Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan...
Transcript of Abstrakkomunikasi.trunojoyo.ac.id/wp-content/uploads/2017/06/...Metode penelitian ini adalah dengan...
Representasi Transgender dalam Media Film
(Analisis Semiotika Roland Barthes dan Pendekatan Psikoanalisis
Sigmund Freud terhadap Tokoh Saiful Film “Lovely Man”)
Oleh Sri Wahyuningsih
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
[email protected]/081553088855
Abstrak:
Film Lovely Man merupakan film yang menggambarkan tentang
kehidupan transgender yang kompleks dengan tokoh utama Syaiful dan
anaknya Cahaya. Ditayangkan dengan isu yang diangkat dari permasalahan
perceraian dengan istri, pertemuan dengan anaknya, menjajakan diri, konflik
dengan pelanggannya (merampok uang, pelanggan yang posesif), kekerasan,
cemoohan, hingga menyadari bahwa dirinya lelaki yang seutuhnya mempunyai
anak dan istri walupun sudah cerai.
Cerita dalam film yang sangat menarik untuk diteliti, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi transgender
dalam media film Indonesia. Metode penelitian ini adalah dengan jenis
kualitatif deskriptif dengan analisis semiotika Roland Barthes (denotasi,
konotasi, dan mitos) karena analisis tersebut merupakan analisis film yang
sangat relevan diantara analisis semiotika yang lainnya (Wawancara
Sobur,2014). Pendekatan psikoanalisis dalam psikologi komunikasi turut dalam
analisisnya. Objek penelitian ini adalah film Indonesia dengan cerita Lovely
Man yang diambil beberapa scene yang merepresentasikan seorang transgender
beserta konfliknya. Metode pengumpulan datanya dengan observasi yaitu
dengan cara pengamatan tayangan film tersebut, dan dokumentasi. Teknik
analisa datanya dengan cara reduksi data, display data, dan menyimpulkan data.
Triangulasi datanya adalah dengan cara triangulasi sumber data, triangulasi
metode.
Hasil penelitian ini adalah terdapat konstruk yang ditarik dari semiotika
yaitu sosok feminim transgender, kekerasan verbal dan non verbal terhadap
transgender, kehangatan sosok transgender sebagai ayah. Jika dianalisis secara
Psikoanalisis segmund Freud, bahwa id dalam diri tokoh Syaiful ada hasrat dan
keinginan untuk menjadi transgender karena dituntut sebuah kebutuhan akan
hidup dia dan keluarganya. Ego dalam diri tokoh Syaiful adalah mediator dalam
diri Syaiful untuk berubah menjadi Syaiful sosok laki-laki yang sempurna
setelah mengalami beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan dalam
kehidupannya. Superego-nya adalah transgender merupakan hal yang
menyalahi kodrat artinya dalam agama Islam bahwa kodrat laki-laki disini
sebagai pemimpin keluarga bukan sebagai transgender yang menjajakan diri.
Ada kesadaran dalam diri tokoh Syaiful bahwa keberadaanya sebagai seorang
ayah yang mempunyai anak.
Kata Kunci: Transgender, Media Film, semiotika Roland Barthes, Psikoanalisis
Sigmund Freud.
Abstract:
Lovely Man is a film depicting the life of transgender complex with
Saiful as the main character and his daughter Cahaya. Served with the issues
raised from the issue of divorce with his wife, meeting with his daughter,
prostituting themselves, conflicts with customers (rob money, customer
possessive), violence, ridicule, to realize that he is fully man and wife even
though the child has already divorced.
The story in the film is very interesting to study, the purpose of this
study was to determine how the transgender representation in the media of
Indonesian films. This research method is the type of descriptive qualitative
semiotic analysis of Roland Barthes (denotation, connotation, and myths)
because it serves as a very relevant film analysis among other semiotic analysis
(interviewd: Sobur,2014). Psychoanalytic approach in communication
psychology participated in the analysis. The object of this study is the
Indonesian film with a story Lovely Man captured some scenes that represent a
conflict and their transgender. Methods of data collection by observation of the
way the observations show the film, and documentation. Data analysis
techniques by means of data reduction, data display, and concluded the data.
Triangulation of data is by means of triangulation of data sources, triangulation
method.
The results of this study are contained constructs drawn from semiotics
that transgender feminine figure, verbal and non-verbal violence against
transgender, transgender warmth as a father figure. If analyzed Segmund Freud
Psychoanalysis, that id inside Saiful figure there is a desire and willingness to
be transgender because life demanded a need for him and his family. Ego inner
figure is a mediator in self Saiful to transform into a male figure, a perfect after
some unfortunate events in his life. Superego is transgender is the accusatory
nature of the Islamic religion means that the nature of men here as the leader of
the family instead of selling themselves as transgender. There is a greater
awareness that the existence Saiful character as a father who has a child.
Keywords: Transgender, Media Film, Roland Barthes Semiotics,
Psychoanalysis Sigmund Freud.
A. PENDAHULUAN
Fenomena transgender sangat menarik untuk dikaji baik dari sisi sosial
maupun sisi psikologis. Allah SWT menciptakan manusia hanya ada dua jenis
kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Tetapi seiring dengan perkembangan
jaman dan perubahan system sosial yang ada saat ini, manusia banyak yang
menyalahi kodratnya dia sebagai perempuan dan dia sebagai laki-laki yang
semestinya. Penulis melihat fenomena yang ada saat ini mempunyai tubuh laki-
laki tetapi apa yang dikerjakan membuat mereka seperti layaknya perempuan,
yaitu membuka salon, desain busana, sebagai make up artis, menjajakan diri ke
lelaki hidung belang hanya untuk mencapai kepuasan dan mendapatkan
penghasilan untuk hidup dari perilakunya yang menyalahi kodrat dia sebagai
laki-laki sebut saja transgender.
Di Indonesia ada sekitar 7 juta transgender dan mereka mengalami
kekerasan atas adanya agama dalam Seminar ‘Kekerasan Atas Nama Agama
dan Masa Depan Toleransi Di Indonesia’ di Gedung Mahkamah Konstitusi di
Indonesia. Menurut Dodo (koordinator arus pelangi), transgender sudah
mengalami kekerasan saat memiliki tubuh. Karena agama apapun di sebuah
keluarga, ketika tahu anaknya melakukan transgender yang terjadi adalah
pengusiran. Di Jakarta saja ada 6200 transgender. 60 % dari mereka diusir oleh
keluarganya karena dianggap pendosa. (Islampos, 2013).
Di antaranya mempunyai berbagai latar belakang kisah kenapa mereka
memutuskan menjadi seorang transgender, yaitu karena adanya suatu
ketidakadilan dalam kehidupan rumah tangganya ketika mereka menjadi orang
yang normal. Solena Chaniago adalah seorang transgender asal Indonesia yang
sudah lama menetap di negeri Paman Sam.
Solena Chaniago saat ini sudah 100% berubah menjadi seorang wanita.
Ia melakukan operasi pergantian kelamin seutuhnya dan menjadi seorang
wanita transgender yang cantik dengan biaya yang sangat besar di Thailand.
Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa Solena dahulunya merupakan
seorang pria. Fakta unik mengenai Solena Chaniago adalah Ia dahulu pernah
menikah dan memiliki anak pada tahun 2003. Setelah menikah dengan seorang
wanita dan memiliki seorang anak wanita, Ia merasakan ketidaknyamanan
dalam hidup, akhirnya Ia memutuskan untuk bercerai dan memutuskan untuk
merubah penampilannya menjadi seorang wanita. (Jalakata.com, 2014).
Cerita transgender di atas dalam jalakata.com sangat relevan dengan
kisah kehidupan film “lovely man” yang kisahnya diangkat seorang sutradara
yang bernama Teddy Soeriatmadja. Tetapi perbedaannya Selena dalam
kenyataannya beroperasi menjadi perempuan, tetapi dalam film ini tokoh
transgender Syaiful mengalami penyadaran setelah mengalami beberapa
peristiwa buruk terhadap dirinya.
Cerita dalam film “lovely man” adalah tokoh Saiful merupakan pelaku
transgender yang mempunyai anak satu perempuan Cahaya namanya. Jika pagi
sampai siang pekerjaanya adalah seorang kuli bangunan, tetapi jika malam ia
menjajakan diri kepada lelaki hidung belang sebagai seorang transgender. Ia
diceraikan istrinya setelah istrinya mengetahui kalau dia mempunyai pekerjaan
sebagai seorang transgender yang menjajakan diri. Hingga suatu saat anaknya
namanya Cahaya sudah SMA pergi ke Jakarta ingin mengetahui keberadaan
bapaknya dan pekerjaan bapaknya. Setelah Cahaya mengetahui pekerjaan
bapaknya Cahaya kaget dan menangis secara perlahan cahaya menerima
keadaan bapaknya seperti itu. Hingga akhirnya bapaknya sadar ketika bapaknya
terkena permasalahan dengan pelanggannya yaitu merampok uang tiga puluh
juta rupiah untuk operasi menjadi perempuan, dia termotivasi untuk menjadi
perempuan karena salah satu pelanggannya menuntut dia untuk mengajak
menikah. Dalam perjalanan itu pada akhirnya pelanggannya yang dirampok
uangnya menemukannnya kemudian dipukul bersama-sama dengan anak
buahnya, dan di lecehkan dia sebagai transgender. Dari peristiwa itu dia sadar
bahwa kehidupan yang dia alami adalah kehidupan yang membuat dia tidak
tenang dan penuh dengan konflik. Titik klimaknya dia menyadari bahwa dia
masih bisa menjadi seorang laki-laki normal yang mempunyai anak Cahaya.
(Observasi penulis terhadap film “lovely man”).
“Lovely Man” adalah film drama yang dirilis pada 2011. Film ini
dibintangi Raihaanun sebagai Cahaya dan Donny Damara sebagai Saiful
bapaknya Cahaya. Film mengenai transgender ini diputar pertama kali di Q!
Film Festival 2011. Film ini juga pernah tampil di Festival Film Asia yang
mengantar Donny Damara menjadi Aktor Terbaik dan Teddy Soeriaatmadja
dinominasikan sebagai sutradara terbaik. Film ini juga diputar di Festival
Balinale 2012 di Bali. (Anonimous, 2012).
Film “lovely man” merupakan gambaran realitas sosial yang diusung
oleh sutradara Teddy Soeriatmadja, yang di dalamnya mempunyai pesan bahwa
seorang transgender juga seorang manusia makhluk Allah SWT yang salah
jalan sehingga pada suatu ketika ada penyadaran diri bahwa keberadaannya
secara normal ada yang membutuhkannya yaitu keluarga dan orang lain.
Berkaitan dengan film yang sarat akan simbol dan tanda, maka yang
akan menjadi perhatian penulis di sini adalah segi semiotikanya, dimana dengan
semiotika ini akan sangat membantu kita untuk menelaah arti kedalaman suatu
bentuk komunikasi dan mengungkap makna yang ada di dalamnya.
Sederhananya semiotika itu adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda.
Tanda-tanda yang terdapat dalam film tentu saja berbeda dengan format tanda
yang lain yang hanya bersifat tekstual atau visual saja. Jalinan tanda dalam film
terasa lebih kompleks karena pada waktu yang hampir bersamaan sangat
mungkin berbagai tanda muncul sekaligus, seperti visual, audio, dan teks.
Begitu pun dengan tanda-tanda yang terdapat dalam film ”lovely man”.
Dalam mencari arti sebuah tanda di dalam film diperlukan juga
penilaian dari Roland Barthes. Menurutnya, peran pembaca (the reader)
sangatlah penting dalam memaknai suatu tanda. Barthes memberikan konsep
mengenai tanda dengan sistem pemaknaan tataran pertama yang disebut makna
denotasi dan pemaknaan tataran kedua atau yang disebut konotasi. Pada tataran
kedua tersebut, konotasi identik dengan apa yang disebut Barthes sebagai
mitos. Sehingga film ”lovely man” menjadi wilayah yang sangat menarik untuk
diteliti melalui pendekatan semiotika karena di dalamnya kaya akan tanda, dan
tentu saja membahas kisah transgender berarti kita membahas mitos, karena
pesan-pesan transgender dipenuhi dengan mitos.
Penulis akan mengkaji film ini dengan pisau analisis semiotika Roland
Barthes untuk melihat sisi sosialnya dan melihat pesan-pesan yang disampaikan
oleh seorang sutradara film ini. Penulis juga akan menganalisis dari sisi
psikologisnya yaitu dengan teori psikoanalisis Segmund Freud. Pada akhirnya
akan diketahui bagaimana representasi transgender dalam film “lovely man”.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif.
Menurut Handayani dan Sugiarti (2008:53) laporan hasil penelitian kualitatif
deskriptif berisi kutipan-kutipan dan data sebagai ilustrasi dan untuk
memberikan dukungan atas apa yang disajikan. Data meliputi transkrip
wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman, dokumen pribadi, memo, dan
catatan resmi lainnya. Data analisis dengan segala kekayaan maknanya sedekat
mungkin dengan wujud rekaman atau transkripnya, maksudnya adalah hanya
memaparkan situasi atau peristiwa.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moeleong, 2002:3) yang dimaksud
penelitian kualitataif adalah prosedur penelitian yang menggunakan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau jawaban dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman
yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial
dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi alami (Creswell, 2002: 136). Teknik Analisa
datanya adalah reduksi data, display data, dan kesimpulan data.
Objek penelitian ini adalah film “lovely man” yang akan diambil
beberapa scene kemudian akan dianalisis sesuai kebutuhan penulis dalam tema
yang diangkat di atas, dan kurang lebih untuk menyampaikan keterwakilan
pesan sutradara pada masyarakat dan penonton film ini. Metode yang dipakai
dalam pengumpulan data adalah dengan cara observasi, dan dokumentasi.
Keabsahan datanya dengan triangulasi sumber data dan triangulasi metode.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bertens (2001:208 dalam Sobur,
2003:63) mrnyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam
strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an.
Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan
asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Ia
mengajukan pandangan ini dalam Writing Degree Zero (1953; terj.Inggris
1977) dan Critical Essays (1964; terj.Inggris 1972) (Sobur, 2003:63).
Roland Barthes, sebagai salah satu tokoh semiotika, melihat signifikasi
(tanda) sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang sudah
terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula hal-
hal yang bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap pada kehidupan
sosial, apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula
(Kurniawan, 2001:53).
Semiotika (atau semiologi) Roland Barthes mengacu kepada Saussure
dengan menyelidiki hubungan antara penanda dan petanda pada sebuah tanda.
Hubungan penanda dan petanda ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi
ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian membawa pada yang lain, tetapi
korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes dalam Kurniawan,2001:22).
Roland Barthes mengungkapkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam
waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Barthes sendiri dalam setiap essainya (Cobley
& Jansz, dalam Sobur, 2004:68) kerap membahas fenomena keseharian yang
kadang luput dari perhatian. Barthes juga mengungkapkan adanya peran
pembaca (the reader) dengan tanda yang dimaknainya. Dia berpendapat bahwa
“konotasi”, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan
pembaca agar dapat berfungsi.
Bagi Barthes, seperti yang ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul
The Pleasure of The Text (1975), apabila sebuah teks tidak mampu
menggetarkan buhul-buhul darah para pembaca, maka teks tersebut tidak akan
memiliki arti (meaning) apapun. Suatu teks harus dapat menggelinjang keluar
dari bahasa yang dipergunakannya. Barthes mengatakan bahwa, “The world is
full of signs, but these signs do not all have the fine simplicity of the letters of
the alphabet, of highway signs, or of military uniforms: they are infinitely more
complex. (Dunia ini penuh dengan tanda-tanda ini tidak semuanya punya
kesederhanaan murni dari huruf-huruf, alfabet, tanda lalu lintas, atau seragam
militer: mereka secara tak terbatas lebih kompleks)” (Sobur, 2006:16). Sejak
Barthes, tidak hanya karya sastra yang dikaji lewat semiotika jenis ini, namun
juga merambah ke pelbagai gejala sosial lainnya seperti mode, foto dan film
(Sobur, 2006:11). Berikut adalah peta tanda dari Roland Barthes:
1. Signifer (Penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Gambar 2.1. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Paul Cobley & Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hal.51
dalam (Sobur, 2003:69).
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan
unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi
seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley dan
Jansz, 1999:51 dalam Sobur, 2003:69). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda
konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya,
inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi
Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur,
2003:69).
Barthes tidak sebatas itu memahami proses penandaan, tetapi dia juga
melihat aspek lain dari penandaan, yaitu mitos (myth) yang menandai suatu
masyarakat. Mitos (atau mitologi) sebenarnya merupakan istilah lain yang
dipergunakan oleh Barthes untuk ideologi. Mitologi ini merupakan level
tertinggi dalam penelitian sebuah teks, dan merupakan rangkaian mitos yang
hidup dalam sebuah kebudayaan. Mitos merupakan hal yang penting karena
tidak hanya berfungsi sebagai pernyataan (charter) bagi kelompok yang
menyatakan, tetapi merupakan kunci pembuka bagaimana pikiran manusia
dalam sebuah kebudayaan bekerja (Berger, 1982:32 dalam Basarah, 2006: 36).
Mitos ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih
diletakkan pada proses penandaan ini sendiri, artinya, mitos berada dalam
diskursus semiologinya tersebut. Menurut Barthes mitos berada pada tingkat
kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda, maka
tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda
kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah
bahasa, sedang konstruksi penandaan kedua merupakan mitos, dan konstruksi
penandaan tingkat kedua ini dipahami oleh Barthes sebagai metabahasa
(metalanguage). Perspektif Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri
khas semiologinya yang membuka ranah baru semiologi, yakni penggalian
lebih jauh penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas
keseharian masyarakat (Kurniawan, 2001:22-23).
Adapun 2 (dua) tahap penandaan signifikasi (two order of signification)
Barthes dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4. Signifikasi Dua Tahap Barthes
Gambar 1. Dua Tahap Penandaan Signifikasi
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.88.
dalam (Sobur, 2001:12).
Melalui gambar di atas, ini Barthes seperti dikutip Fiske, menjelaskan:
signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di
dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai
denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai makna subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan kata-
kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan”
dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang
First order Second order
reality Signs culture
Denotation
Connotation
Myth
signifie
eer
signified
form
content
digambarkan tanda terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah
bagaimana menggambarkannya (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128).
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda
bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan
atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos
merupakan produk kelas sosial mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa,
dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas,
maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur,
2001:128).
Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi
tahap pertama, sementara konotasi merupakan sistem signifikasi tahap kedua.
Dalam hal ini, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, dan
dengan demikian, merupakan sensor atau represi politis. Sedangkan konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitologi (mitos),
seperti yang telah diuraikan di atas, yang berfungsi untuk memgungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu. Barthes juga mengungkapkan bahwa baik di dalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda konotatif
terjadi secara termotivasi (Budiman dalam Sobur, 2004:70-71).
Dalam pengamatan Barthes, hubungan mitos dengan bahasa terdapat
pula dalam hubungan antara penggunaan bahasa literer dan estetis dengan
bahasa biasa. Dalam fungsi ini yang diutamakan adalah konotasi, yakni
penggunaan bahasa untuk mengungkapkan sesuatu yang lain daripada apa yang
diucapkan. Baginya, lapisan pertama itu taraf denotasi, dan lapisan kedua
adalah taraf konotasi: penanda-penanda konotasi terjadi dari tanda-tanda sistem
denotasi. Dengan demikian, konotasi dan kesusastraan pada umumnya,
merupakan salah satu sistem penandaan lapisan kedua yang ditempatkan di atas
sistem lapisan pertama dari bahasa (Sobur, 2006:19-20).
Tanda-tanda denotatif dan konotatif yang akan dianalisis dalam
penelitian ini adalah adegan-adegan yang membawakan pesan-pesan
transgender yang terpilih melalui karakter, sikap dan perilaku, bahasa tubuh,
gaya berbicara, kata-kata yang dipergunakan dalam berdialog, dan juga gaya
berbusana yang dipergunakan oleh tokoh dalam film “lovely man”. Dari hasil
analisis inilah diharapkan dapat ditemukan makna pesan yang hendak
disampaikan oleh Teddy Soeratmadja, sang sutradara film.
Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut:
3.1. Transgender sebagai Sosok feminim
Scene 28. Adegan sosok Saiful terlihat feminim sebagai transgender sedang
mangkal di jembatan pada waktu malam hari bersama teman-temannya diambil
secara long shot. Artinya mereka dengan sosok feminimnya sedang beraksi
bersama-teman-temannya untuk mencari pelanggan yang berlalu lalang
dijembatan. Sosok feminim terlihat menonjol dalam gambar karena tokoh
Saiful diperlihatkan sebagai sosok transgender yang terlihat feminim. Sosok
Saiful terlihat cantik dengan make up tebal memakai bedak, lipstick merah,
memakai rambut palsu berwarna hitam panjang, memakai sepatu berhak tinggi,
membawa tas tangan hitam, dan memakai busana ketat you can see warna
merah sampai di atas lulut dibarengi dengan gerakan gemulai dan sapaan-
sapaan mesra layaknya seperti suara perempuan yang halus dan merdu serta
menggoda hidung belang.
Transgender sendiri adalah seseorang yang memainkan peran gender
tidak mengikuti peran gender umumnya masyarakat setempat. Misalnya,
seorang laki-laki yang berperan gender macho, kuat, menggunakan pakaian
jeans, rambut pendek, berkemeja tetapi kemudian menggunakan pakaian rok,
blus, berlipstik, rambut panjang, menggunakan make up dan lemah lembut.
Maka biasanya akan disebut dengan Waria (Wanita-Pria). (Imam, 2011).
3.2. Kekerasan Verbal sekaligus Psikologis dan Kekerasan Non Verbal
sekaligus Kekerasan Seksual
3.2.1. Kekerasan Verbal sekaligus Psikologis terhadap Transgender
Scene 36: adegan Syaiful bersama Cahaya sedang berjalan-jalan di pasar malam
tiba-tiba ketemu salah satu pelanggan transeksualnya. Syaiful menemui
pelanggannya hanya berduaan saja tanpa Cahaya karena menyangkut urusan
pribadi mereka yaitu urusan Syaiful disuruh operasi plastik oleh pacarnya.
Saiful menegaskan janji ke pacarnya untuk melaksanakan operasi plastik.
Pacarnya kurang yakin terhadap janji Syaiful keluarlah kata-kata ancaman
terhadap Syaiful “lo jangan coba-coba mainin gue yah” dengan nada
mengancam agar Saiful menepati janjinya. Gambar diambil secara two shot
sekaligus medium shot artinya sutradara menghadirkan pesan bahwa seorang
transgender merupakan tempat ancaman para hidung belang yang menuntut
agar merubah dirinya sesuai dengan keinginan pelanggan.
Scene 44: adegan Syaiful menyuruh Cahaya untuk membeli rokok dan kue ke
dalam mini market. Ketika Cahaya mau masuk ke mini market ada cemoohan
dari orang-orang “eh, kok kamu mau sih jalan ma banci” dengan nada tidak
suka dan muka yang sinis terhadap Cahaya. Gambar di ambil secara medium
shot artinya sutradara menghadirkan pesan bahwa pertanyaan yang dilontarkan
orang-orang itu ke Cahaya mempunyai arti bahwa banci/transgender itu
mempunyai perilaku yang menyimpang dan sebagai sampah masyarakat. Kata
“banci” merupakan kekerasan verbal yang dilontarkan secara sengaja kepada
transgender. Karena mereka lihat dan tahu kalau Syaiful terlihat sosok banci
masih saja mengatakan dengan paralinguistik yang sinis.
Scene 53: Adegan Syaiful dengan bos preman diambil secara medium shot, bos
preman dengan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengancam “kalo gak
gue matiin lu….satu banci mati di Jakarta gak akan yang peduli”….sutradara
menghadirkan adegan ini yaitu preman itu menegaskan bahwa ancaman preman
terhadap Saiful itu akan benar-benar terjadi. Preman tersebut menganggap
bahwa mereka orang yang tidak berguna, sampah masyarakat.
3.2.2. Kekerasan Nonverbal sekaligus Kekerasan Seksual
Scene 53: Adegan di sebuah gang kecil waktu dini hari Syaiful masih
berpakaian feminim terlihat ketakutan dan cemas sedang dipukuli oleh tiga
preman sambil menanyakan keberadaan uangnya yang diambil Syaiful itu.
Gambar diambil secara long shot yang berarti sutradara menghadirkan cerita
pengroyokan oleh preman terhadap seorang transgender dan sutradara
menggambarkan bagaimana situasi dan kondisi pada waktu pengroyokan oleh
preman-preman dan pelecehan seksual diambil secara medium shot itu terjadi
Syaiful dengan satu preman. Mereka menganggap bahwa seorang banci adalah
orang yang perlu dihina, dipukuli, tidak berguna dan perlu dilecehkan secara
seksual.
Di dalam film “lovely man”, bentuk-bentuk kekerasan yang ada terbagi
menjadi dua, yaitu bentuk kekerasan yang dapat dilihat secara langsung dan
bentuk kekerasan yang tidak dapat dilihat secara langsung. Bentuk kekerasan
yang dapat dilihat secara langsung yang ditujukan kepada sosok transgender,
yaitu kekerasan verbal melalui penggunaan kata banci, gue matiin lo, dan kata-
kata kasar. Kekerasan fisik terhadap transgender berupa tindakan memukul,
menganiaya, melempar tubuh, menarik rambut dengan kasar. Kekerasan
psikologi terhadap transgender muncul dalam bentuk ancaman dan tekanan,
tindak penolakan. Bentuk tindak kekerasan seksual dilakukan melalui tindak
pelecehan seksual terhadap transgender. (puspita, 2014).
3.3. Kehangatan Sosok Transgender Sebagai Ayah
Scene 22: Adegan Syaiful berbincang-bincang dengan Cahaya pada malam hari
di sebuah warung makan. Gambar di ambil secara long shot terlihat kondisi dan
situasi di warung hanya ada mereka berdua yang lagi berbincang sambil makan,
dan pelayan yang selalu melihat kearah. Mereka merasa terbuka satu sama lain
dengan kondisi saat ini. Syaiful menceritakan tentang dirinya, dan Cahaya
menceritakan tentang ibu, sekolah dan dirinya. Mereka sesekali bersenda gurau
ada raya kekangenan antara anak dan bapak.
Scene 39: Adegan Syaiful dan Cahaya duduk berdua di pinggir trotoar pada
malam hari. Gambar diambil secara two shot, bahwa sutradara menghadirkan
pesan fokus terhadap kehangatan mereka berdua dari cerita tentang kenapa
Syaiful awal mula menjadi transgender dan pada akhirnya meninggalkan
keluarganya merantau ke Jakarta. Ibu Cahaya tahu kalau Syaiful pekerjaannya
menjadi transgender pekerja seks komersial pada akhirnya ibunya minta
diceraikan. Syaiful merasa bersalah harus meminta maaf kepada Cahaya,
ibunya. Mereka saling berpelukan Cahaya merasa kangen terhadap Syaiful dan
sebaliknya Syaiful merasa bersalah karena sudah meninggalkan mereka.
Kisah film “lovely man” ini hampir mirip dengan kisah nyata Solena
Chaniago yaitu transgender yang go internasional. Walaupun dia berpisah
dengan istrinya dia tetap menjalin komunikasi dengan anaknya dan anaknya
menerima apa adanya keadaan dirinya. Dari pernikahannya, Solena dikaruniai
seorang anak perempuan yang kini berusia 11 tahun. Untuk memperkenalkan
diri sebagai ayahnya, Solena sempat kesulitan karena sosoknya sudah menjadi
perempuan."Saya memang jarang bertemu sama anak saya, tapi saya tetap
komunikasi. Kalau ketemu sama dia, saya bilang tantenya dari mama (Solena).
Lambat tahun, saya mencoba menjelaskan kalau tante Solena ini yaitu ayah dia.
Sempet, anak saya murung dan diam. Dia tidak menangis malah saya yang
nangis. Tapi, saya berusaha menghibur dan ajak jalan-jalan, akhirnya dia
menerima," katanya. (Kurniawan, 2014).
Teori Psikoanalisis Segmund Freud
Teori Psikoanalisis Sigmund Freud (Rakhmat, 2002), bahwa teori ini
menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem
dalam kepribadian manusia Id, Ego, Superego. Id adalah bagian-bagian
kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia, pusat
instink (hawa nafsu). Ada dua instink dominan yaitu Libido adalah instink
reproduksi yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan manusia yang
konstruktif; Thanatos adalah instink destruktif dan agresif. Menurut Freud yang
pertama adalah instink kehidupan (eros) adalah dorongan seksual, dan
dorongan yang mendatangkan kenikmatan, dan yang kedua adalah instink
kematian (thanatos). Semua motif manusia adalah gabungan dari eros dan
thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan, ingin segera memenuhi
kebutuhannya, bersifat egoistis, tidak bermoral, dan tidak mau dengan
kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. Ego adalah mediator antara hasrat-
hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Superego adalah polisi
kepribadian yaitu hati nurani yang merupakan internalisasi dari norma-norma
sosial dan kultural masyarakat. (Wahyuningsih, 2013:105).
Jika dianalisis secara Psikoanalisis segmund Freud, bahwa id dalam diri
tokoh Syaiful ada hasrat dan keinginan untuk menjadi transgender karena
dituntut sebuah kebutuhan akan hidup dia dan keluarganya. Transgender dalam
diri Syaiful merupakan suatu kelainan atau perilaku yang menyimpang dari
keadaan normal layaknya Syaiful sebagai seorang laki-laki. dalam film ini
Syaiful digambarkan menjadi tokoh yang menjajakan dirinya kepada sejumlah
pria hidung belang yang mencari kepuasan seks selain dengan istri pelanggan
Syaiful sendiri. Pekerjaan tokoh Syaiful ini sebagai pekerja seks komersial,
setelah dia melayani beberapa pelanggannya dia diberi bayaran oleh
pelanggannya. Apa yang dikerjakan oleh tokoh Syaiful merupakan tabiat
hewani manusia, jadi bertindak atau berperilaku dalam masyarakat tanpa akal
dan pikiran sehingga ada banyak kerugian yang ditimbulkannya bercerai
dengan istri, berpisah dengan anaknya, mengalami kekerasan verbal dan non
verbal dalam hidupnya, tidak dekat dengan Tuhan karena ketika ditanya oleh
Cahaya anaknya “emangnya bapak sholat” jawabnya “siapa bilang? Caranya
aja gue lupa” (scene 38).
Ego dalam diri tokoh Syaiful adalah mediator dalam diri Syaiful untuk
berubah menjadi Syaiful sosok laki-laki yang sempurna setelah mengalami
beberapa peristiwa yang tidak menguntungkan dalam kehidupannya. Banyak
cemooh dari masyarakat, mereka memandang rendah sosok transgender, seperti
orang yang tidak berguna, sampah masyarakat. Sama sekali tidak ada
positifnya. Dari hal-hal itulah tokoh Syaiful sebagai transgender kembali
normal menjadi laki-laki seutuhnya tidak berdandan lagi layaknya sebagai
transgender, dia sudah berpakaian laki-laki memakai celana, kemeja, dan
mengantarkan Cahaya di stasiun kereta api untuk kembali ke ibunya. Dia
merasa bahwa dirinya adalah sosok seorang ayah bagi Cahaya anaknya.
Superego-nya adalah transgender merupakan hal yang menyalahi kodrat
artinya dalam agama Islam bahwa kodrat laki-laki disini sebagai pemimpin
keluarga bukan sebagai transgender yang menjajakan diri atau menjadi pekerja
seks komersial. Ada perenungan dalam diri tokoh Syaiful apabila dia
meneruskan perilakunya yang amoral dia akan mengalami kerugian dalam
hidupnya. Selamnaya akan menjadi sampah masyarakat dan penyakit
masyarakat yang selalu melanggar norma-norma susila, norma-norma sosial,
dan norma-norma agama. Bahwa transgender haram hukumnya dari sisi agama
Islam dan selamanya akan termarjinalkan oleh masyarakat disekitarnya.
D. KESIMPULAN
Penulis menyimpulkan setelah dianalisis dengan pisau analisis
Semiotika Roland Barthes, bahwa representasi transgender dalam film
Indonesia terhadap tokoh Saiful adalah ditemukan adanya beberapa konstruk.
Konstruk tersebut terbentuk adanya tingkatan denotatif, konotatif, dan mitos
dalam tingkatan semiotika Roland Barthes. Konstruk itu adalah bahwa
transgender adalah sosok yang feminim, kekerasan verbal sekaligus psikologis,
kekerasan non verbal sekaligus kekerasan seksualitas, kehangatan transgender
sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan.
Teori yang sangat relevan dalam mengkaji adanya film transgender
adalah teori psikologi komunikasi yaitu teori psikoanalisis Segmund Freud,
penulis melihat dari tiga subsistem yang ada dalam diri manusia yaitu tokoh
Syaiful sebagai sosol transgender. Id dalam tokoh Syaiful sebagai transgender
dalam media film tersebut adalah bahwa Syaiful menjadi transgender karena
untuk kebutuhan mencari penghasilan dengan cara malam menjajakan dirinya
atau sebagai pekerja seks komersial. Ego yang terlihat dalam sosok Syaiful
sebagai transgender adalah dia mengalami suatu penyadaran untuk berubah
menjadi laki-laki seutuhnya menjadi ayahnya Cahaya yang penuh dengan
kehangatan. Superego-nya adalah bahwa transgender me rupakan perilaku yang
menyimpang dari norma-norma sosial, norma-norma susila, dan bahkan norma-
norma agama melanggar dan hukumnya haram, jenis kelamin yang ada dalam
diri manusia adalah hanya laki-laki dan perempuan. Tokoh Syaiful dalam film
ini masih mempunyai superego yang kuat bahwa masih ada polosi kepribadian
tokoh Syaiful untuk kembali menjadi laki-laki yang normal.
E. DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group. Jakarta
Creswell, John W. 2002. Research Design (Desain Penelitian Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif). KIK Press. Jakarta
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang. Indonesia Tera.
Moeleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Rakhmat, Jalaluddin. 2002. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya.
Bandung
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Cetakan Pertama. Bandung. PT.
Remaja Rosdakarya.
__________. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan kedua. Bandung. PT.
Remaja Rosdakarya
__________. 2006. Semiotika Komunikasi. Cetakan keempat. Bandung. PT.
Remaja Rosdakarya
__________. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung. PT. Remaja
Rosdakarya.
Wahyuningsih, Sri. 2013. Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori
Pendekatan Psikologi Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya).
Bangkalan. UTM Press.
Skripsi:
Ningsih, Nanda Ayu Puspita. 2014. Representasi Kekerasan terhadap
Transgender dalam Film Taman Lawang. Prodi Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro.
Internet:
Anonimous, 2012. Tiga Film bertema Transgender Indonesia Meluncur ke
Denmark. (https://id.celebrity.yahoo.com/news/tiga-film-bertema-
transgender-indonesia-meluncur-ke-denmark-075635706.html. diakses 13
Okt 2014, 13.02.
Imam. 2011. Transgender Day is to Day.
http://imamocean.wordpress.com/2011/11/20/transgender-day-is-today/,
diakses 10 Okt 2014, 3:29.
Islampos, 2013. Klaim Jumlah Waria ada 7 Juta.
http://www.islampos.com/klaim-jumlah-waria-ada-7-juta-arus-pelangi-
kita-sudah-bisa-buat-partai-37457/). Diakses 10 Okt 2014, 3.30.
Kurniawan, ade. 2014. Solena Chaniago sebelum Transgender, Pernah menikah
dan Mempunyai Anak. https://id.celebrity.yahoo.com/news/solena-
chaniago,-sebelum-transgender-pernah-005200442.html, akses 12 Okt
2014, 12.28.