REORIENTASI ISTINBATH NU -...
Transcript of REORIENTASI ISTINBATH NU -...
REORIENTASI ISTINBATH NU DAN OPERASIONALISASI IJTIHAD JAMA’I1
Oleh Abd Moqsith Ghazali
[Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta]
Email: [email protected]
Pengantar
Mengikuti perbincangan polemis prihal sistem pengambilan keputusan
hukum dalam bahtsul masa`il NU, antara Husein Muhammad dengan tulisannya
Tradisi Istinbath NU: Sebuah Krtik, Rifyal Ka’bah dengan tulisannya Formulasi
Hukum di kalangan NU, Imam Yahya dengan tulisannya Fiqh Sosial NU: Dari
Tradionalis ke Kontekstualis, dan Marzuki Wahid dengan tulisannya Membaca
Tradisi Bahtsul Masa`il NU; mendorong saya untuk ikut ngrembug dalam
proses “penyelesaian” pokok soal ini.
Semua tulisan yang tersaji itu sesungguhnya telah saling memberikan
dukungan dan penjelasan komplementer antara satu dan yang lain. Jika Rifyal
lebih banyak mengemukakan kaitan fikih Islam--seperti yang dirumuskan
lembaga bahtsul masa`il (selanjutnya disebut BM) NU--dengan hukum nasional
plus hukum adat, maka Imam Yahya menjelaskan perkembangan formulasi yang
menarik dari BM tersebut, yaitu adanya pergeseran metodologis dari tradionalis
ke kontekstualis. Jika Husein melancarkan kritik keras terhadap jantung (baca:
internal) tradisi istinbath dalam BM NU, maka Marzuki mengarahkan bidikan
lensa kritiknya terhadap bagian eksternalnya, tradisi pemikiran pesantren
sebagai basis pembentukan dan terbentuknya BM dalam NU, yang sudah lama
kehilangan vitalitas dan daya hidup. Mengapa pesantren ? Karena memang dari
pesantrenlah perangkat keras dan lunak BM, meliputi orang (SDM) dan kitab
rujukannya biasa didatangkan.
Jika dibaca secara keseluruhan, maka tampak dalam uraian mereka
adanya satu kesadaran bahwa sistem pengambilan keputusan hukum (SPKM)
dalam bahtsul masa`il NU, seperti yang dirumuskan dalam Munas Lampung
1992, banyak mengandung anomali-anomali dan dipandang sudah tidak cukup
1 Artikel ini pernah dimuat dalam M. Imdadun Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqih NU:
Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, Jakarta: Lakpesdam NU, 2002, hlm. 86-118.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 78
memadai lagi untuk meng-handle persoalan-persoalan fiqhiyyah yang terus
bermunculan. Dengan membaca tulisan mereka, saya sesungguhnya berada
dalam kegelisahan dan gugatan yang sama. Tulisan ini hendak mencoba
mempertajam dan melanjutkan analisis-analisis yang telah dikembangkan oleh
mereka. Untuk kepentingan itu, uraian yang memberikan pemahaman yang
proposional tentang fikih sebagai produk pemikiran manusia akan didedahkan
lebih dahulu sebagai jalan masuk ke pencarian format ideal dalam ber-bahtsul
masa`il.
Reorientasi Pemahaman
Sudah maklum bahwa fikih2 dirumuskan sebagai karya intelektual tentang
hukum dengan basis teks-teks keagamaan, terutama al-Qur`an dan al-Hadits.
Rumusan sistematis ini diperlukan untuk memberikan jawaban melalui teori-
teori dan epistemologi tertentu terhadap gugus persoalan manusia baik dalam
urusan personal (ritus-peribadatan) maupun hubungan kemanusiaan
2Dalam perkembangannya, fikih yang ada sekarang sesungguhnya telah mengalami reduksi
yang sangat drastis. Terlebih jika dikembalikan kepada masa Nabi, di mana pada saat itu fikih berarti penguasaan terhadap seluruh ajaran agama sehingga seorang faqih sangat terpuji karena telah menguasai semua ajaran agama secara mendalam, seperti terlihat dalam sabda Nabi yang artinya, “Barangsiapa dikehendaki sebagai yang baik oleh Allah, ia akan dijadikan sebagai orang yang menguasai pengertian yang sangat mendalam dalam ilmu agama”. Begitu pula kata tafaqquh dalam firman Allah li yatafaqqahu fiy al-din berarti melakukan pendalaman dan penguasaan terhadap ajaran agama. Baca, Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulayman, al-Fikr al-Ushuliy: Dirasah, Tahliliyah, Naqdiyah, (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1983), hlm. 20.
Baru pada periode Abu Hanifah fikih terkategorisasi antara al-fiqh al-akbar yang memuat bahasan-bahasan tentang akidah dan keimanan, dan al-fiqh al-asghar yang memuat kajian-kajian tentang hukum-hukum fikih, seperti wujud fikih yang ada sekarang. Amat disayangkan, belakangan orang memahami fikih hanya dalam pengertian yang kedua, al-fiqh al-asghar. Ada dua kitab yang menggambarkan adanya pengertian yang pertama, yaitu kitab yang ditulis oleh masing-masing; Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’iy. Baca, Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar fiy al-Tawhid, yang dijilid bersama Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, al-Fiqh al-Akbar fiy al-Tawhid, (Mesir: Mathba’ah al-‘Amirah al-Syarafiyah, 1324 H.)
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 77
(mua’amalah) baik yang privat ahwal syahshiyah (private affairs) maupun yang
publik seperti urusan ekonomi (iqtishadiyah), politik (siyasiyah), dan lain-lain.3
Hanya yang sering dilupakan orang adalah bahwa fikih selalu dirancang
oleh cerdik pandai melalui aktivitas pikiran atau olah intelektual bersama
sejumlah latar belakang historis dan desakan-desakan sosialnya. Artinya, fikih
tidak hadir di ruang sosial yang kosong. Fikih bukanlah pemikiran murni yang
datang dalam kehampaan kesejarahan, melainkan ia juga merefleksikan selisih-
selisih sosial, budaya, dan politik. Dengan kata lain, fikih bergumul dengan fakta-
fakta historis-sosiologis dengan timbunan makna dan substansinya sendiri.
Begitu juga, fikih dibangun di atas asumsi-asumsi dasar logika dan sistem
berfikir (mode of thgouht) yang berkembang saat naskah-naskah tersebut
disusun. Ini, karena konsepsi atau pemikiran keagamaan pada umumnya juga
merupakan cerminan dari dinamika pergulatan realitas sosio-historis pada era
tertentu. Tidak jarang fikih juga dipengaruhi oleh “angan-angan sosial” dari si
penyusun atau penulis naskah fikih itu sendiri dalam merespon tantangan
zamannya.
Dengan demikian, fikih yang lahir dari pabrik intelektualitas manusia
dalam fase dan penggal sejarah tertentu itu tidak bisa diimpor begitu saja ke
ruang dan waktu yang berlainan. Ini juga berarti bahwa untuk menghukumi
persoalan-persoalan kontemporer tidak selalu dapat diperlakukan hukum yang
telah berjalan pada masa lampau. Kerancuan atau kekeliruan terbesar akan
terjadi, jika kita tetap memaksakan berlakunya keputusan suatu pikiran untuk
seluruh makan dan zaman, yang secara dasariah pasti divergen.
Ada beberapa indikator yang dapat ditunjuk bahwa betapa fuqaha`
banyak dipengaruhi oleh faktor sosio-kultural-budaya dalam menyusun karya-
karyanya. Salah satu testimoni sejarah yang paling banyak dikenal khalayak
adalah riwayat tentang bagaimana Imam Syafi’i memiliki dua pendapat; qawl
qadim dan qawl jadid. Jika Qawl qadim diberikan ketika ia berada di Baghdad,
3Lihat Husein Muhammad, Membongkar Konsepsi Fiqih tentang Perempuan, dalam Syafiq
Hasyim, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: JPPR, 1999), hlm. 35.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 78
maka qawl jadid dikemukakan ketika ia pindah ke Mesir. Data historis
menunjukkan, telah ada puluhan bahkan mungkin juga ratusan pendapat lama
Syafi’i dirubah dan digantikan dengan pendapat baru yang dilandaskan kepada
setting sosial budaya Mesir, padahal ayat-ayat al-Qur`an dan al-Hadits yang ia
ketahui sama juga.4
Dalam tarikh tasyri’ kita juga tahu bagaimana ahl al-hadits5 dan ahl al-
ra’yi6 berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda.7 Ulama ahl al-
ra`yi dengan gembong utamanya Abu Hanifah bertumbuh di kota Kufah dan
Baghdad yang metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional
sejumlah persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota.
Ditambah dengan kenyataan bahwa secara teritorial Baghdad memang terletak
jauh dari pusat kota hadits, Madinah, sehingga Abu Hanifah dalam menulis
kitab-kitab fikihnya merasa perlu untuk lebih banyak melandaskan diri kepada
ra`yu (akal) ketimbang hadits yang belum jelas validitasnya (ghair mutawatir),
terutama dalam hal tidak ada nash.
Berbeda dengan kecenderungan kelompok ahl al-ra`yi yang rasional,
faksi ahl al-hadits dengan Imam Malik bin Anas sebagai pelopornya, yang hidup
di Madinah yang tingkat kompleksitas kehidupan masyarakatnya jauh lebih
4Penjelasan yang detail tentang dua pendapat; lama dan baru Imam Syafi’iy ini, baca,
Nahrawi Abd al-Salam, al-Imam al-Syafi’iy baina Madzhabayhi al-Qadim wa al-Jadid, (Mesir, Dar al-Kutub, 1994)
5Masuk ke dalam kelompok ahl al-hadits, di antaranya, adalah Malik ibn Anas, Sufyan al-Tsawriy, Ahmad ibn Hanbal, Dawud ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Ashfihaniy.
6Masuk ke dalam kelompok ahl al-ra`yi, diantaranya, adalah Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit, Muhammad ibn al-Hasan, Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim ibn Muhammad al-Qadhi, Zafar ibn al-Hudzail, al-Hasan ibn Ziyad al-Lu`luiy, Ibnu Sama’ah, Abu Muthi’ al-Balkhi.
7Sesungguhnya membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode penetapan hukum atau tasyri’, baik penalaran atau penuturan riwayat, adalah tidak tepat. Kategorisasi itu hanya untuk menjelaskan karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu. Pada tingkat individu, cukup banyak dari masing-masing daerah itu yang tidak mengikuti karakteristik umum tersebut. Katakan, di kalangan orang Hijaz ada orang semacam Rabi’ah yang tergolong berpikiran rasional (ahl al-ra’yi), dan di Irak, kelak, ada orang semacam Ahmad bin Hanbal tampil sebagai pembela ahl al-hadits. Lihat Nurcholish Madjid, Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam, dalam Budy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 243.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
sederhana dibanding Baghdad, cenderung untuk banyak menggunakan hadits
ketimbang rasio. Ini di samping karena banyaknya hadits yang beredar di kota
itu, juga, sekali lagi, karena persoalan-persoalan yang muncul di sana hanya
cukup diselesaikan dengan hadits-hadits yang ada, tanpa memerlukan
keterlibatan akal budi para ulama.8
Dalam perkembangannya, kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab
fikih dengan tendensi yang berbeda. Kitab-kitab fikih produk kelompok pertama
lebih memberi tempat kepada hadits-hadits sekalipun lemah (dha’if), sedangkan
kelompok kedua menghasilkan kitab-kitab fikih yang bersifat rasional. Kitab al-
Muwaththa` karya Imam Malik yang merupakan buku kumpulan hadits
pertama, juga sekaligus dapat disebut sebagai kitab fikih yang didasarkan kepada
hadits atau riwayat. Kendatipun tidak seluruhnya berhasil, Imam Syafi’i telah
berusaha untuk menjembatani kedua kelompok itu, walaupun pada akhirnya, ia
sendiri lebih berpihak pada kelompok pertama.
Demikianlah faktor geografis dan tingkat urbanisme suatu masyarakat
telah ikut mencoraki lahirnya pelbagai madzhab (school of thought) fikih dalam
Islam, khususnya pada abad-abad formative age keilmuan agama Islam,
tepatnya dizaman lahirnya para imam madzhab. Kalau bergerak ke depan, ke
abad 12, kita akan melihat, misalnya, sosok Ibnu Rusyd. Ia tinggal di kota
Cordova, Spanyol yang waktu itu telah menjadi kota metropolitan. Kompleksitas
kehidupan masyarakat di kota ini, ditunjang oleh keluasan pandangan Ibnu
Rusyd sebagai seorang filosof, ia telah menampilkan genre pemikiran fikihnya
yang khas.
Seperti terekam dalam salah satu bukunya, Bidayah al-Mujtahid,
walaupun dikenal bermadzhab Maliki, Ibnu Rusyd mencoba berdiri tegak untuk
tidak memihak secara fanatik terhadap imam madzhabnya. Ia menghidangkan
beragam pendapat secara sekaligus, lengkap dengan hujjah dan dalil-dalilnya.
8Lihat Muhammad Khudhari Bik, Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, (Mesir: Mathba’ah Sa’adah, 1954),
hlm. 141-146. Bandingkan juga dengan N.J Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburg: University Press, 1964), hlm. 36-52. Lihat juga, al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 207-208.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
Dengan ini, seakan khalayak dipersilahkan untuk menilai dan memilih dari
pelbagai pendapat yang disodorkannya itu. Kita mengetahui bahwa
kecenderungan fikih perbandingan semacam ini semakin berkecambah akhir-
akhir ini, seiring dengan tingkat urbanisme masyarakat Muslim di pelbagai
belahan dunia yang terus meningkat.9
Akan tetapi, tidak semua negeri Muslim mempunyai dinamika seperti
Baghdad dan Cordova dalam melahirkan kitab-kitab fikih. Kalau bergerak lagi ke
depan, ke abad 19 dan 20, kita akan melihat bahwa berbagai negeri Muslim
seperti Asia Tenggara lebih suka mengambil kitab fikih yang sudah jadi
ketimbang mengembangkan fikihnya sendiri, meskipun kitab-kitab fikih yang
diambilnya itu adalah produk masa lampau yang sudah “aus” dan ditulis di
tempat nun jauh di sana.10
Kitab-kitab fikih yang kita pelajari di lingkungan pesantren di Indonesia di
samping rata-rata ditulis lima atau enam abad yang lalu, juga merupakan
ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Dus, selain sudah tua,
9Baca Atho Mudzhar, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Makalah,
tidak diterbitkan, Pebruari 1992. Tentang perbedaan perkotaan Eropa dan Spanyol ketika itu, lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, (The Macmillan Press, 1970), hlm. 526.
10Dalam konteks masyarakat pesantren, khazanah klasik itu begitu sentral. Pentingnya kedudukan khazanah klasik atau al-turats dalam masyarakat pesantren ini menunjukkan bahwa Islam pesantren, atau Islam yang ditebarkan dari pesantren, adalah Islam yang memiliki kesinambungan yang kuat dengan Islam sebagaimana dipahami dan dihayati oleh generasi-generasi terdahulu. Di kalangan umat Islam pesantren berlaku adagium yang dinisbatkan pada Nabi, “Sebaik-baik generasi (?) adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, dan yang berikutnya, begitu seterusnya”. Maka untuk meraih tingkat “kebaikan” yang optimal maka tidak ada jalan lain kecuali dengan mempertautkan kalau bisa menduplikasi paham keislaman yang dimiliki oleh ulama terdahulu, salaf. Inilah arti “tradisonalisme” yang melekat atau dilekatkan kepada dunia pesantren.
Sesungguhnya tidak ada yang salah mengikuti piwulang kesalihan yang diajarkan oleh siapapun, lebih-lebih oleh generasi yang telah mendahului kita yang dikenal memiliki kewaskitaan dan kearifan tinggi karena kebersihan hati mereka sebagai hamba-hamba Allah yang tulus (al-salaf al-shalihun) melalui karya-karya mereka. Akan tetapi, walaupun ajaran mereka jelas penting dan sangat berharga, kita harus menyadari bahwa ajaran dan piwulang mereka belumlah segalanya. Dalam arti, hanya dengan memegang ajaran dan pemikiran mereka , maka semua persoalan yang kita hadapi hari ini pasti akan dapat dijawab dan diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Ajaran dan piwulang mereka memang perlu, tapi tidak cukup memadai. Lihat Masdar F. Mas’udi, Reaktualisasi Khazanah Kitab Kuning, Makalah, tidak diterbitkan, 9 Nopember 1999.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
kitab-kitab fikih yang dipelajari warga nahdliyyin itu juga mengandung ekspresi
lokal di Timur Tengah sana. Karena, bagaimanapun, konteks spasial suatu
pendapat dikeluarkan oleh seseorang akan sangat menentukan isi dan pigmen
pendapat tersebut. Dengan demikian, kitab-kitab fikih itu bersifat partikularistik,
makaniy dan zamaniy. Ahmad Zaki Yamani menyatakan bahwa hasil pemikiran
para ulama dalam kitab-kitab itu tidak lepas dari tuntutan zaman dan tempat
yang lebih spesifik, yang belum tentu cocok dengan tuntutan zaman kita
sekarang.11
Pertanyaannya kemudian, mengapa kitab-kitab fikih itu beserta komentar
(syarah) dan hasyiyah (commentary on commentary)-nya yang ditulis ratusan
tahun yang lalu di luar Asia Tenggara, masih saja dipakai hingga sekarang di
negeri ini, Indonesia ? Apa gerangan yang menyebabkan lahirnya pandangan
yang membiarkan fikih sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan
masa lalu ? Mengapa pula produk pemikiran manusia yang semestinya temporal,
open ended, dan liable terhadap perubahan itu cenderung kekal dan dikekalkan ?
Jika diselidik secara cermat, menurut penyelidikan Atho` Mudzhar,
sekurang-kurangnya ada dua hal yang melatari. Pertama, kitab-kitab itu dipakai
bukan karena isinya memang sepenuhnya cocok dengan kondisi sosio-kultural
Indonesia, melainkan karena Indonesia belum mempunyai ulama atau fuqaha`
yang mampu mengembangkan fikihnya. Kalau toh ada yang memiliki
kemampuan, biasanya mereka tidak berani untuk melangkah di luar pakem dan
ketentuan madzhab fikih yang dipilihnya.
Kedua, bahwa semenjak awal pertumbuhannya telah ada kelompok
agamawan ortodoks yang berpendirian bahwa aturan yang disebut hukum Islam
itu tidak boleh terkena intervensi akal budi manusia, karena hukum Islam itu
kebenarannya mutlak yang hanya diatur dengan wahyu. Pandangan ini jelas
bersifat utopis karena kenyataan, jumlah ayat al-Qur`an mengenai hukum itu
hanya sedikit sekali dibanding dengan jumlah persoalan hidup yang harus
11Ahmad Zaki Yamani, Islamic Law and Contemporary Issues, (Jeddah: The Saudi Publishing
House, 1388), hlm. 6-7.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
ditentukan perkaranya oleh fikih Islam. Namun, pandangan ini telah mempunyai
pengaruh dalam memberikan label bahwa produk pemikiran fikih itupun
merupakan upaya menafsirkan kehendak Tuhan yang bersifat abadi dalam
bidang hukum.12 Bagi kaum ortodoksi, sebagai sesuatu yang disandarkan kepada
yang sakral dan abadi (baca;wahyu), maka dengan demikian fikih juga bersifat
sakral dan abadi. Argumennya, sandaran fikih bukanlah akal manusia yang bisa
dibantah, melainkan “otoritas ilahiah” yang amat sulit untuk ditawar.
Padahal kita tahu bahwa fikih adalah varian dari pola pemahaman
keagamaan yang bersifat partikularistik. Fikih adalah produk dominan akal
ketimbang wahyu, dan karenanya boleh digugat, dikupas, dirubah, atau bahkan
dibuang pada setiap saat. Namun, celakanya, seringkali gugatan terhadap teks
dan upaya dekonstruksi13 sekaligus rekonstruksi warisan intelektual klasik
(turats) dipandang sebagai keangkuhan intelektual, menyalahi fatsoen dan akar-
akar tradisi. Ini tentu saja sebuah hegemoni sekaligus juga “malapetaka” dalam
perspektif pemikiran ilmiah.14
Dalam konteks itu, sangatlah tepat memperhatikan hasil renungan Ibnu
al-Qayyim al-Jawziyah dalam bukunya I’lam al-Muwaqqi’in. Ia mengatakan,
“janganlah anda terpaku pada teks-teks (‘ibar) yang dikutip dalam kitab-kitab,
12Atho` Mudzhar, Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam, dalam Budhy Munawar-Rachman
(ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 370-371. 13Dalam ilmu kemanusiaan saat ini, metode dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques
Derrida--salah seorang filsuf post-strukturalis terkemuka--telah populer sebagai acuan. Metode ini memberikan sumbangan yang sangat penting, terutama dalam bidang kritik sastra. Metode ini, kemudian, dipinjam oleh berbagai disiplin humaniora. Bahkan, seorang pemikir Islam avant-gardis kelahiran Aljazair yang sekarang tinggal di Perancis, Mohamed Arkoun, telah menggunakan metode itu untuk melakukan rekonstruksi kembali tradisi keilmuan klasik Islam. Berkaitan dengan teori dekonstruksi ini, baca Christopher Noris, Deconstruction: theory and Practice, (London: Methuen, 1985).
14Lebih dari itu, sikap dan pandangan memapankan fikih seperti itu dengan sendirinya telah pernah dikritik oleh Jalaluddin al-Suyuthi seperti tercermin dalam bukunya “al-Radd ‘ala Man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila bi Anna al-Ijtihad fiy Kulli ‘Ashr Fardh” (Kritik terhadap pandangan yang memapankan diri dan yang tidak mengerti bahwa ijtihad adalah keniscayaan pada setiap zaman). Baca, al-Suyuthi, al-Ijtihad al-Rad ‘ala man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna al-Ijtihad fiy Kulli ‘Ashr Fardh, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983)
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
sepanjang hidup anda. Jika orang luar daerah anda menemui anda untuk
menanyakan suatu persoalan (meminta fatwa hukum), maka tanyailah dulu
tradisinya. Sesudah itu barulah anda putuskan, berdasarkan analisis tradisinya
itu, dan bukan berdasarkan tradisi daerah anda dan apa yang terdapat dalam
kitab-kitab anda. Para ulama mengatakan ini adalah kebenaran yang jelas. Sikap
statis dan tidak melakukan analisis sosiologis dan tetap memberikan keputusan
berdasarkan teks-teks yang ada dalam buku-buku adalah kesesatan dan tidak
memahami maksud para ulama dan generasi muslim awal.15 Bahkan, lebih jauh
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah menegaskan bahwa pengambilan keputusan fatwa
fikih tanpa memperhitungkan faktor-faktor kebiasaan, tradisi, situasi dan kondisi
serta indikasi-indikasi yang lain merupakan keputusan yang sesat dan
menyesatkan.16
NU & Tradisi Bermadzhab
Sikap dasar bermadzhab tampaknya telah menjadi pilihan dan pegangan
NU semenjak berdirinya. Secara konsekuen sikap ini ditindak lanjuti dengan
upaya pengembalian hukum fikih kepada maraji’ berupa kitab-kitab fikih yang
pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen;
ibadah, mu’amalah, munakahah, jinayat, dan qadla`. Dan pada kitab-kitab fikih
itulah semua persoalan hukum biasanya dirujukkan dan dikembalikan melalui
mekanisme pembahasan dalam forum bathstul masa`il (BM) NU, mulai dari
tingkat ranting sampai pusat. Artinya, forum BM sebagai wahana pembahasan
masalah hukum senantiasa mengarahkan pengambilan hukum pada aqwal al-
mujtahidin baik yang muthlaq maupun yang muntasib.
Adapun metode yang digunakan dalam BM (tentunya yang masa`il
waqi’iyyah) adalah metode tanya jawab. BM menjawab pertanyaan yang
diajukan dengan salah satu al-ahkam al-khamsah (lima ketentuan hukum)
berupa halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah, bahkan syubhat. Untuk
15Lihat Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 78. 16Lihat Ibnu al-Qayyim, ibid.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
mendukung keputusan atau fatwa tersebut, sidang BM lazim mengutip secara
“sporadis” dari kitab-kitab madzhab syafi’i terutama Imam Nawawi (w. 676
H./1277 M.) dan Imam Rafi’i (w. 623 H./1226 M.).
Kedua ulama (Nawawi & Rafi’i) itulah yang memperoleh sertifikat dari NU
sebagai orang-orang yang memiliki otoritas dalam menjelaskan pikiran-pikiran
imam madzhabnya, Syafi’i.17 Dengan ini, seakan-akan NU bukan bermadzhab
langsung kepada imam madzhab, melainkan kepada ulama madzhab, dalam hal
ini Nawawi dan Rafi’i. Tambahan pula, upaya preferensi kepada kedua imam ini
hanya didasarkan kepada sebuah penilaian dan penjelasan tunggal oleh
Zainuddin al-Malibari dalam fath al-Mu’in, “Ketahuilah bahwa yang menjadi
pedoman (mu’tamad) dalam pengambilan keputusan hukum dan fatwa ialah
pendapat yang disepakati oleh al-syaykhani, yaitu Imam Nawawi dan Imam
Rafi’i. Kemudian, jika keduanya berbeda pendapat, maka yang didahulukan
adalah Imam Nawawi, kemudian Imam Rafi’i, kemudian pendapat mayoritas,
kemudian pendapat yang terpandai, dan akhirnya yang paling wara’.18.
Seperti dijelaskan Husein Muhammad, rumusan keputusan seperti di atas
telah menempatkan pikiran personal individual di atas pikiran-pikiran kolektif-
kolegial. Anehnya, dalam realitas yang berkembang dalam forum BM, pikiran-
17Lihat A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama NU (Ke
satu-1926 s/d kedua puluh sembilan 1994), (Surabaya: PP RMI-Dinamika Press, 1997), hlm. 3. Bandingkan dengan, PBNU, Sistem pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masa`il, (Jakarta: Sekretariat Jenderal, 1992), hlm. 7
18Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in, (Bandung: Fajar Nusantara, tanpa tahun), hlm. 140. Fath al-Mu’in yang telah lama populer di Indonesia, ditulis oleh ulama India Selatan, Zainuddin al-Malibari (lahir 1597 M.), sekitar abad ke-16. Fath al-Mu’in merupakan syarah atau penulisan kembali sebuah karya lebih dahulu oleh pengarang yang sama, Qurrah al-‘Ain. Anehnya, walaupun al-Malibari telah menjadi murid Ibnu Hajar al-Haytami, kedua karyanya itu tidak secara langsung didasarkan atas Tuhfah Ibnu Hajar.
Kitab Fath al-Mu’in ini kemudian diberi dua buah hasyiyah. Pertama adalah I’anah al-Thalibin karya Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi. Karangan ini adalah sebuah karya empat jilid, yang memasukkan catatan-catatan pengarang atas berbagai pokok bahasan serta sejumlah fatwa oleh mufti Syafi’iy di Mekah waktu itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Kitab ini telah menjadi karya fikih di lingkungan syafi’iyyah yang paling sering dijadikan rujukan. Kedua adalah Tarsyih al-Mustafidin karya Alwi al-Saqqaf. Kitab ini merupakan sebuah karya yang lebih sederhana dan kurang terkenal (dua jilid). Baru belakngan kitab ini untuk pertama kalinya juga dicetak ulang di Indonesia.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 89
pikiran kedua tokoh itu justru jarang muncul sebagai referensi. Forum BM hanya
menyalin pendapat yang ada dalam kitab-kitab rujukan yang populer di kalangan
NU secara apa adanya tanpa disertai argumentasi yang necis dari pendapat
khusus forum sebagai wakil ulama NU. Bila ada argumentasi, maka itu adalah
hujjah dari sumber yang dikutip. Dalam beberapa keputusan, BM bahkan
memberikan jawaban yang kurang meyakinkan atas pertanyaan-pertanyaan
tertentu.
Cara memberikan jawaban tanpa bangunan argumentasi sendiri ini
merefleksikan corak pemikiran NU yang lebih mengutamakan bertaqlid
(bermadzhab) kepada pendapat (qawl) tertentu daripada menggunakan
pendapat yang diracik dari argumentasi dan analisis sendiri. NU lebih kental
bermadzhab secara qawli ketimbang manhaji (metodologis). Metodologi ushul
fikih dan qawa’id fiqhiyyah yang dibaca dan dipelajari ulama NU selama ini
dipakai hanya untuk memperkuat pemahaman atas masa`il furu’iyah yang ada
pada kitab-kitab fikih bukan untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-
ashliyah atau iqtibas al-ahkam min ushuliha.
Pandangan keagamaan seperti ini dapat dipahami dari posisi teguh
mereka untuk menjaga otentisitas dan kontinuitas ajaran para gurunya yang
diklaim lebih mendekati semangat Islam pristin seperti yang diajarkan Nabi.
Bahkan, menurut Martin van Bruinessen, salah satu raison d’etre kemunculan
pesantren di Indonesia adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis beberapa abad
yang lalu. Ilmu klasik itu dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat
ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali oleh para ulama dan
murid yang belakangan.19
Mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru sampai kepada Nabi
dan karenanya kepada Tuhan, dianggap penting untuk kelangsungan ajaran dan
19Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 17.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 88
keotentikan tradisi.20 Dengan demikian, guru dapat mengijinkan murid untuk
mengajar hanya setelah memberikan ijazah kepadanya. Ijazah ini pada mulanya
berbentuk lisan melalui wasiat suci, tapi belakangan banyak disukai dalam
bentuk tulisan, karena ia dapat dijadikan sebagai dokumen resmi.
Tradisi berguru untuk mendapatkan ijazah dari guru tertentu ini
dikembangkan NU melalui lembaga pendidikan pondok pesantren, terutama di
pulau Jawa. Ia harus hidup di pondok, mengikuti secara tekun pelajaran yang
diberikan kiai, menaati perintah sang kiai, menjadikan si kiai sebagai idola dan
pusat rujukan, mendalami kitab-kitab yang diajarkannya21, dan seterusnya.
Bila telah berdiri sendiri, ia harus mengajarkan apa yang pernah diajarkan
oleh kiainya dan membaca kitab-kitab yang direkomendasikan oleh kiai. Dalam
hal ini, menuntut ilmu harus dari sumber yang terpercaya, mempunyai sanad
(silsilah) yang jelas kepada syaikh-syaikh tertentu yang diyakini mempunyai
sanad muttashil kepada imam madzhab dan terus menjulur ke belakang
membentuk garis kontinum hingga kepada Nabi. Lebih jauh, masyarakat
pesantren mempercayai bahwa pedoman hidup adalah al-Qur`an dan al-Sunnah.
Namun, mereka hanya akan mempedomaninya melalui tafsiran-tafsiran dan
penjabaran-penjabaran yang telah diupayakan oleh ulama-ulama terpercaya
dimasa lalu.
Inilah tradisi yang telah berlangsung lama dan yang dijaga kuat oleh
warga NU. Karena itu tidak mengherankan bila keputusan BM dalam hampir
semua Muktamar NU selalu merujuk kepada [a] pendapat ulama yang telah
20Pentingnya isnad di kalangan ulama tradional diperlihatkan oleh sejumlah kitab karya al-
marhum Syaikh Yasin al-Padani. Dalam karya ini, penulis hanya menyebut judul dari kitab-kitab yang telah ia kaji bersama dengan isnad dari guru-gurunya sampai pengarang kitab yang bersangkutan. Periksa, Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat…, hlm. 21.
21Di kalangan masyarakat pesantren, kedudukan kitab ini saling melengkapi dengan kedudukan kiai. Kitab merupakan kodifikasi tata nilai yang dianut masyarakat pesantren, sedang kiai adalah personifikasi yang utuh (atau yang seharusnya demikian) dari sistem tata nilai itu. Keduanya nyaris tak terpisahkan. Seorang kiai baru disebut kiai, jika ia benar-benar telah memahami dan mendalami isi ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab, dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Baca, Masdar F. Mas’udi, Menguak Pemikiran Kitab Kuning, dalam Majalah Pesantren, No. Perdana, Oktober-Desember, 1984,
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 87
diakui kredibilitas dan integritas moral-intelektualnya, seperti para imam
madzhab dan ulama madzhab; [b] kitab-kitab dan karya intelektual yang
dipandang sebagai mu’tabarah (al-kutub al-mu’tabarah).
Terkait dengan poin kedua di atas, dalam dunia “pesantren mainstream”,
buku-buku yang ditulis oleh para ulama itu agaknya telah diterima secara taken
for granted, tanpa diperlukan kajian dan telaah serius terhadap latar belakang
yang mendorong munculnya karya tersebut. Pemikiran yang terkandung dalam
kitab-kitab tersebut keburu dianggap baku dan dibakukan, sehingga generasi
berikutnya tinggal mewarisi dan melanjutkan saja, tanpa perlu mempertanyakan
relevansinya dengan tantangan sejarah dan problematika zaman baru yang
mengitari generasi yang datang belakangan. Kewajiban kita tidak lebih dari
mengkonservasi dan sebisa mungkin mengamalkannya, bukan menggugat dan
mempertanyakannya.
Puncak dari pemeliharaan tradisi melalui jalur madzhab ini adalah untuk
memastikan satu hal bahwa warga NU mengikuti tradisi agama ala Ahlu al-
Sunnah wa al-Jama`ah--suatu ideologi yang menjadi anutan NU selama ini, dan
tidak mengikuti aliran-aliran yang dipandang sempalan sejak abad pertama
Islam, terutama madzhab Syi’ah dan Khawarij.
Bayangkan, forum BM berjalan sudah cukup lama, bersamaan dengan
lahirnya NU. Namun, baru dalam Munas NU di Bandar Lampung pada tahun
1992, mulai dirasakan adanya kelemahan-kelemahan, sisi-sisi ganjil, paradoks-
paradoks dalam tradisi seperti di atas. Di Munas Lampung itulah, NU mulai
memberikan kemungkinan akan adanya pendapat NU sendiri melalui
mekanisme istinbath jama’i (penyimpulan ketentuan hukum secara bersama-
sama) terhadap persoalan yang tidak ada ketentuan nash-nya. Namun, karena
kaidah-kaidahnya baru dirumuskan, istinbath jama’i masih merupakan gagasan
dan belum diterapkan secara sungguh-sungguh.
Prihal di atas disebabkan, pertama, para peserta forum menyadari bahwa
mereka belum sampai ke level mujtahid, apalagi mujtahid mutlak. Mereka masih
merasa sebagai muqallid (pentaklid), sekalipun bukan muqallid seperti orang
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 88
awam. Bahkan, istilah istinbath sengaja dipakai untuk menghindari kesan
adanya aktivitas ijtihad yang dilakukan oleh ulama NU, walaupun pengertian
istinbath dan ijtihad secara essensial sesungguhnya adalah sama dan sebangun.22
Kedua, para kiai umumnya memiliki pengetahuan yang luas dari hasil-
hasil kajian mereka terhadap referensi lama (al-kutub al-qadimah). Akan tetapi,
mereka biasanya tak mampu merefleksikan dan mengkontekstualisasikan
pengalamannya itu menjadi kajian kritis orisinil yang mampu menjawab
tantangan zaman.23 Dengan agak mendramatisir, ini mungkin karena referensi
lama itu telah merasuk dan berakar kuat dalam otak para ulama NU, sehingga
mereka agak “susah” untuk keluar dengan membacanya secara kritis terhadap
kitab rujukannya tersebut.
Mungkin juga kitab-kitab klasik itu telah muncul menjadi semacam--
meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla--“efek hipnotis” yang kemudian membuat
para ulama NU “malas” untuk mencari suatu lompatan pemikiran yang berbeda
dengan para ulama madzhabnya. Tidak diketahui secara pasti, apakah
“kemalasan” ulama NU untuk mencari terobosan pemikiran lewat pintu istinbath
itu dikarenakan “cesplengnya” solusi yang diajukan ulama salaf, atau karena
alasan-alasan lain yang lebih praktis. Yang terang, pelbagai pemikiran yang
muncul belakangan tak lebih dari sekedar “catatan pinggir” bahkan replika
belaka terhadap pikiran-pikiran para pendahulunya. Dalam jangka panjang,
tentu efek hipnotis dari karya-karya para imam dan ulama madzhab itu harus
segera diakhiri.
22Menurut ilmu ushul fikih, kata “ijtihad” identik dengan kata “istinbath”. Istinbath berasal
dari kata “nabth” (air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali). Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Oleh karena itu, arti ijtihad dan istinbath adalah sama. Yaitu menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur`an dan al-Sunnah.
23Lihat Riyal Ka’bah, Formulasi Hukum dalam Pertemuan Bahtsul Masa`il NU, dalam Republika, 1 Desember 1997.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Maslahat sebagai Ghayah
Sebagai landas tumpu fikih, al-Qur`an telah mempermaklumkan diri
sebagai kitab petunjuk dan rahmat. Ia juga menyatakan bahwa Nabi SAW. diutus
ke dunia untuk memberikan rahmat bagi alam semesta. Cita-cita al-Qur`an
adalah terciptanya sebuah tata kehidupan manusia yang bermoral yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dari penelitian terhadap teks-teks suci baik al-Qur`an maupun al-Hadits,
pada ujungnya Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah mengkonstatir bahwa syari’at Islam
dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal
yang lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan.
Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan
fikih. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran ahli fikih ketika memutuskan suatu
kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-
cita syari’ah.24
Pandangan ini juga dikemukakan oleh para pemikir terkemuka al-Ghazali
(w. 505 H./1111 M.)25, Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.)26, Izz al-Din Ibn ‘Abd al-
Salam (w. 660 H.)27, Syihab al-Din al-Qarafi (w. 685 H.)28, Najm al-Din al-Thufi
24Lihat Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, juz III, hlm. 3. Bandingkan dengan Husein
Muhammad, Membongkar…, hlm. 36. 25Secara lebih khusus, al-Ghazali dengan sangat mengesankan telah merumuskan
kemaslahatan ini dalam bukunya yang sangat terkenal itu, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Ia mengatakan bahwa kemashlahatan adalah mewujudkan lima prinsip pokok agama, yaitu memelihara lima hal; agama (hifdh al-din), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-‘aql), keturunan (hifdh al-nasl), harta benda (hifzdh al-mal). Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima prinsip ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang menegasikannya adalah kerusakan (mafsadah), dan menolak kemafsadatan adalah kemaslahatan. Lihat al-Ghazali, al-Musthashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz I, hlm. 26.
26Al-Razi, al-Mahshul min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), Juz II, hlm. 45 27Ilmuwan hukum Islam dari madzhab Syafi’i ini menyatakan bahwa “segala upaya
hendaknya difokuskan atau dikembalikan kepada kepentingan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tuhan tidak memerlukan ibadah kita. Ia tidak beruntung karena ketaatan mereka yang taat, dan sebaliknya tidak dirugikan oleh perbuatan maksiat dari mereka yang durhaka. Lihat Izz ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam, (Beirur: Dar al-Jil, Tanpa Tahun), Juz II hlm. 72
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
(w. 716 H.)29, Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H.)30, hingga Muhammad bin al-
Tahir bin ‘Asyur (w. 1393 H./1973 M.) 31, ‘Allal al-Fasi (w. 1393 H./1973 M.)32,
dan lain-lain. Mereka sepakat bahwa sesungguhnya syari’at Islam tidak memiliki
tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal
(jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-
mafasid). Sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa bahwa syari’at Islam
dibangun demi kebahagiaan (sa’adah) manusia baik di dunia maupun di akhirat
(ma’asy wa ma’ad), sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi.33
28al-Qarafi, Mukhtashar Tanqih al-Fushul fiy al-Ushul, (Damascus: al-Maktabah al-Hasymiyah,
Tanpa Tahun), hlm. 8. Lihat juga, al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fushul fiy Ikhtishar al-Mahshul fiy al-Ushul, (Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973), hlm. 15
29Ilmuwan hukum Islam dari madzhab Hanbali ini menganut aliran yang mendahulukan kemaslahatan umum atas nash dan ijma’. Dia menyatakan bahwa apabila terjadi tabrakan antara kemaslahatan universal dan nash dan atau ijma’, maka wajib dimenangkan kepentingan umum. Bagi al-Thufi, secara lafdliyah, nash memang mengundang terjadi perbedaan pendapat, sedangkan memelihara kemaslahatan (ri’ayah al-mashalih) adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh semua. Maka mengikuti maslahat adalah lebih utama (awla). Lihat Mushtahafa Zaid, al-Mashlahah fiy al-Tasri’ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1964), hlm. 227. Tak ayal lagi, pendapat ini mendapatkan tanggapan keras dari kalangan ulama lain, seperti Sa’id Ramadlan al-Buthi. Sa’id menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan oleh al-Thufiy tidak cukup kuat, dengan demikian tertolak. Lihat Sa’id Ramadlan al-Buthiy, Dhawabith al-Mashlahah fiy al-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1990), hlm. 182-189.
30Mirip dengan taksonomi al-Ghazali, Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syari’ah ialah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yang disebutnya sebagai dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyat. Tujuan dari masing-masing kategori tersebut adalah untuk memastikan bahwa kemaslahatan kaum Muslimin baik di dunia maupun di akhirat, terwujud dengan cara yang terbaik, karena Tuhan, ditegaskan oleh Syathibi (mengikuti pendapat kaum Mu’tazilah), berbuat demi kebaikan hambanya. Syari’at dibuat untuk (mewujudkan) kemaslahatan orang-orang mukmin” al-syari’ah… wudhi’at li mashalih al-‘ibad. Lihat al-Syatibi, al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, Juz II, hlm. 5-6. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz II, hlm. 1017
31Ibnu ‘Asyur, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, (Tunis, al-Syarikah al-Tunisiyah li al-Tawzi’, 1978), hlm. 85.
32‘Allal al-Fasi, Maqshid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuha, (Casablanca: Dar al-Gharb al-Islamiy, 1993), hlm. 181-184.
33Lihat Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jil, Tanpa Tahun), hlm. 137. Bandingkan dengan Shubhi Shalih, Ma’alim al-Syari’ah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, Tanpa Tahun), hlm. 62. Bandingkan juga dengan “Abid Ibn
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Pemahaman ini juga sebetulnya telah disadari betul oleh ulama NU, hanya
saja ia belum merata tersosialisasi ke level bawah, kiai-kiai di daerah-daerah, dan
juga belum terlaksana secara konkret di dalam merumuskan dan menentukan
suatu perkara hukum, khususnya yang masa`il waqi’iyyah. Dalam kaitan
kemaslahatan ini, NU pernah merumuskan sebagai berikut34:
[a] maslahah ‘ammah adalah sesuatu yang mengandung nilai manfaat
dilihat dari kepentingan umat manusia, dan tiadanya nilai madlarat yang
terkandung di dalam, baik yang dihasilkan dari kegiatan jalbul manfa’ah
(mendapatkan ) maupun kegiatan daf’ul mafsadah (menghindarkan
kerusakan).
[b] masalahah ‘ammah harus selaras dengan tujuan syari’at, yaitu
terpeliharanyalima hak dan jaminan dasar manusia (al-ushul al-
khamsah), yang meliputi keselamatan keyakinan agama, keselamatan jiwa
(kehormatan), keselamatan akal, keselamatan keluarga dan keturunan,
dan keselamatan hak milik.
[c] maslahah ‘ammah harus benar-benar untuk kepentingan umum, tidak
untuk kepentingan khusus (perorangan). Adapun sesuatu yang membawa
manfaat dan meniadakan madlarat hanya menguntungkan atau untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu, bukanlah termasuk maslahah ‘ammah.
[d] maslahah ‘ammah tidak boleh mengorbankan kepentingan umum lain
yang sederajat apalagi yang lebih besar.
[e] maslahah ‘ammah harus bersifat haqiqiyah (nyata) dan tidak
wahmiyah (hipotesis). Karena itu untuk menentukan maslahah ‘ammah
harus dilakukan melalui kajian yang cermat atau penelitian, musyawarah
dan ditetapkan secara bersama-sama.
[f] maslahah ‘ammah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur`an, al-
Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Karena itu, setiap kebijakan yang diambil dengan
Muhammad al-Sufyani, Ma’alim al-Thariqah al-Salafiy fiy Ushul al-Fiqh: al-Tsabat wa al-Syumul, (Maktabah al-Mukarramah, Makatabah al-Manarah, 1988), hlm. 521.
34Periksa, PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta`lif Wan Nasyr, 1996), hlm. 35-36.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
dalih untuk kepentingan umum tetapi bertentangan dengan landasan
tersebut harus ditolak.
Melihat beberapa diktum di atas terutama poin enam (f), maka standar
kemaslahatan adalah teks atau nash. Ini, karena tolok ukur (mi’yar) manfaat dan
madlarat, dalam pandangan NU yang lazimnya bertunjang kepada pendapat al-
Ghazali, tidak dapat dikembalikan pada penilaian manusia yang rentan akan
pengaruh dorongan hawa nafsu insaniyahnya. Sebab, maslahat bisa dijadikan
selubung buat pemenuhan dan pemuasan syahwat dirinya. Dengan ini, maslahat
harus dilandaskan kepada teks agama. Artinya, tekslah yang menjadi dasar
dalam mengukur segala hal menyangkut maslahat dan tidaknya suatu keputusan
hukum.
Kajian keagamaan yang berkecenderungan tekstualisme (naz’ah
nashshiyyah), agaknya tidak membawa perkembangan dan pemecahan yang
berarti seiring dengan eskalasi dan akselerasi perubahan yang tengah
berlangsung dalam masyarakat.35 Karena itu, perlu dikembangkan metode
pendekatan baru terhadap ajaran. Yaitu, dengan melihat dan mengkalkulasi
kemaslahatan dan kemudaratan (i’tibar al-mashalih wa al-mafasid) yang akan
ditimbulkan oleh suatu putusan hukum. Sebab, suatu pemikiran betapapun
canggih dari sudut teoritik-doktrin, jika tidak membawa serta kemaslahatan bagi
kehidupan umat manusia, maka tidaklah terlalu banyak gunanya.
Dalam tataran ini, al-Thufi memiliki cara pandang yang menarik dalam
mengidenifikasi kedudukan maslahat dalam ajaran Islam. Jika al-Ghazali--
sebagaimana umumnya pakar syari’ah yang lain--mengakui eksistensi maslahat
dalam batas lingkaran nushus, al-Thufi lebih cenderung melandaskan konstelasi
maslahat pada superioritas akal fikiran manusia. Bagi al-Thufi, visi akal lebih
obyektif dalam memposisikan maslahat ketimbang antagonisme nash (teks
ajaran) antara satu dan lainnya. Karenanya, validitas kehujjahan maslahat harus
35Menurut Hasan Hanafi, kita sekarang ini masih dibelenggu oleh teks (nushus), sebagaimana
teks telah mengurung otak dan akal orang-orang terdahulu. Baca, Hasan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid, (Cairo: al-Markaz al-‘Arabiy,1980), hlm. 179.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
diprioritaskan atas dalil-dalil yang lain, termasuk nash syar’i. Jika terjadi
pertentangan antara bunyi ajaran dengan cita kemaslahatan universal, maka
didahulukanlah dalil kemaslahatan itu, kata al-Thufi tandas.36
Sesungguhnya jika saja kita mau konsisten dengan tujuan dasar
pencanangan syari’at Islam--seperti dikemukakan sebelumnya, maka sejatinya
bangunan teoritik apa pun dan bagaimana pun, baik dibeking oleh nash37
maupun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan
secara universal, adalah sah, dan umat Islam berkewajiban untuk memegang dan
mengimplementasikannya. Sebaliknya, konstruk teoritik apa pun dan yang
bagaimanapun, yang secara terang benderang tidak menyokong berlabuhnya
suatu kemaslahatan, terlebih yang membuka kemungkinan terjadinya
kemudaratan, adalah cacat (fasid), dan umat Islam harus berupaya untuk terus
mencegahnya.
Dengan model pendekatan yang lebih menekankan pada dimensi
kemaslahatan ini, tidak berarti bahwa segi formal dan tekstual dari segi hukum
harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah tetap harus menjadi
acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama. Namun, pada saat yang
sama, haruslah dipahami betul bahwa patokan legal-formal dan tekstual
hanyalah merupakan salah satu cara, sekali lagi yang terikat dengan ruang dan
waktu, agar kemaslahatan itu dapat terwujud dalam kehidupan nyata.
Kalau alur pemikiran ini disetujui, maka dalam analisis Masdar F.
Mas’udi, secara mendasar kita pun perlu melakukan reinterpretasi dan
repackaging terhadap konsep qath’iy-dzanniy38 dalam ushul al-fiqh. Berbeda
dengan pengertian qath’iy-dhanniy di kalangan fikih ortodoksi ala Syafi’iy yang
36Mushtahafa Zaid, al-Mashlahah fiy al-Tasri’ al-Islamiy wa Najmuddin al-Thufiy, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1964), hlm. 227. 37Kata “nash” dalam tulisan ini bukanlah seperti yang dimaksud dalam ushul al-fiqh sebagai
salah satu tingkat wadhih al-dalalah (al-dhahir, al-nash, al-mufassar, al-muhkam). Nash yang dimaksudkan adalah dalil yang menetapkan hukum syara’ baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Nash dalam konteks tulisan ini mungkin lebih tepat disebut dengan “teks”.
38Keterangan yang rinci tentang kaidah ini dapat dibaca dalam Abdul Aziz al-Syatsriy, al-Qath’u wa al-Dhann ‘inda al-Ushuliyyin, dua juz, (Riyadh: Dar al-Habib, 1997).
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
lebih mengacu pada pengertian harfiyahnya, pengertian qath’iy-dhanniy di sini
lebih mengacu pada substansi maknawiyahnya. Kalau di lingkungan fikih
ortodoksi sesuatu ajaran disebut qath’iy jika dikemukakan dalam bahasa yang
“sharih”, maka bagi tafsir baru ini sesuatu disebut qath’iy jika secara substansi
kebenarannya bersifat apriori, katakanlah truisme yang tidak memerlukan
pembuktian bertakik-takik di luar dirinya. Dengan nalar ini, maka benarlah jika
dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa memasuki wilayah pemukiman qath’iyyat; la
majala li al-ijtihad fiy ma lahu nash qath’iy.
Dalam arti kata lain, qath’iy adalah nushus yang berbincang tentang
“ghayah” (nilai-nilai etik-moral yang menjadi tujuan suatu tindakan, misalnya
ajaran kemaslahatan, keadilan, persamaan kemanusiaan, perlindungan jiwa,
kebebasan beragama, perlindungan hak milik, kebebasan berpendapat, dsb.).
Tidak jadi soal, apakah diturunkan melalui teks wahyu Makiyah atau
Madaniyah39, juga tidak menjadi masalah apakah dikemukakan dalam teks
bahasa yang sharih atau tidak. Sebaliknya, dimaksud dhanniy apabila nushus
berbicara tentang wasilah (prosedur; tentang aturan-aturan teknis instrumental
39Abdullahi Ahmed al-Na’im mempromosikan metodologi alternatif dari gurunya, Mahmud
Muhammad Thaha, yang pada intinya mengajak umat Islam untuk membebaskan diri dari teks-teks al-Qur`an dan al-Hadits yang diturunkan pasca hijrah di Madinah. Menurut Thaha, ajaran Islam periode Makkah adalah ajaran kemanusiaan yang universal, sementara ajaran Islam periode Madinah, secara keseluruhan mencerminkan kepentingan ideologi kekuasaan yang berorientasi pada aspirasi eksklusif perkauman. Oleh karena itu, secara ideal umat Islam hanya terikat pada ajaran-ajaran Islam periode Mekah, tidak dengan ajaran-ajaran Islam periode Madinah. Lihat, Abdullahi Ahmed al-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad Suaedy & Amiruddin Arrani, (Yogyakarya: LKiS, 1994), hlm. 102-103. Bandingkan dengan Mahmoud Mohamed Thaha, Syari’ah Demokratik, terjemahan Nur Rachman, (Surabaya: eLSAD, 1996), hlm. 181-182.
Tawaran metodologi Thaha ini terasa sangat radikal; bukan saja karena telah menggugat keyakinan umat Islam atas kemutlakan teks al-Qur`an, tetapi bahkan membuang lebih separoh dari keseluruhan al-Qur`an dan memperlakukannya sekedar sebagai dokumen historis yang bermasalah. Bisa dipahami, jika tawaran itu sangat sulit diterima oleh umat, lebih-lebih kalangan ulamanya yang selama ini menjadi pengikut setia metodologi Syafi’iy. Alih-alih untuk mengenyampingkan teks al-Qur`an dalam jumlah yang begitu besar, mempertanyakan otoritas hadis ahad pun, banyak kalangan umat yang keberatan. Sejujurnya, metodologi Thaha ini tidak pernah ada presedennya dalam sejarah pemikiran dan fikih Islam.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
yang dimaksudkan untuk mencapai cita kemaslahatan kemanusiaan universal
yang menjadi basis tujuan syari’at).40
Sebagai implikasinya, maka ketentuan seperti potong tangan, rumus
pembagian waris, kepemimpinan perempuan, hudud atas orang murtad atau
bughat dan lain sebagainya; yang menurut metodologi Syafi’iy masuk kategori
qath’iy, maka bagi definisi baru ini adalah dhanniy, dengan demikian bersifat
relatif, lentur, dan dapat dilakukan modifikasi sesuai dengan prinsip-prinsip
fundamental ajaran (qath’iyyat). Sebab, pada hakikatnya semuanya itu bukan
tujuan (ghayah) melainkan medium (wasilah), yang kebenarannya ditentukan
oleh sejauh mana bisa mengimplementasikan nilai-nilai dasar (qath’iy) yang
menjadi standar obyektifnya. Oleh karena itu, jika ayat dhanniyat tidak lagi
efektif sebagai wasilah, maka ia bisa digantikan dengan rumusan wasilah yang
lain. Suatu adagium mengatakan, al-Islam murunatun fiy al-wasa`il wa tsabat
fiy al-ghayat (Islam bersifat elastis pada dataran wasilahnya, dan bersifat
konstan pada ghayah atau tujuannya).
Pertanyannya kemudian adalah siapa yang paling otoritatif untuk
melakukan modifikasi ajaran-ajaran tehnis operasional (dhanniy) agar lebih
mendekati prinsip-prinsip fundamental ajaran yang disebut kemaslahatan
semesta itu ? Dalam hal ini, maka otoritas yang memberikan penilaian adalah
pasti orang banyak melalui mekanisme syura untuk mencapai konsensus (ijma’).
Artinya, kemaslahatan umum (public interest) itu harus dirumuskan secara
jama’i (kolektif) oleh pihak-pihak yang berkompeten. Dan sesuatu yang telah
menjadi konsensus dari proses pendefinisian maslahat ‘ammah melalui
musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat kita.
40Lihat Masdar F. Mas’udi, Islam dan Demokrasi di Indonesia, (Makalah, tidak diterbitkan,
September 1997), hlm. 9. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan syari’at, dalam Jurnal Ulumul Qur`an No. 3 Vol. VI, tahun 1995, hlm. 99.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 998
Ijtihad Jama’i
Di kalangan ulama NU ada pendapat yang hampir merata bahwa ijtihad41
adalah suatu tugas yang penuh gengsi, karena itu menuntut persyaratan yang
mewah dan berat. Per definisi, ijtihad secara simple dapat dikatakan sebagai
upaya berfikir secara optimal dan sungguh-sungguh dalam menggali hukum
Islam dari sumbernya, untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan
hukum yang timbul dalam masyarakat.42
Ijtihad dalam pengertian demikian, adalah upaya untuk mengantisipasi
tantangan-tantangan baru yang senantiasa muncul sebagai akibat sifat
evolusioner kehidupan. Di sini, peran manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut
untuk senantiasa berfikir, tetapi bukan dalam pengertian berfikir bebas tanpa
kontrol. Ia harus berfikir dalam batas-batas bingkai Islam, yakni senantiasa
terkait dengan makna al-Qur`an dan al-Sunnah.
Upaya demikian memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam
tentang sumber-sumber hukum dan perkakas-perkakas yang bisa menunjang
41Kata ijtihad, seperti yang diuraikan dalam Lisan al-‘Arab, terambil dari kata al-jahd dan al-
juhd yang secara etimologis berarti al-thaqah (tenaga, kuasa, dan daya). Sementara al-ijtihad dan al-tajahud berarti penumpahan segala kesempatan dan tenaga (badzl al-wus’i wa al-majhud). Lihat, Ibnu Mandhur, Lisan al-‘Arab, (Mesir: al-Dar al-Mishriyyah al-Ta`lif wa al-Tarjamah, Tanpa Tahun), Juz III, hlm. 107-109.
Dan penggunaan kata ijtihad itu sesungguhnya telah ada pada masa Nabi. Ibnu Hazm menegaskan bahwa pada waktu-waktu tertentu Nabi sering memberikan mandat kepada sahabat-sahabatnya untuk memutuskan suatu perkara, sekalipun perkara itu terjadi di hadapan Nabi. [Lihat, Ibnu Hazm, al-Ihkam fiy ushul al-Ahkam, (Cairo: Maktabah al-Khaniji, 1345 H.), Juz VI, hlm. 25-26]. Diriwayatkan bahwa pada suatu waktu Nabi berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Ash, agar ia memutuskan suatu perkara. Lalu ‘Amr bertanya, Apakah saya akan berijtihad (ajtahidu) padahal engkau ada ? Nabi menjawab, Ya. Jika engkau betul (dalam berijtihad) maka bagimu dua pahala. Namun, jika engkau salah (dalam berijtihad) maka engkau mendapat satu pahala. [Baca, Taqiyuddin Abu al-Baqa`, al-Kawkab al-Munir, (Mesir: Mathba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1372 H.), hlm. 299. Bandingkan dengan ‘Alauddin Abd al-‘Aziz, Kasyf al-Asrar bi Syarh Ushul al-Bazdawi, (Mesir: Thaba’ah Aufast, 1394 H.), Juz IV, hlm. 22]
42Beberapa pengertian ijtihad yang dikemukakan para ulama dapat dilihat dalam karya Muhammad Musa Thiwana, al-Ijtihad wa Madza Hajatuna Ilaih fiy hadza al-‘Ashr, (Riyadh: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1972), hlm. 97-142. Lihat juga, Hasan Ahmad Mar’i, al-Ijtihad fiy al-Syari’ah al-Islamiyah, (Cairo: Tanpa Nama Percetakan, 1976), hlm. 8-34.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 997
tercapainya usaha tersebut, seperti mengetahui maqashid al-syari’ah, al-
Qur`an-al-Sunnah, ijma’, bahasa Arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, ushul
fikih, dan sebagainya.43 Pendeknya, penguasaan Qur`an-Sunnah, maqsud al-
syari’ wa al-mukallaf dengan segala ilmu penyertanya merupakan conditio sine
qua non bagi siapapun yang hendak berijtihad.
Melihat tugas itu, maka ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarangan
orang. Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar
telah memenuhi syarat itu. Syarat-syarat itu sekarang boleh kedengaran kuno,
tetapi ia dibuat dengan tujuan menjamin adanya kewenangan dan tanggung
jawab.
Namun, pelukisan yang amat eksklusif telah melahirkan persepsi salah.
Dalam sejarah masyarakat Muslim sempat tumbuh pandangan yang hampir
menabukan ijtihad. Sikap penabuan dengan sendirinya tidak dapat dibenarkan
meskipun sesungguhnya ia muncul dari obsesi para ulama pada “harmoni” dan
ketertiban, khususnya di masa-masa penuh kekacauan menjelang keruntuhan
Baghdad. Namun, dalam perkembangan selanjutnya penabuan itu juga dapat
43Para ulama berbeda-beda di dalam memberikan persyaratan-persyaratan bagi seorang
mujtahid. Menurut al-Ghazali, seorang mujtahid harus memenuhi dua persyaratan. [a] menguasai jalan-jalan syara’, [b] adil, dalam pengertian menjauhi kemaksiatan. [lihat al-Ghazali, al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushul, juz II, hlm. 102]. Menurut al-Syathibi, seorang mujtahid harus memenuhi dua persyaratan [a] memahami maqashid al-syari’ah secara utuh, [b] memungkinkan untuk melakukan istinbath. [lihat al-Syathibiy, al-Muwafaqat…., hlm. 105-106]. Menurut al-Amidy dan al-Baydhawiy, seorang mujtahid harus dua persyaratan, yaitu [a] seorang mukallaf yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, [b] mengetahui jalan-jalan hukum syara’. [lihat al-Amidy, al-Ihkam fiy Ushul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H./1996 M.), hlm. 139; al-Isnawiy, Nihayah al-Saul Syarh Minhaj al-Ushul ila al-Ushul, (Bierut: Mathba’ah Shabih, Tanpa Tahun), Juz III, hlm. 244)]. Namun, secara detail, sebagian besar ulama mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui; al-Qur`an-al-Hadits, nasikh-mansukh, ijma’, qiyas, bahasa Arab, ushul al-fiqh, maqashid al-Syari’ah. [lihat, Wahbah al-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islamiy…, hlm. 1044-1051]. Adalah al-Syawkaniy, Jalaluddin al-Mahalli, yang kemudian diikuti oleh Zaki al-Din Sya’ban, Wahbah al-Zuhailiy, yang mempersyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui ushul al-Fiqh. [lihat al-Syawkaniy, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun), hlm. 252; al-Mahalli, Syarh Jam’u al-Jawami’, dalam al-Bannani, Hasyiyah al-‘Allamah al-Bannaniy, (Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyah, Tanpa Tahun), juz II, hlm. 383; Zaki al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Dar al-Ta`lif, 1965), hlm. 412-413; Wahbah al-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islamiy…, hlm, 1048)].
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 998
dilihat sebagai kelanjutan dari masa kemarau pemikiran yang cukup lama
menimpa dunia Islam.
Walaupun melalui keputusan Munas NU di Lampung NU telah melakukan
upaya-upaya spektakuler prihal sistem pengambilan keputusan hukum dalam
bahtsul masa`il NU, seperti istinbath jama’i atau ijtihad jama’i, in actu ulama
NU tetap saja terlihat gugup (nervous) untuk beristinbath atau berijtihad.44 Di
tangan ulama NU, istinbath mengalami pengerutan dan pendangkalan makna.
Istinbath tidak dimaknakan sebagai pengambilan hukum secara langsung dari
sumber aslinya, al-Qur`an al-Sunnah, melainkan sebagai sekadar men-tathbiq
(mencocokkan) kasus yang terjadi dengan referensi (ma`khad) tertentu saja.
Metodologi ushul fikih dan kaidah fiqhiyah dalam BM, sekali lagi, digunakan
hanya sebagai penguat (mu`ayyid) atas keputusan yang diambil, bukan sebagai
manahij al-istinbath dari al-Qur`an dan al-Sunnah.
Istinbath langsung dari sumber-sumber primer (al-Qur`an dan al-
Sunnah) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU
masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari,
terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh
seorang mujtahid. Sementara itu, istinbath dalam batas madzhab di samping
lebih praktis juga dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu
memahami uraian-uraian kitab-kitab fikih sesuai dengan terminologinya yang
baku. Istinbath yang berjangkar langsung kepada al-Qur`an dan al-Sunnah
seakan telah dipandang sebagai kawasan terlarang, suatu aktivitas yang masih
berat dilakukan.
Memang, jika ijtihad atau istinbath dalam pengertian terminologisnya
dilakukan secara sendirian (fardi) maka ia akan terasa sangat berat. Ijtihad tidak
44Praktik taklid yang umum menguasai orang NU, baik awam maupun ulama-nya, agaknya
telah berkembang menjadi suatu sikap mental, jika bukan malah pandangan teologis, yang meliputi penolakan secara sadar terhadap segala sesuatu yang baru. Tradisi Islam klasik diduga berperan serta di dalam membentuk mental masyarakat dan realitas umat Islam yang terbelakang sekarang ini. Teologi tradisional terutama teologi Asya’ari telah dipandang sebagai basis perilaku fatalistik pada sebagian masyarakat Islam.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
mungkin dilakukan oleh seseorang, kecuali jika telah memenuhi persyaratan-
persyaratan tertentu. Oleh karena kita tidak mampu atau tidak berani melakukan
ijtihad secara individual--lantaran kita menyadari ketidakmampuan kita untuk
memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut--maka kita dapat melakukan ijtihad
secara jama’i (kolektif).45 Di sini persyaratan ijtihad agak bisa disederhanakan.
Hal-hal yang tidak dikuasai oleh anggota yang satu dapat dilengkapi oleh anggota
yang lain, sehingga secara jama’i keseluruhan persyaratan ijtihad bisa terpenuhi.
Tambahan pula, dengan kecanggian tehnologi sekarang di mana semua informasi
ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam merumuskan suatu hukum dapat
diakses dengan mudah dalam tabung komputer, maka ijtihad sesungguhnya
tidak menjadi soal untuk dilakukan.46
Pada dimensi pendatarannya, paling tidak ijtihad kita arahkan kepada dua
hal. Pertama, ijtihad dalam upaya memecahkan status hukum permasalahan
baru yang belum disinggung oleh al-Qur`an, al-Sunnah, dan pembahasan ulama-
ulama terdahulu. Jadi masalah ini dapat kita katakan sebagai masalah yang
benar-benar baru (al-masa`il al-mustahdatsah), karena bukan saja al-Qur`an
dan al-Sunnah tidak membicarakannya, melainkan hal itu juga belum pernah
dibahas oleh para ulama terdahulu.
45Perlunya dilakukan ijtihad jama’i dalam kondisi tidak mungkin dilakukan ijtihad fardi ini
telah menjadi keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang bersidang pada bulan Maret 1964 M. Hasil keputusan Muktamar tersebut adalah; “Muktamar mengambil keputusan bahwa al-Qur`an dan al-Sunnah merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah adalah dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya; dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah dipilih di antara hukum-hukum fikih pada tiap-tiap madzhab hukum yang memuaskan. Jika dengan jalan tersebut tidak terdapat hukum yang memuaskan, maka berlaku ijtihad secara bersama-sama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika tidak memuaskan, maka berlakulah ijtihad jama’i secara mutlak. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk mencapai ijtihad bersama, baik dalam kerangkan madzhab (manhaji ed.) maupun secara mutlak, untuk dapat dipergunakan bila ia diperlukan. Lihat Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru, dalam Haidar Baqir & Syafiq Basri, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 41.
46Al-Suyuthi, Taqrir al-Istinad fiy Tafsir al-Ijtihad, (Iskandariyah: Dar al-Dakwah, 1983), hlm. 36.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Kedua, ijtihad untuk memilih pendapat yang paling sesuai dengan cita
kemaslahatan kemanusiaan universal sebagai spirit ajaran agama. Hukum
masalah yang akan diijtihadi itu telah dibahas oleh imam-imam mujtahid
terdahulu, tetapi karena ada beragam pandangan yang saling menampik satu
terhadap yang lain, maka tugas kita secara kolektif adalah memilih pendapat
yang paling tepat dan paling sesuai dengan ruh agama, kemaslahatan.47
Kalau kita bisa menghidupkan lembaga ijtihad melalui ijtihad jama’i,
maka saya yakin prospek dan perkembangan hukum Islam di Indonesia akan
amat baik. Sebab, dengan penggalakan ijtihad, kita akan mampu memberikan
dinamisasi terhadap fikih dan memecahkan permasalahan-permasalahan hukum
baru yang dihadapi umat. Muhammad Iqbal pernah mengatakan bahwa ijtihad
adalah “prinsip gerak” dalam keberagamaan Islam.48 Dus, hanya dengan
ijtihadlah hukum Islam akan bergerak secara dinamis seiring dengan kehidupan
manusia yang terus berubah sebegitu fantastisnya. Hukum mengalami jalan
buntu (impasse) dan banyak permasalahan baru muncul tidak dapat diselesaikan
dengan baik (tawaqquf) ketika sekian lama pintu ijtihad dinyatakan tertutup dan
tidak ada yang berani memasukinya.49
Jadi, memang sudah seharusnya kita berupaya keras dan sungguh-
sungguh agar hukum Islam tetap tampil menjawab tantangan zaman, sehingga
Islam “shalihun li kulli zaman wa makan”. Untuk ini, tidak cukup hanya
gembar-gembor atau pernyataan-pernyataan verbal belaka. Sekarang, harus ada
langkah konkret untuk berani membuka pintu ijtihad dan memasukinya. Namun,
47Sesungguhnya, dalam keputusan Munas Lampung 1992, NU telah memasukkan maslahat
sebagai satu pertimbangan di dalam memilih suatu qawl atau wajah. [lihat, PBNU, Sistem pengambilan Keputusan Hukum…, hlm. 7]. Namun, rumusan ini kurang begitu populer, mungkin karena pengaruh pemikiran Syafi’iy yang biasanya kurang concern pada maslahat. Kita tahu, Syafi’iy lebih peduli sama qiyas. Menurut Syafi’iy hanya dengan qiyaslah relasi antara hasil ijtihad dan wahyu dapat dibuktikan.
48Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: S.H. Muhammad Ashrak, 1986), hlm. 148.
49Ibrahim Hosen, Ijtihad Jama’i dan Implikasinya dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, Makalah, tidak diterbitkan, Januari 1991.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
kita harus ingat, jangan hanya asal masuk. Kita harus benar-benar mampu
memerankan ijtihad sebagai alat untuk menggali dan mengembangkan hukum
Islam.
Khatimah
Kajian masalah hukum (bahtsul masa`il) di NU menurut hemat saya
masih belum memuaskan, baik untuk keperluan ilmiah maupun sebagai upaya
praktis menghadapi problem-problem zaman yang begitu rupa. Ketidakpuasan
itu muncul, salah satunya, akibat pola berfikir tekstual, yaitu dengan menolak
realitas yang tidak sesuai dengan rumusan kitab kuning, tanpa memberikan jalan
keluar yang sesuai dengan tuntunan kitab itu sendiri.
Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan oleh komisi BM NU masih
memerlukan upaya peningkatan yang lebih serius. [a] Kita perlu untuk
menempatkan dan memperlakukan fikih secara proporsional, seperti pertama,
fikih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran Islam. Kedua,
karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fikih tidak boleh resisten
terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. Ketiga, fikih disusun bukan
untuk diberlakukan secara umum di seluruh negeri. Ia lahir dalam lokus dan area
tertentu, sehingga tidak benar upaya membiarkan fikih berjalan secara mutlak, di
seluruh tempat dan waktu. Kita tidak bisa mengabsolutkan produk pemikiran
manusia yang semestinya nisbi-relatif, qabil li al-niqasy wa al-tabdil.
[b] Memasukkan pertimbangan maslahat sebagai kerangka acuan di
dalam merumuskan dan memecahkan suatu persoalan hukum adalah
keniscayaan baik secara teologis maupun sosiologis. Mencoba menghindar dari
cita kemaslahatan ini akan menyebabkan semakin jauhnya fikih Islam dari
khittah awalnya untuk menyejahterakan umat manusia baik di dunia maupun di
akhirat.
[c] Dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer,
yang jauh lebih kompleks dibanding problem kemanusiaan masa lalu, ulama NU
tidak perlu ragu-ragu lagi untuk melakukan ijtihad secara jama’i, baik dalam
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
kapasitas sebagai mujtahid muntasib dan tidak tertutup kemungkinan mujtahid
muthlaq mustaqil. Saya punya dugaan yang kuat akan adanya kemampuan
ulama NU untuk berijtihad. Yang belum ada dari mereka adalah keberaniaan.
Mereka telah kehilangan kepercayaan diri.
Agenda ke depan, kita berharap, bahtsul masa`il (BM) NU tidak lagi
sekedar aktivitas untuk mencocok-cocokkan kasus-kasus hukum (waqai’
fiqhiyyah) dengan ibarat-ibarat kitab kuning, melainkan memang berupa kerja-
kerja istinbath dari mashadir asasiyah, al-Qur`an dan al-Sunnah. Akhirnya,
segala upaya ini penting dilakukan bukan untuk “kegenitan” ijtihad itu sendiri,
melainkan untuk menjadi satu bagian dari kerja besar mewujudkan
kemaslahatan. Selamat berijtihad, kiai.@.
BIBLIOGRAFI
‘Alauddin Abd al-‘Aziz, 1394 H., Kasyf al-Asrar bi Syarh Ushul al-Bazdawi,
Mesir: Thaba’ah Aufast, Juz IV
‘Allal al-Fasi, 1993. Maqshid al-Syari’ah al-Islamiyah wa Makarimuha,
Casablanca: Dar al-Gharb al-Islamiy.
Abdul Aziz al-Syatsriy, 1997. al-Qath’u wa al-Dhann ‘inda al-Ushuliyyin, dua
juz, Riyadh: Dar al-Habib.
Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulayman, 1983, al-Fikr al-Ushuliy: Dirasah,
Tahliliyah, Naqdiyah, Jeddah: Dar al-Syuruq.
Abdullahi Ahmed al-Na’im, 1994. Dekonstruksi Syari’ah, terjemahan Ahmad
Suaedy & Amiruddin Arrani, Yogyakarya: LKiS.
Abid Ibn Muhammad al-Sufyani, 1988, Ma’alim al-Thariqah al-Salafiy fiy Ushul
al-Fiqh: al-Tsabat wa al-Syumul, Maktabah al-Mukarramah,
Makatabah al-Manarah.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Abu Hanifah, 1324 H., al-Fiqh al-Akbar fiy al-Tawhid, yang dijilid bersama
Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, al-Fiqh al-Akbar fiy al-Tawhid,
Mesir: Mathba’ah al-‘Amirah al-Syarafiyah.
Ahmad Zaki Yamani, 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues, (Jeddah:
The Saudi Publishing House.
al-Amidy, 1996, al-Ihkam fiy Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr.
al-Ghazali, Tanpa Tahun, al-Musthashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr,
Juz I
al-Isnawiy, Tanpa Tahun, Nihayah al-Saul Syarh Minhaj al-Ushul ila al-Ushul,
Bierut: Mathba’ah Shabih, Juz III.
al-Mahalli, Tanpa Tahun, Syarh Jam’u al-Jawami’, dalam al-Bannani, Hasyiyah
al-‘Allamah al-Bannaniy, Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyah,
Juz II.
al-Qarafi, Tanpa Tahun, Mukhtashar Tanqih al-Fushul fiy al-Ushul, (Damascus:
al-Maktabah al-Hasymiyah.
al-Qarafi, 1973. Syarh Tanqih al-Fushul fiy Ikhtishar al-Mahshul fiy al-Ushul,
Cairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah.
Al-Razi, Tanpa Tahun, al-Mahshul min ‘Ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II.
al-Suyuthi, 1983. al-Ijtihad al-Rad ‘ala man Akhlada ila al-Ardh wa Jahila anna
al-Ijtihad fiy Kulli ‘Ashr Fardh, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983.
Al-Suyuthi, 1983. Taqrir al-Istinad fiy Tafsir al-Ijtihad, Iskandariyah: Dar al-
Dakwah.
Al-Syahrastaniy, Tanpa Tahun, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr.
al-Syatibi, al-Muwafaqat fiy Ushul al-Syari’ah, Juz II, hlm. 5-6.
al-Syawkaniy, Tanpa Tahun, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-
Ushul, Beirut: Dar al-Fikr.
Atho Mudzhar, 1992. Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum
Islam, Makalah, tidak diterbitkan.
Aziz Masyhuri, 1997. Masalah Keagamaan: Hasil Muktamar dan Munas Ulama
NU (Ke satu-1926 s/d kedua puluh sembilan 1994), Surabaya: PP RMI-
Dinamika Press.
Budy Munawar-Rachman (ed.), 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, Jakarta: Paramadina.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Christopher Noris, 1985. Deconstruction: theory and Practice, (London:
Methuen.
Hasan Ahmad Mar’i, 1976. al-Ijtihad fiy al-Syari’ah al-Islamiyah, Cairo: Tanpa
Nama Percetakan.
Hasan Hanafi, 1980. al-Turats wa al-Tajdid, Cairo: al-Markaz al-‘Arabiy.
Syafiq Hasyim, 1999. Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, Jakarta: JPPR.
Ibnu ‘Asyur, 1978. Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah, (Tunis, al-Syarikah al-
Tunisiyah li al-Tawzi’.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Tanpa Tahun, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-
‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jil.
Ibnu Hazm, 1345 H., al-Ihkam fiy ushul al-Ahkam, Cairo: Maktabah al-Khaniji,
Juz VI.
Ibnu Mandhur, Tanpa Tahun, Lisan al-‘Arab, Mesir: al-Dar al-Mishriyyah al-
Ta`lif wa al-Tarjamah, Juz III.
Ibrahim Hosen, Ijtihad Jama’i dan Implikasinya dalam Perkembangan Hukum
Islam di Indonesia, Makalah, tidak diterbitkan, Januari 1991.
Haidar Baqir & Syafiq Basri, 1996. Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Mizan.
Izz ibn Abd al-Salam, Tanpa Tahun, Qawa’id al-Ahkam fiy Mashalih al-Anam,
Beirut: Dar al-Jil, Juz II.
Mahmoud Mohamed Thaha, 1996. Syari’ah Demokratik, terjemahan Nur
Rachman, Surabaya: eLSAD.
Martin van Bruinessen, 1999. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat; Tradisi-
Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Masdar F. Mas’udi, Islam dan Demokrasi di Indonesia, Makalah, tidak
diterbitkan, September 1997
----------., Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan syari’at, dalam Jurnal
Ulumul Qur`an No. 3 Vol. VI, tahun 1995.
----------., Menguak Pemikiran Kitab Kuning, dalam Majalah Pesantren, No.
Perdana, Oktober-Desember, 1984,
----------., Reaktualisasi Khazanah Kitab Kuning, Makalah, tidak diterbitkan, 9
Nopember 1999.
Muhammad Iqbal, 1986. The Reconstruction of Religious Thought in Islam,
Lahore: S.H. Muhammad Ashrak.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 999
Muhammad Khudhari Bik, 1954. Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, Mesir: Mathba’ah
Sa’adah.
Muhammad Musa Thiwana, 1972. al-Ijtihad wa Madza Hajatuna Ilaih fiy hadza
al-‘Ashr, Riyadh: Dar al-Kutub al-Haditsah.
Mushtahafa Zaid, 1964. al-Mashlahah fiy al-Tasri’ al-Islamiy wa Najmuddin al-
Thufiy, Beirut: Dar al-Fikr.
N.J Coulson, 1964. A History of Islamic Law, Edinburg: University Press.
Nahrawi Abd al-Salam, 1994. al-Imam al-Syafi’iy baina Madzhabayhi al-Qadim
wa al-Jadid, Mesir, Dar al-Kutub.
PBNU, 1996. Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah
Ta`lif Wan Nasyr.
PBNU, 1992. Sistem pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil
Keputusan Bahtsul Masa`il, Jakarta: Sekretariat Jenderal.
Philip K. Hitti, 1970. History of the Arab, The Macmillan Press.
Riyal Ka’bah, Formulasi Hukum dalam Pertemuan Bahtsul Masa`il NU, dalam
Republika, 1 Desember 1997.
Sa’id Ramadlan al-Buthiy, 1990. Dhawabith al-Mashlahah fiy al-Syari’ah al-
Islamiyah, Beirut: Mu`assasah al-Risalah.
Shubhi Shalih, Tanpa Tahun, Ma’alim al-Syari’ah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-
Ilm li al-Malayin.
Taqiyuddin Abu al-Baqa`, 1372 H., al-Kawkab al-Munir, Mesir: Mathba’ah al-
Sunnah al-Muhammadiyah
Wahbah al-Zuhaily, 1986. Ushul al-fiqh al-Islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II.
Zainuddin al-Malibari, Tanpa Tahun, Fath al-Mu’in, Bandung: Fajar Nusantara.
Zaki al-Din Sya’ban, 1965. Ushul al-Fiqh al-Islamiy, Mesir: Dar al-
Ta`lif.
ABD MOQSITH, REORIENTASI ISTINBATH NU
KRITIK NALAR FIQIH NU 998