IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN...

99
IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN Skripsi Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Muhammad Taufik NIM : 104045201517 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1429 H/2008 M

Transcript of IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN...

Page 1: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN

Skripsi

Di ajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Muhammad Taufik

NIM : 104045201517

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1429 H/2008 M

Page 2: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

KATA PENGANTAR

بسم اهللا الرحمن الرحيم

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Ilahi Rabbi,

Tuhan semesta alam, karena berkat Rahmat dan Hidayah serta Inayah-Nya, penulis

dengan segala keterbatasan dan kekurangan, berhasil menyelesaikan penulisan

skiripsi ini sekalipun penulis sadari disana sini masih banyak kekurangan yang harus

dilengkapi, oleh karena itu besar harapan penulis adanya saran-saran atau masukan

juga sebuah kritik konstruktif yang mendukung kelengkapan penulisan ini.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan atas junjungan Nabi besar

Muhammad SAW, kepada para keluarga, sahabat, dan kepada mereka yang selalu

tetap konsisten dalam berjuang demi tegaknya agama Islam di bumi Allah ini sampai

hari kiamat.

Selanjutnya pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik

secara langsung ataupun tidak langsung selama perkuliahan berlangsung hingga

penyusunan skiripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada yang

terhormat :

1. Bapak. Prof.Dr. Kamaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 3: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

2. Bapak. Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri

Hidayati, M.Ag, sebagai Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

4. Bapak. Drs. Muharram, MA, dan Dr. M. Arskal Salim GP, MA, selaku

pembimbing penyusunan skiripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan Ilmu dan

wawasannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Ucapan terimakasih yang sangat mendalam kepada rekan-rekan Sohib

Qorib seperjuangan, senasib dan sepenanggungan yang begitu teramat

sangat banyak pengorbanan mereka mulai dari tenaga pikiran dan lain

sebagainya. Mereka adalah Umi Zibar (khas), Khairun- yang penulis sapa

dengan panggilan Irun, Don Andri alias Idon, Abang Rohim, Khadirin,

Syamsul, Faizin, Lukman, Saipul, Burhanuddin, Zamroni, Siddiq, Fauzi,

Solihin, Ibnuddin Fauzan, Faizal (Malaysia), Harun (Malaysia), Amirullah

(Malaysia), Baihaki (Malaysia), Pa’ Hadi (Malaysia), Mustafa (Malaysia),

dan semua teman-teman Program Studi Siyasah Syar’iyyah yang namanya

tidak bisa disebut satu persatu.

Page 4: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

7. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis khususkan buat Ust Khairil Baits,

Ust, Tasrif Amin, Ust. Ahkam Sumadiana, dan Ust Hasan Ibrahim, yang

penulis anggap sebagai orang tua yang tidak bosan-bosannya memberikan

nasehat kepada penulis dari awal hingga akhir perkuliahan.

8. Dan yang paling utama ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada

kedua orang tua yang telah membimbing, mengasuh, mendidik, serta

membesarkan ananda sehingga sampai sekarag ini.

Akhirnya kepada Allah jualah penulis serahkan seluruh jiwa dan raga, semoga

bantuan dan dorongan yang telah diberikan oleh segenap pihak dibalas oleh Allah

SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Semoga skiripsi yang jauh dari kesempurnaan ini menjadi setitik sumbangan

bagi perkembangan Ilmu yang sungguh sangat luas ini, dan mudah-mudahan ini

dicatat sebagai sebuah kebajikan yang melapangkan penulis masuk kedalam barisan

orang-orang yang diridhoi-Nya. Amin

Jakarta, 31 Juli 2008

Penulis

Page 5: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8

D. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 9

E. Metode Penelitian ............................................................................ 13

F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEMOKRASI

A. Defenisi Demokrasi............................................................................ 17

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi..................................................... 19

C. Prinsip-Prinsip Demokrasi ................................................................. 22

D. Sistem Pemerintahan.......................................................................... 26

BAB III KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN

A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ......................................... 31

B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ‘Ashabiyah ............................. 35

C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik ............................................ 40

1. ’Ashabiyah dan Kekuasaan.............................................................. 41

Page 6: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama ................................................... 45

1. ’Ashabiyah Menopang Agama......................................................... 47

E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits Dalam Konsep ‘Ashabiyah ................. 50

BAB IV ANALISIS IDE DOMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH

IBN KHALDUN

A. Konsep ’Ashabiyah Sebagai Dasar Pembentukan Negara dan

Pemerintahan .................................................................................... 53

1. Negara dan Pemimpin (Kepala Negara) ..................................... 55

2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan .................................................... 57

B. ................................................................................................. Im

plikasi Konsep ‘Ashabiyah Bagi Negara dan Masyarakat................ 59

1.............................................................................................. Per

kembangan dan Runtuhnya Negara ............................................ 61

a. Tahap Pendirian Negara .......................................................... 62

b. Tahap Pemusatan Kekuasaan.................................................. 63

c. Tahap Kekosongan dan Kesantaian ........................................ 65

d. Tahap Ketundukan dan Kemalasan......................................... 66

e. Tahap Keruntuhan Kekuasaan ................................................... 67

C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah

Ibn Khaldun....................................................................................... 70

1. Supremasi Hukum......................................................................... 71

2. Persamaan Hak.............................................................................. 73

3. Pemimpin Berasal Dari Partai Besar............................................. 77

Page 7: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 84

B. Saran............................................................................................ 86

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 88

Page 8: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung

untuk hidup bersama. Ini dikarenakan, kapasitas individu yang tidak

memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan dasarnya atau bahkan untuk

mempertahankan diri manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan

yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam

suasana konflik, permusuhan ('udwan), dan ketidakadilan (zhalim). Hal-hal

tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin diwujudkan. Untuk itulah

diperlukan 'ashabiyah (group feeling) dan wazi' (kekuatan pengendalian atau

pemerintah) untuk mencegah konflik dan ketidakadilan dan untuk menjaga

kebersamaan masyarakat.1

Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa

mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa kebersamaan

yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah

tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal,

1 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986),

h.166

Page 9: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

perdana menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah

Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).2

Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang

dikemukakan oleh Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Pemikirannya bukan hal

baru, meskipun Ibn Khaldun sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang

baru. Perbedaannya terletak pada teori ’ashabiyahnya yang dijadikan dasar

pembentukan negara dan menjadi sistem alternatif dalam tatanan hidup

bermasyarakat dan bernegara. Teori ’ashabiyah bukan sekedar kajian filosofis,

melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis

perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia

pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai

kecenderungannya. Teorinya tentang al-‘Ashabiyah inilah yang melambungkan

namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir

Muslim lainnya.

Al-’Ashabiyah secara harfiah jika diterjemakhkan kedalam bahasa

Indonesia berarti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.3 ’Ashabiyah juga

mengandung makna group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan,

nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia

kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil

2 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.139.

3 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h.104.

Page 10: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

atau disakiti. Untuk bertahan hidup masyarakat harus memiliki sentimen

kelompok (’ashabiyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan

sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyah kuat

tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri.4 ‘Ashabiyah tersebut terdapat

pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau

persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan

atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa

Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan keTuhananlah yang membuat mereka

berhasil mendirikan dinasti. Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang

paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-

masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah

kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena

sifat mereka. Hanya karena agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.5 Namun menurutnya pula,

bahwa motivasi agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas

kelompok (‘ashabiyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok

tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-

motivasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar agama.6

4 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.120.

5 Ibid., h.151

6 Ibid., h.159

Page 11: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial

itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan

musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka

ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya.

Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan

sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya

akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi

dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para

pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,

maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga

ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi

demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke

dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.7

Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial.

Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau

umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih

mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh

karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka

solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada

solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup

7 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.166-167

Page 12: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat

kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang

berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila

solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang

pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.8

Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang

Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab

dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi

negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan

dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Hal ini hanya bisa terjadi jika ia

berasal dari kelompok yang dominan.9

Negara--dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai sebuah

consensus, di mana sejumlah warga dalam satu teritori tertentu membentuk

kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam asosiasi kepentingan

bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan maksud mewujudkan tujuan-

tujuan dasar berlandaskan kehendak kolektif warganya (Volone Generale, J.J

Rousseau, 1712-1778).

Tujuan dari negara adalah untuk menjalankan ketertiban dan keamanan,

mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbulnya suatu

8 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.156-157

9 Ibid., h.163

Page 13: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

negara tidak akan terlepas dari teori Contract Social yang diungkapkan oleh

Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau .10

Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin

membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani mereka

(anggapan Hobbes, Locke dan Rousseau yang mendasarkan pembentukan negara

atas suatu perjanjian antara anggota masyarakat biasanya disebut teori perjanjian

masyarakat). Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatannya kepada suatu

lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk

menjalankan kedaulatan tersebut.

Menurut Utrecht tentang perbandingan antara Thomas Hobbes, Jean

Jacqueas Rousseau dan John Locke bahwa walaupun tak berlainan masing-

masing Hobbes, Locke dan Rosseau, mereka mempunyai anggapan tentang

pembentukan negara dan adanya negara itu. Menurut anggapan ketiga ahli

tersebut pembentukan adanya negara itu disusun atas suatu perjanjian sosial,

kesimpulan-kesimpulan yang mereka tarik tentang sifat negara sangat berlainan.

Menurut Hobbes negara itu bersifat totaliter, negara itu diberi kekuatan tidak

terbatas (absolut). Menurut Locke negara itu selayaknya bersifat kerajaan

konstitusionil yang memberi jaminan mengenai hak-hak dan kebebasan-

kebebasan pokok manusia (ingat: life, liberty, healthy dan property). Rousseau

10 M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989), h.35.

Page 14: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

beranggapan bahwa negara bersifat suatu perwakilan rakyat, dan negara itu

selayaknya negara demokrasi yakni yang berdaulat adalah rakyat.11

Atas dasar tersebut maka lahirlah teori demokrasi representatif12. Karena

pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk menentukan

keinginannya setiap saat. Direct democracy adalah suatu bentuk pemerintahan

dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara

langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur-

prosedur mayoritas. Karena faktor populasi penduduk yang terus bertambah maka

tidak memungkinkan dilakukan pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga

harus dicari pemecahan masalahnya. Dan muncullah konsep demokrasi

Perwakilan Rakyat atau yang sering lebih disebut sebagai Demokrasi

Representatif. Akhirnya Demokrasi Representatif ini hampir dilakukan disetiap

negara modern pada saat ini.

Berhubungan dengan ide demokrasi, Ibn Khaldun mengakui bahwa

terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara

atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu dapat mewujudkan

ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara, bahkan dapat

berkembang dan jaya.13

11 Solly, Ilmu Negara, h.35.

12.Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.70

13 Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, h.109-110

Page 15: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Atas dasar pemikiran inilah membuat penulis tertarik untuk melakukan

analisis yang lebih mendalam dan komprehensif dalam penelitian skripsi dengan

judul “IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN

KHALDUN”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, penulis perlu melakukan pembatasan masalah agar

penelitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini ini terfokus pada

sejauhmana ide demokrasi yang ada dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.

Berdasarkan pembatasan pokok masalah di atas, penulis dapat

merumuskan poin-poin yang akan dikaji dalam tulisan ini sebagai berikut :

1. Apakah prinsip konsep ‘ashabiyah sejalan dengan ide demokrasi dalam

pengelolaan hidup bernegara dan bermasyarakat?

2. Sejauhmana cakupan konsep ’ashabiyah terhadap nilai dan prosedur

demokrasi?

3. Bagaimana implementasi ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn

Khaldun?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Page 16: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

1. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai sebuah konsep yang relevan

untuk diterapkan di negara modern.

2. Untuk mengetahui prinsip dan nilai demokratis dalam konsep ‘ashabiyah.

3. Untuk mengetahui konsep ‘ashabiyah sebagai suatu sistem alternatif dalam

tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh derajat kesarjanaan Program Studi Siyasah Syar’iyyah.

2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penelitian dalam konsep

‘ashabiyah Ibn Khaldun dalam tinjauan konsep demokrasi untuk diteruskan

dalam penelitian lainnya yang relevan.

3. Sebagai sumbangan pemikiran dan sekaligus pengembangan khazanah

keilmuan dibidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan Islam.

4. Memberikan pemahaman/informasi terhadap masyarakat dunia bahwa konsep

‘ashabiyah dapat diterima sebagai sebuah konsep demokratis yang masih

relevan untuk diterapkan hingga saat ini.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian dengan bahasan konsep ‘ashabiyah Ibn khaldun tentang

kehidupan bernegara dalam tinjauan ketatanegara Islam ataupun ketatanegaraan

modern telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut

ataupun yang mengkajinya secara umum yang sejalan dengan bahasan penelitian.

Page 17: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya

penelitian tersebut:

Buku pertama, Ibn Khaldun Ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah” . Ia

menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya intelektual

muslim yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi

dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris). Salah

satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah teori ‘ashabiyah (solidaritas

sosial) sebagai landasan terbentuknya sebuah negara atau dinasti. Konsep

’ashabiyah inilah yang menurut penulis sesuai dengan ide demokrasi. Karena

itulah penulis akan menganalisa sejauh mana relevansi ide demokrasi dalam

konsep ’ashabiyah Ibn Khaldun.

Buku kedua, karya A. Eugene Myers, “Zaman Keemasan Islam : Para

Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M.

Maufur al-Khoiri. Buku ini menguraikan tentang kesuksesan Islam dalam hal

menjalankan pemerintahan atau kekuasaan dalam bentuk khilafah atau dinasti

yang membuat dunia Barat banyak merujuk dan mempelajari ilmu tersebut. Salah

seorang pemikir Islam yang hingga saat ini pemikirannya masih dikaji oleh Barat

ialah Ibn Khaldun, utamanya dalam teori ’ashabiyahnya.

Buku ketiga, yang ditulis oleh Osman Raliby, Ibn Khaldun Tentang

Masyarakat dan Negara. Dalam buku ini di uraikan bahwa manusia diciptakan

sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan

Page 18: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, karenanya kehidupan

bermasyarakat dan berorganisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Pendapat

ini agaknya mirip dengan pendapat al-Mawardi dan Abi Rabi’. Buku ini

menguraikan juga konsep ’ashabiyah dalam muqaddimah Ibn Khaldun.

Utamanya dalam proses pembentukan negara.

Buku keempat, yang ditulis oleh Munawir Sjadzali, “Islam dan Tatanegara:

Ajaran, sejarah dan pemikiran”. menguraikan pokok-pokok pemikiran politik

Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dalam salah satu subbabnya ia

menjabarkan pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep ‘ashabiyahnya dalam

pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini tidak menjelaskan secara

rinci ataupun detail mengenai konsep ‘ashabiyah baik itu yang hubungannya

dengan politik atau agama, akan tetapi buku ini lebih kepada poin inti yang

merangkum seluruh bahasan konsep ‘ashabiyah.

Buku kelima, yang ditulis oleh Zainab Khudhairi, “Filasafat Sejarah Ibn

Khaldun”, alih bahasa Ahmad Rafi’. Dalam salah satu babnya terdapat

pandangan Ibn Khaldun mengenai masyarakat nomad (primitive) dan masyarakat

beradab (kota), yang diukur dengan áshabiyah. Buku ini dalam subbanya

membahas konsep ’ashabiyah, namun dalam hal ini penulis hanya menganalisa

dan membandingkannya dengan Ide demokrasi.

Buku keenam, Ali Wardi dan Fuad Baali, Ibn Khaldun dan Pemikiran Islam,

alih bahasa, Ahmad Thaha. Buku ini menjelaskan tentang pemikiran Ibn Khaldun

yang dikaitkan dan diselaraskan dengan pemikiran Islam misalnya dalam hal

Page 19: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

negara atau pemerintahan. Dalam Buku ini juga menyinggung konsep ’ashabiyah

namun lebih kepada pemikiran Ibn Khaldun secara keseluruhan.

Buku ketujuh, Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik

Ibn Khaldun. Buku ini menguraikan suatu tipologi negara dengan tolok ukur

kekuasaan. Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara

ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai generik term dan

pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa

dari suatu siyasi. Dalam buku ini juga menguraikan konsep ‘ashabiyah khususnya

dalam hal perkembangan dan runtuhnya sebuah negara.

Skripsi, Haerussalam, Negara dan Agama: Sebuah Kajian Atas Pemikiran Ibn

Khaldun (2007). Dalam salah satu babnya menguraikan tahapan terbentuknya

negara serta keruntuhannya. Skiripsi ini tidak membahas konsep ’ashabiyah

sebagai landasan pembentukan negara, utamanya dalam proses memperoleh

kekuasaan.

Skiripsi, Abu Bakar Siddik, Konsep pemikiran Ibn Khaldun (2000). Dalam

skiripsi ini dijelaskan bahwa dalam setiap pemikiran Ibn Khaldun tidak bisa lepas

dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis.

Teori ‘ashabiyah-nya dikenal sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa

lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai

kecenderungannya. Adapun kekurangan dari skiripsi ini ialah, latar belakang

lahirnya konsep ’ashabiyah sebagai awal pembentukan negara tidak dibahas.

Page 20: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Oleh karena absennya pembahasan konsep ‘ashabiyah yang hubungannya

dengan ide demokrasi utamanya dalam hal kekuasaan dan pemerintahan, maka

sangatlah relevan dan signifikan jika penulis melakukan analisis ide demokrasi

dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun yang akan penulis tuangkan dalam bentuk

skiripsi.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode

penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan untuk

menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode analitis di

gunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide demokrasi yang ada

dalam konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian

ini lebih menuntut kejelasan peneliti serta sangat menekankan terhadap aspek

analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi dan data yang memiliki

hubungan dengan obyek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat obyek penelitian ini menyangkut kajian sejarah dan pemikiran, maka

pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan historis yaitu sebuah

pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan

Page 21: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta mensintesiskan bukti-bukti

untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.14

3. Sumber Data.

Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam mengumpulan data,

yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder15. Adapun rincian masing-

masing sumber adalah:

a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Muqaddimah Ibn Khaldun yang

secara akademis telah dipandang otoritatif.

b) Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang

berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada

relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini di dasarkan pada riset pustaka

(Library Research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan-

penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan

dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dan informasi diperoleh

14 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2004), h.73.

15 Ibid., h.74.

Page 22: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

berdasarkan bahan-bahan yang ada di perpustakaan, baik berupa arsip, dokumen,

majalah maupun lainnya.16

5. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah penelitian,

terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki tahap penetapan hasil

temuannya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data penulis menggunakan metode

deskriptif, yaitu dengan cara memaparkan dan menguraikan pokok-pokok

permasalahan secara menyeluruh; komparatif yaitu sebuah metode perbandingan

dengan cara menganalisa data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan

untuk menghasilkan sebuah pemikiran yang padu.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH

UIN Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skiripsi ini di bagi atas (5) lima bab bahasan,

dengan perincian sebagai berikut :

16 Consuelo G Sevilla (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian, cet.I, (Jakarta: UI Pres, 1993),

h. 37

Page 23: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas ide demokrasi secara umum. Defenisi demokrasi, sejarah

perkembangan demokrasi, prinsip-prinsip demokrasi dan sistem

pemerintahan.

BAB III : Memaparkan konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun, yang terdiri dari, biografi

dan setting sosial Ibn Khaldun, Latar belakang lahiranya pemikiran

‘ashabiyah. Peran ‘ashabiyah dalam sosial politik terdiri dari,

’ashabiyah dan kekuasaan, ’ashabiyah sebagai fondasi kekuasaan dan

kedaulatan. Peranan ‘ashabiyah dalam agama, dan ashabiyah

menopang Agama (syariat).

BAB IV : Berisikan analisis tentang ide demokrasi dalam konsep ’ashabiyah Ibn

Khaldun. Pembahasannya meliputi ide demokrasi dalam konsep

’ashabiyah sebagai dasar pembentukan negara dan pemerintahan,

negara dan pemimpin, bentuk-bentuk pemerintahan. Implikasi konsep

‘ashabiyah bagi negara dan masyarakat, perkembangan dan runtuhnya

negara, tahap pendirian negara, tahap pemusatan kekuasaan, tahap

kekosongan dan kesantaian, tahap ketundukan dan kemalasan, tahap

keruntuhan kekuasaan. Hubungan prinsip demokrasi dalam konsep

’ashabiyah Ibn Khaldun, supremasi hukum, persamaan hak,

pemimpin berasal dari partai besar (pemilu)

Page 24: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB V : Sebagai penutup bagi keseluruhan rangkaian pembahasan sebelumnya,

menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang dapat penulis ambil dan

saran-saran relevan yang dapat penulis kemukakan.

Page 25: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB II

TINJAUAN UMUM DEMOKRASI

A. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno yang

terdiri dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” atau “Kratein” berarti

kekuasaan atau berkuasa, jadi demokrasi menurut asal kata berarti “rakyat

berkuasa” atau “government or rule by the people”.17 Dengan kata lain demokrasi

adalah pemerintahan oleh rakyat; atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi

berada dalam keputusan rakyat.18

Secara terminologis, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi

merupakan suatu perencanaan institusional untuk menyampaikan keputusan

politik individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara

perjuangan kompetitif atau suara rakyat. Sidney Hook berpendapat bahwa

demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang mana keputusan-keputusan

pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada

kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat yang sudah

dewasa. Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn menegaskan bahwa demokrasi

17 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XIX. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2005), h.50. 18 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.III. (Jakarta: Gaya Media Pratama,

1995), h.165.

Page 26: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

merupakan suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung

jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang

bertindak secara langsung, melalui para wakil mereka yang terpilih. Menurut

Hendry B. Mayo, demokrasi merupakan sistem politik yang menunjukkan bahwa

kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang

diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik.19

Menurut Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Crities, seperti

dikutip Syamsuddin Haris, demokrasi merupakan sarana, bukan tujuan utama,

untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan

manusia (baik secara individu maupun kolektif), perlindungan terhadap nilai

(harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.20 Sementara

bagi Willy Eichler, esensi demokrasi adalah proses, karenanya ia merupakan

sistem yang dinamis menuju ke arah yang lebih baik dan maju dibanding dengan

yang sedang dialami masyrakat (negara), atau sebelumnya.21

Maka makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan

bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan

dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai

19 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Renada Media, 2003), h.110.

20 Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, cet.I. (Jakarta: LP3ES, 1995), h.5

21 Nurcholis Madjid, “Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia.” Dalam Elsa Pedi Taher, ed., Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, cet.I, ( Jakarta: Paramadina, 1994), h.203.

Page 27: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat.

Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang

diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut

organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat

sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.22

B. Sejarah Perkembangan Demokrasi

Demokrasi dalam sejarah, mengalami pertumbuhan dan perkembangan

melalui proses-proses historis yang sangat panjang dan komplek. Ide demokrasi

bukanlah ide yang mudah dipahami, sebab ia memiliki konotasi makna, variatif,

evolutif dan dinamis. Untuk keperluan dan memudahkan proses penulisan skripsi

ini. Penulis tidak menjabarkan secara mendetail dan menyeluruh, melainkan

hanya membaginya dalam babakan-babakan yang berdasarkan periode.

Pertama, pada masa Yunani Kuno, abad ke-6 sM sampai ke-4 M. Pada

masa ini, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi langsung (direct

demokracy), artinya rakyat membuat keputusan-keputusan politik dan dijalankan

secara langsung oleh seluruh warga negara. Di mana warga negara memiliki hak

dan kewajiban yang sama di depan hukum, merumuskan undang-undang, dan

tidak diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara.23 Praktek

22 Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,

h.111 23 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Univ. Atmaja,

2000), h.58.

Page 28: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

demokrasi langsung untuk pertama kalinya diterapkan di negara- kota (city-state)

Athena, Yunani Kuno. Praktik demokrasi inilah yang menjadi salah satu faktor

bagi munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pasca kekalahan negara-

kota Athena dari Sparta. Yaitu, negara kesejahteraan (walfare state), yang digagas

oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato, Aristoteles (384-323 sM), M. Tullius

Cicera (106-43 sM), dan lainnya.

Kedua, abad pertengahan (600-1400 M). Masa ini ditandai oleh pola

kehidupan negara yang bersifat feodalistik dan mengagung-agungkan bangsawan,

gereja sebagai lembaga agama di bawah kepemimpinan Paus memainkan peran

sangat besar, bahkan gereja membawahi negara. Pada masa ini pula, banyak

terjadi perebutan kekuasaan untuk mempengaruhi raja yang dilakukan oleh para

bangsawan, dan munculnya konsep demokrasi melalui Magna Charter (Piagam

Besar) diakhir abad pertengahan sebagai tonggak perkembangan gagasan

demokrasi. Piagam ini berintikan perjanjian antara kaum bangsawan dan raja John

di Inggris, untuk mengakui dan menjamin hak-hak (privileges) rakyat sebagai

imbalan bagi penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.24 Selain itu,

piagam ini juga memuat dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya

pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari

kedaulatan negara.25

24 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet.XXVII, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2005), h.54. 25 Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, h.65.

Page 29: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Ketiga, abad renaisance (1350-1600 M) dan reformasi (1500-1650 M).

Renaisance adalah ajaran yang ingin menghidupkan kembali minat pada

kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan

disisihkan. Sedangkan reformasi adalah revolusi agama yang terjadi di Eropa

Barat yang berkembang menjadi azaz-azaz protestanisme, seperti perjuangan

menentang kekuasaan sewenang-wenang atas nama agama, desakralisasi

kekuasaan gereja, memperjuangkan kebebasan beragama, kebebasan berfikir,

kebebasan mengemukakan pendapat. Dan pemisahan secara tegas antara wilayah

agama (gereja) dan negara. Dua kejadian ini telah mempersiapkan Eropa masuk

kedalam Aufklarung (abad pemikiran) dan rasionalisme yang ditandai oleh

merebaknya gagasan-gagasan demokrasi yang menjadi perhatian khusus banyak

pemikir seperti Nicollo Machiavelli (1469-1527 M), Thomas Hobbes (1588-1679

M), John Locke (1632-1704 M), Montesquieu (1689-1755 M) dan Jean Jacques

Rousseau (1712-1778 M).26 Mereka inilah para kampiun gagasan demokrasi

Barat, dan telah mendorong bagi lahirnya Revolusi Amerika (1774-1783 M) dan

Revolusi Prancis (1786 M).

Di abad modern, mulai pada abad ke-19, muncul pola pikir dan inspirasi

baru bagi gerakan politik yaitu, demokrasi menjadi model yang diakui secara luas

untuk pengorganisasian secara mandiri. Demokrasi muncul untuk mengatasi

masalah-masalah terutama terkait dengan, bagaimana masyarakat dapat mencapai

26 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2001), h.299-300

Page 30: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kesepakatan untuk mengatur tata tertib kehidupan bersama meski sistem nilai dan

agamanya berbeda? Bagaimana cara menata kekuasaan politik agar selaras

dengan kepentingan nilai dan aspirasi rakyat, serta bertindak atas nama mereka?

Bagaimana menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia?

Demokrasi akhirnya menemukan jati dirinya dalam kehidupan modern, yaitu

membangun pemerintahan melalui proses pemilihan bebas, adanya pengawasan

terhadap penguasa, serta pemisahan pusat-pusat kekuasaan.27

C. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme

pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Berdasarkan defenisi

demokrasi di atas dapat diambil pengertian bahwa demokrasi mengandung unsur-

unsur kekuasaan mayoritas, suara rakyat, pemilihan yang bebas dan

bertanggungjawab. Hal ini berarti bahwa dalam penggunaan istilahnya, demokrasi

didefenisikan dalam pengertian yang lebih filosofis, yakni ide kedaulatan rakyat

sebagai lawan dari ide kedaulatan monarki. Di samping defenisi-defenisi tersebut,

ada juga konsep demokrasi yang diajukan oleh negara-negara komunis dan

negara-negara dunia ketiga, termasuk negara Muslim.

Kesemua konsep-konsep ini dimaksudkan untuk membenarkan

kebijakan pemerintah, juga untuk menyesuaikan konsep demokrasi dengan nilai-

27 Thomas Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, cet.II, (Jakarta: Friedrieh

Ebert Stiftung, 2003), h.2-4

Page 31: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

nilai dan budaya bangsa tertentu. Meskipun demikian ada tiga prinsip demokrasi

yang harus dipenuhi oleh sebuah sistem yang demokratis, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip demokrasi yang pertama adalah kebebasan. Demokrasi tidak mengenal

kamus pemaksaan, tetapi setiap individu dan kelompok mempunyai

kebebasan masing-masing.

2. Prinsip yang kedua dari demokrasi hendaknya kebebasan individu yang satu

tidak mengganggu kebebasan yang lain. Artinya, semua orang mempunyai

kebebasan, tetapi karena setiap orang mempunyai kebebasan, maka akan

terjadi benturan kebebasan denga orang lain. Bila ini dibiarkan, akan terjadi

anarki. Padahal demokrasi berbeda dengan anarki. Demokrasi yang tanpa

aturan akan menjadi anarki, karena kekuatan yang besar bisa menjadi

ancaman bagi keadilan dan hak orang lain. Karena itu demokrasi sangat

menganjurkan pentingnya aturan hukum maupun bentuk pengaturan yang

lain, agar berbeda dengan anarkisme.

3. Prinsip demokrasi yang ketiga adalah keterlibatan rakyat dalam mengambil

keputusan pemerintah, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan

sangatlah penting, karena disitulah intinya.28

Keterlibatan atau partisipasi rakyat adalah hal yang paling mendasar

dalam demokrasi, karena demokrasi bukan hanya berkaitan dengan tujuan sebuah

28 J. Soedjati Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, (THE RIDEP

INSTITUTE, 2003), h.7-8.

Page 32: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

ketetapan yang dihasilkan oleh suatu pemerintahan, tetapi juga berkaitan dengan

seluruh proses dalam membuat ketetapan itu sendiri.

Oleh karena itu, demokrasi mengandung elemen-elemen mendasar yang

perlu diperhatikan dan dipahami. Elemen-elemen itu adalah:

1. Demokrasi mengakui kesetaraan setiap individu. Artinya setiap warga negara

memiliki kedudukan yang sama, tidak ada yang tinggi atau yang rendah itu

adalah elemen mendasar yang merupakan inti dari demokrasi.

2. nilai-nilai yang ada pada setiap individu mengatasi nilai-nilai yang ada pada

demokrasi. Maknanya adalah demokrasi tidak merupakan nilai kosong, tetapi

sangat ditentukan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.

3. Pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena dalam demokrasi,

pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan

kekuasaan yang sejati.

4. Toleransi dari yang mayoritas kepada yang minoritas. Di sini tercermin pula

saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil.

5. Adanya musyawarah dalam memutuskan setiap persoalan, bukan ditentukan

sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani

mayoritas.

6. Adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya. Demokrasi tanpa

aturan hukum akan menjadi anarkis, karena itu hukum menjadi dasar yang

paling penting.

Page 33: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

7. Adanya cara untuk mencapai tujuan bersama, apakah itu prosedur atau

mekanisme maupun tata caranya. Semuanya harus mengikuti kaidah-kaidah

demokrasi. Demokrasi yang baik harus pula dilakukan dengan cara yang

baik.29

Sekarang ini istilah demokrasi bagi banyak orang dianggap sebagai kata

yang mengimplikasikan nilai-nilai perjuangan untuk kebebasan dan jalan hidup

yang lebih baik. Demokrasi bukan hanya merupakan metode kekuasaan mayoritas

melalui partisipasi rakyat dan kompetisi yang bebas, tetapi juga mengandung

nilai-nilai universal, khususnya nilai-nilai persamaan, kebebasan dan pluralisme,

walaupun konsep-konsep operasionalnya bervariasi menurut kondisi budaya

negara tertentu.

Menurut Thomas R. Dye dan Harmon Zeilgler, ide dasar dari demokrasi

merefleksikan empat hal. Pertama, merupakan partisipasi rakyat di dalam

keputusan yang membentuk kehidupan individu-individu dalam suatu

masyarakat. Kedua, merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas

dengan pengakuan hak-hak minoritas, yaitu hak kebebasan berbicara, berserikat,

berkumpul, mendapatkan informasi, menciptakan partai oposisi, dan menjalankan

jabatan-jabatan public. Ketiga, merupakan komitmen untuk menghargai individu

dan menjamin nilai-nilai kehidupan yaitu, kebebasan dan kepemilikan. Dan

29 Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, h.9

Page 34: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Keempat, suatu komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap

orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.30

Eksistensi demokrasi juga berkaitan dengan hak asasi manusia. Philippe

C. Schimtter dan Tery Lyn Karl bahkan mengkarakterisasikan demokrasi bukan

sebagai kekuasaan “otokrasi, otoritarian, zalim, dictator, tirani, totalitarian,

absolute, tradisional, monarki, oligarki, plutokrasi, aristokrasi, dan kesultanan”.31

Hal ini juga berarti bahwa demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi

formal, tetapi juga dengan eksistensi nilai-nilai dalam kehidupan sosial politik.

D. Sistem Pemerintahan

Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan

masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga

fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi, keamanan

sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinyu, Quo dan demokrasi

dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem

pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa

mempraktekkan sistem pemerintahan itu. Secara sempit, sistem pemerintahan

hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna

30 Djiwandono, Demos Kratos-Demokrasi: Panduan Bagi Pemula, h.10

31 Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1930), h.79-80

Page 35: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya

prilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.32

Filsafat politik yang mendasari sistem pemerintahan pada prinsipnya

bersifat universal dan dapat diterapkan pada semua lapisan masyarakat dewasa

ini. Sebaiknya sistem pemerintahan yang berkembang di berbagai negara dalam

berbagai era sangat bervareasi. Dalam negara demokrasi modern dapat dijalankan

dengan berbagai sistem pemerintahan. Dua model sistem pemerintahan yang

utama adalah sistem pemerintahan parlementer dan presidensil. Kedua sistem itu

di banyak negara kemudian mengalami banyak penyesuaian dengan keadaan dan

dinamika sosial, politik, budaya dan ekonomi masing-masing negara tersebut,

sehingga tidak ada lagi negara yang dapat dikatakan merupakan penjelmaan dari

kedua sistem tersebut secara murni. Perbedaan utama di antara keduanya adalah:

Sistem presidensial merupakan tatanan negara yang berdasarkan pada

konsep trias politika yang dijadikan pedoman bagaimana lembaga-negara harus

bekerja; sedangkan sistem parlementer terjadi sebagai hasil perkembangan sejarah

negara yang bersangkutan. Kata Hans Kelsen, jika ingin melihat bagaimana

negara menjalankan sistem pemerintahannya cukup dilihat pada Undang-Undang

32 Hidayatul haq, Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi, artikel

diakses pada 06 September 2008 dari http://www.hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/

Page 36: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Dasar (UUD) nya, sebab dari Undang-undang-nyalah segala sesuatu berkaitan

dengan negara akan terlihat.33

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kedudukan yang kuat

dalam pembuatan keputusan dan kekuasaan politik yang kuat pula. Kekuasaan

politik presiden seringkali disejajarkan dengan parlemen atau bahkan lebih kuat

dari parlemen. Sebaliknya dalam sistem parlementer, parlemen merupakan satu-

satunya lembaga perwakilan tertinggi untuk pengambilan keputusan. Peranan

presiden dalam kasus ini terbatas hanya pada tugas-tugas mewakili negara dan

penengah dalam situasi konflik. Dalam sistem parlementer, kekuasaan

pengambilan keputusan politik dijalankan oleh wakil-wakil rakyat sesuai dengan

hasil pemilihan umum. Sebaliknya dalam sistem presidensial, kepala negara yang

dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kekuasaan mandiri baik kekuasaan

dalam membentuk pemerintahan maupun dalam penyusunan undang-undang.34

Sistem presidensial, memiliki keuntungan karena dapat menciptakan

unsur kesinambungan dan stabilitas dalam proses politik. Hal ini berlaku jika

kelompok-kelompok di parlemen jumlahnya banyak dan heterogen, sehingga

kecil kemungkinan tercapainya konsesus di antara mereka untuk menggoyahkan

kedudukan pemerintah. Walaupun demikian, sistem presidensial memiliki batasan

kepala negara yang jelas, untuk menghindari terjadinya konsentrasi kekuasaan

33 Sulardi, ”Sistem Presidensial”, artikel diakses pada 19 April 2008 dari

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/29/opini/pusa04.htm 34 Meyer, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan, h.18-19

Page 37: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

yang hampir menyerupai kediktatoran. Jika lembaga-lembaga penyeimbang

seperti parlemen, pemerintah, partai, masyarakat sipil lemah, maka mutu

demokrasi presidensial dapat merosot secara tidak terkendali bahkan menciptakan

kediktatoran.

Isu utama dalam perdebatan tentang sistem pemerintahan demokrasi

adalah hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagaimana telah

dibahas dalam uraian-uraian sebelumnya, kekuasaan lembaga eksekutif adalah

kekuasaan sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Ia

merupakan perancang dan pelaksana utama dari kebijakan-kebijakan negara.

Sedangkan lembaga legislatif yang muncul dari kerangka pemikiran untuk

menyeimbangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam

perspektif kedaulatan rakyat merupakan lembaga yang mewakili kehendak dan

kepentingan kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat dan diwujudkan

dalam pembentukan undang-undang. Perdebatan yang kemudian berlanjut dalam

kaitannya dengan isu utama ini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan

kekuasaan di antara kedua lembaga ini agar tujuan untuk mengantisipasi dan

mengeliminasi kecenderungan penyelewengan kekuasaan dari masing-masing

lembaga dapat dilakukan secara optimal. Persoalan-persoalan yang diajukan

untuk dijadikan bahan penilaian dalam mempertimbangkan kelebihan dan

kekurangan dari masing-masing sistem adalah stabilitas pemerintahan, partisipasi

politik dan pergolakan politik.

Page 38: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya tidak

merupakan kriteria-kriteria yang pasti berlaku dalam negara-negara yang

menganut masing-masing sistem. Sebagian negara-negara modern bahkan

menggunakan sistem-sistem utama tersebut dengan berbagai modifikasi dan

variasi. Hal ini dikarenakan kedua sistem tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing, selain itu keduanya tidak serta merta dapat

diadopsi utuh tanpa mempertimbangkan sistem politik, ekonomi dan sosial-

budaya masing-masing negara.35

35 Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah (Jakarta: UI Press, 1996), h.50.

Page 39: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB III

TINJAUAN KONSEP ‘ASHABIYAH IBN KHALDUN

A. Biografi dan Setting Sosial Ibn Khaldun

Ibn Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin

Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia,

1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan

silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali

bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki

daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak

membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibn Khaldun. Bani Khaldun ini

tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol),

selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun

menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang ilmu

pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-

Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah

ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di

Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, pemimpin

Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia

Page 40: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik

dan ulama yang hijrah ke Andalusia. 36

Ibn Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan

Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan

Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini

kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan

politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan

juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah

tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai

hidup dan karir Ibn Khaldun.37

Ibn Khaldun meniti karirnya dibidang pemerintahan dan politik di

kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam

kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali

bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke

pengusaha yang lain pada dinasti yang sama.38 Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350

M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari dinasti Hafs, tetapi ia

kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibn

36 Rahman Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam, Cet.II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.274. 37 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta

:Universitas Indonesia Press, 1993), h.90-91 38 Ibid., h.91-92.

Page 41: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia

berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/

1354 ia diangkat menjadi anggota majelis ilmu pengetahuan, dan kemudian

menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M

dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat wazir Usman bin Abdullah marah

kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke

Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.

Ketika hubungannya dengan sultan mengalami keretakan, ia berpindah

haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian

mengangkatnya sebagai perdana mentri merangkap khatib negara, sampai Bijayah

jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad.39 Pada masa ini, Ibn Khaldun di angkat

lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia

berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada sultan Tilmisan dari Bani

Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam

kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibn Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang

bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibn

Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak

kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.40

39 Zainuddin,, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi

II, h.274. 40 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, penerjemah Ahmad Thaha

(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989). h.22.

Page 42: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibn

Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu

memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia

memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik.41 Sekalipun usahanya

tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara

kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota

Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti

sejarah dan menulis Muqaddimah.42

Pada tahun 780 H/1378 M, Ibn Khaldun kembali ketanah airnya Tunisia,

disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M ia

berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di

Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibn Khaldun mengambil jalur di

dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat

disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena

sosial. Ibn Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk

keenam kalinya sebagai hakim, dan dimakamkan dikawasan pemakaman orang

sufi di Kairo (Mesir).43

41 Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.29.

42 Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmad Rafi’ (Bandung:

Pustaka, 1995), h.15. 43 Ibid., h.31.

Page 43: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

B. Latar Belakang Lahirnya Pemikiran ’Ashabiyah

‘Ashabiyah secara etimologis berasal dari kata “ashabah” yang berarti

mengikat kesukuan atau kelompok solidaritas untuk menghadapi pihak luar.44

Penulis menerjemahkan ‘ashabiyah dengan keluarga, kelompok para sahabat,

semangat ras kelompok, patriotisme, nasionalisme, semangat nasional, dan partai.

Adapun ‘ashabiyah adalah rasa solidaritas social atau solidaritas kesukuan.

Secara terminologis, menurut Oesman Raliby (Cendekiawan Muslim

Indonesia) mengartikan ‘ashabiyah dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi

(sejahrawan dan pengamat politik Islam) mengartikannya sebagai social

Solidarity (solidaritas sosial), Frans Roshental (Orentalis/sejahrawan)

menerjemahkannya menjadi group feeling (perasaan golongan), Charles Issawi

(orentalis), mengalihbahasakannya dengan solidarity (solidaritas) dan Philip K.

Hitti (orentalis) mengartikannya sebagai tribal spirit (semangat kesukuan) atau

the spirit of the clan (semangat suku atau kaum).45

Menurut Abd. al-Raziq al-Makki, dalam karyanya al-Fikr al-Falsafi ‘inda

Ibn Khaldun, kata ‘ashabiyah erat kaitannya dengan kata ‘ashab yang berarti

hubungan dan kata ‘ishabah yang berarti ikatan. Awalnya kata ‘ashabiyah berarti

ikatan mental, yang menghubungkan orang-orang yang mempunyai hubungan

44 Cyril Glase, Ensiklopedi Islam (ringkas), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.117

45 Ibid, h.176.

Page 44: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kekeluargaan. Ini sesuai dengan perkataan orang Arab yang menyebut keluarga

dengan kata ‘ashabah.46

‘Ashabiyah tidak ada kecuali dikalangan orang-orang desa, sementara bagi

kalangan orang-orang kota kadar ‘ashabiyah telah berkurang, sekalipun

solidaritas sosial masih kita temukan di kota. Mengapa demikian? Karena

kehidupan kota telah melemahkan ‘ashabiyah, akibat terbuai dengan kemewahan

dan kelezatan hidup. Sementara di desa dengan kesederhanaannya ia akan tetap

memelihara kekuatan ‘ashabiyah, dengan demikian syarat pertama adalah adanya

struktur kesukuan.47

’Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seseorang untuk membela dan

mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung didalamnya

dengan sekuat mungkin. Keluarga yang dimaksud adalah orang yang berasal dari

garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan membela Klanya.

‘Ashabiyah dalam pengertian demikian adalah terpuji. Sedangkan ‘ashabiyah

yang tidak terpuji adalah ‘ashabiyah atau solidaritas orang-orang sesuku untuk

melawan suku-suku yang lain tanpa landasan agama, terlepas orang-orang

tersebut termasuk penindas atau yang tertindas. Dalam Fatawa al Khairiyyah di

uraikan bahwa di antara larangan untuk menerima persaksian adalah ‘ashabiyah,

yakni seseorang membenci seseorang yang lain karena orang tersebut masuk

46 Abd. al-Raziq al-Makki, al-Fikr al-Falsafi’ Inda Ibn Khaldun (Iskandaria: Mu’assasah al-

Tsaqafah al-Jami’iyyah, 1970), h.155. 47 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.147.

Page 45: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

dalam suku X atau suku Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan

dengan ini Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada ‘ashabiyah

tidak termasuk kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan

persaksian pelakunya tidak dapat diterima.48

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah yang baik

adalah ‘ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan solidaritas yang

berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah yang menjadi motivasi

satu-satunya yang mendorong suatu suku memerangi suku lainnya.49 Ini

disebabkan karena hubungan darah memiliki kekuatan yang mengikat pada

manusia setiap ummat manusia, yang membuat mereka ikut merasakan akan

setiap penderitaan yang menimpa kaumnya.

Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk membenci penindasan dan

menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya. Adanya hubungan

kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu membantu, lebih disebabkan

karena adanya hubungan nashab (ikatan darah), dan inilah bentuk ’ashabiyah

yang sesungguhnya. Apabila tingkat kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah

akan sedikit melemah, maka sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang

didasarkan pada pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun

demikian, setiap orang ingin membantu orang lain (family) sebab ia khawatir

48 Abd. al-Rahman Ibnu Khaldun, Al-Ta’rif bi Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan

(Kairo: Lajnah al-Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951), h.27. 49 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.142.

Page 46: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

akan kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya

melindungi seseorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia ada

hubungan keluarga dengannya.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pelajarilah silsilah keturunanmu untuk

mengetahui siapa saudaramu sedarah yang dekat”, yang berarti bahwa

persaudaraan hanyalah berarti apabila pertalian darah itu membawa pada

kerjasama yang sebenarnya dan bantu membantu pada saat kesusahan.

Kenyatannya ialah bahwa hubungan yang demikian itu lebih bersifat emosional

dan tidak memiliki realitas. Dalam arti bahwa hubungan itu hanya berguna untuk

mendekatkan hati dan kecintaan orang. Apabila persaudaraan terlihat nyata, maka

ia akan berguna sebagai pendorong yang wajar kearah ‘ashabiyah. Jika

‘ashabiyah didasarkan pada sekedar pengetahuan tentang keturunan dari nenek

moyang yang sama, maka ia akan lemah dan mempunyai pengaruh yang rendah

terhadap perasaan, oleh karena itu ‘ashabiyah hanya mempunyai sedikit dampak

yang nyata.50

Dengan demikian ‘ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya meliputi

satu keluarga saja, yang satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh tali

kekeluargaan, tetapi juga meliputi hubungan yang timbul akibat terjadinya

persekutuan. Dalam muqaddimah Ibn Khaldun dijelaskan bahwa ‘ashabiyah juga

50 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986),

h. 152.

Page 47: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

meliputi hubungan yang timbul akibat perbudakan dan penyewaan tentara,

sedangkan kegunaan silsilah kekeluargaan adalah yang ditimbulkannya.51

Perbedaan hal ikhwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara mereka

memperoleh penghidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain hanyalah untuk

saling membantu dalam memperoleh penghidupan, dan untuk memenuhi

kebutuhan hidup yang sederhana sebelum mereka mencari kehidupan yang lebih

tinggi.52

Di antara mereka ada yanga hidup bertani, adapula yang hidup beternak

untuk dikembangbiakkan atau diambil hasilnya. Kehidupan mereka

bermasyarakat dan saling membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup dan

peradaban, seperti makanan, perlindungan, dan panas, mereka tidak gentar untuk

memperolehnya lebih dari batas kebutuhan guna melangsungkan kehidupan

menurut batas kebutuhan hidup. Tak lebih dari itu, sebab mereka tidak mampu

memperoleh lebih. Kemudian, apabila kondisi mereka semakin nyaman dan

memperoleh kekayaan dan kemewahan diatas batas yang dibutuhkan, mereka

hidup tenang. Dengan demikian mereka akan saling bantu membantu dalam

memperoleh sesuatu diatas batas kebutuhan. Mereka mempergunakan banyak

makanan, pakaian, dan berbangga diri dengan itu semua. Selanjutnya mereka pun

membangun rumah-rumah besar dan mempercantik kota untuk tempat berlindung.

51 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.143.

52 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.141.

Page 48: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Inilah yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Ibn Khaldun tentang ‘ashabiyah,

sebagaimana yang diuraikan diatas- rasa solidaritas atau saling tolong menolong

terhadap sesama untuk tujuan-tujuan bersama.

C. Peran ‘Ashabiyah Dalam Sosial Politik

‘Ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan

negara atau dinasti. ‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang

tokoh yang mendapat dukungan dari keluarganya dan pengikutnya. ‘Ashabiyah

merupakan kekuatan politik yang mendorong pembentukan negara atau dinasti.

‘Ashabiyah mensyaratkan adanya pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat

dukungan dari keluarga dan pengikutnya. Dalam konsep ’ashabiyah tidak semua

orang bisa menjadi pemimpin, sebab pimpinan diperoleh dengan kemenangan,

oleh karena itu ’ashabiyah pimpinan harus lebih kuat daripada ’ashabiyah-

ashabiyah lain agar kemenangan tersebut dapat terwujud.53

Menurut Ibn Khaldun kepemimpinan bukan merupakan kekuasaan “de

jure” tetapi merupakan kekuasaan “de facto” dan kepemimpinan diperoleh

dengan kemenangan, yakni dengan penggunaan kekuatan. Dengan demikian

kepemimpinan terpusatkan pada salah satu cabang ‘ashabiyah yang paling kuat.

‘Ashabiyah sendiri merupakan suatu bentuk khusus organisasi politik dengan

puncaknya suatu aritokrasi kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi

53 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, h.114.

Page 49: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

yang bebas. Jadi apabila di antara anggota-anggota suku terjadi persamaan, maka

tidaklah demikian dalam hubungan mereka dengan para pemegang

kepemimpinan. Masyarakat desa merupakan syarat primer adanya ‘ashabiyah,

dibalik itu ada sebagian suku-suku tidak memiliki ‘ashabiyah, yaitu suku-suku

yang tunduk kepada suku lain. Atau suku tersebut tidak dapat mempertahankan

dirinya sendiri, dan harus membayar pajak, maka pimpinannya tidak dapat

memerintah sesuai dengan kehendaknya sendiri.54

1. ’Ashabiyah dan Kekuasaan

Adapun tujuan yang hendak dicapai ‘ashabiyah adalah kekuasaan.

Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “Bahwa kemenangan terdapat di pihak

yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-anggotanya lebih

sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama.” Kedudukan

sebagai raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena

kedudukan memberikan kepada pemeganya segala kekayaan duniawi dan juga

kepuasan lahir batin. Karena itulah kekuasaan menjadi sasaran perebutan dan

jarang sekali di lepaskan dengan suka rela kecuali dibawah paksaan. Perebutan

menimbulkan perjuangan dan peperangan dan runtuhnya singgasana-singgasana.

54 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.153.

Page 50: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Semuanya itu tidaklah dapat terjadi kecuali dengan ‘ashabiyah atau solidaritas

social.55

Tetapi bila kekuasaan telah berdiri teguh dan mereka yang dikuasai telah

pula terbiasa dengan kekuasaan yang ada, maka menurut Ibn Khaldun, alat-alat

kekuasaan kurang memegang peranan, termasuk ‘ashabiyah, seperti yang terdapat

pada waktu menegakkan kekuasaan semula. Dalam keadaan demikian penguasa

dan orang-orang yang telah membantunya menegakkan kekuasaan itu mulai

melihat kepada hal-hal lain yang dirasakan menarik, terutama pada kemewahan

yang datang tanpa dicapai. Karena pada dasarnya, dan menjadi tabiatnya pula

bahwa kekuasaan itu di iringi dengan kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya

mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini

akan melemah karena kemewahan itu mengandung sifat yang merusakkan

manusia, yaitu pada ahlaknya. Ia akan melupakan seseorang tentang kewajiban-

kewajibannya yang sesuai dan harus dipenuhi sebagai seorang penguasa. Ini akan

melemahkan ‘ashabiyah tadi, dan dalam keadaan demikian seorang penguasa

akan mendasarkan kekuasaannya pada serdadu upahan atau tentara bayaran. Bila

ini terjadi sekurang-kurangnya untuk sementara perkembangan akan menuju

kepada pemusatan kekuasaan dan kekerasan untuk memaksakan kehendak oleh

golongan yang mula-mula menegakkan daulah. Pemusatan kekuasaan itu tidak

dibenarkan, ‘ashabiyah pada awalnya akan menyuruh orang untuk membagi

55 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.122.

Page 51: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kemenangan dan kemegahan yang diperoleh secara bersama-sama. Bila timbul

juga pemusatan kekuasaan, maka rasa golongan itu akan hancur.56 Menurut Ibn

Khaldun bila mana suatu ‘ashabiyah dalam keadaan kuat ia akan menaklukkan

‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya yang lebih lemah, keadaan yang demikian ini

berlangsung sampai ‘ashabiyah tersebut memperoleh kesempatan untuk

menguasai Negara.

Ibn Khaldun membedakan antara ‘ashabiyah dan kedaulatan dan antara

pimpinan ‘ashabiyah dan raja. Menurut Ibn Khaldun dalam hal ini: “Kita telah

mengetahui bahwa tiap-tiap masyarakat manusia membutuhkan kekuatan

pencegahan dan seorang pemimpin yang mampu mencegah manusia dari saling

sakit menyakiti, pemimpin seperti itu harus memiliki kekuatan pembantu di

tangannya, sebab jika tidak ia tidak dapat menjalankan tugas itu. Kekuasaan yang

dimilikinya adalah kedaulatan yang melebihi kekuasaan seorang kepala suku.

Sebaliknya kedaulatan adalah memerintah dengan paksa melalui alat kekuasaan

yang ada ditangan orang yang memerintah tersebut. Orang-orang yang

memerintah selalu berupaya meningkatkan kekuasaannya, karena itu seorang

pemimpin yang mendapat pengikut tidak akan mensia-siakan kesempatan

mengubah kekuasaannya itu menjadi kedaulatan (dinasti) bila ia bisa. Sebab

kekuasaan adalah keinginan jiwa manusia, dan kedaulatan hanya bisa didapat

dengan bantuan para pengikut, orang yang berkuasa itu tergantung kepada

56 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000), h.72

Page 52: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

persetujuan rakyatnya. Dan tujuan terakhir dari ’ashabiyah adalah kedaulatan atau

kerajaan. 57

Dengan demikian seorang pemimpin ’ashabiyah atau suku merasa cukup

dengan kekuasaan mental atas anggota-anggota sukunya. Sementara seorang raja

tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali lewat ‘ashabiyah maka kekuasaannya

adalah mutlak sampai ke peringkat intimidasi dan dominasi mutlak. Hal ini

karena kedaulatan kerajaan, seperti yang di ungkapkan Ibn Khaldun dalam teks

diatas, merupakan salah satu fase kekuasaan bila mana kondisi-kondisi yang ada

menopang, namun asas keduanya adalah ‘ashabiyah.

2. ’Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan

‘Ashabiyah adalah kekuatan penggerak negara dan merupakan landasan

tegaknya suatu negara atau dinasti. ’Ashabiyah juga merupakan kekuatan

pemersatu dan mampu melindungi kelompok dan mempercepat kemenangan

kelompok itu atas ‘ashabiyah-‘ashabiyah lainnya serta sebagai peredam

pertentangan-pertentangan dalam tubuh sendiri. Lebih jauh lagi ‘ashabiyah selalu

membuat terjadinya perubahan yang mengakibatkan terwujudnya kehidupan yang

lebih baik. Dan ‘ashabiyah juga merupakan struktur sosio-politik yang membuat

terjadinya peralihan dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat berkelas.

Pada permulaannya aristokrasi kesukuan didasarkan pada struktur sosio-politik

57 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.154.

Page 53: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

yang berlandaskan persamaan. Dan setiap kali aristokrasi itu semakin kuat ia akan

semakin tanpak sebagai suatu kelas yang kepentingannya bertentangan dengan

kepentingan anggota-anggota suku lain, akibatnya goncanglah struktur kesukuan

yang pada dasarnya di dasarkan pada persamaan. Namun kegoncangan ini pada

batas tertentu dapat di pandang progresif, sebab ia merupakan permulaan

peralihan menuju sistem produksi yang lebih efektif.

‘Ashabiyah juga mempunyai peran yang besar perluasan negara setelah

sebelumnya ia merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Jadi bilamana

‘ashabiyah itu kuat maka negara yang muncul pun akan luas pula. Sebaliknya jika

‘ashabiyah itu lemah maka luas negara yang muncul relatif terbatas. Menurut Ibn

Khaldun mengenai hal ini: “kekuasaan akan muncul bersama-sama ‘ashabiyah

dan anggota-anggota ‘ashabiyah adalah pelindung yang akan terpencar di seluruh

penjuru negara. Jadi apabila ‘ashabiyah tersebut kuat maka negara tersebut akan

lebih kuat dan luas. 58

D. Peranan ‘Ashabiyah Dalam Agama

Dalam kehidupan manusia, agama mempunyai pengaruh yang sangat

signifikan. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana agama mengontrol diri manusia,

sehingga mereka dengan mudah tunduk, patuh dan berkumpul (membentuk

kesatuan sosial). Agama dapat melenyapkan sifat kasar dan bengga diri, serta

58 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.142.

Page 54: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

melatih untuk menghilangkan perasaan iri dan cemburu.59 Agama yang dimaksud

Ibn Khaldun pada pembahasan ini mempunyai pengertian al-Din, yang erat

kaitannya dengan syariat. Ini juga mempunyai konotasi hubungan vertikal antara

manusia dengan Allah SWT.

Penyebaran agama pada mulanya memberi kepada dinasti kekuatan lain

disamping solidaritas sosial yang dimiliki sebagai cermin dari jumlah

penyokongnya. Ini disebabkan karena corak agama yang menghilangkan rasa

saling cemburu dan iri yang terjadi, sehingga dengan pertolongan Allah bisa

dihadirkan rasa kebersamaan dan mewujudkan pada konsentrasi kebenaran. Ibn

Khaldun mengutip sebuah ayat yang berbunyi:

الله ما في األرض جميعا ما ألفت بين قلوبهم ولـكن قتوألف بين قلوبهم لو أنف

.ألف بينهم إنه عزيز حكيمArtinya: Dan yang mempersatukan hati mereka walaupun kamu membelanjakan semua yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)

Jadi, persatuan itu bukan merupakan hasil usaha atau rekayasa manusia,

tetapi taufiq atau perkenaan dari Allah.

Dalam hubungan antara ‘ashabiyah dan agama, menurut Ibn Khaldun

terdapat dampak timbal balik di antara keduanya. Dalam sebuah pasal dengan

judul “Agama memperkokoh kekuatan ‘ashabiyah yang telah dipupuk negara dan

59 Abd. Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Darul Fikr, t. Th,.), h.151.

Page 55: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

jumlah penduduknya”. Ia berkata sebagai berikut: “semangat agama dapat

meredakan pertentangan dan iri hati yang dirasakan oleh satu anggota dari

kelompok itu terhadap anggota lainnya dan menuntun mereka kearah kebenaran.

Perhatian mereka telah terpusat pada kebenaran maka tidak ada sesuatu yang

dapat menghalangi mereka. Sebab pandangan mereka adalah sama dan tujuan

yang mereka kejar pun serupa dan satu untuk mereka, dan mereka bersedia

berjuang sampai mati.60

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa agama dapat mengikat hati

manusia menjadi satu, sehingga dapat mewujudkan segala sesuatu yang

dikehendaki oleh ummat atau masyarakat, termasuk untuk mendirikan sebuah

negara ataupun dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian dan untuk

melindungi masyarakat atau ummat dari serangan-serangan yang datang dari

luar.61

1. Ashabiyah Menopang Agama (Syariat)

Menurut Ibn Khaldun agama tidak akan berhasil tanpa dukungan

’ashabiyah (solidaritas sosial), sesuai dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan

bahwa: “Allah tidak mengutus seorang nabi kecuali bila mana ia mendapatkan

dukungan dari kaumnya”. (H.R. Ahmad)

60 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.138.

61 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.77

Page 56: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Pada pasal berikutnya mengenai dampak áshabiyah atas seruan

keagamaan, yaitu dalam sebuah pasal ál-Muqaddimah dengan judul “Seruan

keagamaan akan berhasil kecuali bila mempunyai dasar ‘ashabiyah. Sebabnya

ialah rakyat hanya dapat digerakkan dan bertindak berkat dorongan ‘ashabiyah.

Agama mempersatukan bahasa, fikiran, tujuan kehidupan mereka. Dengan

adanya unsur agama ini, seluruh perhatian ditumpukkan kepada kebenaran saja.62

Dari ucapan Ibn Khaldun di atas dapat disimpulkan bahwa ‘ashabiyah menopang

agama. Dan sebagian suku-suku semisal suku arab, tidak akan meraih kekuasaan

kecuali atas dasar agama. Sebab ‘ashabiyah mereka yang diwarnai kebiadaban,

keliaran, dan kebebasan itu saja tidak cukup. Ibn Khaldun dalam sebuah pasal al-

Muqaddimah dengan judul: Bangsa Arab tidak mampu mendirikan suatu kerajaan

kecuali atas dasar agama, seperti wahyu seorang nabi atau ajaran seorang wali.

Sebabnya ialah karena tabiatnya yang keras, sombong, kasar dan iri hati satu

sama lainnya, terutama dalam persoalan-persoalan politik. Semua itu

menyebabkan mereka menjadi manusia yang sukar diatur, karena keinginan-

keinginannya sukar sekali terpenuhi.63

Tetapi bila mereka memeluk agama yang dibawa seorang nabi atau wali,

mereka memiliki prinsip-prinsip batin untuk menguasai hawa nafsu, dan

kesombongan sehingga iri hati mereka dapat ditahan, dengan demikian mudahlah

62 A.R. Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun (Jakarta: P.T.

Gramedia Pustaka Utama, 1992), h.165 63 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.159

Page 57: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

menyatukan dan membimbing mereka. Sebab agama meniadakan kekasaran dan

kesembongan dan meredakan iri hati dan persaingan.64

Ibn Khaldun berpendapat bahwa suatu gerakan agama tidak akan berhasil

apabila tidak disertai rasa golongan atau ‘ashabiyah. Menurutnya, suatu gerakan

itu hanya berarti apabila disertai dengan pengikut yang banyak yang mempunyai

rasa bersatu dengan adanya rasa ‘ashabiyah. Dan gerakan seperti ini dapat

dihadapkan pada penguasa yang tidak disukai. Dengan kata lain, Ibn Khaldun

telah mulai melihat factor yang mempengaruhi perkembangan suatu revolusi.

Kemelut atau revolusi akan berhasil bila disertai rasa golongan yang kuat.

Masyarakat beragama itu bukan saja memerlukan rasa golongan untuk

menghadapi lawan, tetapi untuk terlaksananya hukum-hukum syariat. Tetapi Ibn

Khaldun tidak membenarkan bila rasa golongan itu dipergunakan untuk tujuan-

tujuan hidup yang berlainan dengan apa yang di kehendaki agama. Untuk

menikmati kemenangan, kemewahan yang diperoleh tanpa memperhitungkan

batas-batas yang harus dipegang, ini baginya berlawanan dengan apa yang

diingatkan Nabi.65

Menurut Ibn Khaldun, selain ’ashabiyah, yang menjadi faktor pendukung

bagi tegaknya suatu negara adalah agama (syariat Islam). Karena kekuasaan dan

wibawa politis yang sesuai dengan syariat akan mencegah timbulnya keburukan-

64 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.132

65 Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.75.

Page 58: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

keburukan serta kejahatan-kejahatan yang mudah muncul bersamaan dengan

adanya kekuasaan, misalnya perbuatan sewenang-wenang, ketidak adilan, dan

keinginan bermandikan kesenangan lepas dari kepatutan.66

E. Dalil al-Qur’an dan al-Hadits dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun

Berikut dalil dan sekaligus landasan pemikiran Ibn Khaldun mengenai

negara dan pemerintahan serta hubungannya dengan warga negara yang tertuang

dalam konsep ’ashabiyah:

1. Al-Qur’an

a. Pemberian kedaulatan

...يؤتى ملـكه من يشاءواهللا ... Artinya: “Allah memberikan kerajaanNya kepada siapa yang Dia kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 247)67

b. Taat kepada pemimpin atau ulil amri

...يايها الذين ءامنوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرسول وأولى األمرمنكم

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…(QS. An-Nisa: 59)68

66 Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, h.74

67 Di kutip dari, Muqaddimah Ibn Khaldun. Penerjemah Ahmadie Thaha, h. 190

68 Ibid., h. 238

Page 59: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

c. Persamaan (kesetaraan status sebagai manusia)

با وقبائل لتعارفوا، إن ياايهاالناس إن خلقناآم من ذآر وأنثى وجعلناآم شعو

. أآرمكم عند اهللا أتقاآم، إن اهللا عليم خبيرArtinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)69

d. Banyak Tuhan akan terjadi Kekacauan atau Kehancuran

...فيهما ءالهة إال اهللا لفسدتالو آان

Artinya: ”Sekiranya ada dilangit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentunya keduanya itu telah rusak binasa...” (QS. Al-Anbiya: 22)70

2. al-Hadits

a. Pemimpin keturunan Quraysi (dirasionalisasikan oleh Ibn Khaldun)

: حدثنا عبد اهللا حدثنى أبي ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن علي ابن االسد قال

احدثك حديثا ما : قال لي أنس بن مالك: قالحدثني بكير بن وهب الجزرى

وسلم قام علي باب البيت ونحن احدثه آل احد ان رسول اهللا صلى اهللا عليه

االئمة من قريس، ان لهم عليكم حقا، ولكم عليهم حقا مثل ذلك ما ان : فيه فقال

استرحموا فرحموا، وان عاهدوا وفوا، وان حكموا عدلوا، فمن لم يفعل ذلك

)رواه احمد(. منهم فعليه لعنة اهللا، والمالئكة، والناس اجمعين

69 Di kutip dari, Muqaddimah, h. 248

70 Ibid., h. 203

Page 60: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Artinya: “ Abdullah bercerita kepada saya, Abi Sanaa Muhammad bin Ja’far Sanaa keturunan Ali bin al-Asad berkata: Bakir bin Wahab al-Jazuri berkata: Anas bin Malik berkata kepada saya, akan saya ceritakan kepadamu suatu Hadits yang membahas tentang kepemimpinan. Sesungguhnya Rasulullah SAW waktu itu berdiri di depan pintu dan kita ada disampingnya, kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin dari suku Quraysi itu bisa benar menurut kita dan para pemimpin kita bisa benar menurut mereka, dengan syarat jika ada yang meminta kasih sayang (pertolongan) maka sayangilah, jika kalian berjanji maka tepatilah dan jika kalian menghukum maka kalian harus bersifat adil. Barang siapa yang tidak melaksanakan perkara tersebut maka Allah, Malaikat dan semua manusia akan melaknat pemimpin tersebut. (HR. Ahmad)71

b. Nabi diutus mendapat dukungan kaumnya

)رواه احمد(. في منعة من قومهبعث اهللا نبيا بعده االوما

Artinya: “Allah tidak mengutus seorang Nabi kecuali bilamana ia mendapat dukungan dari kaumnya”. (HR. Ahmad)72

c. Mencegah Kemungkaran

فبقلبه من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع

)رواه مسلم(. وذلك أضعف اإليمانArtinya: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran (hal yang keji, buruk), maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim)73

Ibn Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang banyak merujuk al

Qur’an dan al Hadits sebagai landasan pemikirannya.

71 Di kutip dari, Oesman Raliby, Ibn Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara, h 117

72 Di kutip dari, Zainuddin, Pemikiran Politik Ibn Khaldun, h. 165

73 Di kutip dari, Muqaddimah, h. 194

Page 61: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB IV

ANALISIS IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ‘ASHABIYAH

IBN KHALDUN

A. Konsep ’Ashabiyah Sebagai Dasar Pembentukan Negara dan Pemerintahan

Konsep ‘ashabiyah mempunyai perang penting dalam mencegah konflik

dan ketidak adilan dan untuk menjaga kebersamaan masyarakat, hal ini karena

kapasitas individu yang tidak memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan

dasarnya atau bahkan mempertahankan diri.

Umat manusia secara alamiah adalah kelompok sosial dan cenderung

untuk hidup bersama. Manusia sangat memerlukan bantuan dan kerjasama dengan

yang lain, tetapi manusia tidak dapat hidup bersama dan bekerjasama dalam

suasana konflik, permusuhan (udwan) dan ketidak adilan (zhalim). Hal-hal

tersebut akan membuat kehidupan sosial tidak mungkin dapat diwujudkan. Untuk

itulah diperlukan ‘ashabiyah (group feeling) dan wazi (kekuatan pengendalian

atau pemerintah). 74

’Ashabiyah adalah rasa solidaritas sosial yang di dalamnya terdapat suku-

suku atau kelompok yang bekerjasama untuk kepentingan bersama. Akan tetapi

rasa solidaritas sosial tersebut akan hancur bilamana suatu suku atau kelompok

tersebut terpecah belah atau tidak mau lagi bekerjasama. Karena alasan inilah,

74 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000),

h.166.

Page 62: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

persekutuan suatu kelompok atau suku memerlukan hadirnya seorang penguasa

atau raja yang mampu menangkal agresi. Kebutuhan akan adanya seseorang yang

mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung

dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam

mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga

membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana mentri, serta pembantu-

pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah dinasti (daulah) atau kerajaan

(mulk).75

Adanya ’ashabiyah (solidaritas kelompok) yang kuat merupakan suatu

keharusan bagi bangunnya suatu negara atau dinasti besar. Oleh karenanya jarang

terjadi suatu negara dapat berdiri di suatu kawasan di mana terdapat beraneka

ragam suku. Sebab dalam keadaan yang demikian masing-masing suku

mempunyai kepentingan dan aspirasi yang berbeda-beda satu sama lain, dan tiap

kepentingan dan aspirasi suku-suku tersebut didukung oleh ’ashabiyah suku, atau

dengan kata lain dinasti yang besar dan kuat hanya dapat berdiri apabila terdapat

homogenitas, sehingga menimbulkan solidaritas kelompok yang kuat.76

Untuk menampung kepentingan dan aspirasi masyarakat yang terdiri dari

berbagai macam suku diperlukan sebuah wadah yang bernama negara. Namun

demikian negara tidak akan bertahan lama atau akan mengalami kehancuran jika

75 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 139.

76 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran (Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990), h.105.

Page 63: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

masyarakatnya tidak mau lagi bekerjasama dan berpecah belah. Oleh karena itu

diperlukan seorang pemimpin atau kepala negara yang mampu menangkal agresi,

mengendalikan dan mengatur negara.

1. Negara dan Pemimpin (Kepala Negara)

Defenisi Umum negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya

diperintah (Governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari

warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan

(kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

Ibn Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada

kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling

memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan

untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara

sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi

kemasyarakatan.77 Dari sinilah Ibn Khaldun mengatakan bahwa organisasi

kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya,

peradaban umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.78

Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan

suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan

77 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.41. 78 Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman: Elaborasi Pemikiran Ibn

Khaldun, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), h.89.

Page 64: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota

masyarakat. Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat

dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut

harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai

kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota

masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang

lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah

raja, khalifah atau kepala negara.79

Untuk bertindak sebagai raja, haruslah memiliki ’ashabiyah (solidaritas

kelompok) yang kuat. Ibn Khaldun menilai bahwa seorang raja haruslah berasal

dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan

sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh

baik dari dalam ataupun luar dia membutuhkan dukungan loyalitas yang besar

dari rakyatnya. Oleh karenanya, dari berbagai ’ashabiyah atau solidaritas

kelompok yang terdapat di negara itu, kepala negara atau raja harus berasal dari

solidaritas kelompok yang dominan.80

Tetapi seorang raja, dengan segala atribut yang di milikinya mungkin juga

memerintah secara tidak adil, lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya

sendiri, dan tidak memperhatikan kepentingan dan kemampuan rakyat, sehingga

79 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.92.

80 Ibid., h.105.

Page 65: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

menyebabkan rakyat sukar menaatinya, dengan akibat timbulnya penindasan,

teror dan anarki. Oleh karena itu kebijaksanaan pemerintahan raja serta hubungan

antara raja dan rakyat harus didasarkan atas peraturan-peraturan dan

kebijaksanaan-kebijaksanaan politik tertentu, yang harus ditaati oleh semua pihak

yang bersangkutan. Peraturan-peraturan tersebut dapat merupakan hasil dari

rekayasa para cendekiawan, pemuka dan cerdik pandai negara itu, tetapi dapat

pula bersumberkan ajaran agama yang diturunkan oleh Allah melalui Nabi-Nya.81

Ibn Khaldun menekankan bahwa syariat tidak membatasi atau mengekang

ataupun melarang kekuasaan politik itu, melainkan memberikan batasan syar’i

saja, tujuannya adalah untuk mencegah timbulnya keburukan-keburukan serta

kejahatan-kejahatan yang mudah berbarengan muncul dengan adanya kekuasaan,

misalnya perbuatan sewenang-wenang, ketidakadilan, atau perbuatan

menyimpang lain yang membuat ia jauh dari kepatuhan atau ketaatan.82

2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan

Ibn Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan sistem

pemerintahan dengan tolak ukur kekuasaan. Menurutnya sistem pemerintahan dibagi

menjadi tiga bentuk:

1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang

membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja

81 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.102.

82 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000), h.75.

Page 66: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa

nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya

rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki.

Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter,

individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.

2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan

yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan

duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-

undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk

Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan

jenis ini dizaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan

insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.

3. Pemerintahan yang berlandaskan agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan

yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang

bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model

pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber

dari ajaran agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia

tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan

pemerintahan itu adalah ajaran agama khususnya Islam, maka kepala negara

Page 67: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

disebut khalifah. Oleh karena itu ia bertanggung jawab dalam memelihara

kelestarian agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya.83

Dari pembagian pemerintahan diatas, nampak bahwa Ibn Khaldun

menempuh jalur baru dibanding al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam

pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga

pada jabatan khalifah itu sendiri, melainkan pada makna fungsional kekhalifahan

itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-

undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.84

B. Implikasi Konsep ‘Ashabiyah Bagi Negara dan Masyarakat

‘Ashabiyah merupakan suatu jalinan sosial yang membuat “bangsa”

bersatu padu, terlepas ‘ashabiyah itu timbul karena ikatan kekeluargaan atau

persekutuan. Dan ‘ashabiyah mempunyai dua peran sosial. Pertama, ia

menumbuhkan solidaritas dan kekuatan dalam jiwa kelompoknya. Kedua, ia

mempersatukan berbagai ‘ashabiyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu

kelompok manusia yang besar dan bersatu. Menurut Ibn Khaldun silaturahmi

83 Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992) h.29. Lihat juga Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun (Beirut: Muassasatu Jamali at-Tiba’ati wa An-Nasri, t.th,.), h.159.

84 al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun (Bandung: Pustaka, 1995), h.159.

Page 68: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

merupakan sifat alamiah manusia, dan hanya sedikit orang saja yang tidak

memiliki sifat itu. 85

Adapun peran ‘ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibn

Khaldun sangat dominan. ‘Ashabiyah-lah yang telah menjadi motor dari

kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari

sejarah manusia. Ibn Khaldun berpandangan tujuan ’ashabiyah adalah untuk

mewujudkan al-mulk, karena ’ashabiyah mampu memberikan perlindungan,

menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendasarkan tuntutan-tuntutan dan

kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ‘ashabiyah adalah superioritas

(at-taghalul al-mulk).86

Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibn Khaldun melihat terdapat dua

kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib suatu masyarakat. Kekuatan

pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibn Khaldun disebut

dengan ’ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat berdasarkan

persekutuan, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan

masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang

lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan

’ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling

ekstrimnya. Patriotisme adalah bentuk lain dari ’ashabiyah sebagaimana yang

85 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.112.

86 Ibid., h.139.

Page 69: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

digambarkan oleh Ibn Khaldun. Patriotisme yang dimaksud Ibn Khaldun adalah

patriotisme yang dilandasi karena rasa cinta yang tinggi dan loyal terhadap

kelompoknya atau sukunya yang berlandaskan agama. Patriotisme bentuk inilah

yang menyatukan mereka dalam menjaga solidaritas kelompok dan negaranya.87

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa ‘ashabiyah menjadi

landasan pembentukan negara. Namun apabila negara telah mapan maka seorang

kepala negara akan berpandangan bahwa dirinya selalu dalam keadaan konflik

dengan anggota-anggota ‘ashabiyahnya dalam memperebutkan tahta, hingga

akhirnya memaksanya untuk menghancurkan ‘ashabiyahnya sendiri. Dengan

demikian tampak jelas bahwa ‘ashabiyah menempuh jalan dialektis dan dalam

dirinya terkandung benih-benih konflik. ‘Ashabiyah bukanlah penggerak sejarah,

paling sedikit ia adalah kekuatan yang menggerakkan dialektika kontradiksi-

kontradiksi, yakni dialektika yang dijadikan Ibn Khaldun sebagai landasan

konsepsinya tentang perkembangan negara.88

1. Perkembangan dan Runtuhnya Negara

Dalam tahap perkembangan suatu negara, Ibn Khaldun mengatakan bahwa

masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti

halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu

87 Lihat Eugene. A. Myers, Zaman Keemasan Islam: Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya

Terhadap Dunia Barat. Penerjemah Maufur al-Khoiri, (Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003), h.72.

88 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.167

Page 70: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur

suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama

dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara

menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi

menjadi lima tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.

a). Tahap Pendirian Negara

Tahap pertama: Tahap pendirian negara. negara tidak akan tegak kecuali

dengan ’ashabiyah (solidaritas sosial). Karena dengan adanya ’ashabiyah akan

membuat orang menyatukan upaya untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu

mempertahankan diri, dan menolak atau mengalahkan musuh.89

Pada tahap ini seorang penguasa belum lama memegang tampuk pemerintahan.

Karena itu ia masih membutuhkan 'ashabiyah sebagai mediator dalam mencanangkan

fondasi-fondasi kerajaannya. Dengan demikian kekuasan pada tahap ini dimiliki

bersama oleh si pemegang pimpinan, kaumnya, dan kelompoknya. Menurut Ibn

Khaldun, tahap pertama adalah tahap untuk mencapai tujuan, menaklukan berbagai

halangan dan rintangan, menguasai kekuasaan dan merebutnya dari tangan negara

sebelumnya. Pada tahan ini si pemegang kekuasaan merupakan seseorang yang ideal

bagi kelompoknya dalam meraih kejayaan, memperoleh kakayaan, dan mempertahankan

diri serta melindungi bawahannya. Itulah tujuan 'ashabiyah yakni mengantarkan pada

89 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.171

Page 71: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kemenangan. Pada tahap ini diwarnai dengan pola kehidupan yang sederhana dan

rendah peringkatnya. Sang penguasa belum mengenal kemewahan, dengan

melibatkan berbagai pihak dalam mempertahankan bentuk penghidupan yang demikian

itu maka sikap yang berani dan kekuatan jasmaniah masih dimiliki ole semua anggota

'ashabiyah.90

b). Tahap Pemusatan Kekuasaan

Tahap kedua: yaitu tahap pemusatan kekuasaan. Menurut Ibn Khaldun;

pemusatan kekuasaan merupakan kecenderungan yang alamiah pada manusia. Karena

seorang penguasa melihat bahwa kekuasaannya telah mapan maka ia akan berupaya,

menghancurkan 'ashabiyah (solidaritas sosial), memonopoli kekuasaan, dan menjauhkan

anggota-anggota 'ashabiyah dari roda pemerintahan. Dan beralih kedudukan dari

seorang pemimpin 'ashabiyah menjadi raja atau pemegang kekuasaan.91 Dalam hal ini

dialah yang menegakkan negara.

Dalam kitab al-Muqaddimah, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam suatu

keluarga itu tentu saja terdapat sejumlah orang yang terkemuka yang dapat

memimpin dan menguasai, karena itu orang tersebut akan dipilih sebagai pemimpin dari

kelompok yang lebih luas karena adanya kelebihan yang dimiliki oleh keluarganya

atas kelompok lain.

90 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.172

91 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I (Beirut: Muassasatu Jamali at-Tiba’ati wa an-Nasri, t.th,.), h.209

Page 72: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Apabila pimpinan itu sudah dipilih maka watak hewaninya akan

menumbuhkan perasaan bangga dan sombong, kemudian ia akan enggan membagi

kekuasaan yang ia miliki dengan orang lain dalam memerintah rakyatnya. Bukan

hanya itu, ia akan mengkultuskan dirinya sebagai Tuhan, seperti halnya orang lain juga

akan berbuat demikian. Dalam rangka menjalankan mekanisme dan stabilitas politik

yang baik maka hendaknya dalam sebuah negara hanya memiliki seorang kepala

negara, tujuannya adalah untuk menghindari perpecahan dikalangan rakyat. Jika dalam

sebuah negara memiliki banyak pemimpin dan mengaku sebagai Tuhan maka akan

terjadi kebingungan dan kekacauan.92

Ketika pemegang kekuasaan berupaya untuk menaklukkan 'ashabiyah

(solidaritas sosial), maka si pemegang kekuasaan meminta bantuan kepada tenaga

tenaga sekutu yang mendapat perlindungan. Dengan kata lain pada tahap ini ia mula

mendasarkan diri pada tentara regular guna memelihara kekuasaannya. Mengenai tahap

ini Ibn Khaldun menyatakan sebagai berikut:

Pada tahap kedua, ketika raja menunjukan kecenderungan kepada sifat

kelaliman, memonopoli kemegahan, dan menjauhkan kawan-kawan seperjuangannya yang

lama, maka sebenarnya rakyat telah menjadi musuhnya. Kemudian untuk

menjauhkan kawan-kawan lamanya dari keikut sertaan dalam menangani masalah-

masalah kenegaraan dan mencegah intervensi mereka dalam kekuasaan, maka ia

berputar haluan kepada orang lain, orang asing yang bergantung kepadanya, dan dari

92 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I, h.172

Page 73: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

mereka (orang-orang asing) raja bisa mengharap bantuan. Oleh karena itu, orang-orang

asing ini lebih dekat kepadanya dibandingkan dengan rakyatya sendiri. Sehingga

orang-orang asing inilah yang dipekerjakan untuk melayani keperluannya dan merekalah

yang diberikan kesenangan dan kehormatan. Sebab mereka bersedia mati untuknya dan

membantunya menjauhkan rakyatnya sendiri dari kedudukan-kedudukan yang pernah

mereka isi sewaktu mereka ikut andil dalam kekuasaan. Karena itu maka orang yang

memerintah itu diberi penghormatan dan kesenangan kepada sekutu-sekutu asing yang

dilindunginya itu, dan memilih menteri-menteri, gubernur-gubernur, jendral-jendral,

dan pejabat-pejabat keuangannya dari mereka.93

c). Tahap Kekosongan dan Kesantaian

Tahap Ketiga: Tahap ini merupakan tahap kekosongan dan kesantaian.

Menurut Ibn Khaldun, tahap ketiga adalah tahap kekosongan dan kesantaian

untuk menikmati buah kekuasaan yang seiring watak manusia, seperti

mengumpulka kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih

kemegahan. Berbagai upaya dicurahkan untuk menarik pajak, mengelola

pengeluaran dan pemasukan menghitung biaya, membangun gedung-gedung yang

tinggi dan pabrik-pabrik yang besar dan bangunan-bangunan yang menjulang

tinggi.94

93 Abd Rahman, Tarikh Ibn Khaldun jilid I, h.154.

94 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.154.

Page 74: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Negara pada tahap ini sedang berada pada puncak perkembangan. Sedang

untuk mengabadikan kerajaan dan kekuasaannya, ia akan mendirikan gedung-

gedung dan bangunan-bangunan besar sebagai saksi kejayaannya. Singkatnya

pada tahap ini semua pihak menikmati buah dari kekuasaan, sang penguasa

menikmati kejayaannya dan yang lainnya menikmati apa yang dikehendaki

pemegang kekuasaan.

d). Tahap Ketundukan dan Kemalasan

Tahap Keempat: Tahap ketundukan dan kemalasan. Pada tahap ini

pemegang tampuk pemerintahan menerima apa saja yang dibina para raja

sebelumnya dan mengikuti apa yang dilakukan para pemegang kekuasaan

sebelumnya. 95 Negara pada saat ini dalam keadaan statis, tidak ada perubahan

apapun yang terjadi, dan negara seakan-akan berada diujung kisahnya.

Tahap Kelima: Tahap ini merupakan tahap berfoya-foya dan

penghamburan kekayaan. Pada tahap ini pemegang kekuasaan dengan seenaknya

menghambur-hamburkan kekayaan yang dikumpulkan oleh para pendahulunya

untuk memenuhi hawa nafsu, kesenangan, menghibur diri bersama kaumnya, dan

memamerkan kedermawanannya kepada orang-orang dalam. Sehingga ia menjadi

penghancur apa yang telah digariskan dan dibina para pendahulunya.96

95 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Fikr, t.th.,), h.176.

96 Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.175.

Page 75: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

f). Tahap Keruntuhan Kekuasaan

Negara pada tahap ini telah memasuki masa ketuaan dan dihinggapi,

penyakit kronis yang hampir tidak dapat ia hindari, hingga pada saatnya menuju

keruntuhan dan hancur.97 Ketika ia berpaling dari kehidupan yang sederhana dan

primitif menuju kehidupan yang berbudaya (tahap kedua), maka pada tahap inilah

negara tertimpa penyakit kebudayaan yang paling berbahaya. Namun pada tahap

ini negara sedang berada pada puncak kejayaan dan kekuatannya, sehingga

gejala-gejala tersebet belum nampak. Gejala-gejala tersebut akan nampak apabila

negara mulai mengalami kelemahan dan disintegrasi. Menurut Ibn Khaldun, ada

dua faktor yang menjadi penyebab disintegrasi negara, yaitu hilangnya 'ashabiyah

(solidaritas sosial) dan tidak adanya sumber keuangan yang kuat akibat tindakan

pemegang kekuasaan yang suka berfoya-foya sehingga negara mengalami

keruntuhan baik secara politis maupun ekonomis.98

Dari tahapan-tahapan diatas, menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga

generasi, yaitu:

1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang

tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.

97 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, h.176.

98 M. Ali Nasyi’at, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun (al-Qahirah: t.p., 1944), h.123.

Page 76: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi

dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap

kepentingan bangsa dan negara.

3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara.

Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan

nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka

keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut

Ibn Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.

Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah peradaban besar dimulai dari

masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh

perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup

ditambah dengan ‘ashabiyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras

untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang

tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru, dan kemunculan

peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban

lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya

hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus99

Seperti yang telah di uraikan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan persoalan

jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila

melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan

99 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 172.

Page 77: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang

menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.

Perspektif Ibn Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of

analysis penyebab runtuhnya kekuasaan diberbagai negara modern saat ini, dalam

pandangannya ia menjelaskan bahwa kekuasaan yang dijalankan dalam bentuk ini

adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah

kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa

menyebabkan hilangnya ’ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap

pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun

menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal

politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi

sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan ini juga tenggelam dalam

gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri

atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa

kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibn Khaldun, apabila sebuah kekuasaan

telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan

penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah yang semula mengantarkannya

kepuncak kekuasaan, negara segera akan hancur.100

100 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 166.

Page 78: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

C. Hubungan Prinsip Demokrasi Dalam Konsep ’Ashabiyah Ibn Khaldun

Dalam konsep ’ashabiyahnya Ibn Khaldun berpendapat bahwa untuk

menjalankan pemerintahan negara dibutuhkan perangkat atau alat untuk

mengendalikan negara. Tujuannya adalah untuk menjaga dan mengantisipasi

setiap kejadian atau gangguan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban

negara yang datang dari dalam atau luar negara. Perangkat atau alat yang

dimaksud tersebut ialah agama. Menurut Ibn Khaldun, agama dapat dijadikan alat

untuk memperkuat kepemimpinan sebuah bangsa dengan syariat dan

perlengkapan perang secara eksplisit dan implisit. Semua dimaksudkan untuk

memperkuat peradaban sebuah negara. Seorang raja tidak dapat memerintah

dengan baik, dia harus memanfaatkan yang dapat diterima dan dapat dipatuhi oleh

rakyat. Dalam hal ini adalah syariat.101

Berkenaan dengan hal diatas, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa merupakan

suatu keharusan menetapkan peraturan-paraturan dan kebijakan-kebijakan politik

yang bisa diterima dan diikuti oleh rakyat, dan peraturan-peraturan tersebut dapat

dibuat oleh para pemuka, para cendekiawan, atau pemuka yang cerdik pandai

negara itu dengan kata lain pemerintahan yang demikian disebut pemerintahan

berdasarkan akal (nomokrasi sekuler), akan tetapi apabila peraturan-peraturan

(hukum) tersebut ditentukan oleh Allah dengan perantara seorang Rasul, maka

pemerintahan tersebut berdasarkan agama (nomokrasi Islam). Di antara dua

101 Anthony Black, Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Penerjemah Abdullah

Ali & Mariana Ariestyawati (Jakarta: Serambi, 2006), h.332.

Page 79: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

macam peraturan atau hukum itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa macam yang

kedua lebih baik, oleh karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama

akan terjamin tidak saja keamanan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat

kelak.102

1. Supremasi Hukum

Berhubungan dengan uraian diatas, dapat diketahui bahwa Ibn Khaldun

adalah seorang pemikir Muslim yang tidak dapat melepaskan agama dari negara.

Agama yang dimaksud adalah mengandung pengertian al-Din yang erat kaitannya

dengan syariat. Ini juga mempunyai konotasi hubungan vertikal antara manusia

dengan Allah SWT. Hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia

dalam segala seginya, ibadah mereka, segala tatacara hidup mereka, juga yang

berhubungan dengan negara, yang merupakan sebuah keharusan bagi

masyarakat.103

Berbicara penerapan hukum berarti tidak lepas dari kebijakan dan

pengawasan terhadap pelaksanaan hukum tersebut oleh seorang kepala negara

atau pemerintah terhadap negara atau rakyatnya. Oleh karena itu sifat al-’Adalah

adalah merupakan salah satu syarat untuk menduduki jabatan kepala negara. Al-

’Adalah atau adil artinya bersikap jujur, berpegang pada keadilan, dan pada

102 Abd Rahman, Muqaddimah Ibn Khaldun, h.190. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan

Tata Negara, h.102. 103 Ibid., h.190.

Page 80: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik sehingga ucapannya dapat

dipegang, perkataannya dapat dipercaya. Al-’adalah juga menunjukkan tentang

ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seorang yang tahu akan

kewajibannya, misalnya sebagai saksi. Ia juga harus mempunyai kesanggupan

dalam menjalani tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk

menegakkan dan melaksanakan hukuman yang diputuskan secara konsekuen.104

Intinya yang namanya warga negara secara keseluruhan tidak lepas dari

hukum atau aturan hukum, baik itu yang bersumber dari agama (syariat) ataupun

hasil dari Ijtihad manusia (undang-undang) yang tujuannya demi kemaslahatan

bersama di dunia dan akhirat. Ibn Khaldun menekankan syariat tidak membatasi,

mengekang ataupun melarang otoritas raja karena otoritasnya, dan tidak melarang

otoritas itu terlaksana. Hukum agama hanya melarang kejahatan yang tumbuh dari

padanya, seperti tirani, ketidakadilan, dan semata-mata mencari kesenangan.

Sebaliknya hukum agama memuji keadilan, kewajaran, memenuhi kewajiban

agama dan membela agama. 105

Kiranya patut dicatat bahwa Ibn Khaldun, selain berpendapat bahwa

kebijakan dan peraturan keperintahan yang didasarkan atas ajaran atau hukum

agama memang lebih baik dari pada yang hanya didasarkan atas rekayasa otak

manusia. Ia juga beranggapan bahwa terdapat banyak negara yang mendasarkan

104 Oesman Raliby, Ibn Khaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang,

1962), h.117. 105 Zainuddin, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, h. 30.

Page 81: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

kebijakan dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, namun dapat

mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negaranya,

bahkan dapat berkembang baik dan jaya.106

Dalam konsep ’ashabiyah supremasi hukum adalah syarat mutlak yang

harus ditegakkan dalam sebuah negara. Pengetahuan akan hukum sendiri menjadi

syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yang oleh Ibn Khaldun

dijadikan sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki seorang raja dan di

implementasikan dalam kehidupan bernegara dengan berlandaskan keadilan.

Dengan demikian supremasi hukum dalam konsep ’ashabiyah sebagaimana

penjelasan diatas sangatlah demokratis, sebab supremasi hukum dan keadilan

adalah merupakan bagian inti dari tegaknya sebuah negara yang demokratis.

2. Persamaan

‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa

bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal

berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara

pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun,

persamaan keTuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan dinasti.

Sebab menurutnya, bangsa Arab adalah bangsa yang paling tidak mau tunduk satu

sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin.

106 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.109-110.

Page 82: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

‘Ashabiyah yang ada hanya ‘ashabiyah kesukuan atau qabilah yang tidak

memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. 107

Pada dasarnya, bentuk-bentuk persekutuan manusia itu berbeda-beda

sesuai dengan faktor-faktor iklim, georafi, dan ekonomi yang sangat berpengaruh

terhadap tempramen manusia. Kita temukan bahwa penduduk yang tinggal di

kawasan panas, seperti orang-orang Sudan atau Mesir lebih cepat marah, gembira,

dan bingung. berbeda dengan para penduduk di kawasan dingin yang tampak

lebih melankolis dan peka terhadap rasa sedih. Faktor-faktor ekologis ini dan

variasi-variasi tempramental yang dihasilkannya sangat menentukan bentuk

persekutuan yang dibentuk dan hukum-hukum perkembangannya.108

’Ashabiyah sangat dicela oleh Nabi SAW, namun Ibn Khaldun percaya

bahwa celaan tersebut tidak ditujukan kepada ’ashabiyah sebagaimana yang

dimaksudnya, akan tetapi ’ashabiyah yang dicela adalah ’ashabiyah sebelum

Islam yang biasanya digunakan untuk berperang antara suku. ’Ashabiyah itu

ibarat sifat manusia yang lain, ia bisa baik dan bisa juga buruk, tergantung untuk

apa ’ashabiyah itu digunakan. ’Ashabiyah akan baik jika digunakan untuk tujuan

baik, seperti untuk mendukung agama dan menegakkan keadilan, atau akan

menjadi buruk bila digunakan untuk tujuan memperjuangkan hasrat pribadi atau

dalam rangka mendukung kezaliman.

107 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.151

108 Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis (Jakarta: Mizan, 2001), h.126.

Page 83: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Nabi SAW juga mencela rasa bangga akan silsilah keturunannya, bagi

Nabi semua manusia itu sama tanpa memperhatikan silsilah keturunan atau latar

belakangnya. Berkenaan dengan hal ini Allah SWT berfirman:

إن ،ئل لتعارفواأنثى وجعلناآم شعوبا وقبا من ذآر ون خلقناآمياايهاالناس إ

. أآرمكم عند اهللا أتقاآم، إن اهللا عليم خبير

Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat: 13)

Sejalan dengan ayat diatas, Nabi SAW bersabda: ”Tidak ada silsilah

keturunan dalam Islam”

Menurut Ibn Khaldun, rasa bangga terhadap keturunan merupakan

kecenderungan wajar manusia, serta dasar bagi semangat kesukuan. Jika rasa

bangga akan keturunan lemah maka semangat kesukuan akan lemah juga. Dia

menyebut kekalahan orang-orang Arab akibat pembauran mereka dengan orang-

orang non Arab, suatu fenomena yang menyebabkan mereka mengabaikan silsilah

keturunan. Untuk mendukung pandangan ini Ibn Khaldun mengutip pernyataan

Umar yang menyuruh orang-orang Arab menjaga garis keturunan mereka. Umar

melihat silsilah keturunan dari sudut pandang yang sama seperti yang dilakukan

Page 84: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Ibn Khaldun. Umar ataupun Ibn Khaldun cenderung memandang bangsa Arab

sebagai penakluk bangsa lain.109

Sejalan dengan penjelasan diatas, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa bagi

masyarakat yang tidak memiliki ’ashabiyah (kelompok yang tidak memiliki

silsilah nasab, suku, atau penduduk minoritas, agar terjamin keamanan dan

kesejahteraannya ia harus bergabung dengan ’ashabiyah yang ada dengan syarat

harus membayar pajak. Hal ini merujuk kepada apa yang sudah dipraktekkan oleh

Nabi SAW kepada masyarakat Madinah yang didalamnya terdapat kaum Yahudi

(minoritas) yang terdiri beberapa suku. Mereka bisa hidup dengan penuh

ketentraman dan keadilan di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW sebagaimana

yang tercantum pada Piagam Madinah.110

Berkenaan dengan penjelasan diatas ada satu pengamatan yang cukup

menarik yang dilakukan oleh Ibn Khaldun dalam hal hubungan antara agama dan

solidaritas kelompok. Menurutnya da’wah agama tidak akan berhasil tanpa

dukungan solidaritas kelompok, sesuai dengan hadis Nabi yang berbunyi: ”Tuhan

tidak mengutus seorang Nabi yang tidak mendapat perlindungan dari rakyatnya”.

Kalau demikian halnya dengan para Nabi, yang merupakan tokoh-tokoh yang

paling mampu melakukan hal-hal yang luar biasa (supranatural), apalagi mereka

yang bukan Nabi. Mereka tidak dapat diharapkan untuk mencapai sukses atau

109 Fuad Baali&Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pikiran Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2003), h.182. 110 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h. 157.

Page 85: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

keunggulan tanpa solidaritas kelompok. Agama dapat memperkokoh solidaritas

kelompok dan menambah keampuhannya, tetapi agama saja tidak dapat

ditegakkan tanpa solidaritas kelompok. Barangkali dari pengamatan ini juga dapat

disimpulkan bahwa motivasi agama saja tidak cukup kuat sebagai sebagai

pembangkit perasaan senasib kalau tidak didukung oleh solidaritas kelompok

yang bertumpu pada faktor-faktor lain non agama.111 Salah satu dari non agama

yang dimaksud adalah persamaan hak (tanpa melihat status sosialnya).

Persamaan (al-musawa) dalam konsep ’ashabiyah tertuang pada

perjanjian antara masyarakat dan solidaritas kelompoknya, solidaritas kelompok

dan negara (raja). Dengan demikian Negara menjamin bagi warganya akan

persamaan hak utamanya dalam hal kesejahteraan dan keamanan. Satu hal yang

patut diketahui bahwa Ibn Khaldun adalah seorang pemikir Islam yang

memasukkan salah satu kreteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin

adalah tidak memihak kepada kelompok tertentu. Jika demikian maka persamaan

hak yang terdapat dalam konsep ’ashabiyah sangatlah demokratis dan masih

relevan untuk diterapkan.

3. Pemimpin Berasal dari Partai Besar (Pemilu)

Ibn Khaldun termasuk pemikir Islam yang berpendirian bahwa salah satu

syarat agar dapat menjadi khalifah atau imam yang merupakan pimpinan tertinggi

111 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.106

Page 86: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

dunia Islam, seseorang harus berasal dari keturunan Quraisy.112 Ibn Khaldun

mencoba merasionalisasikan atas ketentuan itu berdasarkan teori ’ashabiyah.

Berdasarkan teori ini, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan pemikir

Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan

bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka dan original

yang tampil dari bani Mudhar dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas

kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki

wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan

kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan

kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika

kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah

pembangkangan serta berujung pada kehancuran.113

Berkaitan dengan syarat kepemimpinan dari suku Quraisy, Nabi

Muhammad SAW menyatakan hendaknya kepemimpinan umatnya dipercayakan

kepada suku Quraisy. Menurut Ibn Khaldun, janganlah diartikan bahwa

kepemimpinan ummat Muhammad SAW itu monopoli suku Quraisy, dan agar

syarat keturunan Quraisy didahulukan dari pada syarat kemampuan. Petunjuk

Nabi Muhammad SAW mengenai kepemimpinan suku Quraisy berdasarkan

kenyataan bahwa suku Quraisy merupakan suku Arab yang paling terkemuka

112 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.106

113 Ibn Khaldun, Muqaddimah, h.194

Page 87: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

dengan solidaritas kelompok yang terkuat dan dominan, karenanya paling

berwibawa. Pemimpin negara yang berasal dari suku yang demikianlah yang akan

mampu secara efektif menjamin ketertiban negara dan keserasian hubungan

antara komponen-komponen negara itu. Maka jika suku Quraisy tidak lagi

menjadi suku yang paling berwibawa, dan solidaritas kelompoknya tidak lagi

dominan, yang berarti pula bahwa pemimpin yang berasal dari suku Quraisy tidak

lagi dapat diharapkan mampu secara efektif mewujudkan ketertiban negara dan

kerukunan antara warga negara. Jika demikian, maka kepemimpinan dapat

berpindah ke suku atau kelompok yang lain yang memiliki wibawa yang lebih

besar dan solidaritas kelompok yang lebih kuat.114

Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran al-Mawardi

ataupun al-Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn

Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘ashabiyah seperti dijelaskan diatas.

Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial.

Oleh karena itu, solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat

daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan

sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat

kekuasaan. Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang

berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila

114 Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h.107.

Page 88: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang

pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya.115

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas sosial

itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan mengalahkan

musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka

ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tidak ada hubungan dengannya.

Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan

sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya

akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi

dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para

pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,

solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika

negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian,

negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat kedalam

kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara.116

Apabila ’ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia

akan segera digantikan oleh ’ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam

memperebutkan kekuasaan negara akan terjadi pertarungan antara tokoh dengan

basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai

115 Ibn khaldun, Muqaddimah, h.131-132.

116 Ibid., h.139.

Page 89: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

’ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. ’Ashabiyah yang paling

kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ’ashabiyah yang kecil.117

Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ’ashabiyah lemah melakukan kualisi

antar ’ashabiyah lemah yang lain membentuk ’ashabiyah yang lebih kuat.

Teori yang dipaparkan oleh Ibn Khaldun memiliki kekuatan logika dan

argumentasi yang cukup tinggi, maka walaupun penulis menerima bahwa yang

menjadi tujuan hukum syariat adalah tercapainya kesatuan kata, harmoni

kehidupan, dan syariat itu selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya

perpecahan dan perselisihan. Ketentuan hukum syariat lazimnya sesuai dengan

realitas yang terjadi, tetapi kita tidak dapat menerima bahwa Islam telah

menyetujui ide tentang fanatisme primordial atau bahwa karakteristik prinsip-

prinsip memiliki potensi untuk bersesuaian dengan ide itu, sebagai sebuah tujuan

jurisprudensi atau landasan pembangunan masyarakat. Jika kita menghendaki

terwujudnya tujuan yang disepakati, yang tampaknya menjadi terakhir dari

ditemukannya sebuah persyaratan, yaitu disempurnakannya persatuan ummat dan

mencegah kemungkinan timbulnya perpecahan. Hukum syariat jika dikaji

penerapannya, maka kesesuaian antara ketentuan syariat dengan realitas yang

eksis, maka kesimpulan yang seharusnya didapatkan (dalam kapasitasnya sebagai

penafsiran atas persyaratan itu) adalah bahwa kesimpulan yang dihasilkan itu

haruslah berkembang sesuai dengan hukum-hukum eksistensi atau hukum sosial,

117 Ibn khaldun, Muqaddimah, h.140.

Page 90: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Ibn Khaldun. Dengan demikian,

persyaratan yang menjadi konsekuensinya adalah bahwa orang yang mengurus

pemerintah kaum muslimin haruslah memiliki akseptabilitas dimata mayoritas

terbesar anggota masyarakat, hingga mereka menaatinya dengan penuh kerelaan,

mempunyai kekuatan yang bersumber dari aspirasi masyarakat, dan juga memiliki

wibawa, sehingga keberadaannya membawa pada persatuan dan menghilangkan

faktor-faktor penyebab perpecahan.118

Keutamaan itu tidak dapat diperoleh pada masa kini kecuali dengan jalan

pemilihan umum. Maksudnya, dengan pemilihan yang dilakukan oleh ummat,

baik seluruhnya atau sebagiannya (apapun manifestasi yang terlihat dari bentuk

aspirasi tadi) terhadap seorang figur tertentu, karena mereka mendukung platform

politiknya, atau merasa sesuai dengan kebijakan ekonomi dan sosialnya, sehingga

dengan adanya dukungan umum itu, dia menjadi lebih mampu dibandingkan

dengan yang lainnya dalam memimpin negara dan menjaga persatuannya. Dengan

demikian jelaslah bahwa persetujuan terhadap sebuah ide dan persatuan dalam

melaksanakan sebuah platform tertentu, baik yang bersifat politik maupun yang

bersifat sosial, atau yang lainnya, sekarang telah menggantikan kedudukan

fanatisme primordial, atau ikatan solidaritas untuk menjaga eksistensi sebuah

kabilah atau posisi sosialnya yang menjadi landasan teoritis pemikiran Ibn

Khaldun.

118 Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.244.

Page 91: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Sekarang ini, ikatan kesukuan tidak lagi menjadi landasan sosial (atau

hukum eksistensi dalam redaksinya) tetap telah tergantikan oleh ikatan politik

atau ikatan sosial, yang ditujukan untuk mewujudkan sebuah platform tertentu

dalam realitas, yang dianut oleh setiap individu anggotanya berdasarkan

pemahaman mereka dan penerimaan meraka terhadap platform itu. Karena, dalam

pandangan mereka platform-platform tersebut mewujudkan kemaslahatan

umum.119

Pemilihan kepala negara dalam konsep ’ashabiyah berdasarkan suara

terbanyak yang dipilih lewat kompetisi antara solidaritas kelompok adalah

merupakan sebuah mekanisme yang terus berubah seiring dengan perkembangan

zaman. Perubahan ini dapat dilihat dari perjalanan konsep ’ashabiyah itu sendiri

yang dari waktu kewaktu terus berkembang khususnya dalam pemilihan raja atau

kepala negara. Mulanya pemimpin itu harus berasal dari satu nashab (keturunan),

kemudian satu suku, dan terakhir berdasarkan suara terbanyak (ashabiyah terkuat

atau terbesar) yang dipilih langsung oleh masyarakat dari berbagai suku lewat

kompetisi antara solidaritas kelompok.120 Dengan demikian konsep ’ashabiyah

sejalan dengan ide demokrasi khususnya dalam hal pemilihan kepala negara.

Dalam konsep demokrasi kepala negara berasal dari partai terkuat atau suara

mayoritas yang dipilih melalui kompetisi antara partai politik lewat pemilu.

119 Rais, Teori Politik Islam, h.246.

120 Ahmad Satori, “Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan”, artikel diakses 19 April 2008 dari http://politeiapress.blogspot.com/2007/11/new-artice12.html

Page 92: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan seluruh permasalahan yang ada dalam skiripsi ini

yang di beri judul “Ide Demokrasi Dalam Konsep ‘Ashabiyah Ibn Khaldun”

dengan cara komperehensif, maka untuk mendapatkan gambaran inti dari

permasalahan yang dibahas, perlu kiranya penulis menyimpulkan hasil analis

yang dikemukakan sebagai berikut:

1. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok) adalah sebuah konsep demokratis yang

cocok untuk diterapkan pada saat ini. Hal ini disebabkan karena konsep

‘ashabiyah mempertimbangkan nilai-nilai hukum (syariat) dalam proses

penyelenggaraan negara dan tidak mengabaikan pertimbangan akal dalam

menentukan kebijakan Negara demi kemaslahatan masyarakat.

2. ’Ashabiyah adalah solidaritas kelompok yang jika diterapkan pada saat ini

bisa berbentuk organisasi kepartaian yang fungsinya sebagai alat untuk

pencapaian kekuasaan yang dilakukan dengan cara pemilu atau pilkada.

3. ’Ashabiyah (solidaritas kelompok), adalah sebuah sistem demokratis

berbentuk perwakilan dimana para anggota perwakilan dari masing-masing

‘ashabiyah ikut serta dalam menjalankan pemerintahan. Ibn Khaldun

menjelaskan bahwa adanya lembaga merupakan sebuah keharusan dalam

masyarakat atau negara, sebagai penengah, pemisah sekaligus hakim. Adapun

tugas seorang raja adalah menjaga kelestarian ajaran agama dan pemimpin

Page 93: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

duniawi bagi rakyat. Oleh karena itu kedudukan penguasa (raja) yang

sewajarnya ialah mewujudkan usaha memerintah rakyat sesuai dengan tujuan

dan keinginan yang memerintah. Tindakan politik ialah memerintah rakyat

sesuai dengan petunjuk akal untuk memajukan kepentingan duniawi dan

menjauhkan kejahatan. Seorang raja/khalifah adalah memerintah rakyat sesuai

dengan petunjuk agama (syariat), baik yang berkenaan dengan masalah

ukhrawi (akhirat) ataupun duniawi (maslahah al-kaffah). Karena kekhalifahan

(khilafah) adalah sebagai pengganti pembuat hukum, sebagai penjaga agama

dan pengatur permasalahan duniawi di pandang dari segi agama.

4. Dalam konsep ‘ashabiyah-nya, Ibn Khaldun mengakui bahwa lebih baik

mempergunakan ajaran dan hukum agama sebagai dasar kebijakan dan

peraturan negara daripada hanya hasil rekayasa otak manusia. Namun ia juga

mengakui bahwa terdapat banyak negara yang tidak mendasarkan kebijakan

dan peraturan negara atas ajaran dan hukum agama, akan tetapi negara itu

dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negara,

bahkan dapat berkembang dan jaya.

5. Bertitik tolak dari salah satu inti ajaran al-Qur’an yang menggariskan adanya

hubungan manusia secara vertikal dan Horizontal, maka dapat disimpulkan

bahwa Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat konprehensif dan luwes.

Islam sebagai al-Din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk

didalamnya aspek kenegaraan dan hukum.

Page 94: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

6. Terakhir, Konsep ‘ashabiyah sangatlah relevan dalam arti konsep ’ashabiyah

sangatlah demokratis, karena prinsip-prinsip yang ada dalam konsep

’ashabiyah Ibn Khaldun sangatlah sejalan dengan konsep demokrasi yang

banyak digunakan oleh negara modern saat ini.

B. Saran

Ibn Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik

di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan

dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan

mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah

tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai

negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh seting sosial

politik yang terjadi pada masa itu. Karena itu teori-teori yang dikemukakan oleh

Ibn Khaldun merupakan hasil refleksi atas realitas politik. Pemikiran Ibn Khaldun

tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis

melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada

akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan

mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibn Khaldun menjelaskan

mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita

cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibn Khaldun,

kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam

kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun

Page 95: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

khususnya teori ‘ashabiyah ini perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan

diperdebatkan secara kritis.

Maka penulis mengharapkan pembahasan mengenai teori ‘ashabiyah Ibn

Khaldun ini diteliti dan dikaji kembali dari sudut pandang yang berbeda dengan

metodologi yang berbeda pula.

Page 96: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.

Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi. Jakarta: Ind Hill-Co, 1991.

Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam. Ter. Ahmad Thaha,

Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989. Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2005, Cet. Ke-27. Fachry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis. Jakarta: Mizan,

2001. Haris, Syamsuddin, Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1995, Cet. Ke-1

Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid.I, Bandung: Mizan, 2001.

Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun. Ter. Ahmad Rafi’. Bandung:

Pustaka, 1987, Cet. Ke-1. Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Ter. Ahmad Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Kusnardi, Moh dan Saragih, Bintan R, Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, Cet. Ke-3.

Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan

Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat. Ter. M. Maufur al-Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka Utama, 2003.

Madjid, Nurcholis, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Demokratisasi

Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Paramadina, 1994, Cet. Ke-1. Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: Univ. Atmaja,

2000, Cet. Ke-2.

Page 97: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

Meyer, Thomas, Demokrasi Sebuah Pengantar Untuk Penerapan. Jakarta: Friedrieh

Ebert Stiftung, 2003, Cet. Ke-2. Mahmoud Robi, Muhammad, The Political Theory of Ibn Khaldun. Leiden: Bj. Briil,

1967. Nasyi’at, Ali M, Al-Fikr al-Iqtishadi fi Muqaddimah Ibnu Khaldun. al-Qahirah: t.p.,

1944. Lahbabi, M.A, Ibn Khaldun-Presentation, Choix de Textes, Bibliographie. Paris:

Edition Seghers, 1968. Lubis, M. Solly, Ilmu Negara. Bandung: Mandar Maju, 1989.

Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Bandung: Mizan Pustaka, 2001, Cet. Ke-4.

Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan Bintang,1978, Cet. Ke-4.

Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.

Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka

Baru, 2003. Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1996. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004,

Cet. Ke-16 Sevilla, Consuelo G, (dkk), Pengantar Metodelogi Penelitian. Jakarta: UI Pres, 1993,

Cet. Ke-1 Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2004.

Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia, 2000.

Page 98: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran

UIN Jakarta, Tim ICCE, Pendidikan Kewarga Negaraan Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Renada Media, 2003.

Zainuddin, Rahman, Kekuasaan dan negara Pemikiran Politik, Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis

Dunia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, Cet. Ke-2. ---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta:

Gramedia Pustak Utama, 1992. Website : Ahmad satori, Konsep Ibn Khaldun Tentang Negara dan Pemerintahan”

http://politeiapress.blogspot.com./2007/11/new-artice12.html. Hidayatul haq, Keunggulan Sistem Pemerintahan Islam Dengan Sistem Demokrasi,

artikel diakses http://www.hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/07/12/ Sulardi, Sistem Presidensial, http://www.kompas.com/kompas-

cetak/0208/29/opini/pusa04.htm. diakses pada 19 April 2008

Page 99: IDE DEMOKRASI DALAM KONSEP ’ASHABIYAH IBN KHALDUN”repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11489/1/MUHAMM… · A. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun ... Pemikiran