RESPON AGRONOMI, MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PADI … · Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon...
Transcript of RESPON AGRONOMI, MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PADI … · Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon...
69
RESPON AGRONOMI, MORFOLOGI DAN FISIOLOGI PADI HIBRIDA TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN
DI LAHAN SAWAH
Response of Agronomy, Morphology and Physiology of Hybrid Genotypes Tolerant to Drought in Lowland
Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui respon agronomi, fisiologi dan morfologi
genotipe padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan di lahan sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm IPB, Bogor, pada bulan Desember 2011 sampai Maret 2012. Penelitian menggunakan rancangan split plot dengan 3 ulangan. Petak utama adalah perlakuan cekaman kekeringan yang terdiri atas tanpa cekaman kekeringan dan cekaman kekeringan pada akhir fase vegetatif hingga awal pengisian biji. Cekaman kekeringan yang diberikan ialah 60% kapasitas lapangan. Anak petak adalah genotipe/varietas terdiri atas genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, varietas Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 dan Limboto. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan mengalami penurunan panjang akar relatif kecil, menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil gabah per hektar yang lebih tinggi serta indeks kepekaan terhadap kekeringan ≤0.50 yang lebih rendah dibanding dengan genotipe lainnya. Bobot gabah per rumpun genotipe tersebut hanya menurun masing-masing sebesar 9.5, 16.1 dan 15.6 persen, sedangkan IR64 mencapai 52.7 persen. Genotipe toleran kekeringan (BI599/BP15) pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta memiliki kandungan karbohidrat non struktural pada batang, pelepah dan daun yang lebih rendah dibanding kontrol. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 merupakan genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan.
Kata kunci: cekaman kekeringan, lahan sawah, padi hibrida
An experiment was conducted at Babakan Experiment Station, University Farm
Abstract
IPB, Bogor, from December 2011 until March 2012. The objective of the experiment was to study agronomy, morphology and physiology of hybrid genotypes in response to drought stress in lowland and determine hybrid genotypes tolerant to drought. A split plot design was used with 3 replications. The main plot was drought stress consisted of control and drought stress at the end vegetative stage, until early grain filling period. The sub plot was hybrid genotypes, consisted of BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10, BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6, Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 and Limboto. The results showed that genotypes BI485A/BP12,
70
BI485A/BP15 and BI559A/BP15 in drought stress conditions had relatively less reduction in root length, resulting in higher grain weight, harvest index and grain yield higher and less in index of sensitivity to drought ≤ 0.50 than the other genotypes. The grain weight of the genotypes decreased 9.5, 16.1 and 15.6 percent, respectively, while IR64 decreased 52.7 percent. Hybrid genotypes tolerant to drought (BI599/BP15) under drought stress condition had less stomatal density, higher leaf relative water content and less in non-structural carbohydrate content in stem, sheath and leaf. Genotypes BI485A/BP12, BI485A/BP15 and BI559A/BP15 were tolerant to drought and potentially can be developed in rainfed lowland.
Keywords: drought stress, lowland, hybrid rice
Seleksi akan efektif dan efisien bila telah diketahui respon morfologi,
fisiologi yang berkorelasi dengan karakter agronomi di lapangan. Seleksi
Pendahuluan
Salah satu masalah yang dihadapi dalam peningkatan produksi beras
nasional adalah meningkatnya alih fungsi lahan subur dan produktif, untuk
kegiatan pembangunan non pertanian. Pergeseran ini menyebabkan lahan sawah
beririgasi semakin sempit, sehingga upaya intensifikasi mengarah pada lahan-
lahan marginal dengan sumber daya air yang sangat terbatas seperti lahan sawah
tadah hujan. Lahan sawah tadah hujan yang selama ini belum dimanfaatkan
dengan optimal diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan
produksi beras nasional.
Kendala yang sering muncul pada lahan sawah tadah hujan adalah
kekeringan, karena terbatasnya periode hujan. Efek negatif dari kekeringan adalah
menurunkan pertumbuhan tanaman dan bahkan menggagalkan panen. Kekeringan
dapat menurunkan laju pertumbuhan akar, tajuk tanaman dan indeks luas daun
(Perez et al. 1996; Olsson et al. 1997; Farooq et al. 2008). Menurunnya
pertumbuhan akar ini akan menurunkan penyerapan hara dan air sehingga proses
fisiologi dan fotosintesis menurun, akibatnya menurunkan pertumbuhan dan
meningkatkan kehampaan gabah. Pada akhirnya kekeringan menurunkan hasil
bahkan sampai menggagalkan panen (Takagi 1976; Van Dat 1986; Samaullah et
al. 1996; IRRI 2002). Oleh karena itu diperlukan varietas/genotipe padi yang
berdaya hasil tinggi serta toleran terhadap kekeringan, sehingga dapat beradaptasi
dengan baik di lahan sawah tadah hujan.
71
langsung di lapangan pada lingkungan sawah tadah hujan dapat dilakukan di
lahan sawah melalui simulasi cekaman kekeringan. Metode seleksi akan baik bila
terdapat konsistensi antar metode pengujian dengan hasil di lapangan terhadap
cekaman kekeringan pada padi (Samaullah dan Darajat 2001).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui respon agronomi, fisiologi dan
morfologi genotipe padi hibrida terhadap simulasi cekaman kekeringan di lahan
sawah dan mendapatkan genotipe hibrida yang berpotensi dikembangkan di lahan
sawah tadah hujan.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Percobaan ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 sampai April 2012,
di Laboratorium Lapangan Riset Padi Babakan, University Farm Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Metode Penelitian
Percobaan ini menggunakan rancangan split plot dalam rancangan acak
kelompok 3 ulangan. Petak utama merupakan simulasi kekeringan di lahan sawah
yang mengkondisikan tanah tanpa genangan atau daerah akar tercekam
kekeringan yang terdiri atas 2 taraf yaitu kontrol (pengairan optimal), dan
cekaman kekeringan (penghentian pengairan empat minggu setelah tanam hingga
dua minggu setelah antesis). Anak petak adalah varietas/genotipe hibrida yang
terdiri dari 14 taraf yaitu genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP5, BI485A/BP10,
BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP5, BI599A/BP15, BI665A/BP6,
varietas Maro, Hipa 6, Hipa 7, Hipa 8, IR-64 (cek peka kekeringan), Limboto (cek
toleran kekeringan).
Pelaksanaan Percobaan
Pengambilan sampel tanah untuk analisis sifat fisik dan kimia, sama dengan
percobaan cekaman kekeringan di pot. Penyiapan lahan dilakukan dengan
pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak
percobaan setiap unit perlakuan 2.0 m x 1.5 m. Terdapat 14 petak percobaan
72
sebagai kelompok, untuk 8 genotipe dan 4 varietas hibrida serta 2 variteas cek
peka dan toleran kekeringan. Jarak antar perlakuan pada anak petak adalah 0.25
m, jarak antar petak utama 2.0 m dan jarak antar kelompok dibuat dengan lebar
5.0 m. Untuk menghindari pengaruh rembesan dari petakan percobaan lain, maka
petakan perlakuan cekaman kekeringan dibuat jarak 5.0 m dengan petakan
percobaan yang ada di sekitarnya yang disertai dengan pembuatan saluran
drainase sebagai penghalang.
Bibit hasil persemaian dipindahtanam (transplanting) setelah berumur 21
hari. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 25 cm, bibit ditanam 1 bibit per
lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP-36 100 kg, dan KCl 100
kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea
diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu
setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal,
sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan
cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam.
Untuk menjamin keseragaman waktu pemberian perlakuan cekaman
kekeringan pada saat antesis, maka masing-masing varietas/genotipe ditanam
berdasarkan periode waktu berbunga. Urutan penanaman yaitu genotipe
BI599A/BP5 dan Hipa 8, lima hari kemudian ditanam BI485A/BP5,
BI485A/BP10, BI665A/BP6, Maro dan IR64, dan setelah sembilan hari dari
tanam pertama ditanam BI485A/BP3, BI485A/BP12, BI485A/BP15,
BI599A/BP15, Hipa 6, Hipa 7 dan Limboto.
Sistem pengairan berdasarkan perlakuan (karakter sawah) yang dicobakan.
Pengaturan pengairan pada setiap petak dilakukan sesuai perlakuan. Pada
perlakuan kontrol, air dipertahankan dalam kondisi optimal selama fase
pertumbuhan hingga panen. Tinggi air pada petakan disesuaikan fase
pertumbuhan tanaman. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan dengan
menghentikan pengairan 4 minggu setelah tanam hingga 2 minggu setelah antesis
untuk mengkondisikan cekaman kekeringan pada saat antesis/awal pengisian biji.
Petak percobaan yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan dihindarkan dari
pengaruh hujan selama periode pengeringan dengan membangun rumah plastik.
Setelah periode pengeringan, naungan rumah plastik dibuka dan petakan tersebut
73
dikondisikan seperti kontrol. Monitor kadar air tanah selama masa pengeringan
tersebut menggunakan alat pengukur kadar air tanah (soil moisture meters,
TRIME-TDR), yang ditempatkan di tengah petakan percobaan.
Peubah yang diamati adalah (a) karakter agronomi dan morfologi (panjang
akar, luas daun dan tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering akar, nisbah
bobot akar-tajuk, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi,
persentase gabah hampa, bobot 1000 butir, bobot gabah per rumpun, indeks
panen, umur berbunga 50%, umur panen 85% menguning dan periode pengisian
biji serta indeks penurunan rata-rata terhadap setiap peubah); (b) karakter fisiologi
(kerapatan stomata, kadar air relatif daun, kandungan klorofil dan kandungan
karbohidrat nonstruktural); dan (c) peubah toleransi cekaman kekeringan yaitu
indeks toleransi (IT) dan indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK). Selain itu
juga dilakukan pengamatan terhadap data curah hujan dan suhu sebagai data
pendukung.
Indeks toleransi (IT) dihitung dengan menggunakan formula:
Keterangan:
Ys = Hasil gabah genotipe padi yang tumbuh pada perlakuan cekaman kekeringan
Yn = Hasil gabah genotipe padi yang tumbuh pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol)
Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah
berdasarkan perbandingan nilai IT varietas cek (Limboto).
Indeks kepekaan terhadap kekeringan (ISK) dihitung berdasarkan formula
yang telah dikembangkan oleh Fischer dan Maurer (1978) sebagai berikut:
ISK=(1-Hc/Hk)/(1-Hcr/Hkr)
Keterangan:
ISK = Indeks kepekaan genotipe tertentu
Hc = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan cekaman kekeringan
Hk = Hasil gabah dari genotipe tertentu pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol)
Ys IT (%) = --------- x 100 Yn
74
Hcr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan cekaman kekeringan
Hkr = Rata-rata hasil gabah dari seluruh genotipe pada perlakuan tanpa cekaman kekeringan (kontrol)
Kriteria untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap kekeringan adalah
berdasarkan perbandingan nilai ISK varietas cek (Limboto).
Pengamatan pada peubah fisiologi menggunakan 2 genotipe hibrida yaitu
BI485/BP3 (kategori peka), BI599/BP15 (ketegori toleran) dan 2 varietas cek
yaitu IR64 (kategori peka), Limboto (kategori toleran) serta Hipa 7 (hibrida
baru). Pengamatan dilakukan pada umur 8 minggu setelah tanam (akhir perlakuan
cekaman kekeringan).
Kadar air relatif daun ditentukan dengan menimbang 0.5 g daun segar (Bs).
Daun direndam dalam air selama 4 jam, kemudian ditimbang berat basa daun
(Bb). Daun dikeringkan selama 24 jam pada suhu 85 0
Analisis karbohidrat total (non struktural), dilakukan berdasarkan metode
yang dimodifikasi dari Yoshida et al. (1976). Sebanyak 100 mg sampel yang telah
dihaluskan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge. Ke dalam sampel
ditambahkan 2 ml air distilasi dan dipanaskan selama 15 menit dalam air
C, kemudian ditentukan
berat keringnya (Bk) (Farooq et al. 2010). Kadar air relatif daun (%) ditentukan
berdasarkan persamaan: KAR (%) = ((Bs-Bk)/(Bb-Bk)) x 100.
Analisis klorofil dilakukan berdasarkan metode Yoshida et al. (1976).
Sebanyak ± 0.03 g daun sampel yang diambil dari daun ke satu, ke dua dan ke
tiga, dihaluskan dengan mortar. Selama penghalusan daun sampel ditambahkan
aseton 80% sebanyak 4 ml untuk menghindari pencoklatan pada sampel. Daun
yang sudah halus dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya disentrifuge 2
000 rpm selama dua menit. Supernatan diambil, lalu dimasukkan ke dalam tabung
reaksi bersih. Endapan pada tabung reaksi ditambah aseton 80% sebanyak 4 ml,
disentrifuge kembali, kemudian supernatan dicampurkan ke dalam tabung reaksi
yang sudah terisi supernatan 4 ml. Supernatan sebanyak 8 ml dari hasil dua kali
sentrifuge divortek selama beberapa menit, selanjutnya ditera 10 ml dengan
penambahan aseton 80%. Hasil peneraan dibaca menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang A645 dan A663. Kandungan klorofil ditentukan dengan
menggunakan persamaan seperti disajikan pada Lampiran 5.
75
mendidih. Selanjutnya didinginkan, setelah dingin ditambahkan 2 ml 9.2 N
HClO4, kemudian didiamkan selama 15 menit sambil sekali-sekali diaduk.
Setelah itu, ditepatkan menjadi 10 ml dan disentrifuge. Supernatan dimasukkan
dalam tabung sentrifuge bersih. Pada residu ditambahkan kembali 2 ml 4.6 N
HClO4, kemudian didiamkan selama 15 menit sambil sekali-kali diaduk.
Selanjutnya ditepatkan menjadi 10 ml dan disentrifuge. Supernatan dari dua kali
sentrifuge sebanyak 20 ml ditera menjadi 50 ml. Dipipet 100 μl ekstrak, kemudian
ditambahkan H2O menjadi 2 ml. Selanjutnya ke dalam ekstrak ditambahkan 5 ml
reagent Anthrone 0.1%, kemudian divortek. Tabung reaksi dipanaskan dalam air
mendidih selama 7.5 menit, kemudian didinginkan dalam bak yang berisi air es.
Setelah itu ekstrak dibaca menggunakan spektofotometer pada 630 nm.
Kandungan karbohidrat total (glukosa) ditentukan dengan menggunakan
persamaan seperti disajikan pada Lampiran 5.
Data hasil pengamatan (kecuali data hasil pengamatan fisiologi) dianalisis
dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam
menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji DMRT
menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara peubah dari metode seleksi dini terhadap hasil. Sementara itu
data hasil pengamatan peubah fisiologi dilakukan tabulasi dan data rata-rata hasil
tabulasi ditampilkan dalam bentuk diagram.
Hasil dan Pembahasan
A. Karakter Agronomi dan Morfologi pada Kondisi Cekaman Kekeringan
A.1. Pertumbuhan Genotipe Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan
Hasil analisis ragam menunjukkan interaksi cekaman kekeringan dan
genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif, luas daun, umur berbunga 50% dan nisbah bobot akar tajuk. Interaksi
kekeringan dan genotipe hanya berpengaruh nyata pada peubah panjang akar,
bobot kering tajuk, bobot kering akar, umur panen dan periode pengisian biji
(Lampiran 6).
76
Akibat cekaman kekeringan di lahan sawah yang terjadi di akhir fase
vegetatif hingga dua minggu setelah antesis menunjukkan bahwa peubah tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif, luas daun, umur berbunga 50% dan nisbah
bobot akar tajuk antar genotipe tidak berbeda nyata, yang secara umum
mengalami penurunan relatif kecil yaitu berturut-turut masing-masing sebesar
15.1, 16.6 dan 9.8 persen (Tabel 18).
Tabel 18. Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan luas daun
Genotipe Tinggi tanaman (cm) Anakan poduktif Luas daun (cm2) Kontrol Cekaman
kekeringan Kontrol Cekaman
kekeringan Kontrol Cekaman
kekeringan BI485A/BP3 103.00 87.44 10.8 10.6 33.31 31.88 BI485A/BP5 98.33 95.67 12.7 9.7 32.23 29.53 BI485A/BP10 102.22 91.44 11.7 11.2 32.79 28.41 BI485A/BP12 105.22 94.78 8.7 10.1 41.28 33.94 BI485A/BP15 101.22 83.67 11.2 9.1 33.57 25.70 BI599A/BP5 101.00 95.33 11.4 10.8 31.51 29.33 BI599A/BP15 113.89 105.22 11.7 10.3 41.61 37.18 BI665A/BP6 106.00 102.78 11.2 8.7 44.40 39.27 Maro 102.78 91.22 12.4 10.8 29.12 27.94 Hipa 6 94.89 80.78 14.1 9.8 31.24 26.85 Hipa 7 106.22 89.78 12.3 10.2 33.17 31.30 Hipa 8 132.78 114.78 11.0 7.0 55.63 52.28 IR64 96.00 87.11 16.2 12.3 29.47 27.06 Limboto 119.22 97.22 8.2 6.0 63.73 60.20 Rata-rata 105.91 94.09 x 11.7y 9.8x 38.08y 34.35x y Penurunan relatif (%) 15.1 16.6 9.8 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada masing-masing peubah berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Sementara itu cekaman kekeringan pada kadar air ± 60% kapasitas
lapangan, mulai terjadi pada awal fase pengisian biji (Gambar 8). Kadar air tanah
pada kapasitas lapangan (pF 2.54) yaitu 25.6% dan titik layu permanen (pF 4.2)
yaitu 15.5%. Dengan demikian pada saat terjadi cekaman kekeringan
pertumbuhan tanaman telah stabil, oleh karena itu penurunan pertumbuhan relatif
kecil.
Secara umum tinggi tanaman akibat cekaman kekeringan pada genotipe
hibrida berkisar 83.67 – 105.22 cm dan varietas hibrida berkisar 80.78 - 114.78
77
cm, sedangkan varietas ceka Limboto dan IR-64 berturut-turut yaitu 97.22 dan
87.11 cm. Jumlah anakan produktif genotipe hibrida berkisar 8.7 – 11.2 anakan,
dan varietas hibrida berkisar 7.0 – 10.8 anakan, sedangkan varietas cek Limboto
dan IR-64 berturut-turut 6.0 dan 12.3 anakan. Sementara itu luas daun genotipe
hibrida berkisar 25.70 – 39.27 cm2 dan varietas hibrida berkisar 27.94 – 52.28
cm2, sedangkan varietas cek Limboto dan IR-64 berturut-turut 27.06 dan 60.20
cm2
23.523.628.5
25.026.325.3
32.2
39.0
05
1015202530354045
4 5 6 7 8 9 10 11
Minggu setelah tanam
Kad
ar a
ir ta
nah
(% v
olum
e)
(Tabel 18).
Gambar 8 Perubahan kadar air tanah selama periode pengeringan pada
kedalaman ± 16 cm
Hal yang berbeda terjadi pada peubah panjang akar, bobot kering tajuk,
bobot kering akar, umur panen dan periode pengisian biji. Akibat perlakuan
cekaman kekeringan antar genotipe/varietas memberikan respon yang berbeda
pada peubah panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, umur panen dan
periode pengisian biji.
Panjang akar antar genotipe berbeda nyata baik pada kondisi tanpa cekaman
kekeringan (kontrol) maupun cekaman kekeringan. Panjang akar pada kondisi
cekaman kekeringan lebih pendek dibandingkan dengan pada kontrol. Pada
kondisi cekaman kekeringan genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP12 dan
BI599A/BP5 serta varietas cek Limboto menghasilkan panjang akar yang lebih
panjang yaitu berturut-turut masing-masing 19.44, 19.22 dan 19.22 cm serta 19.22
cm, berbeda nyata dengan genotipe BI485A/BP5, varietas cek IR64 dan Hipa 6
(Tabel 19). Berdasarkan nilai penurunan relatif, semua genotipe yang diuji
menunjukkan penurunan panjang akar yang relatif kecil (berkisar antara 1.7 –
27.6 persen) bila dibandingkan dengan varietas cek IR64 (mencapai 33.6 persen)
78
kecuali genotipe BI665A/BP6, yang mengalami penurunan panjang akar 33.7
persen.
Fenomena penghambatan pemanjangan akar pada kondisi cekaman
kekeringan bila dibandingkan dengan tanpa cekaman kekeringan diduga
berhubungan dengan perubahan sifat fisik tanah sawah, setelah mengalami
kekeringan. Pembajakan dan pelumpuran tanah menyebabkan banyaknya butir
tanah halus yang akan meningkatkan pori mikro dan pembentukan lapisan tapak
bajak yang kedap air.
Tabel 19 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap panjang akar saat panen
Genotipe Panjang akar (cm)
Kontrol Cekaman Kekeringan
Penurunan relatif (%)
BI485A/BP3 23.78 18.44 bcde 22.4 h BI485A/BP5 23.33 16.89 cdef 27.6 i BI485A/BP10 22.78 19.44 cdefg 14.6 fgh BI485A/BP12 25.00 19.22 abcd 23.1 gh BI485A/BP15 21.89 18.22 defgh 17.8 h BI599A/BP5 19.56 19.22 fghi 1.7 gh BI599A/BP15 25.56 18.67 abcd 27.0 h BI665A/BP6 28.33 18.78 a 33.7 h Maro 20.33 17.89 efghi 12.0 hi Hipa 6 20.11 16.33 efghi 18.8 i Hipa 7 23.67 17.89 bcde 24.4 hi Hipa 8 26.67 18.11 abc 32.1 h IR64 24.44 16.22 bcd 33.6 i Limboto 27.33 19.22 ab 29.7 gh Rata-rata 23.77 18.17 x 23.6 y
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Perubahan sifat fisik tanah sawah akibat pembentukan padas akan
menghambat drainase dan dalamnya akar tanaman tetapi tidak menghambat akar
ke samping, sehingga pada perlakuan kontrol masih terjadi pemanjangan akar
secara horisontal (Darmawijaya 1997). Perubahan sifat fisik tanah tersebut, jika
mengalami kekeringan menyebabkan tanah sawah membentuk struktur tanah yang
kompak dan keras sehingga menghambat pertumbuhan akar baik secara vertikal
maupun horisontal, akibatnya rata-rata panjang akar genotipe padi hibrida pada
79
kondisi kekeringan tidak lebih panjang dari kontrol. Beberapa hasil penelitian di
lahan sawah (Gowda et al. 2011) menunjukkan bahwa 69% - 94% akar terdapat
pada kedalaman 10 cm dan sangat sedikit akar ditemukan >30 cm. Penetrasi akar
ke dalam secara vertikal dapat membantu padi menghindari cekaman kekeringan,
meskipun demikian penetrasi akar dibatasi oleh kehadiran hardpan. Hardpan
yang berkembang dari pelumpuran dapat memperbaiki kapasitas retensi air tanah
(Sharma dan De Datta 1985), tetapi menghalangi penetrasi akar untuk mencapai
kelembaban pada zona yang lebih dalam setelah tanah mengalami kekeringan
(Babu et al. 2001; Clark et al. 2002; Samson et al. 2002). Gowda et al. (2011)
melaporkan bahwa pada kondisi genangan dan macak-macak, resistensi penetrasi
akar pada kedalaman 10 cm masing-masing sebesar 0.64 MPa dan 1.70 MPa.
Selanjutnya dilaporkan bahwa pada kekuatan tanah 0.50 – 2.00 MPa, penetrasi
akar menurun >50 persen dan sangat menurun pada 3.00 MPa dan >3.00 MPa
(Bengough dan Mullins 1990).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa panjang akar varietas cek
Limboto pada kondisi cekaman kekeringan memiliki akar yang lebih panjang,
tetapi berdasarkan nilai penurunan relatif panjang akar dapat mencapai 29.7
persen, namun masih lebih rendah dibanding IR64 (Tabel 19). Gowda (2011)
menyatakan bahwa terdapat variasi genetik pada kedalaman akar, kultivar padi
gogo cenderung memiliki akar dalam dibanding kultivar padi sawah. Hal yang
sama dinyatakan oleh Yu et al. (1995) bahwa secara umum kultivar padi gogo
memiliki kemampuan penetrasi yang baik dibandingkan dengan kultivar padi
sawah. Lafitte et al. (2006) melaporkan bahwa penurunan panjang akar genotipe
padi sawah IR2266 lebih besar bila dibandingkan dengan genotipe padi gogo
CT9993, yang lebih beradaptasi pada kondisi kekurangan air di lahan sawah tadah
hujan. Lebih lanjut Lafitte et al. (2006) melaporkan bahwa cekaman kekeringan
dapat menurunkan hasil gabah padi sawah sebesar 75 persen. Masle (1992)
menyatakan bahwa pengaruh hardpan pada perkembangan akar menyebabkan
terjadinya perubahan secara fisiologi dan morfologi pada pertumbuhan termasuk
penurunan laju transpirasi dan penambahan luas daun dan akhirnya penurunan
pada akumulasi bahan kering.
80
Bobot kering tajuk dan akar tanaman juga menurun akibat cekaman
kekeringan, kecuali bobot kering tajuk varietas cek Limboto tidak berbeda nyata
antara kontrol dan cekaman kekeringan. Pada kondisi cekaman kekeringan, bobot
kering tajuk antar genotipe tidak berbeda nyata. Genotipe BI665A/BP6
menghasilkan bobot kering tajuk tertinggi, kemudian diikuti varietas cek Limboto
dan genotipe/varietas cek lainnya (Tabel 20). Penurunan bobot kering tajuk pada
kondisi cekaman kekeringan berdasarkan nilai penurunan relatif berkisar antara
26.9 persen sampai dengan 63.7 persen. Varietas cek Limboto dan genotipe
BI485A/BP12 akibat cekaman kekeringan mengalami penurunan bobot kering
tajuk kurang dari 30 persen.
Tabel 20 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering tajuk saat panen
Genotipe Bobot kering tajuk (g) Kontrol Cekaman Kekeringan Penurunan relatif (%)
BI485A/BP3 40.42 25.66 cdef 36.5 hij BI485A/BP5 46.43 21.03 bcde 54.7 ij BI485A/BP10 37.75 22.87 efg 39.4 ij BI485A/BP12 32.04 22.44 fgh 29.9 ij BI485A/BP15 38.55 23.08 defg 40.1 ij BI599A/BP5 37.19 23.15 efgh 37.8 ij BI599A/BP15 51.65 27.08 bc 47.6 ghij BI665A/BP6 53.42 37.30 b 30.2 efgh Maro 39.62 22.57 def 43.0 ij Hipa 6 52.31 18.99 b 63.7 j Hipa 7 48.66 23.28 bcde 52.2 ij Hipa 8 64.59 25.20 a 61.0 ij IR64 50.27 21.68 bcd 56.9 ij Limboto 42.08 30.75 bcdef 26.9 fghij Rata-rata 45.35 24.65 x 45.6 y Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada
α = 0.05.
Penurunan bobot kering tajuk berkaitan dengan penurunan luas daun,
sebagai upaya untuk menghindari cekaman kekeringan. Sinclair dan Muchow
(2001) menyatakan bahwa ukuran daun yang lebih kecil menyebabkan daun
kehilangan kesempatan untuk intersepsi radiasi matahari lebih banyak,
mengakibatkan produksi bahan kering menurun. Pola pengaruh cekaman
kekeringan terhadap bobot kering tajuk, sama halnya dengan pada bobot kering
akar. Penurunan bobot kering akar akibat cekaman kekeringan berdasarkan nilai
81
penurunan relatif cukup besar yaitu antara 33.4 persen sampai dengan 69.3
persen. Gowda et al. (2011) menyatakan bahwa pengaruh cekaman kekeringan
terhadap pertumbuhan akar mungkin berbeda sebab masa akar dan panjang akar
dapat menunjukkan tren yang berlawanan khususnya ketika diameter akar
menurun karena kekeringan menyebabkan akar lebih panjang tetapi masa akar
berkurang. Hal ini berimplikasi pada besarnya penurunan bobot kering akar
(Tabel 21).
Tabel 21 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap bobot kering akar saat panen
Genotipe Bobot kering akar (g) Kontrol Cekaman Kekeringan Penurunan relatif (%)
BI485A/BP3 2.38 1.56 bcde 34.5 fgh BI485A/BP5 2.38 1.37 bcde 42.5 fgh BI485A/BP10 2.37 1.19 bcde 49.6 gh BI485A/BP12 1.82 1.00 defg 45.1 h BI485A/BP15 2.32 1.54 bcde 33.4 fgh BI599A/BP5 2.09 1.29 cdef 38.1 gh BI599A/BP15 2.63 1.53 bc 41.8 fgh BI665A/BP6 2.73 1.75 bc 35.9 efgh Maro 2.41 1.23 bcde 49.0 gh Hipa 6 2.75 0.99 bc 64.0 h Hipa 7 2.54 1.20 bcd 53.0 gh Hipa 8 3.49 1.07 a 69.3 gh IR64 2.96 1.16 ab 60.8 gh Limboto 2.75 1.53 bc 44.4 fgh Rata-rata 2.54 1.32 x 48.0 y
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Penurunan bobot kering tajuk yang diikuti penurunan bobot kering akar
pada kondisi cekaman kekeringan menyebabkan peningkatan nisbah bobot kering
akar tajuk (NAT) relatif kecil pada beberapa genotipe yang diduga toleran
kekeringan seperti genotipe BI485A/BP5, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15.
Nisbah bobot akar tajuk juga bervariasi antar sistem budidaya. Pada kondisi lahan
kering nisbah bobot akar tajuk meningkat (Price et al. 2002), dibandingkan
dengan nisbah akar-tajuk pada kondisi lahan sawah (Azhiri-Sigari et al. 2000;
Banoc et al. 2000). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa cekaman
kekeringan menyebabkan peningkatan nisbah bobot akar tajuk dan pertumbuhan
82
panjang akar, tetapi kondisi kekeringan yang sangat parah dan kehadiran hardpan
telah mengurangi partisi asimilat ke akar (Gowda et al. 2011).
Pengamatan yang dilakukan pada saat tanaman berbunga menunjukkan
bahwa umur berbunga 50 persen tidak berbeda nyata antar genotipe akibat
perlakuan kekeringan di lahan sawah, tetapi umur panen antar genotipe berbeda
nyata (Tabel 22). Hal ini berkaitan dengan cekaman kekeringan mulai terjadi pada
akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis (Gambar 8).
Tabel 22 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap
umur panen dan periode pengisian biji
Genotipe
Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Periode pengisian biji (hari)
Kontrol Cekaman kekeringan
Kontrol Cekaman kekeringan
Kontrol Cekaman kekeringan
BI485A/BP3 82.0 82.0 109.7 110.0 fg 27.7efg 28.0 bcde bcde BI485A/BP5 80.7 80.0 110.3 109.0 efg 29.7 gh 29.0 ab BI485A/BP10
abc 81.3 80.3 106.0 106.7 jkl 24.7 ijk 26.3 fghi
BI485A/BP12 defg
80.3 78.3 104.7 99.7 lm 24.3n 21.3 ghij BI485A/BP15
k 80.0 78.7 108.0 104.3 hi 28.0m 25.7bcde
BI599A/BP5 efgh
81.7 82.0 111.3 111.0de 29.7 def 29.0 ab BI599A/BP15
abc 82.3 81.7 109.7 104.7 fg 27.3lm 23.0 bcde
BI665A/BP6 ijk
89.0 87.0 115.3 114.3 c 26.3c 27.3 defg Maro
bcde 81.3 79.7 109.3 105.3gh 28.0klm 25.7 bcde
Hipa 6 efgh
88.0 86.7 112.0 110.3 d 24.0efg 23.7 ghij Hipa 7
hijk 85.7 83.0 110.3 110.0efg 24.7 efg 27.0 fghi
Hipa 8 cdef
91.0 91.3 118.0 119.7 ab 27.0 a 28.3 cdef IR64
bcd 86.3 84.3 111.0 115.3 def 24.7c 31.0 fghi
Limboto a
85.3 84.7 107.3 106.7 ij 22.0ijk 22.0jk Rata-rata
jk 83.9 82.8 x 110.2y 109.1x 26.3 y 26.2
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Pada perlakuan cekaman kekeringan, beberapa genotipe lebih mempercepat
umur panen atau memperpendek periode pengisian biji (Tabel 22). Genotipe
BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 serta Maro akibat cekaman
kekeringan mempercepat hari kematangan gabah/umur panen 4 hingga 5 hari
dibanding kontrol. Periode pengisian biji pada genotipe tersebut juga menjadi
lebih pendek yaitu berturut-turut masing-masing 21.3, 25.7 dan 23.0 hari
dibanding varietas cek IR64, yang mencapai 31.0 hari (Tabel 22). Yang et al.
(2003) melaporkan bahwa defisit air selama pengisian biji pada padi, dapat
menginduksi senesen lebih awal, penurunan fotosintesis, meningkatnya
83
remobilisasi cadangan C pra-simpan dari batang ke biji dan memperpendek
periode waktu pengisian biji. Periode aktif pengisian biji dapat dipersingkat 5-6
hari pada kondisi cekaman kekeringan moderat dan 12-17 hari pada kondisi
cekaman kekeringan parah dibanding dengan tanpa cekaman kekeringan.
A.2. Komponen Hasil dan Hasil Padi Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi cekaman kekeringan dan
genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap peubah panjang malai, jumlah gabah
isi per malai dan bobot 1 000 butir. Interaksi cekaman kekeringan dan genotipe
hanya berpengaruh nyata pada persentase gabah hampa, bobot gabah per rumpun,
hasil gabah per hektar dan indeks panen (Lampiran 6). Hal ini mengindikasikan
bahwa terdapat perbedaan respon antar genotipe akibat cekaman kekeringan pada
peubah persentase gabah hampa, bobot gabah per rumpun, hasil gabah per hektar
dan indeks panen.
Tabel 23. Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot 1 000 butir
Genotipe
Panjang malai (cm) Jumlah gabah isi (butir)
Bobot 1 000 butir (g)
Kontrol Cekaman kekeringan
Kontrol Cekaman kekeringan
Kontrol Cekaman kekeringan
BI485A/BP3 25.99 23.66 79.8 36.4 25.22 22.11 BI485A/BP5 26.48 24.39 69.4 40.3 26.71 22.72 BI485A/BP10 26.99 24.04 93.7 53.4 26.04 22.83 BI485A/BP12 27.83 25.09 115.8 88.9 24.98 23.54 BI485A/BP15 26.55 23.59 89.6 69.1 26.45 22.66 BI599A/BP5 26.60 26.88 81.5 54.6 26.42 22.47 BI599A/BP15 28.63 26.50 97.8 84.0 27.04 22.90 BI665A/BP6 27.39 25.68 66.5 33.4 24.03 22.04 Maro 27.45 25.18 84.7 42.3 24.65 21.75 Hipa 6 26.42 24.14 100.1 53.6 20.60 19.38 Hipa 7 27.76 25.05 89.9 67.9 22.25 21.45 Hipa 8 29.54 26.46 91.2 47.6 23.10 21.44 IR64 25.39 23.09 66.1 35.0 25.73 21.82 Limboto 28.59 25.71 105.4 78.7 25.91 24.10 Rata-rata 27.26 24.96 x 88.0 y 56.1x 24.94y 22.23x y Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti huruf yang tidak sama pada masing-masing peubah
berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
84
Akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan sawah yang terjadi pada
akhir fase vegetatif hingga dua minggu setelah antesis, antar genotipe secara
umum menghasikan panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot gabah 1 000 butir
yang relatif sama, akan tetapi pada peubah jumlah gabah isi cenderung tinggi pada
genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, Limboto dan Hipa 7
dibanding dengan IR64. Jumlah gabah isi genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15,
BI599A/BP15, Limboto dan Hipa 7 yaitu berturut-turut sebesar 88.9, 69.1, 84.0,
78.7 dan 67.9 butir, sedangkan IR64 hanya 35.0 butir (Tabel 23). Hal ini
berimplikasi pada rendahnya persentase gabah hampa genotipe/varietas tersebut.
Pada perlakuan cekaman kekeringan genotipe BI485A/BP12, BI599A/BP15,
BI485A/BP15 dan BI485A/BP10 menghasilkan persentase gabah hampa
terrendah yang tidak berbeda nyata dengan varietas cek Limboto dan Hipa7 yaitu
berturut-turut sebesar 41.2, 46.9, 48.1 dan 54.0 persen serta 48.3 dan 54.4 persen
(Tabel 24). Hal ini berimplikasi pada tingginya bobot gabah per rumpun genotipe
BI485A/BP12 yaitu sebesar 17.60 g yang tidak berbeda nyata dengan genotipe
BI485A/BP10, BI485A/BP15, BI599A/BP15 dan varietas Hipa 7 serta Limboto
yaitu berturut-turut sebesar 12.40, 16.78, 17.02, 12.72 dan 17.06 g (Tabel 24).
Daya hasil BI485A/BP12 adalah 2.82 ton ha-1 yang tidak berbeda nyata dengan
genotipe BI485A/BP10, BI485A/BP15, BI599A/BP15 yaitu berturut-turut sebesar
1.98, 2.58, 2.72, 2.04 dan 2.73 ton ha-1, sedangkan IR64 hanya menghasilkan
gabah 1.42 ton ha-1
(Tabel 25). Hasil genotipe hibrida tersebut erat kaitannya
dengan meningkatnya remobilisasi cadangan asimilat dari daun dan batang ke biji
pada kondisi defisit air. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa kondisi defisit air,
selama pengisian biji dapat meningkatkan remobilisasi C dan pengisian biji pada
padi hibrida yang dihasilkan dari sistem tiga galur.
Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI599A/BP15 akibat perlakuan
cekaman kekeringan menurunkan bobot gabah per rumpun yang relatif lebih
rendah dibandingkan dengan varietas IR64, tetapi relatif sama dengan varietas
Limboto dan Hipa 7. Penurunan relatif bobot gabah per rumpun pada genotipe
BI485A/BP12, BI485A/BP15, BI599A/BP15, varietas Limboto dan Hipa 7
berturut-turut hanya sebesar 9.5, 16.1, 15.6, 14.1 dan 23.7 persen, sedangkan IR64
menurun sebesar 52.7 persen (Tabel 24).
85
Tabel 24 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap persentase gabah hampa dan bobot gabah per rumpun
Genotipe
Persentase gabah hampa (%)
Bobot gabah (g rumpun-1 Penurunan
relatif (%) )
Kontrol Cekaman kekeringan
Kontrol Cekaman kekeringan
BI485A/BP3 60.3 73.9 cdefgh 16.40 ab 7.14 abcde 56.5 hi BI485A/BP5 56.5 63.8 defghi 14.10 bcdef 9.35 bcdef 33.7 fghi BI485A/BP10 44.7 54.0 ij 20.27 efghij 12.40 a 38.8 defgh BI485A/BP12 48.0 41.2 hij 19.45 j 17.60 abc 9.5 abcd BI485A/BP15 50.0 48.1 ghij 20.01 hij 16.78 a 16.1 abcde BI599A/BP5 48.0 63.5 hij 15.97 bcdef 11.42 abcde 28.5 efghi BI599A/BP15 55.2 46.9 efghi 20.17 hij 17.02 a 15.6 abcd BI665A/BP6 68.5 79.9 abcd 12.03 a 6.85 defghi 43.1 i Maro 50.4 68.7 fghij 19.59 abcd 9.21 ab 53.0 fghi Hipa 6 51.4 63.0 fghij 16.63 bcdefg 11.36 abcde 31.7 efghi Hipa 7 54.0 54.4 efghij 16.68 efghij 12.72 abcde 23.7 defg Hipa 8 63.2 70.6 bcdefg 13.88 abc 7.74cdef 44.3 ghi IR64 48.7 66.3 hij 18.72 abcd 8.85 abc 52.7 fghi Limboto 48.5 48.3 hij 19.85 hij 17.06 a 14.1 abcd Rata-rata 53.4 60.2 y 17.41 x 11.82x 32.1 y Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Villa et al. (2011) melaporkan bahwa secara umum hasil biji padi hibrida
lebih tinggi dibanding dengan padi inbrida pada berbagai kondisi lingkungan.
Pada lahan sawah yang tercekam kekeringan, padi hibrida yang berbunga lebih
awal umumnya produksinya tinggi. Hal yang sama juga telah dilaporkan oleh
Lafitte dan Courtois (2002) bahwa produksi pada kondisi cekaman kekeringan
secara konsisten lebih tinggi pada kultivar yang matang lebih awal. Kumar et al.
(2006) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman kekeringan pada padi, bahan
kering diredistribusi dari daun dan batang, berkontribusi secara nyata pada hasil
biji kultivar NSG-19 dan Sabita yang matang lebih awal. Selanjutnya Lafarge et
al. (2009) menyatakan bahwa tingginya hasil hibrida, akibat laju pertumbuhan
batang yang tinggi dan partisi asimilat yang baik diantara organ-organ tanaman.
86
Tabel 25 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah dan genotipe terhadap hasil gabah per hektar, indeks panen, indeks toleransi kekeringan dan indeks kepekaan kekeringan
Genotipe Hasil gabah (ton ha-1 Indeks panen (IP) ) Indeks
toleransi kekeringan
(%)
Indeks kepekaan
kekeringan Kontrol Cekaman
kekeringan Kontrol Cekaman
kekeringan
BI485A/BP3 2.67 1.14 abcde 0.38 hi 0.26 fghij 43.5 ijk 1.76 BI485A/BP5 2.26 1.50 bcdef 0.31 fghi 0.43 hijk 66.3 cdefghi 1.05 BI485A/BP10 3.24 1.98 a 0.51 defgh 0.52 cdefg 61.2 cdef 1.21 BI485A/BP12 3.11 2.82 abc 0.58 abcd 0.76 bcd 90.5 a 0.30 BI485A/BP15 3.20 2.58 a 0.49 abcde 0.70cdefg 83.9 ab 0.50 BI599A/BP5 2.55 1.83 abcde 0.41 efghi 0.47 defghi 71.6 cdefgh 0.89 BI599A/BP15 3.23 2.72 a 0.38 abcd 0.60 fghij 84.4 bc 0.49 BI665A/BP6 1.93 1.10 defghi 0.22 i 0.17 jk 56.9 k 1.34 Maro 3.14 1.47 ab 0.46 fghi 0.40 cdefgh 47.0 defghi 1.65 Hipa 6 2.66 1.88 abcde 0.33 efghi 0.56 ghijk 68.4 bcde 0.99 Hipa 7 2.67 2.04 abcde 0.33defg 0.49 ghijk 76.3 cdefg 0.74 Hipa 8 2.22 1.24cdef 0.21 ghi 0.30 jk 55.7 hijk 1.38 IR64 3.00 1.42 abc 0.35 fghi 0.40 fghij 47.3 efghi 1.64 Limboto 3.18 2.73 a 0.45 abcd 0.53 cdefgh 86.0 cdef 0.44 Rata-rata 2.79 1.89x 0.38y 0.46 y x Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada masing-masing peubah tidak berbeda nyata
berdasarkan uji DMRT pada α = 0.05.
Persentase gabah hampa yang tinggi pada beberapa genotipe akibat
perlakuan cekaman kekeringan (Tabel 24) berimplikasi pada indeks panen yang
rendah (Tabel 25). Indeks panen pada perlakuan cekaman kekeringan berbeda
nyata antar genotipe. Genotipe BI485A/BP12 menghasilkan indeks panen
tertinggi yaitu 0.76, kemudian diikuti genotipe BI485A/BP15 dan BI599A/BP15
dengan nilai indeks panen masing-masing 0.70 dan 0.60. Villa et al. (2011)
melaporkan bahwa indeks panen padi hibrida nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan padi inbrida baik pada kondisi cekaman kekeringan maupun tanpa
cekaman kekeringan. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa tingginya indeks
panen karena meningkatnya remobilisasi asimilat akibat defisit air. Defisit air
menyebabkan laju pengisian biji meningkat dan periode waktu pengisian biji
memendek. Rata-rata laju pengisian biji pada tanaman yang mengalami
kekeringan moderat dan kekeringan parah, telah meningkat 22% dan 48% pada
percobaan pot dan 19% dan 38% pada percobaan lapangan, dibandingkan dengan
kondisi tanpa cekaman kekeringan. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa
87
penurunan biomasa tanaman genotipe peka akibat cekaman kekeringan akan
berdampak pada penurunan hasil padi, sehingga biomasa dan indeks panen yang
tinggi dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mendapatkan genotipe
toleran kekeringan.
Hasil gabah dan indeks panen yang tinggi pada genotipe BI485A/BP12,
BI485A/BP15, BI599A/BP15 menyebabkan nilai indeks toleransi relatif tinggi
dan indeks kepekaan terhadap kekeringan yang relatif rendah pada genotipe
tersebut (Tabel 25). Berdasarkan nilai indeks toleransi yang relatif tinggi yaitu
lebih dari 80 persen dengan persentase penurunan hasil gabah per rumpun kurang
dari 20 persen dan indeks kepekaan terhadap kekeringan kurang dari 0.5 atau
nilai-nilai dari peubah toleransi terhadap cekaman kekeringan yang relatif sama
dengan varietas cek Limboto maka genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan
BI599A/BP15 termasuk kategori toleran kekeringan.
B. Karakter Fisiologi Genotipe Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan
Tanaman dalam menghadapi kondisi cekaman kekeringan akan memberikan
respon perubahan morfologi dan serangkaian proses fisiologi yang bermuara pada
toleransi terhadap cekaman kekeringan. Perubahan pada proses fisiologi akibat
perlakuan cekaman kekeringan berupa terhambatnya proses pembelahan sel,
sintesis protein, fotosintesis termasuk perubahan partisi dan akumulasi
karbohidrat (Mitra 2001; Altman 2003;
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe BI599A/BP15 yang
termasuk genotipe toleran kekeringan, baik berdasarkan metode pengujian dengan
PEG 6000 maupun perlakuan cekaman kekeringan di pot, menghasilkan tingkat
kerapatan stomata yang rendah dan tetap mempertahankan status air daun relatif
tetap tinggi (Gambar 9 dan 10) akibat perlakuan cekaman kekeringan di lahan
sawah. Tingkat kerapatan stomata yang rendah diduga dapat meningkatkan
toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan, karena efisiensi stomata
mengontrol pengurangan kehilangan air. Shinozaki dan Yamaguchi-Shinozaki
(2007) menyatakan bahwa salah satu respon tanaman terhadap kondisi defisit air
Pieters dan Souki 2005) dan perubahan
konduktansi stomata serta kadar air relatif daun (Zulkarnain et al. 2009).
B.1. Kerapatan Stomata dan Kadar Air Relatif Daun
88
adalah berkurangnya kerapatan stomata. Selain itu, Kumar et al. (2006)
melaporkan bahwa meningkatnya produksi bahan kering pada kondisi kekeringan
terkait dengan pemeliharaan kadar air relatif daun yang tinggi pada pembungaan.
Pengurangan bahan kering pada IR-20 pada cekaman kekeringan, karena terjadi
pengurangan kadar air relatif daun.
0200400600800
1000
BI485A/B
P3
BI485A/B
P15
BI599A/B
P15IR
64
Limboto
Hipa 7
Ker
apat
an st
omat
a (m
m-2)
Pengairan normal Cekaman kekeringan
Gambar 9 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kerapatan
stomata
Jongdee et al. (2002) menyatakan bahwa kemampuan memelihara status
potensial air daun selama cekaman kekeringan nampaknya penting untuk
stabilitas produksi pada lingkungan yang mengalami kekeringan. Venuprasad et
al. (2011) melaporkan bahwa pemberian cekaman kekeringan yang lama yaitu 78
– 97 hari setelah tanam pada galur-galur padi Near Isogenic (NILs) menunjukkan
terjadinya penurunan kadar air relatif daun. Penurunan kadar air relatif daun NILs
peka menunjukkan kecenderungan penurunan yang tinggi dibanding NILs
toleran, walaupun perbedaan ini tidak nyata secara statistik. Pada 97 hari setelah
tanam kadar air relatif nyata lebih tinggi pada galur toleran dibanding galur peka
IR77298-14-1-2-B.
Sama dengan hasil penelitian ini, penelitian pada tanaman kacang tunggak
menunjukkan kultivar toleran dapat mempertahankan kadar air relatif daun lebih
tinggi dibandingkan dengan kultivar peka kekeringan (Gunes et al. 2008; Jain dan
Chattopadhyay 2010).
89
657075808590
BI485A
/BP3
BI599A
/BP1
5IR
64
Limbo
to
Hipa 7
KA
RD
(%)
Pengairan normal Cekaman kekeringan
Gambar 10 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kadar air
relatif daun
B.2. Klorofil
Akibat cekaman kekeringan kandungan klorofil daun pada genotipe hibrida
dan varietas cek menunjukkan penurunan kecuali pada varietas Limboto (Gambar
11). Banyak peneliti telah melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat
menyebabkan terganggunya aktivitas fotosistem II, akibat penurunan kandungan
klorofil (Pieters dan Souki 2005). Defisit air secara nyata mengurangi laju
fotosintesis daun bendera selama pengisian biji. Degradasi kandungan klorofil
juga berkaitan dengan proses senesen. Cekaman kekeringan pada genotipe toleran
dapat mempercepat laju senesen. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa pada
kondisi pengairan yang baik, kandungan klorofil daun bendera menurun secara
perlahan dengan menuanya daun. Laju penurunan meningkat setelah tanaman
terekspos pada defisit air. Defisit air yang meningkat menyebabkan peningkatan
penuaan daun.
Induksi senesen yang terjadi lebih awal akibat defisit air mungkin
berhubungan dengan reduksi serapan N dari tanah dan meningkatnya sintesis
ABA (Davies dan Zhang 1991). Penurunan fotosintesis akibat defisit air
berhubungan dengan senesen lebih awal dan menurunnya kandungan klorofil
(Siddique et al. 1999). Izanloo et al. (2008) melaporkan bahwa pada kondisi
defisit air kultivar gandum toleran kekeringan RAC875 menunjukkan daun yang
lebih tebal, luas daun bendera yang lebih kecil dan kadar klorofil lebih tinggi
90
dibandingkan dengan Kurki dan Excalibur. Kandungan klorofil yang tinggi pada
RAC875 mungkin refleksi ketebalan daun pada kultivar tersebut. Daun yang tebal
akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas dan karena itu
kadar klorofil tinggi per satuan luas daun. Varietas cek Limboto diduga memiliki
strategi seperti ini (daun yang tebal), sehingga kandungan klorofil daun tetap
tinggi pada akhir cekaman kekeringan.
2.9353.9473.3282.7893.1743.720
2.8323.7343.379
4.178
1.072
1.4641.227
1.0301.204
1.399
1.060
1.3691.211
1.492
0123456
BI485A/B
P3 (kon
trol)
Kekeri
ngan
BI599A/B
P15 (k
ontrol)
Kekeri
ngan
IR64 (
kontr
ol)
Kekeri
ngan
Limboto
(kontr
ol)
Kekeri
ngan
Hipa 7 (k
ontro
l)
Kekeri
ngan
Klo
rofil
(mg
g -1)
Klorofil a Klorofil b
Gambar 11 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kandungan klorofil
B.3. Karbohidrat Total
Kandungan karbohidrat pada batang, pelepah dan daun genotipe padi hibrida
lebih rendah akibat cekaman kekeringan, sedangkan pada akar cenderung lebih
tinggi dibanding tanpa cekaman kekeringan (kontrol). Kandungan karbohidrat
daun genotipe BI485A/BP3 dan BI599A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan
lebih rendah dibanding kontrol berturut-turut 82.89 dan 79.75 mg g-1, sedangkan
kontrol berturut-turut 86.80 dan 96.83 mg g-1. Sama halnya dengan kandungan
karbohidrat daun pada varietas IR64, Limboto dan Hipa 7, juga cenderung rendah
pada kondisi cekaman kekeringan tetapi lebih tinggi dibanding genotipe
BI485A/BP3 dan BI599A/BP15 berturut-turut 113.08, 106.89 dan 119.63 mg g-1,
dibanding kontrol. Kandungan karbohidrat daun varietas IR64, Limboto dan Hipa
91
7 pada kontrol berturut-turut 130.02, 116.37, 134.09 mg g-1. Sementara itu akibat
cekaman kekeringan, karbohidrat pelepah dan batang genotipe hibrida terutama
BI599A/BP15 mengalami penurunan yang sangat tinggi dibanding kontrol yaitu
berturut-turut 53.9 dan 56.7 persen. Kandungan karbohidrat batang genotipe
BI599A/BP15 pada kondisi cekaman kekeringan juga lebih rendah (84.85 mg g-1)
bila dibanding kandungan karbohidrat batang pada genotipe BI485A/BP3 (109.22
mg), varietas cek IR-64 (125.09 mg g-1), Limboto (146.53 mg g-1) dan Hipa 7
(149.07 mg g-1). Kandungan karbohidrat akar baik pada genotipe hibrida maupun
varietas cek akibat cekaman kekeringan, cenderung lebih tinggi dibanding
kontrol. Genotipe BI485A/BP3, BI485A/BP15, varietas IR-64, Limboto dan Hipa
7 akibat cekaman kekeringan memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut
102.55, 111.18, 101.20, 105.19 dan 106.25 mg g-1, sedangkan pada kontrol
memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut 88.60, 104.93, 85.02, 105.18,
dan 100.55 mg g-1
(Gambar 12).
Gambar 12 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap karbohidrat non struktural
171.76195.86
159.03 150.37178.13
109.2284.85
125.09 146.53 149.07
050
100150200250300
BI485A
/BP3
BI599A
/BP1
5IR
64
Limbo
to
Hipa 7
Kar
bohi
drat
(m
g gl
ukos
a g
bk-1
)
104.93 85.02 105.18 100.5588.60102.55 111.84 101.20 105.19 106.25
050
100150200250300
BI485A
/BP3
BI599A
/BP1
5IR
64
Limbo
to
Hipa 7
Akar Batang
86.80 96.83130.02 116.37 134.09
119.63113.0879.7582.89
106.89
0
50
100
150
200
250
300
Kar
bohi
drat
(mg
gluk
osa
g bk
-1)
154.02
292.70
115.34118.16 119.66134.88
89.80115.38
99.2080.86
0
50
100
150
200
250
300
Pengairan normal Cekaman kekeringan
Daun Pelepah
92
Kandungan karbohidrat yang lebih rendah baik pada batang, pelepah dan
daun pada kondisi cekaman kekeringan disebabkan oleh karena realokasi asimilat
pra-antesis yang cepat dari daun dan batang ke biji selama fase pengisian biji.
Yang et al. (2003) menyatakan bahwa defisit air selama pengisian biji pada padi
menginduksi senesen lebih awal, penurunan fotosintesis, meningkatnya
remobilisasi cadangan C pra-simpan dari batang ke biji dan memperpendek
periode waktu pengisian biji serta memperbaiki produksi biji. Pada saat
dimulainya penghentian pengairan (9 hari setelah antesis) sekitar 75% 14C
ditemukan di batang, dan sekitar 8% di biji. Setelah 24 hari penghentian pengairan
(33 hari setelah antesis), 14C pada batang berkurang menjadi 35-37% pada
kekeringan moderat, 17-19% pada kekeringan parah dan 52-58% pada kondisi
pengairan yang baik. Namun sebaliknya 14
Tingginya karbohidrat pada akar, merupakan respon tanaman untuk
pertumbuhan akar (menembus hardpan) pada kondisi cekaman kekeringan. Asch
et al. (2004) melaporkan bahwa proporsi total bahan kering yang dialokasikan ke
bagian akar atau pucuk tergantung pada laju menurunnya kekeringan tanah. Lebih
lanjut Gregory et al. (1996) menyatakan bahwa alokasi asimilat pada akar adalah
tinggi pada awal fase vegetatif tetapi menurun dengan nyata pada pembungaan
C pada biji meningkat 45-46% pada
perlakuan kekeringan moderat, 62-66% pada kekeringan parah, dan hanya 19-
22% pada pengairan yang baik pada 33 hari setelah antesis.
Rata-rata laju pengisian biji pada tanaman yang mengalami kekeringan
moderat dan kekeringan parah, meningkat 17-20% dan 36-39%. Yang et al.
(2002) menyatakan bahwa remobilisasi dan senesen adalah proses yang terjadi
bersamaan pada padi. Proses tersebut dipercepat oleh cekaman kekeringan yang
terjadi selama pengisian biji dan kemungkinan berhubungan dengan level ABA
yang tinggi, meningkatnya aktivitas α-amilase, dan aktivasi yang tinggi dari
sukrosa-fosfat sintase pada tanaman padi. Yang et al. (2003) menyatakan bahwa
percepatan daun senesen berkorelasi dengan persentase pengisian biji yang tinggi
dan produksi tinggi, pada galur padi tipe baru. Dwyer et al. (1995) telah
mengamati pada jagung bahwa realokasi cepat karbohidrat dari batang ke biji
menyebabkan bobot biji yang tinggi, dibanding pada jagung dengan karakter ”stay
green”.
93
dan hampir tidak berarti pada antesis. Kawata dan Soejima (1974) menunjukkan
bahwa produksi akar setelah pembungaan memainkan peranan penting pada
periode pengisian biji.
Simpulan
7. Terdapat perbedaan respon antar genotipe hibrida akibat perlakuan cekaman
kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan secara nyata menurunkan panjang
akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot gabah per rumpun dan hasil
gabah per hektar.
8. Genotipe BI485A/BP12, BI485A/BP15 dan BI559A/BP15 terpilih sebagai
genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah
hujan, karena pada kondisi cekaman kekeringan:
a. Penurunan panjang akar yang relatif lebih kecil (17.6 – 26.9 persen)
dibanding dengan varietas cek peka IR64 (33.6 persen).
b. Menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil
gabah per hektar yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya.
Selain itu memiliki umur panen lebih cepat, periode pengisian biji yang
pendek serta memiliki indeks toleransi ≥80 persen dan indeks kepekaan
terhadap kekeringan ≤0.50.
c. Mampu menghasilkan gabah masing-masing sebesar 2.82, 2.58 dan 2.72
ton ha-1, yang relatif sama dengan Limboto yaitu 2.73 ton ha. Hipa 7 hanya
menghasilkan 2.04 ton dan IR64 hanya mampu menghasilkan 1.42 ton
gabah ha-1
d. Bobot gabah per rumpun genotipe tersebut hanya menurun masing-masing
sebesar 9.5, 16.1 dan 15.6 persen, sedangkan IR64 mencapai 52.7 persen.
.
9. Genotipe toleran kekeringan yang diwakili oleh BI599/BP15 pada kondisi
cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap
mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta kandungan
karbohidrat non struktural yang lebih rendah pada batang, pelepah dan daun
dibanding genotipe hibrida yang peka (BI485/BP3) dan varietas cek peka
(IR64).