Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan...

21
Representasi Transgender dalam Media Film (Analisis Semiotika Roland Barthes dan Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud terhadap Tokoh Saiful Film Lovely Man) Oleh Sri Wahyuningsih Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura [email protected]/081553088855 Abstrak: Film Lovely Man merupakan film yang menggambarkan tentang kehidupan transgender yang kompleks dengan tokoh utama Syaiful dan anaknya Cahaya. Ditayangkan dengan isu yang diangkat dari permasalahan perceraian dengan istri, pertemuan dengan anaknya, menjajakan diri, konflik dengan pelanggannya (merampok uang, pelanggan yang posesif), kekerasan, cemoohan, hingga menyadari bahwa dirinya lelaki yang seutuhnya mempunyai anak dan istri walupun sudah cerai. Cerita dalam film yang sangat menarik untuk diteliti, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi transgender dalam media film Indonesia. Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi, konotasi, dan mitos) karena analisis tersebut merupakan analisis film yang sangat relevan diantara analisis semiotika yang lainnya (Wawancara Sobur,2014). Pendekatan psikoanalisis dalam psikologi komunikasi turut dalam analisisnya. Objek penelitian ini adalah film Indonesia dengan cerita Lovely Man yang diambil beberapa scene yang merepresentasikan seorang transgender beserta konfliknya. Metode pengumpulan datanya dengan observasi yaitu dengan cara pengamatan tayangan film tersebut, dan dokumentasi. Teknik analisa datanya dengan cara reduksi data, display data, dan menyimpulkan data. Triangulasi datanya adalah dengan cara triangulasi sumber data, triangulasi metode. Hasil penelitian ini adalah terdapat konstruk yang ditarik dari semiotika yaitu sosok feminim transgender, kekerasan verbal dan non verbal terhadap transgender, kehangatan sosok transgender sebagai ayah. Jika dianalisis secara Psikoanalisis segmund Freud, bahwa id dalam diri tokoh Syaiful ada hasrat dan keinginan untuk menjadi transgender karena dituntut sebuah kebutuhan akan hidup dia dan keluarganya. Ego dalam diri tokoh Syaiful adalah mediator dalam diri Syaiful untuk berubah menjadi Syaiful sosok laki-laki yang sempurna setelah mengalami beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan dalam

Transcript of Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan...

Page 1: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Representasi Transgender dalam Media Film

(Analisis Semiotika Roland Barthes dan Pendekatan Psikoanalisis

Sigmund Freud terhadap Tokoh Saiful Film “Lovely Man”)

Oleh Sri Wahyuningsih

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya

Universitas Trunojoyo Madura

[email protected]/081553088855

Abstrak:

Film Lovely Man merupakan film yang menggambarkan tentang

kehidupan transgender yang kompleks dengan tokoh utama Syaiful dan

anaknya Cahaya. Ditayangkan dengan isu yang diangkat dari permasalahan

perceraian dengan istri, pertemuan dengan anaknya, menjajakan diri, konflik

dengan pelanggannya (merampok uang, pelanggan yang posesif), kekerasan,

cemoohan, hingga menyadari bahwa dirinya lelaki yang seutuhnya mempunyai

anak dan istri walupun sudah cerai.

Cerita dalam film yang sangat menarik untuk diteliti, tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi transgender

dalam media film Indonesia. Metode penelitian ini adalah dengan jenis

kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

konotasi, dan mitos) karena analisis tersebut merupakan analisis film yang

sangat relevan diantara analisis semiotika yang lainnya (Wawancara

Sobur,2014). Pendekatan psikoanalisis dalam psikologi komunikasi turut dalam

analisisnya. Objek penelitian ini adalah film Indonesia dengan cerita Lovely

Man yang diambil beberapa scene yang merepresentasikan seorang transgender

beserta konfliknya. Metode pengumpulan datanya dengan observasi yaitu

dengan cara pengamatan tayangan film tersebut, dan dokumentasi. Teknik

analisa datanya dengan cara reduksi data, display data, dan menyimpulkan data.

Triangulasi datanya adalah dengan cara triangulasi sumber data, triangulasi

metode.

Hasil penelitian ini adalah terdapat konstruk yang ditarik dari semiotika

yaitu sosok feminim transgender, kekerasan verbal dan non verbal terhadap

transgender, kehangatan sosok transgender sebagai ayah. Jika dianalisis secara

Psikoanalisis segmund Freud, bahwa id dalam diri tokoh Syaiful ada hasrat dan

keinginan untuk menjadi transgender karena dituntut sebuah kebutuhan akan

hidup dia dan keluarganya. Ego dalam diri tokoh Syaiful adalah mediator dalam

diri Syaiful untuk berubah menjadi Syaiful sosok laki-laki yang sempurna

setelah mengalami beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan dalam

Page 2: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

kehidupannya. Superego-nya adalah transgender merupakan hal yang

menyalahi kodrat artinya dalam agama Islam bahwa kodrat laki-laki disini

sebagai pemimpin keluarga bukan sebagai transgender yang menjajakan diri.

Ada kesadaran dalam diri tokoh Syaiful bahwa keberadaanya sebagai seorang

ayah yang mempunyai anak.

Kata Kunci: Transgender, Media Film, semiotika Roland Barthes, Psikoanalisis

Sigmund Freud.

Abstract:

Lovely Man is a film depicting the life of transgender complex with

Saiful as the main character and his daughter Cahaya. Served with the issues

raised from the issue of divorce with his wife, meeting with his daughter,

prostituting themselves, conflicts with customers (rob money, customer

possessive), violence, ridicule, to realize that he is fully man and wife even

though the child has already divorced.

The story in the film is very interesting to study, the purpose of this

study was to determine how the transgender representation in the media of

Indonesian films. This research method is the type of descriptive qualitative

semiotic analysis of Roland Barthes (denotation, connotation, and myths)

because it serves as a very relevant film analysis among other semiotic analysis

(interviewd: Sobur,2014). Psychoanalytic approach in communication

psychology participated in the analysis. The object of this study is the

Indonesian film with a story Lovely Man captured some scenes that represent a

conflict and their transgender. Methods of data collection by observation of the

way the observations show the film, and documentation. Data analysis

techniques by means of data reduction, data display, and concluded the data.

Triangulation of data is by means of triangulation of data sources, triangulation

method.

The results of this study are contained constructs drawn from semiotics

that transgender feminine figure, verbal and non-verbal violence against

transgender, transgender warmth as a father figure. If analyzed Segmund Freud

Psychoanalysis, that id inside Saiful figure there is a desire and willingness to

be transgender because life demanded a need for him and his family. Ego inner

figure is a mediator in self Saiful to transform into a male figure, a perfect after

some unfortunate events in his life. Superego is transgender is the accusatory

nature of the Islamic religion means that the nature of men here as the leader of

Page 3: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

the family instead of selling themselves as transgender. There is a greater

awareness that the existence Saiful character as a father who has a child.

Keywords: Transgender, Media Film, Roland Barthes Semiotics,

Psychoanalysis Sigmund Freud.

A. PENDAHULUAN

Fenomena transgender sangat menarik untuk dikaji baik dari sisi sosial

maupun sisi psikologis. Allah SWT menciptakan manusia hanya ada dua jenis

kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Tetapi seiring dengan perkembangan

jaman dan perubahan system sosial yang ada saat ini, manusia banyak yang

menyalahi kodratnya dia sebagai perempuan dan dia sebagai laki-laki yang

semestinya. Penulis melihat fenomena yang ada saat ini mempunyai tubuh laki-

laki tetapi apa yang dikerjakan membuat mereka seperti layaknya perempuan,

yaitu membuka salon, desain busana, sebagai make up artis, menjajakan diri ke

lelaki hidung belang hanya untuk mencapai kepuasan dan mendapatkan

penghasilan untuk hidup dari perilakunya yang menyalahi kodrat dia sebagai

laki-laki sebut saja transgender.

Di Indonesia ada sekitar 7 juta transgender dan mereka mengalami

kekerasan atas adanya agama dalam Seminar ‘Kekerasan Atas Nama Agama

dan Masa Depan Toleransi Di Indonesia’ di Gedung Mahkamah Konstitusi di

Indonesia. Menurut Dodo (koordinator arus pelangi), transgender sudah

mengalami kekerasan saat memiliki tubuh. Karena agama apapun di sebuah

keluarga, ketika tahu anaknya melakukan transgender yang terjadi adalah

pengusiran. Di Jakarta saja ada 6200 transgender. 60 % dari mereka diusir oleh

keluarganya karena dianggap pendosa. (Islampos, 2013).

Page 4: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Di antaranya mempunyai berbagai latar belakang kisah kenapa mereka

memutuskan menjadi seorang transgender, yaitu karena adanya suatu

ketidakadilan dalam kehidupan rumah tangganya ketika mereka menjadi orang

yang normal. Solena Chaniago adalah seorang transgender asal Indonesia yang

sudah lama menetap di negeri Paman Sam.

Solena Chaniago saat ini sudah 100% berubah menjadi seorang wanita.

Ia melakukan operasi pergantian kelamin seutuhnya dan menjadi seorang

wanita transgender yang cantik dengan biaya yang sangat besar di Thailand.

Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Solena dahulunya merupakan

seorang pria. Fakta unik mengenai Solena Chaniago adalah Ia dahulu pernah

menikah dan memiliki anak pada tahun 2003. Setelah menikah dengan seorang

wanita dan memiliki seorang anak wanita, Ia merasakan ketidaknyamanan

dalam hidup, akhirnya Ia memutuskan untuk bercerai dan memutuskan untuk

merubah penampilannya menjadi seorang wanita. (Jalakata.com, 2014).

Cerita transgender di atas dalam jalakata.com sangat relevan dengan

kisah kehidupan film “lovely man” yang kisahnya diangkat seorang sutradara

yang bernama Teddy Soeriatmadja. Tetapi perbedaannya Selena dalam

kenyataannya beroperasi menjadi perempuan, tetapi dalam film ini tokoh

transgender Syaiful mengalami penyadaran setelah mengalami beberapa

peristiwa buruk terhadap dirinya.

Cerita dalam film “lovely man” adalah tokoh Saiful merupakan pelaku

transgender yang mempunyai anak satu perempuan Cahaya namanya. Jika pagi

sampai siang pekerjaanya adalah seorang kuli bangunan, tetapi jika malam ia

menjajakan diri kepada lelaki hidung belang sebagai seorang transgender. Ia

diceraikan istrinya setelah istrinya mengetahui kalau dia mempunyai pekerjaan

sebagai seorang transgender yang menjajakan diri. Hingga suatu saat anaknya

Page 5: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

namanya Cahaya sudah SMA pergi ke Jakarta ingin mengetahui keberadaan

bapaknya dan pekerjaan bapaknya. Setelah Cahaya mengetahui pekerjaan

bapaknya Cahaya kaget dan menangis secara perlahan cahaya menerima

keadaan bapaknya seperti itu. Hingga akhirnya bapaknya sadar ketika bapaknya

terkena permasalahan dengan pelanggannya yaitu merampok uang tiga puluh

juta rupiah untuk operasi menjadi perempuan, dia termotivasi untuk menjadi

perempuan karena salah satu pelanggannya menuntut dia untuk mengajak

menikah. Dalam perjalanan itu pada akhirnya pelanggannya yang dirampok

uangnya menemukannnya kemudian dipukul bersama-sama dengan anak

buahnya, dan di lecehkan dia sebagai transgender. Dari peristiwa itu dia sadar

bahwa kehidupan yang dia alami adalah kehidupan yang membuat dia tidak

tenang dan penuh dengan konflik. Titik klimaknya dia menyadari bahwa dia

masih bisa menjadi seorang laki-laki normal yang mempunyai anak Cahaya.

(Observasi penulis terhadap film “lovely man”).

“Lovely Man” adalah film drama yang dirilis pada 2011. Film ini

dibintangi Raihaanun sebagai Cahaya dan Donny Damara sebagai Saiful

bapaknya Cahaya. Film mengenai transgender ini diputar pertama kali di Q!

Film Festival 2011. Film ini juga pernah tampil di Festival Film Asia yang

mengantar Donny Damara menjadi Aktor Terbaik dan Teddy Soeriaatmadja

dinominasikan sebagai sutradara terbaik. Film ini juga diputar di Festival

Balinale 2012 di Bali. (Anonimous, 2012).

Film “lovely man” merupakan gambaran realitas sosial yang diusung

oleh sutradara Teddy Soeriatmadja, yang di dalamnya mempunyai pesan bahwa

seorang transgender juga seorang manusia makhluk Allah SWT yang salah

jalan sehingga pada suatu ketika ada penyadaran diri bahwa keberadaannya

secara normal ada yang membutuhkannya yaitu keluarga dan orang lain.

Page 6: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Berkaitan dengan film yang sarat akan simbol dan tanda, maka yang

akan menjadi perhatian penulis di sini adalah segi semiotikanya, dimana dengan

semiotika ini akan sangat membantu kita untuk menelaah arti kedalaman suatu

bentuk komunikasi dan mengungkap makna yang ada di dalamnya.

Sederhananya semiotika itu adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda.

Tanda-tanda yang terdapat dalam film tentu saja berbeda dengan format tanda

yang lain yang hanya bersifat tekstual atau visual saja. Jalinan tanda dalam film

terasa lebih kompleks karena pada waktu yang hampir bersamaan sangat

mungkin berbagai tanda muncul sekaligus, seperti visual, audio, dan teks.

Begitu pun dengan tanda-tanda yang terdapat dalam film ”lovely man”.

Dalam mencari arti sebuah tanda di dalam film diperlukan juga

penilaian dari Roland Barthes. Menurutnya, peran pembaca (the reader)

sangatlah penting dalam memaknai suatu tanda. Barthes memberikan konsep

mengenai tanda dengan sistem pemaknaan tataran pertama yang disebut makna

denotasi dan pemaknaan tataran kedua atau yang disebut konotasi. Pada tataran

kedua tersebut, konotasi identik dengan apa yang disebut Barthes sebagai

mitos. Sehingga film ”lovely man” menjadi wilayah yang sangat menarik untuk

diteliti melalui pendekatan semiotika karena di dalamnya kaya akan tanda, dan

tentu saja membahas kisah transgender berarti kita membahas mitos, karena

pesan-pesan transgender dipenuhi dengan mitos.

Penulis akan mengkaji film ini dengan pisau analisis semiotika Roland

Barthes untuk melihat sisi sosialnya dan melihat pesan-pesan yang disampaikan

oleh seorang sutradara film ini. Penulis juga akan menganalisis dari sisi

psikologisnya yaitu dengan teori psikoanalisis Segmund Freud. Pada akhirnya

akan diketahui bagaimana representasi transgender dalam film “lovely man”.

B. METODE PENELITIAN

Page 7: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif.

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008:53) laporan hasil penelitian kualitatif

deskriptif berisi kutipan-kutipan dan data sebagai ilustrasi dan untuk

memberikan dukungan atas apa yang disajikan. Data meliputi transkrip

wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman, dokumen pribadi, memo, dan

catatan resmi lainnya. Data analisis dengan segala kekayaan maknanya sedekat

mungkin dengan wujud rekaman atau transkripnya, maksudnya adalah hanya

memaparkan situasi atau peristiwa.

Menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moeleong, 2002:3) yang dimaksud

penelitian kualitataif adalah prosedur penelitian yang menggunakan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau jawaban dari orang-orang dan perilaku

yang diamati.

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman

yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial

dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran

kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan

melakukan studi pada situasi alami (Creswell, 2002: 136). Teknik Analisa

datanya adalah reduksi data, display data, dan kesimpulan data.

Objek penelitian ini adalah film “lovely man” yang akan diambil

beberapa scene kemudian akan dianalisis sesuai kebutuhan penulis dalam tema

yang diangkat di atas, dan kurang lebih untuk menyampaikan keterwakilan

pesan sutradara pada masyarakat dan penonton film ini. Metode yang dipakai

dalam pengumpulan data adalah dengan cara observasi, dan dokumentasi.

Keabsahan datanya dengan triangulasi sumber data dan triangulasi metode.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Semiotika Roland Barthes

Page 8: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga

intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan

strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bertens (2001:208 dalam Sobur,

2003:63) mrnyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam

strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an.

Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan

asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia

mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj.Inggris

1977) dan Critical Essays (1964; terj.Inggris 1972) (Sobur, 2003:63).

Roland Barthes, sebagai salah satu tokoh semiotika, melihat signifikasi

(tanda) sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah

terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula hal-

hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap pada kehidupan

sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula

(Kurniawan, 2001:53).

Semiotika (atau semiologi) Roland Barthes mengacu kepada Saussure

dengan menyelidiki hubungan antara penanda dan petanda pada sebuah tanda.

Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi

ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi

korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes dalam Kurniawan,2001:22).

Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem

tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam

waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Barthes sendiri dalam setiap essainya (Cobley

& Jansz, dalam Sobur, 2004:68) kerap membahas fenomena keseharian yang

kadang luput dari perhatian. Barthes juga mengungkapkan adanya peran

pembaca (the reader) dengan tanda yang dimaknainya. Dia berpendapat bahwa

“konotasi”, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan

pembaca agar dapat berfungsi.

Page 9: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Bagi Barthes, seperti yang ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul

The Pleasure of The Text (1975), apabila sebuah teks tidak mampu

menggetarkan buhul-buhul darah para pembaca, maka teks tersebut tidak akan

memiliki arti (meaning) apapun. Suatu teks harus dapat menggelinjang keluar

dari bahasa yang dipergunakannya. Barthes mengatakan bahwa, “The world is

full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity of the letters of

the alphabet, of highway signs, or of military uniforms: they are infinitely more

complex. (Dunia ini penuh dengan tanda-tanda ini tidak semuanya punya

kesederhanaan murni dari huruf-huruf, alfabet, tanda lalu lintas, atau seragam

militer: mereka secara tak terbatas lebih kompleks)” (Sobur, 2006:16). Sejak

Barthes, tidak hanya karya sastra yang dikaji lewat semiotika jenis ini, namun

juga merambah ke pelbagai gejala sosial lainnya seperti mode, foto dan film

(Sobur, 2006:11). Berikut adalah peta tanda dari Roland Barthes:

1. Signifer (Penanda)

2. Signified (petanda)

3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF)

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hal.51

dalam (Sobur, 2003:69).

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan

unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi

seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan

Jansz, 1999:51 dalam Sobur, 2003:69). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda

konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung

kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya,

Page 10: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi

Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur,

2003:69).

Barthes tidak sebatas itu memahami proses penandaan, tetapi dia juga

melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos (myth) yang menandai suatu

masyarakat. Mitos (atau mitologi) sebenarnya merupakan istilah lain yang

dipergunakan oleh Barthes untuk ideologi. Mitologi ini merupakan level

tertinggi dalam penelitian sebuah teks, dan merupakan rangkaian mitos yang

hidup dalam sebuah kebudayaan. Mitos merupakan hal yang penting karena

tidak hanya berfungsi sebagai pernyataan (charter) bagi kelompok yang

menyatakan, tetapi merupakan kunci pembuka bagaimana pikiran manusia

dalam sebuah kebudayaan bekerja (Berger, 1982:32 dalam Basarah, 2006: 36).

Mitos ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih

diletakkan pada proses penandaan ini sendiri, artinya, mitos berada dalam

diskursus semiologinya tersebut. Menurut Barthes mitos berada pada tingkat

kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda, maka

tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda

kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah

bahasa, sedang konstruksi penandaan kedua merupakan mitos, dan konstruksi

penandaan tingkat kedua ini dipahami oleh Barthes sebagai metabahasa

(metalanguage). Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri

khas semiologinya yang membuka ranah baru semiologi, yakni penggalian

lebih jauh penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas

keseharian masyarakat (Kurniawan, 2001:22-23).

Page 11: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Adapun 2 (dua) tahap penandaan signifikasi (two order of signification)

Barthes dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.4. Signifikasi Dua Tahap Barthes

Gambar 1. Dua Tahap Penandaan Signifikasi

Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.88.

dalam (Sobur, 2001:12).

Melalui gambar di atas, ini Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan:

signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di

dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai

denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang

digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini

menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan

atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi

mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan kata-

kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan”

dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang

First order Second order

reality Signs culture

Denotation

Connotation

Myth

signifie

eer

signified

form

content

Page 12: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah

bagaimana menggambarkannya (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda

bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan

atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos

merupakan produk kelas sosial mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa,

dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas,

maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur,

2001:128).

Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi

tahap pertama, sementara konotasi merupakan sistem signifikasi tahap kedua.

Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, dan

dengan demikian, merupakan sensor atau represi politis. Sedangkan konotasi

identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitologi (mitos),

seperti yang telah diuraikan di atas, yang berfungsi untuk memgungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu

periode tertentu. Barthes juga mengungkapkan bahwa baik di dalam mitos

maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif

terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2004:70-71).

Dalam pengamatan Barthes, hubungan mitos dengan bahasa terdapat

pula dalam hubungan antara penggunaan bahasa literer dan estetis dengan

bahasa biasa. Dalam fungsi ini yang diutamakan adalah konotasi, yakni

penggunaan bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang lain daripada apa yang

diucapkan. Baginya, lapisan pertama itu taraf denotasi, dan lapisan kedua

adalah taraf konotasi: penanda-penanda konotasi terjadi dari tanda-tanda sistem

denotasi. Dengan demikian, konotasi dan kesusastraan pada umumnya,

merupakan salah satu sistem penandaan lapisan kedua yang ditempatkan di atas

sistem lapisan pertama dari bahasa (Sobur, 2006:19-20).

Page 13: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Tanda-tanda denotatif dan konotatif yang akan dianalisis dalam

penelitian ini adalah adegan-adegan yang membawakan pesan-pesan

transgender yang terpilih melalui karakter, sikap dan perilaku, bahasa tubuh,

gaya berbicara, kata-kata yang dipergunakan dalam berdialog, dan juga gaya

berbusana yang dipergunakan oleh tokoh dalam film “lovely man”. Dari hasil

analisis inilah diharapkan dapat ditemukan makna pesan yang hendak

disampaikan oleh Teddy Soeratmadja, sang sutradara film.

Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut:

3.1. Transgender sebagai Sosok feminim

Scene 28. Adegan sosok Saiful terlihat feminim sebagai transgender sedang

mangkal di jembatan pada waktu malam hari bersama teman-temannya diambil

secara long shot. Artinya mereka dengan sosok feminimnya sedang beraksi

bersama-teman-temannya untuk mencari pelanggan yang berlalu lalang

dijembatan. Sosok feminim terlihat menonjol dalam gambar karena tokoh

Saiful diperlihatkan sebagai sosok transgender yang terlihat feminim. Sosok

Saiful terlihat cantik dengan make up tebal memakai bedak, lipstick merah,

memakai rambut palsu berwarna hitam panjang, memakai sepatu berhak tinggi,

membawa tas tangan hitam, dan memakai busana ketat you can see warna

merah sampai di atas lulut dibarengi dengan gerakan gemulai dan sapaan-

sapaan mesra layaknya seperti suara perempuan yang halus dan merdu serta

menggoda hidung belang.

Transgender sendiri adalah seseorang yang memainkan peran gender

tidak mengikuti peran gender umumnya masyarakat setempat. Misalnya,

seorang laki-laki yang berperan gender macho, kuat, menggunakan pakaian

jeans, rambut pendek, berkemeja tetapi kemudian menggunakan pakaian rok,

blus, berlipstik, rambut panjang, menggunakan make up dan lemah lembut.

Maka biasanya akan disebut dengan Waria (Wanita-Pria). (Imam, 2011).

3.2. Kekerasan Verbal sekaligus Psikologis dan Kekerasan Non Verbal

sekaligus Kekerasan Seksual

Page 14: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

3.2.1. Kekerasan Verbal sekaligus Psikologis terhadap Transgender

Scene 36: adegan Syaiful bersama Cahaya sedang berjalan-jalan di pasar malam

tiba-tiba ketemu salah satu pelanggan transeksualnya. Syaiful menemui

pelanggannya hanya berduaan saja tanpa Cahaya karena menyangkut urusan

pribadi mereka yaitu urusan Syaiful disuruh operasi plastik oleh pacarnya.

Saiful menegaskan janji ke pacarnya untuk melaksanakan operasi plastik.

Pacarnya kurang yakin terhadap janji Syaiful keluarlah kata-kata ancaman

terhadap Syaiful “lo jangan coba-coba mainin gue yah” dengan nada

mengancam agar Saiful menepati janjinya. Gambar diambil secara two shot

sekaligus medium shot artinya sutradara menghadirkan pesan bahwa seorang

transgender merupakan tempat ancaman para hidung belang yang menuntut

agar merubah dirinya sesuai dengan keinginan pelanggan.

Scene 44: adegan Syaiful menyuruh Cahaya untuk membeli rokok dan kue ke

dalam mini market. Ketika Cahaya mau masuk ke mini market ada cemoohan

dari orang-orang “eh, kok kamu mau sih jalan ma banci” dengan nada tidak

suka dan muka yang sinis terhadap Cahaya. Gambar di ambil secara medium

shot artinya sutradara menghadirkan pesan bahwa pertanyaan yang dilontarkan

orang-orang itu ke Cahaya mempunyai arti bahwa banci/transgender itu

mempunyai perilaku yang menyimpang dan sebagai sampah masyarakat. Kata

“banci” merupakan kekerasan verbal yang dilontarkan secara sengaja kepada

transgender. Karena mereka lihat dan tahu kalau Syaiful terlihat sosok banci

masih saja mengatakan dengan paralinguistik yang sinis.

Scene 53: Adegan Syaiful dengan bos preman diambil secara medium shot, bos

preman dengan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengancam “kalo gak

gue matiin lu….satu banci mati di Jakarta gak akan yang peduli”….sutradara

menghadirkan adegan ini yaitu preman itu menegaskan bahwa ancaman preman

terhadap Saiful itu akan benar-benar terjadi. Preman tersebut menganggap

bahwa mereka orang yang tidak berguna, sampah masyarakat.

3.2.2. Kekerasan Nonverbal sekaligus Kekerasan Seksual

Page 15: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Scene 53: Adegan di sebuah gang kecil waktu dini hari Syaiful masih

berpakaian feminim terlihat ketakutan dan cemas sedang dipukuli oleh tiga

preman sambil menanyakan keberadaan uangnya yang diambil Syaiful itu.

Gambar diambil secara long shot yang berarti sutradara menghadirkan cerita

pengroyokan oleh preman terhadap seorang transgender dan sutradara

menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi pada waktu pengroyokan oleh

preman-preman dan pelecehan seksual diambil secara medium shot itu terjadi

Syaiful dengan satu preman. Mereka menganggap bahwa seorang banci adalah

orang yang perlu dihina, dipukuli, tidak berguna dan perlu dilecehkan secara

seksual.

Di dalam film “lovely man”, bentuk-bentuk kekerasan yang ada terbagi

menjadi dua, yaitu bentuk kekerasan yang dapat dilihat secara langsung dan

bentuk kekerasan yang tidak dapat dilihat secara langsung. Bentuk kekerasan

yang dapat dilihat secara langsung yang ditujukan kepada sosok transgender,

yaitu kekerasan verbal melalui penggunaan kata banci, gue matiin lo, dan kata-

kata kasar. Kekerasan fisik terhadap transgender berupa tindakan memukul,

menganiaya, melempar tubuh, menarik rambut dengan kasar. Kekerasan

psikologi terhadap transgender muncul dalam bentuk ancaman dan tekanan,

tindak penolakan. Bentuk tindak kekerasan seksual dilakukan melalui tindak

pelecehan seksual terhadap transgender. (puspita, 2014).

3.3. Kehangatan Sosok Transgender Sebagai Ayah

Scene 22: Adegan Syaiful berbincang-bincang dengan Cahaya pada malam hari

di sebuah warung makan. Gambar di ambil secara long shot terlihat kondisi dan

situasi di warung hanya ada mereka berdua yang lagi berbincang sambil makan,

dan pelayan yang selalu melihat kearah. Mereka merasa terbuka satu sama lain

dengan kondisi saat ini. Syaiful menceritakan tentang dirinya, dan Cahaya

menceritakan tentang ibu, sekolah dan dirinya. Mereka sesekali bersenda gurau

ada raya kekangenan antara anak dan bapak.

Page 16: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

Scene 39: Adegan Syaiful dan Cahaya duduk berdua di pinggir trotoar pada

malam hari. Gambar diambil secara two shot, bahwa sutradara menghadirkan

pesan fokus terhadap kehangatan mereka berdua dari cerita tentang kenapa

Syaiful awal mula menjadi transgender dan pada akhirnya meninggalkan

keluarganya merantau ke Jakarta. Ibu Cahaya tahu kalau Syaiful pekerjaannya

menjadi transgender pekerja seks komersial pada akhirnya ibunya minta

diceraikan. Syaiful merasa bersalah harus meminta maaf kepada Cahaya,

ibunya. Mereka saling berpelukan Cahaya merasa kangen terhadap Syaiful dan

sebaliknya Syaiful merasa bersalah karena sudah meninggalkan mereka.

Kisah film “lovely man” ini hampir mirip dengan kisah nyata Solena

Chaniago yaitu transgender yang go internasional. Walaupun dia berpisah

dengan istrinya dia tetap menjalin komunikasi dengan anaknya dan anaknya

menerima apa adanya keadaan dirinya. Dari pernikahannya, Solena dikaruniai

seorang anak perempuan yang kini berusia 11 tahun. Untuk memperkenalkan

diri sebagai ayahnya, Solena sempat kesulitan karena sosoknya sudah menjadi

perempuan."Saya memang jarang bertemu sama anak saya, tapi saya tetap

komunikasi. Kalau ketemu sama dia, saya bilang tantenya dari mama (Solena).

Lambat tahun, saya mencoba menjelaskan kalau tante Solena ini yaitu ayah dia.

Sempet, anak saya murung dan diam. Dia tidak menangis malah saya yang

nangis. Tapi, saya berusaha menghibur dan ajak jalan-jalan, akhirnya dia

menerima," katanya. (Kurniawan, 2014).

Teori Psikoanalisis Segmund Freud

Teori Psikoanalisis Sigmund Freud (Rakhmat, 2002), bahwa teori ini

menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem

dalam kepribadian manusia Id, Ego, Superego. Id adalah bagian-bagian

kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, pusat

instink (hawa nafsu). Ada dua instink dominan yaitu Libido adalah instink

reproduksi yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan manusia yang

konstruktif; Thanatos adalah instink destruktif dan agresif. Menurut Freud yang

Page 17: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

pertama adalah instink kehidupan (eros) adalah dorongan seksual, dan

dorongan yang mendatangkan kenikmatan, dan yang kedua adalah instink

kematian (thanatos). Semua motif manusia adalah gabungan dari eros dan

thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi

kebutuhannya, bersifat egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau dengan

kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Ego adalah mediator antara hasrat-

hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Superego adalah polisi

kepribadian yaitu hati nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma

sosial dan kultural masyarakat. (Wahyuningsih, 2013:105).

Jika dianalisis secara Psikoanalisis segmund Freud, bahwa id dalam diri

tokoh Syaiful ada hasrat dan keinginan untuk menjadi transgender karena

dituntut sebuah kebutuhan akan hidup dia dan keluarganya. Transgender dalam

diri Syaiful merupakan suatu kelainan atau perilaku yang menyimpang dari

keadaan normal layaknya Syaiful sebagai seorang laki-laki. dalam film ini

Syaiful digambarkan menjadi tokoh yang menjajakan dirinya kepada sejumlah

pria hidung belang yang mencari kepuasan seks selain dengan istri pelanggan

Syaiful sendiri. Pekerjaan tokoh Syaiful ini sebagai pekerja seks komersial,

setelah dia melayani beberapa pelanggannya dia diberi bayaran oleh

pelanggannya. Apa yang dikerjakan oleh tokoh Syaiful merupakan tabiat

hewani manusia, jadi bertindak atau berperilaku dalam masyarakat tanpa akal

dan pikiran sehingga ada banyak kerugian yang ditimbulkannya bercerai

dengan istri, berpisah dengan anaknya, mengalami kekerasan verbal dan non

verbal dalam hidupnya, tidak dekat dengan Tuhan karena ketika ditanya oleh

Cahaya anaknya “emangnya bapak sholat” jawabnya “siapa bilang? Caranya

aja gue lupa” (scene 38).

Ego dalam diri tokoh Syaiful adalah mediator dalam diri Syaiful untuk

berubah menjadi Syaiful sosok laki-laki yang sempurna setelah mengalami

beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan dalam kehidupannya. Banyak

cemooh dari masyarakat, mereka memandang rendah sosok transgender, seperti

Page 18: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

orang yang tidak berguna, sampah masyarakat. Sama sekali tidak ada

positifnya. Dari hal-hal itulah tokoh Syaiful sebagai transgender kembali

normal menjadi laki-laki seutuhnya tidak berdandan lagi layaknya sebagai

transgender, dia sudah berpakaian laki-laki memakai celana, kemeja, dan

mengantarkan Cahaya di stasiun kereta api untuk kembali ke ibunya. Dia

merasa bahwa dirinya adalah sosok seorang ayah bagi Cahaya anaknya.

Superego-nya adalah transgender merupakan hal yang menyalahi kodrat

artinya dalam agama Islam bahwa kodrat laki-laki disini sebagai pemimpin

keluarga bukan sebagai transgender yang menjajakan diri atau menjadi pekerja

seks komersial. Ada perenungan dalam diri tokoh Syaiful apabila dia

meneruskan perilakunya yang amoral dia akan mengalami kerugian dalam

hidupnya. Selamnaya akan menjadi sampah masyarakat dan penyakit

masyarakat yang selalu melanggar norma-norma susila, norma-norma sosial,

dan norma-norma agama. Bahwa transgender haram hukumnya dari sisi agama

Islam dan selamanya akan termarjinalkan oleh masyarakat disekitarnya.

D. KESIMPULAN

Penulis menyimpulkan setelah dianalisis dengan pisau analisis

Semiotika Roland Barthes, bahwa representasi transgender dalam film

Indonesia terhadap tokoh Saiful adalah ditemukan adanya beberapa konstruk.

Konstruk tersebut terbentuk adanya tingkatan denotatif, konotatif, dan mitos

dalam tingkatan semiotika Roland Barthes. Konstruk itu adalah bahwa

transgender adalah sosok yang feminim, kekerasan verbal sekaligus psikologis,

kekerasan non verbal sekaligus kekerasan seksualitas, kehangatan transgender

sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan.

Teori yang sangat relevan dalam mengkaji adanya film transgender

adalah teori psikologi komunikasi yaitu teori psikoanalisis Segmund Freud,

penulis melihat dari tiga subsistem yang ada dalam diri manusia yaitu tokoh

Syaiful sebagai sosol transgender. Id dalam tokoh Syaiful sebagai transgender

dalam media film tersebut adalah bahwa Syaiful menjadi transgender karena

Page 19: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

untuk kebutuhan mencari penghasilan dengan cara malam menjajakan dirinya

atau sebagai pekerja seks komersial. Ego yang terlihat dalam sosok Syaiful

sebagai transgender adalah dia mengalami suatu penyadaran untuk berubah

menjadi laki-laki seutuhnya menjadi ayahnya Cahaya yang penuh dengan

kehangatan. Superego-nya adalah bahwa transgender me rupakan perilaku yang

menyimpang dari norma-norma sosial, norma-norma susila, dan bahkan norma-

norma agama melanggar dan hukumnya haram, jenis kelamin yang ada dalam

diri manusia adalah hanya laki-laki dan perempuan. Tokoh Syaiful dalam film

ini masih mempunyai superego yang kuat bahwa masih ada polosi kepribadian

tokoh Syaiful untuk kembali menjadi laki-laki yang normal.

E. DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group. Jakarta

Creswell, John W. 2002. Research Design (Desain Penelitian Pendekatan

Kualitatif dan Kuantitatif). KIK Press. Jakarta

Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang. Indonesia Tera.

Moeleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.

Bandung

Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya.

Bandung

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya.

__________. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan kedua. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya

__________. 2006. Semiotika Komunikasi. Cetakan keempat. Bandung. PT.

Remaja Rosdakarya

Page 20: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,

__________. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung. PT. Remaja

Rosdakarya.

Wahyuningsih, Sri. 2013. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori

Pendekatan Psikologi Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya).

Bangkalan. UTM Press.

Skripsi:

Ningsih, Nanda Ayu Puspita. 2014. Representasi Kekerasan terhadap

Transgender dalam Film Taman Lawang. Prodi Ilmu Komunikasi FISIP

Universitas Diponegoro.

Internet:

Anonimous, 2012. Tiga Film bertema Transgender Indonesia Meluncur ke

Denmark. (https://id.celebrity.yahoo.com/news/tiga-film-bertema-

transgender-indonesia-meluncur-ke-denmark-075635706.html. diakses 13

Okt 2014, 13.02.

Imam. 2011. Transgender Day is to Day.

http://imamocean.wordpress.com/2011/11/20/transgender-day-is-today/,

diakses 10 Okt 2014, 3:29.

Islampos, 2013. Klaim Jumlah Waria ada 7 Juta.

http://www.islampos.com/klaim-jumlah-waria-ada-7-juta-arus-pelangi-

kita-sudah-bisa-buat-partai-37457/). Diakses 10 Okt 2014, 3.30.

Kurniawan, ade. 2014. Solena Chaniago sebelum Transgender, Pernah menikah

dan Mempunyai Anak. https://id.celebrity.yahoo.com/news/solena-

chaniago,-sebelum-transgender-pernah-005200442.html, akses 12 Okt

2014, 12.28.

Page 21: Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,