Resistensi Fraktur Gigi Yg Ditumpat Komposit Setelah Bleaching Internal 2
-
Upload
karina-puspita -
Category
Documents
-
view
167 -
download
0
description
Transcript of Resistensi Fraktur Gigi Yg Ditumpat Komposit Setelah Bleaching Internal 2
REFERAT KONSERVASI GIGI
RESISTENSI FRAKTUR PADA GIGI YANG DITUMPAT
RESIN KOMPOSIT SETELAH DILAKUKAN
BLEACHING INTERNAL
Pembimbing:
Stanny Linda, drg., Sp.KG
Oleh:
Jatu Rachel Keshena 2011-16-110
Karina Puspita Sari 2011-16-111
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
BAB 1
PENDAHULUAN
Bleaching internal merupakan teknik yang digunakan pada gigi yang mengalami
diskolorasi dan telah dilakukan perawatan endodontik. Namun, beberapa penelitian menyatakan
bahwa bahan bleaching pada dentin menyebabkan gigi lebih rentan mengalami fraktur.
Efek samping bleaching internal dapat menyebabkan berkurangnya komponen organik
dentin dan mempengaruhi resistensi fraktur gigi sehingga memodifikasi microhardness dan
modulus elasticity gigi tersebut. Hal lain yang harus diperhatikan adalah efeknya pada email dan
dentin, antara lain porositas, demineralisasi, dan penurunan adhesi terhadap bahan tumpatan
yang dikaitkan dengan adanya agen oksidasi pada proses bleaching.
Berkurangnya kekuatan dan resistensi fraktur akibat komponen bleaching tersebut
mendorong dilakukan pengembangan bahan tumpat dan teknik yang paling baik bertujuan untuk
menguatkan struktur gigi yang melemah.(1,2)
Penggunaan resin komposit dengan pasak intraradikular telah direkomendasikan oleh
beberapa peneliti sebagai bahan tumpat pada gigi yang dilakukan perawatan endodontik dengan
dental bleaching, terutama untuk meningkatkan resistensi fraktur pada gigi tersebut. Namun,
beberapa peneliti lain menyatakan bahwa pasak intraradikuler hanya direkomendasikan pada gigi
yang kehilangan lebih dari setengah mahkotanya. Hal ini agar menghubungkan mahkota tiruan
tersebut dengan struktur akar yang tersisa. Oleh karena perbedaan pendapat tersebut, maka
prosedur tumpatan yang paling diindikasikan untuk mengembalikan resistensi gigi yang
dilakukan perawatan endodontik kemudian di bleaching belum sepenuhnya disepakati. (1,2)
BAB 2
RESISTENSI FRAKTUR GIGI PASCA PERAWATAN ENDODONTIK
2.1 Definisi
Resistensi merupakan suatu kemampuan untuk bertahan, berusaha melawan, menentang
atau upaya oposisi. Sedangkan fraktur gigi merupakan hilangnya atau lepasnya fragmen dari
suatu gigi utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau benturan. Jadi secara keseluruhan
definisi resistensi fraktur gigi merupakan kemampuan gigi dalam menahan gaya atau trauma
yang diterima sehingga gigi tersebut tidak mengalami diskontinuitas. (3,4)
Banyak penelitian yang menyatakan bahwa perawatan endodontik merupakan faktor
etiologi fraktur gigi, namun hal tersebut belum dapat dijelaskan secara jelas dan menyeluruh.
Prognosis gigi yang dilakukan pengisian saluran akar tidak hanya tergantung pada keberhasilan
perawatan endodontiknya tetapi juga pada banyaknya dentin yang tersisa dan juga pada restorasi
akhir. Hal tersebut dapat diperparah apabila setelah perawatan endodontik dilakukan bleaching
yang dapat memodifikasi kekuatan dan modulus elastisitas gigi.(5)
2.2 Faktor Risiko
Dahulu GV Black menyatakan bahwa meningkatnya kerentanan fraktur gigi setelah
perawatan endodontik adalah akibat hilangnya kelembaban pada dentin. Pernyataan tersebut
kemudian diperkuat oleh Helfer dkk. (1972) yang menyatakan bahwa tingkat kelembaban dentin
pada gigi yang dilakukan perawatan endodontik berkurang sebesar 9% dibandingkan gigi vital.
Namun penelitian lain oleh Papa dkk. (1994) menentang hal tersebut, bahwa tidak ada perbedaan
tingkat kelembaban yang signifikan pada gigi yang vital maupun non vital. Pada gigi pasca
perawatan endodontik, banyaknya struktur dentin yang tersisa mempengaruhi resistensi fraktur
gigi.
Fraktur pada gigi yang dilakukan perawatan endodontik disebabkan oleh banyak faktor
(multifaktorial). Penyebab fraktur pada gigi yang dilakukan perawatan endodontik secara garis
besar diklasifikasikan menjadi faktor iatrogenic dan non-iatrogenik. (Gambar 2.1)(5)
Gambar 2.1. Penyebab fraktur gigi pada gigi yang telah dilakukan perawatan endodontik
Faktor-faktor risiko terjadinya fraktur pada gigi yang telah dilakukan perawatan
endodontik diklasifikasikan menjadi penyebab primer dan sekunder. Penyebab primer biasanya
menyebabkan fraktur segera setelah adanya pemicu, sedangkan penyebab sekunder
menyebabkan fraktur pada gigi beberapa saat tertentu setelah adanya pemicu.(5)
2.2.1 Faktor Iatrogenik
Hilangnya struktur gigi yang berlebihan
Dentin memiliki peran yang besar dalam menentukan kekuatan dan integritas
mekanis struktur gigi, terutama mikrostruktur kolagen dan air. Pada gigi yang
dilakukan perawatan endodontik, jaringan hidrofilik pulpa diekstirpasi, dan saluran
akar dan tubuli dentin di disinfeksi dan dikeringkan sebelum dilakukan obturasi.
Hilangnya jaringan pulpa yang kaya akan air, permukaan dentin yang bebas air dan
berporus dapat mempengaruhi integritas mekanis gigi yang dilakukan perawatan
saluran akar. (5)
Efek bahan kimia dan medimakamen intrakanal
Natrium hipoklorit 0,5-5,25% merupakan bahan irigasi yang sering digunakan
pada perawatan saluran akar. Larutan ini berfungsi untuk membersihkan jaringan
Penyebab fraktur gigi pasca endo
Iatrogenik
Hilangnya struktur gigi berlebihan
Efek bahan kimiawi dan medikamen
intrakanal
Efek tumpatan dan prosedur restoratif
Non-iatrogenik
Primer
Riwayat patologi rekuren Posisi anatomis gigi
Sekunder
Efek penuaan jaringan gigi
pulpa dan membunuh bakteri. Natrium hipoklorit merupakan suatu bahan kimia yang
sangat reaktif, apabila digunakan dengan konsentrasi, volume, durasi, dan laju alir
yang tinggi dapat memberikan efek yang buruk pada dentin saluran akar yaitu
perubahan pada flexural strength, elastic modulus, dan microhardness. Perubahan-
perubahan tersebut terjadi akibat adanya perubahan komponen inorganik dan organik
pada dentin.
Ethylenediaminetetraacetic (EDTA) 15-17% juga merupakan irigan yang sering
digunakan untuk membuang smear layer yang terbentuk setelah preparasi saluran
akar. Membuang smear layer tidak hanya membantu memperbaiki penutupan
pengisian saluran akar, tetapi juga membersihkan bakteri, toksin dan sisa jaringan
pulpa yang tersisa. Penggunaan EDTA yang terlalu lama dapat menyebabkan erosi
peritubular dan intertubular pada dentin.
Ketika EDTA digunakan pada saluran akar, lapisan kolagen dan matriks
ekstraselular akan terekspos. Aktivitas kolagenolitik oleh bakteri dapat memecah
ikatan kimia pada ujung retakan dan memudahkan terjadinya penyebaran retakan
sepanjang dentin. Kolonisasi bakteri dan pelepasan enzim bakteri turut berperan
terhadap terurainya benang-benang kolagen didalam dentin akar, bakteri-bakteri yang
menyebabkan degradasi kolagen tersebut berpotensi menjadi penyebab sekunder
fraktur gigi yang dilakukan perawatan endodontik. (5)
Efek tumpatan dan prosedur restoratif
Faktor iatrogenik yang paling sering menyebabkan fraktur gigi adalah hilangnya
struktur pendukung gigi akibat tindakan perawatan, pemilihan tumpatan dan prosedur
penumpatan struktur gigi yang tersisa. Oleh karena itu, mempertahankan struktur gigi
merupakan suatu hal yang penting untuk mendapatkan hasil perawatan endodontik
yang memuaskan. Bahkan tekanan obturasi dan teknik obturasi dengan tekanan apikal
yang besar dapat menyebabkan fraktur. Finite Element Analyses (FEA) menyelidiki
pengaruh ketebalan dentin, radius saluran akar, dan morfologi eksternal akar terhadap
kemungkinan gigi mengalami fraktur. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
fraktur gigi itu tidak dapat ditebak, dan pembuangan struktur dentin tidak selalu
menyebabkan peningkatan kerentanan gigi terhadap fraktur. Harus digarisbawahi
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pola dan kemungkinan fraktur gigi.
Komponen utama yang harus diperhatikan pada gigi yang dilakukan perawatan
endodontik adalah efek ferrule. Fraktur akar pada gigi yang dilakukan perawatan
endodontik biasanya terjadi akibat efek ferrule yang tidak memadai. Ferrule adalah
band yang terbuat dari logam melingkari permukaan mahkota gigi. Gigi yang
dipreparasi dengan ferrule yang baik dapat menahan tekanan dan menambah kekuatan
gigi yang ditanam pasak dan inti setelah dilakukan endodontik. Panjang ferrule
didapat dengan mempertimbangkan biologic width (dimensi junctional epithelium)
untuk menghindari kehilangan tulang dan inflamasi, tepi mahkota harus paling tidak 2
mm dari alveolar crest. Sangat direkomendasikan paling tidak terdapat jarak 3 mm
untuk menghindari trauma. Oleh karena itu, struktur gigi minimal 4,5 mm diatas
tulang alveolar harus tersedia untuk mendapatkan ferrule yang efektif.
Faktor lain yang menyebabkan fraktur pada gigi yang di endodontik adalah
korosi. Korosi pada pasak dan inti yang terbuat dari logam terjadi akibat efek
galvanik antara kedua logam yang berbeda. Mekanisme korosi sangat rumit dan
berkaitan dengan biofilm mikrobial, low oxygen tension, dan potensi elektrik yang
terdapat di dalam lingkungan mulut. Korosi pada logam dapat menyebabkan
corrosion expansion stresses (CES) dan dapat menyebabkan kerusakan fisik. Oleh
karena itu sangat direkomendasikan untuk tidak menggunakan 2 jenis logam yang
berbeda secara elektrokimia untuk mencegah terjadinya korosi.(5)
2.2.2 Faktor Non Iatrogenik
Posisi anatomis gigi
Posisi anatomis gigi dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya fraktur pada
gigi yang dilakukan perawatan endodontik. Gigi anterior yang tidak kehilangan
struktur berlebihan selama preparasi akses memiliki resiko fraktur yang minimal.
Namun, gigi posterior menerima tekanan oklusi lebih berat dibandingkan gigi anterior
selama proses pengunyahan, sehingga restorasinya harus adekuat untuk melindungi
gigi tersebut agar tidak mengalami fraktur. Penggunaan pasak pada gigi posterior
harus dihindari karena akar gigi posterior biasanya kecil dan bengkok. Sehingga,
apabila dilakukan preparasi saluran akar dapat menyebabkan perforasi dan
memperlemah struktur gigi yang tersisa. Pasak tidak dibutuhkan sebagai retensi core
pada gigi posterior selama struktur mahkota gigi masih mendukung.(5)
Efek penuaan jaringan gigi
Perubahan dentin normal membentuk dentin transparan merupakan suatu proses
penuaan yang umum terjadi. Dentin transparan fisiologis (sklerotik) timbul tanpa
adanya trauma atau karies dan merupakan suatu hal yang alami karena proses
penuaan, sedangkan dentin transparan patologis biasanya ditemukan dibagian bawah
karies. Tubuli dentin pada dentin transparan perlahan-lahan akan terisi mineral,
bermula dari bagian apikal dan meluas sampai dentin koronal. Kristal mineral
intratubular yang didepositkan didalam tubuli dentin transparan secara kimiawi mirip
dengan mineral intertubular.
Dentin transparan tidak sama dengan dentin normal. Kekuatan fraktur pada dentin
transparan sekitar 20% lebih rendah dibandingkan dentin normal. Hal ini disebabkan
karena sedikitnya kandungan air dentin transparan dibandingkan dengan dentin
normal. Teori lain mengemukakan bahwa mineral di dalam tubuli dentin lebih sedikit
sehingga memiliki kemungkinan terjadi keretakan mikro.(5)
BAB 3
BLEACHING INTERNAL
3.1 Definisi
Bleaching merupakan suatu proses pemutihan pada gigi yang mengalami diskolorasi
dengan aplikasi bahan kimia untuk mengoksidasi pigmen organik di dalam gigi. Peroksida
merupakan bahan bleaching yang paling sering digunakan dalam praktik kedokteran gigi dan
membutuhkan waktu singkat. Kemampuan pemutihan gigi dipengaruhi oleh tingginya
konsentrasi peroksida didalamnya dan juga penyebab diskolorasi; seberapa dalam, lamanya dan
lokasinya. (6,7)
Bleaching dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu bleaching internal dan eksternal.
Bleaching internal merupakan prosedur bleaching yang dilakukan setelah gigi dilakukan
perawatan endodontik dan mengalami diskolorasi. Diskolorasi pada gigi yang nonvital
diakibatkan oleh 2 faktor, yaitu degenerasi pulpa dan perawatan saluran akar yang tidak
sempurna. Degenerasi pulpa dapat menyebabkan diskolorasi merupakan akibat dari perdarahan
didalam kamar pulpa. Eritrosit melepaskan hemoglobin, dan apabila besi dalam hemoglobin
bercampur dengan hidrogen sulfida akan memproduksi bakteri yang mampu membentuk besi
sulfida (suatu pigmen yang sangat gelap). Sedangkan pada perawatan saluran akar yang tidak
sempurna, debris atau bahan lain selama perawatan yang tertinggal didalam ruang pulpa dapat
menyebabkan perubahan warna atau translusensi gigi. (7,8)
3.2 Indikasi dan Kontraindikasi (7,9,10)
Indikasi bleaching internal :
gigi yang mengalami diskolorasi ruang pulpa atau diskolorasi dentin yang
sebelumnya telah dilakukan perawatan saluran akar
perubahan warna yang kemungkinan berasal dari perdarahan sampai ke dentin karena
trauma sebelum dilakukan perawatan saluran akar
degradasi jaringan pulpa yang tertinggal di saluran akar setelah dilakukan terapi
noda hitam dari material restorasi dan semen yang dipakai dalam gigi
Sedangkan kontraindikasi dilakukan internal bleaching :
perubahan warna superficial enamel
formasi enamel yang cacat
kehilangan banyak dentin
adanya karies
perubahan warna proksimal komposit
wanita hamil
seseorang dengan alergi peroksida
3.3 Bahan Bleaching
Hidrogen Peroksida
Hidrogen peroksida adalah oksidator yang paling kuat, mampu menghasilkan
radikal bebas HO2+O yang sangat reaktif dan tersedia dalam konsentrasi 30-35%,
yang paling umum digunakan Superoxyl, Perhydrol. Tingginya konsentrasi bahan ini
harus ditangani secara hati-hati karena bahan ini tidak stabil, dapat meledak kecuali
jika didinginkan dan disimpan dalam wadah yang gelap. Bahan ini juga bahan kimia
kausatik dan akan membakar jaringan bila terkontak langsung.(7)
Hidrogen peroksida 30-35% dapat memutihkan dengan cepat, terdapat pula bahan
bleaching lain dibawah level peroksida, biasanya bahan tersebut dapat memutihkan
secara efektif namun dengan periode aplikasi yang lebih lama.(10,11)
Sodium Perborat
Sodium perborat tersedia dalam bentuk bubuk atau dalam berbagai kombinasi.
Dalam keadaan segar, bahan ini mengandung perborat 95%, melepaskan sekitar 9,9%
oksigen. Sodium perborat lebih mudah untuk dikontrol dan lebih aman dari
konsentrat gel hidrogen peroksida. Sodium perborat stabil saat kering, namun dalam
kehadiran asam, udara hangat, atau air, akan terurai membentuk natrium metaborat,
hidrogen peroksida dan nascent oksigen. Bahan ini bekerja secara sinergis dengan
hidrogen peroksida. Apabila bleaching pada tahap awal kurang memuaskan, maka
hidrogen peroksida dapat dicampur dengan perborat untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik.(8)
Sodium perborat bersifat basa, pH bahan ini tergantung pada jumlah pelepasan
hidrogen peroksida dan sisa sodium metaborat. (10,11)
Karbamid Peroksida
Karbamid peroksida lebih dikenal dengan urea hidrogen peroksida, biasanya
tersedia dalam konsentrasi antara 3% sampai 15% dan yang paling umum digunakan
adalah 10% dan memiliki pH rata-rata 5-6.5. Bahan ini biasanya mengandung gliserin
atau propylene glicol, sodium stannate, phosphoric atau citric acid, dan pewarna.
Dalam beberapa sediaan, Carbopol, sebuah resin larut dalam air, ditambahkan untuk
memperpanjang pelepasan peroksida aktif dan meningkatkan umur simpan. Sepuluh
persen karbamid peroksida terurai menjadi urea, ammonia, karbon dioksida, dan ±
3,5% hidrogen peroksida.
Karbamid peroksida lebih sering digunakan untuk eksternal bleaching dan
dikaitkan dengan berbagai tingkat kerusakan gigi dan mukosa. Sistem karbamid
peroksida dapat mempengaruhi kekuatan ikatan resin komposit dan perlekatan
marginal. Oleh karena itu, bahan ini harus digunakan dengan hati-hati dan biasanya
dibawah pengawasan ketat dokter gigi.(10,11)
3.4 Teknik
3.4.1. Teknik In-Office Nonvital Bleach
Awalnya in-office bleaching untuk gigi nonvital menggunakan teknik
termokatalitik yang melibatkan penempatan hidrogen peroksida 35% ke dalam
saluran akar dan proses akselerasi oksidasi dengan menempatkan instrumen pemanas
ke dalam saluran akar.(9)
Teknik ini berpotensi meningkatkan resiko terjadinya resorpsi akar eksternal di
daerah servikal dikarenakan iritasi pada cementum dan periodontal ligamen, hal ini
kemungkinan terjadi akibat agen oksidasi yang dikombinasi dengan panas. Untuk itu
aplikasi panas pada saat dilakukan bleaching tidak boleh terlalu lama. Teknik
termokatalitik tidak direkomendasikan untuk bleaching internal secara rutin karena
tidak efektif, waktu lebih lama, dan toksisitasnya tinggi. Larutan hidrogen peroksida
30%-35% diletakkan pada ruang pulpa menggunakan cotton pellet, diikuti dengan
paparan sinar ultraviolet selama 2 menit pada permukaan labial. (10,11)
Teknik in-office bleaching ini tidak lagi efektif dibandingkan dengan teknik
walking bleach dan membutuhkan waktu lebih lama. Tingginya toksisitas dari
konsentrat hidrogen peroksida, teknik ini tidak direkomendasikan.(10)
3.4.2. Teknik Walking Bleach
Teknik Walking bleach dapat digunakan dalam segala situasi yang membutuhkan
internal bleaching. Bukan hanya keefektifannya tetapi juga karena membutuhkan
waktu lebih singkat, lebih aman dan lebih nyaman untuk pasien.(10,11)
Tahap-tahap walking bleach meliputi:
Gambar 3.1
1. Sebelum dilakukan tindakan pasien diberi pengetahuan tentang kemungkinan
penyebab stain, prosedur yang harus diikuti, hasil yang diharapkan, dan
kemungkinan terulangnya diskolorisasi untuk menghindari kesalahpahaman.
2. Dilakukan pemeriksaan radiografi untuk menilai status jaringan periapikal dan
kualitas perawatan saluran akar. Apabila terjadi kegagalan perawatan atau obturasi,
maka perlu dilakukan perawatan ulang sebelum dilakukan bleaching.
3. Penilaian kualitas dan warna tumpatan, jika rusak restorasi harus diganti. Seringkali
diskolorisasi gigi merupakan hasil dari kebocoran atau pengaruh warna restorasi.
4. Warna gigi dievaluasi dengan shade guide, foto klinis diambil pada setiap prosedur
sebagai perbandingan sebelum dan sesudah dilakukan bleaching.
5. Isolasi gigi dengan rubber dam. Interproksimal wedges juga digunakan untuk
isolasi yang lebih baik. Gunakan krim pelindung untuk jaringan gingiva sebelum
dam diletakkan.
6. Hilangkan restorasi pada akses kavitas. Perbaikan akses dan pembuangan semua
bahan obturasi lama dari ruang pulpa adalah tahapan yang paling penting pada
proses bleaching. Pastikan tanduk pulpa atau daerah tersembunyi lainnya terbuka.
(Lihat gambar 3.1.B)
7. (Optional) Tahap ini diperlukan jika diskolorisasi tampaknya berasal dari logam
atau jika pada pertemuan kedua atau ketiga tampaknya tidak cukup. Lapisan tipis
pada dentin yang terdapat stain dihilangkan secara hati-hati dengan arah menuju ke
facial pada ruangan dengan round bur handpiece kecepatan rendah. Hal ini dapat
menghilangkan banyak diskolorisasi. Hal ini juga memungkinkan terbukanya
dentin tubuli untuk penetrasi yang lebih baik dengan bahan bleaching. (Lihat
gambar 3.1.B)
8. Semua material harus dihilangkan dari arah apikal ke margin gingiva. Sesuaikan
pelarut yang digunakan untuk melarutkan sisa-sisa sealer.
9. Aplikasi semen pelindung sebagai penghalang pada bahan obturasi. Bentuk outline
semen pelindung bila dilihat dari fasial berbentuk “bobsled tunnel”, dari arah
proksimal berbentuk “ski slope”. (Lihat gambar 3.2-3.5)
Hal ini penting untuk meminimalkan kebocoran bahan bleaching. Penahan harus
melindungi dentin tubuli dan sesuai dengan epitel attachment eksternal. Kedalaman
barrier ditentukan dengan menggunakan probe untuk menentukan letak epitel
attachment, kemudian bagian dalam barrier berada 1 mm insisal dari eksternal
epitel attachment. Bahan barrier yang digunakan adalah glass-ionomer cement
Gambar 3.2 Outline fasial barrier Gambar 3.3 Bentuk proksimal barrier
“bobsled tunnel” “ski slope”
Gambar 3.4 Bentuk barrier yang tepat Gambar 3.5 Skematik barrier yang ideal.
secara radiografi Kontur “sayap” internal
barrier sesuai dengan
epitel attachment
proksimal eksternal untuk
melindungi tubuli
dentin.
Etsa asam pada internal dentin dengan phosphoric acid untuk menghilangkan
lapisan smear dan membuka tubuli dinilai tidak efektif karena dapat menyebabkan
iritasi ligament periodontal atau resorpsi akar eksternal.
10. Pasta walking bleach disiapkan dengan mencampur sodium perborat dan cairan
seperti air salin atau larutan anestesi, sampai didapat konsistensi kering berpasir.
(Lihat gambar 3.6). Meskipun campuran sodium perborat dengan 30% hidrogen
peroksida akan memutihkan lebih cepat, namun pada hasil jangka panjang akan
menunjukkan hasil yang sama baiknya dengan sodium perborat yang dicampur
dengan air. Oleh karena itu, campuran sodium perborat dan hidrogen peroksida
sudah tidak direkomendasikan lagi untuk digunakan secara rutin.
Gambar 3.6 Walking bleach Sodium perborat dan air dicampur hingga berbentuk pasta
Dengan plastis filling instrument, ruang pulpa diisi padat dengan pasta. Kelebihan
cairan dihilangkan dengan menggunakan cotton pellet.
11. Kelebihan pasta oksidasi dihilangkan pada tanduk pulpa hingga tidak ada undercut
dan daerah gingiva dengan sonde. Kapas pellet tidak digunakan tetapi dengan
campuran tebal Cavit atau zinc oxide-eugenol diaplikasikan dengan hati-hati
dengan ketebalan 3 mm untuk memastikan tertutup dengan baik. (Lihat gambar 3.7)
12. Lepas rubber dam. Informasikan pada pasien bahwa bahan bleaching bekerja
perlahan dan pemutihan yang signifikan mungkin tidak tampak jelas selama 2
minggu atau lebih namun hal tersebut sangat wajar dan hasil yang dramatis terjadi
pada minggu-minggu setelah masa aplikasi berulang.
13. Pasien dijadwalkan kembali kira-kira 2 sampai 6 minggu kemudian, dan prosedur
diulang. Jika pertemuan berikutnya kemajuan pemutihan gigi tidak Nampak jelas,
maka perawatan bleaching diulang dengan natrium perborat dan air. (10)
Gambar 3.7 Pandangan proksimal
BAB 4
PENGARUH BAHAN BLEACHING TERHADAP GIGI DAN RESIN KOMPOSIT
4.1 Gigi
Bahan bleaching yang paling sering digunakan adalah hidrogen peroksida, karbamid
peroksida dan sodium perborat. Hidrogen perioksida bercampur dengan seluruh matriks organik
email dan dentin. Karena bahan-bahan radikal mempunyai elektron yang tidak berpasangan,
bahan-bahan ini sangat elektrofilik dan tidak stabil dan akan menyerang molekul organik lainnya
untuk mencapai kestabilan, menghasilkan radikal yang lainnya. Radikal ini dapat bereaksi
dengan ikatan yang tak jenuh, berakhir dengan perpecahan konjugasi elektron dan perubahan
absorbsi energi molekul organik pada email gigi. Molekul-molekul sederhana memantulkan
sedikit cahaya, sehingga memperlihatkan aksi pemutihan pada gigi. Proses ini terjadi ketika
bahan oksidasi (hidrogen peroksida) bereaksi dengan material organik pada ruangan diantara
senyawa inorganik pada email. (1,6,7)
Keselamatan pasien selalu menjadi perhatian utama dalam prosedur apapun. Beberapa
efek samping yang mungkin dihasilkan oleh bahan dan prosedur bleaching antara lain:
Iritasi Gingiva
Bahan bleaching dapat mengiritasi gingiva yang dihubungkan dengan tingginya
konsentrasi peroksida sehingga menyebabkan trauma khemis. Hal ini dapat menyebabkan
resesi gingiva secara permanen. (10)
Resorpsi Akar Eksternal
Laporan klinis dan penelitian histologis menunjukkan bahwa bleaching internal dapat
menyebabkan resorpsi akar eksternal. Agen pengoksidasi, terutama hidrogen peroksida
30%, mungkin penyebabnya. Kemungkinan mekanismenya bahan kimia yang mengiritasi
berdifusi melalui tubulus dentin dan mencapai periodonsium atau sementum yang
menyebabkan cacat pada daerah cementoenamel junction. Bahan bleaching
dikombinasikan dengan panas cenderung menyebabkan nekrosis sementum, radang
ligamen periodontal, dan resorpsi akar. Proses ini kemungkinan besar meningkat dengan
adanya bakteri. Luka trauma sebelumnya dan usia muda juga dapat bertindak sebagai
faktor predisposisi.(1,6,8)
Fraktur Korona
Meningkatnya kerapuhan pada struktur gigi di bagian mahkota, terutama ketika panas
diterapkan, menyebabkan pengeringan atau perubahan karakteristik fisikokimia dari
dentin dan enamel. (1,6)
Chemical Burns
Seperti yang disebutkan sebelumnya, sodium perborat aman, tetapi hidrogen peroksida
30% bersifat kausatik dan akan menyebabkan luka bakar kimia dan kerusakan gingiva.
Saat bahan bleaching yang kuat ini digunakan, jaringan lunak harus dilapisi dengan krim
isolasi seperti petroleum jelly, Orabase, atau cocoa butter. Percobaan pada hewan
menunjukkan bahwa katalase yang diaplikasikan pada jaringan mulut sebelum
penggunaan hidrogen peroksida dapat mencegah kerusakan jaringan. (1,6)
4.2 Resin Komposit
Tujuan utama tooth bleaching adalah mempertahankan struktur gigi dan tetap
memperhatikan kualitas dan life-long management gigi tersebut. Saat ini, teknologi adhesive dan
bleaching memungkinkan untuk memberikan pendekatan secara konservatif pada perawatan gigi
yang terdapat stain, mis-shaped dan malposisi.
Pendekatan yang melibatkan kombinasi bleaching dan restorasi resin komposit terbukti
lebih konservatif dan lebih murah dibandingkan perawatan menggunakan porcelain atau crowns.
Restorasi komposit juga dapat diperbaiki atau diganti, dengan tingkat kesulitan dan pengambilan
struktur gigi yang minimal.
Hidrogen peroksida merupakan oksidator kuat dan mempunyai kemampuan untuk
membentuk radikal bebas. Radikal bebas tersebut pada akhirnya bergabung membentuk oksigen
dan air. Beberapa aspek dari proses kimiawi ini mungkin mempercepat degradasi hidrolitik resin
komposit. Efek kimia melunakkan dari bahan bleaching ini dapat melarutkan resin komposit
yang dikaitkan dengan keawetan restorasi resin komposit tersebut.(11)
Bleaching dengan menggunakan hidrogen peroksida juga dapat mempengaruhi ikatan
resin komposit dengan jaringan keras gigi. Scanning electron microscopy memperlihatkan
interaksi antara resin komposit dengan residual peroksida yang menyebabkan terhambatnya
polimerisasi dan meningkatkan porositas resin. Oleh karena itu, sangat direkomendasikan untuk
menghilangkan seluruh sisa hidrogen peroksida dari ruang pulpa. Hal tersebut dapat dicapai
dengan aplikasi katalase yang mampu membuang sisa oksigen dari dentin. Kemudian, gunakan
tumpatan glass-ionomer dan 2 minggu berikutnya ditumpat dengan komposit. (8)
Bahan bleaching juga terbukti mampu menurunkan microhardness permukaan yang pada
resin komposit. Hal ini mungkin terjadi karena adanya degradasi hidrolitik matriks resin
komposit. Polimer seperti resin komposit mengalami degradasi karena adanya bahan kimia di
sekitarnya dan ketika polimer bereaksi dengan bahan kimia maka akan terjadi difusi dari bahan
kimia ke polimer yang menyebabkan terjadinya degradasi dan nantinya menyebabkan penurunan
kekerasan polimer tersebut.(11)
BAB 5
RESISTENSI FRAKTUR PADA GIGI YANG DITUMPAT RESIN KOMPOSIT
SETELAH DILAKUKAN BLEACHING INTERNAL
Penelitian dilakukan oleh Roberto, de Sousa-Neto dkk (2012) bertujuan untuk
menganalisa pengaruh prosedur restoratif terhadap resistensi fraktur pada gigi yang dilakukan
perawatan endodontik dan bleaching internal dengan 38% hidrogen peroksida dan diaktivasi
dengan sinar sistem LED.
Dipilih 50 gigi insisif sentral atas sehat tanpa kalsifikasi atau resorbsi saluran akar.
Kemudian dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:
1. GI – gigi sehat (kontrol)
2. GII – gigi yang dilakukan perawatan endodontik dan ditumpat dengan Coltosol
3. GIII – gigi yang dilakukan perawatan endodontik, di bleach dan ditumpat dengan
Coltosol
4. GIV – gigi yang dilakukan perawatan endodontik, di bleach dan ditumpat dengan resin
komposit
5. GV – gigi yang dilakukan perawatan endodontik, di bleach, ditumpat dengan resin
komposit dan pasak fiberglass
Bahan bleaching yang digunakan adalah 38% hidrogen peroksida diaktivasi dengan
sistem laser LED 50 nW. Alat tersebut dikombinasikan dengan laser infrared diode (790 nm)
dengan seperangkat LED (470nm). Tiap prosedur bleaching terdiri dari aplikasi gel bleaching
pada permukaan bukal dan didalam kamar pulpa, yang dilanjutkan dengan aktivasi sinar selama
45 detik pada masing-masing permukaan, dengan interval 5 menit. Gel bleaching kemudian
dibersihkan dan diirigasi dengan 1% natrium hipoklorit. Prosedur ini dilakukan sebanyak 3 kali
dalam satu pertemuan yang sama.
Prosedur bleaching dilakukan selama 4 sesi pertemuan dengan interval waktu 7 hari,
kemudian spesimen-spesimen tersebut disimpan dan diberi interval waktu 10 hari untuk
mengobservasi hasil bleaching sebelum dilakukan prosedur restorasi.
Setelah 24 jam, spesimen-spesimen tersebut dilakukan tes kekuatan fraktur menggunakan
mesin test universal.
Kelompok Percobaan Rata-rata ± SD
GI Gigi sehat 0.75 ± 0.31 A
GII Perawatan endodontik + Coltosol 0.67 ± 0.27 A
GIII Perawatan Endodontik + Bleaching + Coltosol 0.32 ± 0.20 B
GIV Perawatan Endodontik + Bleaching + Resin 0.70 ± 0.25 A
GV Perawatan Endodontik + Bleaching + Resin +
Pasak
0.72 ± 0.24 A
Melemahnya gigi adalah efek samping utama dari perawatan endodontik dan dental
bleaching. Oleh karena itu, mengembalikan resistensi fraktur setelah perawatan endodontik
menjadi fokus yang besar dalam penelitian kedokteran gigi.
Faktor utama hilangnya struktur gigi adalah karies dan preparasi akses saluran akar dan
instrumentasi. Berdasarkan literatur-literatur yang ada, tidak terdapat konsensus atau
kesepakatan bersama berkaitan dengan resistensi fraktur setelah perawatan endodontik. Dari
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perawatan endodontik tidak mengurangi resistensi
fraktur gigi, karena pada penelitian ini didapat bahwa angka resistensi pada kelompok GII
(perawatan endodontik dan Coltosol) tidak berbeda jauh dengan kelompok GI (gigi sehat)
Sebelumnya, meningkatnya kerentanan gigi terhadap fraktur setelah perawatan
endodontik dikaitkan dengan rapuhnya gigi akibat hilangnya kelembaban dentin. Namun
sekarang, para peneliti menekankan bahwa hilangnya struktur gigi adalah alasan utama di balik
peningkatan fraktur gigi yang dirawat endodontik.
Menurut literatur-literatur yang ada, agen bleaching atau teknik pemutihan gigi yang
berbeda dapat mempengaruhi ketahanan fraktur gigi karena hal tersebut dapat menyebabkan
terjadinya perubahan struktur pada gigi, seperti porositas, demineralisasi, penurunan adhesi
bahan restoratif untuk dentin, peningkatan permeabilitas dentin, mengurangi microhardness
dentin dan penurunan kekuatan tarik diameter dentin. Efek tersebut diamati dalam penelitian ini,
karena angka resistensi fraktur gigi yang dirawat endodontik kemudian dilakukan dental
bleaching dan ditumpat dengan Coltosol (GIII) menunjukkan hasil yang terendah (0,31 kN) dan
secara statistik berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya.
Faktor lain yang sangat relevan dan mungkin berhubungan dengan penurunan resistensi
fraktur pada dental bleaching adalah jumlah aplikasi bahan bleaching ke permukaan gigi.
Menurut Pobbe dkk. (2008), dua atau lebih sesi dental bleaching dengan hidrogen peroksida
38% yang diaktifkan sistem LED-laser dapat mengurangi resistensi fraktur pada gigi yang
dilakukan perawatan endodontik. Hal ini kemungkinan merupakan akibat dari aktivitas hidrogen
peroksida yang memodifikasi sifat mekanik dan kimia dari dentin.
Menurut Kawamoto dan Tsujimoto (2012), OH radikal yang dihasilkan dari degradasi
hidrogen peroxida berperan penting dalam proses pemutihan gigi, bekerja pada dentin
intertubular dan peritubular yang menghancurkan komponen organik dan meningkatkan
permeabilitasnya, sehingga mengurangi kekuatan dan modulus elastisitas.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa aplikasi panas untuk mengaktifkan bahan bleaching
atau panas yang diproduksi oleh reaksi kimia selama prosedur klinis dapat menyebabkan
kerusakan pada gigi dan jaringan periodontal baik reversible ataupun irreversible. Namun,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek negatif tersebut dapat diimbangi dengan
kemampuan isolasi termal dentin yang baik sehingga mampu mengurangi jumlah panas yang
mencapai ruang pulpa secara signifikan. Pertimbangan penting lainnya adalah radiasi laser
intensitas rendah juga dapat mengkompensasi efek sitotoksik dari gel hidrogen peroksida
berkonsentrasi tinggi.
Meskipun hasil penelitian menunjukkan penurunan resistensi fraktur pada gigi yang
dilakukan dental bleaching (GIII), dan yang direstorasi dengan resin komposit (GIV) atau
dengan post fiberglass (GV), namun tidak ada perbedaan yang signifikan apabila dibandingkan
dengan gigi sehat (GI) dan kelompok yang dirawat endodontik kemudian ditumpat dengan
Coltosol (GII).
Pengamatan ini sesuai dengan penelitian lain yang melaporkan bahwa resin komposit
merupakan bahan restorasi gigi yang cocok untuk gigi yang lemah, karena mampu
mengembalikan resistensi fraktur gigi hingga sebanding dengan gigi yang sehat. Hal ini dapat
dikaitkan dengan rendahnya angka polimerisasi shrinkage pada resin dan karakteristik yang
memuaskan dalam hal kekerasan, dan resistensi terhadap abrasi dan kompresi. Selain itu, sistem
adesif yang digunakan sebagai perekat resin komposit memiliki kemampuan melembabkan dan
masuk ke dalam dentin setelah dilakukan etsa asam untuk menghilangkan smear layer, yang
menciptakan retensi mikromekanik, menaikkan distribusi tegangan melalui dentin, dan
mengurangi kemungkinan fraktur.
Hubungan antara resin komposit dengan pasak fiberglass tidak meningkatkan resistensi
fraktur gigi. Menurut beberapa penelitian, perawatan endodontik pada gigi anterior dengan
dentin yang masih tebal harus direstorasi dengan resin komposit. Selain itu, telah dilaporkan
bahwa resistensi fraktur pada gigi yang lemah setelah direstorasi dengan pasak fiber tidak
mengalami perbaikan. Dari penelitian ini, penggunaan pasak intrakanal tidak meningkatkan
resistensi gigi yang dibleaching. Hal ini mungkin terkait dengan fakta bahwa peran utama dari
pasak intrakanal adalah untuk meningkatkan retensi restorasi ke struktur gigi yang tersisa. (5)
BAB 6
KESIMPULAN
Perawatan saluran akar disertai dengan bleaching internal mampu mengurangi resistensi
gigi terhadap fraktur, hal tersebut berkaitan dengan banyaknya struktur gigi yang hilang akibat
karies, preparasi akses maupun instrumentasi yang menyebabkan berkurangnya dukungan gigi
terhadap gaya atau tekanan sehingga gigi mudah mengalami fraktur.
Berdasarkan vital atau tidaknya, teknik bleaching dapat dibedakan menjadi bleaching
internal dan bleaching eksternal. Bahan-bahan bleaching tersebut dapat mempengaruhi struktur
gigi maupun bahan resotasinya, yaitu resin komposit. Pengaruh bahan bleaching terhadap gigi
antara lain iritasi gingiva, resorbsi akar eksternal, fraktur mahkota, chemical burns. Sedangkan
terhadap resin komposit, bahan bleaching tersebut mampu menghambat polimerisasi,
mengurangi kekuatan perlekatan, menimbulkan kebocoran mikro dan menurunkan
microhardness permukaan tumpatan.
Menurunnya resistensi fraktur setelah dilakukan bleaching internal memacu para ahli
untuk meneliti bahan restorasi yang paling sesuai untuk meningkatkan resistensi fraktur.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa resin komposit dengan pasak intrakanal merupakan pilihan
yang paling tepat dalam mengembalikan resistensi fraktur. Telah banyak penelitian yang
membuktikan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Resin komposit dengan pasak
intrakanal tidak berpengaruh terhadap meningkatkan resistensi fraktur gigi seelah dilakukan
bleaching internal mengingat fakta bahwa fungsi pasak intrakanal adalah memberikan retensi
terhadap struktur gigi yang tersisa.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roberto AR, Sousa-Neto MD, Viapiana R, Giovani AR, Filho CB, Paulino SM, Correa
YT, Sousa S. Effect of Different Restorative Procedures on the Fracture Resistance of
Teeth Submitted to Internal Bleaching. Brazilian Oral Research. 2012; 26: 77-82
2. Azevedo RA, Silva-Sousa YTC, Souza-Gabriel AE, Messias DCF, Alfredo E, Silva RG.
Fracture Resistance of Teeth Subjected to Internal Bleaching and Restored with Different
Procedures. Braz Dental Journal. 2011. 22: 117-121
3. http://en.wikipedia.org/wiki/Fracture_toughness
4. http://staff.ui.ac.id/internal/130675261/publikasi/lapsusI.pdf
5. Kishen, Anil. Mechanism and Risk Factors for Fracture Predilection in Endodontically
Treated Teeth. Endodontic Topics. 2006; 13: 57-83
6. Kidd, EAM, Smith BGN, Pickard HM. Penanggulangan Karies Aproksimal. Manual
Konservasi Restoratif Menurut Pickard, 6th ed. Jakarta: Widya Medika, 2007: 167-168.
7. Goldstein, Ronald E., David Garber. 1995. Bleaching Pulpless Teeth. In: Steiner DR,
West JD (Eds). Complete Dental Bleaching. Chicago:Quintessence Publishing, 1995:
101-136
8. Freedman GA, Gordan V, Haywood VB, Kelleher M, McLaughlin G, Rotstein I.
Intracoronal Bleaching of Non-vital Teeth. In: Greenwall, Linda (Eds). Bleaching
Techniques in Restorative Dentistry. London: Martin Dunitz, 2001: 159-172
9. Roberson. Additional Conservative Esthetic Procedures. In: Roberson, TM (Eds).
Sturdevant’s Art and Science of Operative Dentistry, 5th ed. London: Elsevier, 2006:
637, 641-642.
10. Torabinejad M, Walton RE. Bleaching Discolored Teeth: Internal and External.
Endodontics Principles and Practice. London: Elsevier, 2009: 395-396, 398-401.
11. Ingle JI, Bakland, LK. Tooth Discoloration and Bleaching. Endodontics, 5th ed. London:
B.C. Decker Elsevier, 2007: 851-853.
12. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19190/5/Chapter%20I.pdf
13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1171/1/10E00016.pdf
OUTLINE
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II RESISTENSI FRAKTUR
2.1 Definisi
2.2 Faktor Risiko
BAB III BLEACHING INTERNAL
3.1 Definisi
3.2 Indikasi
3.3 Teknik
BAB IV PENGARUH BAHAN BLEACHING TERHADAP GIGI DAN RESIN
KOMPOSIT
4.1 Gigi
4.2 Resin Komposit
BAB V RESISTENSI FRAKTUR PADA GIGI YANG DITUMPAT RESIN KOMPOSIT
SETELAH DILAKUKAN BLEAHING INTERNAL
BAB VI KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA