RENCANA AKSI PERCePATAN PENGEMBANGAN...
Transcript of RENCANA AKSI PERCePATAN PENGEMBANGAN...
PERMENKES 17 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA AKSI
PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI DAN ALAT
KESEHATAN
&
PERMENKES 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS PERMENKES 1148 TAHUN 2011 TENTANG
PEDAGANG BESAR FARMASI
O U T L I N E
Sosialisasi Permenkes 17/2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan
Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
Sosialisasi Permenkes 30/2017 tentang Perubahan Kedua atas Permenkes
1148/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
RENCANA AKSI PERCEPATAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI
FARMASI DAN ALAT KESEHATAN
DIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN
DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN
2 0 1 7
MENGAPA INDUSTRI FARMASI PERLU DIKEMBANGKAN?
Menekan harga obat, utamanya obat inovasi atau obat baru, dan obat yang belum ada generiknya.
Mengurangi ketergantungan impor bahan obat dan alat kesehatan
Mendorong pengembangan dan penguasaan teknologi, serta kompetensi R&D
Mendorong diversifikasi produk farmasi baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor
Penguatan infrastruktur sosial mengingat obat merupakan barang yang spesifik
Indonesia memiliki potensi sumber daya (bahan baku dan SDM) serta peluang ekonomi yang besar
Indonesia merupakan negara pharmerging countries yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang besar (rerata 12%
pertahun)
Meningkatkan daya saing industri farmasi Indonesia baik secara lokal maupun global
Penguatan bidang kefarmasian nasional diperlukan sebagai pengembangan industri strategis, karena: Obat merupakan
komponen yang tidak tergantikan dalam pelayanan kesehatan, memiliki fungsi sosial dan berguna meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat Indonesia.
INPRES NO. 6 TAHUN 2016
AMANAT UNTUK KEMENTERIAN KESEHATAN
Menyusun dan menetapkan rencana aksi untuk Pengembangan IF dan alkes
Memfasilitasi pengembangan ke arah biopharmaceuticals, vaksin, natural dan API kimia
Mendorong dan mengembangkan R&D sediaan farmasi dan alkes menujukemandirian IF dan alkes
Memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri melalui e-catalogue
Mengembangkan sistem data dan informasi terintegrasi dari kebutuhan masyarakat, produksi, distribusi sampai pelayanan kesehatan serta IF dan alkes
Menyederhanakan system dan proses perizinan
Melakukan koordinasi dengan BPJSK untuk memperluas faskes sesuai kebutuhan
PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI FARMASI INDONESIA
Permenkes 87 dan 88/ 2013
Peta jalan pengembangan BBO, BBOT
Paket Kebijakan Ekonomi XI
Inpres No. 6 Tahun 2016
Permenkes 17/2017 Rencana Aksi Percepatan Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
LATAR BELAKANG
PENYUSUNAN PERMENKES 17/2017
meningkatkan produktifitas dan daya saing melalui upaya kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
industri prioritas agar dapat memenuhi kebutuhan nasional, perlu mendorong industri farmasi dan alat
kesehatan;
untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan produksi alat kesehatan, bahan baku obat, dan bahan baku
obat tradisional; dan
meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan dalam pengembangan industri farmasi
Indonesia.
Pasal 3
Pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan dengan mempertimbangkan kapabilitas
industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri dengan prioritas kebutuhan obat dan alat kesehatan
nasional.
Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Rencana Aksi Percepatan
Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan
BAB I PENDAHULUAN
•Latar Belakang
•Tujuan Umum dan Khusus
•Sasaran
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN
•Analisis Situasi
•Tantangan
BAB III KERANGKA
PIKIR
•Rencana berpikir pengembangan transformasi
BAB IV KEBIJAKAN DAN
STRATEGI
•Kebijakan
•Strategi
BAB V RENCANA AKSI
•Berisikan Skema Matrik Pelaksanaan Inpres
BAB VI PENUTUP
Draft RENAKSI : 3 Feb 2017
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Melalui paket kebijakan ekonomi XI pemerintah mendukung percepatan pengembangan Industri Farmasi dan Alkes.
Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pegembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, menjadikan pengembangan Industri farmasi sebagai upaya bersama Kementerian/Lembaga terkait.
Mewujudkan upaya kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Terciptanya kondisi dimana masyarakat dapat memperoleh obat dengan mudah (accessible), terjangkau (affordable), tersedia dimanapun dibutuhkan (available), dan berkesinambungan (sustainable).
Mendorong industri farmasi Indonesia untuk ikut berkontribusi pada peningkatan ekonomi nasional, yaitu meningkatkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), penghematan dan peningkatan devisa (substitusi impor), serta penyerapan tenaga kerja nasional. Sementara itu, dari sisi aspek teknologi, rencana aksi ini dapat mendorong transfer dan penguasaan teknologi farmasi terkini.
BAB I PENDAHULUAN
TUJUAN UMUM DAN KHUSUS
TUJUAN UMUM
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Indonesia
ini disusun dengan tujuan mewujudkan kemandirian dan
meningkatkan daya saing industri farmasi dalam negeri
serta percepatan pengembangan industri farmasi.
TUJUAN KHUSUS
Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi Indonesia
2016-2020 ini diharapkan akan menjadi panduan untuk
peningkatan industri farmasi agar mampu secara mandiri
menghasilkan obat untuk kebutuhan nasional yang
memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat,
terjangkau oleh masyarakat;
Mendukung upaya industri farmasi untuk memiliki daya
saing di dalam negeri dan ekspor, dan
Dapat bertransformasi menjadi industri berbasis riset
serta pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor
serta meningkatkan utilisasi / kapasitas industri.
BAB I PENDAHULUAN
SASARAN
TRANSFORMASI INDUSTRI
INDUSTRI
KEMENKES
KEMENTERIAN/ LEMBAGA
Seluruh pihak terkait dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya
masing-masing
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN
BAB II
Analisis Situasi
Struktur Industri dan Pasar Bahan
Baku Obat GlobalBioteknologi
Analisis Potensi Ekonomi Industri Farmasi Indonesia
Natural
Tantangan
Bioteknologi
Natural
Vaksin
Kimia
BAB II ANALISIS SITUASI DAN TANTANGAN
TANTANGAN
Kebijakan yang ada dirasakan masih belum komprehensif dan terintegrasi satu sama lain
Industri kimia dasar dalam negeri masih belum mampu menyediakan bahan kimia dasar yang dibutuhkan,
Perkembangan jenis obat dan turunannya yang sangat cepat sangat sulit untuk dapat diikuti oleh peneliti Indonesia;
Industri peralatan dan mesin untuk memproduksi bahan baku obat masih belum dikuasai, baik teknologi sintesis maupun teknologi pemurnian
Terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan yang diperlukan; namun banyak sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas yang hengkang dan bekerja di luar negeri;
Kurang fokusnya penelitian dan pengembangan yang berorientasi pada pengembangan bahan baku obat kimia, herbal, dan bioteknologi.
Pemanfaatan sumber daya alam baik tumbuhan, hewan, biota laut, bahan tambang dan mineral, serta gas bumi yang masih terbatas;
Ketidakpastian penggunaan produk dalam negeri oleh industri swasta maupun pengadaan pemerintah;
Pasar bahan baku nasional yang relatif kecil dibandingkan dengan kapasitas minimal produksi untuk satu industri bahan baku obat, keadaannya produsen bahan baku dari China dan India sudah jauh lebih maju dan sangat ekonomis.
Mendukung pengembangan bahan baku obat melalui penyiapan regulasi yang
dapat mempermudah pengembangan bahan baku obat di Indonesia;
Menyediakan industri kimia dasar dan industri pendukung lain sebagai bahan
baku pembuatan sediaan farmasi melalui kerjasama dengan kementerian
terkait;
Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia di saran penelitian, dan institusi
lainnya agar dapat menghasilkan penelitian yang up to date;
Perlunya penguasaan terhadap teknologi maupun transfer teknologi yang
dapat mendukung produksi bahan baku obat;
Mengembangkan kurikulum pendidikan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan
industri farmasi serta menyelaraskan metode penelitian pada riset-riset
farmasi yang diadakan sesuai dengan persyaratan/standar yang berlaku
terutama di industri;
Pelaksanaan pemberdayaan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam
agar dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bahan baku sediaan farmasi; dan
Meningkatkan prioritas penggunaan produk dalam negeri.
BAB III KERANGKA PIKIR
Formulasi Manufaktur Distribusi dan
Ekspor
Impor (API/ Active pharmaceutical ingredients & Eksipien)
Formulasi Manufaktur Distribusi
R&D UJI
KLINIS
Inter-
mediate API
MENUJU INDUSTRI FARMASI YANG TERINTEGRASI
2017-2019 2019-2021 2022-2025
INDUSTRI FARMASI PRODUK BIOTEKNOLOGI
1. EPO (Erythropoetin)
2. GCSF (Granulocyte Colony Stimulating Factor)
3. Probiotic
4. Insulin
5. Stem cell protein (Wound care and cosmetics)
6. Somatropin
7. EGF (Epidermal Growth Factor)
8. Enoxaparin
9. Plasma Fractionation (albumin, Immunogbulin)
1. Blood Fractionation
2. Growth Hormone
3. Interferon
4. Trastuzumab
5. Insulin
6. MAB (oncology) Rituximab,
Bevacizumab
1. MAB (Monoclonal Anti Body)
2. Insulin analogue
SKENARIO PENGEMBANGAN
BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
SKENARIO PENGEMBANGAN
2017-2019 2019-2021 2022-2025
Industri Farmasi Produk Vaksin
1. Dengue (Demam Berdarah)
2. MR (Measles Rubella)
3. HB (Hepatitis-B)
4. Hexavalent
5. Sabin IPV (Inactivated Polio
Vaccine)
6. Rotavirus
7. Typhoid Vi-Conj
8. Rabies
1. DTaP (Diphteri, Tetanus,
acellular Pertussis)
2. Hexavalent
3. MenACWY
4. New OPV type 2
5. Pneumococcal
6. Rotavirus
7. Rabies
8. BCG (Freezed-Dry)
1. HPV (Human Papiloma Virus)
2. New TB Recombinant
BAB IV
KEBIJAKAN DAN STRATEGI
SKENARIO PENGEMBANGAN
2017-2019 2019-2021 2022-2025
Industri Farmasi Produk Natural
1. Dehidro-di-Isoeugenol (Ekstrak biji pala)
2. Curcuma xanthorriza
3. Curcuma domestica
4. Gingerol
5. Phylantin (ekstrak daun meniran)
6. Piperin (ekstraksi lada hitam)
7. Steviosid (pemanis non kalori)
8. Xanthorhizol (komponen minyak atsiri khas temulawak)
9. Zederone
10. Ekstrak sambung nyawa
11. Ekstrak temulawak
12. Ekstrak seledri (antihipertensi)
13. Ekstrak kumis kucing (antihipertensi)
14. Palm sugar
15. Ekstrak Cinnamomum burmanii
16. Fitoestrogen (Trigonella foenum-graceum)
17. Dermifix WoundHealing(Centella asiatica)
18. Ekstrak Phaleria macrocarpa
19. Ekstrak Lumbricus rubellus
20. Ekstrak Zingiber officinale
21. Ekstrak Lagoerstroia speciosa
22. Kaempferia galanga
1. Glucosamin
2. Omega-3
3. Resveratrol (anti oksidan alami)
4. Vinca alkaloid derivates
5. Isolat gandarusa
6. Isolat alga coklat (wound care)
7. Isolat mikroba simbion karang laut
(antibiotik)
8. Isolat Guazuma longifolia
9. Geraniol
10. Green Chiretta
11. Aspergillus niger
12. Marine algae
1. Andrographolide (anti malaria)
2. Etil-p-metoksi Sinamat
3. Ekstrak cacing tanah (thrombolisis)
4. Vinca rosea
5. Piper longum
6. Polygonum cuspidatum
7. Stevia rebaudiana
SKENARIO PENGEMBANGAN
2016-2018 2019-2021 2022-2025
Industri Farmasi Produk Bahan Baku Obat Kimia
1. Statin derivates (menurunkan kadar
kolesterol: Simvastatin, Atorvastatin,
rosuvastatin)
2. Pantoprazole
3. Clopidogrel
4. ARV (Entecavir, Tenofovir)
5. Beta-Lactam (Amoxycillin)
6. Pharma Salt(NaCl pharma-grade)
7. Dextrose pharma-grade
8. Lyophilisation
9. Pen-G
10. Magnesium stearate
11. Paracetamol
12. Amoxicillin
13. Rifampicin
14. Neomycin
15. Phenylpropanolamine
16. Guaifenesin
17. Stevioside
18. Glucose
1. Ascorbic Acid (vit. C)
2. Cephalosporin (7 – ACA)
3. 7-AVCA
4. 7-ACCA
5. 7-ADCA
6. ARV (Entecavir, Tenofovir)
7. Vitamin B5
8. Vitamin C
9. Vitamin E
10. Folic Acid
11. Picolinic Acid
12. Bioflavonoids
13. Beta-caroten
14. Ergocalciferol
15. Colecalciferol
16. Biotin
17. Beta-caroten
18. Anthocyanoside
19. Potassium
20. Copper
1. Metformin
2. Amlodipine
3. Glimepiride
4. Lanzoprazole
5. Atorvastatin
6. Hydrotalcite
7. retinol
BAB V
RENCANA AKSI
Menyusun dan menetapkan rencana aksi pengembangan industri farmasi;
Memfasilitasi pengembangan industri farmasi terutama ke arah biopharmaceutical, vaksin, Natural dan API;
Mendorong dan mengembangkan penyelenggaraan riset dan pengembangan sediaan farmasi dalam rangka kemandirian industri farmasi;
Memprioritaskan penggunaan produk sediaan farmasi dalam negeri melalui e-tendering dan e-purchasing berbasis e-catalogue;
Mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan produksi dan distribusi sediaan farmasi, pelayanan kesehatan serta industri farmasi;
Mengembangkan sistem data dan informasi secara terintegrasi yang berkaitan dengan kebutuhan produksi dan distribusi sediaan farmasi, pelayanan kesehatan serta industri farmasi;
Melakukan koordinasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan untuk meningkatkan kapasitas BPJS sebagai payer dan memperluas kontrak.
I
N
P
R
E
S
BAB VI
PENUTUP
Rencana aksi industri farmasi disusun untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antar pemangku kepentingan dalam pengembangan industri farmasi Indonesia.
Pelaksanaan upaya kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri sangat memerlukan komitmen, dalam pengorganisasian, penggerakan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dari semua pemangku kepentingan sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.
Dengan landasan koordinasi dan sinergisme yang dilaksanakan dengan komprehensif dan paripurna, diharapkan semua pemangku kepentingan bersedia dan mampu berintegrasi dan bersinergi dalam melakukan transformasi dan pengembangan industri farmasi Indonesia sebagai salah satu industri andalan nasional, sehingga terwujudnya kemandiran obat dan bahan baku obat di dalam negeri. Serta pelaksanaan transformasi industri farmasi menjadi industri berbasis riset yang memiliki keunggulan kompetitif.
PERMENKES NOMOR 30 TAHUN 2017
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERMENKES NOMOR 1148 TAHUN 2011
TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI
DIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN
DIREKTORAT JENDERAL KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN
2 0 1 7
LATAR BELAKANG
Bahwa masyarakat perlu dilindungi dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat/manfaat; dan
Bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan hukum dalam pendistribusian obat dan bahan obat
Oleh karena itu, pada Permenkes 30/2017 beberapa ketentuan dalam Permenkes 1148/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Permenkes 34/2014, diubah pada pasal sebagai berikut:
Pasal 13
Pasal 14A
Pasal 19
Pasal 20
Permenkes 1148/2011 Permenkes 34/2014 Permenkes 30/2017
Pasal 13
1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat
mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
obat dan/atau bahan obat yang memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF.
3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF
dan/atau melalui importasi.
4) Pengadaan bahan obat melalui importasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) PBF Cabang hanya dapat melaksanakan
pengadaan obat dan/atau bahan obat dari
PBF pusat.
Pasal 13
1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat
mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
obat dan/atau bahan obat yang memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF.
3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF
dan/atau melalui importasi.
4) Pengadaan bahan obat melalui importasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) PBF Cabang hanya dapat melaksanakan
pengadaan obat dan/atau bahan obat dari
PBF pusat.
6) PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan
pengadaan obat atau bahan obat harus
berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker penanggung jawab
dengan mencantumkan nomor SIKA.
Pasal 13
1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat
mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
obat dan/atau bahan obat yang memenuhi
persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
obat dari industri farmasi dan/atau sesama
PBF.
3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan
bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF
dan/atau melalui importasi.
4) Pengadaan bahan obat melalui importasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5) PBF Cabang hanya dapat melaksanakan
pengadaan obat dan/atau bahan obat dari
PBF pusat atau PBF Cabang lain yang
ditunjuk oleh PBF pusatnya.
6) PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan
pengadaan obat atau bahan obat harus
berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker penanggung jawab
dengan mencantumkan nomor SIPA.
Permenkes 1148/2011 Permenkes 34/2014 Permenkes 30/2017
Pasal 14
1. Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki
apoteker penanggung jawab yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan ketentuan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat
dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
2. Apoteker penanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Apoteker penanggung jawab dilarang
merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus
PBF atau PBF Cabang.
4. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab,
direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang wajib
melaporkan kepada Direktur Jenderal atau
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari
kerja.
Pasal 14A sebagai sisipan di antara Pasal 14 dan
Pasal 15
Pasal 14A
1. Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak
dapat melaksanakan tugas, apoteker yang
bersangkutan harus menunjuk apoteker lain
sebagai pengganti sementara yang bertugas
paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan.
2. Penggantian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan dari
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 14A
1) Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak
dapat melaksanakan tugas, PBF atau PBF
Cabang harus menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara yang bertugas paling
lama untuk waktu 3 (tiga) bulan.
2) PBF atau PBF Cabang yang menunjuk
apoteker lain sebagai pengganti sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada kepala dinas kesehatan
provinsi setempat dengan tembusan Kepala
Balai POM.
Permenkes 1148/2011 Permenkes 34/2014 Permenkes 30/2017
Pasal 19
PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai surat
pengakuannya.
Pasal 19
1. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di wilayah provinsi sesuai
surat pengakuannya.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
wilayah provinsi terdekat untuk dan atas nama
PBF Pusat yang dibuktikan dengan Surat
Penugasan/Penunjukan.
3. Surat Penugasan/Penunjukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dimaksud.
Pasal 19
1. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di daerah provinsi sesuai
dengan surat pengakuannya.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
daerah provinsi terdekat untuk dan atas nama
PBF pusat yang dibuktikan dengan Surat
Penugasan/Penunjukan.
3. Setiap Surat Penugasan/Penunjukkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berlaku hanya untuk 1 (satu) daerah provinsi
terdekat yang dituju dengan jangka waktu
selama 1 (satu) bulan.
4. PBF Cabang yang menyalurkan obat
dan/atau bahan obat di daerah provinsi
terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), menyampaikan pemberitahuan atas
Surat Penugasan/Penunjukan secara tertulis
kepada kepala dinas kesehatan provinsi
yang dituju dengan tembusan kepala dinas
kesehatan provinsi asal PBF Cabang,
Kepala Balai POM provinsi asal PBF Cabang
dan Kepala Balai POM provinsi yang dituju.
Permenkes 1148/2011 Permenkes 34/2014 Permenkes 30/2017
Pasal 20
PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan
penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker
penanggung jawab, atau tenaga teknis kefarmasian
penanggung jawab.
Pasal 20
PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan
penyaluran obat berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani apoteker pengelola apotek,
apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis
kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat
dengan mencantumkan nomor SIPA, SIKA, atau
SIKTTK.
Pasal 20
1) PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan
penyaluran obat berdasarkan surat pesanan
yang ditandatangani apoteker pemegang
SIA, apoteker penanggung jawab, atau
tenaga teknis kefarmasian penanggung
jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyaluran obat
berdasarkan pembelian secara elektronik (E-
Purchasing) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.