang pesat melebihi sektor riil.
Transaksi keuangan akhirnya tidak lagi membutuhkan jaminan aset.
Di atas kertas, instrumen keuangan ini diciptakan dalam rangka risk-sharing
management. Namun dalam praktik lebih terkesan “menyembunyikan resiko” dari transaksi
lama dan “menciptakan resiko” dengan transaksi baru. Dalam sebuah sistem yang kompleks
seperti itu, siapa yang harus bertanggung jawab? Masing-masing pihak merasa pihak lainlah
yang harus bertanggung jawab. Selain itu pemusatan perekonomian global di beberapa
insitusi keuangan besar seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley dan Merrill Lynch juga
menyebabkan kerawanan akan kerusakan perekonomian secara mematikan apabila
mengalami krisis/bangkrut. Sayangnya segala resiko besar tersebut seiring dengan besarnya
pertaruhan uang yang berputar dalam sistem perbankan bayangan tersebut. Sehingga
meskipun sudah banyak beredarnya tulisan dari akademisi yang meneliti mengenai gejala
pra-krisis, salah satunya dari Raghuram Rajan, tidak menjadi sebuah peringatan yang serius.
Pada akhirnya, Greenspan bubble tinggal menunggu waktu untuk meledak dan melesakkan
pergerakan pasar finansial ke titik terendah.
3
Untuk menjelaskan secara teknis bagaimana sistem perbankan bayangan dapat
menjadi pemicu cepat dari krisis perekonomian AS tahun 2008, dijelaskan mengenai skema
berikut ini:
Pada model transaksi perbankan yang tradisional, para pembeli rumah akan
meminjam uang kepada bank dan melakukan pembayaran secara mencicil. Sehingga dalam
sistem tersebut bank dapat memastikan pemasukan dan mengetahui aset/rumah secara
langsung. Sedangkan dalam sistem sub-prime yang lebih kompleks, bank menjual obligasi
hipotek (mortgage) perumahan kepada pasar obligasi. Kemudian hasil penjualan tersebut
digunakan untuk meminjamkan uang kepada pembeli rumah (berdasarkan keinginan juru
taksir/home appraiser). Setelah pembeli rumah mencicil uang pinjaman, mereka
membayarnya kepada makelar hipotek (mortgage) yang disalurkan ke bank. Kemudian bank
akan mengalirkan uangnya sesuai dengan rating aset yang ditentukan oleh lembaga-lembaga
rating seperti Standard and Poor.
Skema tersebut pada awalnya memang menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda
bagi para pemain bursa saham di pasar obligasi. Akan tetapi permasalahan dimulai ketika
transaksi di pasar sekunder berjalan tanpa bisa di prediksi secara pasti. Ketika aset yang
dijual di pasar obligasi di hargai dianggap sebagai Mortgage Backed Security (MBS), tidak
ada yang mengetahui secara teknis berapa nilai pasti yang menjadi patokan. Selain itu
4
seringkali sebagian dari MBS dibeli oleh hedge funds (transaksi yang dilakukan dengan
patokan harga hari ini untuk produksi di tahun depan). Ketidak pastian ini menciptakan
kemandekan pada suatu titik dimana pada akhirnya pasar obligasi berhenti dan pada akhirnya
produk-produk derivatif yang menjadi andalan bank dan hedge funds tidak lagi berharga.
Ketika tidak ada lagi aliran dana dari bank, maka terpaksa biaya dititikberatkan pada suku
bunga yang tinggi bagi pembeli rumah yang menyicil. Akibatnya tentu saja banyak warga
yang tidak mampu membayar dan kehilangan tempat tinggalnya. Kejadian ini pada saat yang
sama juga mengakibatkan kebangkrutan pada insitusi keuangan, asuransi yang kehabisan
dana talangan dan juga institusi pemberi rating.
Dalam kondisi kepanikan seperti itu, tidak ada yang dapat diandalkan lagi kecuali
campur tangan pemerintah dalam memberikan suntikan dana segar (bail out). Sekitar 700
milliar dollar AS telah dialirkan untuk menjalankan roda perekonomian yang sempat terhenti
akibat beberapa institusi penting yang bangkrut. Harapan baru dari dilantiknya Presiden
Barrack Obama pada tahun 2009 memberikan sentimen positif terhadap perekonomian AS.
Diharapkan dengan arah kebijakan ekonomi dan regulasi yang sesuai maka perlahan-lahan
AS dapat menarik diri dari kelesuan krisis ekonomi.
Kepustakaan
Prasetyantoko, A. 2010. Ponzi Ekonomi: Prospek Indonesia di Tengah Instabilitas
Global. Jakarta: Kompas Gramedia
http://www.infovesta.com/roller/vesta/entry/mengenal_derivatif
http://useconomy.about.com/b/2008/10/13/role-of-derivatives-in-creating-mortgage-
crisis.htm
NAMA: ISNAINI KHOIRUNISA
NIM : 1042500593
5