IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN...
Transcript of IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN...
IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN
Skripsi
Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Muhammad Taufik
NIM : 104045201517
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/2008 M
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Ilahi Rabbi,
Tuhan semesta alam, karena berkat Rahmat dan Hidayah serta Inayah-Nya, penulis
dengan segala keterbatasan dan kekurangan, berhasil menyelesaikan penulisan
skiripsi ini sekalipun penulis sadari disana sini masih banyak kekurangan yang harus
dilengkapi, oleh karena itu besar harapan penulis adanya saran-saran atau masukan
juga sebuah kritik konstruktif yang mendukung kelengkapan penulisan ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, kepada para keluarga, sahabat, dan kepada mereka yang selalu
tetap konsisten dalam berjuang demi tegaknya agama Islam di bumi Allah ini sampai
hari kiamat.
Selanjutnya pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara langsung ataupun tidak langsung selama perkuliahan berlangsung hingga
penyusunan skiripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada yang
terhormat :
1. Bapak. Prof.Dr. Kamaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak. Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri
Hidayati, M.Ag, sebagai Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak. Drs. Muharram, MA, dan Dr. M. Arskal Salim GP, MA, selaku
pembimbing penyusunan skiripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan Ilmu dan
wawasannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
6. Ucapan terimakasih yang sangat mendalam kepada rekan-rekan Sohib
Qorib seperjuangan, senasib dan sepenanggungan yang begitu teramat
sangat banyak pengorbanan mereka mulai dari tenaga pikiran dan lain
sebagainya. Mereka adalah Umi Zibar (khas), Khairun- yang penulis sapa
dengan panggilan Irun, Don Andri alias Idon, Abang Rohim, Khadirin,
Syamsul, Faizin, Lukman, Saipul, Burhanuddin, Zamroni, Siddiq, Fauzi,
Solihin, Ibnuddin Fauzan, Faizal (Malaysia), Harun (Malaysia), Amirullah
(Malaysia), Baihaki (Malaysia), Pa’ Hadi (Malaysia), Mustafa (Malaysia),
dan semua teman-teman Program Studi Siyasah Syar’iyyah yang namanya
tidak bisa disebut satu persatu.
7. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis khususkan buat Ust Khairil Baits,
Ust, Tasrif Amin, Ust. Ahkam Sumadiana, dan Ust Hasan Ibrahim, yang
penulis anggap sebagai orang tua yang tidak bosan-bosannya memberikan
nasehat kepada penulis dari awal hingga akhir perkuliahan.
8. Dan yang paling utama ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
kedua orang tua yang telah membimbing, mengasuh, mendidik, serta
membesarkan ananda sehingga sampai sekarag ini.
Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan seluruh jiwa dan raga, semoga
bantuan dan dorongan yang telah diberikan oleh segenap pihak dibalas oleh Allah
SWT dengan pahala yang berlipat ganda.
Semoga skiripsi yang jauh dari kesempurnaan ini menjadi setitik sumbangan
bagi perkembangan Ilmu yang sungguh sangat luas ini, dan mudah-mudahan ini
dicatat sebagai sebuah kebajikan yang melapangkan penulis masuk kedalam barisan
orang-orang yang diridhoi-Nya. Amin
Jakarta, 31 Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 9
E. Metode Penelitian ............................................................................ 13
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 15
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEMOKRASI
A. Defenisi Demokrasi............................................................................ 17
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi..................................................... 19
C. Prinsip-Prinsip Demokrasi ................................................................. 22
D. Sistem Pemerintahan.......................................................................... 26
BAB III KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN
A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ......................................... 31
B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ‘Ashabiyah ............................. 35
C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik ............................................ 40
1. ’Ashabiyah dan Kekuasaan.............................................................. 41
D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama ................................................... 45
1. ’Ashabiyah Menopang Agama......................................................... 47
E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits Dalam Konsep ‘Ashabiyah ................. 50
BAB IV ANALISIS IDE DOMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH
IBN KHALDUN
A. Konsep ’Ashabiyah Sebagai Dasar Pembentukan Negara dan
Pemerintahan .................................................................................... 53
1. Negara dan Pemimpin (Kepala Negara) ..................................... 55
2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan .................................................... 57
B. ................................................................................................. Im
plikasi Konsep ‘Ashabiyah Bagi Negara dan Masyarakat................ 59
1.............................................................................................. Per
kembangan dan Runtuhnya Negara ............................................ 61
a. Tahap Pendirian Negara .......................................................... 62
b. Tahap Pemusatan Kekuasaan.................................................. 63
c. Tahap Kekosongan dan Kesantaian ........................................ 65
d. Tahap Ketundukan dan Kemalasan......................................... 66
e. Tahap Keruntuhan Kekuasaan ................................................... 67
C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah
Ibn Khaldun....................................................................................... 70
1. Supremasi Hukum......................................................................... 71
2. Persamaan Hak.............................................................................. 73
3. Pemimpin Berasal Dari Partai Besar............................................. 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 84
B. Saran............................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung
untuk hidup bersama. Ini dikarenakan, kapasitas individu yang tidak
memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya atau bahkan untuk
mempertahankan diri manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan
yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam
suasana konflik, permusuhan ('udwan), dan ketidakadilan (zhalim). Hal-hal
tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin diwujudkan. Untuk itulah
diperlukan 'ashabiyah (group feeling) dan wazi' (kekuatan pengendalian atau
pemerintah) untuk mencegah konflik dan ketidakadilan dan untuk menjaga
kebersamaan masyarakat.1
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa
mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa kebersamaan
yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah
tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal,
1 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986),
h.166
perdana menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah
Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).2
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang
dikemukakan oleh Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Pemikirannya bukan hal
baru, meskipun Ibn Khaldun sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang
baru. Perbedaannya terletak pada teori ’ashabiyahnya yang dijadikan dasar
pembentukan negara dan menjadi sistem alternatif dalam tatanan hidup
bermasyarakat dan bernegara. Teori ’ashabiyah bukan sekedar kajian filosofis,
melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis
perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia
pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai
kecenderungannya. Teorinya tentang al-‘Ashabiyah inilah yang melambungkan
namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir
Muslim lainnya.
Al-’Ashabiyah secara harfiah jika diterjemakhkan kedalam bahasa
Indonesia berarti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.3 ’Ashabiyah juga
mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan,
nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia
kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil
2 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.139.
3 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h.104.
atau disakiti. Untuk bertahan hidup masyarakat harus memiliki sentimen
kelompok (’ashabiyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan
sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyah kuat
tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri.4 ‘Ashabiyah tersebut terdapat
pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau
persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan
atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa
Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan keTuhananlah yang membuat mereka
berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang
paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-
masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah
kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena
sifat mereka. Hanya karena agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.5 Namun menurutnya pula,
bahwa motivasi agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas
kelompok (‘ashabiyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok
tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-
motivasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar agama.6
4 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.120.
5 Ibid., h.151
6 Ibid., h.159
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial
itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan
musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka
ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya.
Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan
sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya
akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi
dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,
maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga
ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi
demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke
dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.7
Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial.
Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau
umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih
mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka
solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
7 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.166-167
memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat
kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang
berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila
solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang
pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.8
Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang
Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab
dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi
negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan
dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Hal ini hanya bisa terjadi jika ia
berasal dari kelompok yang dominan.9
Negara--dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai sebuah
consensus, di mana sejumlah warga dalam satu teritori tertentu membentuk
kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam asosiasi kepentingan
bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan maksud mewujudkan tujuan-
tujuan dasar berlandaskan kehendak kolektif warganya (Volone Generale, J.J
Rousseau, 1712-1778).
Tujuan dari negara adalah untuk menjalankan ketertiban dan keamanan,
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbulnya suatu
8 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.156-157
9 Ibid., h.163
negara tidak akan terlepas dari teori Contract Social yang diungkapkan oleh
Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau .10
Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin
membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani mereka
(anggapan Hobbes, Locke dan Rousseau yang mendasarkan pembentukan negara
atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat biasanya disebut teori perjanjian
masyarakat). Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatannya kepada suatu
lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk
menjalankan kedaulatan tersebut.
Menurut Utrecht tentang perbandingan antara Thomas Hobbes, Jean
Jacqueas Rousseau dan John Locke bahwa walaupun tak berlainan masing-
masing Hobbes, Locke dan Rosseau, mereka mempunyai anggapan tentang
pembentukan negara dan adanya negara itu. Menurut anggapan ketiga ahli
tersebut pembentukan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial,
kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara sangat berlainan.
Menurut Hobbes negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuatan tidak
terbatas (absolut). Menurut Locke negara itu selayaknya bersifat kerajaan
konstitusionil yang memberi jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan-
kebebasan pokok manusia (ingat: life, liberty, healthy dan property). Rousseau
10 M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989), h.35.
beranggapan bahwa negara bersifat suatu perwakilan rakyat, dan negara itu
selayaknya negara demokrasi yakni yang berdaulat adalah rakyat.11
Atas dasar tersebut maka lahirlah teori demokrasi representatif12. Karena
pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan
keinginannya setiap saat. Direct democracy adalah suatu bentuk pemerintahan
dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara
langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-
prosedur mayoritas. Karena faktor populasi penduduk yang terus bertambah maka
tidak memungkinkan dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga
harus dicari pemecahan masalahnya. Dan muncullah konsep demokrasi
Perwakilan Rakyat atau yang sering lebih disebut sebagai Demokrasi
Representatif. Akhirnya Demokrasi Representatif ini hampir dilakukan disetiap
negara modern pada saat ini.
Berhubungan dengan ide demokrasi, Ibn Khaldun mengakui bahwa
terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara
atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu dapat mewujudkan
ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara, bahkan dapat
berkembang dan jaya.13
11 Solly, Ilmu Negara, h.35.
12.Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.70
13 Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, h.109-110
Atas dasar pemikiran inilah membuat penulis tertarik untuk melakukan
analisis yang lebih mendalam dan komprehensif dalam penelitian skripsi dengan
judul “IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN
KHALDUN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis perlu melakukan pembatasan masalah agar
penelitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini ini terfokus pada
sejauhmana ide demokrasi yang ada dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.
Berdasarkan pembatasan pokok masalah di atas, penulis dapat
merumuskan poin-poin yang akan dikaji dalam tulisan ini sebagai berikut :
1. Apakah prinsip konsep ‘ashabiyah sejalan dengan ide demokrasi dalam
pengelolaan hidup bernegara dan bermasyarakat?
2. Sejauhmana cakupan konsep ’ashabiyah terhadap nilai dan prosedur
demokrasi?
3. Bagaimana implementasi ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn
Khaldun?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai sebuah konsep yang relevan
untuk diterapkan di negara modern.
2. Untuk mengetahui prinsip dan nilai demokratis dalam konsep ‘ashabiyah.
3. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai suatu sistem alternatif dalam
tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh derajat kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iyyah.
2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penelitian dalam konsep
‘ashabiyah Ibn Khaldun dalam tinjauan konsep demokrasi untuk diteruskan
dalam penelitian lainnya yang relevan.
3. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan khazanah
keilmuan dibidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan Islam.
4. Memberikan pemahaman/informasi terhadap masyarakat dunia bahwa konsep
‘ashabiyah dapat diterima sebagai sebuah konsep demokratis yang masih
relevan untuk diterapkan hingga saat ini.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian dengan bahasan konsep ‘ashabiyah Ibn khaldun tentang
kehidupan bernegara dalam tinjauan ketatanegara Islam ataupun ketatanegaraan
modern telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut
ataupun yang mengkajinya secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian.
Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya
penelitian tersebut:
Buku pertama, Ibn Khaldun Ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah” . Ia
menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya intelektual
muslim yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi
dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris). Salah
satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah teori ‘ashabiyah (solidaritas
sosial) sebagai landasan terbentuknya sebuah negara atau dinasti. Konsep
’ashabiyah inilah yang menurut penulis sesuai dengan ide demokrasi. Karena
itulah penulis akan menganalisa sejauh mana relevansi ide demokrasi dalam
konsep ’ashabiyah Ibn Khaldun.
Buku kedua, karya A. Eugene Myers, “Zaman Keemasan Islam : Para
Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M.
Maufur al-Khoiri. Buku ini menguraikan tentang kesuksesan Islam dalam hal
menjalankan pemerintahan atau kekuasaan dalam bentuk khilafah atau dinasti
yang membuat dunia Barat banyak merujuk dan mempelajari ilmu tersebut. Salah
seorang pemikir Islam yang hingga saat ini pemikirannya masih dikaji oleh Barat
ialah Ibn Khaldun, utamanya dalam teori ’ashabiyahnya.
Buku ketiga, yang ditulis oleh Osman Raliby, Ibn Khaldun Tentang
Masyarakat dan Negara. Dalam buku ini di uraikan bahwa manusia diciptakan
sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan
orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, karenanya kehidupan
bermasyarakat dan berorganisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Pendapat
ini agaknya mirip dengan pendapat al-Mawardi dan Abi Rabi’. Buku ini
menguraikan juga konsep ’ashabiyah dalam muqaddimah Ibn Khaldun.
Utamanya dalam proses pembentukan negara.
Buku keempat, yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, “Islam dan Tatanegara:
Ajaran, sejarah dan pemikiran”. menguraikan pokok-pokok pemikiran politik
Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dalam salah satu subbabnya ia
menjabarkan pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep ‘ashabiyahnya dalam
pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini tidak menjelaskan secara
rinci ataupun detail mengenai konsep ‘ashabiyah baik itu yang hubungannya
dengan politik atau agama, akan tetapi buku ini lebih kepada poin inti yang
merangkum seluruh bahasan konsep ‘ashabiyah.
Buku kelima, yang ditulis oleh Zainab Khudhairi, “Filasafat Sejarah Ibn
Khaldun”, alih bahasa Ahmad Rafi’. Dalam salah satu babnya terdapat
pandangan Ibn Khaldun mengenai masyarakat nomad (primitive) dan masyarakat
beradab (kota), yang diukur dengan áshabiyah. Buku ini dalam subbanya
membahas konsep ’ashabiyah, namun dalam hal ini penulis hanya menganalisa
dan membandingkannya dengan Ide demokrasi.
Buku keenam, Ali Wardi dan Fuad Baali, Ibn Khaldun dan Pemikiran Islam,
alih bahasa, Ahmad Thaha. Buku ini menjelaskan tentang pemikiran Ibn Khaldun
yang dikaitkan dan diselaraskan dengan pemikiran Islam misalnya dalam hal
negara atau pemerintahan. Dalam Buku ini juga menyinggung konsep ’ashabiyah
namun lebih kepada pemikiran Ibn Khaldun secara keseluruhan.
Buku ketujuh, Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik
Ibn Khaldun. Buku ini menguraikan suatu tipologi negara dengan tolok ukur
kekuasaan. Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara
ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai generik term dan
pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa
dari suatu siyasi. Dalam buku ini juga menguraikan konsep ‘ashabiyah khususnya
dalam hal perkembangan dan runtuhnya sebuah negara.
Skripsi, Haerussalam, Negara dan Agama: Sebuah Kajian Atas Pemikiran Ibn
Khaldun (2007). Dalam salah satu babnya menguraikan tahapan terbentuknya
negara serta keruntuhannya. Skiripsi ini tidak membahas konsep ’ashabiyah
sebagai landasan pembentukan negara, utamanya dalam proses memperoleh
kekuasaan.
Skiripsi, Abu Bakar Siddik, Konsep pemikiran Ibn Khaldun (2000). Dalam
skiripsi ini dijelaskan bahwa dalam setiap pemikiran Ibn Khaldun tidak bisa lepas
dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis.
Teori ‘ashabiyah-nya dikenal sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa
lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai
kecenderungannya. Adapun kekurangan dari skiripsi ini ialah, latar belakang
lahirnya konsep ’ashabiyah sebagai awal pembentukan negara tidak dibahas.
Oleh karena absennya pembahasan konsep ‘ashabiyah yang hubungannya
dengan ide demokrasi utamanya dalam hal kekuasaan dan pemerintahan, maka
sangatlah relevan dan signifikan jika penulis melakukan analisis ide demokrasi
dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun yang akan penulis tuangkan dalam bentuk
skiripsi.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan untuk
menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode analitis di
gunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide demokrasi yang ada
dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian
ini lebih menuntut kejelasan peneliti serta sangat menekankan terhadap aspek
analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi dan data yang memiliki
hubungan dengan obyek penelitian.
2. Pendekatan Penelitian
Mengingat obyek penelitian ini menyangkut kajian sejarah dan pemikiran, maka
pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan historis yaitu sebuah
pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan
mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesiskan bukti-bukti
untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.14
3. Sumber Data.
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulan data,
yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder15. Adapun rincian masing-
masing sumber adalah:
a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Muqaddimah Ibn Khaldun yang
secara akademis telah dipandang otoritatif.
b) Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang
berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini di dasarkan pada riset pustaka
(Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-
penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan
dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dan informasi diperoleh
14 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h.73.
15 Ibid., h.74.
berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen,
majalah maupun lainnya.16
5. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian,
terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil
temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode
deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok
permasalahan secara menyeluruh; komparatif yaitu sebuah metode perbandingan
dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan
untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH
UIN Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skiripsi ini di bagi atas (5) lima bab bahasan,
dengan perincian sebagai berikut :
16 Consuelo G Sevilla (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian, cet.I, (Jakarta: UI Pres, 1993),
h. 37
BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas ide demokrasi secara umum. Defenisi demokrasi, sejarah
perkembangan demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi dan sistem
pemerintahan.
BAB III : Memaparkan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun, yang terdiri dari, biografi
dan setting sosial Ibn Khaldun, Latar belakang lahiranya pemikiran
‘ashabiyah. Peran ‘ashabiyah dalam sosial politik terdiri dari,
’ashabiyah dan kekuasaan, ’ashabiyah sebagai fondasi kekuasaan dan
kedaulatan. Peranan ‘ashabiyah dalam agama, dan ashabiyah
menopang Agama (syariat).
BAB IV : Berisikan analisis tentang ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn
Khaldun. Pembahasannya meliputi ide demokrasi dalam konsep
’ashabiyah sebagai dasar pembentukan negara dan pemerintahan,
negara dan pemimpin, bentuk-bentuk pemerintahan. Implikasi konsep
‘ashabiyah bagi negara dan masyarakat, perkembangan dan runtuhnya
negara, tahap pendirian negara, tahap pemusatan kekuasaan, tahap
kekosongan dan kesantaian, tahap ketundukan dan kemalasan, tahap
keruntuhan kekuasaan. Hubungan prinsip demokrasi dalam konsep
’ashabiyah Ibn Khaldun, supremasi hukum, persamaan hak,
pemimpin berasal dari partai besar (pemilu)
BAB V : Sebagai penutup bagi keseluruhan rangkaian pembahasan sebelumnya,
menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis ambil dan
saran-saran relevan yang dapat penulis kemukakan.
BAB II
TINJAUAN UMUM DEMOKRASI
A. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang
terdiri dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” atau “Kratein” berarti
kekuasaan atau berkuasa, jadi demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat
berkuasa” atau “government or rule by the people”.17 Dengan kata lain demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi
berada dalam keputusan rakyat.18
Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi
merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan
politik individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara
perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat bahwa
demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah
dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn menegaskan bahwa demokrasi
17 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XIX. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), h.50. 18 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.III. (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1995), h.165.
merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung
jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang
bertindak secara langsung, melalui para wakil mereka yang terpilih. Menurut
Hendry B. Mayo, demokrasi merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik.19
Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Crities, seperti
dikutip Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama,
untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan
manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai
(harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.20 Sementara
bagi Willy Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanya ia merupakan
sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan
yang sedang dialami masyrakat (negara), atau sebelumnya.21
Maka makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan
bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
19 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Renada Media, 2003), h.110.
20 Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, cet.I. (Jakarta: LP3ES, 1995), h.5
21 Nurcholis Madjid, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia.” Dalam Elsa Pedi Taher, ed., Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, cet.I, ( Jakarta: Paramadina, 1994), h.203.
kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.
Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang
diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut
organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat
sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.22
B. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Demokrasi dalam sejarah, mengalami pertumbuhan dan perkembangan
melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan komplek. Ide demokrasi
bukanlah ide yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif,
evolutif dan dinamis. Untuk keperluan dan memudahkan proses penulisan skripsi
ini. Penulis tidak menjabarkan secara mendetail dan menyeluruh, melainkan
hanya membaginya dalam babakan-babakan yang berdasarkan periode.
Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-6 sM sampai ke-4 M. Pada
masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct
demokracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak
dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan
tidak diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara.23 Praktek
22 Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
h.111 23 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Univ. Atmaja,
2000), h.58.
demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state)
Athena, Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor
bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-
kota Athena dari Sparta. Yaitu, negara kesejahteraan (walfare state), yang digagas
oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius
Cicera (106-43 sM), dan lainnya.
Kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola
kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan,
gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran
sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak
terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para
bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charter (Piagam
Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan
demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John
di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai
imbalan bagi penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.24 Selain itu,
piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya
pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari
kedaulatan negara.25
24 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XXVII, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h.54. 25 Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, h.65.
Ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M).
Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada
kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan
disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa
Barat yang berkembang menjadi azaz-azaz protestanisme, seperti perjuangan
menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi
kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragama, kebebasan berfikir,
kebebasan mengemukakan pendapat. Dan pemisahan secara tegas antara wilayah
agama (gereja) dan negara. Dua kejadian ini telah mempersiapkan Eropa masuk
kedalam Aufklarung (abad pemikiran) dan rasionalisme yang ditandai oleh
merebaknya gagasan-gagasan demokrasi yang menjadi perhatian khusus banyak
pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527 M), Thomas Hobbes (1588-1679
M), John Locke (1632-1704 M), Montesquieu (1689-1755 M) dan Jean Jacques
Rousseau (1712-1778 M).26 Mereka inilah para kampiun gagasan demokrasi
Barat, dan telah mendorong bagi lahirnya Revolusi Amerika (1774-1783 M) dan
Revolusi Prancis (1786 M).
Di abad modern, mulai pada abad ke-19, muncul pola pikir dan inspirasi
baru bagi gerakan politik yaitu, demokrasi menjadi model yang diakui secara luas
untuk pengorganisasian secara mandiri. Demokrasi muncul untuk mengatasi
masalah-masalah terutama terkait dengan, bagaimana masyarakat dapat mencapai
26 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h.299-300
kesepakatan untuk mengatur tata tertib kehidupan bersama meski sistem nilai dan
agamanya berbeda? Bagaimana cara menata kekuasaan politik agar selaras
dengan kepentingan nilai dan aspirasi rakyat, serta bertindak atas nama mereka?
Bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia?
Demokrasi akhirnya menemukan jati dirinya dalam kehidupan modern, yaitu
membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan
terhadap penguasa, serta pemisahan pusat-pusat kekuasaan.27
C. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme
pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Berdasarkan defenisi
demokrasi di atas dapat diambil pengertian bahwa demokrasi mengandung unsur-
unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan
bertanggungjawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan istilahnya, demokrasi
didefenisikan dalam pengertian yang lebih filosofis, yakni ide kedaulatan rakyat
sebagai lawan dari ide kedaulatan monarki. Di samping defenisi-defenisi tersebut,
ada juga konsep demokrasi yang diajukan oleh negara-negara komunis dan
negara-negara dunia ketiga, termasuk negara Muslim.
Kesemua konsep-konsep ini dimaksudkan untuk membenarkan
kebijakan pemerintah, juga untuk menyesuaikan konsep demokrasi dengan nilai-
27 Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, cet.II, (Jakarta: Friedrieh
Ebert Stiftung, 2003), h.2-4
nilai dan budaya bangsa tertentu. Meskipun demikian ada tiga prinsip demokrasi
yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem yang demokratis, yaitu sebagai berikut:
1. Prinsip demokrasi yang pertama adalah kebebasan. Demokrasi tidak mengenal
kamus pemaksaan, tetapi setiap individu dan kelompok mempunyai
kebebasan masing-masing.
2. Prinsip yang kedua dari demokrasi hendaknya kebebasan individu yang satu
tidak mengganggu kebebasan yang lain. Artinya, semua orang mempunyai
kebebasan, tetapi karena setiap orang mempunyai kebebasan, maka akan
terjadi benturan kebebasan denga orang lain. Bila ini dibiarkan, akan terjadi
anarki. Padahal demokrasi berbeda dengan anarki. Demokrasi yang tanpa
aturan akan menjadi anarki, karena kekuatan yang besar bisa menjadi
ancaman bagi keadilan dan hak orang lain. Karena itu demokrasi sangat
menganjurkan pentingnya aturan hukum maupun bentuk pengaturan yang
lain, agar berbeda dengan anarkisme.
3. Prinsip demokrasi yang ketiga adalah keterlibatan rakyat dalam mengambil
keputusan pemerintah, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan
sangatlah penting, karena disitulah intinya.28
Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang paling mendasar
dalam demokrasi, karena demokrasi bukan hanya berkaitan dengan tujuan sebuah
28 J. Soedjati Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, (THE RIDEP
INSTITUTE, 2003), h.7-8.
ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan
seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.
Oleh karena itu, demokrasi mengandung elemen-elemen mendasar yang
perlu diperhatikan dan dipahami. Elemen-elemen itu adalah:
1. Demokrasi mengakui kesetaraan setiap individu. Artinya setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang tinggi atau yang rendah itu
adalah elemen mendasar yang merupakan inti dari demokrasi.
2. nilai-nilai yang ada pada setiap individu mengatasi nilai-nilai yang ada pada
demokrasi. Maknanya adalah demokrasi tidak merupakan nilai kosong, tetapi
sangat ditentukan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.
3. Pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena dalam demokrasi,
pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan
kekuasaan yang sejati.
4. Toleransi dari yang mayoritas kepada yang minoritas. Di sini tercermin pula
saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil.
5. Adanya musyawarah dalam memutuskan setiap persoalan, bukan ditentukan
sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani
mayoritas.
6. Adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya. Demokrasi tanpa
aturan hukum akan menjadi anarkis, karena itu hukum menjadi dasar yang
paling penting.
7. Adanya cara untuk mencapai tujuan bersama, apakah itu prosedur atau
mekanisme maupun tata caranya. Semuanya harus mengikuti kaidah-kaidah
demokrasi. Demokrasi yang baik harus pula dilakukan dengan cara yang
baik.29
Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai kata
yang mengimplikasikan nilai-nilai perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup
yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas
melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga mengandung
nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan dan pluralisme,
walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya
negara tertentu.
Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler, ide dasar dari demokrasi
merefleksikan empat hal. Pertama, merupakan partisipasi rakyat di dalam
keputusan yang membentuk kehidupan individu-individu dalam suatu
masyarakat. Kedua, merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas
dengan pengakuan hak-hak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, berserikat,
berkumpul, mendapatkan informasi, menciptakan partai oposisi, dan menjalankan
jabatan-jabatan public. Ketiga, merupakan komitmen untuk menghargai individu
dan menjamin nilai-nilai kehidupan yaitu, kebebasan dan kepemilikan. Dan
29 Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, h.9
Keempat, suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap
orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.30
Eksistensi demokrasi juga berkaitan dengan hak asasi manusia. Philippe
C. Schimtter dan Tery Lyn Karl bahkan mengkarakterisasikan demokrasi bukan
sebagai kekuasaan “otokrasi, otoritarian, zalim, dictator, tirani, totalitarian,
absolute, tradisional, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan”.31
Hal ini juga berarti bahwa demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi
formal, tetapi juga dengan eksistensi nilai-nilai dalam kehidupan sosial politik.
D. Sistem Pemerintahan
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan
masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga
fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan
sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinyu, Quo dan demokrasi
dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem
pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa
mempraktekkan sistem pemerintahan itu. Secara sempit, sistem pemerintahan
hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna
30 Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, h.10
31 Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1930), h.79-80
menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya
prilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.32
Filsafat politik yang mendasari sistem pemerintahan pada prinsipnya
bersifat universal dan dapat diterapkan pada semua lapisan masyarakat dewasa
ini. Sebaiknya sistem pemerintahan yang berkembang di berbagai negara dalam
berbagai era sangat bervareasi. Dalam negara demokrasi modern dapat dijalankan
dengan berbagai sistem pemerintahan. Dua model sistem pemerintahan yang
utama adalah sistem pemerintahan parlementer dan presidensil. Kedua sistem itu
di banyak negara kemudian mengalami banyak penyesuaian dengan keadaan dan
dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi masing-masing negara tersebut,
sehingga tidak ada lagi negara yang dapat dikatakan merupakan penjelmaan dari
kedua sistem tersebut secara murni. Perbedaan utama di antara keduanya adalah:
Sistem presidensial merupakan tatanan negara yang berdasarkan pada
konsep trias politika yang dijadikan pedoman bagaimana lembaga-negara harus
bekerja; sedangkan sistem parlementer terjadi sebagai hasil perkembangan sejarah
negara yang bersangkutan. Kata Hans Kelsen, jika ingin melihat bagaimana
negara menjalankan sistem pemerintahannya cukup dilihat pada Undang-Undang
32 Hidayatul haq, Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi, artikel
diakses pada 06 September 2008 dari http://www.hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/
Dasar (UUD) nya, sebab dari Undang-undang-nyalah segala sesuatu berkaitan
dengan negara akan terlihat.33
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kedudukan yang kuat
dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik yang kuat pula. Kekuasaan
politik presiden seringkali disejajarkan dengan parlemen atau bahkan lebih kuat
dari parlemen. Sebaliknya dalam sistem parlementer, parlemen merupakan satu-
satunya lembaga perwakilan tertinggi untuk pengambilan keputusan. Peranan
presiden dalam kasus ini terbatas hanya pada tugas-tugas mewakili negara dan
penengah dalam situasi konflik. Dalam sistem parlementer, kekuasaan
pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan
hasil pemilihan umum. Sebaliknya dalam sistem presidensial, kepala negara yang
dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kekuasaan mandiri baik kekuasaan
dalam membentuk pemerintahan maupun dalam penyusunan undang-undang.34
Sistem presidensial, memiliki keuntungan karena dapat menciptakan
unsur kesinambungan dan stabilitas dalam proses politik. Hal ini berlaku jika
kelompok-kelompok di parlemen jumlahnya banyak dan heterogen, sehingga
kecil kemungkinan tercapainya konsesus di antara mereka untuk menggoyahkan
kedudukan pemerintah. Walaupun demikian, sistem presidensial memiliki batasan
kepala negara yang jelas, untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan
33 Sulardi, ”Sistem Presidensial”, artikel diakses pada 19 April 2008 dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/29/opini/pusa04.htm 34 Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, h.18-19
yang hampir menyerupai kediktatoran. Jika lembaga-lembaga penyeimbang
seperti parlemen, pemerintah, partai, masyarakat sipil lemah, maka mutu
demokrasi presidensial dapat merosot secara tidak terkendali bahkan menciptakan
kediktatoran.
Isu utama dalam perdebatan tentang sistem pemerintahan demokrasi
adalah hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagaimana telah
dibahas dalam uraian-uraian sebelumnya, kekuasaan lembaga eksekutif adalah
kekuasaan sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Ia
merupakan perancang dan pelaksana utama dari kebijakan-kebijakan negara.
Sedangkan lembaga legislatif yang muncul dari kerangka pemikiran untuk
menyeimbangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam
perspektif kedaulatan rakyat merupakan lembaga yang mewakili kehendak dan
kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan diwujudkan
dalam pembentukan undang-undang. Perdebatan yang kemudian berlanjut dalam
kaitannya dengan isu utama ini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan
kekuasaan di antara kedua lembaga ini agar tujuan untuk mengantisipasi dan
mengeliminasi kecenderungan penyelewengan kekuasaan dari masing-masing
lembaga dapat dilakukan secara optimal. Persoalan-persoalan yang diajukan
untuk dijadikan bahan penilaian dalam mempertimbangkan kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing sistem adalah stabilitas pemerintahan, partisipasi
politik dan pergolakan politik.
Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya tidak
merupakan kriteria-kriteria yang pasti berlaku dalam negara-negara yang
menganut masing-masing sistem. Sebagian negara-negara modern bahkan
menggunakan sistem-sistem utama tersebut dengan berbagai modifikasi dan
variasi. Hal ini dikarenakan kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, selain itu keduanya tidak serta merta dapat
diadopsi utuh tanpa mempertimbangkan sistem politik, ekonomi dan sosial-
budaya masing-masing negara.35
35 Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah (Jakarta: UI Press, 1996), h.50.
BAB III
TINJAUAN KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN
A. Biografi dan Setting Sosial Ibn Khaldun
Ibn Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin
Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia,
1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan
silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali
bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki
daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak
membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibn Khaldun. Bani Khaldun ini
tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol),
selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun
menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang ilmu
pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-
Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah
ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di
Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, pemimpin
Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia
timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik
dan ulama yang hijrah ke Andalusia. 36
Ibn Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan
Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan
Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini
kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan
politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan
juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah
tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai
hidup dan karir Ibn Khaldun.37
Ibn Khaldun meniti karirnya dibidang pemerintahan dan politik di
kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam
kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali
bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke
pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.38 Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350
M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari dinasti Hafs, tetapi ia
kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibn
36 Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Cet.II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.274. 37 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta
:Universitas Indonesia Press, 1993), h.90-91 38 Ibid., h.91-92.
Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia
berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/
1354 ia diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan, dan kemudian
menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M
dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat wazir Usman bin Abdullah marah
kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke
Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.
Ketika hubungannya dengan sultan mengalami keretakan, ia berpindah
haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian
mengangkatnya sebagai perdana mentri merangkap khatib negara, sampai Bijayah
jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.39 Pada masa ini, Ibn Khaldun di angkat
lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia
berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada sultan Tilmisan dari Bani
Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam
kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibn Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang
bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibn
Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak
kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.40
39 Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi
II, h.274. 40 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, penerjemah Ahmad Thaha
(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). h.22.
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibn
Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu
memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia
memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.41 Sekalipun usahanya
tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara
kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota
Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti
sejarah dan menulis Muqaddimah.42
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibn Khaldun kembali ketanah airnya Tunisia,
disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M ia
berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di
Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibn Khaldun mengambil jalur di
dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat
disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena
sosial. Ibn Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk
keenam kalinya sebagai hakim, dan dimakamkan dikawasan pemakaman orang
sufi di Kairo (Mesir).43
41 Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.29.
42 Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rafi’ (Bandung:
Pustaka, 1995), h.15. 43 Ibid., h.31.
B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ’Ashabiyah
‘Ashabiyah secara etimologis berasal dari kata “ashabah” yang berarti
mengikat kesukuan atau kelompok solidaritas untuk menghadapi pihak luar.44
Penulis menerjemahkan ‘ashabiyah dengan keluarga, kelompok para sahabat,
semangat ras kelompok, patriotisme, nasionalisme, semangat nasional, dan partai.
Adapun ‘ashabiyah adalah rasa solidaritas social atau solidaritas kesukuan.
Secara terminologis, menurut Oesman Raliby (Cendekiawan Muslim
Indonesia) mengartikan ‘ashabiyah dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi
(sejahrawan dan pengamat politik Islam) mengartikannya sebagai social
Solidarity (solidaritas sosial), Frans Roshental (Orentalis/sejahrawan)
menerjemahkannya menjadi group feeling (perasaan golongan), Charles Issawi
(orentalis), mengalihbahasakannya dengan solidarity (solidaritas) dan Philip K.
Hitti (orentalis) mengartikannya sebagai tribal spirit (semangat kesukuan) atau
the spirit of the clan (semangat suku atau kaum).45
Menurut Abd. al-Raziq al-Makki, dalam karyanya al-Fikr al-Falsafi ‘inda
Ibn Khaldun, kata ‘ashabiyah erat kaitannya dengan kata ‘ashab yang berarti
hubungan dan kata ‘ishabah yang berarti ikatan. Awalnya kata ‘ashabiyah berarti
ikatan mental, yang menghubungkan orang-orang yang mempunyai hubungan
44 Cyril Glase, Ensiklopedi Islam (ringkas), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.117
45 Ibid, h.176.
kekeluargaan. Ini sesuai dengan perkataan orang Arab yang menyebut keluarga
dengan kata ‘ashabah.46
‘Ashabiyah tidak ada kecuali dikalangan orang-orang desa, sementara bagi
kalangan orang-orang kota kadar ‘ashabiyah telah berkurang, sekalipun
solidaritas sosial masih kita temukan di kota. Mengapa demikian? Karena
kehidupan kota telah melemahkan ‘ashabiyah, akibat terbuai dengan kemewahan
dan kelezatan hidup. Sementara di desa dengan kesederhanaannya ia akan tetap
memelihara kekuatan ‘ashabiyah, dengan demikian syarat pertama adalah adanya
struktur kesukuan.47
’Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seseorang untuk membela dan
mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung didalamnya
dengan sekuat mungkin. Keluarga yang dimaksud adalah orang yang berasal dari
garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan membela Klanya.
‘Ashabiyah dalam pengertian demikian adalah terpuji. Sedangkan ‘ashabiyah
yang tidak terpuji adalah ‘ashabiyah atau solidaritas orang-orang sesuku untuk
melawan suku-suku yang lain tanpa landasan agama, terlepas orang-orang
tersebut termasuk penindas atau yang tertindas. Dalam Fatawa al Khairiyyah di
uraikan bahwa di antara larangan untuk menerima persaksian adalah ‘ashabiyah,
yakni seseorang membenci seseorang yang lain karena orang tersebut masuk
46 Abd. al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi’ Inda Ibn Khaldun (Iskandaria: Mu’assasah al-
Tsaqafah al-Jami’iyyah, 1970), h.155. 47 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.147.
dalam suku X atau suku Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan
dengan ini Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada ‘ashabiyah
tidak termasuk kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan
persaksian pelakunya tidak dapat diterima.48
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah yang baik
adalah ‘ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan solidaritas yang
berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah yang menjadi motivasi
satu-satunya yang mendorong suatu suku memerangi suku lainnya.49 Ini
disebabkan karena hubungan darah memiliki kekuatan yang mengikat pada
manusia setiap ummat manusia, yang membuat mereka ikut merasakan akan
setiap penderitaan yang menimpa kaumnya.
Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk membenci penindasan dan
menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya. Adanya hubungan
kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu membantu, lebih disebabkan
karena adanya hubungan nashab (ikatan darah), dan inilah bentuk ’ashabiyah
yang sesungguhnya. Apabila tingkat kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah
akan sedikit melemah, maka sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang
didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun
demikian, setiap orang ingin membantu orang lain (family) sebab ia khawatir
48 Abd. al-Rahman Ibnu Khaldun, Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan
(Kairo: Lajnah al-Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951), h.27. 49 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.142.
akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya
melindungi seseorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia ada
hubungan keluarga dengannya.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk
mengetahui siapa saudaramu sedarah yang dekat”, yang berarti bahwa
persaudaraan hanyalah berarti apabila pertalian darah itu membawa pada
kerjasama yang sebenarnya dan bantu membantu pada saat kesusahan.
Kenyatannya ialah bahwa hubungan yang demikian itu lebih bersifat emosional
dan tidak memiliki realitas. Dalam arti bahwa hubungan itu hanya berguna untuk
mendekatkan hati dan kecintaan orang. Apabila persaudaraan terlihat nyata, maka
ia akan berguna sebagai pendorong yang wajar kearah ‘ashabiyah. Jika
‘ashabiyah didasarkan pada sekedar pengetahuan tentang keturunan dari nenek
moyang yang sama, maka ia akan lemah dan mempunyai pengaruh yang rendah
terhadap perasaan, oleh karena itu ‘ashabiyah hanya mempunyai sedikit dampak
yang nyata.50
Dengan demikian ‘ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya meliputi
satu keluarga saja, yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh tali
kekeluargaan, tetapi juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya
persekutuan. Dalam muqaddimah Ibn Khaldun dijelaskan bahwa ‘ashabiyah juga
50 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986),
h. 152.
meliputi hubungan yang timbul akibat perbudakan dan penyewaan tentara,
sedangkan kegunaan silsilah kekeluargaan adalah yang ditimbulkannya.51
Perbedaan hal ikhwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka
memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk
saling membantu dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang sederhana sebelum mereka mencari kehidupan yang lebih
tinggi.52
Di antara mereka ada yanga hidup bertani, adapula yang hidup beternak
untuk dikembangbiakkan atau diambil hasilnya. Kehidupan mereka
bermasyarakat dan saling membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup dan
peradaban, seperti makanan, perlindungan, dan panas, mereka tidak gentar untuk
memperolehnya lebih dari batas kebutuhan guna melangsungkan kehidupan
menurut batas kebutuhan hidup. Tak lebih dari itu, sebab mereka tidak mampu
memperoleh lebih. Kemudian, apabila kondisi mereka semakin nyaman dan
memperoleh kekayaan dan kemewahan diatas batas yang dibutuhkan, mereka
hidup tenang. Dengan demikian mereka akan saling bantu membantu dalam
memperoleh sesuatu diatas batas kebutuhan. Mereka mempergunakan banyak
makanan, pakaian, dan berbangga diri dengan itu semua. Selanjutnya mereka pun
membangun rumah-rumah besar dan mempercantik kota untuk tempat berlindung.
51 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.143.
52 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.141.
Inilah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyah,
sebagaimana yang diuraikan diatas- rasa solidaritas atau saling tolong menolong
terhadap sesama untuk tujuan-tujuan bersama.
C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik
‘Ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan
negara atau dinasti. ‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang
tokoh yang mendapat dukungan dari keluarganya dan pengikutnya. ‘Ashabiyah
merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan negara atau dinasti.
‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat
dukungan dari keluarga dan pengikutnya. Dalam konsep ’ashabiyah tidak semua
orang bisa menjadi pemimpin, sebab pimpinan diperoleh dengan kemenangan,
oleh karena itu ’ashabiyah pimpinan harus lebih kuat daripada ’ashabiyah-
ashabiyah lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud.53
Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan bukan merupakan kekuasaan “de
jure” tetapi merupakan kekuasaan “de facto” dan kepemimpinan diperoleh
dengan kemenangan, yakni dengan penggunaan kekuatan. Dengan demikian
kepemimpinan terpusatkan pada salah satu cabang ‘ashabiyah yang paling kuat.
‘Ashabiyah sendiri merupakan suatu bentuk khusus organisasi politik dengan
puncaknya suatu aritokrasi kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi
53 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, h.114.
yang bebas. Jadi apabila di antara anggota-anggota suku terjadi persamaan, maka
tidaklah demikian dalam hubungan mereka dengan para pemegang
kepemimpinan. Masyarakat desa merupakan syarat primer adanya ‘ashabiyah,
dibalik itu ada sebagian suku-suku tidak memiliki ‘ashabiyah, yaitu suku-suku
yang tunduk kepada suku lain. Atau suku tersebut tidak dapat mempertahankan
dirinya sendiri, dan harus membayar pajak, maka pimpinannya tidak dapat
memerintah sesuai dengan kehendaknya sendiri.54
1. ’Ashabiyah dan Kekuasaan
Adapun tujuan yang hendak dicapai ‘ashabiyah adalah kekuasaan.
Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “Bahwa kemenangan terdapat di pihak
yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih
sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama.” Kedudukan
sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena
kedudukan memberikan kepada pemeganya segala kekayaan duniawi dan juga
kepuasan lahir batin. Karena itulah kekuasaan menjadi sasaran perebutan dan
jarang sekali di lepaskan dengan suka rela kecuali dibawah paksaan. Perebutan
menimbulkan perjuangan dan peperangan dan runtuhnya singgasana-singgasana.
54 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.153.
Semuanya itu tidaklah dapat terjadi kecuali dengan ‘ashabiyah atau solidaritas
social.55
Tetapi bila kekuasaan telah berdiri teguh dan mereka yang dikuasai telah
pula terbiasa dengan kekuasaan yang ada, maka menurut Ibn Khaldun, alat-alat
kekuasaan kurang memegang peranan, termasuk ‘ashabiyah, seperti yang terdapat
pada waktu menegakkan kekuasaan semula. Dalam keadaan demikian penguasa
dan orang-orang yang telah membantunya menegakkan kekuasaan itu mulai
melihat kepada hal-hal lain yang dirasakan menarik, terutama pada kemewahan
yang datang tanpa dicapai. Karena pada dasarnya, dan menjadi tabiatnya pula
bahwa kekuasaan itu di iringi dengan kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya
mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini
akan melemah karena kemewahan itu mengandung sifat yang merusakkan
manusia, yaitu pada ahlaknya. Ia akan melupakan seseorang tentang kewajiban-
kewajibannya yang sesuai dan harus dipenuhi sebagai seorang penguasa. Ini akan
melemahkan ‘ashabiyah tadi, dan dalam keadaan demikian seorang penguasa
akan mendasarkan kekuasaannya pada serdadu upahan atau tentara bayaran. Bila
ini terjadi sekurang-kurangnya untuk sementara perkembangan akan menuju
kepada pemusatan kekuasaan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak oleh
golongan yang mula-mula menegakkan daulah. Pemusatan kekuasaan itu tidak
dibenarkan, ‘ashabiyah pada awalnya akan menyuruh orang untuk membagi
55 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.122.
kemenangan dan kemegahan yang diperoleh secara bersama-sama. Bila timbul
juga pemusatan kekuasaan, maka rasa golongan itu akan hancur.56 Menurut Ibn
Khaldun bila mana suatu ‘ashabiyah dalam keadaan kuat ia akan menaklukkan
‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya yang lebih lemah, keadaan yang demikian ini
berlangsung sampai ‘ashabiyah tersebut memperoleh kesempatan untuk
menguasai Negara.
Ibn Khaldun membedakan antara ‘ashabiyah dan kedaulatan dan antara
pimpinan ‘ashabiyah dan raja. Menurut Ibn Khaldun dalam hal ini: “Kita telah
mengetahui bahwa tiap-tiap masyarakat manusia membutuhkan kekuatan
pencegahan dan seorang pemimpin yang mampu mencegah manusia dari saling
sakit menyakiti, pemimpin seperti itu harus memiliki kekuatan pembantu di
tangannya, sebab jika tidak ia tidak dapat menjalankan tugas itu. Kekuasaan yang
dimilikinya adalah kedaulatan yang melebihi kekuasaan seorang kepala suku.
Sebaliknya kedaulatan adalah memerintah dengan paksa melalui alat kekuasaan
yang ada ditangan orang yang memerintah tersebut. Orang-orang yang
memerintah selalu berupaya meningkatkan kekuasaannya, karena itu seorang
pemimpin yang mendapat pengikut tidak akan mensia-siakan kesempatan
mengubah kekuasaannya itu menjadi kedaulatan (dinasti) bila ia bisa. Sebab
kekuasaan adalah keinginan jiwa manusia, dan kedaulatan hanya bisa didapat
dengan bantuan para pengikut, orang yang berkuasa itu tergantung kepada
56 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000), h.72
persetujuan rakyatnya. Dan tujuan terakhir dari ’ashabiyah adalah kedaulatan atau
kerajaan. 57
Dengan demikian seorang pemimpin ’ashabiyah atau suku merasa cukup
dengan kekuasaan mental atas anggota-anggota sukunya. Sementara seorang raja
tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali lewat ‘ashabiyah maka kekuasaannya
adalah mutlak sampai ke peringkat intimidasi dan dominasi mutlak. Hal ini
karena kedaulatan kerajaan, seperti yang di ungkapkan Ibn Khaldun dalam teks
diatas, merupakan salah satu fase kekuasaan bila mana kondisi-kondisi yang ada
menopang, namun asas keduanya adalah ‘ashabiyah.
2. ’Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan
‘Ashabiyah adalah kekuatan penggerak negara dan merupakan landasan
tegaknya suatu negara atau dinasti. ’Ashabiyah juga merupakan kekuatan
pemersatu dan mampu melindungi kelompok dan mempercepat kemenangan
kelompok itu atas ‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya serta sebagai peredam
pertentangan-pertentangan dalam tubuh sendiri. Lebih jauh lagi ‘ashabiyah selalu
membuat terjadinya perubahan yang mengakibatkan terwujudnya kehidupan yang
lebih baik. Dan ‘ashabiyah juga merupakan struktur sosio-politik yang membuat
terjadinya peralihan dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat berkelas.
Pada permulaannya aristokrasi kesukuan didasarkan pada struktur sosio-politik
57 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.154.
yang berlandaskan persamaan. Dan setiap kali aristokrasi itu semakin kuat ia akan
semakin tanpak sebagai suatu kelas yang kepentingannya bertentangan dengan
kepentingan anggota-anggota suku lain, akibatnya goncanglah struktur kesukuan
yang pada dasarnya di dasarkan pada persamaan. Namun kegoncangan ini pada
batas tertentu dapat di pandang progresif, sebab ia merupakan permulaan
peralihan menuju sistem produksi yang lebih efektif.
‘Ashabiyah juga mempunyai peran yang besar perluasan negara setelah
sebelumnya ia merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Jadi bilamana
‘ashabiyah itu kuat maka negara yang muncul pun akan luas pula. Sebaliknya jika
‘ashabiyah itu lemah maka luas negara yang muncul relatif terbatas. Menurut Ibn
Khaldun mengenai hal ini: “kekuasaan akan muncul bersama-sama ‘ashabiyah
dan anggota-anggota ‘ashabiyah adalah pelindung yang akan terpencar di seluruh
penjuru negara. Jadi apabila ‘ashabiyah tersebut kuat maka negara tersebut akan
lebih kuat dan luas. 58
D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama
Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana agama mengontrol diri manusia,
sehingga mereka dengan mudah tunduk, patuh dan berkumpul (membentuk
kesatuan sosial). Agama dapat melenyapkan sifat kasar dan bengga diri, serta
58 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.142.
melatih untuk menghilangkan perasaan iri dan cemburu.59 Agama yang dimaksud
Ibn Khaldun pada pembahasan ini mempunyai pengertian al-Din, yang erat
kaitannya dengan syariat. Ini juga mempunyai konotasi hubungan vertikal antara
manusia dengan Allah SWT.
Penyebaran agama pada mulanya memberi kepada dinasti kekuatan lain
disamping solidaritas sosial yang dimiliki sebagai cermin dari jumlah
penyokongnya. Ini disebabkan karena corak agama yang menghilangkan rasa
saling cemburu dan iri yang terjadi, sehingga dengan pertolongan Allah bisa
dihadirkan rasa kebersamaan dan mewujudkan pada konsentrasi kebenaran. Ibn
Khaldun mengutip sebuah ayat yang berbunyi:
الله ما في األرض جميعا ما ألفت بين قلوبهم ولـكن قتوألف بين قلوبهم لو أنف
.ألف بينهم إنه عزيز حكيمArtinya: Dan yang mempersatukan hati mereka walaupun kamu membelanjakan semua yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)
Jadi, persatuan itu bukan merupakan hasil usaha atau rekayasa manusia,
tetapi taufiq atau perkenaan dari Allah.
Dalam hubungan antara ‘ashabiyah dan agama, menurut Ibn Khaldun
terdapat dampak timbal balik di antara keduanya. Dalam sebuah pasal dengan
judul “Agama memperkokoh kekuatan ‘ashabiyah yang telah dipupuk negara dan
59 Abd. Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Darul Fikr, t. Th,.), h.151.
jumlah penduduknya”. Ia berkata sebagai berikut: “semangat agama dapat
meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari
kelompok itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka kearah kebenaran.
Perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tidak ada sesuatu yang
dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan
yang mereka kejar pun serupa dan satu untuk mereka, dan mereka bersedia
berjuang sampai mati.60
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa agama dapat mengikat hati
manusia menjadi satu, sehingga dapat mewujudkan segala sesuatu yang
dikehendaki oleh ummat atau masyarakat, termasuk untuk mendirikan sebuah
negara ataupun dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian dan untuk
melindungi masyarakat atau ummat dari serangan-serangan yang datang dari
luar.61
1. Ashabiyah Menopang Agama (Syariat)
Menurut Ibn Khaldun agama tidak akan berhasil tanpa dukungan
’ashabiyah (solidaritas sosial), sesuai dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan
bahwa: “Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali bila mana ia mendapatkan
dukungan dari kaumnya”. (H.R. Ahmad)
60 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.138.
61 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.77
Pada pasal berikutnya mengenai dampak áshabiyah atas seruan
keagamaan, yaitu dalam sebuah pasal ál-Muqaddimah dengan judul “Seruan
keagamaan akan berhasil kecuali bila mempunyai dasar ‘ashabiyah. Sebabnya
ialah rakyat hanya dapat digerakkan dan bertindak berkat dorongan ‘ashabiyah.
Agama mempersatukan bahasa, fikiran, tujuan kehidupan mereka. Dengan
adanya unsur agama ini, seluruh perhatian ditumpukkan kepada kebenaran saja.62
Dari ucapan Ibn Khaldun di atas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah menopang
agama. Dan sebagian suku-suku semisal suku arab, tidak akan meraih kekuasaan
kecuali atas dasar agama. Sebab ‘ashabiyah mereka yang diwarnai kebiadaban,
keliaran, dan kebebasan itu saja tidak cukup. Ibn Khaldun dalam sebuah pasal al-
Muqaddimah dengan judul: Bangsa Arab tidak mampu mendirikan suatu kerajaan
kecuali atas dasar agama, seperti wahyu seorang nabi atau ajaran seorang wali.
Sebabnya ialah karena tabiatnya yang keras, sombong, kasar dan iri hati satu
sama lainnya, terutama dalam persoalan-persoalan politik. Semua itu
menyebabkan mereka menjadi manusia yang sukar diatur, karena keinginan-
keinginannya sukar sekali terpenuhi.63
Tetapi bila mereka memeluk agama yang dibawa seorang nabi atau wali,
mereka memiliki prinsip-prinsip batin untuk menguasai hawa nafsu, dan
kesombongan sehingga iri hati mereka dapat ditahan, dengan demikian mudahlah
62 A.R. Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun (Jakarta: P.T.
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.165 63 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.159
menyatukan dan membimbing mereka. Sebab agama meniadakan kekasaran dan
kesembongan dan meredakan iri hati dan persaingan.64
Ibn Khaldun berpendapat bahwa suatu gerakan agama tidak akan berhasil
apabila tidak disertai rasa golongan atau ‘ashabiyah. Menurutnya, suatu gerakan
itu hanya berarti apabila disertai dengan pengikut yang banyak yang mempunyai
rasa bersatu dengan adanya rasa ‘ashabiyah. Dan gerakan seperti ini dapat
dihadapkan pada penguasa yang tidak disukai. Dengan kata lain, Ibn Khaldun
telah mulai melihat factor yang mempengaruhi perkembangan suatu revolusi.
Kemelut atau revolusi akan berhasil bila disertai rasa golongan yang kuat.
Masyarakat beragama itu bukan saja memerlukan rasa golongan untuk
menghadapi lawan, tetapi untuk terlaksananya hukum-hukum syariat. Tetapi Ibn
Khaldun tidak membenarkan bila rasa golongan itu dipergunakan untuk tujuan-
tujuan hidup yang berlainan dengan apa yang di kehendaki agama. Untuk
menikmati kemenangan, kemewahan yang diperoleh tanpa memperhitungkan
batas-batas yang harus dipegang, ini baginya berlawanan dengan apa yang
diingatkan Nabi.65
Menurut Ibn Khaldun, selain ’ashabiyah, yang menjadi faktor pendukung
bagi tegaknya suatu negara adalah agama (syariat Islam). Karena kekuasaan dan
wibawa politis yang sesuai dengan syariat akan mencegah timbulnya keburukan-
64 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.132
65 Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.75.
keburukan serta kejahatan-kejahatan yang mudah muncul bersamaan dengan
adanya kekuasaan, misalnya perbuatan sewenang-wenang, ketidak adilan, dan
keinginan bermandikan kesenangan lepas dari kepatutan.66
E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun
Berikut dalil dan sekaligus landasan pemikiran Ibn Khaldun mengenai
negara dan pemerintahan serta hubungannya dengan warga negara yang tertuang
dalam konsep ’ashabiyah:
1. Al-Qur’an
a. Pemberian kedaulatan
...يؤتى ملـكه من يشاءواهللا ... Artinya: “Allah memberikan kerajaanNya kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 247)67
b. Taat kepada pemimpin atau ulil amri
...يايها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولى األمرمنكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…(QS. An-Nisa: 59)68
66 Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.74
67 Di kutip dari, Muqaddimah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thaha, h. 190
68 Ibid., h. 238
c. Persamaan (kesetaraan status sebagai manusia)
با وقبائل لتعارفوا، إن ياايهاالناس إن خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعو
. أآرمكم عند اهللا أتقاآم، إن اهللا عليم خبيرArtinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)69
d. Banyak Tuhan akan terjadi Kekacauan atau Kehancuran
...فيهما ءالهة إال اهللا لفسدتالو آان
Artinya: ”Sekiranya ada dilangit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentunya keduanya itu telah rusak binasa...” (QS. Al-Anbiya: 22)70
2. al-Hadits
a. Pemimpin keturunan Quraysi (dirasionalisasikan oleh Ibn Khaldun)
: حدثنا عبد اهللا حدثنى أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن علي ابن االسد قال
احدثك حديثا ما : قال لي أنس بن مالك: قالحدثني بكير بن وهب الجزرى
وسلم قام علي باب البيت ونحن احدثه آل احد ان رسول اهللا صلى اهللا عليه
االئمة من قريس، ان لهم عليكم حقا، ولكم عليهم حقا مثل ذلك ما ان : فيه فقال
استرحموا فرحموا، وان عاهدوا وفوا، وان حكموا عدلوا، فمن لم يفعل ذلك
)رواه احمد(. منهم فعليه لعنة اهللا، والمالئكة، والناس اجمعين
69 Di kutip dari, Muqaddimah, h. 248
70 Ibid., h. 203
Artinya: “ Abdullah bercerita kepada saya, Abi Sanaa Muhammad bin Ja’far Sanaa keturunan Ali bin al-Asad berkata: Bakir bin Wahab al-Jazuri berkata: Anas bin Malik berkata kepada saya, akan saya ceritakan kepadamu suatu Hadits yang membahas tentang kepemimpinan. Sesungguhnya Rasulullah SAW waktu itu berdiri di depan pintu dan kita ada disampingnya, kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin dari suku Quraysi itu bisa benar menurut kita dan para pemimpin kita bisa benar menurut mereka, dengan syarat jika ada yang meminta kasih sayang (pertolongan) maka sayangilah, jika kalian berjanji maka tepatilah dan jika kalian menghukum maka kalian harus bersifat adil. Barang siapa yang tidak melaksanakan perkara tersebut maka Allah, Malaikat dan semua manusia akan melaknat pemimpin tersebut. (HR. Ahmad)71
b. Nabi diutus mendapat dukungan kaumnya
)رواه احمد(. في منعة من قومهبعث اهللا نبيا بعده االوما
Artinya: “Allah tidak mengutus seorang Nabi kecuali bilamana ia mendapat dukungan dari kaumnya”. (HR. Ahmad)72
c. Mencegah Kemungkaran
فبقلبه من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع
)رواه مسلم(. وذلك أضعف اإليمانArtinya: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran (hal yang keji, buruk), maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim)73
Ibn Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang banyak merujuk al
Qur’an dan al Hadits sebagai landasan pemikirannya.
71 Di kutip dari, Oesman Raliby, Ibn Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, h 117
72 Di kutip dari, Zainuddin, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, h. 165
73 Di kutip dari, Muqaddimah, h. 194
BAB IV
ANALISIS IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH
IBN KHALDUN
A. Konsep ’Ashabiyah Sebagai Dasar Pembentukan Negara dan Pemerintahan
Konsep ‘ashabiyah mempunyai perang penting dalam mencegah konflik
dan ketidak adilan dan untuk menjaga kebersamaan masyarakat, hal ini karena
kapasitas individu yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan
dasarnya atau bahkan mempertahankan diri.
Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung
untuk hidup bersama. Manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan
yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam
suasana konflik, permusuhan (udwan) dan ketidak adilan (zhalim). Hal-hal
tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin dapat diwujudkan. Untuk
itulah diperlukan ‘ashabiyah (group feeling) dan wazi (kekuatan pengendalian
atau pemerintah). 74
’Ashabiyah adalah rasa solidaritas sosial yang di dalamnya terdapat suku-
suku atau kelompok yang bekerjasama untuk kepentingan bersama. Akan tetapi
rasa solidaritas sosial tersebut akan hancur bilamana suatu suku atau kelompok
tersebut terpecah belah atau tidak mau lagi bekerjasama. Karena alasan inilah,
74 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000),
h.166.
persekutuan suatu kelompok atau suku memerlukan hadirnya seorang penguasa
atau raja yang mampu menangkal agresi. Kebutuhan akan adanya seseorang yang
mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung
dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam
mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga
membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana mentri, serta pembantu-
pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah dinasti (daulah) atau kerajaan
(mulk).75
Adanya ’ashabiyah (solidaritas kelompok) yang kuat merupakan suatu
keharusan bagi bangunnya suatu negara atau dinasti besar. Oleh karenanya jarang
terjadi suatu negara dapat berdiri di suatu kawasan di mana terdapat beraneka
ragam suku. Sebab dalam keadaan yang demikian masing-masing suku
mempunyai kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda satu sama lain, dan tiap
kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh ’ashabiyah suku, atau
dengan kata lain dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat
homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok yang kuat.76
Untuk menampung kepentingan dan aspirasi masyarakat yang terdiri dari
berbagai macam suku diperlukan sebuah wadah yang bernama negara. Namun
demikian negara tidak akan bertahan lama atau akan mengalami kehancuran jika
75 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 139.
76 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), h.105.
masyarakatnya tidak mau lagi bekerjasama dan berpecah belah. Oleh karena itu
diperlukan seorang pemimpin atau kepala negara yang mampu menangkal agresi,
mengendalikan dan mengatur negara.
1. Negara dan Pemimpin (Kepala Negara)
Defenisi Umum negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (Governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari
warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan
(kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Ibn Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada
kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling
memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan
untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara
sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi
kemasyarakatan.77 Dari sinilah Ibn Khaldun mengatakan bahwa organisasi
kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya,
peradaban umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.78
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan
suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan
77 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.41. 78 Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn
Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.89.
pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota
masyarakat. Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat
dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut
harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai
kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota
masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang
lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah
raja, khalifah atau kepala negara.79
Untuk bertindak sebagai raja, haruslah memiliki ’ashabiyah (solidaritas
kelompok) yang kuat. Ibn Khaldun menilai bahwa seorang raja haruslah berasal
dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan
sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh
baik dari dalam ataupun luar dia membutuhkan dukungan loyalitas yang besar
dari rakyatnya. Oleh karenanya, dari berbagai ’ashabiyah atau solidaritas
kelompok yang terdapat di negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari
solidaritas kelompok yang dominan.80
Tetapi seorang raja, dengan segala atribut yang di milikinya mungkin juga
memerintah secara tidak adil, lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya
sendiri, dan tidak memperhatikan kepentingan dan kemampuan rakyat, sehingga
79 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.92.
80 Ibid., h.105.
menyebabkan rakyat sukar menaatinya, dengan akibat timbulnya penindasan,
teror dan anarki. Oleh karena itu kebijaksanaan pemerintahan raja serta hubungan
antara raja dan rakyat harus didasarkan atas peraturan-peraturan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik tertentu, yang harus ditaati oleh semua pihak
yang bersangkutan. Peraturan-peraturan tersebut dapat merupakan hasil dari
rekayasa para cendekiawan, pemuka dan cerdik pandai negara itu, tetapi dapat
pula bersumberkan ajaran agama yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi-Nya.81
Ibn Khaldun menekankan bahwa syariat tidak membatasi atau mengekang
ataupun melarang kekuasaan politik itu, melainkan memberikan batasan syar’i
saja, tujuannya adalah untuk mencegah timbulnya keburukan-keburukan serta
kejahatan-kejahatan yang mudah berbarengan muncul dengan adanya kekuasaan,
misalnya perbuatan sewenang-wenang, ketidakadilan, atau perbuatan
menyimpang lain yang membuat ia jauh dari kepatuhan atau ketaatan.82
2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan sistem
pemerintahan dengan tolak ukur kekuasaan. Menurutnya sistem pemerintahan dibagi
menjadi tiga bentuk:
1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang
membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja
81 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.102.
82 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000), h.75.
dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa
nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya
rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki.
Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter,
individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan
yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan
duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-
undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk
Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan
jenis ini dizaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan
insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
3. Pemerintahan yang berlandaskan agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan
yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang
bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model
pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber
dari ajaran agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia
tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan
pemerintahan itu adalah ajaran agama khususnya Islam, maka kepala negara
disebut khalifah. Oleh karena itu ia bertanggung jawab dalam memelihara
kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya.83
Dari pembagian pemerintahan diatas, nampak bahwa Ibn Khaldun
menempuh jalur baru dibanding al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam
pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga
pada jabatan khalifah itu sendiri, melainkan pada makna fungsional kekhalifahan
itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-
undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.84
B. Implikasi Konsep ‘Ashabiyah Bagi Negara dan Masyarakat
‘Ashabiyah merupakan suatu jalinan sosial yang membuat “bangsa”
bersatu padu, terlepas ‘ashabiyah itu timbul karena ikatan kekeluargaan atau
persekutuan. Dan ‘ashabiyah mempunyai dua peran sosial. Pertama, ia
menumbuhkan solidaritas dan kekuatan dalam jiwa kelompoknya. Kedua, ia
mempersatukan berbagai ‘ashabiyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu
kelompok manusia yang besar dan bersatu. Menurut Ibn Khaldun silaturahmi
83 Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992) h.29. Lihat juga Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Muassasatu Jamali at-Tiba’ati wa An-Nasri, t.th,.), h.159.
84 al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun (Bandung: Pustaka, 1995), h.159.
merupakan sifat alamiah manusia, dan hanya sedikit orang saja yang tidak
memiliki sifat itu. 85
Adapun peran ‘ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibn
Khaldun sangat dominan. ‘Ashabiyah-lah yang telah menjadi motor dari
kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari
sejarah manusia. Ibn Khaldun berpandangan tujuan ’ashabiyah adalah untuk
mewujudkan al-mulk, karena ’ashabiyah mampu memberikan perlindungan,
menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendasarkan tuntutan-tuntutan dan
kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ‘ashabiyah adalah superioritas
(at-taghalul al-mulk).86
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibn Khaldun melihat terdapat dua
kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib suatu masyarakat. Kekuatan
pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibn Khaldun disebut
dengan ’ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat berdasarkan
persekutuan, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan
masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang
lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan
’ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling
ekstrimnya. Patriotisme adalah bentuk lain dari ’ashabiyah sebagaimana yang
85 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.112.
86 Ibid., h.139.
digambarkan oleh Ibn Khaldun. Patriotisme yang dimaksud Ibn Khaldun adalah
patriotisme yang dilandasi karena rasa cinta yang tinggi dan loyal terhadap
kelompoknya atau sukunya yang berlandaskan agama. Patriotisme bentuk inilah
yang menyatukan mereka dalam menjaga solidaritas kelompok dan negaranya.87
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa ‘ashabiyah menjadi
landasan pembentukan negara. Namun apabila negara telah mapan maka seorang
kepala negara akan berpandangan bahwa dirinya selalu dalam keadaan konflik
dengan anggota-anggota ‘ashabiyahnya dalam memperebutkan tahta, hingga
akhirnya memaksanya untuk menghancurkan ‘ashabiyahnya sendiri. Dengan
demikian tampak jelas bahwa ‘ashabiyah menempuh jalan dialektis dan dalam
dirinya terkandung benih-benih konflik. ‘Ashabiyah bukanlah penggerak sejarah,
paling sedikit ia adalah kekuatan yang menggerakkan dialektika kontradiksi-
kontradiksi, yakni dialektika yang dijadikan Ibn Khaldun sebagai landasan
konsepsinya tentang perkembangan negara.88
1. Perkembangan dan Runtuhnya Negara
Dalam tahap perkembangan suatu negara, Ibn Khaldun mengatakan bahwa
masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti
halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu
87 Lihat Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam: Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya
Terhadap Dunia Barat. Penerjemah Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), h.72.
88 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.167
pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur
suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama
dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara
menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi
menjadi lima tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
a). Tahap Pendirian Negara
Tahap pertama: Tahap pendirian negara. negara tidak akan tegak kecuali
dengan ’ashabiyah (solidaritas sosial). Karena dengan adanya ’ashabiyah akan
membuat orang menyatukan upaya untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu
mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan musuh.89
Pada tahap ini seorang penguasa belum lama memegang tampuk pemerintahan.
Karena itu ia masih membutuhkan 'ashabiyah sebagai mediator dalam mencanangkan
fondasi-fondasi kerajaannya. Dengan demikian kekuasan pada tahap ini dimiliki
bersama oleh si pemegang pimpinan, kaumnya, dan kelompoknya. Menurut Ibn
Khaldun, tahap pertama adalah tahap untuk mencapai tujuan, menaklukan berbagai
halangan dan rintangan, menguasai kekuasaan dan merebutnya dari tangan negara
sebelumnya. Pada tahan ini si pemegang kekuasaan merupakan seseorang yang ideal
bagi kelompoknya dalam meraih kejayaan, memperoleh kakayaan, dan mempertahankan
diri serta melindungi bawahannya. Itulah tujuan 'ashabiyah yakni mengantarkan pada
89 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.171
kemenangan. Pada tahap ini diwarnai dengan pola kehidupan yang sederhana dan
rendah peringkatnya. Sang penguasa belum mengenal kemewahan, dengan
melibatkan berbagai pihak dalam mempertahankan bentuk penghidupan yang demikian
itu maka sikap yang berani dan kekuatan jasmaniah masih dimiliki ole semua anggota
'ashabiyah.90
b). Tahap Pemusatan Kekuasaan
Tahap kedua: yaitu tahap pemusatan kekuasaan. Menurut Ibn Khaldun;
pemusatan kekuasaan merupakan kecenderungan yang alamiah pada manusia. Karena
seorang penguasa melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya,
menghancurkan 'ashabiyah (solidaritas sosial), memonopoli kekuasaan, dan menjauhkan
anggota-anggota 'ashabiyah dari roda pemerintahan. Dan beralih kedudukan dari
seorang pemimpin 'ashabiyah menjadi raja atau pemegang kekuasaan.91 Dalam hal ini
dialah yang menegakkan negara.
Dalam kitab al-Muqaddimah, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam suatu
keluarga itu tentu saja terdapat sejumlah orang yang terkemuka yang dapat
memimpin dan menguasai, karena itu orang tersebut akan dipilih sebagai pemimpin dari
kelompok yang lebih luas karena adanya kelebihan yang dimiliki oleh keluarganya
atas kelompok lain.
90 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.172
91 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I (Beirut: Muassasatu Jamali at-Tiba’ati wa an-Nasri, t.th,.), h.209
Apabila pimpinan itu sudah dipilih maka watak hewaninya akan
menumbuhkan perasaan bangga dan sombong, kemudian ia akan enggan membagi
kekuasaan yang ia miliki dengan orang lain dalam memerintah rakyatnya. Bukan
hanya itu, ia akan mengkultuskan dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya orang lain juga
akan berbuat demikian. Dalam rangka menjalankan mekanisme dan stabilitas politik
yang baik maka hendaknya dalam sebuah negara hanya memiliki seorang kepala
negara, tujuannya adalah untuk menghindari perpecahan dikalangan rakyat. Jika dalam
sebuah negara memiliki banyak pemimpin dan mengaku sebagai Tuhan maka akan
terjadi kebingungan dan kekacauan.92
Ketika pemegang kekuasaan berupaya untuk menaklukkan 'ashabiyah
(solidaritas sosial), maka si pemegang kekuasaan meminta bantuan kepada tenaga
tenaga sekutu yang mendapat perlindungan. Dengan kata lain pada tahap ini ia mula
mendasarkan diri pada tentara regular guna memelihara kekuasaannya. Mengenai tahap
ini Ibn Khaldun menyatakan sebagai berikut:
Pada tahap kedua, ketika raja menunjukan kecenderungan kepada sifat
kelaliman, memonopoli kemegahan, dan menjauhkan kawan-kawan seperjuangannya yang
lama, maka sebenarnya rakyat telah menjadi musuhnya. Kemudian untuk
menjauhkan kawan-kawan lamanya dari keikut sertaan dalam menangani masalah-
masalah kenegaraan dan mencegah intervensi mereka dalam kekuasaan, maka ia
berputar haluan kepada orang lain, orang asing yang bergantung kepadanya, dan dari
92 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I, h.172
mereka (orang-orang asing) raja bisa mengharap bantuan. Oleh karena itu, orang-orang
asing ini lebih dekat kepadanya dibandingkan dengan rakyatya sendiri. Sehingga
orang-orang asing inilah yang dipekerjakan untuk melayani keperluannya dan merekalah
yang diberikan kesenangan dan kehormatan. Sebab mereka bersedia mati untuknya dan
membantunya menjauhkan rakyatnya sendiri dari kedudukan-kedudukan yang pernah
mereka isi sewaktu mereka ikut andil dalam kekuasaan. Karena itu maka orang yang
memerintah itu diberi penghormatan dan kesenangan kepada sekutu-sekutu asing yang
dilindunginya itu, dan memilih menteri-menteri, gubernur-gubernur, jendral-jendral,
dan pejabat-pejabat keuangannya dari mereka.93
c). Tahap Kekosongan dan Kesantaian
Tahap Ketiga: Tahap ini merupakan tahap kekosongan dan kesantaian.
Menurut Ibn Khaldun, tahap ketiga adalah tahap kekosongan dan kesantaian
untuk menikmati buah kekuasaan yang seiring watak manusia, seperti
mengumpulka kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih
kemegahan. Berbagai upaya dicurahkan untuk menarik pajak, mengelola
pengeluaran dan pemasukan menghitung biaya, membangun gedung-gedung yang
tinggi dan pabrik-pabrik yang besar dan bangunan-bangunan yang menjulang
tinggi.94
93 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I, h.154.
94 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.154.
Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangan. Sedang
untuk mengabadikan kerajaan dan kekuasaannya, ia akan mendirikan gedung-
gedung dan bangunan-bangunan besar sebagai saksi kejayaannya. Singkatnya
pada tahap ini semua pihak menikmati buah dari kekuasaan, sang penguasa
menikmati kejayaannya dan yang lainnya menikmati apa yang dikehendaki
pemegang kekuasaan.
d). Tahap Ketundukan dan Kemalasan
Tahap Keempat: Tahap ketundukan dan kemalasan. Pada tahap ini
pemegang tampuk pemerintahan menerima apa saja yang dibina para raja
sebelumnya dan mengikuti apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan
sebelumnya. 95 Negara pada saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan
apapun yang terjadi, dan negara seakan-akan berada diujung kisahnya.
Tahap Kelima: Tahap ini merupakan tahap berfoya-foya dan
penghamburan kekayaan. Pada tahap ini pemegang kekuasaan dengan seenaknya
menghambur-hamburkan kekayaan yang dikumpulkan oleh para pendahulunya
untuk memenuhi hawa nafsu, kesenangan, menghibur diri bersama kaumnya, dan
memamerkan kedermawanannya kepada orang-orang dalam. Sehingga ia menjadi
penghancur apa yang telah digariskan dan dibina para pendahulunya.96
95 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Fikr, t.th.,), h.176.
96 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.175.
f). Tahap Keruntuhan Kekuasaan
Negara pada tahap ini telah memasuki masa ketuaan dan dihinggapi,
penyakit kronis yang hampir tidak dapat ia hindari, hingga pada saatnya menuju
keruntuhan dan hancur.97 Ketika ia berpaling dari kehidupan yang sederhana dan
primitif menuju kehidupan yang berbudaya (tahap kedua), maka pada tahap inilah
negara tertimpa penyakit kebudayaan yang paling berbahaya. Namun pada tahap
ini negara sedang berada pada puncak kejayaan dan kekuatannya, sehingga
gejala-gejala tersebet belum nampak. Gejala-gejala tersebut akan nampak apabila
negara mulai mengalami kelemahan dan disintegrasi. Menurut Ibn Khaldun, ada
dua faktor yang menjadi penyebab disintegrasi negara, yaitu hilangnya 'ashabiyah
(solidaritas sosial) dan tidak adanya sumber keuangan yang kuat akibat tindakan
pemegang kekuasaan yang suka berfoya-foya sehingga negara mengalami
keruntuhan baik secara politis maupun ekonomis.98
Dari tahapan-tahapan diatas, menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga
generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang
tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
97 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, h.176.
98 M. Ali Nasyi’at, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun (al-Qahirah: t.p., 1944), h.123.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi
dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap
kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara.
Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan
nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka
keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut
Ibn Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.
Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah peradaban besar dimulai dari
masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh
perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup
ditambah dengan ‘ashabiyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras
untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang
tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru, dan kemunculan
peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban
lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya
hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus99
Seperti yang telah di uraikan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan persoalan
jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila
melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan
99 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 172.
selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang
menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibn Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of
analysis penyebab runtuhnya kekuasaan diberbagai negara modern saat ini, dalam
pandangannya ia menjelaskan bahwa kekuasaan yang dijalankan dalam bentuk ini
adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah
kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa
menyebabkan hilangnya ’ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap
pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun
menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal
politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi
sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan ini juga tenggelam dalam
gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri
atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa
kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibn Khaldun, apabila sebuah kekuasaan
telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan
penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah yang semula mengantarkannya
kepuncak kekuasaan, negara segera akan hancur.100
100 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 166.
C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun
Dalam konsep ’ashabiyahnya Ibn Khaldun berpendapat bahwa untuk
menjalankan pemerintahan negara dibutuhkan perangkat atau alat untuk
mengendalikan negara. Tujuannya adalah untuk menjaga dan mengantisipasi
setiap kejadian atau gangguan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban
negara yang datang dari dalam atau luar negara. Perangkat atau alat yang
dimaksud tersebut ialah agama. Menurut Ibn Khaldun, agama dapat dijadikan alat
untuk memperkuat kepemimpinan sebuah bangsa dengan syariat dan
perlengkapan perang secara eksplisit dan implisit. Semua dimaksudkan untuk
memperkuat peradaban sebuah negara. Seorang raja tidak dapat memerintah
dengan baik, dia harus memanfaatkan yang dapat diterima dan dapat dipatuhi oleh
rakyat. Dalam hal ini adalah syariat.101
Berkenaan dengan hal diatas, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa merupakan
suatu keharusan menetapkan peraturan-paraturan dan kebijakan-kebijakan politik
yang bisa diterima dan diikuti oleh rakyat, dan peraturan-peraturan tersebut dapat
dibuat oleh para pemuka, para cendekiawan, atau pemuka yang cerdik pandai
negara itu dengan kata lain pemerintahan yang demikian disebut pemerintahan
berdasarkan akal (nomokrasi sekuler), akan tetapi apabila peraturan-peraturan
(hukum) tersebut ditentukan oleh Allah dengan perantara seorang Rasul, maka
pemerintahan tersebut berdasarkan agama (nomokrasi Islam). Di antara dua
101 Anthony Black, Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullah
Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), h.332.
macam peraturan atau hukum itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa macam yang
kedua lebih baik, oleh karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama
akan terjamin tidak saja keamanan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat
kelak.102
1. Supremasi Hukum
Berhubungan dengan uraian diatas, dapat diketahui bahwa Ibn Khaldun
adalah seorang pemikir Muslim yang tidak dapat melepaskan agama dari negara.
Agama yang dimaksud adalah mengandung pengertian al-Din yang erat kaitannya
dengan syariat. Ini juga mempunyai konotasi hubungan vertikal antara manusia
dengan Allah SWT. Hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia
dalam segala seginya, ibadah mereka, segala tatacara hidup mereka, juga yang
berhubungan dengan negara, yang merupakan sebuah keharusan bagi
masyarakat.103
Berbicara penerapan hukum berarti tidak lepas dari kebijakan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan hukum tersebut oleh seorang kepala negara
atau pemerintah terhadap negara atau rakyatnya. Oleh karena itu sifat al-’Adalah
adalah merupakan salah satu syarat untuk menduduki jabatan kepala negara. Al-
’Adalah atau adil artinya bersikap jujur, berpegang pada keadilan, dan pada
102 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, h.190. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan
Tata Negara, h.102. 103 Ibid., h.190.
umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik sehingga ucapannya dapat
dipegang, perkataannya dapat dipercaya. Al-’adalah juga menunjukkan tentang
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seorang yang tahu akan
kewajibannya, misalnya sebagai saksi. Ia juga harus mempunyai kesanggupan
dalam menjalani tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk
menegakkan dan melaksanakan hukuman yang diputuskan secara konsekuen.104
Intinya yang namanya warga negara secara keseluruhan tidak lepas dari
hukum atau aturan hukum, baik itu yang bersumber dari agama (syariat) ataupun
hasil dari Ijtihad manusia (undang-undang) yang tujuannya demi kemaslahatan
bersama di dunia dan akhirat. Ibn Khaldun menekankan syariat tidak membatasi,
mengekang ataupun melarang otoritas raja karena otoritasnya, dan tidak melarang
otoritas itu terlaksana. Hukum agama hanya melarang kejahatan yang tumbuh dari
padanya, seperti tirani, ketidakadilan, dan semata-mata mencari kesenangan.
Sebaliknya hukum agama memuji keadilan, kewajaran, memenuhi kewajiban
agama dan membela agama. 105
Kiranya patut dicatat bahwa Ibn Khaldun, selain berpendapat bahwa
kebijakan dan peraturan keperintahan yang didasarkan atas ajaran atau hukum
agama memang lebih baik dari pada yang hanya didasarkan atas rekayasa otak
manusia. Ia juga beranggapan bahwa terdapat banyak negara yang mendasarkan
104 Oesman Raliby, Ibn Khaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang,
1962), h.117. 105 Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, h. 30.
kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, namun dapat
mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negaranya,
bahkan dapat berkembang baik dan jaya.106
Dalam konsep ’ashabiyah supremasi hukum adalah syarat mutlak yang
harus ditegakkan dalam sebuah negara. Pengetahuan akan hukum sendiri menjadi
syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yang oleh Ibn Khaldun
dijadikan sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki seorang raja dan di
implementasikan dalam kehidupan bernegara dengan berlandaskan keadilan.
Dengan demikian supremasi hukum dalam konsep ’ashabiyah sebagaimana
penjelasan diatas sangatlah demokratis, sebab supremasi hukum dan keadilan
adalah merupakan bagian inti dari tegaknya sebuah negara yang demokratis.
2. Persamaan
‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa
bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal
berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun,
persamaan keTuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan dinasti.
Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak mau tunduk satu
sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.
106 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.109-110.
‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah kesukuan atau qabilah yang tidak
memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. 107
Pada dasarnya, bentuk-bentuk persekutuan manusia itu berbeda-beda
sesuai dengan faktor-faktor iklim, georafi, dan ekonomi yang sangat berpengaruh
terhadap tempramen manusia. Kita temukan bahwa penduduk yang tinggal di
kawasan panas, seperti orang-orang Sudan atau Mesir lebih cepat marah, gembira,
dan bingung. berbeda dengan para penduduk di kawasan dingin yang tampak
lebih melankolis dan peka terhadap rasa sedih. Faktor-faktor ekologis ini dan
variasi-variasi tempramental yang dihasilkannya sangat menentukan bentuk
persekutuan yang dibentuk dan hukum-hukum perkembangannya.108
’Ashabiyah sangat dicela oleh Nabi SAW, namun Ibn Khaldun percaya
bahwa celaan tersebut tidak ditujukan kepada ’ashabiyah sebagaimana yang
dimaksudnya, akan tetapi ’ashabiyah yang dicela adalah ’ashabiyah sebelum
Islam yang biasanya digunakan untuk berperang antara suku. ’Ashabiyah itu
ibarat sifat manusia yang lain, ia bisa baik dan bisa juga buruk, tergantung untuk
apa ’ashabiyah itu digunakan. ’Ashabiyah akan baik jika digunakan untuk tujuan
baik, seperti untuk mendukung agama dan menegakkan keadilan, atau akan
menjadi buruk bila digunakan untuk tujuan memperjuangkan hasrat pribadi atau
dalam rangka mendukung kezaliman.
107 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.151
108 Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Jakarta: Mizan, 2001), h.126.
Nabi SAW juga mencela rasa bangga akan silsilah keturunannya, bagi
Nabi semua manusia itu sama tanpa memperhatikan silsilah keturunan atau latar
belakangnya. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman:
إن ،ئل لتعارفواأنثى وجعلناآم شعوبا وقبا من ذآر ون خلقناآمياايهاالناس إ
. أآرمكم عند اهللا أتقاآم، إن اهللا عليم خبير
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat: 13)
Sejalan dengan ayat diatas, Nabi SAW bersabda: ”Tidak ada silsilah
keturunan dalam Islam”
Menurut Ibn Khaldun, rasa bangga terhadap keturunan merupakan
kecenderungan wajar manusia, serta dasar bagi semangat kesukuan. Jika rasa
bangga akan keturunan lemah maka semangat kesukuan akan lemah juga. Dia
menyebut kekalahan orang-orang Arab akibat pembauran mereka dengan orang-
orang non Arab, suatu fenomena yang menyebabkan mereka mengabaikan silsilah
keturunan. Untuk mendukung pandangan ini Ibn Khaldun mengutip pernyataan
Umar yang menyuruh orang-orang Arab menjaga garis keturunan mereka. Umar
melihat silsilah keturunan dari sudut pandang yang sama seperti yang dilakukan
Ibn Khaldun. Umar ataupun Ibn Khaldun cenderung memandang bangsa Arab
sebagai penakluk bangsa lain.109
Sejalan dengan penjelasan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa bagi
masyarakat yang tidak memiliki ’ashabiyah (kelompok yang tidak memiliki
silsilah nasab, suku, atau penduduk minoritas, agar terjamin keamanan dan
kesejahteraannya ia harus bergabung dengan ’ashabiyah yang ada dengan syarat
harus membayar pajak. Hal ini merujuk kepada apa yang sudah dipraktekkan oleh
Nabi SAW kepada masyarakat Madinah yang didalamnya terdapat kaum Yahudi
(minoritas) yang terdiri beberapa suku. Mereka bisa hidup dengan penuh
ketentraman dan keadilan di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana
yang tercantum pada Piagam Madinah.110
Berkenaan dengan penjelasan diatas ada satu pengamatan yang cukup
menarik yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam hal hubungan antara agama dan
solidaritas kelompok. Menurutnya da’wah agama tidak akan berhasil tanpa
dukungan solidaritas kelompok, sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi: ”Tuhan
tidak mengutus seorang Nabi yang tidak mendapat perlindungan dari rakyatnya”.
Kalau demikian halnya dengan para Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh yang
paling mampu melakukan hal-hal yang luar biasa (supranatural), apalagi mereka
yang bukan Nabi. Mereka tidak dapat diharapkan untuk mencapai sukses atau
109 Fuad Baali&Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2003), h.182. 110 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 157.
keunggulan tanpa solidaritas kelompok. Agama dapat memperkokoh solidaritas
kelompok dan menambah keampuhannya, tetapi agama saja tidak dapat
ditegakkan tanpa solidaritas kelompok. Barangkali dari pengamatan ini juga dapat
disimpulkan bahwa motivasi agama saja tidak cukup kuat sebagai sebagai
pembangkit perasaan senasib kalau tidak didukung oleh solidaritas kelompok
yang bertumpu pada faktor-faktor lain non agama.111 Salah satu dari non agama
yang dimaksud adalah persamaan hak (tanpa melihat status sosialnya).
Persamaan (al-musawa) dalam konsep ’ashabiyah tertuang pada
perjanjian antara masyarakat dan solidaritas kelompoknya, solidaritas kelompok
dan negara (raja). Dengan demikian Negara menjamin bagi warganya akan
persamaan hak utamanya dalam hal kesejahteraan dan keamanan. Satu hal yang
patut diketahui bahwa Ibn Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang
memasukkan salah satu kreteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
adalah tidak memihak kepada kelompok tertentu. Jika demikian maka persamaan
hak yang terdapat dalam konsep ’ashabiyah sangatlah demokratis dan masih
relevan untuk diterapkan.
3. Pemimpin Berasal dari Partai Besar (Pemilu)
Ibn Khaldun termasuk pemikir Islam yang berpendirian bahwa salah satu
syarat agar dapat menjadi khalifah atau imam yang merupakan pimpinan tertinggi
111 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.106
dunia Islam, seseorang harus berasal dari keturunan Quraisy.112 Ibn Khaldun
mencoba merasionalisasikan atas ketentuan itu berdasarkan teori ’ashabiyah.
Berdasarkan teori ini, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan pemikir
Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan
bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka dan original
yang tampil dari bani Mudhar dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas
kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki
wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan
kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan
kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika
kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah
pembangkangan serta berujung pada kehancuran.113
Berkaitan dengan syarat kepemimpinan dari suku Quraisy, Nabi
Muhammad SAW menyatakan hendaknya kepemimpinan umatnya dipercayakan
kepada suku Quraisy. Menurut Ibn Khaldun, janganlah diartikan bahwa
kepemimpinan ummat Muhammad SAW itu monopoli suku Quraisy, dan agar
syarat keturunan Quraisy didahulukan dari pada syarat kemampuan. Petunjuk
Nabi Muhammad SAW mengenai kepemimpinan suku Quraisy berdasarkan
kenyataan bahwa suku Quraisy merupakan suku Arab yang paling terkemuka
112 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.106
113 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.194
dengan solidaritas kelompok yang terkuat dan dominan, karenanya paling
berwibawa. Pemimpin negara yang berasal dari suku yang demikianlah yang akan
mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan keserasian hubungan
antara komponen-komponen negara itu. Maka jika suku Quraisy tidak lagi
menjadi suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi
dominan, yang berarti pula bahwa pemimpin yang berasal dari suku Quraisy tidak
lagi dapat diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan
kerukunan antara warga negara. Jika demikian, maka kepemimpinan dapat
berpindah ke suku atau kelompok yang lain yang memiliki wibawa yang lebih
besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat.114
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran al-Mawardi
ataupun al-Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn
Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘ashabiyah seperti dijelaskan diatas.
Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial.
Oleh karena itu, solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat
daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan
sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat
kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang
berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila
114 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.107.
solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang
pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.115
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial
itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan
musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka
ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya.
Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan
sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya
akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi
dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,
solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika
negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian,
negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat kedalam
kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.116
Apabila ’ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia
akan segera digantikan oleh ’ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam
memperebutkan kekuasaan negara akan terjadi pertarungan antara tokoh dengan
basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai
115 Ibn khaldun, Muqaddimah, h.131-132.
116 Ibid., h.139.
’ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. ’Ashabiyah yang paling
kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ’ashabiyah yang kecil.117
Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ’ashabiyah lemah melakukan kualisi
antar ’ashabiyah lemah yang lain membentuk ’ashabiyah yang lebih kuat.
Teori yang dipaparkan oleh Ibn Khaldun memiliki kekuatan logika dan
argumentasi yang cukup tinggi, maka walaupun penulis menerima bahwa yang
menjadi tujuan hukum syariat adalah tercapainya kesatuan kata, harmoni
kehidupan, dan syariat itu selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya
perpecahan dan perselisihan. Ketentuan hukum syariat lazimnya sesuai dengan
realitas yang terjadi, tetapi kita tidak dapat menerima bahwa Islam telah
menyetujui ide tentang fanatisme primordial atau bahwa karakteristik prinsip-
prinsip memiliki potensi untuk bersesuaian dengan ide itu, sebagai sebuah tujuan
jurisprudensi atau landasan pembangunan masyarakat. Jika kita menghendaki
terwujudnya tujuan yang disepakati, yang tampaknya menjadi terakhir dari
ditemukannya sebuah persyaratan, yaitu disempurnakannya persatuan ummat dan
mencegah kemungkinan timbulnya perpecahan. Hukum syariat jika dikaji
penerapannya, maka kesesuaian antara ketentuan syariat dengan realitas yang
eksis, maka kesimpulan yang seharusnya didapatkan (dalam kapasitasnya sebagai
penafsiran atas persyaratan itu) adalah bahwa kesimpulan yang dihasilkan itu
haruslah berkembang sesuai dengan hukum-hukum eksistensi atau hukum sosial,
117 Ibn khaldun, Muqaddimah, h.140.
sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Ibn Khaldun. Dengan demikian,
persyaratan yang menjadi konsekuensinya adalah bahwa orang yang mengurus
pemerintah kaum muslimin haruslah memiliki akseptabilitas dimata mayoritas
terbesar anggota masyarakat, hingga mereka menaatinya dengan penuh kerelaan,
mempunyai kekuatan yang bersumber dari aspirasi masyarakat, dan juga memiliki
wibawa, sehingga keberadaannya membawa pada persatuan dan menghilangkan
faktor-faktor penyebab perpecahan.118
Keutamaan itu tidak dapat diperoleh pada masa kini kecuali dengan jalan
pemilihan umum. Maksudnya, dengan pemilihan yang dilakukan oleh ummat,
baik seluruhnya atau sebagiannya (apapun manifestasi yang terlihat dari bentuk
aspirasi tadi) terhadap seorang figur tertentu, karena mereka mendukung platform
politiknya, atau merasa sesuai dengan kebijakan ekonomi dan sosialnya, sehingga
dengan adanya dukungan umum itu, dia menjadi lebih mampu dibandingkan
dengan yang lainnya dalam memimpin negara dan menjaga persatuannya. Dengan
demikian jelaslah bahwa persetujuan terhadap sebuah ide dan persatuan dalam
melaksanakan sebuah platform tertentu, baik yang bersifat politik maupun yang
bersifat sosial, atau yang lainnya, sekarang telah menggantikan kedudukan
fanatisme primordial, atau ikatan solidaritas untuk menjaga eksistensi sebuah
kabilah atau posisi sosialnya yang menjadi landasan teoritis pemikiran Ibn
Khaldun.
118 Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.244.
Sekarang ini, ikatan kesukuan tidak lagi menjadi landasan sosial (atau
hukum eksistensi dalam redaksinya) tetap telah tergantikan oleh ikatan politik
atau ikatan sosial, yang ditujukan untuk mewujudkan sebuah platform tertentu
dalam realitas, yang dianut oleh setiap individu anggotanya berdasarkan
pemahaman mereka dan penerimaan meraka terhadap platform itu. Karena, dalam
pandangan mereka platform-platform tersebut mewujudkan kemaslahatan
umum.119
Pemilihan kepala negara dalam konsep ’ashabiyah berdasarkan suara
terbanyak yang dipilih lewat kompetisi antara solidaritas kelompok adalah
merupakan sebuah mekanisme yang terus berubah seiring dengan perkembangan
zaman. Perubahan ini dapat dilihat dari perjalanan konsep ’ashabiyah itu sendiri
yang dari waktu kewaktu terus berkembang khususnya dalam pemilihan raja atau
kepala negara. Mulanya pemimpin itu harus berasal dari satu nashab (keturunan),
kemudian satu suku, dan terakhir berdasarkan suara terbanyak (ashabiyah terkuat
atau terbesar) yang dipilih langsung oleh masyarakat dari berbagai suku lewat
kompetisi antara solidaritas kelompok.120 Dengan demikian konsep ’ashabiyah
sejalan dengan ide demokrasi khususnya dalam hal pemilihan kepala negara.
Dalam konsep demokrasi kepala negara berasal dari partai terkuat atau suara
mayoritas yang dipilih melalui kompetisi antara partai politik lewat pemilu.
119 Rais, Teori Politik Islam, h.246.
120 Ahmad Satori, “Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan”, artikel diakses 19 April 2008 dari http://politeiapress.blogspot.com/2007/11/new-artice12.html
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan seluruh permasalahan yang ada dalam skiripsi ini
yang di beri judul “Ide Demokrasi Dalam Konsep ‘Ashabiyah Ibn Khaldun”
dengan cara komperehensif, maka untuk mendapatkan gambaran inti dari
permasalahan yang dibahas, perlu kiranya penulis menyimpulkan hasil analis
yang dikemukakan sebagai berikut:
1. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok) adalah sebuah konsep demokratis yang
cocok untuk diterapkan pada saat ini. Hal ini disebabkan karena konsep
‘ashabiyah mempertimbangkan nilai-nilai hukum (syariat) dalam proses
penyelenggaraan negara dan tidak mengabaikan pertimbangan akal dalam
menentukan kebijakan Negara demi kemaslahatan masyarakat.
2. ’Ashabiyah adalah solidaritas kelompok yang jika diterapkan pada saat ini
bisa berbentuk organisasi kepartaian yang fungsinya sebagai alat untuk
pencapaian kekuasaan yang dilakukan dengan cara pemilu atau pilkada.
3. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok), adalah sebuah sistem demokratis
berbentuk perwakilan dimana para anggota perwakilan dari masing-masing
‘ashabiyah ikut serta dalam menjalankan pemerintahan. Ibn Khaldun
menjelaskan bahwa adanya lembaga merupakan sebuah keharusan dalam
masyarakat atau negara, sebagai penengah, pemisah sekaligus hakim. Adapun
tugas seorang raja adalah menjaga kelestarian ajaran agama dan pemimpin
duniawi bagi rakyat. Oleh karena itu kedudukan penguasa (raja) yang
sewajarnya ialah mewujudkan usaha memerintah rakyat sesuai dengan tujuan
dan keinginan yang memerintah. Tindakan politik ialah memerintah rakyat
sesuai dengan petunjuk akal untuk memajukan kepentingan duniawi dan
menjauhkan kejahatan. Seorang raja/khalifah adalah memerintah rakyat sesuai
dengan petunjuk agama (syariat), baik yang berkenaan dengan masalah
ukhrawi (akhirat) ataupun duniawi (maslahah al-kaffah). Karena kekhalifahan
(khilafah) adalah sebagai pengganti pembuat hukum, sebagai penjaga agama
dan pengatur permasalahan duniawi di pandang dari segi agama.
4. Dalam konsep ‘ashabiyah-nya, Ibn Khaldun mengakui bahwa lebih baik
mempergunakan ajaran dan hukum agama sebagai dasar kebijakan dan
peraturan negara daripada hanya hasil rekayasa otak manusia. Namun ia juga
mengakui bahwa terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan
dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu
dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara,
bahkan dapat berkembang dan jaya.
5. Bertitik tolak dari salah satu inti ajaran al-Qur’an yang menggariskan adanya
hubungan manusia secara vertikal dan Horizontal, maka dapat disimpulkan
bahwa Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat konprehensif dan luwes.
Islam sebagai al-Din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk
didalamnya aspek kenegaraan dan hukum.
6. Terakhir, Konsep ‘ashabiyah sangatlah relevan dalam arti konsep ’ashabiyah
sangatlah demokratis, karena prinsip-prinsip yang ada dalam konsep
’ashabiyah Ibn Khaldun sangatlah sejalan dengan konsep demokrasi yang
banyak digunakan oleh negara modern saat ini.
B. Saran
Ibn Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik
di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan
dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan
mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah
tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai
negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh seting sosial
politik yang terjadi pada masa itu. Karena itu teori-teori yang dikemukakan oleh
Ibn Khaldun merupakan hasil refleksi atas realitas politik. Pemikiran Ibn Khaldun
tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis
melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada
akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan
mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibn Khaldun menjelaskan
mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita
cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibn Khaldun,
kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam
kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun
khususnya teori ‘ashabiyah ini perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan
diperdebatkan secara kritis.
Maka penulis mengharapkan pembahasan mengenai teori ‘ashabiyah Ibn
Khaldun ini diteliti dan dikaji kembali dari sudut pandang yang berbeda dengan
metodologi yang berbeda pula.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi. Jakarta: Ind Hill-Co, 1991.
Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam. Ter. Ahmad Thaha,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989. Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005, Cet. Ke-27. Fachry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis. Jakarta: Mizan,
2001. Haris, Syamsuddin, Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1995, Cet. Ke-1
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid.I, Bandung: Mizan, 2001.
Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun. Ter. Ahmad Rafi’. Bandung:
Pustaka, 1987, Cet. Ke-1. Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Ter. Ahmad Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Kusnardi, Moh dan Saragih, Bintan R, Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, Cet. Ke-3.
Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat. Ter. M. Maufur al-Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka Utama, 2003.
Madjid, Nurcholis, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Demokratisasi
Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Paramadina, 1994, Cet. Ke-1. Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Univ. Atmaja,
2000, Cet. Ke-2.
Meyer, Thomas, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Jakarta: Friedrieh
Ebert Stiftung, 2003, Cet. Ke-2. Mahmoud Robi, Muhammad, The Political Theory of Ibn Khaldun. Leiden: Bj. Briil,
1967. Nasyi’at, Ali M, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun. al-Qahirah: t.p.,
1944. Lahbabi, M.A, Ibn Khaldun-Presentation, Choix de Textes, Bibliographie. Paris:
Edition Seghers, 1968. Lubis, M. Solly, Ilmu Negara. Bandung: Mandar Maju, 1989.
Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Bandung: Mizan Pustaka, 2001, Cet. Ke-4.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang,1978, Cet. Ke-4.
Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2003. Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1996. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004,
Cet. Ke-16 Sevilla, Consuelo G, (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian. Jakarta: UI Pres, 1993,
Cet. Ke-1 Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.
Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2000.
UIN Jakarta, Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Renada Media, 2003.
Zainuddin, Rahman, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet. Ke-2. ---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta:
Gramedia Pustak Utama, 1992. Website : Ahmad satori, Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan”
http://politeiapress.blogspot.com./2007/11/new-artice12.html. Hidayatul haq, Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi,
artikel diakses http://www.hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/ Sulardi, Sistem Presidensial, http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0208/29/opini/pusa04.htm. diakses pada 19 April 2008