Retorika Imaji Roland Barthes

2
1. Retorika Imaji Imaji (image) atau citra dapat diartikan sebagai ‘kopian’ atau tiruan. Barthes mengartikannya sebagai re-presentasi (resurrection, dalam istilah mistis diartikan sebagai kebangkitan kembali ). Selanjutnya, citra dipahami sebagai batas dari makna. Pada bab ini, Barthes membatasi tulisannya dengan menelaah citra atau representasi dari iklan karena penyusupan pesan dari iklan dilakukan secara intensional sehingga dapat ditafsir secara optimal. Menurut Barthes, terdapat tiga jenis pesan dalam iklan, 1). Pesan linguistik (linguistic message) atau pesan literal, 2). pesan ikonik yang terkodekan (a coded iconic message) atau pesan konotatif, dan 3). pesan ikonik yang tak terkodekan ( a non-coded iconic message) atau pesan denotatif. Pesan kedua dan ketiga tidak mudah dibedakan dibandingkan dengan jenis pesan pertama karena kedua pesan tersebut tidak dapat ditangkap secara langsung. Oleh karena itu, citra atau imaji literer disebut juga imaji denotatif sedangkan imaji simbolik atau pesan ikonik disebut juga imaji konotatif. Selanjutnya akan diuraikan satu per satu tiga pesan tersebut. Pesan linguistik (judul, penjelasan singkat, berita tentang foto /caption, naskah dalam dialog) hampir selalu ada dalam setiap iklan atau imaji (citra) entah panjang atau pendek. Pesan linguistic berfungsi sebagai penambat/jangkar (anchorage) dan penghubung (relay) saat berelasi dengan dua pesan lainnya. Secara alamiah, tiga petanda-petanda tersebut bersifat multitafsir atau polisemi sehingga dapat disebut sebagai petanda-petanda yang bersifat ‘mengambang bebas’ (a floating chain of signifieds) dan siap diikat oleh ‘jejaring’ petanda-petanda lain. Posisi tersebut sering dianggap sebagai penyimpangan atau disfungsi makna sehingga kehadiran pesan linguistik membatu mengidentifikasi atau menamai objek dengan demikian dapat dibedakan dengan objek yang lain. Hal ini disebut dengan fungsi denominasi atau fungsi penambat (mengungkapkan semua makna denotatif atau makna harafiah suatu objek lewat aktivitas penamaan). Selain itu, fungsi penambat pada teks bersifat ideologis, menjelaskan, mengontrol, menggiring pembaca kepada sebuah makna tunggal sehingga merepresi makna (repressive value) yang lain. Misalnya, sebuah iklan gambar sabun dengan judul (pesan linguistik) Lux mengarahkan pembaca pada sebuah petanda ‘iklan sabun Lux’ bukan iklan sabun Dove, Giv atau sabun Citra meskipun sama-sama memperlihatkan gambar sabun. Fungsi penambat sering ditemukan pada citra atau gambar tak bergerak, sebaliknya pada gambar bergerak (cerita bergambar atau komik, dialog di dalam film, dsb) pesan linguistik berfungsi sebagai penghubung karena itu relasi antara gambar dan pesan linguistik sifatnya saling melengkapi (komplementer). Iklan atau foto iklan seperti halnya foto berita yang sudah disinggung pada bab pertama bersifat mutlak analogis, merupakan pesan tanpa kode tetapi secara

Transcript of Retorika Imaji Roland Barthes

Page 1: Retorika Imaji Roland Barthes

1. Retorika Imaji Imaji (image) atau citra dapat diartikan sebagai ‘kopian’ atau tiruan. Barthes mengartikannya sebagai re-presentasi (resurrection, dalam istilah mistis diartikan sebagai kebangkitan kembali ). Selanjutnya, citra dipahami sebagai batas dari makna. Pada bab ini, Barthes membatasi tulisannya dengan menelaah citra atau representasi dari iklan karena penyusupan pesan dari iklan dilakukan secara intensional sehingga dapat ditafsir secara optimal.

Menurut Barthes, terdapat tiga jenis pesan dalam iklan, 1). Pesan linguistik (linguistic message) atau pesan literal, 2). pesan ikonik yang terkodekan (a coded iconic message) atau pesan konotatif, dan 3). pesan ikonik yang tak terkodekan (a non-coded iconic message) atau pesan denotatif. Pesan kedua dan ketiga tidak mudah dibedakan dibandingkan dengan jenis pesan pertama karena kedua pesan tersebut tidak dapat ditangkap secara langsung. Oleh karena itu, citra atau imaji literer disebut juga imaji denotatif sedangkan imaji simbolik atau pesan ikonik disebut juga imaji konotatif. Selanjutnya akan diuraikan satu per satu tiga pesan tersebut.

Pesan linguistik (judul, penjelasan singkat, berita tentang foto /caption, naskah dalam dialog) hampir selalu ada dalam setiap iklan atau imaji (citra) entah panjang atau pendek. Pesan linguistic berfungsi sebagai penambat/jangkar (anchorage) dan penghubung (relay) saat berelasi dengan dua pesan lainnya. Secara alamiah, tiga petanda-petanda tersebut bersifat multitafsir atau polisemi sehingga dapat disebut sebagai petanda-petanda yang bersifat ‘mengambang bebas’ (a floating chain of signifieds) dan siap diikat oleh ‘jejaring’ petanda-petanda lain. Posisi tersebut sering dianggap sebagai penyimpangan atau disfungsi makna sehingga kehadiran pesan linguistik membatu mengidentifikasi atau menamai objek dengan demikian dapat dibedakan dengan objek yang lain. Hal ini disebut dengan fungsi denominasi atau fungsi penambat (mengungkapkan semua makna denotatif atau makna harafiah suatu objek lewat aktivitas penamaan).

Selain itu, fungsi penambat pada teks bersifat ideologis, menjelaskan, mengontrol, menggiring pembaca kepada sebuah makna tunggal sehingga merepresi makna (repressive value) yang lain. Misalnya, sebuah iklan gambar sabun dengan judul (pesan linguistik) Lux mengarahkan pembaca pada sebuah petanda ‘iklan sabun Lux’ bukan iklan sabun Dove, Giv atau sabun Citra meskipun sama-sama memperlihatkan gambar sabun. Fungsi penambat sering ditemukan pada citra atau gambar tak bergerak, sebaliknya pada gambar bergerak (cerita bergambar atau komik, dialog di dalam film, dsb) pesan linguistik berfungsi sebagai penghubung karena itu relasi antara gambar dan pesan linguistik sifatnya saling melengkapi (komplementer).

Iklan atau foto iklan seperti halnya foto berita yang sudah disinggung pada bab pertama bersifat mutlak analogis, merupakan pesan tanpa kode tetapi secara bersamaaan ia juga pesan yang dikodekan. Relasi antara penanda dan petandanya tidak berupa transformasi tetapi ‘perekaman’ dan ketakhadiran kode (the absence of code. Hubungan tersebut memperkuat mitos tentang ‘kenaturalan’ fotografis; scene atau realitas yang ada di sana (realitas sebenarnya) sama persis dengan yang ada di sini (yang ada di dalam foto), sehingga realitas dicabut secara mekanis (langsung) bukan secara manusiawi sehingga proses mekanis tersebut merupakan jaminan atas objektivitas foto. Oleh karena itu, kesadaran yang dituntut dalam foto yaitu kesadaran yang sudah ada di sini di dalam foto, sebuah kategori tentang ruang-waktu yang baru, sebuah percepatan spasial dan kesegeraan temporal. Apa yang disebut sebagai penghadiran sesuatu yang tak nyata dapat dipahami pada level denotative (level pesan tanpa kode). Foto bukan ilusi tetapi sungguh-sungguh merupakan kehadiran, foto menghadirkan bagaimana sesungguhnya realitas yang ada di sana menjadi realitas yang ada sekarang dan ada di sini. Ia berkaitan dengan kesadaran yang murni (spektatorial, sebuah kesadaran penonton, bukan kesadaran fiktif seperti yang ada di dalam film. Citra denotative ketika tidak mengimplikasikan kode apa pun membuka ruang bagi tanda-tanda kultural atau tanda-tanda konotatif. Hal ini merupakan paradoks historis yang penting, karena semakin teknologi gencar menyebarkan informasi lewat duplikasi gambar, justru semakin memperbanyak sarana-sarana yang menyembunyikan makna penting di balik makna yang sudah lumrah. Di saat itulah retorika terbentuk yaitu saat proses pertandaan berelasi dengan penciptaan ideology (the signifying aspect of ideology), sebuah proses kultural menjadi natural.