Ibn Taimiyah

115
Penolakan Ibnu Taimiyah Terhadap Hadis Tsaqalain Posted by Zainal Abidin under Ahlulbait , Manhaj Penolakan Ibnu Taymiah Terhadap Hadis Tsaqolain Setelah menerima kesahihan hadis Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim walaupun terkesan berusaha meragukannya, ia mengatakan: “Dan lafadz ini menunjukkan bahwa yang diperintahkan agar dipegang teguh dan menjamin yang berpegang teguh dengannya tidak akan sesat adalah hanya kitabullah (Alquran) saja. Dan demikianlah telah datang dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim dari Jabir ….” Kemudian ia melanjutkan: “Adapun sabda beliau ‘dan itrah-ku, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh’, Tambahan ini diriwayatkan oleh at Turmudzi, Ahmad telah ditanya tentangnya ia men-dha’if-kannya, tambahan itu telah dilemahkan oleh banyak ahli ilmu (ulama), mereka mengatakan ia tidak sahih.”[1] Dan dalam tempat lain ketika membantah kesimpulan hadis Ghadir ia mengatakan: “… Dan yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya bahwa beliau di Ghadir Khum bersabda: “Sesungguhnya Aku tinggalkan pada kalian tsaqalain (dua pusaka berharga); kitabullah”. kemudian beliau menyebut-nyebut kitabullah dan menganjurkan agar berpegang dengannya, lalu bersabda: “Dan itrah-ku Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku (beliau ucapkan tiga kali)”. Dan hadis ini hanya diriwayatkan Muslim, Bukhari tidak meriwayatkannya.

Transcript of Ibn Taimiyah

Page 1: Ibn Taimiyah

Penolakan Ibnu Taimiyah Terhadap Hadis   Tsaqalain

Posted by Zainal Abidin under Ahlulbait, Manhaj  

Penolakan Ibnu Taymiah Terhadap Hadis Tsaqolain

Setelah menerima kesahihan hadis Zaid bin Arqam dalam riwayat Muslim walaupun terkesan berusaha meragukannya, ia mengatakan:

“Dan lafadz ini menunjukkan bahwa yang diperintahkan agar dipegang teguh dan menjamin yang berpegang teguh dengannya tidak akan sesat adalah hanya kitabullah (Alquran) saja. Dan demikianlah telah datang dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim dari Jabir ….”

Kemudian ia melanjutkan:

“Adapun sabda beliau ‘dan itrah-ku, sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh’, Tambahan ini diriwayatkan oleh at Turmudzi, Ahmad telah ditanya tentangnya ia men-dha’if-kannya, tambahan itu telah dilemahkan oleh banyak ahli ilmu (ulama), mereka mengatakan ia tidak sahih.”[1]

Dan dalam tempat lain ketika membantah kesimpulan hadis Ghadir ia mengatakan:

“… Dan yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya bahwa beliau di Ghadir Khum bersabda: “Sesungguhnya Aku tinggalkan pada kalian tsaqalain (dua pusaka berharga); kitabullah”. kemudian beliau menyebut-nyebut kitabullah dan menganjurkan agar berpegang dengannya, lalu bersabda: “Dan itrah-ku Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku (beliau ucapkan tiga kali)”. Dan hadis ini hanya diriwayatkan Muslim, Bukhari tidak meriwayatkannya.

Dan at-Turmudzi meriwayatkannya dengan tambahan: “Dan sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di haudh (telaga). Dan tidak sedikit dari kalangan para huffadz yang mencacat tambahan ini, mereka berkata: sesungguhnya ia tidak termasuk hadis sabda (Nabi)…Dan hadis yang ada di Shahih Muslim, jika benar Nabi saw. telah mengucapkannya[2], tiada lain hanya berwasiat agar berpegang teguh dengan kitabullah dan ini telah beliau sabdakan di haji wada’ sebelum peristiwa Ghadir, beliau tidak memerintahkan untuk mengikuti itrah (Ahlulbait), akan tetapi bersabda: “aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku “. Dan mengingatkan umat tentang Ahlulbait meniscayakan bahwa mereka diperingatkan tentang sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya yaitu memberikan kepada mereka hak-hak mereka dan tidak menzalimi mereka.[3]

Inilah pernyataan Ibnu Taimiyah dalam menolak kesahihan hadis tsaqalain, tepatnya tambahan yang menegaskan bahwa Alquran dan Ahlulbait tidak akan berpisah hingga hari kiamat. Dalam kesempatan ini penulis akan membatasi tanggapannya hanya pada

Page 2: Ibn Taimiyah

penolakan tambahan tersebut yang ia tolak dengan tanpa menyebut alasan, seperti kebiasaannya dalam menolak hadis-hadis sahih keutamaan Ahlulbait as.

Adapun pemaknaan yang ia pahami bahwa hadis tersebut hanya memerintah umat agar berpegang dengan Alquran saja dan tidak dengannya dan dengan Ahlulbait akan kami bahas dilain waktu. Ketahuilah bahwa dalam pembicaraan Ibnu Taimiyah di atas terdapat banyak keganjilan dan kepalsuan:

1. Ia mengatakan bahwa perintah berpegang dengan itrah datang dalam riwayat at Turmudzi, perkataan itu mengesankan bahwa sabda itu hanya diriwayatkan oleh at Turmudzi saja dan tidak oleh yang lainnya. Dan itu adalah salah, sebab seperti anda ketahui bahwa hadis tersebut telah diriwayatkan oleh jumhur para ulama.

2. Tambahan yang mengatakan: ” Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga” hanya diriwayatkan oleh at Turmudzi pula. Klaim itu juga salah dan sekaligus bukti ketidakjeliannya dalam meneliti hadis tsaqalain atau justru ia tahu namun ia ingin mengesankan kepada para pembaca bukunya agar membayangkan bahwa memang benar hanya at Turmudzi yang meriwayatkan.

Adanya tambahan itu telah diriwayatkan dalam banyak riwayat oleh para ulama termasuk Imam Ahmad, al Hakim dan disahihkan oleh adz Dzahabi dalam ringkasan al Mustadrak, an Nasa’i, ath Thabari, al Bazzar, ath Thabarani Ibnu ‘Asakir Abu Ya’la dan puluhan ulama lainnya. Dan beberapa riwayat Imam Ahmad yang telah kami sebutkan sudah cukup sebagai bukti ketidakbenaran apa yang ia sebutkan.

3. Anggap benar klaim bahwa tambahan itu hanya ada pada riwayat at Turmudzi, namun itu belum cukup alasan untuk menganggapnya lemah apalagi palsu, sebab seperti sudah diketahui bahwa ia telah datang dari jalur-jalur yang diakui kesahihannya oleh para ulama. Selain itu, perlu diketahui bahwa tambahan itu telah diriwayatkan oleh Abu ‘Uwanah dalam kitab Musnad-nya yang ia tulis untuk mengukuhkan kitab Shahih Muslim,[4] dan itu bukti kuat kesahihan tambahan itu.

4. Dan yang aneh adalah ucapannya ” Dan Ahmad ditanya tentangnya, ia men-dha’if-kannya “. juga tidak benar, sebab bukankah Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis tersebut dengan berbagai jalur, baik dalam Musnad maupun dalam Manaqib? As Sayyid Alwi bin Thahir mengatakan: Sesungguhnya Imam Ahmad telah meriwayatkan hadis itu sebagaimana riwayat Muslim, beliau meriwayatkannya dengan tambahan tersebut dengan sanad Bukhari dan Muslim dan diriwayatkan oleh al Hakim dalam Mustadrak-nya dari jalur Ahmad dan disahihkan oleh adz Dzahabi, jalur-jalur hadis itu pada Ahmad dan yang lainnya banyak sekali.[5]

5. Klaim lain Ibnu Taimiyah adalah, “Tambahan itu telah dilemahkan oleh banyak ulama, mereka mengatakan ia tidak sahih.” Dan “Tidak sedikit dari kalangan para huffadz yang mencacatnya, mereka berkata sesungguhnya ia tidak termasuk sabda Nabi saw. “ ini jelas-jelas sebuah kebohongan dan kepalsuan yang tidak selayaknya terlontar dari mulut seorang Muslim awam apalagi “Syeikhul Islam”. Sebab tidak ada seorang pun yang

Page 3: Ibn Taimiyah

menolak bagian itu dari hadis tsaqalain, yang ada adalah menolak total hadis seperti yang dinisbatkan Bukhari kepada Imam Ahmad atau kritik terhadapnya seperti Ibnu al Jawzi sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. .

Adapun menolak bagian itu dari hadis tsaqalain tidak seorang ulama pun yang melakukannya, apalagi sekelompok ulama –seperti klaim Ibnu Taimiyah -. Lalu kalau benar bahwa ada sekelompok ulama telah menolak dan men-dha’if-kannya, mengapa ia tidak menyebutkan walau satu saja nama mereka? Bukankah itu sangat penting untuk mendukung klaim yang ia yakini? As Sayyid Alwi bin Thahir al Haddad setelah membuktikan kesahihan adanya tambahan tersebut di kalangan para ulama, beliau mengatakan: Dan dengan demikian Anda ketahui bahwa Ibnu Taimiyah menukil penolakan tambahan tersebut dari ulama nawashib atau justru ia mengikuti mereka dengan sembunyi-sembunyi, ia sesekali berterus terang dan sesekali tidak dan ia tidak menyebut satu persatu nama-nama mereka, dan ini adalah sebuah penipuan.[6]

Dan sebagaimana kebiasaan Ibnu Taimiyah dalam menolak hadis-hadis sahih tentang keutamaan keluarga Nabi saw. selalu menisbatkannya kepada kesepakan ulama atau sekelompok ulama, sementara para ulama Ahlussunah selalu berseberangan dalam klaim-klaim tersebut seperti dapat disaksikan pada kitab Minhajus-Sunnah yang ia tulis khusus untuk membantah argumentasi Syiah.

6. Dan yang perlu mendapat sorotan adalah perkataannya, “Dan hadis ini hanya diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari tidak meriwayatkannya.” Hal itu adalah sebuah upaya untuk membentuk opini bahwa tidak diriwayatkannya sebuah hadis oleh Bukhari adalah bukti adanya cacat dan kelemahannya. Akan tetapi perlu diketahui bahwa hal itu justru menimbulkan tanda tanya besar, mengapa ia tidak meriwayatkan hadis sahih yang sangat masyhur dan kuat jalur-jalur periwayatannya, bahkan berdasarkan syarat–syarat Bukhari sendiri? Selain itu berdalil dengan alasan seperti itu adalah logika keliru, karena berapa banyak hadis yang ada dalam Shahih Muslim namun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan sebaliknya serta berapa banyak hadis–hadis yang diriwayatkan oleh penulis kitab-kitab Sunan yang tidak ada dalam Bukhari dan Muslim. Dan cara berargumentasi seperti itu biasanya dipergunakan oleh mereka yang ingin menyepelekan sebuah hadis karena tidak sesuai dengan paham yang diyakininya. Al Qasimi dalam kitab Qawaid al Tahdiitsnya dalam pasal 5 tentang al jarh wa at Ta’dil, menulis sebuah judul: Meninggalkannya Bukhari periwayatan sebuah hadis tidaklah melemahkan staus hadis itu. Kemudian ia mengutip komentar Ibnu al Qayyim dalam kitab Ighatsat al Lahfaan.[7] Ibnul Qayyim menyalahkan cara berpikir seperti itu, ia berkata: “Dan tidak merusak sedikit pun kesahihan hadis itu karena hanya Muslim sendiri (tidak dengan Bukhari pula) yang meriwayatkannya.

Kemudian apakah ada yang dapat menerima argumentasi seperti itu pada setiap hadis yang hanya diriwayatkan oleh Muslim (tanpa Bukhari)?! Apakah Bukhari pernah mengatakan bahwa, “Hadis yang tidak saya masukkan dalam kitabku berarti batil dan bukan hujah atau dha’if?” Berapa banyak Bukhari sendiri berhujah dengan hadis yang tidak tersebut dalam Shahih-nya dan berapa banyak pula hadis yang sahih yang ada di luar Shahih Bukhari?”Al Allamah as Sayyid Alwi menambahkan, “Dan kami tambahkan,

Page 4: Ibn Taimiyah

seandainya Bukhari benar-benar telah mengatakan, ‘Setiap hadis yang ada di luar kitab Shahih-ku adalah batil.’ niscaya ucapannya tidak dapat diterima, sebab ia bertentangan dengan ucapan para ulama dan huffadz lain yang telah menyahihkan banyak hadis yang berada di luar Shahih Bukhari. Bukhari bukanlah hujah (pemegang otoritas) atas mereka dan mereka tidak selayaknya meninggalkan hafalan dan ilmu mereka hanya karena omongan Bukhari, sebab Bukhari tidak maksum.

Dan bukankah hadis yang diriwayatkan Muslim sendirian kecuali seperti hadis yang diriwayatkan Bukhari sendirian (tanpa Muslim)….Dan para penyandang paham bid’ah mengatakan, ‘Hadis ini tidak ada dalam Shahih Bukhari.’ dan kadang mereka mengatakan, ‘Hadis itu hanya diriwayatkan oleh Muslim, Bukhari mensucikan dirinya dari meriwayatkannya (tidak mau meriwayatkannya)…’”[8]

Dalam kesempatan lain, setelah menyebut penolakan Ibnu Taimiyah terhadap adanya tambahan tersebut, beliau menegaskan, “Ini adalah omongan orang-orang khawarij dan nawashib yang menganggap Amirul Mukminin Ali as. sesat dan fasik dan di antara mereka ada yang mengingkarinya, adapun penukilannya dari Ahmad bahwa beliau men-dha’if-kannya, tidak dapat dipercaya dan telah lewat pada awal pembahasan data yang menunjukkan bahwa sebagian pengikut (murid-murid) Ahmad menukil dari Ahmad sesuatu yang tidak ia katakan . ..”[9]

Dalam kesempatan lain beliau juga menegaskan, “Sesungguhnya Ibnu Taimiyah hanya mengingkari adanya tambahan “Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga menjumpaiku di telaga (haudh)”. Dalam penolakannya ia berpendapat seperti pendapat orang-orang nawashib (pembenci Ahlulbait as.) tentang Ali as. Dan apabila sebuah hadis bertentangan dengan sebuah bid’ah maka pendapat penyandang bid’ah itu atau orang yang tertuduh dengannya tidak dapat diterima dalam pen-tadh’if-an hadis tersebut.[10]

Demikianlah tanggapan penulis atas penolakan sebagian ulama terhadap hadis tsaqalain.

___________________________________________________

[1] Minhaaj as Sunnah, 4/104-105.

[2] Sikap penolakan dan meragukan akan kesahihan hadis tersebut yang ia utarakan dengan segala cara. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah akan tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya walau mereka tidak menyukainya.”

[3] Minhajus-Sunnah, 4/85.

[4] Dalam istilah Ulama kitab yang dikarang untuk mengkukuhkan hadis-hadis dalam sebuah kitab hadis tertentu dengan menyebut jalur lain disebut mustakhraj.

[5] Al Qaul al Fashl, 2/450.

[6] Al Qaul al Fashl, 2/451.

Page 5: Ibn Taimiyah

[7] Qawaid at Tahdiits:180 dan Ighatsat al Lahfaan:160

[8]Ibid, 2/215.

[9] Ibid., 2/431

[10] Ibid., 2/450.

 

Kedua, Ibnu Taymiah berkata, “Jika ada yang berkata, ‘apabila

apa telah sahih dari hadis-hadis tentang keutamaan Ali ra. seperti

hadis “Aku akan serahkan bendera (pimpinan) kepada seorang

yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-

Nya”, hadis “Tidakkah engkau puas bahwa kedudukanmu di

sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa” dan hadis “Ya hanya

merekalah Ahlubaitku, maka hilangkan rijs dari mereka dan

secikan mereka sesuci-sucinya” … apabila semua itu bukan

khashaish, keistimewaan khusus Ali, akan tetapi juga disekutu

oleh orang lain dalam hal itu, maka mengapakah sebagian

sahabat berandai-andai memilikinya, seperti yang diriwayatkan

dari Sa’ad ibn Abi Waqqâsh dan Umar ibn al Khaththab?

Maka jawabnya adalah: Sesunguhnya pada yang demikian terdapat kesaksian

dari Nabi saw. untuk Ali akan keimanannya baik secara batin maupun secara

lahir, dan penetapan kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya dan keharusan

atas kaum Mukmini untuk mencintainya.[1]

Nah, sekarang, jika sahabat Umar, Sa’ad dan lainnya saja berandai-andai memiliki

keutamaan seperti yang dimiliki Ali as., walaupun hanya satu saja, dan berangan-

angan andai Nabi sa. Sudi memberikan kesaksian akan keutamaan bagi mereka

seperti yang diberikan untuk Ali… bukankah itu semua pengakuan dari mereka

Page 6: Ibn Taimiyah

bahwa Ali as. adalah lebi unggul dari mereka?! Adakah pengakuan melebihi apa

yang mereka katakana?!

Lalu dimanakah kesepakatan para sahabat, seperti yang diklaim Ibnu Taymiah itu?

Ketiga, Ternyata Ibnu Taymiha tidak berhenti di sini dalam

mengakui adanya perselisihan dalam masalah ini, dan

pengakuannya bahwa hanya Ali-lah yang telah mencapai

kesempurnaan iman lahir-batin, akan tetapi ia lebih  jauh, pada

lesempatan lain ia mengatakan sesuatu yang bertentangan

dengan apa yang ia katakana sebelumnya dalam masalah tafdhîl

Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as.!! Berdasar hadis-hadis

sahih dalam keyakinannya, Ibnu Taymiah mengatakan bahwa

Ahlulbait Nabi saw. lebih utama dan lebih ungul darti seluruh

kaum Muslimin dan yang paling utamanya mereka setelah Nabi

saw. adalah Ali as.!!

Demikian Ibnu Taymiah menyimpulkan dair hadis-hadis sahih, tentunya ketika

duduk merenung di keheningan suasana nun jauh dari pertikaian mazhabiah

seperti ketika ia menulis buku Minhaj as Sunnah-nya. Dalam suasana jauh dari

memperdebatkan masalah-masalah memazhaban, Ibnu Taymiah dengan lancar

tanpa terseot-seot oleh fanatisme mazhabiah ia menegaskan keunggulan bani

Hasyim atas suku-suku laion dari bangsa Quraisy, apalagi dari selainnya!

Ibnu Taymiah berkata, “Sesungguhnya bani Hasyim adalah paling unggulnya suku

Quraisy, dan suku Quraisy adalah paling unggulnya bangsa Arab, dan bangsa

Arab adalah paling unggulnya anak keturunan Adam, sebagaimana telah sahih dari

Nabi saw. sabda dalam hads sahih, “Sesunggunhya Allah memilih keturunan

Ismail, dan memilih Kinanah dari  keturunan Ismail, dan memilih Quraisy  dari

keturunan Kinanah, memilih bani Hasyim dari  suku Quraisy.”    

Dalam Shahih Muslim dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda di Ghadir Khum,

“Aku peringatkan kalian akan Ahlulbaitku! Aku peringatkan kalian akan

Ahlulbaitku! Aku peringatkan kalian akan Ahlulbaitku!.”

Page 7: Ibn Taimiyah

Dalam kitab-kitab Sunan disebeutkan bahwa Abbas mengeluhkan kepada beliau

saw. bahwa sebagian orang Quraisy menghinakan mereka (bani Hasyim), maka

beliau saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tiada akan masuk

surga sehingga mereka mencintai kalian karena Allah dank arena kecintaan

kekerabatnku.”…

Dan apabila mereka itu paling afdhalnya makhluk maka tidak diragukan lagi

bahwa amal-amal mereka adalah paling afdhalnya amal perbuatan! Maka paling

afdhalnya mereka adalah Rasulullah saw. yang tiada tandingan dari kalangan

manusia.

Maka orang mulia dari kalangan mereka tentu lebih utama dari orang mulia dari

suku-suku Quraisy dan bangsa Arab lainnya bahkan dari bani Israil dan selainnya.

Kemudian Ali, Hamzah, Ja’far, Ubaidullah ibn Harits adalah orang-orang pertama

yang memeluk Islam dari kalangan Muhajirin, jadi mereka lebih afdhal dari

sahabat peringkat thabaqah kedua dari suku-suku lain. Oleh sebab itu ketika hari

perang Badar, Nabi saw. memerintah mereka untuk tampil berdual menghadapi

kafir Quraisy![2]

Demikianlah apa yang dikatakan Ibnu Taymiah dalam kitabnya Ra’sul Husain,

adakah kesamaran pada kata-katanya? Bukankah ia sebagai sebuah pengakuan

tegas bahwa Ahlulbait lebih utama dan lebih unggul?! Perhatikan kata-kata Ibnu

Taymiah ini: Maka orang mulia fadhil dari kalangan mereka tentu lebih utama

dari orang mulia dari suku=suku Quraisy dan bangsa Arab lainnya bahkan dari

bani Israil dan selainnya. Dan dan apabila mereka itu paling afdhalnya makhluk

maka tidak diragukan lagi bahwa amal-amal mereka adalah paling afdhalnya

amal perbuatan!

Dengan demikian ia semestinya menyahakan sesiapa yang menyalahi pendapat ini

dalam maalah tafdhîl! Sebab pengutamaan Ahlulbait dan bani Hasyim bersifat

rabbani, dari Allah SWT. Allah-lah yang berkehendak menetapkan keunggulan

mereka atas semua manusia! Sementara pengunggulan selain Ali atas Ali as.

adalah omongan orang! Tetapi mengapa justru Ibnu Taymiah berpendapat

Page 8: Ibn Taimiyah

sebaliknya, ia menyerang dan menghujat sesiapa yang mengutamakan Ali atas

para sahabat, termasuk Abu Bakar dan Umar, dan dianggapnya pendapat itu

mencemooah para sahabat yang –katanya- telah mengutmakan Utsman atas Ali!

Lalu apalagi mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar! Apakah Ibnu

Taymiah lupa bahwa dengan sikapnya itu ia bertentangan dengan sabda Nabi suci

dalam hadis isthifâ’ yang ia sahihkan sendiri?!

Apakah pendapat segentir sahabat lebih diutamakan dari firman Alah dan sabda

nabi-Nya?! Lalu apabila terjadi kontradiksi antara keduanya, manakah yang harus

kita ambil, pendapat sahabat atau firman Allah dan sabda Nabi-Nya?! Apakah

firman Allah dan sabda Nabi-Nya akan kita campakkan hanya kerena omongan

segentir sdahabat?! Atau bahkan karena adanya ijmâ’ fiktif  ala Ibnu Taymiah?

        Tidak Ada Tempat bagi Perbandingan!

Nash-nash keislaman; Alqur’an dan Sunnah telah menegaskan tanpa sedikit

keraguan bahwa tidak ada tempat bagi membanding-bandingkan Imam Ali as.

dengan sahabat-sahabat lain.

 Ali as. telah ditetapkan kesuciannya olehn Allah SWT dalam ayat at That-hîr dan

dikhususkan Nabi dalam hadis al Kisâ’.

 Ali as. adalah wali kaum Mukminin sebagaimana ditetapkan dalam ayat al

Wilayah:

" ا 'نم$ (م( إ ,ك 'ي (ه( و" الله( و"ل و3ل س( 3ن" و" ر" $ذ'ي (وا ال $ذ'ين" آم"ن 3م(و3ن" ال (ق'ي "ة" ي ال $AAو3ن" و" الص )AAؤ3ت) اة" ي "AAك و" الز$

و3ن" ه(م3 )AAع' اك و"ل$ م"ن3 و"* ر" "AAت" "ه( و" اللAAه" ي و3ل )AAس ذين و" ر" $AAوا ال )AAن$ آم"ن' إ "AAب" ف ز3 'AAه' حAAه(م( الل

(و3ن" 'ب 3غ"ال (56-55 . )المائدة ال .

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang

beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk

{kepada Allah}. Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang

yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut {agama} Allah

itulah yang pasti menang. (QS:5;55-56)

Dan dalam Khutbah Ghadir nabi saw. bersabda:

Page 9: Ibn Taimiyah

3ت( م"ن3 (ن 'ي] م"واله( ك مواله( ف"ع"ل …

“Barang siapa yang aku pemimpinnya maka Ali juga pemimpinnya… .”

Maka semua orang masuk dalam keharusan menerima wilayah/ kepeminpinan

tersebut!

 Setiap Muslim/mukmin diperintah untuk berpegang teguh dengan ketaatan dan

berwilayah kepada beliau as. sesuai dengan nash hadis Ghadir dan hadis

Tsaqalain. Serta ratusan nash lainnya.

 Dan apakah hadis Râyah menyisakan ruang bagi para pengacau untuk

membanding-banding Imam Ali as. dangan selainnya?![3]

 Di manakah tempat untuk membanding-bandingkan Ali as. dengan selainnya?!

Sementara beliau as. adalah orang pertama yang akan melaporkan kasus

penganiayaan umat terhadapnya kelak di hari kiamat, seperti diriwayatkan Imam

Bukhari dala Shahihnya:

"نا و$ل( أ" (و م"ن3 أ ث "ج3 "د"ي3 بين" ي 3خ(ص(وم"ة' الرحمن ي القيام"ة' يوم" لل .

 “Aku orang pertama yang akan bertegak lutut di hadapan Allah Dzat Yang Maha

Rahman di hari kiamat untuk melaporkan sengketa.” [4]

Imam Ali as. Melerai Semua Perselisihan Dalam Masalah ini!

Setelah semua ini, coba kita perhatikan sabda Imam Ali as. yang akan memberikan

ketarangan akhira dan keputusan penutup tentang mengunggulan.

Ali as. bersabda: 

(ق"اس( ال 'آل' ي (م$ة' هذ'ه' السالم(م'ن3 م(ح"م$د)عليهم ب دn، اال "AAح" و$ى و"ال أ "AAس) 'ه'م3 ي ب

ت3 م"ن3 (ه(م3 ج"ر" 'ع3م"ت 3ه' ن "ي r ع"ل دا "AAاس( ه(م3 .أب "AAس" ، أ اد( الAAدsين' "AAو"ع'م ، "ق'ين' 3هم3 الي "ي 'ل إ

"ف'يء( 'ه'م3 الغ"الي، ي 3ح"ق( و"ب "ل الي، ي $AAه(م3 الت" 'ص( و"ل ائ "AAخ"ص sق "AAة'، ح "AAو"ف'يه'م( الو'الي

$ة( "ة( الو"ص'ي اث و"الو'ر" ، 

“Tidaklah dapat disbanding-bandingkan Âlu (keluarga suci)

Muhammad as. dengan seorangpun dari umat ini dan tidaklah

Page 10: Ibn Taimiyah

sama sekali layak disamakan dengan mereka sesiapa yang

kenikmatan Allah atasnya itu lewat mereka. Mereka adalah

pmdasi agama, pilar-pilar keyakinan. Kepada mereka orang yang

berlebihan akan kembali, dan kepada mereka orang yang teledor

akan menyusul. Hanya mereka yang memiliki kekhususan hak

kewalian dan hanya pada merekalah wasiat dan pewarisan.”[5]

Raslullah saw. juga bersabda:

"حن( (وا ن $ة'؛ أه3ل' ساد"ة( المط$ل'ب عبد' بن ة( و أنا الجن 'ي] و حمAAز" ر( و عل "AAو جع3ف

المه3د'ي3 و الحسين( و الحسن( .

Kam keluarga besar banu Abdul Muththalib adalah penghulu-

penghulu  ahli surga; aku, Hamzah, Ali, ja’far, Hasan dan Husain

serta al Mahdi.”[6]

 

        Ibnu Taymiah Berbohong Atas Nama Sahabat!

Seperti telah Anda baca sebelumnya bagaimana Ibnu Taymiah memastikan bahwa

para sahabat, seluruh sahabat tanpa terkecuali telah bersepakat akan keunggulan

dan keutamaan Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as., sementara klaim itu hanya

sebuah kebohongan belaka, Dan mungkin karena alas an itu atau lainnya pada

akhirnya ia menumbangkan sendiri klaim palsunya tersebut dalam kesempatan lain

entah dengan sadar atau tidak!

Ibnu Taymiah berkata:

  "ح"دn اختلف" ما "ة' م'ن" أ 3ل' في التابعين و الصحاب ديم'ه'ما و عمAAر و بكAAر أبي تفضAAي 3AAق" ت

"ة' جميع' على الصحاب .

“Tidak seorangpun dari sahabat dan tabi’in berselisih bahwa Abu Bakar dan

Umar lebih afdhal atas seluruh sahabat.’”[7]

 

        Ibnu Taymiah Berbohong Atas Nama Ibnu Abbas  ra.!

Page 11: Ibn Taimiyah

Sebagimana ia juga berbohong atas nama Ibnu Abbas ra., sahabat yang begitu

dekat dan kental persahabatannya dengan Imam Ali as., seorang murid setia yang

selalu menyebar-luaskan ilmu  dan fatwa-fatwa Imam Ali as. Ya, tidak sekali atau

dua kali, dan tidak hanya dalam satu klaim atau dua klaim Ibnu taymiah

berbohong atas nama Ibnu Abbas ra demi melecehkan dan mendiskriditkan Imam

Ali as…. kali ini Ibnu Taymiah berbohong tentang sikap Ibnu Abbas ra. yang

katanya lebih mengunggulkan dan mengutamakan Abu Bakar dan Umar di atas

Imam Ali as., seperti telah anda simak bualannya pada lembaran-lembaran yang

telah lalu.

Ibnu Taymiah berbual:

'م" عباس' ابن' حال" عرف" م"ن3 $ه( عل ن" (ف"ضsل( كان أ الله( ع"ل'ي�-رض'ي" عل"ى وعمر" أبابكر ي

.-عنه(م3

“Barangsiapa mengenal keadaan Ibnu Abbas  pasti ia mengetahui bahwa ia

mengutamakan Abu bakar dan Umar atas Ali …” [8]

Tidak cukup sampai di sini, mungkin karena kurang puas, Ibnu Taymiah

mengatakan bahwa sikap Ibnu Abbas ra. itu adalah telah dinukil secara

mutawâtir/pasti dan meyakinkan. Perhatikan kata-kata Ibnu Taymiah di bawah ini:

'رع"نه( و $ه( الم(توات (ف"ض'ل, كان" أن , و و بكر� أبا عليه' ي ه( ع(م"ر" "AAل" nاتAAب" 3ب( م(عاي "ع'ي ي

'ها �ا ب 'ي ذ( و ع"ل 3خ( "أ أمور'ه' م'ن3 أشياء" عليه' ي …

“Dan yang mutawâtir darinya (ibnu Abbas ra.) bahwa ia mengunggulkan Abu

Bakar dan Umar atas Ali. Dan ia memilii banyak celaan, ia mencela Ali

dengannya dan menyalahkan Ali dalam banyak urusannya…”[9]

Jadi jelas, tidak cukup mengatakan bahwa sikap Ibnu Abbas ra. itu telah

diriwayatkan secara mutawâtir…. Ibnu taymiah menambahkan bahwa Ibnu Abbas

ra. sebenarnya adalah seorang yang sangat berseberangan dengan Imam Ali as.

dan banyak mencacat dan menyalahkannya dalam banyak hal dan urusan!

        Ibnu Taymiah Berbohong Atas Nama Ahlulbait as.!

Page 12: Ibn Taimiyah

Tidak cukup berbohong atas nama sahabat-sabahat Nabi pengikut Ali as., Ibnu

Taymiah memuaskan nafsunya dengan berbohong atas nama-nama harum

keluarga Ali dan bani Hasyim untuk mendukung klaimnya, bukan sekedar

mengunggulkan Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as. akantetapi lebih jauh lagi

dalam mengakui keabsahan kekhilafahan Ali as.

Ibnu Taymiah berkata:

'ن$ ة" إ "م3 الع'تر" "م'ع3 ل ت "ج3 'ه' على ت 'ه'، وال إمام"ت $ت 'ي "فض"ل 'م$ة( بل3 أ ئ" ة' أ كابن' العتر"

(ق"دsم(و3ن" غير'ه' و عباس عمر و بكر أبا ي ….

"ق3ل( و 'ت( الن التابعين من هاشم بني من البيت' أهل' علماء' جميع' ع"ن3 الثاب

3ه'م3 و 'ع'ي د' م'ن3 تAAاب 3AAين' و(لAAي� بن' الحس' كAAانوا غAAير'ه'م و الحسAAن' ولAAد' و عل

$و3ن" "و"ل "ت (ونه(ما كانوا و ، عمر و بكر أبا ي ل sAAف"ض) ، على ي 'ي� عنهم النقAAول( و ع"ل

nة" 'ت ةn! ثاب 'ر" متوات

“Sesunggunhya Itrah (keluerda dekar Nabi saw.) tidak bersepakat atas keimamahan dan keunggulannya (Ali), bahkan para imam itrah seperti Ibnu Abbas dan lainnya mengutamakan Abu Bakar dan Umar (dalam imamah dan keunggulan)….

Dan penukilan yang pasti dari seluruh ulama Ahlulbait dari bani hasyim, baik

dari generasi tabi’in atau setelahnya dari keturunan Husain dan keturunan Hasan

dan selainnya, mereka telah sepakat mendukung kekhilafahan Abu bakar dan

Umar dan mereka mengutakanan keduanya atas Ali. Penukilan ini dari mereka

telah tetap/pasti dan mutawâtir.[10]

(Bersambung)

[1] Minhaj as Sunnah,3/11-12.

[2] Ra’sul Husain:200-201.

[3] Hadis ar Râyah dishahihkan Ibnu taymiah kendati ia mengingkarinya sebagai kekhususan Imam Ali as.

Page 13: Ibn Taimiyah

[4] Shahih Bukhari, Kitab at tafsir, Tafsir surah al Hajj,6/124 dengan sanad dari Qais ibn ‘Ubbâd dari Ali ibn Abi Thalib ra.

[5] Nahjul Balaghah, Khutbah no. 2.

[6] Sunan Ibnu Mâjah,2/1368 hadis no4087. Semua perawi pada sanad hadis ini adalah muwatstsqn (diakui kejujurannya) kecuali Ali ibn Ziyâd, tidak ada komentar tentangnya baik mengapresisinya mauoun mencecatnya. Demikian dalam Majma’ az Zawaid.

[7] Minhaj as Sunnah,4/98.

[8] Minhaj as Sunnah,3/213.

[9] Minhaj as Sunnah,4/63.

[10] Minhaj as Sunnah,4/105. 

Turunnya ayat 274 surah al Baqarah Untuk Imam Ali as. adalah   Bohong!

Posted by Zainal Abidin under Ahlulbait, Ibnu Taymiah Menolak Setiap Nash Keutamaan Ali ra, Imam Ali ra., Manhaj  

Satu lagi aksi unjuk kedengkian yang dipamerkan Ibnu Taymiah terhadap orang-orang suci. Kali ini sasarannya serangan penolakannya diarahkan kepada ayat Alqu’an yang mengabadikan kedermawanan Imam Ali as.

Ikuti ulasan di bawah ini.

Allah SWT berfirman:

�ل�ه$م الذين �ف عالن*ي�ة و ا ر/ س* النهار* و بالليل* م7 أموال�ه$ �ون ق$ وال ي$ن7ف* م7 ب?ه* �ر �ن7د ع* ه$م7 ر$ أج7 �ز*ن$ون ي�ح7 م7 ه$ وال عليهم Eو7ف �خ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2 [al Baqarah];274)

Para ulama dan mufassirin meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Imam Ali as. ketika beliau mensedkahkan empat dirham di jalan Allah SWT. satu dirham dalam keadaan rahasia dan satu dirham dalam keadaan terang-terangan, satu dirham lagi di siang hari dan yang keempat di malam hari. Setelahnya Allah SWT menurunkan ayat tersebut di atas.

Page 14: Ibn Taimiyah

Ayat di atas dengan tafsiran sebab nuzûlnya dari Ibnu Abbas ra. telah diangkat oleh Allamah al Hilli sebagai bukti imamah Ali as. karena beliau- melalui ayat ini dapat dibuktikan sebagai- yang paling afdhal/termulia, kerenanya berhak menjabat sebagai Imam.

Turunnya ayat di atas untuk Imam Ali as. telah diriwayatkan banyak ulama besar Ahlusunnah, tidak terkecuali mereka yang sering dibanggakan Ibnu Taymiah, diantaranya: Abdur Razzaq, Abdu ibn Humaid, Ibnu Jarir ath Thabari, Ibnu al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, ath Thabarani, Ibnu Asakir, Al Wahidi, Abu Nu’aim al- Isfahani, Fakhruddin ar Razi, az Zamakhsyari, Muhibbuddin ath Thabari, Ibnu al Atsîr, Jalaluddfin as Suyuthi, Ibnu Hajar al Haitami al Makki dll.

Inilah beberapa nama ulama besar dan kenamaan Ahlusunnah yang meriwayatkan atau menyebutkan hadis di atas dalam buku-buku berharga mereka, dan selain mereka masih banyak lainnya seperti al Hiskani, Ibnu al Maghazili asy Syafi’i, Ibnu al Jawzi dll. [1]

Sanad-sanad jalur periwayatnya pun jelas dan telah mereka sebutkan dengan lengkap. Jadi bagi yang berminat meneliti dapat merujuknya langsung.

Setelah ini semua, coba kira-kira yang akan dikatakan Ibnu Taymiah yang gemar menolak keutamaan Imam Ali as. itu. Perhatikan keterangannya di bawah ini:

Hبثاب*ت �ليس Eك*ذ7ب هذا Nأن….

الجهال* �م*ن Eكثير ث7ل�ها م* ول$ يق$ الباط*ل�ة ي7ر التفاس* هذه …ل�كن7

�ليس ة* �الراف*ض في ل$ الجه7 و ، آن* ر7 الق$ ب*دالل�ة* Zجاه*ال كان هذا �كذب الذي Nن�أ �ت�ب�يNن � ف

Hر�ن7ك .ب*م$

Ini adalah bohong, tidak tetap (palsu)…

Akan tetapi tafsir-tafsir batil ini, banyak orang-orang bodoh telah mengatakan (berpendapat) sepertinya…

Maka jelaslah bahwa yang berbohong dengan keboohongan ini adalah orang yang bodoh akan petunjuk Al Qur’an, dan kebodohan di kalangan orang-orang Rafidhah bukan hal aneh![2]

Inilah yang dikatakan Ibnu Taymiah, padahal seperti telah diketahui bahwa ia mensifati Ibnu Jarir ath Thabari, Ibnu al Mundzir, Ibnu Abi Hatim dengan sifat pujian sebagai ulama yang wara’ (hati-hati dalam agama), berlimu luas dan terpercaya. Dan mereka itu ternyata yang juga meriwayatkan hadis di atas!

Lalu apakah para penyanjung Ibnu Taymiah rela mengatakan bahwa para perawi hadis di atas, seperti Abdur Razzaq- guru besarnya Imam Bukhari-, Abdu ibn Humaid,-salah seorang penulis kitab Musnad yang terkenal-, Ibnu al Mundzir, Ibnu Abi Hatimdan ulama

Page 15: Ibn Taimiyah

besar lainnya dikecam sebagai kadzabah (para pembohong) Juhhâl (orang-orang bodoh) dan yang aneh mereka dicap sebagai Rafidhah?!

Apakah setiap kali datang kebenaran yang tidak disukai hawa nafsunya, Ibnu Taymiah langsung mengecamnya dengan mengatakan, itu bohong! Para periwayatnya adalah orang-orang bodoh, pembohong dan Syi’ah Rafidhah dan celotehan bernada kecaman tanpa tanggung jawab lainnya?

Subhanallah! Apakah demikian kerakter seorang pewais para nabi? Apakah demikian pertangung jawaban seorang ulama di hadapan para pembaca karya-karyanya?

Sampai kapankah kita dapat mentolerir keganasan vonis-vonis zalim Ibnu Taymiah dalam menolak berbagai keutamaan Imam Ali as.?!

Apakah ada yang menganggap semua ini sekedar fitnah karena kebencian kepada “Syiekhul Islam”?!

CATATAN KAKI

[1] Tafsir ad Durr al Mantsur,4/25, ar Riyâdh an Nadhirah,2/206, ash Shawâiq al Muhriqah:78, tafsir ar Râzi, tafsir az Zamakhsyari, tafsir Zâd al Masîr, tadzkirah al Khawâsh, al Manâqib dan Syawahid at Tanzîl.

[2] Minhâj as Sunnah,4/62-63.

Ibnu Taymiah Berbohong Atas nama Sahabat dalam Pengutamaan Abu Bakar& Umar   ra.(1)

Posted by Zainal Abidin under Imam Ali ra., Manhaj  

Masalah tafdhîl )pengutamaan( di antara sahabat telah masuk dalam daftar masalah-masalah yang dipolitisir oleh kepentingan kemazhaban. Ia menjadi ajang perbedaan dan perselisihan, bahkan pembid’ahan dan penyesatan. Para ulama dai berabagai mazhab; Ahlusunnah )dengan beragam kecenderungannya(,  Mu’tazailah )dengan berbagai kelompoknya( dan Syi’ah )dengan cabangnya( telah melibatkan diri dalam mendiskusikan masalah ini.

Tetapi kali ini, kita akan melihat langsung pandangan Ibnu Taymiha dalam menyajikan dan menyikapi masalah ini.

Page 16: Ibn Taimiyah

 Pandangan Ibnu Taymiah dalam masalah tafdhîl perlu mendapat sorotan mengingat:

A(   Apa yang dilukiskan Ibnu Tyamiah dlam kanfas khayalannya tentang tafdhîl tidak pernah dikenal oleh para sahabat Nabi mulia saw. mereka tidak pernah mengenal apa yang dikatakan Ibnu Taymiah tentang ijmâ’ )konsensus( akan diutamakannya Abu Bakar atas Ali as… dan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman lebih unggul/utama dari Ali as.

B(   Umar sendiri –sebagai satu-satunya sahabat yang paling bersemangat meleba Abu Bakar di pertemuan Saqifah, ketika ia berdiri di antara Abu Ubaidah ibn al Jarrâh dan Abu Bakar dan kemudian membelakanginya dan mengulurkan tangannya kepada Abu Ubadah seraya berkata, ‘ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu -… Umar ibn al Khaththab tidak pernah mengenal apa yang dilukiskan Ibnu Taymiah itu! Ketika itu Umar tidak mengenal bahwa Abu Bakar itu lebih unggul dan utama dari Abu Ubaidah…!

C(   Apa yang dilukiskan Ibnu Taymiah tentang tafdhîl tidak pernah di kenal oleh Mu’awiyah putra pasangan Abu Sufyan dan Hindun-penguyahj jantung paman kesayangan Nabi sa., Hamzah-… tidak pernah dikenal oleh Ibnu Abbas ra.    Apa yang dilukiskan Ibnu Taymiah total berbeda dengan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah umat ini sejak maa para sahabat Nabi mulia saw.

Ibnu Taymiah Dan Klaim Ijmâ’

Di sini dan demi kepentingan membela pendapatnya dan demi membodohi pembaca awam, Ibnu Taymiah mengaku-ngaku )seperti kebiasaanya dalam banyak kasus( telah terjadi ijmâ’, bahwa para sahabat telah bersepakat, tidak satupun berselisih! tentang pengutamaan Abu Bakar dan Umar atas Ali as dan seluruh sahabat, tanpa terkecuali!Ketika membantah bukti yang dikemukanan allamah al Hilli bahwa Ali as. paling  utamanya sahabat, bahkan selurh makhluk setelah Nabi Muhammad saw…. ketika itu Ibnu  Taymiah bangkit membantahnya seraya mengatakan:

أن$ على $ف'ق(ون" م(ت ,ه(م (ل ف"ك هورين" المش3 ال3مسلمين" 'م$ة( ئ" أ م$ا

" م'ن3 أفض"ل( وعمر" أبابكر أ . و و ع"ل'ي� "ق""ل" عثمان" م"ناق'ب' كتاب' في البيهق'ي رو"ى كما واح'د� غير( اإلجماع" هذا ن

"ح"دn اختلف" قال: ما الشافعي، "ة' م'ن" أ 3ل' في التابعين و الصحاب و بكر أبي تفضي"ق3ديم'ه'ما و عمر "ة' جميع' على ت الصحاب .

“Adapun para imam besar kaum Muslimin telah bersepakat bahwa Abu Bakar dan Umar lebih utama dari Utsman dan Ali. Dan ijmâ’ ini telah

Page 17: Ibn Taimiyah

dinukil oleh banyak ulama’, sebagaimana al Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Manâqi sy Syafi’i, ia berkata, ‘Tidak seorangpun dari sahabat dan tabi’in berselisih bahwa Abu Bakar dan Umar lebih afdhal atas seluruh sahabat.’”[1] 

Tidak hanya sekali ini Ibnu Taymiah ngotot bahwa telah terjadi ijmâ dalam masalah ini, dalam banyak kesempatan ia tidak henti-hentinya memekikkan suara sumbang tersebut dan dalam banyak lembar bukunya ia membubuhkan klaim itu!Setelah menuduh beberapa ulama hadis Ahlusunnah -seperti Al Hakim, Abu Nu’aim, Ibnu Mardawaih, an Nasa’i dan Ibnu Abdil Barr sebagai Syi’ah dikarenakan meriwayatkan hadis-hadis tertentu tentang keutamaan Imam Ali as. dan kerena keengganan sebagian mereka meriwayatkan hadis tentang keutamaan Mu’awiyah-, Ibnu Tyamiah berkata:

"كن3 ,ع(ه( ل ي ,ع( و تش" ي 'ه' تش" ' أهل' م'ن أمثال و البرs عبد' وابن' كالنسائي بالحديث' العلم'ه'ما (غ( ال أمثال 3ل "ب 'ه' إلى ي 3ل . فال و بكر أبي على تف3ض'ي ف( عمر" (ع3ر" الحديث' علماء' في ي

(ه( م"ن3 (ف"ض'ل "ل3 عليه'ما، ي 'ع' غاية( ب ي "ش¥ 3م(ت (ه( أن3 منه(م3 ال (ف'ضsل عثمان' على ي …

Akan tetapi kesyi’ahannya dan  kesyi’ahan orang-orang semisalnya dari kalangan ahli hadis seperti an Nasa’i dan Ibnu Abdil Barr dan selainnya tidak sampai mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Maka tidak diketahui di antara ulama hadis ada seorang yang mengutamakan Ali di atas keduanya. Puncak yang diyakini seorang penyandang kesyi’ahan adalah mengutamakannya di atas Utsman… [2] 

Tentang sikap Ibnu Abbas ra. dalam masalah tafdhîl, Ibnu Taymiah berkata:

'م" عباس' ابن' حال" عرف" م"ن3 $ه( عل ن" (ف"ضsل( كان أ الله( ع"ل'ي�-رض'ي" عل"ى وعمر" أبابكر ي

.-عنه(م3

“Barangsiapa mengenal keadaan Ibnu Abbas  pasti ia mengetahui bahwa ia mengutamakan Abu bakar dan Umar atas Ali …” [3] 

Tidak cukup dengan kepalsuan yang ia utarakan atas nama Ibnu Abbas ra. seorang, ia menambah kepalsuannya dengan mengatakan bahwa para imam Ahlulbait as. dan keluarga khusus Nabi saw. telah mengutamakan Abu bakar atas Imam Ali as. )seperti nanti akan dibicarakan secara khusus(… 

Ikhtisar kata,  semua nama orang besar ia bawa-bawa demi mendukung ijmâ’ yang ia lahirkan secara haram itu !!

Page 18: Ibn Taimiyah

Antara Ibnu Taymiah dan Ibnu Hazm al Andalusi

Setiap pengkaji yang teliti pasti menyimpulkan bahwa Ibnu Hazm jauh lebih teliti dan lebih mendekati kebenaran ketika ia membirakan masalah ini, walaupun Ibnu Hazm seorang yang “mati-matian” dalam mempertahankan pandangannya!! Hanya saja ia tidak sampai batas menolak data-data gamblang yang bertolak belakang dengan pandangannya. Pada pembukaan pembicaraannya, Ibnu Hazm berkata demikian:

"عض( ذ"ه"ب" "ن" إلى الشيعة جميع( و المرجئة بعض و المعتزلة بعض و السنة' أهل' ب أ(م$ة' أفض"ل" 'ي, الله' رسول' بعد" األ طالب� أبي بن( )ص( عل .

“Sebagian Ahlusunnah, sebagian Mu’tazilah dan sebagian Murji’ah serta seluruh Syi’ah berpendapat bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah paling afdhalnya umat ini setalah Rasulullah saw.”

Kemudian ia melanjutkan:

( من" ( جماع"ة� عن و عنهم الله( رضي" "ة' الصحاب "ع3ض' ب ع"ن3 "ص�ا ن القول" هذا "ا روين ق"د3 والفقهاء' و على …التابعين" الناس' أكرم" أن$ الصحابة من عشرين "حو' ن عن روينا و

طالب� أبي بن( علي� رسوله' و .الله

“Dan telah kami riwayatkan pendapat ini seraca tegas dari sebagian sahabat –ra- dan sekelompok tabi’in dan fukaha (ahli fikih)…Kami telah meriwayatkan dari kurang lebih dua puluh sahabat pendapat bahwa paling utamanya manusia di sisi Allah dan Rasul-Nya adalah Ali ibn Abi Thalib ra.”[4] 

Jadi, mana ijmâ’ produk Ibnu Taymiah itu? Ia tidak lebih sekedar khayalan dan angan-nagan bak fatamorgama dalam benak Anak Taymiah!!Ijmâ ala Ibnu Taymiah sepertinya bagai lelucon bagi Mu’awiyah yang menegaskan adanya ijmâ’ lain yang justru bertola belakang dengan ijmâ’ Ibnu Taymiah! Mua’wiyah ternyata mengakui bahwa para sahabat besar, termasuk Abu Bakar dan Umar telah mengakui bahwa Ali lebih utama dan lebih unggul dari semua sahabat!!

Dalam surat yang dilayangkan Mu’awiyah kepada Muhammad putra Khalifah Abu Bakar, ia menulsikan demikian:

$ا ق"د3 (ن "بوك" و ك sنا حياة' في معنا أ 'ي "ب 3ن' حق$ نرى ن "نا، الز'مrا طالب� أبي اب "ه( و ل ف"ض3لا rز "ر$ "ا، م(ب 3ن "ي sه' الله( اخ3تار" فلم$ا عل 'نبي "ض"ه( عند"ه( ما ل وق(ه( و أبوك" فكان" إليه'، ق"ب أو$ل" فار(

ه( م"ن3 "ز$ 3ت 'ك" على خالف"ه"، و اب $ف"ق"ا ذل ق"ا و ات $س" ات .

Page 19: Ibn Taimiyah

Dan kami dahulu bersama ayahmu di masa hidup nabi kami memandang hak putra Abi Thalib adalah tetap atas kami, dan keunggulannya nyata mengungguli kami , lalu ketika Allah memilihkan untuk nabi-Nya apa yang ada di sisi-Nya, Dia mematikannya, maka ayahmu-lah bersama rekannya adalah orang pertama yang merampas dan menentangnya, atas dasar itu mereka berdua bersepakat dan bekerja sama!![5] 

Dan ijmâ’ yang diakui Mu’awiyah di atas dapat pandangan Ibnu Abbas ra. adalah sebagai keyakinan yang mantap, dan ekerpastian yang tak diragukan. Data-data kehidupan Ibnu Abbas ra. adalah bukti nyata keyakinannya itu. Dengan tanpa gentar dan sedikitpun ragu-ragu Ibnu Abbas ra. meneriakkan suara haq itu di hadapan perusak konsep Syura )yang dibangakan Ahlusunnah sebagai konsep ideal Khilafah Islam(… Ya tanpa gentar Ibnu Abbas ra. menegaskannya di hadapan Mu’awiyah putra Abu Sufyân )pimpinan kaum Musyrikin dan kemudian menjadi pengayon kaum Munafikin(

Ibnu Abbas ra. berkata:

"م" الله' و كان" (ق"ى… كه3ف" و اله(د"ى ع"ل "ق"ى، و آم"ن" م"ن3 خير" الت م"ن3 أف3ض"ل" و ات"ر$ و ارتد"ى، و تق"م$ص" ع"ى… و" اتع"ل" م"ن3 أب ، أبو , ه(و" س" 3ن' (ه( ف"ه"ل3 السبط"ي (قار'ن ي

؟! nر "ش" "ة( اتق"ص"ه( م"ن ف"على…ب "ع3ن ' إلى العباد' و الله' ل التناد' يوم

Demi Allah, Ali adalah panji petunjuk, hidayah, gua ketaqwaan… Dia sebaik-baik orang yang beriman dan bertaqwa, paling afdhal, utamanya orang yang bergamis dan memekai rida’, paling baktinya orang yang bersandal dan berjalan…  Dia adalah ayah bagi kedua cucu (Nabi saw.), lalu adakah yang menandinginya?!… Maka atas orang yang melecehkannya kutukan Allah dan kutukan hamba hingga hari kiamat.[6] 

Kendati demikian, Ibnu Taymiah tetap saja tanpa sara tanggun jawab mengatakan bahwa siapa yang mengenal keadan Ibnu Abbas pasti ia tahu bahwa ia mengutamakan Abu Bakar dan Umar atas Ali!![7] )seperti akan kita bicarakan secara terpisah masalah ini(

Ibnu Taymiah Merobohkan Bangunan Ijmâ’ Sendiri

Dalam ksempatan ini, saya belum bermaksud membumi-hanguskan klaim palsu Ibnu Taymiah!Saya hanya ingin membuktikan bahwa apa yang ia katakan telah terjadi ijmâ’ dan kesepakatan para sahabat, tabi’în, para imam Syi’ah dan keluarga dekat Nabi saw. tentang pengutamaan Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as. adalah klaim palsu berdasarkan ucapan Ibnu Taymiah sendiri!!

Page 20: Ibn Taimiyah

Ini adalah sebuah contoh kontradiksi dalam pendapat dan klaim-klaim yang ia utarakan…Memang, man katsura kalâmuhu katsura khathauhu!

Coba Anda perhatikan poin-poin di bawah ini:

Pertama, Jika di sana Ibnu Taymiah telah melontarkan klaim ijma atas tafdhîl Abu Bakar, Umar bahkan Utsman atas Ali as. dan tidak seorangpun yang menentang masalah ini… maka ketahuilah bahwa dalam kesempatan lain, ia mundur teratur dalam klaim itu…

Sekarang ia mengatakan bahwa masalah tersebut adalah telah menjadi ajang perbedaan dan perselisihan sejak masa awal!

Ketika Allamah Hilli mengatakan bahwa Ali adalah paling afdhalnya makhluk setelah Rasulullah saw….

Ibnu Taymiah membantahnya dengan mengatakan:

(ه( أيضrا و" –صلى الله' رسول' بعد" الخلق' أفض"ل" كان طالب� أبي بن" علي¥ إن$ فقولد"ةn، دع3و"ى سلم آله'( و )و عليه الله ع" م(ج"ر$ 'م(ون فيها تناز"  األولين م'ن" ال3مسل

.اآلخرين

Adapaun ucapannya bahwa “Ali adalah paling afdhalnya makhluk setelah Rasulullah saw.” adalah tu adalah klaim belaka. Masalah itu telah diperselisihkan oleh jumhur kauim Muslimin, baik yang generasi pertama maupun yang terakhir![8] 

Subhanallah, di sana, di juz IV ia mengatakan telah terjadi ijmâ’, tidak ada yang memperselisihkan sama sekali masalah in… ternyata di sini, pada juz II halaman 119 ia mengatakan bahwa masalah itu telah menjadi ajang perbedaan dan perselisihan!! Apakah ia lupa apa yang ia tulis di juz II ini?

Ataukah emosi dan fanatisme buta yang menjadikannya melupakan apapun yang ia ketahui tentang adanya perbedaan kaum Muslimin sejak masa sahabat Nabi saw. agar kemudian ia dengan leluasa memproduksi ijmâ’  ?!

Yang pasti Ibnu Taymiah telah merobohkan ijmâ’ khayalannya sendiri!!

Kedua, Ibnu Taymiah berkata, “Jika ada yang berkata, ‘apabila apa telah sahih dari hadis-hadis tentang keutamaan Ali ra. seperti hadis “Aku akan serahkan bendera (pimpinan) kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya”, hadis

Page 21: Ibn Taimiyah

“Tidakkah engkau puas bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa” dan hadis “Ya hanya merekalah Ahlubaitku, maka hilangkan rijs dari mereka dan secikan mereka sesuci-sucinya” … apabila semua itu bukan khashaish, keistimewaan khusus Ali, akan tetapi juga disekutu oleh orang lain dalam hal itu, maka mengapakah sebagian sahabat berandai-andai memilikinya, seperti yang diriwayatkan dari Sa’ad ibn Abi Waqqâsh dan Umar ibn al Khaththab?Maka jawabnya adalah: Sesunguhnya pada yang demikian terdapat kesaksian dari Nabi saw. untuk Ali akan keimanannya baik secara batin maupun secara lahir, dan penetapan kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya dan keharusan atas kaum Mukminin untuk mencintainya.[9]

Nah, sekarang, jika sahabat Umar, Sa’ad dan lainnya saja berandai-andai memiliki keutamaan seperti yang dimiliki Ali as., walaupun hanya satu saja, dan berangan-angan andai Nabi sa. sudi memberikan kesaksian akan keutamaan bagi mereka seperti yang diberikan untuk Ali… bukankah itu semua pengakuan dari mereka bahwa Ali as. adalah lebi unggul dari mereka?!

Adakah pengakuan melebihi apa yang mereka katakana?!Lalu dimanakah kesepakatan para sahabat, seperti yang diklaim Ibnu Taymiah itu?

Ketiga, Ternyata Ibnu Taymiha tidak berhenti di sini dalam mengakui adanya perselisihan dalam masalah ini, dan pengakuannya bahwa hanya Ali-lah yang telah mencapai kesempurnaan iman lahir-batin, akan tetapi ia lebih  jauh, pada lesempatan lain ia mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ia katakana sebelumnya dalam masalah tafdhîl Abu Bakar dan Umar atas Imam Ali as.!! Berdasar hadis-hadis sahih dalam keyakinannya, Ibnu Taymiah mengatakan bahwa Ahlulbait Nabi saw. lebih utama dan lebih ungul darti seluruh kaum Muslimin dan yang paling utamanya mereka setelah Nabi saw. adalah Ali as.!!

Demikian Ibnu Taymiah menyimpulkan dair hadis-hadis sahih, tentunya ketika duduk merenung di keheningan suasana nun jauh dari pertikaian mazhabiah seperti ketika ia menulis buku Minhaj as Sunnah-nya. Dalam suasana jauh dari memperdebatkan masalah-masalah memazhaban, Ibnu Taymiah dengan lancar tanpa terseot-seot oleh fanatisme mazhabiah ia menegaskan keunggulan bani Hasyim atas suku-suku laion dari bangsa Quraisy, apalagi dari selainnya!Ibnu Taymiah berkata, “Sesungguhnya bani Hasyim adalah paling unggulnya suku Quraisy, dan suku Quraisy adalah paling unggulnya bangsa Arab, dan bangsa Arab adalah paling unggulnya anak keturunan Adam, sebagaimana telah sahih dari Nabi saw. sabda dalam

Page 22: Ibn Taimiyah

hads sahih, “Sesunggunhya Allah memilih keturunan Ismail, dan memilih Kinanah dari  keturunan Ismail, dan memilih Quraisy  dari keturunan Kinanah, memilih bani Hasyim dari  suku Quraisy.”  

Dalam Shahih Muslim dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda di Ghadir Khum, “Aku peringatkan kalian akan Ahlulbaitku! Aku peringatkan kalian akan Ahlulbaitku! Aku peringatkan kalian akan Ahlulbaitku!.”

Dalam kitab-kitab Sunan disebeutkan bahwa Abbas mengeluhkan kepada beliau saw. bahwa sebagian orang Quraisy menghinakan mereka )bani Hasyim(, maka beliau saw. bersabda, “Demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tiada akan masuk surga sehingga mereka mencintai kalian karena Allah dank arena kecintaan kekerabatnku.”…

Dan apabila mereka itu paling afdhalnya makhluk maka tidak diragukan lagi bahwa amal-amal mereka adalah paling afdhalnya amal perbuatan!

Maka paling afdhalnya mereka adalah Rasulullah saw. yang tiada tandingan dari kalangan manusia.Maka orang mulia dari kalangan mereka tentu lebih utama dari orang mulia dari suku-suku Quraisy dan bangsa Arab lainnya bahkan dari bani Israil dan selainnya.Kemudian Ali, Hamzah, Ja’far, Ubaidullah ibn Harits adalah orang-orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan Muhajirin, jadi mereka lebih afdhal dari sahabat peringkat thabaqah kedua dari suku-suku lain. Oleh sebab itu ketika hari perang Badar, Nabi saw. memerintah mereka untuk tampil berdual menghadapi kafir Quraisy![10]

Demikianlah apa yang dikatakan Ibnu Taymiah dalam kitabnya Ra’sul Husain, adakah kesamaran pada kata-katanya? Bukankah ia sebagai sebuah pengakuan tegas bahwa Ahlulbait lebih utama dan lebih unggul?! Perhatikan kata-kata Ibnu Taymiah ini: Maka orang mulia fadhil dari kalangan mereka tentu lebih utama dari orang mulia dari suku=suku Quraisy dan bangsa Arab lainnya bahkan dari bani Israil dan selainnya. Dan dan apabila mereka itu paling afdhalnya makhluk maka tidak diragukan lagi bahwa amal-amal mereka adalah paling afdhalnya amal perbuatan!

Dengan demikian ia semestinya menyahakan sesiapa yang menyalahi pendapat ini dalam maalah tafdhîl! Sebab pengutamaan Ahlulbait dan bani Hasyim bersifat rabbani, dari Allah SWT. Dan Allah-lah yang berkehendak menetapkan keunggulan mereka atas semua manusia!Sementara pengunggulan selain Ali atas Ali as. adalah omongan orang! Tetapi mengapa justru Ibnu Taymiah berpendapat sebaliknya, ia menyerang dan menghujat sesiapa yang mengutamakan Ali atas para sahabat, termasuk Abu Bakar dan Umar, dan dianggapnya pendapat

Page 23: Ibn Taimiyah

itu mencemooah para sahabat yang –katanya- telah mengutmakan Utsman atas Ali! Lalu apalagi mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar!

Apakah Ibnu Taymiah lupa bahwa dengan sikapnya itu ia bertentangan dengan sabda Nabi suci dalam hadis isthifâ’ yang ia sahihkan sendiri?!

Apakah pendapat segentir sahabat lebih diutamakan dari firman Alah dan sabda nabi-Nya?! Lalu apabila terjadi kontradiksi antara keduanya, manakah yang harus kita ambil, pendapat sahabat atau firman Allah dan sabda Nabi-Nya?!

Apakah firman Allah dan sabda Nabi-Nya akan kita campakkan hanya kerena omongan segentir sdahabat?!

Atau bahkan karena adanya ijmâ’ fikitif ala Ibnu Taymiah? 

[1] Minhaj as Sunnah,4/98. [2] Minhaj as Sunnah,4/99.

[3] Minhaj as Sunnah,3/213.

[4] Al Fishal fi al Milal wa an Nihal,4/111.

[5] Murûj adz Dzahab,3/12-13, Waq’at ash Shiffîn:118-120 dan Syarah Nahjil Balâghah,3/188.[6] Murûj adz Dzahab,3/63.[7] Minhaj as Sunnah,3/213.

[8] Minhaj as Sunnah,2/119.

[9] Minhaj as Sunnah,3/11-12.[10] Ra’sul Husain:200-201. 

Ibnu Taymiah Menolak Tafsir Nabi Saw (2)

Setelah Anda saksikan bagaimana bantahan atas tuduhan Ibnu Taymiah bahwa hadis tentang tafsir ayat al-Mawaddah adalah lemah dan kidzbun, dan ayat tersbut tidak ada sangkut pautnya dengan perintah kecintaan kepada al-qurba, kerabat, ahlulbait nabi saw.. Kini mari kita ikuti komentar lanjutan Ibnu taymiah dalam masalah ini.

Menyoroti Alasan Kedua

Adapun alasan mereka yang kedua juga tidak benar karena kita dengar sendiri bahwa Ibnu Hajar memuji perawi yang berfaham Syi’ah itu dengan kata-kata: ( nص"د(و3ق $ه( "ك'ن dan , (لmemang demikianlah seharusnya akhlak dan perangai para pangikut setia Ahlulbait as.

Page 24: Ibn Taimiyah

Kita tidak heran jika Husain Al-Asyqar dikenal sebagai seorang yang jujur dan berperilaku baik, sebab memang demikian didikan yang diberikan oleh para Imam Ahlulbait as. kepada para pengikut mereka.

Peryataan yang sama juga datang dari Ibnu Hibban sebagaimana dimuat oleh Al-Dzahabi dalam Tahdzib al Tahdzib[1], ia menegaskan bahwa Ibnu Hibban memasukkannya dalam daftar para perawi tsiqaat, terpecaya.

Al Dzahabi juga memuat komentar Yahya ibn Ma’in, Ibnu Junaid berkata, ”Aku mendengar Ibnu Ma’in menyebut-nyebut Husain al- Asyqar, dan mengatakan ia tergolong Syi’ah yang “ekstrim”, aku bertanya kepadanya, bagaimana hadis riwayatnya? Ia menjawab, “Tidak apa-apa”. Aku bertanya lagi, ‘Apakah ia seorang yang sangat jujur?’ Ia menjawab, “Ya, aku menulis hadis darinya”.[2]

Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah Anda meriwayatkan hadis dari Husain al Asyqar? Ia menjawab, “Ya”. Ia menurutku bukan orang yang suka berbohong. Walau pun Imam Ahmad mengakui bahwa Al Asyqar berfaham Syi’ah.[3]

Husain al Asyqar di Mata Para Ulama Ahli Jarh wa Ta’dîl

Dalam Tahdzib al Thdzib disebutkan pernyataan Ibnu Ma’in sebagai berikut: Ibnu Junaid berkata, “Aku mendengar Ibnu Ma’in menyebut-nyebut Al Asyqar, ia mengatakan, “Dia adalah seorang dari Syi’ah Ghaliyah (ekstrim). Aku bertanya, bagaimana hadisnya? Ia menjawab, “Tidak apa-apa. Aku bertanya lagi, “ Ia jujur?” Ibnu Ma’in menjawab,” Ya. Aku menulis hadis darinya.

Ibnu Hibban menggolongkannya sebagai periwayat tsiqah (jujur terpercaya). Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda meriwayatkan dari Husain al Asyqar? Ia menjawab “Menurut saya dia bukan seorang pembohong. Ia mengatakan penegasan ini kendati ia mengakui kesyi’ahannya.

Ayat al Mawaddah adalah Makkiyah

Ayat yang sedang kita bahas ini terdapat pada Surah asy-Syûrâ yang merupakan surah Makkiyah (turun sebelum Hijrah). Waktu itu Hasan dan Husain belum lahir, bahkan Ali dan Fatimah pun belum menikah. Kalau ayat ini dialamatkan kepada mereka tentu tidak tepat, karena berarti kita diperintah untuk mencintai orang-orang yang sebagian darinya belum lahir ke dunia.

Seperti telah Anda baca bagaimana Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa para ulama telah bersepakat bahwa seluruh ayat-ayat surah asy- Syûrâ adalah Makkiyah tanpa terkecuali, “Dan yang menerangkan hal itu (kepalsuannya) ialah bahwa ayat ini turun di Makkah berdasarkan kesepakatan ulama, ahli ilmu.”

Dalam hal ini, perlu diperhatikan beberapa poin:

Page 25: Ibn Taimiyah

1) Sebelumnya saya ingin menjelasakan bahwa untuk membedakan antara ayat-ayat Makkiyah (turun sebelum hijrah) dan ayat-ayat Madaniyah (turun setelah hijrah) itu dapat dilakukan dengan dua cara:

Cara Pertama: Mengkaji dan memperhatikan kandungan dan isi ayat-ayat itu sendiri, karena hal itu akan dapat dijadikan pijakan yang menentukan. Para ulama dan pakar tafsir memberikan patokan umum bahwa setiap ayat yang mengandung masalah-masalah:

A) Tauhid dan ketuhanan,

B) Kritikan terhadap penyembahan patung dan berhala,

C) Ajakan untuk beriman kepada Allah dan hari akhir,

D) Kisah-kisah tentang umat terdahulu dan yang semisal nya,

maka ia termasuk dalam kategori Makkiyah, karena situasi dan fase tabligh di Makkah sebelum hijrah menuntut penekanan masalah-masalah di atas.

Adapun ayat-ayat yang bertemakan:

A) Penjelasan hukum ibadah dan mu’amalah, masalah jihad dan semua yang berkaitan dengannya, serta perincian undang-undang sosial, ekonomi dan segala bentuk perjanjian antar negara (pemerintahan),

B) Ajakan kepada Ahlul Kitab untuk menganut agama Islam dan kritikan atas akidah mereka yang menyimpang dan sikap mereka yang tidak konsisten terhadap ajaran mereka sendiri.

C) Bagaimana sifat dan sikap kaum munafik, membongkar makar dan kegiatan terselubung mereka yang jahat dan memperingatkan kaum Muslim akan bahaya yang diakibatkannya atas Islam dan eksistensi ajarannya, maka ia termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniyah.

Dengan cara ini para ulama dan pakar tafsir telah mampu mengungkap banyak kesamaran ayat-ayat yang masih diperselisihkan statusnya.

Jika Ibnu Taimiyah dan para pengagumnya menjadikan cara ini sebagai tolok ukur dan pedoman untuk menentukan status sebuah ayat, niscaya dengan mudah mereka akan memastikan bahwa ayat al Mawaddah adalah ayat Madaniyah, karena kandungannya sangat sesuai dengan kondisi dan fase da’wah di kota Madinah saat itu, sebab tidak logis kalau Nabi saw. mengajukan permohonan seperti yang termuat dalam ayat tersebut kepada kaum kafir Makkah yang memusuhi beliau dan selalu mencari-cari kesempatan untuk menghabisi nyawa beliau.

Page 26: Ibn Taimiyah

Permintaan untuk mencintai Ahlulbait as. seperti ditegaskan dalam ayat al Mawaddah tersebut sangat tepat jika diajukan kepada umat Islam setelah mereka mencapai sebagian besar tujuan mereka dan mulai hidup dalam situasi yang tenang dan menguntungkan.

Cara Kedua: Kembali kepada riwayat, dan peryataan para ulama dan pakar tafsir dan mereka yang banyak berkecimpung dalam kajian-kajian Al-Quran.

Apabila cara ini yang diandalkan oleb Ibnu Taimiyah dan para pemujanya, maka tentu dengan mudah mereka akan menemukan pendapat yang benar, karena para ulama dengan tegas telah menyatakan bahwa ayat Al Mawaddah dan beberapa ayat lainnya pada surah Asy-Syûrâ adalah Madaniyah kendati status surah itu Makkiyah.

Burhanuddin Abu lshaq Al Biqa’i (wafal tahun 85 H) dalam kitabnya Nadzmu Al Durar Fi Tanaasuqi Al Aayaat Wa Al Suwar menegaskan sebagai berikut, “ Surah Al Syûrâ Makkiyah kecuali ayat: 23, 24, 25 dan 27[4].

Pernyataan serupa juga datang dari beberapa ulama lain di bawah ini akan saya sebutkan sebagian darinya.

A) Al Khazin dalam tafsirnya: “Surah al-Syura berstatus Makkiyah dalam pendapat Ibnu Ibbas dan jumhur mufassirin. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas,” kecuali empat ayat turun di Madinah, yang pertama adalah ayat al Mawaddah.”[5] Lalu ia menambahkan, “Dan sebenarya bukan hanya empat ayat ini saja yang berstatus Madaniyah, di sana masih ada beberapa ayat lain yang juga turun di Madinah, sebagian ulama berpandangan bahwa ayat 39 sampai dengan ayat 44 juga Madaniyah.[6]

B) Nidzamuddin Al Nisaburi dalam tafsimya mengatakan, “Surah Asy-Syûrâ Makiyah kecuali empat ayat diantaranya adalah ayat Al Mawaddah sampai akhir, ia turun di Madinah.[7]

C) Asy Syaukani menegaskan, “Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qatadah bahwa surah ini makkiyah kecuali empat ayat yang turun di Madinah yaitu ayat al Mawaddah sampai akhir surah”.[8]

D) Al Hafidz Ibnu Jazzi al Kalbi mengatakan, “Surah asy-Syûrâ Makkiyah kecuali ayat 23,24,25 dan 27 adalah Madaniyah.[9]

E) Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “ Surah asy-Syûrâ Makkiyah dalam pendapat Hasan, Ikrimah, Atha’ dan jabir. Dan Ibnu Abbas dan Qatadah mengecualikan empat ayat, ia turun di Madinah, yaitu ayat al Mawaddah hingga akhir”.[10]

F) Al Maraghi, Ahmad Musthafa mengatakan, “Surah Al Syûrâ Makkiyah kecuali ayat 23,24,25,26 dan 27, ia Madaniyah.”.

G) Farid Wajdi dalam kitab al Mushhaf Al Mufassar, “ Asy-Syuura Makkiyah kecuali ayat 23,25 dan 27, ia Madaniyyah.”[11]

Page 27: Ibn Taimiyah

Sebenarnya dengan keberatan yang ia lontarkan, Ibnu Taimiyah justru membuktikan kelemahannya sendiri dalam ilmu-ilmu Al quran. Ia tidak mengerti bahwa satatus Makkiyah yang disandang sebuah surah tidak berarti seluruh ayat-ayatnya tanpa terkecuali turun sebelum hijrah Nabi saw. ke Madinah.

Dan perlu saya tambahkan bahwa pengecualian seperti tersebut di atas tidak terbatas hanya pada surat Al Syûrâ saja akan tetapi juga terdapat pada surah-surah yang lain. Hal ini terjadi karena peletakan ayat-ayat Al quran tidak ditetapkan berdasarkan urutan turunnya namun ditetapkan oleh Nabi saw. secara langsung berdasarkan wahyu (tauqifi).

Untuk lebih jelasnya akan saya sebutkan beberapa contoh pengecualian tersebut pada beberapa surah yang saya kutipkan dari beberapa kitab tafsir yang menjadi andalan banyak ulama.

1. Surah Al ‘Ankabut Makiyah kecuali sepuluh ayat pertama ia Madaniyah[12].

2. Surah Al Kahfi ia Makkiyah kecuali tujuh ayat pertama dan ayat 28.[13]

3. Surat Huud Makkiyah kecuali ayat 12 dan ayat 114.[14]

4. Surah Maryam Makkiyah kecuali ayat 71.

5. Surah Al Ra’ad Makkiyah kecuali ayat 31 dan beberapa ayat lain. Atau justru sebaliknya, semuanya Madaniyah kecuali ayat-ayat tertentu saja yang makkiyah.[15]

6. Surah Ibrahim Makkiyah kecuali ayai 28 dan ayat berikutnya.[16]

7. Surah Alisraa’ Makkiyah kecuali ayat 76 sampai ayat 80.[17]

8. Surah A1-Haj Makkiyah kecuali ayat 11.[18]

9. Surah Al Nahl Makkiyah kecuali ayal l26.[19]

10. Surah Al Qashash Makkiyah kecuali ayal 52.[20]

11. Surah Al Qamar Makiyah kecuali ayat 45.[21]

12. Surat Yunus Makkiyah kecuali ayat 94 dan ayat berikutnya.[22]

Setelah apa yang saya sebutkan di atas, kalau pun ternyata mereka masih keberatan dan tetap bersikeras mengatakan bahwa ayat al Mawaddah adalah makkiyah, maka perlu diketahui bahwa status kemakkiyahan itu tidak berarti bertentangan dengan tafsrian yang saya utarakan, dan kenyataan bahwa Imam Hasan dan Imam Husain sa’at itu belum lahir tidak cukup alasan untuk membatalkan penafsiran itu, hal itu terbukti karena beberapa alasan:

Page 28: Ibn Taimiyah

Pertama: Perintah untuk mencintai Dzawi al Qurbâ (keluarga dekat) yang ada dalam ayat tersebut merupakan hukum Islam yang besifat umum dan mencakup mereka yang sudah lahir mau pun yang belum, tidak terbatas pada mereka yang sudah lahir saja.

Perintah yang ada pada ayat Al Mawaddah tersebut sama dengan perintah untuk berwasiat yang terdapat dalam ayat 11-12 surah al Baqarah.

Perintah dalam ayat di atas bukan berarti terbatas pada anak-anak yang sudah lahir saja ketika ayat itu turun, akan tetapi juga berlaku untuk anak-anak yang akan lahir setelah diturunkannya ayat tersebut.

Kedua: Andai kita terima anggapan mereka bahwa ayat itu turun di Makkah sebelum hijrah (Makkiyah), hal itu tidak berarti menafsirkan ayat Al Mawaddah dengan perintah mencintai Ahlulbait as. (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as.) salah dan menyimpang, sebab tidak tertutup kemungkinan bahwa ayat itu turun dua kali, sekali di Makkah sebelum hijrah dan sekali lagi setelah hijrah di Madinah setelah Imam Ali dan Fatimah as. menikah, dan Hasan dan Husain telah lahir. Yang demikain bukan hal ganjil dan mengada-ada, dan banyak kita temukan dalam Al qur’an ayat-ayat yang dinyatakan para ulama dan ahli tafsir turun dua kali atau bahkan lebih.

Jalaluddin al Suyuthi membahas panjang lebar jenis ini dalam Al-Itqaannya, ia mengatakan, “(Jenis kesebelas): Ayat-ayat yang turun berulang kali. Sekelompok ulama’ klasik dan kontemporer menegaskan bahwa di antara ayat-ayat Al qur’an ada yang turun berulang kali.” Kemudian ia menyebutkan beberap contoh tentangnya.

Ibnu Hajar pun menegaskan bahwa hal itu tidak ada halangan.

Jadi apa salahnya jika kita menyakini bahwa ayat Al Mawaddah ini termasuk salah satu darinya!

Ketiga: Tidak tertutup kemungkinan juga bahwa Nabi saw. menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah untuk mencintai Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as. setelah mereka berdua menikah dan dikarunia dua putra suci tersebut. Dan itu artinya beberapa tahun setelah ayat itu turun barulah Nabi saw. menafsirkannya bahwa yang dimaksud adalah kecintaan kepada mereka as. Dan yang demikian bukan hal yang ganjil. Para ulama dan pakar ilmu-ilmu Al quran menyebutnya dalam pembahasan ayat-ayat yang keterengan hukumnya dijelaskan belakangan jauh setelah turunnya ayat.

Jalaluddin al Suyuthi dalam Itqaannya menerangkan, “(Jenis kedua belas): Ayat-ayat yang hukumnya terlambat dari turunnya dan turunnya terlambat dari hukmnya.”

Al Zarkasyi dalam Al Burhannya menegaskan sebagai berikut, “Dan terkadang turunnya sebuah ayat itu mendahului hukumnya…“. Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh tentangnya.

Page 29: Ibn Taimiyah

Jadi, penafsiran yang saya sebutkan tidaklah menyimpang walau pun kita meyakini bahwa ayat ini turun di Makkah sebelum Imam Ali dan Siti Fatimah menikah dan Hasan dan Husain as. belum lahir. Ayat ini adalah salah satu dari contoh dari jenis itu.

Keempat: Atau Nabi saw. setelah menerima ayat tersebut langsung menafsirkannya, dan ini termasuk salah satu tanda-tanda kenabian dan sebagai bukti keagungan mereka yang nama-namanya beliau sebut kendati sebagia dari mereka belum lahir. Sebagaimana Allah SWT mengabarka kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa as. akan kedatangan nabi akhir zaman Muhammad saw. dan memperkenal kan kepada mereka keagungan dan kewajiban atas mereka terhadapnya.

Tidaklah aneh apabila Nabi Muhammad saw. menyampaikan kepada umat beliau kabar gembira akan lahirnya kedua cucu suci beliau; Hasan dan Husain as., sama dengan banyak kabar ghaib yang akan terjadi di masa akan terjadi sepeninggal beliau, bahkan jauh setelah beliau wafat , seperti pemberitahuan Nabi saw. tentang:

1. Akan datangnya dua belas khalifah/pemimpin setelah beliau.

2. Tercetusnya perang Jamal , Shiffin dan Nahrawan, yang dikobarkan oleh para pemberontak terhadap Khalifah yang sah Ali ibn Ali Thalib as. dan Nabi saw. memerintahkan Imam Ali agar memerangi mereka.

3. Adanya kedengkian yang tependam rapi di dalam dada-dada sebagia sahabat terhadap Ali as. yang tidak akan mereka tampakkan kecuali setelah Nabi saw. wafat.

4. Imam Ali as. akan gugur syahid dengan hunusan pedang seorang yang paling celaka dan paling durhaka; asyqaa al akhiriin, dan janggut beliau akan terbasahi darah suci yang menyembur yang merubahnya menjadi kemerah-merahan.

5. Nasib putri tercinta Nabi saw.; Fatimah as., dimana beliau jelaskan bahwa ia adalah keluarga pertama yang akan menyusul kematian beliau saw.

6. Derita yang akan dialami Imam Hasan cucu tercinta beliau saw., serta madu beracun yang merengut jiwa beliau as.

7. Tragedi Karbala yang akan dialami Imam Husain as. dan kelurga beliau, dimana sebagia umat akan membantai beliau dengan penuh kekejian dan kezaliman.

8. Nasib yang akan dialami Ahlulbait dan anak cucu Nabi saw. , dimana sebagai umat akan mengejar-ngejar, membantai dan memperlakukan mereka dengan kejam dan zalim.

9. Akan terjadinya kemurtadan masal yang dialami oleh jumlah yang tidak sedikit dari sahabat-sahabat beliau saw., seperti diriwayatkan Bukhari dan para muhaddis lain tentang hadis Haudh.

10. dll.

Page 30: Ibn Taimiyah

Semua itu telah terjadi persis seperti apa yang dikabarkan Nabi saw. dalam sabda-sabda beliau kepada kita dan telah menjadi bagian dari lembaran-lembaran sejarah kaum Muslim.

Selain itu semua, bahwa para sahabat dan tabi’in yang selalu dibanggakan Ibnu Taymiah dan para pemujanya sebagai Salafush Shaleh telah memahami ayat tersebut sebagai perintah mencintai Ahlulbait Nabi saw., seperti dapat kita baca dalam kitab-kitab tafsir para ulama Ahlusunnah!

Dengan demikian dapat disimulkan bahwa penolakan Ibnu Taymiah terhadap tafsir Nabi sa. Adalah sangat tidak beralasan dan justru sangat tendensius. Usahanya itu hanya sia-sia belaka… dan justru mempermalukan dirinya sendiri. Dan sepanjang masa akan menjadi bahan tertawaan dan cemoohan umat Islam generasi demi generasi!

_______________________________

[1] Tahdzîb al Tahdzîb,2/336.

[2] Baca al ‘Atbu al Jamil:55-56.

[3] Al Qul al Fashl.1,484.

[4] Lihat Târîkh Al Qur’an karya Az Zanjani, hal 85.

[5] Tafsir al Khazin.6,98.

[6] Perlu diketahui bahwa penentuan kategori surah, apakah ia Makkiyah atau Madaniyah itu ditinjau dari kebanyakan ayat-ayatnya, jika ayat yang terbanyak Makiyah seperti surat Al Syura misalnya maka surah tersebut juga dikategorikan Makiyah dan begitu juga sebaliknya. Demikian diterangkan para ulama.

[7] Tafsir Gharaib al Qur’an (dicetak dipinggir tafsir ath Thabari).25,9.

[8] Tafsir Fathu al Qadiir.4, 510.

[9] At Tashîl Fi ‘Uluum al Tanzîl.4, 17.

[10] Al Jâmi’ Li Ahkâm al Qur’an.16,1.

[11]Al Mush-haf Al Mufassar:638.

[12] Tafsir al Thabari.20,86, tafsir Al Qurthubi .20,323 dan tafsir al Sirâj al Munir.3,16.

[13] Tafsir Al Qurthubi .10,346 dan Al Itqân.2,16.

[14] Tafsir Al Qurthubi .9,1 dan tafsir al Sirâj al Munir.2,40

Page 31: Ibn Taimiyah

[15] Tafsir al Thabari.9,278, dan tafsir Mafâtih al Ghaib.12,261.

[16] Tafsir Al Qurthubi .10,203, Mafâtih al Ghaib.5,540 dan Al Sirâj al Munir.2,261.

[17]Tafsir Al Qurthubi i9,338 dan Al Sirâj al Munir.2,159.

[18] Tafsir Al Qurthubi 12, 1dan Al Sirâj al Munir.2,511 dan Mafâtih al Ghaib.6,206.

[19] Tafsir Al Qurthubi.5,65 dan Al Sirâj al Munir.2,25.

[20] Tafsir Al Qurthubi.13,245 dan Mafâtih al Ghaib.6,586.

[21] Al Sirâj al Munir.4,136.

[22] Mafâtih al Ghaib.4,774, Al Itqân.1,15 dan Al Sirâj al Munir.3,2.

 

Edisi Terbaru Kebohongan Ibnu   Taymiah!

Posted by Zainal Abidin under Ibnu Taymiah Menolak Setiap Nash Keutamaan Ali ra, Manhaj  Ibnu Taymiah Menolak Ayat al Indzâr Turun untuk Imam Ali as.

Seperti telah disinggung, bahwa barometer benar-salah dalam pandangan Ibnu Taymiah

adalah hawa nafsu, apapun yang cocok dengan hawa nafsunya ia akan katakan sahih

berdasarkan kesepakatan para ulama dan ahli hadis, dan apapun yang tidak sesuai dengan

hawa nafsunya, maka dengan tanpa tanggung jawab pasti ia katakan palsu bersadarkan

kesepatapan para ulama hadis! Inilah kenyataannya, walaupun pahit rasanya didengar dan

apalagi diakui oleh para penggemarnya!

Kalau Ibnu Taymiah berkepentingan demi membela klaim-klaim konyolnya, ia

mengatakan bahwa si alim atau periwayat itu adalah jujur, teliti dan hati-hati dalam

menyeleksi hadis. Jika hawa nafsunya mendektekan kepadanya kepentingan tertentu

maka ia tidak segan-segan mengatakan bahwa si alim fulan itu ceroboh, pemungut kayu

bakar di kegalapan, hâthibu lail (tidak mampu memilah dan memilih), atau bahkan

menduhnya zindiq atau tidak wara’ dalam agama dan lain sebagainya!

Agar kita tidak berlarut-larut dalam mengatakannya, saya akan ajak Anda menyaksikan

langsung adengan pengkhianatan Ibnu Taymiah terhadap makna kejujuran dan obyetifitas

Page 32: Ibn Taimiyah

kajian. Sebelumnya telah Anda baca bagaimana ia memuji ketelitian Ibnu Jarir ath

Thabari dan al Baghawi, yang ia katakan tidak seperti ats Tsa’labi atau al Wahidi yang

tidak selektif sehingga mencampuradukan dalam buku mereka antara hadis sahih dan

hadis dha’if, bahkan memasukkan hadis-hadis mauwdhû’at (palsu) dan tafsiran ahli

bid’ah!!!

Ath Thabari dan al Baghawi  Meriwayatkan Hadis ad Dâr Yauma al Indzâr

Hadis ad Dâr Yauma al Indzâr adalah hadis yang mengisahkan sebab turunnya ayat al

Indzâr. Allah SWT berfirman:

3ذ'ر3 "ن "ك" و"ا ت 3ر" ي 3ن" ع"ش' 'ي ب "ق3ر" 3ال ا

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS.26;214)

Ketika ayat di atas turun, Nabi saw. mengumpulkan keluarga beliau di rumah Abu

Thalib, paman beliau, dan menyampaikan dakwah Islam kepada mereka. Beliau berkata,

“Wahai Bani Abdul Muthalib, sesungguhnya aku tidak mengetahui ada seorang Arab

yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih afdhal dari apa yang

aku bawa. Aku datang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Dan Allah telah

memerintahku untuk mengajak kalian kepadanya. Maka siapakah di antara kalian yang

sanggup untuk mendukungku atas perkaraku ini dengan jaminan ia menjadi saudaraku,

pengemban wasiatku dan khalifahku di tengah-tengah kalian? Lalu semua terdiam

kecuali Ali yang ketika itu orang termuda di antara hadirin, ia berkata, “Saya wahai

Nabiyullah, siap menjadi pendukung Anda.” Dan Nabi memegang pundak Ali sambil

berkata, “Sesungguhnya ia adalah saudaraku, washiku dan khalifahku di antara kalian,

maka patuhi dan ta’ati ia.’ Kemudian mereka menertawakan beliau sambil berkata

kepada Abu Thalib, “Ia (Muhammad) telah memerintah Anda untuk patuh dan ta’at

kepada putra Anda sendiri.”

Sumber Kisah:

Kisah di atas telah diriwayatkan oleh banyak ulama Ahlusunnah dalam buku-buku

mereka. Para mufassir menyebutnya ketika mereka sampai pada penafsiran ayat indzâr.

Para sejarawan juga menyebutkannya ketika mereka menyebut masa peralihan  dari

dakwah sirran (sacara rahasia) menuju masa dakwah terang-terangan.Ikhtishar kata,

hadis di atas telah diriwayatkan dan diakui kesahihannya oleh banyak

ulama, khususnya ath Thabari dan al Baghawi.[1] 

Page 33: Ibn Taimiyah

Ath Thabari tidak cukup meriwayatkannya dalam buku tafsir belaiu,

tetapi juga dalam buku sejarah Tarikh al Umam wa al Mulûk beliau. [2] 

Ketika berhadapan dengan kenyataan ini, Ibnu Taymiah seakan kehilangan akal sehatnya

(dan sepertinya ia sangat sering kehilangan akal sehatnya, itupun kalau punya!!), ia

dengan tanpa peduli seakan tak pernah memuji kedua mufassir kondang dan kedua buku

tafsir mereka yang sering ia banggakan itu… Ibnu Taymiah  mengatakan bahwa buku-

buku itu juga sama saja dengan Tafsir ats Tsa’labi, juga banyak memuat hadis dha’if dan

sahih!!Ketika Allamah al Hilli –seorang tokoh besar Syi’ah di masanya- menyebut hadis

al Indzâr sebagai salah satu bukti Imamah Ali as. maka bangkitkan Ibnu Taymiah

membantahnya dari berbagai sisi. Ibnu Taymiah berkata pada sisi pertama bantahannya:

"Ë 'ن" 3س" الحديث" هذا إ "ي 3ئ� في ل ي (ب' م'ن3 ش" 3دون" التي ال3مسلمين" كت "ف'ي ت "س3 علم" منهAAا ي

، "ن' و المسانيد في وال ال3ص'حاح في ال النق3ل' "ر( التي والتفسير' المغاز'ي3 و السن ذك )AAي

"ج, الذي اإلسناد فيها ت (ح3 ه'، ي 'AAان إذا و بAAير كتب' بعض' في كAAتي التفسAAل( ال "AA3ق (ن فيهAا ي

3ح( ل' الضAAعيف( و الصحي 3AAير م'ثAAبي تفسAAد'ي3 و الثعلAAو'ي و الواح "AAل3 البغ "AAابن ح"ت$ى و ب

"م3 حAAاتم، أبي ابن  جريAAر د( يكن3 ل ر$ "AAة' م(ج "AAد� رواي 'AAؤآلء م'ن3 واحAAه r 'ه' على دليال ت صAAح"

'إتفاق' ' أه3ل' ب العلم …

Sesunguhnya hadis ini tidak terdapat dalam satupun buku kaum

Muslimin yang darinya diambil manfaat ilmu penukilan (hadis), tidak

dalam buku-buku Shahih, tidak pula dalam buku-buku Musnad, Sunan,

Maghâzi (sejarah) dan buku-buku tafsir yang menyebutkan sanad

(jalur) yang dapat diadikan hujjah. Dan apabila hadis ini diriwayatkan

dalam sebagian buku tafsir yang menukil hadis-hadis sahih dan dha’if,

seperti tafsir ats Tsa’labi, Al Wahidi, al Baghawi, bahkan juga tafsir

Ibnu jarir (ath Thabari) dan Ibnu Hatim, namun demikian sekedar

diriwayatkannya sebuah hadis oleh mereka bukan bukti kesahihannya,

seperti telah disepakati para ulama, ahli ilmu.

Luar biasa, obyektifitas  Sang “Syeikhul Islam” kita kali ini! Memang lidah tak bertulang,

tetapi bukan berarti pengucapnya tidak akan dimintai pertanggung jawaban kelak di

akhirat. Bagaimana ia mengatakan demikian?  Coba perhatikan ucapannya “namun

demikian sekedar diriwayatkannya sebuah hadis oleh mereka bukan bukti

Page 34: Ibn Taimiyah

kesahihannya”, lalu bagaimana jika hadis itu ternyata diriwayatkan oleh kebanyakan

mereka-seperti pada kasus kita sekarang ini- apakah ia bukti kesahihannya?!Apabila

buku-buku seperti di atas yang ia sebutkan tidak dapat dimanfaatkan kaum Muslimin

dalam ilmu penukilan, lalu buku apa dalam anggapan Ibnu Taymiah dapat

dimanfaatkan?! Bukankah, Tafsir ath Thabari, misalnya, selalu menyebutkan sanad

penukilannya, agar semua dapat menyaksikan langsung nama-nama periwayat dalam

sanad itu dan kemudian melakukan penelitian bagi yang mampu!

Alangkah gegabah dan cerobohnya ucapan Ibnu Taymiah “Sesunguhnya hadis ini tidak

terdapat dalam satupun buku kaum Muslimin yang darinya diambil manfaat ilmu

penukilan (hadis), tiodak dalam buku-buku Shahih, tidak pula dalam buku-buku Musnad,

Sunan, Maghâzi (sejarah) dan buku-buku tafsir yang menyebutkan sanad (jalur) yang

dapat diadikan hujjah.”

Bukankah hadis ad Dâr ini telah diriwayatkan dalam buku-buku induk kaum Muslimin,

baik buku sejarah, buku tafsir, buku hadis dan musnad?!

Dan untuk mempertegas anggapannya, ia mengatakan:

(ه( الحديث( ه"ذ"ا و" "ت "ن3 غاي (و3ج"د" أ (ب' في ي (ت ، و الغ"ث, فيها التي التفسير' ك "مين( فيهAAا و الث

3ث( "ةn م"و3ض(وع"ةn كثيرةn أحاد'ي مكذوب .)

Dan hadis ini, paling baik nasibnya ialah ia disebut dalam buku-buku

tafsir yang memuat yang buruk dan baik, di dalamnya terdapat banyak

hadis mauwdhû’ yang dipalsukan ….

Pada sisi kedua, ia memberikan sebuah metode praktis pembuktian kesahihan hadis,

pertama, dengan menguraikan sanad yang dapat tegak sebagai hujjah, kedua, dengan

pensahihan seorang pakar ilmu hadis yang kredebel yang dapat diandalkan dalam

mensahihkan hadis!

Dan kedua cara ini akan saya tempuh sesuai dengan arahan sang Syeikhul Islam-nya

kaum Wahabi!!

Ia kembali mempertegas tuduhan akan kepalsuan hadis tersebut, dan karenanya-katanya-,

tidak seorangpun dari ulama andalan yang sudi meriwayatkannya!!

Ibnu Taymiah berkata:

'ن$ 'ذ3بn الحديث" هذا إ موضوعn ك ،

Page 35: Ibn Taimiyah

   "م3 لهذا و و'ه' ل "ر3 ع( التي الكتب' في منه(م3 أح"دn ي "AAج (ر3 ، في إليAAه' ي والت' )AA3ق 3من "ن$ ال أدنى أل

"ه( م"ن3 "م( بالحديث' معرف"ةn ل "ن$ يع3ل كذبn هذا أ …

“Hadis ini adalah kidzbun mawdhû’, kebohongan yang dipalsukan, oleh

karena itu tidak seorangpun dari ulama meriwayatkan dalam buku-

buku yang menjadi rujukan dalam hal manqûlât (data-data yang

dinukil=hadis), sebab sedikit saja orang memiliki pengetahuan tentang

hadis pasti mengetahui bahwa ia adalah kebohongan… “[3] 

Kemudian ia mulai mencacat satu-persatu periwayat dalam sanad ath Thabari, Ibnu Abi

Hatim dan ats Tsa’labi, seperti akan Anda saksikan nanti berikut tanggapan kami.Telah

Anda baca sendiri bagaimana Ibnu Taymiah memastikan bahwa hadis itu tidak

diriwayatkan oleh seorangpun dari ulama ahli hadis dan buku-buku mereka! Sementara

itu hadis ini telah diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad sahih.

Perhatikan hadis riwayat Ahmad di bawah ini:

)1(  Abdullah menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, ayahku

)Ahmad( menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Aswad ibn

Âmir menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Syarîk

menyampaikan hadis kepada kami dari al A’masy dari al Manhâl dari

Abbâd ibn Abdullah al Asadi dari Ali-ra-, ia berkata, …. )kemudian

beliau mengisahkan peristiwa itu(.”[4] 

Al Haitsami setelah menyebutkan hadis di atas dalam Majma’ az Zawâid-nya

berkomentar: "ح3م"د(، رواه( (ه( و أ ثقاتn رجال

“Diriwayatkan oleh Ahmad dan rijâl, para perawinya tsiqah, jujur terpecaya.”[5] 

Hadis ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab  Fadhâil Ali ibn Abi Thalib: 310

hadis 232 dengan sanad yang sama.Ibnu katsir dalam Tafsirnya juga meriwayatkannya

dari berbagai jalur, sebagian darinya sahih.[6]Dan al Hakim juga meriwayatkannya dalam

al Mustadrak dan mensahihkannya.[7] 

)2(  Abdullah menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, ayahku

)Ahmad( menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Affân

menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Abu ‘Awanah

menyampaikan hadis kepada kami dari Utsman ibn Mughîrah dari Abu

Page 36: Ibn Taimiyah

Shadiq dari Rabî’ah ibn Nâjidz dari Ali –ra- ia berkata, “Rasulullah saw.

mengumpulkan –atau –mengumpulkan bani Abdul Muththalib ….

)kemudian beliau mengisahkan peristiwa itu(.”[8] 

Sanad hadis di atas juga sahih, an Nasa’i telah meriwayatkannya dalam kitab Khashâish-

nya dari jalur Rabî’ah ibn Nâjidz.[9]Ahmad juga meriwayatkannya dalam kitab

Fadhail:446 hadis 345.Al Bazâr meriwayatkannya, begitu juga ath Thabarani dalam al

Awsath dengan ringkas, dan darinya al Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ az Zawâid,

kemudian setelahnya ia berkomentar, “Para perawi Ahmad dan salah satu jalur al

Bazzâr adalah adalah para perawi (yang diandalkan dalam ) kitab Shahih, kecuali

Syarîk, tetapi ia tsiqah.”[10] 

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, ath Thabari, ath Thahawi, Ibnu Abi Hatim,

Ibnu Mardawaih, Abu Nu’aim dan adh Dhiyâ’ al Maqdisi… dari mereka semua al

Muttaqi al Hindi meriwayatkan dalam Kanz al Ummâl-nya, dan ia mengatakan hadis ini

disahihkan ath Thabari… sebagimana  adh Dhiyâ’ al Maqdisi tidak meriwayatkan dalam

bukunya al Mukhtârah kecuali hadis sahih. Dan perlu disampaikan di sini, bahwa dalam

pandangan Ibnu Taymiah hadis-hadis kitab al Mukhtârah lebih sahih dari kitab

Mustadrak-nya al Hakim.[11] 

Pensahihan Para Ulama Ahlusunnah

Seperti telah Anda baca pensahihan para ulama sebagaimana saya sebutkan, di antaranya

adalah al Hakim, al Haitsmi dll. Selain mereka banyak ulama lain yang tegas-tegas

mensahihkan hadis tersebut, di antara mereka adalah Syihabiddin al Khaffâji ketika ia

menyebut mu’jizat-mu’jizat Nabi saw. dalam memperbanyak makanan yang sedikit, ia

berkata, “Dan rincian masalah ini termaktub dalam kitab ad Dalâil karya al Baihaqi dan

lainnya dengan sanad yang sahih, bahwa ketika turun ayat … .“[12] 

Para Periwayat hadis  tersebut adalah Tsiqât

Dan –sesuai nasehat Ibnu Taymiah-kita perlu melihat langsung kualitas setiap periwayat

yang menjadi perantara periwayatan hadis yang sedang dicacat dan dipalsukan Ibnu

Taymiah!Dalam usahanya membohongkan hadis di atas, Ibnu Taymiah mulai mencacat

beberapa periwayat dalam silsilah, mata rantai sanadnya. Ia berkata:

'ن$ 'ذ3بn الحديث" هذا إ موضوعn ك ،

Page 37: Ibn Taimiyah

  "م3 لهذا و و'ه' ل "ر3 ع( الAAتي الكتب' في منه(م3 أح"دn ي "AAج (ر3 ، في إليAAه' ي والت' )AA3ق 3من "ن$ ال أدنى أل

"ه( م"ن3 "م( بالحديث' معرف"ةn ل "ن$ يع3ل ، هذا أ nر ابن( رواه( قد3  كذبAو'ي3 و جري "Aناد� البغAAس'� 'إ ب

عn هAAو و الكAAوفي مAAريم أبAAو ف"هد بن القاسم بن الغ"ف$ار' عبد( فيه' "AAه'، على م(ج3م 'AAترك

"ه( 'ق"ة�، أحمد: ليس قال و داود، أبو  حرب بن سماك كذ$ب ه' عامة بث 'AAأحاديق . ل( 'AAبواط

. و يضAAع( معين: كAAان بن يحي قال حAAاتم: مAAتروك( أبAAو و النسAAائي قAAال الحAAديث"

. و الخمAAر يشAAرب( القاسAAم بن الغفAAار عبAAد البستي: كان حبان ابن( قال الحديث'

$ى ، حت (ر" (ق"ل$( ذلك" مع هو و يسك و. يحي و أحمد تركه( و به اإلحتجاج( اليجوز األخبار ي

قAAال بثقة�، ليس هو  ، القدوس عبد بن الله عبد إسناد'ه' في و حاتم أبي ابن( رواه

، معين: ليس بن يحي فيه . و راف'ض'ي] بشيئ� nال خبيثAAائي: ليس قAAة�. و النسAAبثق

، ال م"ن3 فيAAه ألن$ أضعف، الثعلبي إسناد و. الدارقطني: ضعيفn قال ف( ر" 3Aع) فيAAه و ي

"ه"مين و الضعفاء 3م(ت "ة� أقلs في بمثله اإلحتجاج يجوز ال م"ن3 ال مسئل .

“Hadis ini adalah kidzbun mawdhû’, kebohongan yang dipalsukan, oleh karena itu tidak

seorangun dari ulama meriwayatkan dalam buku-buku yang menjadi rujukan dalam hal

manqûlât (data-data yang dinukil=hadis), sebab sedikit saja orang memiliki pengetahuan

tentang hadis pasti mengetahui bahwa ia adalah kebohongan…Ia telah diriwayatkan

Ibnu Jarir dan al Baghawi dengan sanad di dalamnya terdapat perawi bernama Abdul

Ghaffar ibn al Qasim ibn Fahd al Kufi, ia telah disepakati sebagai perawi matrûk

(dibuang=tidak dipakai), Samâk ibn Harb dan Abu Daud menuduhnya berbohong.

Ahmad berkata, ‘Ia tidak jujur, rata-rata hadis riwayatnya adalah batil.’ Yahya berkata,

‘Ia tidak bernilai.’ Ibnu al Madîni berkata, ‘Ia sering memalsu hadis.’ An Nasa’i dan

Abu Hatim berkata, ‘Ia matrûk hadisnya.’ Ibnu Hibbân berkata, ‘Abdul Ghaffâr ibn

Qasim adalah peminum khamer sampai mabok, disamping ia suka membolak-balik hadis,

tidak boleh berhujjah dengannya. Ahmad dan Yahya telah meninggalkannya.’Hadis itu

juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dan di dalam sanadnya terdapat perawi

bernama Abdullah ibn Abdu Quddûs. Ia tidak tsiqah. Yahya ibn Ma’in berkata, ‘Ia tidak

bernilai sedikitpun, seorang rafidhi jahat.’ An Nasa’i  berkata, ‘Ia tidak tsiqah.’

Dârulquthni berkata, ‘Ia dha’if.’Adapun sanad dalam riwayat ats Tsa’labi ia

lebih lemah, sebab di dalamnya tedapat perawi yang majhûl (tidak

dikenal) dan parawi-perawi dha’if dan tertuduh yang tidak boleh

Page 38: Ibn Taimiyah

berhujjah dengan orang sepertinya dalam masalah yang lebih ringan

sekalipun.“[13] 

Inilah ulasan panjang lebar Ibnu Taymiah dan hasil jerih payahnya dalam membatalkan

hadis tersebut di atas yang sedang kita kaji.

Saya berkata:

Seperti telah Anda simak bersama jalur-jalur sahih yang kami sebutkan sebelumnya dan

beberapa jalur lain yang tidak kami sebutkan tidak terdapat di dalamnya dua perawi yang

sedang dicacat Ibnu Taymiah, yaitu Abdul Ghaffâr ibn al Qâsim  dan Abdullah ibn Abdul

Guddûs. Jadi andai benar jalur yang sadang ia cacat periwayatnya itu cacat, tidak berarti

dengan serta merta hadis itu gugur, sebab masih banyak jalur lain yang sahih dan tidak

terdapat nama-nama periwayat yang ia cacat!! Jika Ibnu Taymiah bernafsu untuk

menggugurkan hadis tersebut ia harus mampu membuktikan cacat setiap periwayat dala

jalur-jalur lain! Tentunya itu di luar kuasanya… Jika tetap saja bernafsu pasti tidak akan

ada bukti yang dapat ia usung untuk membantunya memuluskan klaimnya itu. Ini

pertama.

Kedua, Ucapan Ibnu Taymiah bahwa:

'ه' على م(ج3م"عn هو و الكوفي مريم أبو ف"هد بن القاسم بن الغ"ف$ار' عبد( ترك  

Abdul Ghaffar ibn al Qasim ibn Fahd al Kufi, ia telah disepakati sebagai

perawi matrûk (dibuang=tidak dipakai) adalah sebuah kebohongan atau

kebodohan belaka. Ia tidak beda dengan klaim-klaim palsu ijmâ’ ala Anak Taymiah!!

Sebab pada kenyataannya para ulama dan ahli al jarh wa at ta’dîl  Abdul Ghaffar ibn al

Qasim ibn Fahd al Kufi tidak pernah bersepakat akan hal itu…

Coba perhatikan apa yang dikatakan Ibnu Hajar berkata:

، حاتم: ليس أبو قال 'متروك� الشعية' رؤساء' من كان و ب “

Abu Hatim berkata, ‘Ia tidak matrûk, ia seoran tokoh Syi’ah.’”

Ibnu Hajar menukil data yang mengatakan bahwa Syu’bah ibn al Hajjâj telah sudi

meriwayatkan darinya serta memujinya. Ia berkata, ‘Aku tidak pernah menyaksikan

seorang sepertinya.’”[14] 

Ibnu ‘Uqdah juga memujinya. Ibnu Adiy berkomentar, “Ia (Ibnu ‘Uqdah) melampaui

batas dalam memujinya, sampai-sampai ia berkata, ‘Jika ilmu Abu Maryam tampil

pastilah manusia tidak akan butuh kepada ilmunya Syu’bah. Ibnu Adiy berkata, ‘Ibnu

Page 39: Ibn Taimiyah

‘Uqdah cenderung kepadanya seperti ini karena ia sangat berlebihan dalam

kesyi’ahan.”[15] 

Saya berkata, “Dengan alasan yang sama orang bisa berkata bahwa mereka yang

mencacat Abdul Ghaffar itu dikarenakan kecendrungannya yang sangat kepada bani

Umayyah dan dan semata karena permusuhan mazhab!” Sebab sangat kuat kemungkinan

pencacatan mereka yang mencacat itu disebabkan karena Abdul Ghaffar ibn al Qâsim

banyak membicarakan kesalah-kesalahn Aisyah dan Utsman! Demikian dilaporkan Ibnu

Hajar.[16] 

Sebab kesyi’ahan itu tidak menjadi sebab cacatnya seorang periwayat, seperti telah

dibuktikan para ulama  pada tempatnya dalam kajian mereka. (bukan sekarang tempat

yang tepat untuk mendiskusikan masalah itu).

Ketiga, Periwayat bernama Abdullah ibn Abdul Quddûs yang dicacat

habis-habisan tanpa ampun oleh Ibnu Taymiah itu adalah seorang

periwayat yang dipercaya Bukhari menjadi perantara dan sumber

hadis dalam kitab Shahihnya dalam Ta’âliq-nya. Ia juga pariwayat yang

dipercaya at Turmudzi dalam Sunan-nya, Abu Daud dalam Sunan-nya,

dan Ibnu Hibbân telah memasukkannya dalam daftar para periwayat

tsiqât )jujur terpercaya(.Imam Bukhari berkata tentangnya, “Pada dasarnya, ia

shadûq (jujur) hanya saja ia sering meriwayakan dari orang-orang lemah.” Yahya ibn al

Mughîrah berkata, “Aku diperintah Jarir untuk menulis hadis darinya (Abduulah ibn

Abdul Quddûs).”Ibnu Adiy berkata, “Kebanyakan riwayat yang disampaikan adalah

tentang keutamaan Ahlulbait!.”[17] 

Nah, sekarang ketemu ujung benag kusut dalam keributan ini! Ini dia dosa tebesanya!!

Kebanyakan riwayat yang disampaikan adalah tentang keutamaan Ahlulbait!. Jadi

kucuplah alasan untuk dicacat! Dan cukuplah alasan untuk dituduh ini dan itu!!  Oleh

sebab itu Ibnu Hajar dalam Taqrîb-nya mengatakan:

ف3ض' بالر, م'ي" ر( nص"دوق.

Ia seorang yang shadûq (jujur) yang dituduh rafidi![18] 

Dengan demikian Anda tidak sulit memahami keributan di sekitar dunia tuduh-menuduh

dengan kesyi’ahan dan kerafidhian! Semua itu sudah jelas! Dan cara berfikir sektarian

dan fanatik buta kemazhaban itu sudah tidak relefan lagi di mata para pengkaji yang

Page 40: Ibn Taimiyah

mengedepankan obyektifitas. Itu hanya peninggalan masa gelap penuh kedengkian yang

disemarakkan para tiran dan penguasa yang manari-menari di atas kebodohan dan

pertikaian umat Islam!!

Ibnu Taymiah Berbohong!

Dari semua keterangan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa hadis

ini terdapat dalam buku-buku kaum Muslimin… Jadi  kata-kata Ibnu

Taymiah “Sesunguhnya hadis ini tidak terdapat dalam satupun buku

kaum Muslimin yang darinya diambil manfaat ilmu penukilan (hadis)…”

adalah sebuah kebohongan nyata. Demikian juga kata-katanya,

“(hadis itu) tidak seorangun dari ulama meriwayatkan(nya) dalam

buku-buku yang menjadi rujukan dalam hal manqûlât (data-data yang

dinukil=hadis)..“ adalah edisi baru kebohongan Syeikhul

Islam.Hadis tersebut ternyata memiliki banyak jalur dan sanad sahih, tidak sedikit para

peneliti hadis Ahlusunnah yang menegaskan kesahihannya… dengan demikian kata-kata

Ibnu Taymiah“Hadis ini adalah kidzbun mawdhû’, kebohongan yang dipalsukan, oleh

karena itu tidak seorangun dari ulama meriwayatkan dalam buku-buku yang menjadi

rujukan dalam hal manqûlât (data-data yang dinukil=hadis), sebab sedikit saja orang

memiliki pengetahuan tentang hadis pasti mengetahui bahwa ia adalah kebohongan…”

adalahn kebohongan belaka!

Dari sini jelaslah bahwa apa yang diusahakan Ibnu Taymiah untuk membatalkan hadis ini

adalah sia-sia bak abu ditiup angina kencang!!  Allah SWT berfirman; “Orang-orang

yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti Abu yang ditiup

angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. mereka tidak dapat

mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). yang

demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS.13;18)Semua yang ia upayakan

tidak akan pernah membuahkan hasil, di dunia apalagi di akhirat. Allah

SWT berirman: “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu

tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang

yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan

mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.’ (QS.18;103-

104)Sedangkan upayanya membatalkan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa

Page 41: Ibn Taimiyah

jumlah keluarga besar bani Abdul Muththalib saat itu tidak mencapai empat puluh,

adalah omongan yang tidak mempedulikan keabsahan nash. Demikian dikatakan Ibnu

Hajar.Jadi, hadis ini adalah kuat dan sahih dari sisi sanadnya, dan tegas dari sisi

kandungan dan pesan yang dimuatnya. Oleh kerana itu banyak usaha dilakukan sebagian

orang untuk melemahkan dan bahkan merubah-rubah redaksi riwayatnya agar dapat

diplesetkan maknanya.

Demikianlah Anda telah ketahui mutu dan kualitas Ibnu Taymiah…. Bagaimana ketidak-

jujurannya dalam menghadapi hadis-hadis sahih yang tidak sejalan dengan hawa

nafsunya… bagaimana ia memberlakukan standar ganda dalam menilai nash-nash… dari

sini saya mungkin tidak akan menyalahkan apabila ada yang mengatakan bahwa jangan-

jangan Ibnu Taymiah itu seorang Alim yang Gila!! Walaupun saya tidak setuju dengan

penyematan gelar kehormatan itu, sebab, jika dihukumi gila ia akan bebes dari tanggung

jawab omongan dan kesesatannya!!

Yang pasti ia adalah “penyembah Hawa Nafsu’nya sendiri.Ia adalah substansi konkret

firman Allah SWT: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa

nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah

telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas

penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah

(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.45;23)

Semoga kita diselamatkan dari kesesatan. Âmîn Ya rabbal Âlamîn.

[1] Baca tafsir  Ath Thabari; Jâmi’ al Bayân ‘an Ta’wîl al Qur’an dan al Baghawi; Ma’âlim at Tanzîl ketika sampai pada tafsiran ayat tersebut.

[2] Sebagai contoh lihat Târîkh Al-Thabari: 2/62-63, Al-Kâmil fi Al-Târîkh: 2/62, Sîrah Al-Halabiah: 1/311, Kanz Al-Ummâl: 15/115, hadis nomer 334, Khashâish Amîr Al-Mukminîn, hal 76, hadis nomer 63 dan Hayât Muhammad, hal 104, cetakan pertama.

[3] Minhâj as Sunnah,4/81.

[4] Musnad,1/1159.

[5] Majma’ az Zawâid,8/302.

[6] Tafsir Ibnu katsir,3/349.

[7] Al Mustadrak,3/129.

Page 42: Ibn Taimiyah

[8] Musnad,1/111.

[9] Khashâish:64, hadis 62 , terbt . Dâr al Bâz, Makkah-Arab Saudi.

[10] Majma’ az Zawâid,8/302.

[11] Lebih lanjut baca Kanz al Ummal,13/131-132.

[12] Nasîm ar Riyâdh-Syarh Syifâ ‘Iyâdh,3/35.

[13] Minhâj as Sunnah,4/81.

[14] Ta’jîl al Manfa’ah:297.

[15] Al Kâmil,7/18.

[16] Ta’jîl al Manfa’ah:297.

[17] Tahdzîb at Tahdzîb,5/265.

[18] Taqrîb at Tahdzîb,1/430. 

 

Ibnu Taymiah Bukan Ahlusunnah   (1)

Posted by Zainal Abidin under Ibnu Taymiah Di Mata Ulama Ahlusunnah, Manhaj  

Bagimana sikap dan koementar pembesar ulama Ahlusunnah terhadap Ibnu Taymiah dan berbagai penyimpangannya?

Apakah ia dari golongan Ahlusunnah atau bukan? Bagimana kualitas akhlak dan kejujurannya dalam menyikapi berbagai masalah agama?

Para ulama, khususnya mereka yang sezaman, atau yang hidup tidak lama dari masanya pasti lebih tau tentang siapa sejatinya Ibnu Taymiah itu.

Para ulama Ahlusunnah tentunya lebih mengerti siapa ulama yang masih berada dalam lingkaran keluarga besar Ahlusunnah siapa yang di luar keluarga besar Ahlusunnah.

Lalu apa kata mereka tentang Ibnu Taymiah?

Mari kita ikuti komentar-komentar mereka! 

Page 43: Ibn Taimiyah

 Adapaun, apakah ia dari Ahlusunah atau bukan? dan mengapakah Ibnu Hajar memujinya kalau dia bukan Ahlusunah. maka saya harap Anda tidak keberatan memperhatikan sedikit rangkuman komentar dan sikap ulama terhadapnya, sebagaimana di bawah ini:

Ibnu Taymiah Bukan dai Golongan Ahlusunnah wal Jama’ah!Ada sementara kalangan beranggapan bahwa Ibnu Taymiah adalah seorang tokoh Ahlusunnah, namun kenyataannya bahwa para ulama Ahlsunnah telah mengecamnya dan menganggapnya bukan bagian dari mereka. Ia adalah penyimpang dari mazhab Ahlusunnah.

Tidak diragukan bahwa pada mulanya Ibnu Taymiah bermazhab Hanbali, sebagaimana keluarganya; ayah dan kakek moyangnya, bahkan untuk beberapa waktu yang tidak sebentar, kepemipinan mazhab Hanbali di tangan ayah-ayahnya. Akan tetapi kecenderungannya kepada faham ediologis hanabilah (kaum Hanbaliyah) yang sangat kental menjadikannya tidak sejalan dengan faham Asy’ariyah. Dan akibatnya, Ibnu Taymiah berhadapan dengan para ulama Asy’ariyah (yang merupakan agen resmi doktrin akidah Ahlusunnah).

Alih-alih berdalil kembali kepada ajaran para Salaf (sahabat dan tabi’în) Ibnu Taymiah mempropagandakan doktrin Hanbaliyah yang kental akan konsep-konsep tajsîm-nya. Karenanya, para ulama Ahlusunnah, bahkan sebagian murid dan pengagumnya berbalik mengecam dan mengutuknya.

Abu Hayyân al Andalusi (W.745H), seperti dikatakan Ibnu Hajar, “Ia sangat mengagungkan Ibnu Taymiah dan memujinya dengan sebuah qashidah (bait-bait syair), kemudian ia menyimpang darinya dan menyebutnya dengan sebutan sangat jelak dalam kitab tafsirnya, dan ia menisbatkannya menyakini tajsîm (menggambarkan Allah sebagai berpostur). Ada yang mengatakan bahwa ia (Abu Hayyân al Andalusi) membaca buku al Arsy (karya Ibnu Taymiah) maka darinya ia meyakini hahwa Ibnu Taymiah penganut aliran tajsîm.”

Az Zabidi berkata, “As Subki berkata, ‘dan kitab al Arsy adalah kitab karya yang paling jelek … dan ketika Abu Hayyân memperhatikannya, ia senantiasa melaknatinya sampai mati setelah sebelumnya ia mengagungkannya.’”

Demikian juga dengan adz Dzahabi, salah seorang santri Ibnu Taymiah, kendati ia pernah berguru kepadanya, namun hal itu tidak mencegahnya untuk menegur dan menasihatinya. Dalam sepupcuk suratnya yang dikenal dengan nama Risalah Dzahabiah, ia menasehati dan menegur keras Ibnu Taymiah, di antaranya adz Dzahabi menulis, “Hai Anda, engkau telah banyak menelan racun para filsuf dan buku-buku karangan mereka berulang kali, dan disebabkan banyaknya pengaruh racun, badan menjadi ketagihan dan menguasainya…. (kemdian ia melanjutkan), “Duhai sialnya orang yang mengikutimu, sesungguhnya ia menyodorkan dirinya dalam kezindiqan dan keterlepasan dari agama…. Tidaklah mayoritas pengikutmu melainkan orang-orang rendahan yang tak berkualitas, qa’îd marbûth, atau ringan akalnya, khafîful aqli, atau orang awam pembohong, ‘âmiyun kadzdzâb, dungu pikirannya, balîdudz dzihni, atau orang terasing yang terdiam, kuat

Page 44: Ibn Taimiyah

makarnya, atau penyerap yang saleh tapi tidak memiliki pemahaman. Jika engkau tidak percaya apa yang aku katakan, maka periksalah mereka dan takarlah mereka dengan penuh keadilan…. Sampai kapan kamu memuja-muja omonganmu sendiri dengan pujian yang tidak engkau berikan bahkan kepada hadis-hadis Bukhrai & Muslim, andai hadis kedua selamat dari kecamannya, bahkan setiap saat engkau menyerangnya dengan mendha’ifkannya dan menggugurkannya dengan takwil atau pengingkaran. Tidaklah telah tiba saatnya engkau sadar? Tidaklah tiba waktunya engkau bertaubat dan kembali… usiamu telah mencapai lebih dari tujuh puluh tahun, masa berangkat (kematian) telah dekat… benar, demi Allah aku tidak perna tau engkau ini ingat/menyebut-nyebut kematian… bahka engkau mengejek-ngejek orang yang menyebut-nyebut kematian… akupun tidak yakin engkau mau menerima ucapanku dan memperhatikan nasihatku…. “

Ibnu Hajar sendiri menuturkan, ketika menyebut biografi al Yâfi’i dalam kitab ad Durar al Kâminah, “Ia (al Yâfi’i) mempunyai pembicaraan dalam mengecam Ibnu Taymiah.”

Pernyataan al Yâfi’I adalah sebagai berikut: Pada tahun 705 H terjadi kekacauan akibat kesesatan pandangan-pandangan Ibnu Taymiah, sehingga para pembesar ulama Ahlusunah bangkit mengadilinya dan berakhir dengan dijebloskannya ia ke dalam penjara. Di antara kecaman para ulama atasnya ialah pandangannya yang mengatakan bahwa Allah berada di atas singgasana-Nya dengan arti benar-benar duduk sebagaimana layaknya duduknya hamba, dan Allah berbicara dengan kata-kata dan dengan suara sebagaiaman manusia. Oleh karenya, diumumkan di kota Damaskus, bahwa barangsiapa meyakini akidah seperti Ibnu Taymiah maka ia halal harta dan nyawa/darahnya. … Ia (Ibnu Taymiah) banyak memiliki buku karangan lebih dari seratus jilid, dan ia memiliki pandangan- pandangan yang aneh dan diingkari oleh para ulama dan ia dipenjarakan karenanya, pandangan- pandangan itu bertentangan dengan Ahlusunah , di antara yang paling keji adalah larangannya untuk menziarai makam suci Nabi saw.

Dan juga kecamannya terhadap para tokoh sufi seperti Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali, guru besar Imam Abul Qasim al Qusyairi, Syeikh Ibnu Irrîf, Syeikh Abul Hasan asy Syadzili dan banyak kalangan pembesar wali-wali Allah dan hama-hamba pilihan yang baik….,

Demikian juga akidahnya tentang bersemayamnya Allah di sudut tertentu dan pandangannya yang batil dalam masalah itu dan lain-lain dari akidahnya seperti sudah ma’ruf dinukil darinya … “

Dalam kitabnya Daf’u Syubahi Man Syabbaha, Syeikh Taqiyyuddin Abu Bakar al Hishni ad Dimasyqi asy Syafi’i mengkeritik dengan tajam Ibnu Taymiah, yang katanya hanya berpura-pura mengikuti mazhab Hanbali dengan tujuan melariskan pandangan-pandangan sesatnya … Setelah digelar majlis pengadilan untuk mengadili Ibnu Taymiah, para ulama besar Ahlusunnah, diantaranya Shafiyyuddin al Hindi, Syeikh Kamaluddin az Zamlakani Syeikh Syamsuddin Adnan asy Syafi’i, dan berakhir dengan dijebloskannya Ibnu Taymiah ke dalam penjara, dan setelah pengawasan diperketat. Qadhi mazhab Maliki telah menegeskan, bahwa Ibnu harus dihukum mati atau paling tidak harus

Page 45: Ibn Taimiyah

diperketat penjagaannya dalam penjara, atau langsung dibunuh, sebab –masih penurut Qadhi mazhab Maliki- telah terbukti kekafirannya!

Demikian pula dengan Allamah Burhanuddin al Fizari telah mengajukan gugatan setebal empat puluh halaman tentang akidah Ibnu Taymiah, dan ia telah menfatwakan akan kekafiran Ibnu Taymiah. Fatwa itu disetujui oleh Syeikh Syihabuddin Ibnu Jhbal asy Syafi’i. di bawahnya juga ditandatangani oleh Qadhi mazhab Maliki dan banyak ulama lain. Dan telah terjadi kesepakatan akan kesesatannya, kebid’ahan dan kezindiqannya…

Kedumian beliau melanjutkan, “Kemudian fatwa-fatwa itu dikirimkan kepada Sultan, setelahnya Sultan mengumpulkan para qadhi (jaksa/ulama), setelah itu Qadhi Badruddin ibn Jama’ah menuliskan di bawah lembaran fatwa tersebut, ‘Siapa yang meyakini pendapat seperti ini ( seperti pendapat Ibnu Taymiah) maka ia adalah dhâllun mudhillun (sesat dan menyesatkan). Keputusan itu disetujui oleh qadhi mazhab Hanafi, maka dari itu kekafirannya adalah hal yang telah disepakati… “

Inu Hajar, yang kata Anda memuji Ibnu Taymiah dalam kitab ad Durar al Kâminah, telah membeber komentar dan pandangan para ulama tentang Ibnu Taymiah, di antaranya ia mengatakan, “Ia merasa dirinya sebagai seorang mujtahid, maka ia membantah para ulama baik yang kecil maupun yang besar, yang telah lampau maupun yang baru. Sampai-sampai Umar-pun ia salahkan. Ketika sampai berita itu kepada Syeikh Ibrahim ar Raqiy ia mengecamnya, dan ia pun meminta maaf atas sikapnya dan memohon ampun.

Tentang Ali, kata Ibnu Taymiah, ia salah dalam tujuh belas kasus, di mana Ali menentang nash al Qur’an…Tentang siapa para ulama yang dikecam oleh Ibnu taymiah, Ibnu Hajar berkata, “Ibnu telah berkata kasar tentang Sibawaih, maka Abu Hayyân memusuhinya…

Ia mencaci maki Imam Ghazali, sampai-sampai terjadi kekacauan, hampir-hampir ia dibunuh!

Ia juga mengecam Ibnu Arabi dan ketika sampai berita kepada Syeikh Nashr al Munjabi, ia melayangkan surat teguran keras kepa Ibnu Taymiah.

Tentang akidah Ibnu Taymiah, Ibnu Hajar mengatakan, “hadis tentang nuzûl, ia mengatakan bahwa Allah turun dari langit seperti turunku sekarang ini dari tangga mimbar.. Ia menentang orang yang bertawassul dan beristighasah kepada Nabi saw.

Pada taggal 17 bulan Rabi’ul Awal tahun 707H ia dituntun untuk bertaubat dari akidah tajsîm-nya …Setelahnya, Ibnu Hajar merangkum komentar para ulama tentang Ibnu Taymiah, “Ibnu az Zamlakani dan Abu Hayyân menyimpang darinya (sebelumnya mereka mengagungkannya_pen).

Di antara para ulama ada yang menggolongkannya sebagai peyakin tajsîm… ada yang menggolongkannya sebagai zindiq (kafir), ada yang menggolongkannya sebagai orang

Page 46: Ibn Taimiyah

munafik, sebab ucapannya tentang Ali seperti telah lewat, dan dikarenakan ucapannya bahwa Ali selalu terhina (tidak ditolong Allah) kemanapun ia menuju. Dan beliau berulang kali berusaha merebut kekhalifahan namun tidak berhasil. Ali berperang hanya karena ingin berkuasa bukan demi agama!

Dalam kitab Lisân al Mizân, ketika menyebut biografi Allamah al Hilli, Ibnu Hajar juga menuliskan demikian, “Ia (Allamah al Hilli) menulis buku tentang keutamaan Ali ra., buku tersebut telah dibantah oleh Taqiyyuddin Ibnu Taymiah dalam sebuah kitab besar. Syeikh Taqiyyuddin as Subki telah menyebut buku itu dalam bait-bait syairnya… dalam akhir bait syair itu ia mengecam akidah Ibnu Taymiah.

Ibnu Hajar berkata, “Aku telah menelaah buku tersebut, aku temukan seperti yang dikatakan as Subki dalam al Istîfâ’, tetapi ia (Ibnu Taymiah) sangat subyektif dalam menolak hadis-hadis yang dikemukakan Ibnu al Muthahhar (Allamah al Hilli)… ia banyak menolak hadis-hadis yang jiyâd (bagus) ….

Betapa sering ia, demi melemahkan ucapan Allamah al Hilli, melecwehkan Ali ra.. lembaran ini tidak cukup untuk menjelaskan hal itu berikut contoh-contohnya.

Dan dalam Fath al Bâri, Ibnu Hajar juga memiliki komentar tentang Ibnu Taymiah, baik rasanya Anda rujuk.Dan di akhir tulisan ini, saya ingin menyebutkan komentar Ibnu Hajar al haitami ketika ditanya tentang Ibnu Taymiah:

و ص"م$ه(" أ و أعماه( و $ه( أض"ل و الله( "ه( خذل nعبد تيمية فساد". إبن( (وا $ن بي الين األئمة( ح" صر$ بذلك" و $ه( أذل

'ذ3ب" ك و 'ه' 3م(جتهد أحوال ال اإلمام ' كالم "ع"ة' 'م(طال ب فعليه ذلك" أراد من و 'ه'ز على أقوال $فق الم(تالحسن أبي اإلجتهاد، مرتبة" بلوغه و 'ه' "ت جالل و 'ه' إبن إمامت العز اإلمام و التاج ولد'ه' السبكي3

من غيرهم و عصر'ه' أهل( و . جماع"ة، على أعتراضه يقتصر لم و الحنفية و المالكية و الشافعية الصوفية، الله مrتأخري رضي طالب أبي بن علي و الخطاب بن عمر مثل على اعترض بل

……عنهماو الجوزية القيم إبن تلميذه و تيمية إبن كتب في ما إلى تصغ'ي3 أن أياك" اتخذ و م'من غيرهما

و سمعه على ختم و علم� على الله( "ه( أضل و هواه فمن إله"ه( ،rغشاو"ة بصر'ه' على جعل و قلبه … تجاوز كيف و الله بعد م'ن3 سياج" يهديه خرقوا و الرسوم" تعد$وا و الحدود" الم(ل3ح'دون هؤالء

و على الشريعة هم بل كذلك ليسوا و ربهم، م'ن ه(دrى على أنهم بذلك فظنوا أسوأ الحقيقة،و الكذب أنهى و الخسران و المقت' أبلغ و خصال� أقبح' و $بعيه'م… ضالل� م(ت الله فخذل البهتان

أمثاله'م م األرض" طه"ر .و

Ibnu Taymiah adalah hamba yang telah ditelantarkan Allah, disesatkan, dibutakan, ditulikan dan dihinakan. Demikian dijelaskan para imam yang telah membongkar kejelakan keadaannya dan kepalsuan ucapannya. Siapa yang mengetahui hal itu hendaknya ia menelaah komnetar Imam Mujtahid yang telah disepakati akan ketokohan dan keagaungannya serta sampainya ke derajat ijtihad; Abu al hasan as Subki dan putranya, serta Imam al Izz ibn Jama’ah, demikian pula komentar mereka yang sezaman dan lainnya dari kalangan ulama mazhab Syafi’ah, Malikiah dan Hanafiah. Ibnu Taymiah tidak terbatas hanya mengkritik para pemuka sufi mutaakhkhirîn, tetapi ia juga mengkritik Umar ibn al Khaththab dan Ali ibn Abi Thalib ra….

Page 47: Ibn Taimiyah

Hati-hatilah kamu dari menelaah buku-buku Ibnu Taymiah dan muridnya; Ibnu al Qayyim al Jawziah dan selain keduanya dari orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan dan disesatkan Allah kendati ia pandai, serta Ia tutup telinga dan hatinya serta Ia jadikan atas penglihatannya penutup, lalu siapakah yang akan memberi hidayah selain Allah… bagaimana kaum ateis itu menerobos batas dan melampau garis serta menerjang pagar syari’ah dan hakikat, mereka mengira dengan itu mereka berada di atas hidayah dari Tuhan mereka. Tidak demikian! Mereka berada d atas kesesatan paling jelek, keadaan paling buruk, puncak murka dan kebohongan dan kepalsuan paling puncak… Allah menghinakan para pengikut mereka dan membersihkan permukaan bumi dari orang-orang seperti mereka.”

Selain itu, Anda dapat menemukan daftar panjang mana-mana ulama besar Ahlusunah dari berbagai mazhab fikih telah mengecam dan membantah keras kesesatan-kesesatan Ibnu Taymiah yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu dalam kesempatan ini.

Jadi jelaslah dari paparan sekilas di atas dapat dimengerti bahwa Ibnu Taymiah bukan dari Ahlusunnah!!! Ia adalah musuh bebuyutan akidah Ahlusunah wal Jama’ah…. Perbedaan pendangan, ushul dan prinsip akidahnya bertolak belakang dari prinsip akidah Ahlusunnah!!

Ia seorang mujassim… musyabbih, pengingkar ziarah makan suci Nabi Muhammad saw. … Pengecam tawassul dan istighâsh dan mengangapnya sebagai bid’ad dan perbuatan sesat… Pembenci nyata keluarga suci Nabi; Ali, Fatimah, Hasan, Husain …. Pembenci kaum sufi dan para waliyullah…. Ia Bapak ektrimisme eksternal di kalangan umat Islam dengan doktrin-doktrin kekerasan yang ia sebarkan di lembaran-lembaran buku-bukunya yang nyata!

Dan yang pasti Ibnu Taymiah hanya membawa kekacauan di tengah-tengah umat Islam dengan pandangan-pandangan sesatnya yang sekarang diadopsi dan sedang dikembangkan dengan gencar kaum Arab Baduwi di Timur Tengah dan jongos-jongos mereka di tanah air tercinta!!!

(Artikel ini pernah dimuat dalam blog sebagai jawaban dari seorang penanya, tetapi mengingat pentingnya kama kami muat lagi)

 

Ayat Turun Untuk Imam Ali as. adalah   Palsu!!

Posted by Zainal Abidin under Ibnu Taymiah Menolak Setiap Nash Keutamaan Ali ra, Manhaj  

Ayat Turun Untuk Imam Ali as. adalah Palsu!!

Page 48: Ibn Taimiyah

Ibnu Taymiah memiliki keberanian yang luar biasa dan tak tertandingi dalam menolak dan meremehkan setiap keutamaan Imam Ali as. dalam Alqur’an seperti diriwayatkan para pembesar ulama Ahlusunnah dalam buku-buku mereka. Betapa banyak sabahat, para perawi dan para ulama -baik langsung maupun tidak- yang ia tuduh telah berbohong! Tidak mungkin rasanya menyebutkan semua contoh keberanian itu, tetapi paling tidak beberapa darinya mesti kita sebutkan agar dapat dijadikan tolok ukur bagi kasus-kasus lainnya.

Ayat al-Wilayah

Allah SWT berfirman:

و" الله( (م( ,ك 'ي و"ل " 'نم$ا و" إ "ة" الص$ال 3م(و3ن" (ق'ي ي $ذ'ين" ال (وا آم"ن 3ن" $ذ'ي ال و" (ه( و3ل س( و" * ر" 'ع(و3ن" اك ر" ه(م3 و" "اة" ك الز$ (و3ن" (ؤ3ت ي و" الله" "و"ل$ "ت ي (و3ن" م"ن3 'ب 3غ"ال ال ه(م( الله' ب" ح'ز3 'ن$ ف"إ (وا آم"ن $ذين ال و" "ه( و3ل س( 56-55المائدة . (ر"

“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk {kepada Allah}. Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut {agama} Allah itulah yang pasti menang. (QS:5;55-56)

Para ulama dan mufassir besar Ahlusunnah telah meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Imam Ali as. ketika beliau mensedekah cincinya kepada seorang pengemis di masjid Nabi saw.

Diriwayatkan oleh para ulama bahwa Abu Dzar al-Ghifari menceritakan di hadapan halayak yang sedang berkumpul mendengarkannya,“Aku telah mendengar Rasulullah saw. dengan kedua (telingaku) ini, (dan Abu Dzar menambahkan):…tulilah keduanya jika aku berdusta (kemudian katanya lagi) dan telah aku saksikan beliau dengan kedua mataku ini, dan butalah keduanya jika aku berdusta, “Sabda Rasulullah saw.: Ali adalah pemimpin kelompok orang-orang yang tulus, pejuang yang memerangi kaum kafir, jayalah siapa yang membantunya, hinalah siapa yang menelantarkan dukungan baginya!”

Dan Abu Dzar melanjutkan,” Suatu hari aku shalat bersama Rasulullah saw. maka masuklah ke masjid seorang pengemis dan tidak seorang pun memberinya sesuatu, pada saat itu Ali sedang shalat dalam keadaan ruku’ dan ia memberi isyarat dengan jari manisnya yang bercincin, lalu pengemis itu menghampirinya dan mengambil cincin itu dari jari Ali, Rasulullah menyaksikan hal itu dan beliau berdo’a dengan khusyu’nya kepada Allah, “Ya Allah sesungguhnya Musa telah memohon kepadamu:

Berkata Musa, “Ya Tuhan-ku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun; saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya

Page 49: Ibn Taimiyah

kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mengetahui (keadaan) kami”.(QS:20;25-35).

Maka Engkau telah mewahyukan kepadanya:

م(و3س"ى "ا ي "ك" ؤ3ل س( 3ت" 'ي و3ت) أ .… قد

“Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa.”

Dan aku, ya Allah –kata Rasulullah saw.- adalah hamba dan Nabi-Mu lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan jadikanlah untukku seorang wazir dari keluargaku; Ali, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku”. Abu Dzar berkata. ” Demi Allah, beliau belum sampai menyelasaikan ucapan (do’anya) melainkan Jibril al-Amin turun dengan membawa ayat ini”.

Hadis di atas dan penegasan bahwa ayat tersebut turun dalam kejadian itu, telah diriwayatkan oleh banyak ulama besar, para mufassir dan ahli hadis, di bawah ini akan kami sebutkan sebagian nama-nama mereka:

1. Al-Ghadhi Abu Abdillah bin Umar al-Madani al-Waqidi (W:207 H.) sebagaimana dikutip oleh Muhibbuddin al Thabari dalam Dzakhair al-Uqba-nya,102.

2. Al-Hafidz Abu Bakar Abdul Razzaq al-Shan’ani (W:211) sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir 2/71 dari jalur Abdul Wahhab bin Mujahid dari Ibnu Abbas.

3. Al-Hafidz Abu al-Hasan Utsman bin Abi Syaibah al-Kufi (W:239 H.) dalam tafsirnya.

4. Abu Ja’far al-Iskafi al-Mu’tazili (W:240 H.).

5. Al-Hafidz Abdu bin Humaid al-Kasyi (W:249H.) dalam tafsirnya sebagaimana disebut dalam tafsir al-Durr al-Mantsur.

6. Abu Said al-Asyaj al-Kufi (W:257 H.) dalam tafsirnya dari Abu Nu’aim Fadel bin Da’im dari Musa bin Qais al-Hadhrami dari Salamah bin Kuhail. Jalur ini sahih dan para perawinyan tisqah, terpercaya.

7. Al-Hafidz Abu Abdu Rahman al-Nasa’i al-Syafi’i dalam kitab Sunannya.

8. Ibnu Jarir al-Thabari (W:310 H.) dalam tafsirnya.6:186 dari beberapa jalur.

9. Ibnu Abi Haitm al-Razi (W:327 H.) sebagaimana dikutib dalam tafsir Ibnu Katsir, al-Durr al-Mantsur dan Lubab al-Nuqul karya al-Suyuthi dari jalur Abu Said al-Asyajj di atas.

10. Al-Hafidz Abu al-Qasim al-Thabarani (W:360 H.) dalam kitab Mu’jam al-Ausathnya.

Page 50: Ibn Taimiyah

11. Al-Hafidz Abu Syeikh Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Anshari (W:369 H.) dalam kitab tafsirnya.

12. Al-Hafidz Abu Bakar al-Jashshash al-Razi (W:370 H.) dalam Ahkam al-Qur’annya.2,542 dari beberapa jalur.

13. Abu al-Hasan Ali bin Isa al-Rummani (W:384 H.) dalam tafsirnya.

14. Al-Hakim Ibnu al-Bayyi’ (W:405 H.) dalam kitab Ma’rifat Ushul al-Hadits, 102.

15. Al-Hafidz Abu Bakar Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (W:416 H.) dari jalur Sufyan al-Tsauri dari Abu Sinan bin Said bin Sinan al-Barjani dari al-Dhahhak dari Ibnu Abbas. Jalur ini shahih dan para perawinya tsiqah ia juga meriwayatkan dari jalur lain yang ia katakana bahwa jalur ini tidak dapat dicacat dan ada jalur lain dari Ali as. Ammar dan Abi Rafi’ ra.

16. Abu Ishak al-Tsa’labi al-Nisaburi (W:427 atau 437 H.) dalam tafsirnya dari Abu Dzar seperti dalam riwayat di atas.

17. Al-Hafidz Abu Nu’aim al-Ishfahani (W:430 H.) dari Ammar, Abu Rafi’, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah atau Salamah bin Kuhail.

18. Abu al-Hasan al-Mawardi al-Faqih al-Syafi’i (W: 450 H.) dalam tafsirnya.

19. Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi (W:458 H.) dalam kitabnya al-Mushannaf.

20. Al-Hafidz Abu Bakar al-Khatib al-Baghdadi al-Syafi’i (w: 463 H.) dalam kitab al-Muttafaqnya.

21. Abu al-Qasim Zainul Islam Abdul Karim bin Hawazin al-Nisaburi (W:465 H.) dalam tafsirnya.

22. Al-Hafidz Abu al-Hasan al-Wahidi al-Nisaburi (W:468 H.) dalam Asbab Nuzulnya,133 dari Jabir dan Ibnu Abbas.

23. Al-Faqih Ibnu al-Maghazili al-Syafi’i (W:483 H.) dalam kitab Manaqibnya dari lima jalur; dari Ibnu Abbas dan Imam Ali as., hadis nomer 354-358.

24. Abu Yusuf Abdus Salam bin Muhammad al-Qazwaini (W:488 H.) dalam karya besarnya tafsir al-Qur’an. Al-Dzahabi menyebutkan bahwa tafsir itu terdiri dari tiga ratus juz. Abu Yusuf adalah tokoh besar mazhab Mu’tazilah.

25. Al-Hafidz Abu al-Qasim al-Hakim al-Hiskani (W:490 H.) dari jalur Ibnu Abbas, Abu Dzar dan Abdullah bin Salam.

Page 51: Ibn Taimiyah

26. Al-Faqih Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Kiya al-Thabari al-Syafi’i (W:504 H.) dalam tafsirnya, dan ia berdalil dengannya bahwa gerakan sedikit dalam shalat tidak membatalkannya dan shadaqah sunnah juga dapat disebut dengan zakat. Demikian dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya.

27. Al-Hafidz Abu Muhammad al-Farra’ al-Baghawi al-Syafi’i (W:516 H.) dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil dicetak dipinggiran tafsir al-Khazin.2:67.

28. Abu Hasan Razin al-’Ahdari al-Andalusi (W:535 H.), disebutkan dalam kitab al-Jam’u Baina al-Shihah al-Sitta dari Shahih al-Nasa’i.

29. Al-Zamakhsyari al-Hanafi (W:538 H.) dalam tafsirnya al-Kasysyaf.1:624.

30. Al-Hafidz Abu Sa’ad al-Sam’ani al-Syafi’i (W:562 H.) dalam kitab Fadlail al-Shahabah dari Anas bin Malik.

31. Abu al-Fath al-Thanzi (lahir tahun 480 H.) dalam kitab al-Khashaish al-’Alawiyah dari Ibnu Abbas dan dalam kitab al-Ibanah dari Jabir bin Abdillah al-Anshari.

32. Al-Imam Abu Bakar bin Sa’adun al-Qurthubi (W:567 H.) dalam tafsirnya 6/221.

33. Al-Khawarizmi (W:568 H.) dalam kitab al-Manaqibnya.178 dari dua jalur, dan ia menyebutkan sya’ir Hassaan ibn Tsabit tentang hal ini.

34. Al-Hafidz Abu al-Qasim Ibnu ‘Asakir al-Dimasqi (W:571 H.) dalam kitabnya Tarikh al-Syam dari beberapa jalur.

35. Al-Hafidz Abu al-Faraj Ibnu Jauzi al-Hambali (W:591 H.) sebagaimana dikutib dalam kitab al-Riyadl al-Nadhirah.2,178 dan 208 dan Dzakhair al-Uqba,102.

36. Abu Abdillah Fakhruddin al-Razi al-Syafi’i (W:606 H.) dalam tafsirnya Mafatih al-Qhaib.3,431 dari Atha’ dari Abdullah bin Sallam, Ibnu Abbas dan Abu Dzar.

37. Abu al-Sa’adat Mubarak bin al-Atsir al-Syaibani al-Jazari al-Syafi’i (W:606 H.) dalam kitab Jami’ al-Ushulnya dari jalur al-Nasa’i.

38. Abu Salim Muhammad bin Thalhah al-Nashiibi al-Syafi’i (W:626 H.) dalam kitabnya Mathalib al-Suul dari riwayat Abu Dzar.

39. Abu al-Mudzaffar sibthu Ibnu Jauzi al-Hanafi (W:654 H.) dalam Tadzkirat al-Khawashnya,9 menukil dari al-Suddi, ‘Utbah dan Ghalib bin Abdillah. Ia menyebutkan bait sya’ir Haasaan.

40. Izzuddin Ibnu Abi al-Hadid al-Mu’tazili (W:655 H.) dalam kitabnya Syarh Nahj al-Balaghah.3,275.

Page 52: Ibn Taimiyah

41. Al-Hafidz Abu Abdillah al-Kinji al-Syafi’i (w: 658 H.) dalam Kifayah al-Thalibnya:106, dari Jabir bin Anas bin Mali. Ia juga memuat bait-bait sya’ir Hassaan ibn Tsabit. Dan dalam hal.122 dari jalur Ibnu ‘Asakir, al-Khawarizmi, Hafidz al-’Iraqain, Abu Nuaim Dan al-Ghadhi Abu al-Ma’ali.

42. Al-Ghadli Nashiruddin al-Baidhawi al-Syafi’i (W:685 H.) dalam tafsirnya 1/345, dan dalam Mathali’ al-Anwaar,477-479.

43. Al-Hafidz Abu al-Abbas Muhibbuddin al-Thabari al-Syafi’i (W;694 H.) dalam al-Riyadl al-Nadhirah.2,170 dan 208 dan Dzakhair al-Uqba.12 dari jalur al-Wahidi, al-Waqidi, Ibnu Jauzi dan al-Fudlaili.

44. Hafidz al-Din al-Nasafi (W:701 atau 710 H.) dalam tafsirnya,1/224.

45. Syeikhul Islam al-Hamwaini (W:722 H.) dalam Faraid al-Simthainnya dan ia menyebutkan bait-bait Syair Haasaan.

46. ‘Alauddin al-Khazim al-Baghdadi (W:741 H.) dalam tafsirnya juz, 2 hal, 67.

47. Syamsuddin Mahmud bin Abu al-Qasim Abdul Rahman al-Isfahani (W: 746 atau 749 H.) dalam kitab Tasyyiid al Qawaid l-’Aqaid fi Syarhi Tajrid al ‘Aqaaid, ia menyebutkan kesepakatan para mufassirin bahwa ayat ini turun untuk Ali bin Abi Thalib as.

48. Jamaluddin Muhammad bin Yusuf al-Zarandi (W:750 H.) dalam kitabnya Nadzmu Durar al-Simthain:86-88 dari Ammar dan Ibnu Abbas dalam bab khusus tentang ayat-ayat yang turun untuk Ali as. Ia juga menyebutkan bait-bait sya’ir Hassaan.

49. Abu Hayyan al-Andalusi (W:754 H.) dalam tafsir al-Bahrul al-Muhithnya 3/514.

50. Al-Hafidz Muhammad bin Ahmad bin Juzzi al-Kalbi (W:758 H.) dalam tafsir al-Tashilnya.1,181.

51. Al-Qadhi Al Iji al-Syafi’i (W:756 H.) dalam Mafaqifnya.:405.

52. Nidzamuddin al-Qummi al-Nisaburi dalam tafsirnya Gharaib al-Qur’an. 3,461.

53. Al-Tiftazani al-Syafi’i (W:791 H.) dalam Syarh al-Maqashid.2,288, ia juga menegaskan adanya kesepakatan para mufassir dalam masalah ini.

54. Al-Jurjani (W:816 H.) dalam Syarh al-Mawaqif.

55. Al-Qausyaji (W:879 H.) dalam Syarh al-Tajrid, ia juga mengakui adanya kesepakatan para mufassir dalam hal ini.

56. Ibnu al-Shabbaqh al-Makki al-Maliki (W:855 H.) dalam kitabnya al-Fushul al-Muhimmah hal. 123.

Page 53: Ibn Taimiyah

57. Jalaluddin al-Suyuthi dalam tafsirnya al-Durr al-Manstur.2,293 dari jalur al-Khatib, Abdul Razzaq, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Abu Syeikh, Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas. Dari jalur al-Thabarani, Ibnu Mardawaih dari Ammar bin Yasin. Dari jalur Abu Syeikh dan al-Thabarani dari Ali as. Dari jalur Ibnu Abi Hatim, Abu Syeikh, dan Ibnu ‘Asakir dari Salamah bin Kuhail. Dari jalur Ibnu Jarir dari Mujahid, al-Suddi dan Uthah bin Hakim. Dan dari jalur al-Thabrani, Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim dari Abu Rafi’. Dan dalam kitab Lubab al-Nuquhnya hal. 93 dari jalur-jalur yang telah lewat, kemudian ia berkata, ” Dan ini adalah bukti-bukti yang saling mendukung”. Dan dalam kitab Jam’u al-Jawami’nya hal. 391 dari jalur al-Khatib dari Ibnu Abbas dan hal. 405 dari jalur Abu Syeikh dan Ibnu Mardawaih dari Ali as. Dalam kitab Iklilnya hal. 93, ia mengutip komentar Ibnu al-Furs bahwa ayat itu menunjukkan bahwa gerakan yang sedikit dalam shalat tidak membatalkannya dan shadaqah sunnah juga disebut zakat, karena sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan sedekah Imam Ali as. kepada seorang pengemis ketika beliau dalam keadaan ruku’.

58. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami al-Anshari al-Syafi’i (W:974 H.) dalam kitab Shawaiqnya:41.

59. Al-Maula Hasan Jalbi dalam Syarh al-Mawaqif.

60. Al-Maula Mas’ud al-Syarwani dalam Syarh al-Mawaqif.

61. Al-Gadhi al-Syaukani (W:1250H) dalam tafsirnya Fath al-Qadir.2,53.

62. Al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Syafi’i (W:1270 H.) dalam kitabnya Yanabi’ al-Mawaddah hal. 212.

63. Al-Sayyid Muhammad Mu’min asy-Syablanji dalam Nur al-Abshar hal. 86-87 dari riwayat Abu Dzar diatas.

64. Syeikh Abdul Qadir bin Muhammad al-Sa’ud al-Kurdistani (W:2304 H.) dalam kitab Taqrib al-Maram.

65. Al-Shawi al-Maliki al-Khalwani (W:1241 H.) dalam Hasyiyah tafsir al-Jalalain,1/273.

66. Dll.

Setelah ini semua datanglah Ibnu Taymiah mengatakan::

"ع3ض( ب و"ض"ع" : و"ق"د3 ف'ي3 ل"ت3 "ز" ن "ة" اآلي هذه "ن$ أ ى rر" م(ف3ت rا 3ث ح"د'ي 3ن" 'ي "ذ$اب في الك "م'ه' 'خات ب "ص"د$ق" ت "م$ا ل علي�'جماع' 'إ ب nك'ذ3ب هذا و ة� الصالة'، 3ر" 'ي "ث ك و(جوه� م'ن3 nنs بي "(ه( 'ذ3ب ك ، بالنق3ل' ' 3م الع'ل أه'ل' .

“Para pembohong telah memalsukan hadis buatan bahwa ayat “ الله وليكم turun ”… انماuntuk Ali ketika ia mensedekahkan cincinnya dalam shalat, itu adalah bohong/palsu

Page 54: Ibn Taimiyah

berdasarkan kesepakatan para ulama dan Ahli Hadis, dan kebohongannya telah tampak dari banyak sisi.”[1]

Dalam kesempatan lain ia kembali mengatakan:

$ها: أن أج3م"ع"وا ق"ج3 (ه( "ج3م"ع" قول أ "ل3 ب "ة'، الكاذ'ب الد"عاو'ي3 ' "ع3ظ"م أ م'ن3 عل'ي� في' ل"ت3 بالنق3ل' نز" ' 3م العل أه3ل(بخ(ص(وص'ه'، عل'ي� في 3ز'ل3 "ن ت "م3 ل $ها أن أجم"ع"أه3ل( على و الصالة'، في "م'ه' 'خات ب "ت"صضد"ق3 ي 'م3 ل �ا علي أن$الموضوع' العل3م الكذب' م'ن ذل'ك" في $ة" 3مرو'ي ال القص$ة" أن$ على بالحديث' ….

“Ucapannya bahwa ayat ini telah disepakati turun untuk Ali adalah paling dustanya pengakuan. Bahkan para ulama ahli hadis telah bersepakat bahwa ia tidak khusus turun untuk Ali, dan Ali tidak mensedekahkan cincinnya. Para ulama ahli hadis telah bersepakat bahwa kisah yang diriwayatkan tentang masala itu adalah kobohongan dan palsu….”[2]

Dari dua penyataan Ibnu Taymiah yang saya kutip di atas dapat dilihat bahwa:

Pertama, Telah tampak jelas bahwa Ibnu Taymiah tidak memiliki harga diri yang dapat mencegahnya dari berbohong!

Kedua, Jika ia bermaksud untuk menegakkan argument, -betapapun ia hadis yang lemah, atau mursal, atau bahkan palsu sekalipun- ia tidak segan-segam menisbatkannya kepada para ulama, atau menyebutnya begitu saja seakan sebuah hadis pasti. Sementara itu, jika hendak menolak sebuah hadis- betapapun ia sahih, dan diriwayatkan para ulama dan pembesar ahli tafsir, ahli fikih atau ahli hadis, seperti hadis sebab turun yang sedang kita kaji sekarang ini-, ya jika ia bermaksud menolaknya ia tidak malu-malu untuk mengatakannya, ‘Palsu!’ ‘Kebohongan belaka! Bahkan menisbatkannya kepadsa ijma’ para ahli hadis ! Para ulama, para pakar dan para imam ahli hadis telah bersepakat membohongkan dan menolak hadis itu atau hadis ini, dls.

Ketiga, Di antara para ulama yang meriwayatkan hadis di atas ada banyak ulama yang sering kali diandalkan Ibnu Taymiah dan diterima riwayat-riwayatnya! Jika mereka dalam pandangan Ibnu Taymiah adalah para pembohong (seperti yang ia katakan) bagaimana berhujja dengan riwayat mereka di tempat lain? Jika bukan pembohong, mengapa sekarang, dalam kesempatan ini ia mengatakan dengan terang-terangan bahwa mereka adalah kadzdzabûn, para pembohong! Pendusta dan pemalsu!

Dari sini jelaslah bagi kita siapa sejatinya Ibnu Taymiah, dan tidak salahlah para ulama Ahlusunnah yang mengatakannya sebagai hamba yang sesat yamng dihinakan Allah SWT.

Catatan:

Dan sebagai tambahan informasi tentang orang yang bersedekah yang dimaksud dalam ayat di atas, maka saya sebutkan beberapa riwayat tentannya sebagaiamana diriwayatkan para ahli hadis Ahlusunnah.

Page 55: Ibn Taimiyah

1. Abu Dzar al-Ghiffari (W:32H). Telah lewat pada awal kajian kita riwayat dan nama-nama buku yang memuatnya.

2. Al-Miqdad bin al-Aswad al-Kindi (lahir 37 tahun sebelum hijriah dan wafat tahun 33 setelah hijriah). Riwayat beliau disebutkan oleh al-Hakim al-hiskami dalam kitabnya Syawahid al-Tanzil juz 1 hal 171

3. Abu Rafi’ al-Qibthi, ia adalah salah seorang budak Rasulullah saw. (W:40H).

Penegasan beliau bahwa ayat wilayah turun untuk Imam Ali as. telah diriwayatkan oleh banyak ulama dan tokoh kenamaan di antaranya:

a. Al-Thabarani (W:360H) dalam Mu’jam al-Ausathnya, sebagaimana disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsurnya: 3/106.

b. Al-Hafidz Ibnu Murdawaih {w. 416 H} dalam kitabnya al-Fadlail (al-Durr al-Mantsur: 3/106).

c. Al-Hafidz Abu Nu’aim (W:403H) dalam kitabnya Ma Nazala Min Al-qur’anFi Ali as. (al-Durr,3/106).

d. Al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanzul Ummalnya juz 7 hal 305.

e. Al-Suyuthi (W:911H) dalam kitabnya al-Dur al-Mantsur menukil dari al-Thabarani, Ibnu Murdawaih dan Abu Nu’aim.

4. Ammar bin Yasir (W:37H).

AthThabarani dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari Ammar ia berkata, “Ada seorang pengemis berdiri di dekat Ali ketika beliau sedang ruku’ dan shalat sunnah, lalu beliau mencopot (mencabut) cincinnya dan memberikannya kepada pengemis itu, maka datanglah Rasulullah saw. dan beliau diberitahu kejadian tersebut, lalu turunlah atas Nabi saw. ayat tersebut dan beliau membacakannya kepada para sahabatnya, kemudian bersabda (menjelaskan maksud ayat tersebut): Barang siapa yang aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah bimbinglah orang yang menjadikan Ali pemimpinnya dan musuhilah orang yang menentangnya.

Hadis pernyataan Ammar di atas diriwayatkan oleh banyak ulama besar, di antaranya:

A. Al-Hafidz Al-Thabarani dalam Mu’jam al-Autsathnya, sebagaimana diceritakan oleh al-Hafidz al-Haitsami dalam Majma’ Zawaidnya 7/17 dan al-Suyuthi dalam Al Durr al Mantsurnya: 3/105.

B. Al-Hafidz Abu Bakar Ibnu Mardawaih (Al Durr: 3/105).

C. Al-Hafidz al-Hakim al-Hiskami dalam Syawahid Tanzilnya juz 1/173.

Page 56: Ibn Taimiyah

D. Al-Muhaddits al-Hamwaini (W:733H) dalam Faraid al-Simthain: 1/194.

E. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqallani.

5. Imam Ali as (syahid:40H).

Al-Suyuthi meriwayatkan bahwa Imam Ali as berkata, “Ayat tersebut turun kepada Rasulullah saw. di rumahnya, lalu beliau keluar menuju masjid, ketika beliau sampai, orang-orang dalam sedang shalat, ada yang ruku’, sujud dan berdiri shalat, lalu ada seorang pengemis, dan beliaupun menanyainya, ” Hai pengemis adakah orang yang memberimu sesuatu?”. Ia menjawab, ” Tidak, kecuali orang yang sedang ruku’ itu –sambil menunjuk kepada Ali bin Abi Thalib-, ia memberiku cincinnya.

Riwayat pernyataan beliau bahwa ayat wilayah tersebut turun untuknya, telah diriwayatkan oleh banyak kalangan baik Syi’ah maupun Sunnah, di antaranya:

A. Al-Hafidz Abu Syeikh (W:369H) dalam tafsirnya.

B. Al-Hafidz Ibnu Murdawaih, keduanya dinukil oleh al-Suyuthi dalam Durr Mantsurnya: 3/105.

C. Al-Hakim Ibnu al-Bayya’ al-Nisaburi (W:405H) dalam kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadits:102.

D. Al-Faqih Ibnu al-Maghazili al-Syafi’i (W:483H) dalam kitab Manaqibnya:312, hadis ke 355.

E. Al-Hafidz al-Hakim al-Hiskani dalam Syawahidnya: 1/175.

F. Al-Hafidz al-Khawarizuni al-Hanafi (W:568H).

G. Al-Hafidz Ibnu ‘Asakir al-Dimasyqi (W:571H) dalam Tarikh Dimasqa:2/409.

H. Al-Hafidz al-Thabaranio (W:360H) dalam Mu’jamnya, seperti disebutkan Ibnu Katsir al-Dimasyqi dalam al-Bidayah wa al-Nihayah nya: 7/357.

I. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqallani dalam kitabnya al-Kaaf al-Syaaf: 56.

J. Al-Hafidz al-Muttaqi al-Hindi dalam Kanzulnya:15/146.

K.Ibnu Furat al-Kuufi dalam tafsirnya:41.

L.Al-Majlisi dalam al-Bihar:35/198 dari Ibnu Furat.

M.Ibnu Babawaih al-Qummi (W:381H) dalam kitab al-Khishalnya, bab 43.

Page 57: Ibn Taimiyah

N. Al-Muhaddits al-Thabarsi dalam kitabnya al-Ihtijaj: 1/192 dan 231.

0. ‘Amr bin al-’Ash, dalam surat balasan kepada Mu’awiyah, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Khawarizmi dalam Manaqibnya hal 128.

P.Abdullah bin Sallam bin Harits (W:43H) riwayat pernyataannya disebutkan oleh banyak ulama di antaranya:

Q.Razin al-Abdari al-Andalusi (W:535H) dalam kitabnya Tajrid al-Shihah,2/227.

R.Muhibbuddin al-Thabari (W:649H) dalam dua kitabnya Dzakhir al-Uqba:102 dan al-Riyadh al-Nadhirah: 2/208.

S.Ibnu al-Atsir {w. 606 H.} dalam kitabnya Jami’ al-Ushul,6/478.

T.Abdullah bin Abbas (W:68 H).

Banyak sekali riwayat dari Ibnu Abbas ra. dengan redaksi yang bermacam-macam yang keseluruhannya menegaskan bahwa ayat al-Wilayah turun untuk Imam Ali as. sebagian darinya dengan menyebutkan kejadiannya dan terkadang langsung menerangkan bahwa ayat itu turun untuk Ali as al-Suyuthi menyebutkan lima riwayat darinya dengan jalur yang berbeda-beda dari pelbagai tokoh hadis terkemuka seperti: al-Khatib, Abdu al-Razzaq, Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir al-Thabari, Abu Syaikh dan Ibnu Mardawaih.

Selain nama-nama tokoh penting di atas masih banyak lagi ulama yang meriwayatkannya seperti:

A. Ahmad bin Yahya al-Baladziri (W:279H) dalam kitabnya Ansab al-Asyraf:2/150.

B. Al-Wahidi al-Nisaburi (W:468H) dalam kitab Asbab al-Nuzulnya: 133.

C. Al-Hakim al-Hiskami dalam Syawahidnya:1/164, 180, 181, 184 dan 185.

D. Ibnu al-Maghazili al-Syafi’i dalam Manaqibnya meriwayatkannya dari tiga jalur hadis ke 354, 356 dan 357 hal 311-313.

E. Al-Muwaffaq bin Ahmad al-Hanafi (W:68H) dalam Manaqibnya:186.

F. Al-Fakhr al-Razi (W:606H) dalam tafsirnya:12/28. Ia berkata: “Atha’ meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun untuk Ali bin Abi Thalib as.”. Ia juga meriwayatkan dari Abdullah bin Sallam dan Abu Dzar.

G. Syeikhul Islam al-Hamwaini al-Juwaini (W:722H) dalam Faraid al-Simthain:1/193.

H. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Kaf al-Syaf.

Page 58: Ibn Taimiyah

I. Al-Suyuthi dalam tafsirnya al-Durr al-Mantsur seperti sudah disinggung sebelumnya dan juga dalam Lubab al-Nuqul: 93 dan ia juga meriwayatkan dari Ammar bin Yasir.

J. Al-Muttaqi al-Hindi dalam kitab Kanzulnya:6/319.

K. Jabir bin Abdillah al-Anshari (W:78 H)

Hadis darinya telah diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya:

A. Al-Hafidz al-Hakim al-Hiskani dalam Syawahidnya:1/174.

B. Syeikh As’ad al-Ardabili dalam kitabnya al-Arbain Haditsan.

10. Anas bin Malik (W:93H).

Riwayat pernyataannya dilaporkan oleh sekelompok Muhaddis dalam karya-karya penting mereka seperti:

A. Al-Hafidz al-Hakim al-Hiskani dalam Syawahidnya:1/45 dan 66.

B. Al-Hafidz al-Kinji al-Syafi’i (W:658H) dalam kitabnya Kifayat al-Thalib: 228.

C. Al-Hamwaini al-Jumaini dalam Faraid as Simthain:1/187.

Ibnu Taymiah Menantang, Kami Meladeni!!

Ibnu Taymiah membohongkan hadis sebab turunnya ayat di atas dari beberapa sisi, katanya, di antaranya ialah: “(Keempat) Kami maafkan dia dari mendatangkan bukti ijma, tetapi kami hanya menuntutnya untuk mendatangkan dengan penukilan melalui satu sanad saja yang sahih. Sanad yang disebutkan ats Tsa’labi di dalamnya terdapat banyak perawi tertuduh, adapun penukilan Ibnu al Maghazili lebih lemah. Orang ini mengumpulkan dalam bukunya banyak hadis palsu. Sebnagaiaman tidak samar bahwa hadis ini adalah palsu bagi yang sedikit memiliki pengetahuan tentang hadis…”[3

Pertama-tama yang perlu dikatakan di sini ialah:

1) Hadis tentang sedekahnya Imam Ali as. di atas telah dijadikan pijakan para ulaa Ahlusunnah dalam menetapkan hukum bahwa gerakan sedikit dalam shalat itu tidak membatalkannya. Dan sedekah sunnah itu juga dinamai zakat! Mereka juga menggolongkan ayat di atas sebagai ayat hukum, Âyâtul Ahkâm, seperti yang dilakukan al Jashshâsh dalam Ahkâm al Qur’an-nya dan beberapa ulama lain. Semua itu bukti bahwa para ulama itu mengakui kesahihan hadis tersebut! Sebab jika tidak mana mungkin mereka menetapkan hukum berdasarkan hadis yang tidak sahih?!

2)Para ahli ilmu Kalam (Teoloqi Islam) ketika mereka membantah argumentasi Syi’ah dengan hadis di atas, hanya mengkritik pemanknaan Syi’ah terhadap kata wilayah tanpa

Page 59: Ibn Taimiyah

mencacat sanad hadis tersebut. Tidak jarang pula mereka menisbatkannya kepada para mufassir. Hal itu adalah bukti kuat bahwa mereka menerima kesahihannya! Andai tidak, pastilah mereka akan mencacatnya.

3)Para hafidz dan ahli hadis meriwayatkan hadis tersebut dalam buku-buku mereka dan tanpa menyebut-nyebut pencacatan, dan tidak jarang pula yang menegaskan kesahihannya.

Setelah ini semua, coba kita perhatikan beberapa jalur periwayatan hadis tersebut, agar kita dapat menyaksikan langsung kualitas sanadnya.

Yang pasti tidak sedikit sanad hadis ini yang sahih, di antaranya:

Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya: Rabî’ ibn Sulaiman al Murâdi menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata, Ayub ibn Suwaid menyampaikan hadis kepada kami dari Utbah ibn Abi Hakîm…Dan Abu Sa’id al Asyaj menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata al Fadhl ibn Dakîn Abu Nu’aim al Ahwal menyampaikan hadis kepada kami, ia berkata Musa ibn Qais al Hadhrami menyampaikan hadis kepada kami dari Salamah ibn Kuhail.

Nama periwayat dalam kedua sanad di atas adalah orang-orang tsiqât, jujur terpercaya dan para periwayat andalan enam kitab hadis standar Ahlusunnah, Shihâh Sittah.

Hadis riwayat Ibnu ‘Asâkir dalam tarikh Damaskus-nya:

Dari al Haddâd, dari Abu Nu’ain al Isfahâni dari ath Thabarani dari Abdurahman ibn Sallam ar Râzi dari Muhammad ibn Yahya ibn adh Dharîs dari Isa ibn Abdullah…

Nama-nama periwayat ini adalah tsiqât tanpa diragukan lagi!

Ibnu Katsir juga menyebutkan beberapa jalur periwayatan hadis ini, dan ia mencacat sebagian darinya, dan untuk sebagaian lainnya ia diam! Sementara tentang sebuah sadan darinya ia mengatakan:

'ه' ب (ق3د"ح( ي " ال nناد إس3 هذا

“Sanad ini tidak dapat dicacat!” [4]

Bahkan lebih dari itu, turunnya ayat tersebut untuk Imam Ali as. telah dikatakan oleh sebagian ulama Ahlusunnah adalah telah diijma’kan. Demikian dikatakan Qadhi Adhuddin al Îji dalam kitab al Mawâqif-nya, Syarif al Jurjani dalam Syarahnya atas kitab tersebut dan at Taftazani dalam Syarah al Maqâshid-nya. [5]

Mungkin gaya “geretak mengeretak” Ibnu Taymiah akan membuatnya tampil hebat dengan anggapan bahwa orang-orang akan yakin bahwa memang benar tidak ada stupun sanad riwayat ini yang sahih… dan benar pulalah klaimnya bahwa para ulama ahli hadis

Page 60: Ibn Taimiyah

telah bersepakat membohongkannya! Ternyata benar juga dugannya, karena ternyata ada juga yang tertipu dengan kepicikan dan kejahilan Ibnu Taymiah. Tentunya ya kaum Wahabi dan antek-antek mereka; Neo Nawashib!!

Coba Anda bandingkan kebohongan dan kepalsuan yang dilontarkan Ibnu Taymiah beberapa abad silam ternyata ditelah mentah-mentah oleh ulama Wahabi yang bengkit dengan geram membantah kitab Dialoq Sunnah-Syi’ah melalui buku al Bayyinât-nya, ia berkata, “Kami memastikan bahwa hadis-hadis itu tidak ada satupun yang sahih, dan tidak satupun yang dapat tegak dengannya hujjah… Adapun sekedar menyandarkannya kepada tafsir ats Tsa’labi atau Asbâb Nuzûl-nya al Wahidi bukanlah hujjah berdasarkan kesepakatan ahli ilmu, sebab Ahlusunnah tidak menetapkan melalui buku-buku rujukan itu suatau apapun yang hendak mereka tetapkan, apapun ia, karena buku-buku itu menghimpun yang sahih dan dhai’f serta mawdhu’ (palsu). Dan para ahli tafsir tidak bersepakat bahwa ayat itu turun untuk Ali, mereka berselisih.”

Para pengikut Ibnu taymiah seperti penulis al Bayyinât dalam pandangan kami tidak berharga walau hanya satu reyal Saudi-pun, sebab mereka adalah kaum dungu yang jahil yang hanya pandai mengulang-ulang kebodohan dan kedungunag Ibnu Taymiah; imam besar mereka. Jika Anda ragu, pernyataan penulis buku di atas adalah sebaik-baik bukti hidup!! Oleh sebab itu, saya khawatir berdosa kalau meladeni mereka! Tetapi saya hanya ingin katakana bahwa bahwa sanad-sanad hadis di atas adalah sahih. Dan memang benar, buku-buku seperti Asbâb Nuzûl-nya al Wahidi dan tafsir ats Tas’labi tidak sedikit memuat hadis lemah atau bakhan palsu! Kami mengerti itu! Bakhan kami meyakini dengan bukti bahwa kitab-kitab hadis Shahih Ahlusunnah seperti Bukhari-pun banyak memuat hadis palsu!! Tetapi beristidlal dalam kasus ini adalah dengan hadis yang sanadnya telah terbukti sahih!! Baik terdapat dalam buku-buku yang Anda sebut tadi maupun di buku-buku lain!

Dan apakah Anda membaca komentar al Alusi yang mengatakan bahwa turunnya ayat tersebut untuk Ali as. adalah pendapat aghlabul muhaddisîn, kebanyakn/mayoritas ahli hadis![6]

Ibnu Taymiah Unjuk Kebodohan!

Kita masih menyoroti penyataan-pernyataan ngawur yang memalukan yang tidak henti-hentinya digoreskan tinta beracum Ibnu Taymiah seputar ayat al Wilayah. Kali ini ia memamerkan kebodohan dan kejahilannya! Coba perhatikan apa yang saya katakana di bawah ini:

Jalur Riwayat dalam Tafsir ath Thabari

Ibnu Taymiah membanggakan tafsir Ibnu Jarir ath Thabari yang bersih dari hadis-hadis lemah dan palsu, tidak seperti tafsir ats Tsa’labi dan muridnya, al Wahidi yang mencamuradukkan antara riwayat-riwayat sahih dan dha’if dalam tafsir mereka… Ibnu Taymiah berkata: “Adapun para ulama pembesar ahli tafsir seperti tafsir Muhammad ibn Jarir ath Thabari, Qabi’ ibn Mukhallad, Ibnu Abi Hatim, Ibnu al Mundzir, Abdurahman

Page 61: Ibn Taimiyah

ibn Ibrahim ibn Duhaim dan yang semisal mereka, mereka tidak menyebut dalam buku-buku mereka hadis-hadis palsu, mauwdhû’at seperti itu, apalagi para ulama yang lebih agung dari mereka, seperti dalam tafsir Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih. Riwayat-riwayat seperti itu tidak disebut oleh Ibnu Humaid, tidak juga Abdurazzaq-padahal ia condong kepada kesyi’ahan dan banyak meriwayatkan hadis keutamaan Ali, walaupun dha’if- akan tetapi ia lebih agung dari meriwayatkan kebohongan nyata seperti riwayat itu!…”[7]

Subhanallah! Sungguh konyol pernyataan Ibnu Taymiah kali ini. Ia memuji Tafsir ath Thabari-yang katanya tidak seperti tafsir ats Tsa’abi dan al Wahidi- bersih dari riwayat-riwayat ngawur, ternyata Ibnu Jarir Thabari meriwayatkan hadis tentang turunnya ayat tersebut terkait dengan sedekah Imam Ali as. dari lima jalur kuat. Saya persilahkan Anda yang penasaran merujuknya langsung pada tafsir ath Thabari![8]

Dan Ibnu Abi Hatim yang ia banggakan juga ternyata meriwayatkan peristiwa itu dengan jalur-jalur yang sahih dari para periwayat yang tsiqah, seperti telah Anda baca sebelumnya.

Sepertinya Ibnu Taymiah Mabuk Ketika Menulis!

Tidak cukup mengigau dengan mengatakan kata-kata seperti di atas, Ibnu Taymiah lebih memberikan bukti baru kepada kita akan kebodohan dan kejahilannya! Atau janga-jangan ia sedang mabuk ketika menggerakan penanya di atas kertas!

Ia mengecam tafsir ats Tsa’labi dan al Wahidi, seperti telah And abaca di atas, ia menambahkan,“Maka dari itu, karena al Baghawi adalah seorang yang alim, pandai tentang hadis dan lebih pandai dari ats Tsa’labi dan al Wahidi, dan tafsir yang ia tulis adalah ringkasan dari tafsir ats Tsa’labi, karena itu ia tidak menyebutkan dalam tafsirnya sedikitpun dari hadis=hadis palsu tersebut yang telah diriwayatkan ats Tsa’labi. Ia (Al Baghawi) tidak menyebutkan tafsir ahjli bid’ah yang disebutkan ats Tsa’labi… “[9]

Sungguh memalukan!! Apakah Ibnu Taymiah tidak pernah mengarahkan matanya ke kitab Tafsir al Baghawi sehingga ia menyaksikan bagaimana al baghawi ternyata meriwayatkan hadis peristiwa itu?!! Ya. Riwayat itu telah diriwayatkan oleh al Baghawi yang kata Ibnu Taymiah menyebut-nyebut mawdhû’at, dan tafsirnya ahli bid’ah!

Apakah Ibnu Taymiah siap mencabut ucapannya? Atau para pemujanya tetap saja akan menyanyikan lagu sumbang kebodohan dan kejahilan Ibnu Taymiah mereka?!

Tetapi jangan Anda tidak perlu khawatir, Ibnu Jarir dan al Baghawi yang ia puji sebentar lagi akan dihajar habis Ibnu Taymiah ketika ia dihadapka dengan kenyataan bahwa ternyata keduanya juga meriwayatkan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan hawa nafsunya! Nantikan serinya!

______________________________

Page 62: Ibn Taimiyah

[1] Minhâj al-Sunnah 1/155.

[2] Minhâj as Sunnah,4/4.

[3] Minhâj as Sunnah,4/4-5.

[4] Tafsir Ibnu Katsir,2/64.

[5]Al Mawâqif fi Ilmi al Kalâm:404, Syarhu al Mawâqif fi Ilmi al Kalâm,8360 dan Syarhu al Maqâshid fi Ilmi al Kalâm,5/270.

[6] Rûh al Ma’âni,6/167.

[7] Minhâj as Suinnah,4-4.

[8] Tafsir ath Thabari,6/186.

[9] Minhâj as Suinnah,4-4.

 

Semua Kota Besar Islam Telah Disinari Ilmu Nabi saw. dari Selain   Ali!!(2)

Posted by Zainal Abidin under Imam Ali ra., Manhaj  

Semua Kota Besar Islam Telah Disinari Ilmu Nabi saw. dari Selain Ali!! (2)YamanAdapun ucapan Ibnu Taymiah bahwa, “Aktifitas Mu’adz mengajar penduduk Yaman dan bermukinya di tengah-tengah mereka lebih lama di banding Ali, karenanya penduduk Yaman lebih banyak meriwayatkan dari Mu’adz dari pada dari Ali”

Maka perlu diketahui bahwa ucapan itu mengandung banyak poin, yang semuanya palsu!

1. Aktifitas Mu’adz mengajar pendudukYaman…

2.Mu’adz bermukinya di tengah-tengah penduduk Yaman…

3.Mu’adz lebih lama mengajar penduduk Yaman di banding Ali as. …

4.Mu’adz lebih lama tinggal di Yaman…

5.Penduduk Yaman meriwayatkan dari Mu’adz…

Page 63: Ibn Taimiyah

6.Yang mereka riwayatkan dari Mu’adz lebih banyak dari yang mereka riwayatkan dari Ali….

Untuk kesemua klaimnya di atas Ibnu Taymiah tidak memiliki bukti, dan hanya membuktikan kebodohan sikapnya khususnya di hadapan ulama Syi’ah yang sedang ia hujat!! Bahkan banyak dasarnya yang tidak mampu dipertahankan berdasarkan data-data yang ada di tengah-tengah ulama Ahlusunnah sendiri.

Asal muasaal klaim Ibnu Taymiah adalah pengutusan Nabi saw. Imam Ali as. dan Mu’adz ibn Jabal ke Yaman. Yang perlu diketahui dalam hal ini ialah bahwa pemberangkatan Imam as. ke Yaman adalah berita yang disepakati Sunnah dan Syi’ah. Adapun pemberangkatan Mu’adz hanya diriwayatkan Ahslusunnah sendiri. Oleh sebab itu, Ibnu Taymiah adalah tidak benar berhujjah di hadapan orang-orang Syi’ah (Allamah al Hilli) yang sedang ia keritik dengan riwayat Ahlusunnah, ia mesti membawakan riwayat Syi’ah. Demikian etika berdialoq!! Andai, riwayat itu diterima Syi’ah sekalipun, hal itu tidak menguntungkan Ibnu Taymiah barang sedikitpun, sebab seperti diketahui, pemberangkatan Imam Ali as. ke Yaman untuk tujuan pengajaran dan penyuluhan ajaran Islam, sementara pemberangkatan Mu’adz adalah untuk tujuan menutupi kebutuhan dunianya, sebagaimana disebutkan para ulama Ahlusunnah sendiri. Adapun anggapan sementara kalangan bahwa pemberangkatan Mu’adz ke Yaman untuk tujuan qadha’ (peleraian masalah sengketa/menjadi qadhi), adalah anggapan yang tidak benar, tidak ada riwayat sahih yang melaporkan hal itu. Dasar mereka hanyalah sebuah hadis riwayat sementara ulama, sementara itu, Ibnu Hazm, misalnya dan beberapa ulama lainnya mencacat dan menolak dengan keras riwayat tersebut!

Jika demikian kenyatannya, bagaimana dapat dikatakan bahwa keberangkatan Mu’adz ke Yaman untuk tujuan pengajaran?! Apalagi dikatakan bahwa pengajarannya kepada penduduk Yaman lebih banyak dan dominan. Andai benar, bahwa disamping tujuan utama kepergiannya ke Yaman ia juga mengajar sebagian pengajaran maka dapat dipastikan bahwa apa yang ia sampaikan perlu disangsikan kebenarannya, sebab Mu’adz sendiri banyak tidak mengetahui hukum halal dana haram! Dan anggaplah benar apa yang diklaim sebagian orang bahwa keberangkatan Mu’adz ke Yaman untuk jutuan pengajaran, maka tidaklah berdasar klaim bahwa pengajarannya lebih unggul dan berkaulitas dibanding pengajaran Imam Ali as., sebab seperti disepakati ulama besar Ahlusunnah bahwa Imam Ali as. jauh lebih afdhal, utama di atas Mu’adz dari segala sisinya. Oleh kerena itu, andai benar kenyataan bahwa Mu’adz tinggal di tengah-tengah penduduk Yaman selama Nabi Nuh as. di tinggal di tengah-tengah kaumnya, sementara Imam Ali as. hanya tingga sebentar, pastilah pengajara Imam Ali as. lebih unggul dan lebih bermutu, serta lebih membekas dan lebih banyak manfaatnya. Bukankah para ulama Ahlusunnah melaporkan bahwa Nabi saw. sebelumnya telah mengutus Khalid ibn Walîd ke Yaman dengan tujuan mengajak penduduknya memeluk Islam dan menerangkan ajaran Islam, tetepi selama enam bulan Khalid tinggal di sana tidak satupun penduduknya yang tertarik dengan ajaran Islam yang diterangkan Khalid. Maka kemudian nabi saw. mengutus Imam Ali as. ke sana menyusul Khalid. Sesampainya di sana, Imam Ali as. menerangkan ajaran Islam, dan (di luar dugaan Ibnu Taymiah dan para pengagumnya) pada hari pertama itu, mereka menerima Islam dengan penuh kepuasan dan keyakinan!

Page 64: Ibn Taimiyah

Dan ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa penyampain orang yang memiliki keutamaan dan keunggulan, fâdhil lebih membekas dan berpengaruh di banding omongan orang yng tidak menyandang keutamaan, walaupun kita andaikan dia tinggal lebih lama!! Dari sini, jelaslah kesalahan membandingkan pengajaran Imam Ali as. dengan pengajaran lainnya, apalagi dengan pengajaran Mu’adz. Salahlah orang yang membanding-bandingkan Ahlulabit as. dengan orang-orang lain.

Syuraih dan Lainnya Belajar Agama dari Mu’adz!Adapun klaim Ibnu Taymiah bahwa Syuraih dan para pembesan tabi’in belajar agama, tafaqqahû dari Mu’adz adalah sebuah kepalsuan belaka, seperti kebohongannya dalam banyak kesempatan lain, Ibnu Taymiah dan para “penyembahnya” tidak mungkin mampu membuktikannya, berdasarkan konsep pembuktian ala Ahlusunnah apalagi ala Syi’ah!! Sebab anggapan itu hanya dilontarkan kecuali oleh Ali ibn al Madîni seorang, itupun dengan tanpa memastikan, ia hanya menukil dari seseorang yang majhûl, tidak diketahui jati dirinya. Perhatikan apa yang ditulis Ibnu Hajar dalam al Ishâbah, ‘(Syuraih) menjabat sebagi qadhi di kota Kufah selama lima puluh tiga tahun, ia tinggal di Bashrah selama tuju tahun. Dan dikatakan bahwa ia belajar dari Mu’adz ketika ia berada di Yaman.”[1]Coba Anda perhatikan laporan itu Dan dikatakan bahwa ia belajar dari Mu’adz ketika ia berada di Yaman, siapa yang mengatakan? Demi Allah, ilmiahkah kita membuktikan sebuah klaim dengan data rapuh seperti itu?! Bahkan kalau kita mau meluangkan sedikit waktu menelusuri buku-buku sejarah para tokoh dan perawai, kita akan menemukan beberapa data yang menafikan kliam mereka itu. Di antaranya, tidak disebutnya Syuraih dalam daftar para ulama yang meriwayatkan dari Mu’adz. Andai benar klaim Ibnu Taymiah pastilah nama Syuraih akan disebut.

Coba Anda perhatikan keterangan para ulama tentangnya.

Ibnu Hibbân tentang Syuraih, “Syuraih ibn Hârits al Qadhi al Kindi, sekutu mereka (bani Kindah), gelar kun-yahnya Abu Umayyah ada yang mengatakan Abu Abdurrahman,…, ia seorang qadhi. Ia meriwayatkan dari Umar ibn al Khaththab, darinya asy Sya’bi meriwayatkan. Wafat tahundelapan puluh delapan atau delapan pulu tujuh dalam usia seratus sepuluh tahun, ada yang mengatakan seratus dua puluh tahun. Ia menjad qadhi selama tujuh puluh lima tahun, tidak pernah absent kecuali selama tiga tahun di masa kekacaaun ketika Ibnu Zubair memberontak.”[2]

An Nawawi berkata, “Ia mengalami masa hidup Nabi saw. teteapi tidak sempat berjumpa. Ada yang mengatakan menjumpainya. Yang masyhur adalah pendapat pertama. Yahya ibn Ma’in berkata, ‘Ia hidup di masa Nabi saw. tetapi tidak pernah mendengar apapun dai beliau.’ Ia meriwayatkan dari Umar ibn al Khaththab, Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abdurrahman ibn Abi Bakar dan Urwah al Bâriqi ra.”[3]

Ibnu Hajar berkata, “Ia meriwayatkan dari Nabi saw. secara mursalan (dengan menggugurkan nama sahabat yang menjadi perantaraan riwayat) , dan juga dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Urwah al Bâriqi dan Abdurrahman ibn Abi Bakar.”[4]Al Khazraji

Page 65: Ibn Taimiyah

berkata, “Ia adalah salah satu ulama yang mulia dan cerdas. (Ia meriwayatkan) dari Ali, Ibnu Mas’ud. Darinya asy Sya’bi dan Abu Wâil meriwayatkan.”[5]

Dari kutipan pernyataan para ulama di atas tampak jelas bahwa nama Mu’adz tidak pernah disebut-sebut sebagai guru atau yang pernah dtimba ilmu oleh Syuraih. Dan ini adalah bukti pendukung yang cukup, andai pernag meriwayatkan walau sekali saja pastilah namanya akan dicantumkan sebagai guru yang yang pernah ditimba ilmunya!Ini semua terkait dengan klaim Ibnu Taymiah bahwa Syuraih beralajar agama, tafaqqaha dari Mu’adz.Adapun klaim bahwa para pembasar tabi’in belajar dari Mu’adz, maka ia sekedar klaim yang tak pernah mampu dibuktikan, tidak seorang pun yang pernah mengatakannya, baik pengucap yang majhûl atau yang dikenal!! Ia benar-benar kata-kata yang terucap dari Ibnu Taymiah dari bisikan teman dan perewangnya!

`Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.(QS.43;36) Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.(QS.6;112)

Adapun ucapannya bahwa:

rا قاض'ي فيها شريح كان الكوف"ة" ع"ل'ي, قد'م" لم"ا Ketika Ali datang ke kota Kufah, Syuraih وsudah menjabat sebagai Qadhi.adalah omongan yang tidak berguna sedikitpun. Lalu apakah hal itu membuktikan bahwa qadha’, keputusn-keputusannya yang ia putuskan sebelum kedatangan Imam Ali ke kota Kufah itu tidak salah?!Betapa banyak jaksa yang diangkap para penguasa sementara mereka itu adalah orang-orang bodoh!

Anggap omongan Ibnu Taymiah itu berguna, tetapi bukankah Syuraih termasuk yang meriwayatkan dari Imam Ali as.! dan ia berujuk kepadanya dalam memecahkan permasalahn yang rumit, seperti juga temannya; Ubaidullah al Salmani… Jadi Syuraih tidak dapat berpalin dari membutuhkan Imam Ali as.

Sedangkan omongan Ibnu Taymiah , “Ia bersama Ubaidah al Salmani belajar agama dari selain Ali.” adalah tertolak, sebab klaim bahwa Syuraih belajar dan mendalami agama dari selain Imam Ali as. adalah klaim tanpa bukti. Sementara itu, belajarnya Syuraih dari Mu’adz telah Anda ketahui tidak adanya bukti atasnya bahkan bukti-bukti yang ada jusretu menafikannya. Dan kalau ada orang lain yang darinya Syuraih belajar dan mendalami agama, maka siapakah gerangan oran tersebut?Adapun klaim bahwa Ubaidah al Salmani beralajar dan mendalami dari selain Imam Ali as. adalah kebohongan yang sangat konyol dari Anak Taymiah, sebab para ulama yang menyebutkan bigrafi dan sejarah hidup Ubaidah as Salmani telah bersepakat bahwa ia belajar dan mendalami agama dari Imam Ali as. dan Ibnu Mas’ud.Pehatikan komentar para ulama di bawah ini:

Page 66: Ibn Taimiyah

As Sam’ani berkata, “Dia adalah termasuk murid-murid (Imam) Ali dan Ibnu Mas’ud. Hadisnya diriwayatkan dalam dua kitab Shahih (Bukhari&Muslim)…

Ahmad ibn Abdullah al Ijli berkata, ‘Ubaidah al Salmani, ia bermata juling, salah seorang murid Abaidah ibn Mas’ud yang mengajar Alqur’an dan memberikan fatwa. Syuraih apabila mengalami kesulitan, ia berkata, ‘Di sana ada seorang dari suku bani Salamah memiliki pengetahuan’ lalu ia mengutus mereka kepadanya (Ubaidah al Salmani). Ibnu Sîrîn paling banya meriwayatkan darinya. Semua yang diriwayatkan Ibnu Sîrîn dari Ubaidah, selain pendapatnya, maka itu dari Ali. Ia wafat tahuntujuh peluh dua atau tujuh puluh tiga hijrah.”[6]

Pernyataan serupa juga disampaikan al Mazi dalam Tahdzîb al Kamâl-nya.[7]

An Nawawi berkata, “Ia dikenal bersahabat (berguru) kepada Ali. Darinya asy Sya’bi an Nakha’i, Abu Hudshain, Ibnu Sîrîn dan beberapa lainnya meriwayatkan. Ia pernah tinggal di Kufah dan berkunjung ke Madimah. Ia hadir di barisan Ali dalam peperangan melawan kaum Khawarij. Ia seorang murid Ibnu Mas’ud yang mengajarkan Alqur’an dan berfatwa. Dan adalah Syuraih apabila mengalami kesulitan, ia mengutus penanya kepada Ubaidah… “[8]Ibnu Hajar berkata, “Ia adalah murid Ali dan Abdullah (Ibnu Mas’ud).”[9]dll.

Dari keterangan di atas tampak dengan jelas bahwa Ubaidah tafaqqaha, mendalami agama dari selain Imam Ali as. seperti klaim Ibnu Taymiah adalah kebohongan dan fitnah yang tidak bertanggung jawab. Sebab ia mendalami agama dari Imam Ali as. baik secara langsung mamupun melalui murid beliau, Ibnu Mas’ud. Tetapi seperti perlu diketahui bahwa hal demikian tidak meninscayakan Ubaidah sebagai seorang dari Syi’ah Ali as. yang meyakini imamah dan kemakshumannya!

Dari sini dapat dimengerti bagaimana sikap keduanya yang tidak jarang berseberangan dengan pendapat Imam Ali as.!Memang Imam Ali as. dikarenakan kondisi umat yang sangat buruk dan tidak menguntungkan, beliau tidak memaksakan banyak hal agar secepatnya drubah, karena khawatir menimbulkan kericuhan dan kekacauan di tengah-tengah umat, sementara kesatuan mereka demi menghadapi konspirasi dan persekonkolan kaum Quraisy untuk merongrong kekhilafahan beliau sangat diperlukan. Imam Ali as. bersabda, seperti diriwayatkan Ibnu Sîrîn dari Ubaidah:

مات كما أموت( و3" أ rجماع"ة الناس( يكون" $ى ح"ت ، اإلخ3تالف" ه( 3ر" ك

" أ sي3 'ن ف"إ "ق3ض(ون" ت (م3 3ت (ن ك كما أثق3ض(وا'ي3 ص3حاب

" Berikan keputusan seperti dahulu kalian memberikan keputusan, karena“ .أsesungguynya aku tidak suka perselisihan, sehingga nanti manusia menjadi bersatu, jama’ah, atau aku mati seperti teman-temanku.”[10]Para pensyarah Bukhari telah menerangkan bahwa ucapan Imam Ali as. di atas berawal dari pendapat beliau yang bertentangan dengan pendapat Umar (Khalifah pendahu beliau) tentang anak dari hasil hubungan dengan budak wanita, Ali berpendapat ia boleh dijual, sementara menurut Umar tidak boleh. Imam Ali as. kemdian menarik pendapatnya karena khawatir timbul perpecahan![11]Dari semua keterangan di atas dapat diketahui bahwa ilmu-ilmu Islam telah tersebar di seantero wilayah Islam melalui Imam Ali as. baik langsung mamupun

Page 67: Ibn Taimiyah

melalui perantara murid-murid beliau, kendati kenyataan tersebut menjengkelkan Ibnu Taymiah dan para pemujanya, walhamdulillah.

____________________________

[1] Al Ishâbah,2/144.

[2] Ats Tsiqât,4/352.

[3] Tahdzîb al Asmâ’ wa al Lughât,1/243.

[4] Tahdzîb at Tahdzîb,4/326.

[5] Khulashah Tahdzîb at Tahdzîb:165.

[6] Al Ansâb karya al Sam’ani.

[7] Tahdzîb al Kamâl,19/266.

[8] Tahdzîb al Asmâ’ wa al Lughât,1/317.

[9] Tahdzîb at Tahdzîb,7/84.

[10] Shahih Bukhari,5/81, bab fadhâil Ash-hâb an Nabi, Manâqib Ali.

[11] Cob abaca: Fath al Bâri,7/59, ‘Umdah al Qâri,16/218 dan Irsyâd as Sâri,6/118.

 

Semua Kota Besar Islam Telah Disinari Ilmu Nabi saw. dari Selain   Ali!!(1)

Posted by Zainal Abidin under Imam Ali ra., Manhaj  

Semua Kota Besar Islam Telah Disinari Ilmu Nabi saw. dari Selain Ali!! (1)Tidak cukup dengan mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud dan para sahabat tidak pernah sedikitpun menimba ilmu dari Imam Ali as., … dan Ibnu Abbas ra. yang dikenal sebagai murid Imam Ali as. adalah sebuah kepalsuan belaka…., tidak cukup hanya itu, Ibnu Taymiah memekikkan suara sumbangngnya dengan mengatakan bahwa tidak satu pun kota-kota besar yang tersinari dengan cahaya ilmu Ali as. !! Sementara itu, para sahabat telah menyiraminya dengan ilmu-ilmu mereka… hanya Ali seorang yang ilmunya tidak sampai ke kota-kota tersebut!

Page 68: Ibn Taimiyah

Perhatikan apa yang ia katakan dengan redaksi tegas tanpa sungkan ketika ia menolak hadis Madinatul Ilmi seperti di bawah ini:

Ibnu Taymiah berkata:

إنما الحديث" هذا أن$ 'م" الزناد'ق"ة" ف"ع(ل ق( sط"ر) ي ه(و" و م"د3حrا $ه( ظ¥ن nجاه'ل n3ق 3د'ي زن في اف3تراه( الق"د3ح' إلى ' اإلس3الم ,Maka diketahui bahwa hadis ini dipalsukan oleh seorang zindîq yang jâhil“ .دين'

ia menganggapnya sebagai pjian sementara itu ia membuka jalan bagi kauk zindiq lainnya untuk mencacat Islam… Kemudian hal itu adalah bertolak belakang dengan apa yang diketahui secara mutawatir, sebab seluruh kota-kota besar Islam telah sampai kepadanya ilmu para sahabat dari Rasulullah dari selain Ali”Setelahnya ia berusaha membuktikan klaimnya diatas dengan mengatakan:

و "ة' المدين أه3ل( م$ا" 'ن$ أ ف"إ ة، البصر" و أم الش$ كذل'ك" و ، nظاه'ر فيهما فاألم3ر( $ة" rوا م"ك يكون لم هؤآلء'

كان إنما و ،r قليال rا $شيءئ إال عل'ي� عن الكوفة يرو(و3ن" "ه3ل( ف"أ هذا مع و الكوف"ة'، في علم'ه' غالب("ع3ل"مون" ي فف(قهاء( كانوا ، علي� rعن فض3آل عثمان( يتول$ي أن3 قبل ¥ة" السن و آن" "ة' الق(ر3 المدين أهل'

. معاذ 3م( 'ي تع3ل و عم"ر" خالف"ة' في الدين" $م(وا لهذا تع"ل و علي�، أكثرم'ن3 فيهم م(قام(ه( و اليمن "ه3ل' ألاليمن أه3ل( . رو"ى م'ن3 ه( غير( و ريح ش( و عل'ي� عن رو"و3ا م'م"ا أكثر" جبل بن معاذ 3ن" عن 'ع'ي التاب أكابر

قد'م" لم"ا و جبل، بن معاذ على "ف"ق$ه(وا ت عبيدة إنما و هو و rا، قاض'ي فيها شريح كان الكوف"ة" ع"ل'ي,تف"ق$ها "ق3د"م" السليماني ي أن3 قبل" ''ن' المدائ في ' اإلسالم علم( ر" 3تش" فان غير'ه'، الكوفة" على علي] …

Adapun penduduk kota Madinah dan Mekkah, telah jelas urusannya. Demikian pula kota Syam dan Bashrah, mereka tidak meriwayatkan dari Ali melainkan sangat sedikit. Kebanyakan ilmu Ali hanya di kota Kufah, namun kendati demikian penduduk Kufah mereka telah mengetahui Alqur’an dan Sunnah sebelum Utsman memerintah, apalagi Ali. Para fukaha’ kota Madinah, mereka belajar agama di masa Khilafah Umar. Aktifitas Mu’adz mengajar penduduk Yaman dan bermukinya di tengah-tengah mereka lebih lama di banding Ali, karenanya penduduk Yaman lebih banyak meriwayatkan dari Mu’adz dari pada dari Ali. Syuraih dan para pembesar tabi’in lainnya mereka hanya belajar agama dari Mu’adz ibn Jabal. Ketika Ali datang ke kota Kufah, Syuraih sudah menjabat sebagai Qadhi. Ia bersama Ubaidah al Salmani belajar agama dari selain Ali. Dan ilmu Islam telah tersebar di kota al Madain sebelum kedatangan Ali ke Kufah…” [1]Demikianlah panjang lebar Ibnu Taymiah berusaha membuktikan bahwa seluruh kota-kota besar Islam itu telah mengenal Islam dan ajaran Alqur’an dan Sunnah bukan dari Imam Ali as., akan tetapi dari para sahabat lain. Ilmu Rasulullah saw. melalui selain Ali-lah dalam klaim Ibnu Taymiah yang telah menyinari seantero wilayah-wilayah Islam saat itu. Adapun ilmu Ali, ia hanya sekedar dongen dan nyanyian kebanggaan yang hanya dilagukan kaum Syi’ah saja!! Maka dengan demikian pastilah dalam penilaian Ibnu taymiah hadis Nabi saw. yang menerangkan bahwa Ali adalah pintu kota ilmu kenabian dan kerasulan adalah sebuah kepalsuan belaka… ia adalah produk kaum zindiq jahil!! Dan hanya membuka jalan bagi pencacatan atas kevalidan ajaran Islam!!

Ikhtisar kata, kaum Muslimin di berbagai penjuru kota besar Islam tidak pernah mendapat manfat dari ilmu Ali. Hanya penduduk Kufah saja yang menjadi tempat pelimpahan ilmu Ali… itupun tidak terlalu berguna sebab kenyataannya mereka telah rampung mengetahi Alqur’an dan Sunnah Nabi saw, jauh sebelum kedatangan Ali ke sana dan menjadikannay ibu kota pemerintahannya. Bahkan dua paka hukum Islam kota

Page 69: Ibn Taimiyah

Kufah dan pembesar tabi’in, mereka belajar fikih dan agama bukan dari Ali, tetapi dari selain Ali yaitu Mu’adz!!

Demikianlah Ibnu Taymiah merampungkan argumentasinya!! (jika apa yang ia sebutkan itu dapat disebut sebagai argument).

Nah, sekarang mari kita perhatikan apa yang dikatakan Ibnu taymiah di atas dengan memperhatikan bukti-bukti dan data-dat sejarah akurat sebagaiaman diabadikan para ulama.

Kota-kota besar Islam di masa itu, seperti yang juga ia sebutkan adalah:

Al Madinah al Munawwarah… Makkah al Mukarramah… Syâm… Bashrah… Kufah dan Yaman.

§ Al Madinah al Munawwarah:

Adapun Madinah, Imam Ali telah tinggal di sana hampir seluruh usia beliau. Dan seperti telah disebutkan sebelumnya, Ali as. adalah guru dan tempat rujukan para pembesar sahabat… apalgi tabi’în!

Adapun ucapan Ibnu Taymiah bahwa “para fukaha’ kota Madinah, mereka belajar agama di masa Khilafah Umar(!)” perlu dikomfirmasi maksudnya. Apakah mereka itu belajar kepada Khalifah Umar? Atau dari orang lain?

Ibnu Taymiah sangat licin dalam redaksi yang ia pilih. Ia mengatakan bahwa para fukaha’ kota Madinah, mereka belajar agama di masa Khilafah Umar . Ya, belajar agama di masa Khalifah Umar! Ia tidak berani menegaskan bahwa para fukaha itu belajar dari Umar! Sebab Ibnu Taymiah menyadari bahwa ia akan kerepotan untuk membuktikannya, karena Umar sendiri selalu berujuk kepada Imam Ali dalam memecahkan masalah-masalah rumit yang ia hadapi. Dan tidak jarang dilaporkan bahwa Umar salah dalam memaham atau memutuskan sebuah keputusan hokum. Beratapa sering beliau ra. mengakui ketidak-mampuannya. Umar berkata, ‘Semua orang lebih pandai dari Umar, sampai-sampai wanita-wanita di rumahpun lebih mengerti disbanding Umar.’ dll.

Jadi kalau benarucapan Ibnu Taymiah bahwa para fukaha’ kota Madinah, mereka belajar agama di masa Khilafah Umar pastilah mereka itu melajar dari Imam Ali as.! Jika para pembesar beraujuk dan belajar dari Ali as., apalagi para tabi’in. Itu sudah pasti!!

§ Makkah al Mukarramah

Sedangkan kota Makkah, adalah kota kelahiran Imam Ali as. dan beliau tinggal di sana hingga Nabi saw. berhijrah. Dan setelah hijrah beliau sering datang ke kota makkah, lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa ilmu beliau tidak sampai ke kota makkah?!

Page 70: Ibn Taimiyah

Selain itu, murid kesayangan beliau; Ibnu Abbas ra. ia tinggal di kota Mekkah dalam waktu yang cukup lama, beliau mengajarkan Alqur’an dan tafsir serta sunnah Nabi saw.. Ketika menyebutkan biografi Ibnu Abbas ra., adz Dzahabi berkata, “A’,asy dari Abu Wâil berkata, Ali menugaskan Ibnu Abbas utnuk mengurus pelaksanaan ibadah haji, ia berpidato andai sat itu di dengar oleh orang-orang Turki dan Ramawi pasti mereka memeluk Islam. Kemudian Ibnu Abbas membacakan surah an Nûr dan menafsirkannya.”[2]

Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa pada suatu hari Aisyah memandang Ibnu Abbas ketika itu ia bersama sekelompok orang di malam-malam musim haji dan mereka bertanya kepadanya, kemudian Aisyah berkata, “Dia adalah paling pandainya orang yang tersisa (masih hidup) tentang manasik haji.”[3]

Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dari Abdulah ibn Shafwân bahwa ketika ia melewati rumah Ibnu Abbas ra. ia menyaksikan sekelompok orang sedang belajar agama darinya, maka ia(Abdulah ibn Shafwân) menggubah bait-bait syair memojokkan Ibnu Zubair karena telah kehilangan kejayaan dengan simpatik yang diberika kaum Muslimin kepada Ibnu Abbas…. [4]

Jadi telah tetaplah bahwa Ibnu Abbas ra. (murid Imam Ali as.) sebagai penyebar ilmu Islam; Alqur’an dan Sunnah di tangah-tangah penduduk kota suci Mekkah, sampai-sampai Ibnu Taymiah sendiri mengakui bahwa paling andainya orang tentang tafsir adalah penduduk kota Mekkah, sebab mereka belajar dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Orang yang paling pandai tentang tafsir dalah penduduk Mekkah, sebab mereka adalah murid-murid Ibnu abbas ra., seperti Mujahid, ‘Athâ’ ibn Abi Rabâh, Ikrimah-budak Ibnu Abbas-, Sa’id ibn Jubair, Thawûs dan selain mereka.”[5]

§ Syâm

Adapun kota Syâm, maka yang paling pandai di antara penduduknya adalah Abu Dardâ’. Ia telah belajar dan menimba ilmu dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Mas’ud adalah seorang murid Imam Ali as. Adz Dzahabi berkata, “Abu dardâ’ adalah orang alimnya kota Syâm dan pengajar Alqur’an ibu kota Damaskus, ia adalah ahli fikih dan qaghinya mereka.”[6]

Al Muwaffaq ibn Ahmad meriwayatkan dari Abu dardâ’ sebagai mengatakan, “Para ulama itu ada tiga, seorang di kota Syâm, (maksudnya adalah dirinya sendiri), seorang di kota Kufah (Ibnu Mas’ud maksudnya), dan seorang lagi di kota Madinah (Imam Ali as. maksudnya). Yang di Syâm bertanya kepada yang di Kufah dan yang di Kufah bertanya kepada yang di Madinah, dan yang di Madinah tidak bertanya kepada siapa-siapa.”[7]

Muhibbuddin ath Thabari meriwayatkan dari Abu az Za’râ’ dari Abdullah, ia berkata, “Ulama dunia ada tiga, seorang di Syâm, seorang di Hijaz, dan seorang lagi di Irak. Adapun alimnya penduduk Syâm adalah Abu Dardâ’, orang alimnya penduduk Hijâz adalah Ali ibn Abi Thalib, sedangkan alimnya penduduk Irak adalah saudara kalian (Ibnu Mas’ud). Dan alimnya penduduk Syamdan orang alimnya penduduk Irak keduanya

Page 71: Ibn Taimiyah

mebutuhkan kepada alimnya penduduk Hijâz, sementara alimnay penduduk Hijâz tidak butuh kepada kedunanya.”[8]

Selain itu, para ulama meriwayatkan bahwa Mu’awiyah –kendati ia adalah musuh utama Imam Ali as. yang mengobarkan api pemberontakan atas beliau as.- telah berujuk dan bertanya kepada Imam Ali as. dalam banyak kasus.

§ Bashrah

Kota Bashrah bukanlah kota asing bagi Imam Ali as., berkali-kali beliau mengunjunginya dan berpidato di sana. Nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan beliau kepada penduduk kota tersebut tidak samar bagi para ulama. Anda dapat merujuknya dalam buku-buku sejarah seperti Tarikh Thabari dan lainnya.

Sebagiama juga, tidak samar bagi parta sejarawan Islam bahwa Ibnu Abbas ra. pernah ditunjuk Ali as. sebagai Gubernur wilayah Bashrah, dan para penduduknya banyak berkesempatan menimba ilmu agama darinya.

Maka dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa ilmu Imam Ali as. telah sampai dan tersebar di kota Bashrah, melalui Ibnu Abbas juga sebagai murid kesayangan Imam Ali as.!

Al Madâini meriwayatkan dari Nu’aim ibn Hafsh, ia berkata, “Abu Bakrah berkata, ‘Ibnu Abbas datang ke kota kami bashrah, dan tiada di kalangan bangsa Arab yang menyamainya baik, fisik, ilmu, kemampuan menerangkan, ketampanan dan kesempurnaan.”[9]

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Sulaiman dari ayahnya, Hasan, ia berkata, “Orang yang pertama dikenal di kota bashrah adalah Abdullah ibn Abbas… ia seorang yang supel dan banyak ilmunya… Ia membacakan surah Al Baqarah lalu menafsirkannya ayat demi ayat.”[10]

Ibnu Hajar berkata, “Zubair meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Ibnu Abbas selalu meberi makan malam di bulan Ramadhan, ia adalah Amir kota Bashrah. Tidak berlalu bulan itu melainkan ia telah tuntas mengajarkan fikih/agama kepeda mereka.”[11]

Dari jelaslah bahwa ilmu Imam Ali as. telah tesebar luas di berbagai kota besar Islam, madinah, Mekkah, Syâm, Bashrah dan lainnya, walaupun tidak berarti mereka yang menimba ilmu dari belioau adalah para pengikut setia beliau dan yang mengaku kewalian dn imamah beliau as.

§ Kufah

Adapun kota Kufah, yang kata Ibnu Taymiah bahwa ilmu Imam Ali kebanyakan hanya ada di Kufah, maka perlu Anda ketahui bahwa ilmu Imam ali as. adalah ilmu Rasulullah saw…. Andai seluruh ulama menimbanya dari lautan ilmu beliau pastilah cukup untuk

Page 72: Ibn Taimiyah

mereka. Lalu bagaimana dikatakan bahwa kebanyakan ilmu beliau as. adalah di Kufah?! Mungkinkah mereka mampu menampung lautan kebanyakan ilmu Imam Ali as.?

Beliaulah yang bersabda, “Tanyakan kepadaku sebelum kalian kehilangan aku, sesungguhnya di antara rongga dadaku terdapat banyak ilmu… “seperti akan disebutkan pada artikel lain nanti, insyaallah.

Jika yang Ibnu Taymiah maksudkan bahwa yang tampak dari ilmu Imam Ali as. adalah di Kufah, maka sebenarnya ia salah, sebab kebanyakan ilmu beliau as. tampak di kota suci Madinah, bukan di Kufah! Rujuknya para sahabat besar, tidak terkecuali tiga Khalifah sebelum beliau as. dalam berbagai masalh rumit adalah berita masyhur, dan itu semua terjadi di kota Madinah. Di kota Kufah beliau tidak banyak memiliki kesempatan untuk memberikan bimbingan sebab beliau as. disibukkan dengan pemberontakan demi pemberontakan yang dipimpin sebagian sahabat!

Sedangkan kata-kata Ibnu Taymiah bahwa “namun kendati demikian penduduk Kufah mereka telah mengetahui Alqur’an dan Sunnah sebelum Utsman memerintah, apalagi Ali” sepertinya ia ingin mengatakan bahwa mereka telah belajar agama di masa kekhalifahan Umar, tetapi anggapan ini salah sebab:

Pertama, kota Kufah baru diramaikan kaum Msulimin pada tahun tujuh belas hijrah, sementara Umar wafat tahun dua puluh tiga hijrah, lalu bagaimana kita dapat menerima anggapan bahwa mereka mmapu mempelajari Alqur’an dan sunnah dalam kurn waktu sesingkat itu taitu enam tahun, padahal Umar sendiri baru untuk mampu mempelajari surah al Baqarahbutuh waktu selama dua belas tahun! seperti diriwayatkan para ulama, di antaranya as Suyuthi dalam ad Durr al Mantsûr-nya.[12] Kedua, mereka yang datang ke kota Kufah sebagai utusan Khalifah Umar adalah Ammar ibn Yasir dibarengi Abdullah ibn Mas’ud. Jika yang dimaksud Ibnu Taymiah bahwa penduduk Kufah itu belajar dari kedua sahabat ini, maka tentunya hal itu merugikan stitmen Ibnu Taymiah sendiri! sebab keduanya adalah murid Imam Ali as. Maka dari tetaplah bahwa penduduk Kufah mengambil ilmu Ali as.Banyak bukti dan data yang mengatakan bahwa penduduk kota Kufah belajar dari Ammar dan Ibnu Mas’ud. Ibnu Sa’ad melaporkan bahwa pada awalnya Ibnu Mas’ud berhijrah ke kota Himsh kemudian dipindahkan Umar ke Kufah. Umar menulis sepucut surat kepada mereka, “Sesungguhnya-demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya- aku lebih mementingkan kalian dengan mengutusnya kepada kalian, maka ambillah ilmu darinya!”[13]

Dalam riwayat lain dilaporkan, “Harits ibn Madhrab berkata, ‘Surat Umar ibn al Khaththab dibacakan di hadapan kami: Amma ba’du, aku telah mengutus kepada kalian Ammar ibn Yasir sebagai amir, dan Ibnu mas’ud sebagai pengajar dan pejabat pembatu… .”[14]

Ibnu Hajar melaporkan, “Dan Umar memberangkatkan Ibnu Mas’ud ke kota Kufah untuk mengajarkan kepada mereka urusan agama mereka, dan mengutus Ammar sebagai amir. Umar berkata, “mereka berdua adalah orang-orang pilihan dari sahabat (Nabi) Muhammad saw., maka berteladanlah dengan keduanya!”[15]

Page 73: Ibn Taimiyah

Dari semua ini jelaslah bahwa mereka belajar ilmu Imam Ali as. dari para murid dekat beliau, dan terbuktilah bahwa ilmu beliau telah menyebar di kota Kufah.

________________________

[1] Minhaj as Sunnah,4/139.

[2] Tadzkirah al Huffâdz,1/38.

[3] Ath Thabaqât,2/369.

[4] Anda saya persilahkan merujuk al Istî’âb, 3/937, dan akibat dari bait-bait syair itu Ibnu Zubair marah dan menampakkan kedengkiannya kepada Ibnu Abbas ra. serta berusaha melarangnya mengajar!!

[5] Al Itqân fi ‘Ulûmil Qur’an,2/190.

[6] Tadzkirah al Huffâdz,1/24.

[7] Manâqib Amirul Mukminin:55.

[8] Ar Riyâdh an Nadhirah,2/199.

[9] Tadzkirah al Huffâf,1/38 dan al Ishâbah,2/322.

[10] Ath Thabaq6at,2/367.

[11] Al Ishâbah,2/325.

[12] ad Durr al Mantsûr,1/21.

[13] Ath Thabaqât,3/175.

[14] Ath Thabaqât,3/255 dan riwayat serupa dapat dijumpai dalam al Istî’âb,3/992 dan140, Usdu al Ghabah,3/258, Tadzkirah al Huffâdz,1/14.

[15] Al Ishâbah,2/316 dan 506.

Ibnu Taymiah Menolak Tafsir Nabi Saw (1)

Page 74: Ibn Taimiyah

Jarang Anda menemukan seorang yang bodoh dalam hampir segala bidang tetapi ia berani berbicara. Biasanya ketika seorang tidak mumpuni di disiplin ilmu tertentu, ia akan menahan diri dari melibatkan dalam membahas tentangnya.

Sebagimana jarang rasanya kita menjumpai seorang yang berani berbohong atas nama ilmu pengetahuan dan agama secara terang-terangan dengan seakan menantang zaman tanpa malu bahwa kebohongan dan kepalsuannya suatu saat akan terbongkar!

Tetapi untuk Syeikhul Islam yang satu ini, rupanya etika itu tidak diindahkan. Ia selalu melibatkan diri mendiskusikan materi-meteri ilmu yang ia buta tentangnya! Sehingga kita selalu menyaksikan kebodohannya demi kebodohan selalu ia pamerkan, tidak hanya pada disiplin ilmu tetentu, ilmu hadis, misalnya, tetapi pada hampir semua disiplin ilmu, tafsir, rijal, bahasa Arab, sejarah Islam, Filsafat dll. Dan ia tiada henti-hentinya berbohong dan membual atas nama kesucian agama dan ilmu pengetahuan!!

Apa yang saya katakana tidak hendak menfitnah atau menuduh sembarangan… tetapi bukti dan fakta nyata berbicara… buku-buku dan analisa demi analisa yang ia utarakan adalah sabaik-baik bukti, walaupun sekali lagi saya katakana, berat rasanya diakui para penyanjungnya!

Kali ini, saya akan mengajak Anda membuktikannya sendiri dengan melihat langsung komentar-komentar konyolnya seputar ayat perintah mencintai Ahlulbait Nabi as.

Ayat al Mawaddah dan Perintah Mencintai Ahlulbait

Allah SWT Firman Allah:

3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال "ةr ق(ل3 ن ح"س" "ر'ف3 "ق3ت ي م"ن3 و" "ى ب الق(ر3 ف'ي3 الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" الله" أ إن$ rا، ن ح(س3 3ها ف'ي "ه( ل "ز'د3 ن

nو3ر) ك ش" nغ"ف(و3ر.

Katakanlah: “ Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada “Al Qurba”.Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengam pun Maha Mensyukuri (QS:42;23)

Ayat tersebut di atas telah ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah saw. selaku pribadi makshum yang ditugasi Allah SWT untuk menfsirkan Kalam suci-Nya… Hadis-hadis tafsiran beliau saw. telah dinukil para ulama dari berbagai jalur sahih.

Hadis-hadis sabda Nabi saw dalam masalah ini dapat diklasifikasikan dalam dua kategori:

Pertama, Riwayat yang menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan keluarga dekat Nabi saw., tanpa menyebut siapa saja mereka.

Page 75: Ibn Taimiyah

Kedua, Riwayat-riwayat yang menyebutkan nama-nama mereka yang disebut sebagai ‘Al Qurba’ dalam ayat tersebut.

Riwayat-riwayat Kelompok Pertama:

1) Rasulullah saw. bersabda:

غ"دrا عنه(م3 (م3 (ك 'ل سائ sي 'ن إ و" 'ي3، بيت "ه3ل' أ في المود$ة" (م3 عليك "ج3ر'ي3 أ ج"ع"ل" الله" 'ن$ .إ

Sesungguhnya Allah menjadikan upahku atas kalian adalah kecintaan kepada Ahlulbait-ku dan aku kelak benar-benar akan meminta pertanggung-jawaban kalian tentang mereka[1].

2) As Suyuthi dalam Al Durr Al Mantsûr[2] menyebutkan hadis riwayat Abu Nuaim dan Ad Dailami yang meriwayatkan dari jalur Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda tentang ayat:

ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال …ق(ل3

Hendaknya kalian menjaga Ahlubait-ku dan mencintai mereka karena aku.

3) Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Jabir ibn Abdullah, ia berkata:

النبي 'ل"ى إ 'ي] اب أع3ر" : (ج"اء" ! : (" ال أن3 ه"د( "ش3 ت فقال اإلس3الم" ع"ل"ي$ "ع3ر'ض3 أ محمد( يا فقال $ ص إال "ه" إلو 3د(ه عب محمدا أن$ و "ه( ل 3ك" ر'ي ش" " ال و"ح3د"ه( , الله : : ."$ إال " ال قال ا؟ rأج3ر 3ه' "ي ع"ل 'ي3 (ن "ل أ "س3 ت قال (ه( سول ر"

: . قال ؟ "اك" ب ق(ر3 و3" أ "اي" ب ق(ر3 قال "ى ب 3ق(ر3 ال ف'ي3 3م"و"د$ة" , : ال : ,ك". ب (ح' ي " ال م"ن3 ف"ع"ل"ى ، 'ع3ك" "اي ب

) أ ه"ات' قال "اي" ب قر3ال ): و ) . آم'ين3 ص قال الله' "ة( "ع3ن ل "ك" "ت اب ق"ر" (ح'ب, ي

Datang seorang Arab baduwi menemu Nabi saw. Lalu berkata, ‘ Hai Muhammad sodorkan kepadaku Islam!’. Maka Nabi saw. bersabda, “Kamu bersaksi behwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah”. Ia berkata, “Apakah engkau meminta upah untuk ini?” Nabi saw. menjawab, “Tidak, kecuali kecintaan kepada al qurba; kelurga dekat”. Ia kembali bertanya, “Keluarga dekatku atau keluarga dekatmu?” Nabi menjawab, “Keluagra dekatku.” Orang itu berkata, “Kemarikan tanganmu, aku akan berbaiat kepadamu. Dan semoga laknat Allah atas orang yang tidak mencintaimu dan tidak mencintai keluargamu. Nabi saw. berkata, “Amiin”.[3]

4) Al Hakim al Hiskani[4] meriwayatkan dari Abu Umamah al Bahili sebuah riwayat panjang yang menyebutkan bahwa Nabi saw. berdalil dengan ayat ini untuk keluarga beliau, Nabi saw. besdabda:

:( الله" ( إن ص الله رسول م'ن3 قال ع"ل'ي] و" 'ق3ت( ل خ( و" $ى ت ش" ار� ج" أش3 م'ن3 "اء" 'ي 3ب األن ة� خ"ل"ق ج"ر" ش"ن(, 3ح"س" ال و" ع(ه"ا ف"ر3 و"ع"ل'ي] (ه"ا أص3ل "ا ف"أن $ق" و"اح'د"ة� "ع"ل ت ف"م"ن3 اق(ه"ا، أو3ر" "ا "اع(ن ي "ش3 أ و" ه"ا 'م"ار( ث 3ح(سين( وال

. أن$ "و3 ل و" ه"و"ى اغ" ز" م"ن3 و" ا، "ج" ن 'ه"ا أغ3ص"ان م'ن3 'غ(ص3ن� � ب ع"ام "ل3ف" أ و"ة" 3م"ر3 ال و" الص$ف"ا 3ن" "ي ب الله" "د" ع"ب 3دrا ع"ب

Page 76: Ibn Taimiyah

(م$ (د3ر'ك3 ث ي "م3 ل (م$ ث "ال'ي 3ب ال sن "الش$ ك 3ر( "ص'ي ي $ى ت ح" � عام . ألف" ثم النار' ف'ي 3ه' ي 3خ"ر" م'ن ع"ل"ى الله( $ه( "ب ك" أ "ا "ن $ت ب م"ح"

ب"ى { قرأ الق(ر3 ف'ي3 الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال … }ق(ل3

Sesungguhnya Allah menciptakan para nabi dari berbagai pohon yang berbeda-beda, dan Dia menciptakan aku dan Ali dari satu pohon. Aku-lah aslinya (pangkalnya), Ali cabangnya, Hasan dan Husain adalah buahnya, para syi’ah kami adalah dedaunannya, maka barang siapa bergantung dengan salah satu cabangnya pasti ia selamat dan barang siapa menyimpang darinya pasti ia celaka. Andai seorang hamba menyembah Allah di antara Shafa dan Marwah selama seribu tahun sampai ia menjadi seperti batang yang lapuk kemudian ia tidak mencintai kami Ahlulbait pastilah Allah akan menjungkirkannya di atas hidungnya ke dalam api neraka. Kemudian (kata perawi) Nabi saw. membaca ayat:

ب"ى الق(ر3 ف'ي3 الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال …ق(ل3

Katakanlah: “ Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada Al Qurba”. (QS:42;23)

Riwayat Kelompok Kedua:

Adapun riwayat-riwayat kelompok kedua yang menyatakan dengan tegas bahwa ayat tersebut turun untuk Imam Ali, Fatimah, Al Hasan dan Al Husain as. Sangat banyak dan sebagian besar darinya berstatus sahih.

Riwayat-riwayat tersebut menafsirkan riwayat-riwayat kelompok pertama dan sekaligus menafsirkan ayat itu secara langsung oleb Nabi saw.

Teks Riwayat:

Para ulama meriwayatkan dari jalur Husain al Asyqar dari Qaus ibn Rabii’ dari Al A’masy dari Said ibn Jubair dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, “Ketika turun ayat:

ب"ى الق(ر3 ف'ي3 الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال ق(ل3

para sahabat Nabi bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah keluargamu yang wajib atas kita untuk mencintai mereka? Nabi saw. menjawab,

3ناه(ما اب و فاطم"ة( و علي]

Ali, Fatimah dan kedua putra mereka.[5]

Riwayat ini dimuat oleh hanyak ahli tafsir dan penulis fadha’il dalam buku-buku mereka sebagai bukti bahwa ayat tersebut turun utuk Ahlulbait as..

Tidak kurang dari empat puluh lima tokoh penting meriwayatkannya dan menjadikannya sebagai dalil penafsiran bil ma’tsur ayat ini, antara lain:

Page 77: Ibn Taimiyah

1. A Suyuthi dalam Al Durr Al Mantsûr,7/348, Alikliil:190 dan Ihya’ Al Mait:31, hadis 2.

2. An Nasafi dalam tafsimya,4/105.

3. Az Zamakhsyari dalam Al Kasysyâf, 3/467.

4. Ath Thabarî dalam Jâmi’ Al Bayân, 24/16.

5. Al Fakhru Ar Razi dalam Mafâtih Al Ghaib, 27/166.

6. Ibnu Hajar Al Haitami dalam As Shawâiq: 170.

7. Ibnu Hajar Al Asqallâni dalam Fath Al Barî, l8/188.

8. Kamaluddin Ibnu Talhah dalam Mathalib Al Sû l:8.

9. Muhibbuddin Ath Thabari dalam Dzakhair Al ‘Uqbâ: 25.

10. Al Hamawaini dalam Kifayat al Khisham: 96.

11. Abu Hayyan dalam Al Bahr al Muhith,7/517.

12. Nidhamuddin An Nisaburi dalam tafsirnya yang dicetak dipinggir tafsir Ath Thabari, 25/31.

13. Ibnu Katsir dalam tafsimya,4/112.

14. Syekh Yusuf An Nahhani dalam dua bukunya; Al Arba’in dan Asy Syaraf Al Muabbad:146.

15. Al Baidhawi dalam tafsimya,4/123.

16. Al allamah Alwi ibn Thahir Al Haddad dalam Al Qaul al Fashl,1/474.

17. Ibnu Ash Shabbagh dalam Al Fushûl al Muhimmah:12.

18. Al Hafidz, Al Kinji dalam Kifayat Ath Thalib:31.

19. Al Hafidz Al Qasthaliani dalam Al Mawahib al Laduniyah, dan syarahnya oleh Al Zarqani,7/3 dan 21.

20. Tafsir Al Khazin,4/94.

Page 78: Ibn Taimiyah

Di samping nama-nama yang telah saya sebutakan di atas masih banyak lagi ulama yang meriwayatkan hadis ini dalam buku-buku mereka, sengaja saya tinggal kan karena saya yakin nama-nama tersebut di atas cukup mewakili.

Ibnu Taymiah Angkat Bicara!

Ketika menanggapai ucapan Allamah al Hilli yang mengatakan bahwa ayat al mawaddah di atas turun untuk Ahlulbait as., Ibnu Taymiah membantahnya dengan mengatakan:

: الله( أنزل و (ه( قول ف'ي3 { ف"أما الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال ق(ل3 ،} فيه'م3 nك'ذ3ب فهذا "ى ب الق(ر3

سورة و الشورى، سورة في "ة" اآلي هذه' علي] ف"إن" يتزو$ج" أن3 قبل" نزلت3 ريب� بال nة$ مك'ي الشورىرضي الحسين( بفاط'م"ة" و الحسن( "ه( ل "د" (ول ي "ن3 أ قبل و عنه(ما الله( …

Adapun ucapannya bahwa Allah menurunkan untuk mereka ayat:

ب"ى الق(ر3 ف'ي3 الم"و"د$ة" $ 'ال إ ا rج3ر" أ 3ه' "ي ع"ل (م3 (ك "ل أ س3" أ " ال …ق(ل3

Katakanlah: “ Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada Al Qurba”. (QS:42;23), maka ini adalah kebohongan, Sebab ayat ini terdapat di dalam Surah asy Syûra, dan Surah asy Syûra itu tidak diragukan adalah Makkiyah, ia turun sebelum Ali menikah dengan Fatimah ra.dan sebelum Ali dikaruniai Hasan dan Husain… .”[6]

Kemudian menyebutkan hadis riwyat di atas, dan membohongkannya:

الم( من nطائف"ة ذكر قد3 و و" أحمد أصحاب م'ن الشيعة الجماع"ة' و $ة' السن أهل' م'ن" $فين" غير'ه'م3 ص"ن ( اآلية" ( هذ'ه' أن" سلم و 'ه' آل و عليه الله صلى النبي عن rا : حديث م"ن3 الله'، رسول" يا قالوا نزلت3 "م$ا ل

: و فاطمة و ع"ل'ي] قال . هؤالء؟ م'م$ا. و 3ث' 3ح"د'ي 'ال ب المعرف"ة' أهل 'إتفاق' ب nكذب هذا و sن( ابناه(ما "ي (ب ي ،' العلم أهل' بإتفاق' 'مكة" ب نزلت3 اآلية" هذه أن$ جميع ذل'ك" بل ،nة$ مكي جميع"ها الشورى سورة 'ن$ ف'إ

nمكيات (ل,هن$ ك حميم …آل

Dan sekelompok pengarang dari Ahlusunnah wal Jam’ah dan Syi’ah dari murid-murid Ahmad dan lainya telah menyebutkan hadis dari Nabi saw. bahwa ketika ayat ini turun, mereka (para sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah keluargamu yang wajib atas kita untuk mencintai mereka? Nabi saw. menjawab:

3ناه(ما اب و فاطم"ة( و علي]

Ali, Fatimah dan kedua putra mereka.

Dan ini (periwayatan hadis tersebut) adalah kebohongan/kepalsuan berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadis. Dan yang menerangkan hal itu (kepalsuannya) ialah bahwa ayat ini turun di Makkah berdasarkan kesepakatan ulama, ahli ilmu bahkan seluruh ayat dalam Surah asy Syurâ adalah berstatus Makkiyah, bahkan seluruh rangkaian surah-surah Hâmîm adalah Makkiyyah… .”[7]

Page 79: Ibn Taimiyah

Kemudian ia mulai menyebutkan sejarah pernikahan Imam Ali dengan Sayidatuna fatimah dan tahun kelahiran Hasan danb Husain as, seakan ingin memamerkan bahwa ia juga mumpuni dalam disiplin sejarah Islam!

Dalam beberapa lembar sebelumnya, ia juga menegaskan anggapan bahwa Allah telah mewaijibkan atas umat Islam untuk mencintai Ahlulbait adalah salah. Ia berkata:

nغ"ل"ط هذا و

Dan ucapannya (Al Hilli) bahwa Allah mewajibkan mecintai mereka adalah salah…[8

Lalu ia mulai menyebutkan alasan vonisnya itu, di antaranya ia berkata:

nأوالد "ه(ما ل 'د" و(ل وال بفاطمة" تزوج" ق"د3 بعد( علي] يكن3 لم و nمكية اآلية" هذه 'ن$ ف'إ

Karena sesungguhnya ayat itu adalah Makkiyah, dan Ali ketika itu belum menikah dengan Fatimah dan mereka berdua belum memiliki anak.

Tanggapan Atas Ibnu Taymaiyah

Demikianlah telah Anda baca langsung komentar Ibnu Taymiah dalam menolak tafsiran ayat perintah kecintaan kepada Ahlulbait as…. senjata andalannya adalah klaim-klaim ittifâq, kesepakatan yang ia sandarkan kepada para ulama’, sementara smua bukti selalu mempermalukannya dalam klaim-klaim tersebut. Sepertinya, Ibnu taymiah dengan ucapannya itu hanya memamerkan kelemahannya dalam penguasaan ilmu hadis dan Sunnah Nabi saw. dan unjuk kebodohan serta sekaligus bukti sikap subyektifnya dalam menyikapi hadis-hadis sabda Nabi suci tentang Ahlulbait as…

Bukankah nama-nama tokoh terkemuka yang saya sebutkan sebelumnya sudah cukup sebagai bukti kebohongan peryataan Ibnu Taimiyah di atas? Ataukah justru tokoh-tokoh penting tersebut tidak dianggap olehnya sebagai ulama yang mengerti hadis dan hanya dia seorang yang berhak diberi gelar sebagai Ahli ilmu-ilmu keislaman dan “Syeikhul Islam”?!

Dan siapa yang memperhatikan dan meneliti klaim-klaim dan vonis-vonis Ibnu Taimiyah-khususnya dalam Minhaj Sunnah-nya- dalam menolak hadis-hadis sahih maka ia tidak akan heran dengan sikap bodohnya itu!

Dan sekarang mari kita teliti hadis yang kata Ibnu Taymiah adalah kidzbun, kepalsuan dan kebohongan berdasar kesepakatan para ulama itu!

Dalam ucapan Ibnu Taymiah di atas terdapat banyak kepalsuan dan kebodohan:

Pertama, Klaim bahwa hadis itu adalah palsu berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadis.

Kedua, Ayat al Mawaddah adalah Makkiyah.

Page 80: Ibn Taimiyah

Ketiga, Para bersepakat tentang status Makkiyahnya ayat al Mawaddah.

Keempat, Seluruh ayat dalam Surah asy Sûrâ adalah Makkiyah.

Dan untuk menghemat waktu Anda, mari kita langsung menyoroti setiap kliam Ibnu Taymiah di atas.

Kualitas Hadis Tafsir Ayat al Mawaddah

Terdapat beberapa ulama yang alergi terhadap berabagai keutamaan Ali as. dan Ahlulbiat as. mereka gemar mencari-cari alasan atau membuat-buat cela yang dengannya mereka dapat menggugurkan setiap hadis keutamaan tersebut, seperti Ibnu Katsir dkk. Kendati demikian mereka tidak membawa-bawa nama ijmâ’ dan kesepakatan ulama’, seperti yang sering dilakukan Ibnu Taymiah. hadis di atas adalah salah satu hadis yang menjadi incaran mereka itu. Seribu satu alasan akan dilahirkan untuk menggugurkannya! Dari mulai anggapan bertentangan dengan hadis Shahih sampai tuduhan terhadap periwayatnya sebagai Syi’ah misalnya. Semua itu dilakukan agar hadis keutamaan Ahlulbait as. dapat digugurkan!!

Perhatikan komentar sebagian mereka di bawah ini:

Ibnu Hajar Al Asqal ani dalam Fath Al Barî[9] setelah menyebutkan hadis tersebut berkomentar:

الص"ح'يح" 3ث" الح"د'ي هذا 'ه' "ف"ت 'م(خال ل nساق'ط ه(و" و" n3ف ض"ع'ي ناد(ه( .إس3

Sanadnya lemah dan ia jatuh (gugur) sebab bertentangan dengan hadis yang shahih ini.” (Maksudnya hadis Bukhari).

Alasan adanya pertentangan dengan hadis sahih ini juga yang disampaikan Ibnu Taymiah.

Ibnu Hajar Al Haitami dalam Al Shawâiq[10] mengomentari hadis tersebut, ia berkata:

nص"د(و3ق $ه( "ك'ن ل غال� 3ع'ي] ي ش' "د'ه' ن س" في .و"

Pada sanadnya terdapat seorang Syi’ah Ekstrim, akan tetapi ia jujur.

Ibnu Katsir juga memberikan komentar serupa, ia berkata, “Ini adalah sanad yang dha’if, di dalamnya terdapat perawi yang mubham; samar tidak dikenal dari seorang parawi Syi’ah keterlaluan yaitu Husain al Asyqar, maka berita (hadis riwayat)nya tidak dapat diterima dalam hal ini.”[11]

1.Jadi dari keterangan keberatan mereka dapat disimpulkan bahwa hadis ini harus digugurkan dengan dua alasan: Bertentanngan dengan hadis Bukhari dan Ibnu Abbas.

Page 81: Ibn Taimiyah

2.Pada mata rantai para perawinya terdapat seorang Syi’ah bernama Husain Al Asyqar.

Tanggapan Kami:

Melihat penolakan terhadap hadis sahih di atas yang dilakukan beberapa ulama tanpa didasari dalil yang akurat, maka saya merasa perlu menjelaskan permasalahan ini sehingga tersingkap tirai yang menghalangi kebenaran bagi kita semua.

Menyoroti Alasan Pertama

Dasar alasan mereka yang pertama itu tidak benar, karena telah kita simak bersama, justru riwayat Bukharilah yang pada sanadnya terdapat perawi-perawi dha’if, lemah. Jadi riwayat Bukharilah yang seharusnya ditinggalkan dan tidak dapat kita jadikan hujjah bukan riwayat sahih di atas.

Selain itu, Anda dapat merasakan bahwa ada kerancuan metodologis dalam penelitian mereka itu, di mana mereka menghadapkan hadis sabda suci Rasulullah saw. dengan ucapan dan pendapat seorang sahabat dan atau tabi’in, kemudiian mereka melakukan uji banding antara keduanya! Hal mana yang seharusnya mereka lakukan ialah melukukan studi perbandingan kualitas antara dua hadis Nabi saw., kemudian disimpulkan mana yang sahih dan mana yang dha’if.

Dan apabila kita membandingkan antara sabda suci Nabi saw. dengan ucapan selain Nabi saw. pastilah ini sebuah kesalahan metodologi dan kerancuan cara berfikir yang perlu diluruskan secara mendasar.

Riwayat Bukhari yang dimaksud Ibnu Hajar adalah apa yang telah saya sebutkan di awal pembahasan ketika menyebut pendapat pertama, ia tidak lebih hanyalah ucapan Ibnu Abbas ra.!

Andai benar riwayat yang sedang saya sebutkan itu lemah dan tidak dapat tegak sebagai hujjah, dan andai benar bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi saw. yang menafsirkan ayat ini, maka itu tidak berarti dengan serta merta pendapat Ibnu Abbas-lah yang benar, dan penafsiran ayat ini dengan keharusan mencintai Ahlulbait as. menjadi gugur.

Di sini, pendapat Ibnu Abbas[12] justru harus diuji kualitasnya dengan melakukan studi banding dengan pendapat para sahabat lain dan para tabi’in. Jadi pendapat sahabat dihadapkan kepada pendapat sahabat lain! Lalu dilakukan uji kualitas. Dan di bawah nanti akan saya sebutkan penafsiran para pembesar sahabat tentang ayat ini sehingga Anda dapat membandingkannya dengan riwayat Ibnu Abbas ra. dan setelah itu kesimpulannya saya serahkan kepada Anda.

___________________________

[1] Dzakhâir al ‘Uqbâ:25 dan al Shawaiq:171.

Page 82: Ibn Taimiyah

[2] Al Durr Al Mantsûr,7/347-348.

[3] Hilyah al Awliyâ’.3,201.

[4] Syawâhid at Tanzîl.2,141-142 hadis no.837.

[5] Hadis di atas diriwayatkan oleh Ulama ‘Ahlusunnah, di antaranya Ahmad, Al Thabarani, Al Hakim, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Murdawaih, Ibnu Al Mundzir dan Al Thabari

[6] Minhaj al Sunnah,2/250.

[7] Minhaj al Sunnah,2/250.

[8] Minhaj al Sunnah,2/118.

[9] Fath Al Bari,18/180.

[10] Al Shawaiq:170.

[11] Ibnu Katsir, Tafsir.4,112.

[12] Di sini perlu saya ingatkan lagi, bahwa apa yang mereka nisbatkan kepada Ibnu Abbas ra. tentang ayat ini tidaklah benar, akan tetapi karena mereka manganggapnya pendapat Ibnu Abbas ra. maka sebut saja pendapat itu pendapat Ibnu Abbas!