Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

37
RESUME BUKU BACAAN Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam” Pengarang : Fuad Baali dan Ali Wardi Penyunting : Sapardi Djoko Damono Penerbit : Pustaka Firdaus Jl. Siaga I No. 3, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tahu : 2003 Tebal Buku : 221 halaman BAB I IBN KHALDUN : KEHIDUPAN DAN MUQADDIMAHNYA 1. Kehidupan Ibn Khaldun Abu Zaid Abdul-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi al-Hadrami lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei 1332 M). Dia dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Para kakekmya Banu Khaldun, yang tertua Khaldun bin al-Khattab, pindah ke Andalusia (Spanyol) pada abad ke-18, dengan demikian dia menyaksikan pertumbuhan dan kemunduran kekuasaan Islam di Spanyol. Mereka berangkat ke Maroko menjelang kejatuhan Sevelle tahun 1248. 1

description

Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan sebuah resume buku mengenai pola pemikiran Islam dalam sudut pandang Ibnu Khaldun.

Transcript of Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Page 1: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

RESUME BUKU BACAAN

“Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam”

Pengarang : Fuad Baali dan Ali Wardi

Penyunting : Sapardi Djoko Damono

Penerbit : Pustaka Firdaus

Jl. Siaga I No. 3, Pasar Minggu, Jakarta 12510

Tahu : 2003

Tebal Buku : 221 halaman

BAB I

IBN KHALDUN : KEHIDUPAN DAN MUQADDIMAHNYA

1. Kehidupan Ibn Khaldun

Abu Zaid Abdul-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi

al-Hadrami lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H (7 Mei 1332 M). Dia

dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun

politik. Para kakekmya Banu Khaldun, yang tertua Khaldun bin al-Khattab, pindah ke

Andalusia (Spanyol) pada abad ke-18, dengan demikian dia menyaksikan

pertumbuhan dan kemunduran kekuasaan Islam di Spanyol. Mereka berangkat ke

Maroko menjelang kejatuhan Sevelle tahun 1248.

Ibn Khaldun hidup bermasyarakat sebelum berusia 20 tahun. Pada mulanya ia

menjabat sebagai tukang stempel surat pada pemerintahan Abu Muhammad Ibn

Tafrakin. Tatkala Ibn Tafrakin ini ditaklukan oleh Abu Zaid, penguasa konstatinopel,

Ibn Khaldun melarikan diri, dan bekerja sama dengan Sultan Abu Inan di Tlemcen.

Ibn Khaldun digaji oleh Abu Inan, sebagai sekretaris, mengurus surat menyurat. Ibn

Khaldun mengaku menerima jabatan itu dengan setengah hati sebab dia menganggap

sebagai kerja rendahan, dan tidak seorang pun leluhurnya melakukan pekerjaan

serendah itu. Meskipum dia mengaku mendapat penghargaan tinggi dari Sultan,

1

Page 2: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

namun hasratnya menjadi orang besar dan disegani memaksanya untuk terjun ke

dunia politik dan bekerja sama dengan pihak lain untuk menggulingkan sultan.

Dia membantu Amir Abu Abdullah Muhammad memperoleh kembali

kekuasaannya, dengan syarat kalau usaha itu berhasil dia diangkat sebagai perdana

menteri. Namun Abu Inan mengetahui persekongkolan itu dan segera memerintahkan

politisi muda untuk menumpas. Ibn Khaldun mendekam dua tahun di penjara (1357-

1358), dan selama itu berkali-kali dia memohon kepada sultan untuk

membebaskannya. Menjelang kematiannya, sultan berjanji membebaskannya. Keluar

dari penjara Ibn Khaldun mendukung Abu Salim pada tahun 1359 menjadi penguasa

Maroko dan mengangkat Ibn Khaldun sebagai sekretaris negara dan penasihatnya.

Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu ke yang lain, Ibn Khaldun

merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya agar

mencari dukungan dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini

untuk meninggalkan politik dengan meminta kepada Banu Arif. Itulah masa dia

menulis bukunya Muqaddimah yang terkenal itu.

Ibn Khaldun wafat pada tanggal 26 Ramadhan 808 H (16 Maret 1406 M), tak

lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Beliau dikebumikan di kawasan

pemakaman orang sufi di Kairo. Perlu disebutkan di sini bahwa Ibn Khaldun telah

menuliskan riwayat hidupnya yang panjang dan lengkap dengan kejujuran dan

keterusterangan yang sangat mengagumkan tanpa sedikitpun menutupi sisi buruk dari

perjalanan hidupnya. Riwayat hidupnya tentu saja dapat dianggap sebagai penerapan

teori sosiologisnya.

2. Muqaddimah

Muqaddimah Ibn Khaldun yang ditulis berdasar pengalamannya yang kaya

dan pemikiran yang realistis, itu tampaknya menjadi bagaikan sebuah Injil atau Al-

Qur’an di mana setiap golongan yang mengalami konflik dapat menemukan sesuatu

di dalamnya untuk mencapai tujuan golongannya.

Keterangan Husain dan Slane tentang kekaburan dan kekacauan dalam karya

Ibn Khaldun tidak dapat diterima begitu saja. Berdasarkan kenyataan yang ada, Ibn

Khaldun jauh dari kekaburan dan kekacauan. Karyanya sangat jelas dibanding para

penulis lain yang hidup pada masa dan kebudayaannya. Kekaburan itu boleh jadi

disebabkan Slane meneliti Ibn Khaldun dari sudut pandang yang statis, padahal Ibn

Khaldun melihat fenomena sosial dari sudut pandang yang dinamis. Bagi Ibn Khaldun

2

Page 3: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

hal yang dipandang benar-benar sama dapat menjadi baik buruk, berguna dan

berbahaya. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan logika Aristoteles.

Hal ini akan mengantar kita sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Ibn

Khaldun tidak menggunakan logika Aristoteles. Ibn Khaldun tidak mengabaikan

kenyataan bahwa logika memang bermanfaat, yang dengan menggunakannya

membantu kita untuk mampu mengemukakan argumentasi yang teratur; tetapi logika

tradisional ini hanya piranti untuk menyerang dan bertahan di tangan dua kelompok

yang saling bertentangan. Di samping itu logika tidak menghasilkan pengetahuan.

Dengan menulis Muqaddimah Ibn Khaldun bermaksud mengembangkan suatu bentuk

logika yang realistis. Dia memang pernah mengikuti pola pikir berdasar logika

Aristoteles yang menyebabkannya tidak mampu mengembangkan “ilmu organisasi

kemasyarakatan”nya (Urn al-umran), yang hanya menerima logika peristiwa-

peristiwa yang nyata (logika yang dapat diuji). Ini menjelaskan mengapa dia berusaha

mencari hukum-hukum nyata yang menguasai proses-proses kemasyarakatan.

BAB II

IDEALISME VS REALISME

1. Pola-Pikir

Idealisme dan realisme adalah bentuk-bentuk gaya pikir atau dengan

menggunakan istilah Mannheim, thought-styles. Karena itu, tidak cukup kiranya

hanya mengklasifikasi masyarakat sebagai yang idealis atau yang realis tanpa

mempelajari bagaimana kedua kecenderungan sikap mental ini berkembang.

Pemikiran, sebagaimana diungkapkan John Dewey, adalah suatu bentuk

perbuatan manusia. Dan seperti perbuatan manusia lainnya, pemikiran cenderung

mengikuti aturan-aturan masyarakat. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa

aturan-aturan logika tidaklah mutlak atau “swadaya di dalam pikiran” sebagaimana

dianggap oleh Aristoteles. Aturan-aturan itu lahir dari hasil perdebatan, diskusi, dan

manipulasi. Artinya, aturan logika adalah aturan masyarakat yang dipedomani dalam

pembicaraan yang berlangsung melewati batas yang ditetapkan oleh suatu kelompok

tempat seorang pemikir kebetulan hidup.

Dalam usaha mereka untuk menyelesaikan pertentangan antara berbagai

kepentingan, para ahli membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan arah yang

dituju di berbagai lapisan masyarakat. Hal-hal yang dianggap merusak peraturan

3

Page 4: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

tersebut dianggap tidak berlaku. Begitu pula, cara-cara berpikir yang merusak aturan

logika Aristoteles dianggap tidak logis.

Berdasarkan pembahasan di atas, seseorang dapat memahami sifat gaya-pikir

dan faktor utama dari perkembangan pikiran manusia. Manusia tidak bebas

sepenuhnya untuk tidak memihak dan objektif dalam pengamatannya. Seseorang

berhak menyimpulkan bahwa selama manusia mempunyai kesadaran untuk

menyingkap sistem nilai yang berbeda dari berbagai kelompok yang dianutnya, dia

dapat juga mempunyai bermacam gaya-pikir. Dengan mudah dapat ditilik bahwa

manusia berpikir dan bertindak secara berbeda-beda begitu dia berpindah dari satu

kelompok ke kelompok lain.

2. Tipologi Gaya-Pikir

Dalam peradabaan modern, pada saat tertentu, manusia menjadi anggota dari

berbagai kelompok dan perkumpulan. Dia tidak turut serta dalam aktifitas masing-

masing kelompok dengan seluruh kepribadiannya. Perlu disebutkan di sini, bahwa

yang demikian tidak berlaku untuk apa yang disebut masyarakat primitif. Masyarakat

primitif memasuki kelompoknya dengan seluruh kepribadiannya. Tidak ada satu pun

hal yang perlu disimpan untuk diperlihatkan kepada kelompok lain. Kelompok

masyarakat primitif biasanya berjumlah sedikit, dan kegiatannya muncul dari

kebiasaan bertemu antara satu dengan yang lain. Kalau manusia primitif berpikir, dia

biasanya mengambil peran kelompok kecilnya tersebut. “Hal lainnya yang

tergeneralisir” adalah satu dan berlaku untuk selamanya. Dengan kata lain, adat

istiadat dan nilai yang berlaku dalam kelompok tetap dipertahankan dan dijaga

kesuciannya.

3. Kompartementalisasi Pemikiran

Adalah menarik mengamati masyarakat yang mengalami kompartementalisasi

atau yang berpikir kontradiktif tanpa menyadarinya. Dapat diamati dengan jelas

dalam masyarakat yang telah maju dan modern. Di pasar-pasar atau bahkan dalam

kegiatan politiknya orang lupa akan kebenaran spiritual, absolut, dan abadi. Dia hanya

mencari jalan yang paling mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup duniawinya.

Begitu mereka meninggalkan suatu keadaan dan memasuki keadaan lain, seperti

pertemuan keagamaan, di mana kebenaran sakral menggelantung di dalam angan-

4

Page 5: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

angannya, dia lupa sesuatu dan mulai berkhotbah dan mengajar penuh semangat

tentang bagaimana manusia harus berbuat untuk tujuan hidupnya di akhirat.

4. Gaya-Pikir Islam

Islam muncul dalam masyarakat sakral. Begitu Nabi Muhammad wafat, Islam

dengan cepat berkembang ke berbagai daerah dan kebudayaan, serta menjadi salah

satu kerajaan terbesar dalam sejarah.

Para sejarawan Islam biasanya membagi sejarah Imperium Islam ke dalam tiga

periode:

1) Periode para Khalifah Rasyidin (ortodoks), yang mengganti sesudah Nabi

Muhammad wafat dan memerintah selama lebih kurang 30 tahun.

2) Periode Dinasti Umayyah yang mengganti periode pertama dan memerintah

selama lebih kurang dari satu abad; dan

3) Periode Dinasti Abbasiah, yang mengganti periode kedua dan memerintah

hingga invasi tentara Mongol yang menyerang Baghdad (1258) dan

merupakan abad awal kemunduran Islam. Pembagian klasik sejarah Islam ini,

penting untuk dijadikan pedoman dalam menelusuri tingkatan-tingkatan yang

dilalui gaya pemikiran Islam dalam perkembangannya.

5. Pola-Pikir Ibn Khaldun

Ibn Khaldun benar-benar dapat dianggap Machiavelli versi Islam. Baik Ibn

Khaldun maupun Machiavelli membedakan dirinya dari sarjana-sarjana sezaman

mereka dengan menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-

benar realistis. Machiavelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibn

Khaldun menganggap keduanya sama-sama penting. Bagi Ibn Khaldun apa yang

harus terjadi sama sebenarnya dengan apa yang ada, namun keduanya harus

dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga

dari percampuradukkan oleh bidang lain.

Ibn Khaldun berbeda dari Machiavelli, dia tidak meremehkan makna sesuatu

yang ideal dan yang religius. Kenyatannya dia mengaku dirinya sebagai orang yang

sangat alim. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama

dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata. Ibn Khaldun menyerang pemikiran-

pemikiran idealis karena mereka melupakan masa kini dan mencurahkan perhatian

kepada masa lalu Nabi cocok dengan waktu dan tempat di mana Nabi kebetulan

5

Page 6: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

hidup. Dia juga dengan tegas menolak kedatangan seorang Mahdi. Karena itu Ibn

Khaldun dapat dianggap sebagai penulis pertama, dan barangkali yang terakhir, dalam

Islam yang menolak kedatangan Imam Mahdi.

Ibn Khaldun berpendapat bahwa pemerintah khalifah telah berakhir pada masa

Mu’awwiyah, saat pendiri Dinasti Umayyah itu naik tahta. Ibn Khaldun tidak dapat

menolak ini karena ada ucapan yang sangat terkenal dari Nabi yang maksudnya

bahwa khalifah akan segera berakhir hanya tiga puluh tahun sepeninggal Nabi, dan

kemudian suatu kerajaan yang tidak adil akan berlaku. Bagaimana pun, Ibn Khaldun

mengakui bahwa Mu’awiyyah lebih merupakan seorang raja dari pada khalifah, dan

tidak ada salahnya yang demikian itu.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa ‘assabiyah yang sama dapat bertambah

kuat atau lemah tergantung pada perubahan situasi. Banyak pemimpin kehilangan

‘assabiyah mereka sendiri setelah mereka menderita kekalahan berkali-kali; beberapa

pemimpin lainnya justru lebih kuat ‘assabiyah nya setelah kebetulan memperoleh

beberapa kemenangan atau karena nasib mujur secara tiba-tiba. Kehidupan

Muhammad sendiri merupakan suatu contoh yang baik. Pada mulanya dia berusaha

keras menanamkan prinsip-prinsip idealnya dengan sedikit hasil. Ketika akhirnya

beliau memenangkan perang Badar, di mana peristiwa tersebut merupakan suatu

keberuntungan belaka, dia secara pelan-pelan mengembangkan ‘assabiyah yang

sangat kuat di Arabia.

Ibn Khaldun kelihatannya melupakan kenyataan bahwa politik dapat menjadi

semacam pertaruhan antara dua kelompok yang bermusuhan untuk mengadakan

perhitungan atau pengukuran. Dalam karirnya sendiri dia mungkin menjadi saksi

terhadap sifat spekulasi politiknya. Tampak bahwa dengan mengkritik pemberontakan

Husain dia cenderung meremehkan pergerakan idealistik pada umumnya. Menurut

pendapatnya, kecenderungan idealistik tidak dapat diekspresikan dalam bidang sosial,

di mana semua kejadian tergantung kepada pola yang tidak terelakkan, tetapi lebih

baik tempatnya yang khusus tidak dinodai oleh pertimbangan-pertimbangan sekular.

Pandangan Ibn Khaldun menyangkut tatanan sosial dalam beberapa hal dapat

digunakan dengan beberapa hal dan beberapa pandangan para ahli ekonomi klasik.

Dia kelihatannya begitu percaya bahwa kebajikan, tangan-tangan gaib tangan Allah

sendiri membangun dan menuntun masyarakat. Allah adalah pencipta segala yang

baik dan yang buruk di dunia.

6

Page 7: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Suatu masalah penting yang sangat kontroversial pada masa Ibn Khaldun

adalah soal khalifah. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi pernah mengatakan bahwa

khalifah harus orang dari suku Quraisy. Pada masa Ibn Khaldun, tidak ada seorang

pun khalifah Quraisy di dalam Imperium Islam. Bagi Ibn Khaldun masalah tersebut

sebenarnya sangat sederhana. Berdasar perspektif yang relativistik-temporalistik-

materialistik. Dia menganggap bahwa khalifah tidak harus dari orang Quraisy untuk

setiap ruang dan waktu. Ketika Nabi menegaskan bahwa khalifah harus dari suku

Quraisy dia tidak bermaksud bahwa orang Quraisy mempunyai karakterisitik spiritual

tertentu yang tidak dipunyai oleh suku-suku lainnya. Alasan sabda Nabi tersebut,

menurut Ibn Khaldun adalah fakta, bahwa orang Quraisy merupkan suku terkuat di

Jazirah Arab pada masa Nabi. Dengan demikian mereka mempunyai ‘assabiyah

sangat kuat.

Di dalam Muqaddimah Ibn Khaldun, kita dapatkan contoh-contoh lain yang

menunjukkan pemikirannya yang realistis. Hal ini tidak mesti menyesatkan kita untuk

berpikir bahwa gaya-pikir Ibn Khaldun benar-benar sekular dan realistik. Begitu

membahas masalah-masalah keagamaan secara murni, dia meloncat dari sikapnya

yang materialistik ke yang spiritualistik, dari rasionalisme ke mistisisme.

BAB III

KEKUATAN VERSUS KEBENARAN

1. Kekuatan dan Kebenaran

Istilah kekuatan dan kebenaran digunakan di sini menurut pengertian sosial

dan bersifat relatif, yaitu yang telah disepakati oleh para anggota masyarakat. Apa

yang dianggap benar oleh suatu masyarakat belum tentu benar menurut masyarkat

lain. Kriteria dari kekuatan atau kekuasaan dapat pula berubah dengan berubahnya

system nilai.

Pertentangan klasik antara kekuatan vs kebenaran, politik vs agama, realisme

vs idealisme tidak begitu terasa dalam masyarakat sakral. Dalam masyarakat

semacam ini tidak terdapat kesenjangan antara apa yang disebut kekuatan dan

kebenaran. Mereka dapat menghasilkan sistem nilai-nilai baru sebagai reaksi terhadap

sistem nilai-nilai yang dominan. Kemudian timbullah jurang pemisah antara kekuatan

dan kebenaran, sehingga berkembang dua sistem nilai yang saling terpisah, yang satu

dipelopori oleh agamawan dan kebenaran.

7

Page 8: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

2. Harapan Millenial

Dalam pembahasan sebelumnya kita telah melihat bagaimana di dalam

masyarakat sakral, penguasa adalah pemangku tradisi, simbol agama dan pemilik

mana yang kuat. Munculnya peradaban dan Negara pada zaman kuno menyebabkan

timbulnya jarak antara kekuatan dan kebenaran. Pertentangan antara “candi” dan

“istana” yang dilukiskan oleh H.G. Wells dalam pembahasannya tentang peradaban

Sumeria dapat dijumpai dalam berbagai bentuk di mana pun peradaban atau

masyarakat sekular muncul. Negara lebih memerlukan seorang Hammurabi

ketimbang seorang Patesi. Negara lebih membutuhkan perundang-undangan yang

tertulis ketimbang sekadar sistem kehidupan pedesaan dan adat istiadat lokal. Raja

sekular yang didukung oleh prajurit yang berdisiplin dan pegawai yang patuh, mereka

menjadi bagian (pilar) sangat penting dari sebuah Negara baru.

Machiver dan Page menunjukkan bahwa salah satu perbedaan antara

“kebudayaan” dan “peradaban” ialah bahwa nilai-nilai kebudayaan berangkat dan

berakhir pada saat yang bersamaan.

Satu-satunya penyelesaian yang terbuka bagi mereka dalam situasi yang kritis

tersebut tampaknya terletak pada apa yang disebut “harapan ratu adil”. Untuk

mendamaikan cita-cita lama dengan kenyataan yang ada mereka tidak mempunyai

pilihan kecuali berusaha membuat doktrin harapan masa depan, atau apa yang disebut

Sorel “mitos sosial”. Jadi mereka mulai mengharapkan bahwa meskipun kekuatan dan

kebenaran terpisah, keduanya akan menyatu kembali di masa mendatang.

Adalah menarik bagi kita menelaah perkembangan harapan ratu adil, dengan

berbagai bentuknya dalam peradaban kuno. Setiap peradaban mempunyai konsep

tersendiri mengenai fluktuasi dunia secara siklus diandaikan menjadi jelek dan

kemudian baik kembali. Misalnya, dialektika Hegelian bukanlah asli pemikiran

Hegel, karena ia dapat dijumpai di mana-mana dalam masyarakat kuno dalam

berbagai bentuknya. Perlu diingat bahwa baik dialektika sosial maupun harapan ratu

adil menghendaki terjadinya penyatuan kembali antara kekuatan dan kebenaran

setelah keduanya terpisahkan.

Ketika para agamawan, sebagaimana lazimnya dalam masyarakat sakral,

mulai membuka mata kelas bawah tentang penindasan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh para penguasa, serempak mereka bangkit melawan “istana” dan

mengharap agar ketiakadilan sosial akhirnya akan digantikan oleh dewata ketika

8

Page 9: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

“yang terkahir menjadi yang pertama”, “candi” (agama) menjadi pusat harapan

millenial.

3. Kekuatan versus Kebenaran dalam Islam

Islam adalah fenomena religio-politik. Sang pembawa Muhammad pada saat-

saat terakhir adalah seorang pemimpin sakral serta pemimpin sekular bagi umat

Muslim.

Mereka barangkali telah diajarkan sejak kanak-kanak bahwa Yesus menolak

“mahkota” yang ditawarkan kepadanya, sehingga mereka cenderung menganggap

Nabi Muhammad sebagai “penipu yang keji” hanya karena dia telah menerima

mahkota itu. Mereka mengabaikan perbedaan radikal antara masyarakat Yesus dengan

masyarakat Muhammad. Yesus hidup dalam masyarakat sekular, di mana jurang

pemisah antara kekuatan dan kebenaran demikian lebar, sementara Nabi Muhammad

hidup dalam masyarakat nomad di mana asosiasi kesukuan sakral begitu kuat.

Yesus tidak pernah menjadi seorang pemimpin sekular yang berhasil, karena

jurang pemisah antara politik dan agama, antara apa yang harus ada dengan apa yang

ada, sangat lebar di dalam masyarakatnya sehingga tidak seorang pun di dunia ini

mampu mendamaikannya. Di Arabia sebaliknya, masyarakat masih dan terus bertahan

pada tipe masyarakat sakral dengan dasar integrasi kesukuan yang mapan di mana

syekh nya yang jujur melayani kepentingan masyarakatnya. Muhammad berusaha

menjadi Nabi seperti Yesus, yang membatasi diri pada karir suci semata-mata, selama

kurang lebih tiga belas tahun.

Muhammad gagal karena orang-orang nomad Arabia tidak dapat memahami

kebenaran tanpa didukung kekuatan. Sebagian besar pengikutnya pemeluk Islam awal

terdiri dari budak-budak dan masyarakat kelas bawah yang hidup di kota.

Begitu sesudah Hijrah Muhammad berubah menjadi pemimpin sekular dan

panglima perang yang berhasil, suku-suku nomad Arabia berbalik mendukungnya.

Mereka mulai menganggapnya sebagai seorang rasul suci utusan Allah.

“Kemenangannya sendiri”, kata Hitti, “dianggap sebagai sanksi ilahiah kepercayaan

baru”. Ketika Muhammad masuk Mekah sebagai penakluk, pemimpin lawannya Abu

Sufyan yang menyatakan diri masuk Islam, mengatakan, “Muhammad, kalaulah

berhala-berhala kami benar-benar tuhan, maka mereka pasti melindungi kami

darimu.”

9

Page 10: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Ketika Nabi Muhammad wafat, kaum muslimin segera memilih penggantinya.

Mereka menunjuk Abu Bakar, salah seorang sahabat Nabi yang sangat setia.

Pemilihan itu sangat menimbulkan penolakan dan gangguan, tetapi tidak berkembang

menjadi pertentangan yang serius. Setelah Abu Bakar wafat, hampir seluruh kaum

muslimin menunjuk Umar ibn Al-Khattab sebagai penggantinya. Proses pergantian ini

tidak mengalami kekacauan sama sekali karena masyarakat Muslim pada saat itu

masih tetap berpegang kepada adat istiadat lama dan belum beranjak dari cara hidup

masyarakat sakral ke pola sekular. Jurang pemisah antara kelas bawah dengan kelas

atas belum berkembang. Berapa pun besar integritas dan kebijaksanannya, khalifah

kedua Umar melakukan sesuatu yang dalam beberapa hal menyebabkan

berkembangnya jurang pemisah itu. Dia mulai membagikan harta rampasan yang di

dapat dari Negara taklukan, tidak sama rata sebagaimana dilakukan para

pendahulunya, tetapi membagi-baginya kepada masing-masing prajurit menurut

ketaatan dan pengabdiannya terhadap Islam.

Sangat disayangkan, khalifah ketiga Ustman adalah orang yang lemah dan

lebih mengutamakan orang-orang terdekatnya dalam membagikan harta rampasan dan

menentukan pejabat-pejabat Negara. Ustman melakukan atau harus melakukan

nepotisme yang ekstrim dengan menyetujui orang-orang yang dipandang oleh para

tokoh Muslim saleh sebagai “orang-orang fasik”.

Akibatnya, terbentuklah dua kubu yang saling terpisah. Satu kubu dipimpin

oleh Ali dan beberapa pengikut setia Nabi lainnya, dan kubu lainnya dipimpin oleh

Bani Umayyah, kerabat keturunan khalifah Ustman (yang kebetulan pernah

memimpin kaum pemberontak Mekkah melawan Nabi Muhammad dan yang baru

memeluk Islam setelah Mekkah ditaklukkan). Selama Dinasti Umayyah yang

didirikan oleh Mu’awiyah, perbedaan apa yang disebut Wells istana dan candi sangat

jelas. Nama Ali pada saat itu menjadi tolok ukur bagi kubu “kebenaran”, sementara

kubu “kekuatan” berada pada pihak Bani Umayyah.

Ketika Bani Umayyah mengalahkan Ali dan mendirikan dinasti orang-orang

Arab memandang ini sebagai isyarat yang jelas bahwa kebenaran memihak ke Bani

Umayyah. Hal ini akan lebih dapat dipahami bila kita ingat bahwa Bani Umayyah

lebih menghormati cara hidup dan adat istiadat suku nomad ketimbang

penghormatannya terhadap ajaran Islam.

Sebagai reaksi terhadap politik diskriminasi ini, orang-orang Islam non-Arab

terpaksa uzlah mempelajari Hadis Muhammad dan khalifah Rasyidinnya. Masjid-

10

Page 11: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

masjid kemudian menjadi sekolah tempat mempelajari “ilmu pengetahuan” Islam

yang baru muncul itu, dan banyak “ilmuwan” sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun

adalah non-Arab.

4. Harapan Millenial dalam Islam

Dalam Islam, harapan Ratu adil tetap ada dan biasanya berkembang dengan

nama Mahdiisme. Tampaknya alami jika orang Islam megharapkan kedatangan Imam

Mahdi, apalagi mereka sering merasakan kesenjangan yang lebar antara prinsip ideal

Muhammad dan kenyataan actual dari kehidupan politik keadaan mereka.

Para sarjana Islam modern percaya bahwa gagasan tentang Imam Mahdi,

berkembang semasa pemerintahan Bani Umayyah berkat pengaruh ajaran masianisme

Yahudi dan Kristen, kemudian dikaitkan dengan hadis (dari Muhammad).

Nabi Muhammad membikin kata Mahdi seakan-akan padanan bahasa Arab

bagi istilah Yahudi Messiah. Keduanya hampir mempunyai arti yang sama; kalau

Messiah berarti orang yang diberi upacara perminyakan suci; Mahdi berarti “yang

dituntun Tuhan”. Fakta bahwa dia akan menjadi “orang yang dituntun Tuhan”, atau

“yang diminyaki” menurut istilah Yahudi, maka benarlah bahwa baginya kekuatan

dan kebenaran pasti akan bisa dipersatukan kembali.

Hadis Nabi Muhammad sering menyebut datangnya Yesus bersamaan dengan

munculnya Imam Mahdi. Menurut hadis itu, kedua utusan tersebut secara bersama-

sama menentang para anti Kristus, atau al-Masih al-Dajjal seperti biasa disebutkan.

Mahdiisme ini secara berangsur telah kehilangan pengaruhnya bagi kalangan

Islam sesudah memperoleh kemenangan gemilang dan dapat membangun kerajaan

yang kuat. Harapan terdahulu mulai meluntur sebagai akibat munculnya kekuatan

baru dalam Islam. Sejak periode Khalifah Rasyidin, kekuatan dan kebenaran berjalan

seiring. Kemudian Mahdi tidak ditunggu-tunggu lagi; kaum Muslimin mengganti

gagasan tentang masa depan dengan hari akhir. Bahkan ketika “Mu’awiyah

mengalahkan Ali dan menempatkan dinasti Umayyah yang tidak ortodoks pada

singgasana kekhalifahan yang “tidak lazim”, tidak ada Mahdi yang tampak. Kaum

muslimin yang saleh masih yakin bahwa pemerintahan yang baik cepat atau lambat

akan dikembalikan.

Seperti dituturkan sejarah, Imam Mahdi pertama dalam Islam muncul setelah

terjadi pembunuhan atas Husain, cucu Nabi Muhammad, yang dilakukan oleh seorang

serdadu Umayyah. Mahdi itu Ibn Al-Hanafiyah, saudara seketurunan Husain,

11

Page 12: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

meskipun dia sendiri sebenarnya tidak ingin disebut Mahdi. Beberapa Muslim

barangkali sangat terpukul oleh pembunuhan atas Husain sehingga mereka tidak dapat

menahan diri untuk menumbuhkan kembali hadis tentang Mahdi yang telah lama

dilupakan.

Memang benar, kaum Syi’ah adalah kelompok pertama yang benar-benar

mempercayai Mahdi, karena merekalah kelompok pertama dalam Islam yang

merasakan penderitaan ketidakadilan di bawah pemerintahan khalifah Umayyah.

Khalifah Umayyah menggunakan berbagai cara untuk menekan orang-orang Syi’ah

dan mencela nama Ali yang dianggap bibit ajaran Syi’ah. Kemudian kaum sufi

menyerang Mahdiisme. Sufisme sendiri adalah semacam mistisisme yang berkembang

dalam Islam sebagai kult dan Syiisme sebagai “sekte” dalam Islam.

Namun, ada perbedaan penting antara Mahdinya kaum syi’ah dan Mahdinya

kaum sufi, serta rasukannya ke seluruh tubuh Islam. Kaum Syi’ah percaya bahwa

Mahdi itu seorang tokoh historis yang hidup pada masa lampau kemudian menghilang

dan menyendiri ke suatu tempat tak diketahui seorang pun, dan sedang menunggu

perintah dari Allah untuk muncul kembali dan “mengisi dunia ini dengan keadilan

setelah dipenuhi kezaliman.” Kaum sufi lain lagi percaya bahwa Mahdi itu manusia

biasa, yang akan dilahirkan pada suatu waktu di masa mendatang, dan setelah dewasa

dia akan muncul untuk mengemban missinya membebaskan masyarakat.

5. Ibn Khaldun dan Mahdiisme

Ibn Khaldun lahir ketika masyarakat Muslim berada dalam keadaan sangat

kritis. Kaum muslimin terkepung dan diserang dari tiga jurusan pada saat yang hampir

bersamaan. Bangsa Mongol menyerang dari Timur, tentara Salib dari Utara, dan

orang-orang Spanyol dari Barat. Kaum muslimin sudah putus asa mempertahankan

daerahnya dan mengherankan apa yang menyebabkan semua gangguan maut ini.

Sejarah menjelaskan kepada kita bahwa pada masa Ibn Khaldun pengaruh

kaum sufi demikian kuatnya di Afrika Utara. Banyak sekali orang saat itu mengaku

sebagai Mahdi. Sebagian besar Mahdi-Mahdi tersebut gagal mengemban missinya

dan membiarkan kegelisahan serta kebencian sosial timbul di mana-mana. Sebagian

besar pelajar Ibn Khaldun sependapat bahwa dia dipengaruhi oleh doktrin kaum sufi.

Enan yakin bahwa Ibn Khaldun mempunyai kecenderungan sufi yang kuat.

12

Page 13: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Kalau kami boleh membandingkan dialektika kaum sufi dengan dialektika

Hegel, maka Ibn Khaldun lebih mirip dengan Marx, Ibn Khaldun meyakini bahwa

masyarakat, sebagaimana juga alam, diatur oleh proses dialektis. Tetapi tampaknya

dia melihat dalam dialektika kaum sufi terlalu banyak unsur spiritual atau idealisme

untuk diterapkan dalam proses sosial yang nyata.

Pendorong utama di balik dialektika sosial Ibn Khaldun adalah ‘assabiyah.

‘Assabiyah memainkan peranan yang sama seperi kehendak Allah bagi kaum sufi. Ini

tidak berarti Ibn Khaldun menolak keterlibatan Allah dalam proses sosial. Ternyata,

sebagai muslim yang saleh dia sangat mempercayai bahwa kehendak Allah berada di

balik fenomena alam dan fenomena sosial; tetapi Allah tidak layak melakukan sesuatu

yang kontradiktif dengan hokum alam yang telah diciptakan-Nya itu. Bahkan para

Nabi, yang berhak membuat mukjizat dalam menghadapi hokum sebab-akibat, namun

gerakan mereka dalam lapangan sosial mesti sesuai dengan aspirasi dari ‘assabiyah

atau proteksi dari kelompok mereka.

Ibn Khaldun dianggap sebagai penulis pertama dalam Islam yang secara

terang-terangan menolak kedatangan Mahdi. Dia khususnya membantah apa yang

disebutnya Mahdi Fatimi yaitu keturunan Ali dan Fatimah. Dia tampaknya sangat

tidak menyukai keluarga Ali secara umum, barangkali karena mereka cenderung

bercirikan idealisme yang kuat untuk waktu yang lama dalam permulaan sejarah

Islam. Ibn Khaldun percaya bahwa keluarga Ali takkan dapat melahirkan Mahdi di

masa mendatang karena mereka tidak mempunyai kekuatan sosial yang kuat untuk

mendukungnya saat muncul.

Kemudian Ibn Khaldun melihat tiadanya pertentangan alamiah antara

kekuatan dan kebenaran; lembaga ‘assabiyah dengan sukses menggabung kedua-

duanya. Namun Ibn Khaldun, sebagaimana Pigars, mengklasifikasi raja ke dalam

pemimpin dan penguasa, dan manakala kekuatan dan kebenaran menyatu pada diri

seorang pemimpin dia kemungkinan besar punya watak kepemimpinan lebih dari

sekadar penguasa. Ternyata, ‘assabiyah tidak memperoleh tempat bila kekuasaan

memegang peranan. Ibn Khaldun dengan jelas menunjukkan dalam Muqaddimahnya

bahwa begitu kekuasaan mulai mengganti kepemimpinan di sebuah dinasti,

‘assabiyah setahap demi setahap kehilangan kekuatan dan jalinan kekuatannya dan

akhirnya mau tidak mau akan mati.

13

Page 14: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

BAB IV

AGAMA DAN RASIONALISME

1. Agama dan Akal

Sejak awal sejarah tercatat, manusia telah menyaksikan antagonisme antara

agama dan berpikir bebas. Seringkali disebut sangat sulit, bahkan barangkali mustahil,

bagi seseorang untuk taat pada satu dogma keagamaan tertentu dan pada saat yang

sama menjadi seorang pemikir bebas atau rasionalis. Menurut Benn, rasionalisme

adalah kritik musuh dogma teologis, kebiasaan mental menggunakan akal untuk

menghancurkan keyakinan keagamaan.

14

Page 15: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Sebuah kesalahan umum para pelajar agama adalah, mereka mencoba

mendefinisikan esensi semua tipe agama menurut suatu kerangka referensi. Sebagai

contoh, Durkheim membuktikan bahwa sumber agama adalah masyarakat sendiri;

tidak ada konsep keagamaan, yang ada hanyalah simbol karakteristik masyarakat itu,

dan substansi fungsi sosial agama termaktub dalam proses kreasi, penguatan, dan

pelestarian solidaritas sosial masyarakat itu. Durkheim memfokuskan diri pada agama

masyarakat sakral. Dia mengabaikan fakta bahwa agama yang hidup dalam

masyarakat sekular mempunyai fungsi dan arti berbeda.

Agama dalam dunia sekular, apapun orientasi idealistiknya, tidak akan dapat

bertahan lama tanpa berkompromi. Karena itu cepat atau lambat agama

terlembagakan, tujuan yang mengentalkan masyarakat pada dasar status quo bukan

mengembangkan relasi sosial antara penindas dan kaum tertindas. Kini tidak ada lagi

agama kelas seperti dahulu.

Sebagaimana dikemukakan Max Weber, kelompok keagamaan masuk ke

arena perjuangan itu demi kekuasaan seperti kelompok sekular lainnya. Dalam protes

terhadap sekularisasi agama, sekte muncul sebagai agama idealistis baru di antara

kelas bawah, memperuncing “dilemma gereja”. Sejarah agama dalam masyarakat

sekular menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk membicarakan lingkaran

dialektis. Setiap agama baru, yang pada mulanya berorientasi pada ideal-ideal yang

luhur, akhirnya cenderung menjadi sekular serta melembaga dan perlahan-lahan

kehilangan idealismenya.

Antagonisme antara agama dan akal tidak dapat dianggap alami, tidak pula

absolut. Hal ini dapat dianggap hasil sekularisasi dari “gereja” dan “sekte”. Para

ulama gereja, sebagaimana kelas atas yang mendukungnya, menginginkan

pengikutnya taat secara buta pada ajaran-ajaran gereja yang telah terlembaga.

Maka akal tidaklah bertentangan dengan semua bentuk agama. Biasanya akal

tidak cocok dengan apa yang disebut “agama kelompok”, yaitu tipe agama yang

bersatu dengan solidaritas sosial dan integrasi moral seluruh lapisan masyarakat. Di

sini antagonisme tidaklah antara akal dan agama sedemikian rupa, tetapi antara

pemikiran bebas dengan integrasi sosial.

2. Islam dan Akal

Kita telah mencatat sebelumnya bahwa Muhammad tidaklah muncul dalam

masyarakat pengembara. Dalam masyarakat tersebut tidak mungkin muncul seorang

15

Page 16: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Nabi. Sebagaimana dijelaskan oleh Margoliouth, “tata komunitas yang terbaik adalah

yang kecil kesempatan ada Nabinya.” Muhammad muncul di kota Mekkah ketika

proses sekularisasi berkembang pesat. Mekkah merupakan pusat perdagangan dan

praktek riba dan tempat menyelesaikan urusan dagang. Jurang pemisah yang lebar

timbul antara kelas atas dan kelas bawah. Suku Quraisy yang merupakan kelompok

aristokrat di kota tersebut juga melindungi Ka’bah, pusat penunaian ibadah haji di

Arabia.

Menurut ucapan Muhammad sendiri (hadis), dia dikenal mempunyai dorongan

berpikir sendiri dan penggunaan akal bebas. Dia pernah menyatakan agama adalah

akal, tidaklah beragama orang yang berakal. Keagamaan seseorang tidaklah sempurna

kecuali kemampuan berpikirnya sempurna.

Dalam periode Mekkah, Muhammad kebanyakan mengarah kepada kelas

tertindas di kota. Oleh karena itu beberapa bukti yang didasarkan indikasi kekuasaan

dan kebenaran dianggap tidak rasional dan tidak legal, karena alasan sederhana bahwa

hal itu bertentangan dengan peristiwa-peristiwa actual waktu itu. Setelah hijrah

(kepergian Muhammad ke Madinah) bukti-bukti tidak logis selama periode Mekkah

menjadi logis (dalam hubungan-hubungannya dengan anggota suku pengembara di

Arabia).

Dari pandangan ini, dapat dengan jelas dipahami sikap tegas Muhammad

melawan institusionalisasi kaku atas upacara dan pemujaan keagamaan. Beliau

melihat ritus agama tidak merupakan kewajiban formal yang harus dibentuk untuk

keperluan tersebut, tetapi lebih merupakan perwujudan ketundukan yang hidup atas

kepercayaan kepada Allah. Beliau berulangkali menegaskan bahwa do’a dan berbagai

bentuk ritus lainnya dimaksudkan untuk mengingatkan para alim ulama akan

tanggung jawab moral dan sosial mereka.

a. Hukum Identitas

Menurut hukum ini, “segala sesuatu mempunyai karakter tertentu yang ia

tetap bertahan lebih atau kurang”. Ini menunjukkan tidak berartinya waktu.

Apabila sesuatu itu bagus, maka akan bagus untuk selamanya. Dari sudut

pandangan sosial, pandangan eternalistik ini agak menguntungkan.

b. Hukum Kontradiksi

16

Page 17: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Sesuatu tidak dapat mempunyai dan tidak mempunyai sifat tertentu.

Hukum ini jelas-jelas memusuhi pemikiran yang relativistik. Ini merupakan suatu

keuntungan sosial bagi masyarakat sakral, di mana formulasi relativistik tentang

kebaikan bahkan tidak dapat dipahami.

c. Hukum Penolak Penengah

Hukum menunjukkan adanya orientasi spiritualistik dari logika

Aristoteles; sesuatu itu mungkin baik atau buruk. Sebagaimana diajarkan oleh

Yesus, beserta kami atau memusuhi kami. Tidak ada penengah antara kebaikan

dan kemungkaran. Ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan modern, baik ilmu

kealaman maupun ilmu sosial, gaya piker bivalen ini belum dianggap absah.

Pertentangan teoritis antara kaum tradisionis dan kaum Mu’tazilah ini

mengangkat dan masuk ke bidang politik. Memuncak ketika al-Ma’mun, yang

terkenal dengan kecenderungan rasionalistiknya, menaiki tahta khalifah.

Memang sulit untuk menjumpai pendukung pemikiran bebas dan

rasionalisme yang memaksakan kepercayaan mereka terhadap partai-partai

oposan. Ini barangkali dianggap semacam pengakuan tidak langsung dari pihak

Mu’tazilah bahwa aturan logika tidak seluruhnya benar atau meyakinkan.

Akhirnya kaum tradisionis memenangkan peperangan tersebut. Pada tahun

232 H. pada masa pemerintahan al-Mutawakkil, diputuskan untuk memerangi

kaum Mu’tazilah, yang ketika mereka berkuasa dahulu, kaum tradisionis

diperiksa, diperlakukan dengan kejam dan ditindas. Meskipun kenyataannya al-

Mutawakkil seorang khalifah yang paling tidak adil dan kejam, kaum tradisionis

menganggapnya satu di antara khalifah terbesar yang menghidupkan kembali

ajaran Islam asli. Namun kemenangan kaum tradisionis tersebut sangat penting

dalam perkembangan pemikiran Islam.

3. Ibn Khaldun dan Logika Realistiknya

Kami percaya bahwa Ibn Khaldun dapat ditempatkan sebagai pengikut al-

Ghazali dan juga pengikut Ibn Rasyid sekaligus. Dia mengambil dari al-Ghazali

17

Page 18: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

permusuhannya terhadap logika Aristoteles, dan pada saat yang sama mengambil

sikap-sikap baik Ibn Rasyid terhadap massa.

Ini barangkali merupakan titik tolak dari teori Ibn Khaldun. Dalam karyanya

Muqaddimah Ibn Khaldun terutama bermaksud membangun bentuk logika yang

realistis sebagai pengganti logika lama yang idealistik.

Ibn Khaldun dengan tegas membedakan antara Islam dan agama-agama lain.

Islam berbeda karena institusi jihadnya (perang suci), yang dengan tegas

memerintahkan pengikutnya agar memaklumkan perang terhadap masyarakat lain,

menyerang mereka dan membuat mereka memeluk agama Allah. Bagi Ibn Khaldun,

semua agama lain dimaksudkan agar dipraktekan di dalam komunitasnya sendiri;

bukan supaya dianut oleh komunitas lain. Karena itu Islam mendirikan institusi

khalifah yang khas, yang dengannya perang dan urusan politik dapat diatur untuk

kemajuan masyarakat Islam.

Logika Ibn Khaldun digunakan oleh khalayak ramai atau mayoritas manusia,

sedangkan logika Aristoteles digunakan oleh kelompok kecil. Menurut doktrin ijma’,

Allah senantiasa berpihak kepada yang mayoritas. Di antara kedua sistem berpikir

yang saling bertentangan, logika lama atau logika baru Ibn Khaldun, mana yang lebih

dekat agama? Bagi para pemikir yang menganut moralitas agama, logika idealistik

Aristoteles tentu lebih unggul, tetapi bagi mereka yang menganut agama yang

formalistis akan menganggap logika realistik Ibn Khaldun satu-satunya cara berpikir

yang benar.

BAB V

ISLAM VERSUS NOMADISME

1. Islam dan Bangsa Arab

Beberapa sarjana Islam sependapat dengan Goldziher yang mengatakan bahwa

semangat Islam berjalan bertentangan dengan pola kebudayaan kaum nomad Arab. Di

sini dikutipkan Nicholson:Ajaran Islam secara langsung menentang ideal-ideal dan tradisi-tradisi penyembahan berhala,

dan seperti dikatakan Goldziher, keasliannya terletak bukan pada doktrinnya, sebagaimana

18

Page 19: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

ajaran Yahudi dan Kristen, tetapi fakta bahwa rupanya Muhammad yang pertama sekali

menegakkan doktrin ini dengan gigih menentang pandangan hidup bangsa Arab.

Islam menekankan bahwa umat Islam harus memperlakukan orang lain seperti

saudaranya. Dalam suatu hadisnya Nabi Muhammad menyatakan bahwa “manusia

adalah keluarga Allah, dan manusia yang paling dicintai Allah adalah mereka yang

paling suka menolong keluarga-Nya.” Nabi-nabi Yahudi yang sangat dikagumi oleh

Muhammad, dengan penuh semangat mengkritik disintegrasi moral dan sekularisasi

spesial peradaban kuno.

Menurut Muir, Islam tidak dimaksudkan untuk menjadi agama universal,

karena dunia Muhammad adalah Arabia dan untuk orang-orang Arablah Islam

diturunkan. “Dari awal hingga akhir dakwah ditujukan terutama kepada bangsa Arab

dan hanya bagi mereka saja.”

2. Asabiyah Dalam Islam

Untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam, Muhammad berusaha

menekankan semangat kesukuan sempit kaum nomad dan menggantinya dengan

semangat keagamaan. Beberapa orang Arab dengan terang-terangan mengatakan

bahwa “Nabi palsu dari suku kami lebih baik ketimbang Nabi sebenarnya dari suku

Quraisy”. Semangat kesukuan, sebagaimana telah disebutkan merupakan satu factor

utama yang mendasari pemberontakan kaum nomad terhadap peraturan Islam.

Kendali pemerintahan Islam setelah wafatnya Nabi berada di tangan orang

berpandangan jauh, Umar Ibn al-Khattab yang tampak sangat cakap untuk menembus

sifat dasar orang-orang Arab.

Pada umumnya, para sejarawan muslim cenderung menganggap kematian

Umar (dibunuh oleh seorang Persia ketika sedang shalat di masjid besar Madinah, 644

M) satu di antara malapetaka terbesar dalam Islam. “Keberuntungan Islam telah

dibungkus dengan kain kafan Umar, kata mereka.” Para sejarawan sependapat,

sebagian besar huru-hara dan kegelisahan sosial yang terjadi pada pemerintah Usman

tidak akan terjadi seandainya Umar hidup lebih lama.

Ustman mempraktekkan nepotisme. Kaum kerabatnya, yang terdiri dari

keluarga terkemuka suku Quraisy, diangkat menjadi pejabat-pejabat penting di dalam

pemerintahan yang baru saja berdiri dan hidup di daerah yang subur.

19

Page 20: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini, pertarungan antara Ali dan

Mu’awiyah dianggap oleh beberapa muslim ortodoks sebagai contoh konflik abadi

antara kekuasaan dan kebenaran, yang ideal dan yang real, politik dan agama. Banyak

sejarawan percaya bahwa sebab utama kegagalan Ali melawan Mu’awiyah karena Ali

gagal memperhatikan semangat kesukuan (‘asabiyah). Dia mengurus semua orang

secara sama sesuai semangat Islam yang murni. Ali tidak menganggap orang Arab

lebih baik dari orang non-Arab, dan dia tidak membujuk para kepala dan pemimpin

suku. Sebaliknya, Mu’awiyah mendasarkan segala keputusannya atas kemaslahatan

semangat kesukuan.

Setelah berdirinya dinasti Umayyah, kaum Khawarij secara pelan-pelan mulai

menarik diri dari Irak, dan bergerak menuju padang pasir, tempat kediaman yang asli,

di mana mereka lebih leluasa mempertahankan nilai-nilai agama.

Hingga batas tertentu, Bani Umayyah menganggap perlunya memulai lagi

peperangan melawan dunia luar. Yang paling penting menaklukkan orang-orang

asing, untuk melanjutkan apa yang telah dicapai Umar selama pemerintahannya.

Prajurit-prajurit Arab menjangkau perbatasan Cina sebelah Timur dan menembus

Prancis di sebelah Barat. Sebagai akibat terjadinya kontak dengan berbagai

masyarakat, dua corak semangat mulai berkembang: pertama, semangat yang

membedakan antara Arab Utara dan Arab Selatan, dan kedua semangat gabungan

seluruh Arab melawan non-Arab. Bani Umayyah sementara berpihak kepada orang-

orang Arab melawan non-Arab.

3. Sifat Dasar Islam

Sebagai akibat dari jatuhnya dinasti Umayyah, Islam mulai diberi bentuk baru

oleh sebagian besar pemeluk non-Arab; Islam mulai menghilangkan nilai-nilai

nomadisme. Secara umum para ahli hadis menerima hadis-hadis secara benar dan

jujur di satu segi dan berdasar keterlibatan mereka di dalam kelompok-kelompok

bid’ah tertentu atau partai yang tidak populer di segi lain.

Kita dapat memahami, bagaimana sifat dasar Islam akhirnya diwarnai oleh

nilai-nilai peradaban. Kita dapat menjumpai dalam Islam, bahkan pada saat itu,

beberapa aspek yang bertentangan dengan kecenderungan dasariah dan nomadisme.

20

Page 21: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

1. Ketika orang nomad begitu phobinya terhadap masalah intelektual, terdapat

kecenderungan yang kuat dalam Islam terhadap pengetahuan ilmiah yang

semacamnya.

2. Masyarakat nomad memandang hina profesi-profesi dan merendahkan orang-

orang yang bergantung hidup kepada mata pencaharian dan bisnis karena

menurut mereka, orang-orang ini lemah dan ditundukkan oleh yang lain, dan

itulah yang justru hendak diperangi dan dienyahkan oleh kaum nomad.

Ternyata, Umar mengambil sejumlah ukuran positif yang dengan jelas

menunjukkan kebijaksanaannya untuk lebih mengarahkan Islam menuju semangat

politik-militan ketimbang menuju ketaatan damai.

1. Mengubah azan yang tradisional. Azan, sebelum Umar, berisi kalimat-kalimat

yang mengingatkan umat Islam bahwa shalat merupakan kegiatan keagamaan

yang terbaik.

2. Melarang orang-orang Arab melakukan kegiatan pertanian. Umar bahkan

mencegah mereka hidup di kota dan berbaur dengan penduduk kota.

3. Menyusun tentara Islam berdasarkan garis kesukuan. Umar juga

memperingatkan mereka agar tidak mengambil dan menyerap adat-istiadat

orang-orang asing.

4. Mengangkat mereka yang disebut oleh Ibn Khaldun pemegang ‘asabiyah

menjadi pejabat pemerintahan dan militer.

4. Ibn Khaldun tentang Nomadisme dan Peradaban

Ibn Khaldun seorang Arab, dan sangat mengagumi bangsa Arab. Dia bukan

shu’ubite seperti kata Amin, dan bukan pula dari suku Barbar seperti dikatakan oleh

Enan.

Beberapa penulis sebelum Ibn Khaldun telah berusaha membela orang-orang

Arab namun gagal, barangkali karena mereka mempergunakan konsep

berargumentasi yang sama dengan yang digunakan oleh lawan mereka. Ibn Khaldun

sangat hati-hati dengan masalah ini. Pertama sekali dia membuktikan bahwa

kebohongan boleh jadi tidak disengaja; seorang jujur dapat saja bohong tanpa dia

sadari. Berbohong itu alami dan wajar; dan itu karena beberapa penyebabnya yang

tidak bisa dihindari:

1. Bias dan pemihakan terhadap mazhab atau aliran pemikiran tertentu.

21

Page 22: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

2. Terlalu percaya kepada para penyiar dusta.

3. Tidak memahami maksud informasi.

4. Kecenderungan untuk percaya.

5. Ketidaktahuan bagaimana kondisi sesuai dengan realitas.

6. Sanjungan dan penghargaan yang berlebihan.

7. Tidak mengetahui waktu kondisi yang muncul dalam suatu peradaban.

Kecenderungan Ibn Khaldun untuk membela kepentingan masyarakat nomad

ini akan lebih jelas bila dimati dari karyanya:

1. Ibn Khaldun tampaknya mengistimewakan nomadisme berdasarkan nilai-nilai

dirinya (mengenai sifat manusia).

2. Alasan lain mengapa Ibn Khaldun lebih memihak nomadisme terletak pada

kenyataan bahwa ketimbang yang lainnya, kaum nomad lebuh cakap

berperang dan menaklukan masyarakat lain, manusia secara alamiah

cenderung berhasrat menguasai manusia lain.

3. Ibn Khaldun juga mencatat bahwa digunakannya kekuasaan untuk maksud

kontrol sosial membuat manusia sangat mungkin tidak jujur dan dusta.

4. Ibn Khaldun mencatat bahwa peardaban biasanya bersekutu dengan hasrat

kemeawahan.

5. Adanya perdagangan dan kerajinan tangan dalam peradaban menuntut adanya

kelihaian dan tipu daya.

6. Kaum nomad mudah menyesuaikan diri dengan disiplin keagamaan dan

asketisme.

5. Faktor Personal di Balik Teori Ibn Khaldun

Beberapa sarjana modern yang mempelajari Ibn Khaldun cenderung

menginterpretasikan teorinya yang tampak pada mereka saat kini, berdasarkan sistem

nilai peradaban modern.

Baiklah kita ambil contoh para penulis modern tersebut dan memeriksa cara

mereka menginterpretasikan sikap Ibn Khaldun mengenai orang-orang Arab.

22

Page 23: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

1. Enan sangat yakin bahwa Ibn Khaldun adalah orang Barbar yang membenci

orang-orang Arab hanya karena sentiment kebangsannya melawan para

penakluk tanah airnya.

2. Husri berusaha menolak pendapat Enan. Dia percaya bahwa yang

dimaksudkan dengan “orang Arab” oleh Ibn Khaldun adalah orang nomad

secara umum. Husri mendasari argumennya atas pertimbangan filologis

tertentu.

3. Toynbee berusaha menjelaskan kritik Ibn Khaldun terhadap orang-orang Arab

secara agak berbeda. Dia mengacu pada kenyataan bahwa Ibn Khaldun

berasala dari Arab bagian selatan. Dengan memperolok-olokkan bangsa Arab,

Ibn Khaldun memaksudkan bangsa Arab bagian Utara.

Pada masanya, Ibn Khaldun melewati fase yang biasanya mencirikan

kehidupan manusia marginal tipikal:

1. Suatu tahapan ketika dia tidak menyadari bahwa konflik kebudayaan

melingkupi riwayat dirinya.

2. Tahapan kedua adalah periode ketika dia secara sadar mengalami konflik

nilai-nilai.

3. Tahapan ketiga menyangkut tanggapan manusia marginal terhadap situasinya,

“penyesuaian diri yang ia buat atau yang ia usahakan dibuat. Dia bisa jadi

berhasil menyesuaikan diri yang memungkinkannya merasa mudah kembali;

dia kemudian keluar dari kelas marginal”.

Marilah kita lihat bagaimana Ibn Khaldun menyingkapi masing-masing ketiga

kelompok tersebut.

1. Bani Umayyah: Ibn Khaldun percaya bahwa dinasti Umayyah seperti dinasti

lainnya dalam sejarah kemanusiaan, mereka baik pada awalnya dan jelek pada

akhirnya.

2. Bangsa Arab: Ibn Khaldun menerapkan prinsip relativisme. Bangsa Arab

tidaklah jelek seluruhnya; mereka baik dalam hal-hal tertentu dan jelek dalam

hal-hal lainnya.

3. Suku Nomad: pada umumnya Ibn Khaldun mengemukakan prinsip sebab-

akibat atau prinsip materialisme.

23

Page 24: Resume Buku Ibn Khaldun & Pola Pemikiran Islam

Konsepsi dan persepsi biasanya berjalan seiring, saling niscaya satu sama lain,

atau seperti dinyatakan oleh Kant, “konsepsi tanpa persepsi adalah lumpuh; persepsi

tanpa konsepsi adalah buta”. Maka kekayaan pengalaman Ibn Khaldun noleh jadi

tidak berguna sama sekali jika tidak ada kecenderungan konsepsual (dalam menelaah

data yang tersusun sepanjang garis-garis tertentu).

24