respon stres dan anesthesia

17
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Semua orang pernah mengalami stres. Penyebab stres atau berupa psikis maupun fisik. Rasa cemas menjelang ujian, ke deadlines , takut akan ketinggian adalah contoh psikis. Sedangkan conto paparan sinar matahari, udara dingin, dan operasi. Stres a tubuh yang bekerja sebagai mediator yang menghubungkan stresor atau stimulus terhadap efekpada target organ 1 . Penelitian menunjukkan stres yang kronis berhubungan dengan gangguan fungsional tubuh. 1 . Hal ini dikarenakan stres dapat memicu timbulnya respon pada tubuh yang menstimulasi sistem imunitas, dan metabolik untuk mengeluarkan hormon-hormon dan faktor-faktor inflamasi yang jika produksinya berlebihan dapat mengganggu homeost Respon stres meningkatkan sekresi hormon katabolis dan yang menimbulkan kondisi hipermetabolisme. Responstres merupakan mekanisme kompensasi dan memberikan keuntungan dalam menjaga keseimbangan tub meningkatkan fungsi kardiovaskuler, menjaga keseimbangan cairan dan energi yang cukup untuk kebutuhan tubuh yang meningkat selama diba !amun, respon stres yang berkepanjangan, kondisi hipermetabolis yang terus menerus akan menimbulkan kelelahan pada komponen-komponen penting d tubuh seperti, glukosa, lemak, protein, mineral, kehilangan berat b menurunnya daya tahan tubuh, dan meningkatkan morbiditas serta mort " #perasi adalah tindakan yangmenimbulkan trauma bagi pasien. $ntuk menekan respon stres yang diakibatkan oleh trauma maka dokter akan %nestesia untuk mengontrol respon stres. &enis-jenis obat yang digu %nestesia terdiri dari obat sedative'penenang, analgesik (anti nyer hingga yang berefek amnesia sementara. BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Respon Stres

description

pengaruh hormon stress pada anestesia

Transcript of respon stres dan anesthesia

15

BAB IPendahuluan1.1 Latar BelakangSemua orang pernah mengalami stres. Penyebab stres atau stresor dapat berupa psikis maupun fisik. Rasa cemas menjelang ujian, kesulitan tidur saat ada deadlines, takut akan ketinggian adalah contoh psikis. Sedangkan contoh fisik seperti paparan sinar matahari, udara dingin, dan operasi. Stres adalah respon fisiologis tubuh yang bekerja sebagai mediator yang menghubungkan stresor atau stimulus terhadap efek pada target organ1. Penelitian menunjukkan stres yang kronis berhubungan dengan gangguan fungsional tubuh.1. Hal ini dikarenakan stres dapat memicu timbulnya respon pada tubuh yang menstimulasi sistem neuroendokrin, imunitas, dan metabolik untuk mengeluarkan hormon-hormon dan faktor-faktor inflamasi yang jika produksinya berlebihan dapat mengganggu homeostasis tubuh.Respon stres meningkatkan sekresi hormon katabolis dan anabolis yang menimbulkan kondisi hipermetabolisme. Respon stres merupakan mekanisme kompensasi dan memberikan keuntungan dalam menjaga keseimbangan tubuh karena meningkatkan fungsi kardiovaskuler, menjaga keseimbangan cairan dan kebutuhan energi yang cukup untuk kebutuhan tubuh yang meningkat selama dibawah stresor. Namun, respon stres yang berkepanjangan, kondisi hipermetabolis yang terus menerus akan menimbulkan kelelahan pada komponen-komponen penting di dalam tubuh seperti, glukosa, lemak, protein, mineral, kehilangan berat badan, kelelahan, menurunnya daya tahan tubuh, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas.2Operasi adalah tindakan yang menimbulkan trauma bagi pasien. Untuk menekan respon stres yang diakibatkan oleh trauma maka dokter akan menggunakan Anestesia untuk mengontrol respon stres. Jenis-jenis obat yang digunakan untuk Anestesia terdiri dari obat sedative/penenang, analgesik (anti nyeri), pelemas otot, hingga yang berefek amnesia sementara.

BAB IITinjauan Pustaka2.1 Definisi Respon StresRespon stres adalah perubahan neurohormonal dan metabolis yang terjadi setelah adanya trauma. Respon stres adalah reaksi sistemik terhadap trauma yang melibatkan sistem neuroendokrin, immunologis, dan hematologis. Respon stres dapat dibagi menjadi 2 fase : Fase syok : fase ini sangat cepat dan dikarakteristikan dengan kondisi hipodinamis, penurunan laju metabolis dan depresi hampir sebagian besar proses fisiologis. Fase flow : fase hiperdinamis dapat berlangsung selama beberapa hari hingga minggu tergantung pada tingkat trauma operasi dan adanya komplikasi. Fase ini bersamaan dengan fase kompensasi, dengan adanya peningkatan laju metabolis, modulasi enzim untuk produksi glukosa dan penggantian volume darah serta stimulasi sistem imun. Jika sistem kompensasi berhasil, pengeluaran energy dapat dikurangi dan metabolisme bergeser menjadi anabolisme.

Gambar 1. Reaksi Sistemis Respon Stres3

2.2 Mekanisme Respon Stres2.2.1 Sistem NeuroendokrinRespon stres pada sistem neuroendokrin ditandai dengan meningkatnya sekresi hormone pituitary dan aktivasi sistem saraf simpatis. Perubahan sekresi pada hormon pituitary memiliki efek sekunder pada sekresi hormone di targen organ lainnya. Sebagai contoh, pengeluaran hormon corticotropin dari pituitary akan menstimulasi pengeluaran cortisol dari korteks adrenal. Argininin vasopression disekresikan dari pituitary posterior dan bekerja di ginjal. Di pancreas glucagon disekresikan dan sekresi insulin dikurangi. Efek keseluruhan dari perubahan hormonal adalah katabolisme yang akan mengerahkan semua substrate untuk menyediakan sumber energi, dan mekanisme yang menarik garam dan air serta menjaga volume cairan dan hemostasis kardiovaskuler. 3

2.2.1.1 Hormon-hormon yang terlibat dalam respon stressAktivitas hypothalamus pada sistem saraf autonom simpatis akan menyesekresikan ketokolamin dari adrenal medulla dan mengeluarkan norepinephrine dari saraf presinaps terminal. Peningkatan aktifitas simpatis terlihat pada efek kardiovaskuler seperti takikardia dan hipertensi. Sebagai tambahan, dungsi beberapa organ visceral seperti hati, ginjal, dan pancreas diatur secara langsung oleh stimulasi efferent simpatis dan sirkulasi katekolamin.3Sekresi anterior pituitary hormone dipngaruhi oleh hipothamalus releasing factor. Jenis-jenis hormone yang disekresikan antara lain, growth hormone, adrenocorticothropin (ACTH), prolactin, TSH (thyroid stimulating hormone), FSH (follicle stimulating hormone), dan LH (luteinizing hormone). Pada respn stress, sekresi growth hormone dan proactin meningkat, sedangkan TSH, FSH, dan LH tidak mengalami perubahan.Sedangkan posterior pituitary akan menyekresikan hormon vasopressin yang merupakan hormone antidiuretik. Hormone ini juga memilki fungsi sebagai corticothropin releasing factor, yang menstimulai sekresi ACTH dari anterior pituitary. Hormone kortikotropin (ACTH) mnstimulasi pengeluaran glucocorticoids sehingga konsentrasi hormone kortisol di sirkulasi meningkat. Operasi adalah activator potent dari ACTH dan kortisol, pada menit awal operasi, peningkatan level kortisol dan ACTH telah dapat dideteksi. Growth hormone atau hormone somatotropin memiliki peran penting dalam regulasi pertumbuhan, khususna pada periode perinatal dan anak-anak. Somatotropin juga memiliki efek pada metabolisme, yaitu menstimulasi sintesis protein dan menghambat perombakan protein, meningkatkan lipolisis (penghancuran trigliserida menjadi fatty acids dan liserol) dan memiliki efek anti-insulin. Yang berarti somatotropin menghambat penggunaan glukosa oleh sel, sehingga meningkatkan kadar glukosa di sirkulasi. Growth hormone juga menstimulasi glycogenolisis pada hati. Kortisol juga sering dikenal sebagai hormone stress, karena kadarnya yang meningkat secara cepat pada berbagai respon stress. Tubuh memiliki feedback respon yang mengatur kadar kortisol dengan cara menghentikan sekresi ACTH saat kadr kortisol sudaah meningkat. Namun hal ini tidak terlihat pada kondisi setelah operasi, sehingga konsentrasi kedua nya tetap tinggi. Kortisol memilki efek metabolis pada karbohidrat, protein, dan lemak. Kortisol meningkatkan katabolisme protein dan gluconeogenesis di hati. Penggunaan glukosa oleh sel dihambat sehingga konsentrasi glukosa di darah meningkat. Kortisol juga meningkatkan lipolisis di hati. Kortisol memiliki glukokortikoid efek yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi. Kortikosteroid menghambat akumulasi makrofag dan neutrofil pada area inflamasi dan mengganggu mediator inflamasi, seperti prostaglandin. Insulin adalah hormone anabolis yang disekresikan oleh sel beta pancreas. Insulin dilepaskan setelah konsumsi makanan, saat konsentrasi glukosa dan asam amino sedang tinggi. Insulin meningkatkan penggunaakn glukosa di otot dan jaringan adipose, serta mengbah glukosa menjadi glikogen dan trigliserida. Katabolisme protein dan lipolisis dihambat oleh insulin. Konsentrasi insulin yang menurun saat induksi anestesi selama operasi hingga menyebabkan kegagalan sekresi insulin untuk mencegah proses katabolisme, sebagian disebabkan oleh inhibisi alpa adrenergic pada sekresi sel beta di pancreas. Sebagai tambahan, terdapan juga kegagalan pada respon seluler yang disebut dengan resistensi insulin (respon hiperglikemia) yang terjadi selama periode operasi.Glukagon juga dihasilkan oleh pancreas. Hormone ini meningkatkan glikogenolisis pada hati. Glucagon juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino pada hati dan memiliki efek lipolitik. Walapun kadarnya meningkat setelah operasi besar, hal ini tidak memberikan kontribusi bermakna pada respon hiperglikemia. 3Hormone tiroid menstimulasi konsumsi oksigen pada sebagian besar jaringan metabolis aktif dari tubuh. Dengan pengecualian pada otak, limpa, dan kelenjar anterior pituitary. Hasil dari peningkatan hormone tiroid adalah peningkatan laju metabolis dan produksi panas. Efek lain dari hormone tiorid adalah peningkatan absorpsi karbohidrat dari usus, untuk menstimulasi sistem saraf pusat dan perifer, dan pada jangka panjang untuk pertmbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid dan katekolamin memiliki hubungan yang erat. Konsep umumnya, epinephrine dan norepinephrine meningkatkan laju metabolis dan menstimulasi sistem saraf, sedangkan hormone tiroid meningkatkan jumlah dan affinitas dari beta adrenoreceptor pada jantun, dan akhirnya meningkatkan sensitifitas dari jantung terhadap katekolamin.Konsentrasi dari hormone tiroid menurun selama setlah operasi dan kembali normal setelah beberapa hari. Konsentrasi TSH menurun pada 2 jam pertama setelah operasi dan kemudian meningkat hingga level sebelum operasi. Perubahan ini belum bisa dijelaskan, namun mungkin dipengaruhi oleh hubungan antara tiroid, katekolamin, dan kortisol. Steroid eksogen menekan hormone tiroid, sehingga kondisi hipercortisolemia setelah operasi mungkin juga dapat menekan konsentrasi tiroid.

2.2.1.2 Efek hormon pada proses metabolismeEfek katabolisme akibat respon stres pada tubuh berdampak pada metabolisme zat-zat yang penting dalam tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, serta air dan mineral. Pada proses metabolisme karbohidrat, respon stres yang muncul saat pembedahan meningkatkan konsentrasi gula darah. Hormone kortisol dan katekolamine meningkatkan produksi glukosa sebagai hasil peningkatan proses glikogenolisis dan gluconeogenesis hepar. Sebagai tambahan, penggunaan glukosa di perifer berkurang. Peningkatan kadar gula darah dipengaruhi oleh intensitas dari trauma saat pembedahan, pada operasi jantung, kadar konsentrasi gula darah dapat meningkat + 10-12 mmol/liter dan tetap meningkat hingga > 24 jam setelah operasi. Mekanisme yang menjaga homeostasis glukosa tidak efektif pada periode periooperatif. Hyperglikemia akan tetap terjadi karena hormon katabolis meningkatkan produksi glukosa dan terdapat kekurangan insulin serta diikuti resistensi insulin perifer. 3Katabolisme protein dipengaruhi oleh peningkatan hormone kortisol. Untuk memperoleh asam amino yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, protein yang dipecah tidak hanya dari otot rangka namun juga dari otot visceral. Asam amino kemudian diubah menjadi energy atau digunakan di hati untuk membuat protein yang baru, khususnya protein fase akut. Hati juga mengubah asam amino menjadi substrat lainnya, seperti glukosa, fatty acid atau keton bodies. Katabolisme protein menyebabkan penurunan berat badan dan kehilangan masa otot pada pasien setelah operasi besar dan cedera traumatis. Hilangnya protein dapat diukur dari kadar nitrogen yang diekskresikan lewat urin. 3Akibat dari perubahan hormone selama operasi, lemak yang telah disimpan dalam bentuk trigliserida diubah menjadi gliserol dan fatty acid melalui proses lipolysis. Aktifitas lipolisis dipengaruhi oleh hormone cortisol, katekolmin, dan growth hormone, sebaliknya hormone insulin dapat menghambat lipolisis. Gliserol yang dihasilkan dari lipolisis akan digunakan oleh hati dalam proses gluconeogensis. Sedangkan fatty acid akan memasuki dioksidasi di hati dan otot untuk diubah menjadi keton body atau direesterifikasi.Pada saat operasi, perubahan hormone akan mempengaruhi metabolisme garam dan air. Perubahan ini berfungsi untuk menjaga kecukupan volume cairan tubuh. Arginin vasopressin yang dikeluarkan dari pituitary posterior, meningkatkan retensi air dan produksi urin terkonsentrasi langsung pada ginjal. Peningkatan sekresi vasopressin dapat berlanjut hingga 3-5 hari, tergantung pada tingkat keparahan luka operasi dan perkembangan komplikasinya. Renin disekresikan dari sel juxtaglomerular ginjal, sebagian akibat hasil peningkatan aktifasi efferent simpatis. Renin menstimulasi produksi angiotensin II. Angiotensin II menstimulasi pengeluaran aldosteron dari korteks adrenal yang akan mengabsorbsi Na dan air dari tubulus distal ginjal.

Gambar 2. Jalur sistem neuroendokrin untuk respon stres4

2.2.2 Sistem ImmunitasHipersekresi dari kortisol dan katekolamin sebagai respon stres memiliki efek anti-inflamasi dan immunosupresan. Cortisol mengganggu produksi sitokin, prostaglandins, dan histamine, menghalangi aggregasi makrofag dan neutrofil pada tempat injury, dan penurunan fagositosis. Sebagai tambahan, kortisol akan menginduksi apoptosis pada limfosit T dan meningkatkan sel Th2 dominan (antibody/allergic)5, 6. Th2 yang dominan menyebabkan defisiensi dari fungsi sel NK dan kemampuan dalam membersihkan mikroba penyebab infeksi. 7 Sitokin adalah protein kecil yang dihasilkan jika dibutuhkan oleh berbagai jenis sel, makrofag, sel imun dan sel endothelial, yang bekerja secara local dan sistemik. Sitokin memiliki peran penting dalam respon inflamasi pada trauma dan operasi. Setelah operasi sitokin akan mengeluarkan interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-a (TNF-a) dari makrofag dan monosit yang teraktivasi pada jaringan yang rusak. Hal ini akan menstimulasi produksi dan pengeluaran lebih banyak sitokin, khususnya, IL-6, sitokin juga menyebabkan perubahan sistemis yang disebut dengan respon fase akut.3Konsentrasi sitokin yang beredar biasanya rendah dan tidak terdeteksi. Dalam 30-60 menit setelah operasi dimulai, konsentrasi IL-6 akan meningkat ; perubahan konsentrasi akan meningkat secara signifikan stelah 2-4 jam. Produksi sitokin seiring dengan tingkat trauma pada jaringan, jadi semakin minor dan tidak invasive operasi yang dilakukan semakin sedikit sitokin yang keluar. Peningkatan IL-6 paling besar terjadi setelah prosedur mayor seperti penggantian sendi, major vascular, dan operasi colorectal. Setelah operasi ini, konsentrasi sitokin maksimal terjadi sekitar 24 jam dan terus meningkat untuk 48 hingga 72 jam setelah operasi. Respon fase akut adalah perubahan yang terjadi setelah adanya cedera pada jaringan yang distimulasi oleh sitokin, khususnya IL-6. Salah satu contoh respon nya adalah produksi protein fase akut pada liver. Protein ini bekerja sebagai mediator inflamasi, anti-proteinase, scavengers, dan perbaikan jaringan. Contoh protein ini adalah C-reaktif protein (CRP), fibrinogen, macroglobulin dan anti proteinase lainnya. Peningkatan serum CRP mengikuti perubahan IL-6. Produksi protein lainnya di liver, seperti albumin dan tranferrin, menurun selama respon fase akut. Konsentrasi kation seperti zink dan besi akan berkurang, sebagian akibat konsekuensi perubahan dari produksi protein transport. 3

2.3 Efek Anestesia pada Respon Stres2.3.1 Efek Anestesia Umum pada Respon StresAnestesia umum dapat membatasi persepsi sensasi dari cedera akibat trauma, namun tidak menghilangkan respon secara keseluruhan. Hipotalamus bereaksi terhadap stimulus bahkan pada area anestesia yang dalam (contoh : peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, pada sternotomi). Semua anestesi intravena dan volatile yang digunakan dalam dosis normal memiliki pengaruh minor pada fungsi endokrin dan metabolis. 82.3.1.1. Efek Anestesia Volatile pada Respon StresAnestesi volatile dianggap memiliki respon inflamasi sistemis yang lebih besar dibandingkan dengan anestesi total intravena dengan adjuvant infus narkotik. 9 Studi in vitro telah menunjukkan bahwa anestesi volatile memiliki efek immunosuppresif dengan mengaktifkan program kematian sel pada limfosit, mengurangi fungsi limfosit, dan mengubah distribusi sel limfosit. 10 Anestesi volatile menekan aktifitas limfosit, sehingga daya tahan tubuh akan menurun. Aktifitas ini meningkat pada grup sefoflurane dan menurun pada grup isoflurane setelah operasi. Walaupun perbedaanya tidak signifikan, hasil ini menunjukkan jika isoflurane memiliki efek immunosupresi yang lebih lemah.11 In vitro, anestesi volatile merubah konsentrasi relatif sitokin dan respon limfosit. Jika dibandingkan dengan anestesia total intravena (TIVA) T1/T2 ratio menurun secara signifikan setelah anestesi dengan isoflurane tapi tidak pada anestesi dengan propofol. rasio dengan isofluran lebih rendah dibandingkan dengan propofol. Anestesi dengan propofol menimbulkan respon imun yang berlawanan terhadap stres akibat pembedahan yang lebih baik daripada anestesi isofluran. 122.3.1.2. Efek Anestesia Intravena pada Respon Stresa. OpiodsOpiods menekan sekresi hipothalamus dan pituitary. Dosis terapi morfin memilki efek menekan axis hypothalamus-pituitary-adrenal (HPA-axis). Morfin menekan pengeluaran kortikotropin, dan selanjutnya kortisol pada kondisi normal maupun stres, walaupun adrenal ditemukan memberi respon pada pemberian ACTH secara eksogen. Pemahaman mengenai analgesia opioid perifer endogen telah memunculkan perkembangan obat opioid perifer yang berfungsi secara klinis. Tujuannya adalah untuk menghasilkan zat yang mengaktifkan reseptor opioid perifer, namun tidak menembus batas sawar otak, sehingga menghasilkan analgesia dengan efek sentral berlawanan yang lebih sedikit. Buprenorfin dan tramadol adalah opioids dengan efek imun yang menguntungkan. 13

b. KetaminBerdasarkan bukti penelitian ketamin memiliki peran penting dalam menghilangkan nyeri pasca operasi saat digunakan sebagai adjunktif terhadap opiods atau anestesi local. Injeksi tunggal ketamin saat operasi (0,15 mg/kg) meningkatkan efek analgesia dan mobilisasi pasif lutut selama 24 jam setelah operasi ligament anterior cruciate athroscopy dan memperbaiki efek fungsional setelah pembedahan. Penambahan dosis kecil ketamin sebelum induksi anestesia menghasilkan pengurangan sekresi proinflamasi sitokin, IL-6 dan TNF- dan produksi IL-2 pada level perioperatif. Anastesi dengan ketamin diperkirakan memiliki peran penting untuk mencegah perubahan fungsi imun pada periode pasca operasi awal.14

c. PropofolPropofol menjadi obat pilihan pada anestesi oleh karena induksi nya yang cepat dan dalam serta memiliki efek sekunder yang berguna dalam mengurangi mual dan muntah. Sayangnya, propofol juga memiliki beberapa efek samping, termasuk secara tidak langsung berperan sebagai transport intralipid : kemampuan untuk mendukung pertumbuhan bakteri, nyeri saat diinjeksi, hipertrigliserideemia dengan perpanjangan infuse, dan potensi intralipid untuk menggangu respon imun.15 Data menunjukkan bahwa anestesi dengan propofol dan fentanil menstimulasi respon proinflammatory dan mempengaruhi komposisi limfosit perifer pada pasien, yang akan berefek pada proses patofisiologis selama anestesia opiod berlangsung. 16

d. BenzodiazepinesSalah satu contoh obat golongan benzodiazepine yang sering digunakan adalah midazolam, yang memiliki tambahan cincin imidazole pada struktur dasar benzodiazepine, menekan pengeluaran hormone kortisol. Midazolam dan diazepam menghentikan produksi kortisol dari sel adrenocorticoid bovine yang terisolasi secara in vitro. Penelitian menunjukkan lokasi aksi dari benzodiazepine ada pada level pituitary hypothalamus. 17

2.3.2 Efek Anestesia Regional pada Respon Stres Blokade neural oleh anestesia regional dengan anestesi lokal memiliki pengaruh langsung terhadap endokrin dan metabolis respon. Mekanisme dasar dari blockade neural pada respon stres akibat operasi adalah pencegahan total sinyal nociceptif dari area operasi menuju sistem saraf pusat. Efek penghambat dari blockade neural pada respon endokrin dan metabolis pada operasi melibatkan kedua jalur afferent dan efferent, namun berbeda untuk masing-masing kelenjar. 17Jalur afferent terlibat dalam pengeluaran hormone pituitary, sedangkan pengeluaran hormone adrenokortikal lebih kompleks. Pengeluaran kortisol melalui jalur efferent menuju pituitary dan jalur efferent menuju korteks adrenal melalui ACTH. Jalur efferent juga terlibat dalam pengeluaran kortisol, renin-angiotensin, dan ephinephrine. Blockade neural dari thorakal 4 (T4) hinggal sacrum 5 (S5) selama operasi abdomen bawah mencegah pengeluaran kortisol. 17Respon hiperglikemia terhadap operasi merupakan akibat pelepasan hormone stres melalui afferen dan efferen jalur neural. Respon insulin terhadap kondisi hiperglikemia dan respon plasma glukogen terhadap glukosa perifer dihalangi hanya oleh blockade dermatome dari thoracal 2 (T2) hingga thoracal 6 (T6). Blockade pada thoracal 9 (T9) hingga thoracal 10 (T10) pada operasi abdomen bagian bawah tidak memiliki pengaruh pada sekresi insulin. 17Studi lain memastikan penemuan diatas. Banyak teori yang telah diajukan untuk menjelaskan kegagalan dalam menghilangkan respon stres secara keseluruhan. Sebagian teori berpusat pada kekurangan atau ketidaklengkapan blockade neural afferent somatic dan simpatis yang sehingga aktifasi pituitary tetap terjadi dan diikuti oleh pelepasan kortisol dari korteks adrenal dibawah pengaruh ACTH, sedangkan blockade saraf efferent menuju medulla adrenal dan hati menghalangi respon hiperglikemia. Beberapa percobaan dibuat untuk meningkatkan blockade afferent menggunakan blokade vagal, blokade saraf splanchnic, atau anestesi local intraperitoneal terus menerus, namun belum ditemukan teknik yang secara konsisten menghentikan respon stres untuk operasi abdomen atas dan thorak.

2.3.2.1 Manajemen Perioperatif dengan Regional AnestesiaSangat penting untuk mencegah terjadinya perubahan hemodinamis selama intubasi dengan tabung endotrakea, insisi kulit dan pemberian anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi respon stres yang muncul. Titrasi yang saksama pada obat anestesi inhalasi, opioid kerja cepat, dan penggunaan pelemas otot yang stabil untuk fungsi cardio juga membantu untuk mengurangi respon stres. pemberian obat anestesi relaxant dan opioid dengan tehnik infuse terus menerus telah terbukti baik untuk mencegah fluktuasi dari kedalaman anestesis. Pengawasan berkala parameter vital seperti denyut jantung, tekanan darah, EKG, CVP (tekan vena sentral), SPO, PCO2, suhu, gula darah, dan interpretasi yang tepat terhadap berbagai perubahan dan intervensi terapi yang instant selama prosedur berlangsung, berperan penting dalam menstabilisasi kondisi pasien.17 a. Anestesia umum kombinasi dengan blockade neuralAnestesi umum ditambah analgesia epidural pada operasi penggantian pinggul, operasi thorak, dan operasi abdomen tentu akan mengurangi sirkulasi, respon hiperglikemia akibat penghentian pelepasan kortisol dan katekolamin. 8

2.3.2.2 Manajemen Postoperative dengan Regional Anestesi. Penanganan paska operasi melibatkan regimen multi komponen. Menghilangkan nyeri secara absolute selama operasi dan paska operasi adalah gold standard untuk mencegah proses katabolisme. a. Anestesi lokal pada infiltrasi lukaPenggunaan lokal anestesi pada infiltrasi luka dapat memblok transmisi nyeri, inflamasi lokal dan respon pituitari.b. Pre-Operatif AnalgesiaPreoperatif NSAID atau infuse terus menerus lokal anestesi bupivacaine pada konsentrasi rendah, melalui kateter epidural memberikan efek analgesia perioperatif yang baik dan bisa dilanjutkan hingga paska operasi.c. NSAIDsNSAIDs tidak memiliki efek langsung pada respon stres klasik, namun jalur metabolit arachidonat terlibat dalam berbagai tahapan respon cedera. Penggunaan NSAID dan aspirin bekerja sebagai anti-prostaglandin, anti-serotonin, antihistamin, anti-inflamasi, antikoagulan dan memberikan efek immune suppresif.d. Opioid sistemisMorfin epidural tidak menghentikan respon stres. Fentanil dosis tinggi (50mg/kg) dan etomidate secara selektif menghambat hipotalamus untuk mencegah respon metabolis dan endokrin. e. Stimulasi jalur penghambat menurun dan alpha-2-agonisStimulasi jalur penghambat menurun dari batang otak menggunakan stimulasi elektrik atau pemberian serotonin, clonidine, dan enkephalins mengurangi sensasi nyeri.8f. Blok PeriferBlok retrobulbar mengurangi efek dari respon stres jika dibandingkan dengan anestesia umum.8g. Pencegahan Deep Vein Thrombosis (DVT)Vasodilatasi akibat blok simpatis saat spinal atau epidural blok, penggunaan aspirin dan pergerakan dini mengurangi respon koagulasi pada masa post operatif. 17h. Modulasi hormone anabolis dan katabolisObat golongan beta blocker, growth hormone dan insulin mengurangi perombakan protein dan memperbaiki keseimbangan nitrogen.

i. Pemberian SubstrateKebutuhan substrate-substrate tertentu meningkat saat kelaparan cedera. Pemberian glukosa dan amino acid, walaupun tidak menghentikan proses katabolisme secara total, namun dapat mengurangi dampak stres dengan signifikan. 17

BAB IIIKesimpulanRespon stres adalah perubahan neuroendokrin dan metabolis yang terjadi setelah adanya trauma. Respon stres adalah reaksi sistemik terhadap trauma yang melibatkan sistem neuroendokrin, immunologis, dan hematologis. Respon stres ada 2 fase, fase syok dan fase flow. Respon stres pada sistem neuroendokrin ditandai dengan meningkatnya sekresi hormone pituitary dan aktivasi sistem saraf simpatis. Efek keseluruhan dari perubahan hormonal adalah katabolisme yang akan mengerahkan semua substrate untuk menyediakan sumber energi, dan mekanisme yang menarik garam dan air serta menjaga volume cairan dan hemostasis kardiovaskuler. Aktivasi saraf simpatis akan menstimulasi medulla adrenal untuk mengeluarkan hormone katekolamin yang akan terlibat dalam proses katabolisme untuk menghasilkan energy. Perubahan neuroendokrin sebagai respon stres memiliki efek anti-inflamasi dan immunosupresan. Obat-obatan anestesi yang diberikan pada periode pre-operasi, perioperasi, maupun pasca operasi bertujuan untuk menekan respon stres dan menjaga hemodinamis tubuh. Anestesi umum diberikan melalui inhalasi/volatile dan intravena. Anestesia umum dapat membatasi persepsi sensasi dari cedera akibat trauma, namun tidak menghilangkan respon secara keseluruhan. Sedangkan anestesi regional dan anestesi lokal memiliki pengaruh langsung terhadap endokrin dan metabolis respon. Mekanisme dasar dari blockade neural pada respon stres akibat operasi adalah pencegahan total sinyal nociceptif dari area operasi menuju sistem saraf pusat.Penanganan pada saat perioperatif dan paska operatif difokuskan untuk menekan respon stres, menghilangkan nyeri, dan mencegah proses katabolisme. Pemberian obat-obatan anestesi dan analgesia, serta substrate-substrate penting untuk memenuhi kebutuhan energy yang meningkat selama tubuh dibawah pengaruh stresor akan menurunkan mortalitas dan morbiditas pada pasien paska operasi.

DAFTAR PUSTAKA1. Black PH (1994) Central nervous system-immune system interactions: psychoneuroendocrinology of stres and its immune consequences. Antimicrob Agents Chemother 38: 16CrossRef2. Speight KL (1993) Perioperative stres response suppression in cardiothoracic surgery. In: Grevlee, Rauck (eds) Pain management in cardiothoracic surgery. Lippincott, Philadelphia, pp 1691993. P. Desborough (2000) The stres response to trauma and surgery. Department of Anaesthesia, Epsom General Hospital, Dorking Road, Epsom KT18 7EG, UK Br J Anaesth; 85 :109174. Guyton, A. C., and Hall, J. (2000) Textbook of Medical Physiology, 10th ed. Saunders, Philadelphia, 5. Ogawa K, Hirai M, Katsube T, Murayama M, Hamaguchi K, Shimakawa T, Naritake Y, Hosokawa T, Kajiwara T. (2000) Suppression of cellular immunity by surgical stres. Surgery; 127:329-336.6. Salo M. Effects of anaesthesia and surgery on the immune response. Acta Anaesthesiol Scand; 36: 201-220.7.. Lin E, Calvano S, Lowry S. (2000) Inflammatory cytokines and cell response in surgery. Surgery; 127: 117-126.8. Ivan Velickovic, Jun Yan and Jaffrey A Gross (2002): Modifying the neuroendocrine stres response. Seminars in Anaesthesia, Peri-operative Medicine and Pain.; 21, No 1 (March) 16-259. Schneemilch, C.E., Band, U. (2001). Release of pro- and anti-inflammatory cytokines during different Anestesia procedures. Anaesthesiol. Reanim.26, 41010. Matsuoka, H., Kurosawa, S., Horinouchi, T. (2001). Inhalation anesthetics induce apoptosis in normal peripheral lymphocytes in vitro Anestesiology 95 , 14671472.11. Durlu, N., Batslam, Y., zatamer, O. (2002). The effects of isoflurane and sevoflurane on immune system in minor surgical interventions .J. Anc. Med. School, 24 (3), 105112.12. Inada,T., Yamanouchi ,Y., Jomura, S., Sakamoto, S., Takahashi, M., Kambara, T., Shingu, K. (2004). Effect of propofol and isoflurane anaesthesia on the immune response to surgery. Anaesthesia ., 59 (10), 954959. 13. Yardeni, I.Z., Beilin, B., Mayburd, E., Alcalay, Y., Bessler, H. (2008). Relationship between fentanyl dosage and immune function in the postoperative period. J. Opioid. Manag. 4 (1), 273314. Beilin, B., Rusabrov, Y.,Shapira, Y., Roytblat, L.,Greemberg, L.,Yardeni, Y. Z., Bessler, H. (2007). Low-dose ketamine affects immune responses in humans during the early postoperative period. BJA 99, 52252715. Bowdle, A., Hines, R. (2002). Guest Editor Introduction: Pharmacology update 2002 Seminars in Anestesia.Perioperative Medicine and Pain 11 ; 247257.16. Brand J.-M., Frohn, C., Luhm, J., Kirchner, H., Schmucker, P. (2003). Early alterations in the number of circulating lymphocyte subpopulation and enhanced proinflammatory immune responce during opioid-based general anaesthesia.Shock ,20 (3), 21321717. Singh, Manorama. (2003). Stres Response and Anaesthesia atering the Periperative and Post-Operative Management. Indian J. Anaesth.; 47 (6) : 427-434