RELEVANSI DAN AKTUALISASI KONSEP BUDAYA SIRI’ …repositori.uin-alauddin.ac.id/9423/1/Skripsi...
Transcript of RELEVANSI DAN AKTUALISASI KONSEP BUDAYA SIRI’ …repositori.uin-alauddin.ac.id/9423/1/Skripsi...
RELEVANSI DAN AKTUALISASI KONSEP BUDAYA SIRI’ TERHADAP
TERCIPTANYA POLITIK LOKAL YANG DEMOKRATIS PADA PILKADA
SERENTAK TAHUN 2015
DI KABUPATEN GOWA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana
Jurusan Ilmu Politik Pada Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan politik
UIN Alauddin Makassar
Oleh
ARDIANSYAH
30600112046
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
MOTO
“kadang kala kita tak mengerti bahwa kesempatan adalah
sebuah keberuntungan. beruntung karena memiliki sebuah
kesempatan. Ada banyak jejak dengan ribuan peristiwa namun
minim kesyukuran. Bagi saya pernah menyandang status
mahasiswa bak kesempatan dalam wujud keberuntungan yang
harus disyukuri. Dunia kampus ibarat potongan-potongan
kenyataan yang memberi peluang utuk belajar tentang hidup.
Katakanlah tentang seputar teori kausalitas Hegel (hubungan
sebab akibat) yang kemudian merangsang saya untuk berfikir
sadar bahwa hasil adalah manifestasi dari proses, orang yang
berdiri sukses hari ini adalah orang-orang yang barangkali
pernah menangis darah beberapa tahun yang lalu tak pernah
ada hasil yang menakjubkan tanpa ada proses yang hebat”
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iv
ABSTRAK………………………………………………………………………..vi
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………....1
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..10
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian………………………………………….11
D. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………12
E. Tinjauan Teoris…………………………………………………………..17
F. Metode Penelitian………………………………………………………...28
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN………………………..35
A. Gambaran Umum Kabupaten Gowa……………………………………..35
1. Letak Dan Geografis…………………………………………………35
2. Iklim dan Cuaca……………………………………………………...39
3. Jumlah Penduduk…………………………………………………….39
4. Tingkat Pendidikan…………………………………………………..41
5. Visi, Misi Dan Tujuan………………………………………………..43
BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………..46
A. Relevansi Budaya siri’ dengan Demokrasi…………………………........46
1. Budaya Siri’ Kompatebel Dengan Demokrasi...............................50
iii
2. Budaya siri’ Tidak Kompatebel dengan Demokrasi......................55
B. Aktualisasi Siri’ di Pilkada Gowa Tahun 2015…………………………..57
1. Aktualisasi siri‟ di Pilkada Gowa Tahun 2015..............................58
a. Tidak Akuratnya Penetapan data Pemilukada....................60
b. KPUD yang Tidak Netral...................................................63
c. Money Politik.....................................................................64
d. Mencuri star kampanye......................................................65
e. Dukungan PNS yang Tidak Netral.....................................66
f. Pelanggaran Kampanye Dalam Pengerahan Massa...........67
2. Bupati Sebagai Produk Pilkada......................................................67
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………...73
A. Kesimpulan………………………………………………………………73
B. Saran……………………………………………………………………...75
DaftarPustaka …………………………………………………………………....77
iV
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai Relevansi dan Aktualisasi konsep Budaya
Siri’, Terhadap Terciptanya Politik Lokal Yang Demokratis (Studi Kasus Pilkada
Serentak Tahun 2015 Di Kabupaten Gowa). Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan data dalam bentuk kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pokok-pokok
permasalahan dalam skirpsi ini yaitu Bagaimana relevansi budaya lokal siri’ terhadap
terwujudnya politik lokal (Pilkada) yang demokratis di Kabupaten Gowa dan
Bagaimana aktualisasi budaya siri’ di Pilkada serentak Kabupaten Gowa Tahun 2015.
Teori yang digunakan dalam menguraikan masalah tersebut adalah teori strukturasi,
demokrasi, perubahan sosial, dan struktural fungsional.
Hasil penelitian menemukan adanya dua pendapat mengenai relevansi
Budaya siri’ terhadap terwujudnya politik lokal (pilkada) yang demokratis di
Kabupaten Gowa. Pendapat pertama mengatakan bahwa nilai-nilai siri‟ kompatebel
dengan konsep demokrasi yaitu merujuk pada kerelevansian antara konsep siri’ dan
demokrasi pada asas kebaikan secara kolektif (humanisasi), asas kejujuran, dan
keadilan. Pandangan kedua mengatakan bahwa budaya siri’ tidak kompatebel dengan
konsep demokrasi yakni melihat bahwa nilai-nilai mempertahankan yang cenderung
berambisi dalam konsep siri’ bisa menjadi ancaman terhadap tuntutan sikap
sportifitas dalam konsep demokrasi.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa tidak diaktiualisasikannya konsep
siri’ denghan melihat dua hal yaitu saat proses berlangsungnnya pilkada dan sosok
pemimpin yang dihasilkan sebagai produk pilkada. Terjadinya banyak pelanggaran
saat pemilukada berlangsung sebagai indikator bahwa nilai-nilai siri’ tidak
diaktualisasikan yakni sebagai brikut: Tidak akuratnya data pemilih, KPUD
Kabupaten Gowa yang tidak netral, money politics, mencuri star kampanye,
dukungan PNS yang tidak netral, dan pelanggaran dalam pengarahan massa
kampanye. Selanjutnya pilkada menghasilkan pemimpin yang menjadikan budaya
lokal sebagai alat politik sehingga mengindikasikan bahwa nilai-nilai siri’ tidak
teraktualisasikan
Kata Kunci: Relevansi, Aktualisasi, Budaya Siri’ dan Pilkada
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Luas Daerah Tiap Kecamatan di Kabupaten Gowa
Tabel 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 3 Tingkat Pendidikan Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan Yang Ditamatkan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja
dalam bahasa latin colore yang berarti bercocok tanam (cultivation) dan bahkan
dikalangan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga dapat diartikan
sebagai ibadah atau sembahyang (worship). Menurut bahasa Indonesia, kata
kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata
buddhi (budi atau akal) kemudian ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan
perkembangan dari kata majemuk “budi-daya” yang berarti daya dari budi, yaitu
berupa cipta, karsa dan rasa. Koentjaraningrat mendefenisikan kebudayaan
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. E.B
Tylor dalam telaah Purwanto, mendefenisikan kata kebudayaan sebagai keseluruhan
yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral,
adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.1
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan politik ditunjukkan antara
lain oleh riset yang dilakukan oleh Robert Putnam dan Ronald Inglehart. Menurut
Putnam, budaya adalah akar dari perbedaan-perbedaan yang besar antara Italia Utara
1 Hari Poerwanto. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008 ), hal. 51-52.
1
yang bercorak demokratis dan Italia Selatan yang bercorak otoritarian. Menurut
Inglehart dalam telaah Siti Zuhro, memandang bahwa masyarakat sangat bervariasi
dalam tingkat penekanannya pada nilai-nilai peninggalan dan nilai-nilai ekspresi diri.
Masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai ekspresi diri kecenderungannya akan
lebih demokratis daripada masyarakat yang menekankan pada nilai-nilai
peninggalan. Kesimpulan kedua ilmuwan tersebut mewarisi pemikiran rintisan dari
Alexis De Tocquevelli yang menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik
Amerika Serikat berhasil adalah kecocokan budayanya dengan demokrasi. 2
Lahirnya Undang-Undang No. 32/2004 mengenai otonomi daerah,
memungkinkan konsep pemerintahan desa dengan konsep pemerintahan adat hal ini
dikuatkan lagi dengan dihasilkannya amandement kedua UUD 1945 Pasal 18 B ayat
(2) Bab VI bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, kemudian dipertegas lagi Pasal 28 I Bab
X A yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati sebagai hak asasi manusia. Otonomi daerah menjadikan masyarakat lokal
mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk melakukan kreasi sesuai dengan
tradisi-tradisi yang berkembang di daerahnya. Tingginya tingkat fragmentasi lokal
menuntut demokrasi lokal untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai
masalah yang dihadapi secara universal, dalam arti pemerintah dan masyarakat lokal
2 Siti Zuhro, Dkk. Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai
Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali
(Yogyakarta: Ombak, 2009 ), hal. 275.
2
bertanggung jawab mengurus rumah tangganya sendiri. Demokrasi lokal merupakan
salah satu media untuk mewujudkan peran aktif masyarakt lokal.3
Indonesia adalah suatu negara yang di dalamnya didiami oleh berbagai
macam suku, ras, agama dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku memiliki
kebudayaan masing-masing, kebudayaan inilah yang kemudian dijunjung tinggi
karena dipandang sebagai tatanan nilai dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Lebih khusus Makassar adalah salah satu suku yang memiliki kebudayaan sendiri
yang kemudian dijadikan sebagai pandangan hidup masyarakatnya.
Makassar diakui bukan sebatas nama perkampungan yang kemudian menjadi
kota. Makassar adalah nama salah satu suku yang membawa karakteristik spesifik
manusia yang hidup dan berinteraksi serta kebanggaan-kebanggaan yang kemudian
dilahirkan. Sebagai nama suku ada kekhasan yang terbangun dari akumulasi karakter
manusia yang berlandaskan nilai budaya yang dipengaruhi oleh pelbagai tatanan yang
hidup dan berkembang disekelilingnya, termasuk agama dan kepercayaan yang
dianut. Kebudayaan inilah yang kemudian menjadi wadah bagi berseminya nilai-nilai
kebanggan tersebut.4
Orang Bugis-Makassar dalam kehidupan sehari-hari masih banyak terikat oleh
sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sakral yang
keseluruhannya mereka sebut panngaderreng atau pangngadakkang dalam bahasa
3 Syahrir Karim, Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal (Makassar:
Alauddin University Press , 2012), hal. 113-114. 4 HB. Amiruddin Maulana. Demi Makassar (Makassar: Global Publishing, 2001),
hal. 152-153
3
Makassar. Sistem adat keramat dari orang Bugis-Makassar itu berdasarkan atas lima
unsur pokok ialah: (1) Ade’ (ada’ dalam Makassar), (2) Bicara, (3) Rapang, (4) Wari’
dan (5) Sara’ . Unsur-unsur pokok tersebut dari adat keramat tadi terjalin satu sama
lain sebagai suatu kesatuan organis dalam alam pikiran orang Bugis-Makassar, yang
memberi rasa sentimen kewargaan masyarakat, identitas sosial dan juga martabat dan
rasa harga diri, yang terkandung semuanya dalam konsep SIRI’.5
Alvin Toffler melihat bahwa di tengah arus globalisasi ternyata muncul
paradoks menguatnya semangat menonjolkan karakter lokalitas. Fenomena ini punya
nilai positif terutama bila dikaitkan dengan era otonomi daerah yang memberi
peluang bagi daerah untuk mengembangkan diri seluas mungkin. Otonomi daerah
memungkinkan setiap daerah menonjolkan kekhasannya sebagai sumber potensi.
Disisi lain era otonomi daerah yang seluas-luasnya juga berdamapak negatif bagi
lokalitas dengan perkembangan semangat etnosentrisme dan potensi disintegrasi dari
negara kesatuan Republik Indonesia. Berbagai kebijakan yang menonjolkan
kepentingan sempit lokalitas tampak mulai dari isu putra daerah, kebijakan
transmigrasi yang hanya membuka peluang bagi perpindahan penduduk dalam satu
provinsi, sampai pada upaya mengembalikan simbol-simbol kejayaan kerajaan.6 Hal
negatif inipun tampaknya terlihat di kabupaten Gowa pada Pilkada serentak 2015
5 Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Yogyakrta: Djambatan,
1979), hal. 270. 6 Dede Mariana, Demokrasi dan Politik Desentralisasi (Bandung: Graha Ilmu,
2007), hal. 71-72.
4
lalu, budaya lokal seolah-olah tak punya andil untuk mewujudkan pemerintahan lokal
yang demokratis.
Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
realitas dari pola pikir, tingkah laku, maupun nilai-nilai yang diatur oleh masyarakat
yang bersangkutan. Kebudayaan dalam suatu masyarakat adalah sistem nilai tertentu
yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat pendukungnya, dijadikan dasar
dalam berperilaku. Kebudayaan inilah yang kemudian menjadi tradisi masyarakat.
Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan
masyarakat. Tradisi tampaknya sudah terbentuk sebagai suatu norma yang dibakukan
dalam kehidupan masyarakat.7
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Hujurât ayat 13:
Terjemahan:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengena”
7 Wahyuni, Perilaku Beragama, Studi Sosiologi Terhadap Asimilasi Agama dan
Budaya Di Sulawesi Selatan (Makassar: Alauddin University Press,2013), hal. 114-116.
5
Penjelasan ayat di atas menegaskan bahwa semua manusia memiliki derajat
kemanusiaan yang sama di hadapan Allah SWT, yang membedakan adalah kualitas
ketakwaan kepada Allah SWT. Manusia sebagai makhluk sosial yang saling
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, maka sudah seharusnya untuk mengenal
budaya atau tradisi masyarakat yang berbeda di suatu daerah. Semakin kuat
pengenalan masyarakat terhadap budaya masyarakat yang lain, maka akan memberi
peluang untuk saling memberi manfaat.
Berbicara mengenai pandangan agama Islam terhadap tradisi terlebih dahulu
harus dikemukakan bahwa tradisi adalah kebiasaan yang telah berkembang secara
turun-temurun dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Tradisi tersebut ada
kemungkinan tidak berlaku bagi kelompok masyarakat lain, sehingga hanya berlaku
bagi sekelompok masyarakat.
Keberadaan tradisi dalam masyarakat dinyatakan sebagai suatu aturan yang
meliputi segala perkataan, tindakan, dan sebagainya yang lazim dituruti serta
dilakukan sejak zaman nenek moyang atau leluhur. Sehingga sampai sekarang masih
dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah didapatkan, tanpa harus
mempertimbangkan kegiatan tersebut dapat bertentangan dengan ajaran agama atau
tidak.
6
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah/2:170.
Terjemahan:
”dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya
mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?".
Agama Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju
kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Islam tidak datang untuk menghancurkan
tradisi atau budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang
bersamaan Islam mengingatkan agar umat manusia jauh dan terhindar dari hal-hal
yang tidak bermanfaat dan membawa mudarat di dalam kehidupannya, sehingga
Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di
masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi
derajat kemanusiaan.8
8 Endar Wismulyani, Jejak Islam di Nusantara, Cet 1 (Klaten: Cempaka Putih, 2008),
hal.46-47
7
Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadis diterangkan:
ثنا أبو أسامة ثنا أبو بكر بن أب شيبة، وأبو كريب، واللفظ لب بكر، قال: حد ، عن بريد بن حد
ذا بعث أحدا عبد هللا، ا عن أب بردة، عن أب موس، قال: كن رسول هللا صل هللا عليه وسل
ابه ف بعض أمره، قال: وا»من أص وا ول تعس وا ول تنفروا، ويس «بش9
Terjemahan:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu
Kuraib sedangkan lafadznya dari Abu Bakar, keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah dari
Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata, "Apabila Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat seseorang dari sahabatnya
untuk melaksanakan perintahnya, beliau bersabda: "Berilah mereka
kabar gembira dan janganlah menakut-nakuti, mudahkan urusan
mereka jangan kamu persulit.” (HR. Muslim).
Hadis di atas memberikan pesan bahwa Islam adalah agama yang memberikan
kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan
tidak mempersulit, antara lain dengan menerima sistem dari luar Islam yang
mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat
untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti
mempersulit keIslaman mereka.
9Muslim ibn al-H{ajja>j al-H{asan al-Qusyai>riy al-Naisa>bu>riy, S{ah}ih} Muslim, Juz III,
(Beirut: Da>r Ih}ya> al-Turas\ al-‘Arabi> t.th), hal. 1358.
8
Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam
bersabda:
ي هفس بيده » هاوال يل أعطيتم ا
ا مون فهيا حرمات الل ة يعظ «، ل يسألون خط
10
Terjemahan:
“Beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
mereka tidaklah meminta kepadaku satu langkah perbuatan yang
membuat mereka mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah
melainkan aku pasti akan memenuhinya”. (HR. Bukhari).
Hadis di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima
ajakan kaum musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak
Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.
bahkan mengapresiasi tradisi yang dapat membawa pada kebaikan11
.
Perkembangan masyarakat dalam konteks otonomi daerah tidak dapat
dipungkiri telah menghasilkan kondisi obyektif bagi tumbuhnya budaya lokal, serta
partisipasi rakyat secara melembaga dan kritis sebagai kontrol politik terhadap
penyelenggaraan pemerintah daerah.12
Budaya Bugis Makassar mengenal istilah
Pappasang yaitu amanat atau pesan-pesan yang dituangkan oleh orang tua (leluhur)
kepada generasi penerus. Pappasang ini terdapat lima Prinsip yang terkandung
10 Muh}ammad ibn Isma>’i>l Abu> ‘Abdillah al-Bukha>ri> al-Ju’fi>, S}ah}ih} al-Bukha>ri>, Juz
III, (Cet. I; Da>r T{u>qi al-Naja>h, 1422 H), hal. 193. 11 http://www.muslimedianews.com/2015/05/tradisi-menurut-al-quran-as-
sunnah.html#ixzz4D08lzILV 12
Isran Noor, Politik Otonomi Daerah, (Jakarta: Profajar Jurnalism, 2013), hal. 12.
9
didalamnya dan orang yang dipandang memiliki harga diri atau siri harus berpegang
kepada lima prinsip tersebut. Kelima prinsip tersebut adalah amanah, jujur, sopan,
berpendirian kuat dan taat pada tuhan yang maha esa. Bila disimpulkan secara luas
manusia yang mengamalkan kelima prinsip-prinsip tersebut adalah manusia yang
menghayati dan mengamalakan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sejatinya memang
digali dari nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri yang Bhineka Tunggal Ika. Hal ini
menegaskan bahwa nilai-nilai siri sesuai dengan pancasila untuk mewujudkan
Indonesia yang demokratis13
. Bagian ini penulis akan melihat bagimana relevansi
budaya lokal terhadap terciptanya pemerintahan lokal yang demokratis di era
pemerintahan yang bersifat desentralisasi. Sehingga mendorong peneliti untuk
melakukan penelitian yang berjudul:
“Relevansi dan Aktualisasi konsep Budaya Siri’, Terhadap Terciptanya
Politik Lokal Yang Demokratis ( Studi Kasus Pilkada Serentak Tahun 2015 Di
Kabupaten Gowa ).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan dua pokok permasalahan yakni:
1. Bagaimana relevansi budaya lokal siri’ terhadap terwujudnya politik lokal
(Pilkada) yang demokratis di Kabupaten Gowa ?
13
Andi Moein MG. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar Sirik Na Pacce
(Ujung Pandang: Mapress 1988), hal. 17-18.
10
2. Bagaimana aktualisasi budaya siri’ di Pilkada serentak Kabupaten Gowa
Tahun 2015 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Diterapkannya pemerintahan yang bersifat desentralisasi menempatkan
budaya dan kearifan lokal seharusnya berperan penting dalam terciptanya
perpolitikan lokal yang demokratis. Hal ini yang membuat peneliti berkeinginan
untuk meneliti dan mengkaji aktualisasi konsep budaya lokal siri’ pada
penyelenggaraan Pilkada serentak di Kabupaten Gowa pada tahun 2015 dengan
berpatokan pada sebuah tujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui relevansi budaya lokal siri’ terhadap terwujudnya politik
lokal (Pilkada) yang demokratis di Kabupaten Gowa.
b. Untuk mengetahui aktualisasi budaya siri’ di Pilkada serentak Kabupaten
Gowa Tahun 2015.
2. Kegunaan penelitian
Kegunaan yang diharapkan penulis dari penelitian antara lain:
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan
pengetahuan dan menambah cakrawala dalam melihat budaya lokal sebagai
faktor penting terhadap terciptanya politik lokal yang demokratis.
11
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberi
tambahan informasi, referensi dan sebagai acuan bagi yang membutuhkan
dan dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi civitas
akademika yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan pustaka
Adapun beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan tema yang diangkat
oleh penulis.
1. Yuwanto Arif Sofianto dalam jurnalnya yang berjudul “Kontribusi Budaya
Politik Lokal Dalam Demokratisasi (Kajian Budaya Politik dan Demokrasi Lokal
Pascareformasi di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang)”
. Adapun hasil penelitian yang ditulis oleh Yuwanto Arif Sofianto yaitu
bahwa kontribusi budaya politik lokal terhadap demokratisasi dapat dibedakan
menjadi kontribusi terhadap pemahaman atau nilai demokrasi dan kontribusi
terhadap perilaku warga masyarakat. Kontribusi tersebut berasal dari nilai lama
maupun baru pasca reformasi yang dapat memberikan kontribusi konstruktif
maupun destruktif. Kontribusi konstruktif nilai-nilai budaya politik lokal ialah
memberikan landasan bagi komitmen bersama, toleransi, kerjasama dan
partisipasi yang tinggi. Sedangkan kontribusi destruktif adalah nilai-nilai
patrimonialisme yang masih ada, pragmatisme, kebebasan tanpa batas dan
proseduralisme. Kontribusi konstruktif perilaku ialah kerjasama, menghargai
12
keberadaan orang lain dan partisipasi yang baik dalam sistem politik lokal.
Sedangkan kontribusi destruktif adalah pragmatisme yang kuat, orientasi
ekonomis (finansial) dalam partisipasi dan menguatnya individualisme
masyarakat yang kurang mendukung kesetaraan dan kebersamaan.14
Penulis
menjadikan hasil penelitian di atas sebagai tinjauan pustaka karena dianggap
memiliki kesamaan, yakni melihat hubungan budaya lokal dengan pemerintahan
lokal yang demokratis. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang
akan dilakukan penulis adalah selain lokasi penelitian, penulis juga meneliti
budaya lokal dengan secara lebih spesifik, dalam hal ini penulis lebih menggali
relevansi budaya siri, sipakatau dan sipakalabbiri’ terhadap terciptanya
pemerintahan lokal yang demokratis.
2. Rifqi Zabadi Asshegaf dalam skripsinya yang berjudul “Demokrasi Otonomi
Daerah Dan Perilaku Politik Jawara ( Studi Tentang Peran Jawara Dalam
Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya Dan H. Amir Hamzah Pada Pilkada
Kabupaten Lebak Tahun 2008)”
Adapun hasil penelitian yang ditulis oleh Rifqi Zabadi Asshegaf
yaitu. Pelaksanaan otonomi daerah di sisi lain ternyata telah memberikan
kesempatan kepada elit tradisional seperti jawara dalam melebarkan pengaruhnya
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Partisipasi politik jawara dalam
14
Yuwanto Arif Sofianto, kontribusi budaya politik lokal dalam demokratisasi (Kajian
Budaya Politik dan Demokrasi Lokal Pascareformasi di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang),
(Semarang: sebuah Jurnal ).
13
Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008 dilakukan dengan cara mensukseskan
calon bupati dan wakil bupati pasanagan H. Mulyadi Jayabaya Dan H. Amir
Hamzah sebagai tim sukses.15
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang
akan dilakukan penulis yaitu sama-sama mengkaji mengenai politik lokal.
Perbedaannya penelitian ini melihat hubungan antara elit lokal dengan
keberhasilan seorang kandidat di pilkada lokal, sementara penelitian yang akan
dilakukan penulis mengkaji hubungan antara budaya lokal dengan politik lokal
yang demokratis.
3. Fahri Rezki Rahman dalam skripsinya, Aktualisasi Nilai Budaya Lokal Dalam
Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa konsep otonomi daerah
dalam pelaksanaannya tidak menjamin eksistensi nilai budaya lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya Kota Palopo, terkait dengan
variabel nilai budaya lokal adele, lempu, dan getteng, terhadap pemahaman dan
aktualisasi nilai tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi selaku
pemimpin pemerintahan. Oleh karena berdasarkan hasil temuan penulis, tidak
semua informan paham dan aktualisasikan nilai budaya lokal tersebut dari
15
Rifqi Zabadi Asshegaf. Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara (
studi tentang Peran Jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya Dan H. Amir Hamzah Pada
Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008) ( Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: sebuah
skripsi, 2013).
14
representasi strukutur yang ada16
. Penelitian ini memiliki kesamaan yaitu sama-
sama mengkaji budaya lokal secara lebih spesifik, yang membedakan adalah
penilitian ini melihat aktualisasi budaya lokal dalam kepemimpinan pemerintah di
Kota Palopo, artinya penelitian ini cenderung mengkaji aktualisasi oleh pemimpin
terhadap budaya lokal dalam pemerintahaan. Sementara peneilitian yang akan
dilakukan penulis tidak hanya seputar kepemimpinan.
4. Edwin Yustian Driyartana dalam skripsinya yang berjudul “Kedudukan Partai
Politik Lokal Di Nanggroe Aceh Darussalam Ditinjau Dari Asas Demokrasi”
Hasil penelitian ini mengatakan keberadaan partai politik lokal di Aceh
juga turut membawa implikasi berupa menurunnya perolehan suara partai politik
nasional dalam pemilihan umum lokal yang dilaksanakan pada tahun 2009 di
Aceh, dimana Partai Aceh berhasil mendominasi dalam perolehan suara, jauh di
atas partai politik nasional dan partai politik lokal lainnya.17
Penelitian ini sama-
sama mengkaji tentang politik lokal, namun perbedaanya adalah peneilitian ini
lebih menjadikan partai politik lokal sebagai fokus penelitian.
5. Andi Muhammad Yusuf dalam skripsinya yang berjudul “Reproduksi Status
Tradisional Dalam Praktik Politik di Kabupaten Wajo”
hasil penelitian ini memperlihatkan pola dan karakteristik dari praktek
Ajjoareng-joa cukup berpengaruh guna mendapatkan dukungan politik dan
16
Fahri Rezki Rahman, Aktualisasi Nilai Budaya Lokal Dalam Kepemimpinan
Pemerintahan di Kota Palopo ( Universitas Hasanuddin Makassar : Sebuah Skripsi, 2013).
17Edwin Yustian Driyartana, Kedudukan Partai Politik Lokal Di Nanggroe Aceh Darussalam
Ditinjau Dari Asas Demokrasi ( Universitas Sebelas Maret Surakarta: Sebuah Skripsi, 2010).
15
kedudukan kekuasaan. Reproduksi status cukup mempengaruhi kultur masyarakat
wajo dalam menduduki kekuasaan dan dan dihadirkan pada praktek-praktik
politik sebagai bagian dari upaya strategi politik mendominasi kekuasaan.18
penilitian ini meiliki kesamaan yang dengan penelitian yang akan dilakukan
penulis yaitu keterlibatan budaya lokal dan relevansinya terhadap politik lokal,
perbedaannya adalah budaya lokal pada penelitian ini dijadikan sebagai strategi
politik.
Penelitian ini memiliki keunggulan atau kelebihan dibandingkan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yaitu karena penulis mengkaji lebih spesifik
tentang konsep serta pengaktualisasian nilai-nilai budaya lokal Siri’ di Kabupaten
Gowa. Budaya lokal sebagai tatanan nilai telah menjadi identitas yang melekat
dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus sebagi pedoman dalam bertindak pada
kehidupan sosial secara umum. Penulis pada penelitian ini akan memaparkan
tentang makna siri’ secara substansi dengan berdasarkan pada infomasi-informasi
yang diperoleh dari budayawan lokal serta pihak pemerintah terkait, yang sangat
paham dan mengetahui konsep siri secara historis maupun kondisinya saat ini.
Selanjutnya penulis akan mendiskripsikan sinergitas antara budaya lokal dengan
politik lokal dengan menjadikan pesta demokrasi yakni Pilkada sebagai indikator
18 Andi Muhammad Yusuf. Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di
Kabupaten Wajo ( Universitas Hasanuddin Makassar: Sebuah Skripsi, 2012).
16
penerapan konsep budaya lokal. Pilkada tahun 2015 di Kabupaten Gowa sebagai
labolatirum penerepan manifestasi dari kehidupan sehari-hari pada umumnya..
E. Tinjauan teoritis
1. Teori Strukturasi
Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah
pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas
kemasyarakatan, melainkan praktek-praktek sosial yang terjadi disepanjang ruang
dan waktu. Aktifitas-aktifitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam
yang berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Artinya aktifitas-
aktifitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus
menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka
sebagai aktor. di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen
memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas
itu.19
Giddens mengkaji seluruh permasalahan ini karena ia frustasi dengan
kecenderungan banyak ilmu sosial untuk menempatkan diri mereka pada satu sisi
atau sisi lainya dari dualisme struktur-agensi dasar ini. Giddens berusaha
melampaui dualisme tersebut melalui apa yang disebutnya teori strukturasi.
Argument dasarnya adalah bahwa struktur dan agensi bukanlah entitas yang
terpisah keduanya adalah saling tergantung dan berkaitan secara internal. Struktur
19
Anthoni Giddens, Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyrakat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 5.
17
hanya ada melalui agensi, dan agen mempunyai aturan dan sumber daya di antara
mereka yang akan memfasilitasi atau menghambat aksi mereka.
Giddens seperti kaum strukturalis, mengakui bahwa struktur-struktur
tersebut memang membatasi apa yang bisa dilakukan individu. Namun, berbeda
dengan strukturalis, Giddens menyatakan bahwa aturan dan sumber daya ini juga
memungkinkan aksi tertentu. Satu poin kunci dari model Giddens adalah bahwa
tindakan tertentu bisa mengarah pada rekonstruksi struktur, yang pada gilirannya
akan mempengaruhi tindakan selanjutnya. Secara keseluruhan teori Strukturasi
memberikan model yang seimbang, yakni struktur dan agensi berinteraksi dengan
erat. Metafora Giddens untuk hal ini adalah bahwa alih-alih sebagai fenomena
yang berbeda, struktur dan agensi dalam kenyataannya adalah dua sisi dari mata
uang yang sama.20
Teori strukturasi Giddens menyerang atau mengkritisi sistem melalui
fungsi-fungsi struktur dan aktor di dalamnya. Giddens memastikan
kemampuan individu untuk berperan dalam masyarakat atau komunitas
budayanya, yang masih kuat dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat
yang membentuk paham strukturalisme sosial dan budaya dalam praktik
sosial dan budaya dalam kehidupannya sehari-hari. Paradigma atau asumsi-
asumsi dasar teori strukturasi, melihat posisi dan peran manusia di dalam
20
David Marah dan Gerry stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik (Bandung:
Nusamedia,2010), hal. 334-335.
18
struktur dilihat dari kemampuan manusia sebagai aktor hingga kemampuan
agensinya di dalam dan/atau terhadap struktur tersebut.
Giddens berangkat dari teori subjek atau theory of the subject yang
memandang posisi dan peran manusia di dalam struktur, bersyarat dan
bertolak dari kemampuan agensinya. Tindakan sosial adalah hasil bentukan
struktur, demikian juga struktur sendiri merupakan bentukan agen. Penjelasan
tersebut mengindikasikan adanya dualitas struktur, yaitu struktur merupakan
medium dan agensi sekaligus pada saat yang sama merupakan out come
agensi. Teori strukturasi menekankan beberapa hal pada hubungan manusia
dengan struktur atau agensi dan struktur, dan pertimbangan ruang dan waktu
dalam perubahan sosial atau konsep time, space and sosial change.
Pertama, hubungan pelaku (agency) dan struktur merupakan dualitas
dan bukan dualisme, yaitu adanya hubungan dualitas-timbal balik agen dan
struktur, didalamnya terdapat hubungan tindakan aktor dan struktur yang
saling mengandaikan dan mempengaruhi. Kedua, sentralitas pengaruh ruang
dan waktu, di mana ruang (space) dan waktu (time) bukan arena tindakan
melainkan unsur konstitutif dari tindakan dan pengorganisasian masyarakat,
hingga perubahan sosial yang terjadi. Sehingga space, time and social
change dinyatakan berbengaruh secara menyeluruh terhadap segala perubahan
dan keberlanjutan, kemampuan aktor hingga reproduksi struktur dan sosialisasi
agensi dengan pertimbangan ideologi dan kesadaran.
19
Konsep teori Giddens dalam konteks ruang dan waktu mempengaruhi
tindakan aktor dan/atau agen dalam mencapai tujuannya, akan menemui
prakondisi dan kondisi bilamana manusia bertindak. Kondisi bertalian dengan
syarat dan situasi dalam pertimbangan nilai kultural, yang menyebabkan
selalu adanya pergeseran, transisi, dan pertimbangan tawar-menawar posisi
ruang dan waktu dalam kearifan budaya tradisional dan budaya modern.
Sehingga searah dengan perkembangan teorinya.
Giddens menyatakan bahwa aktifitas manusia bersifat rekursif, yaitu
aktifitas yang dilakukannya tidak selalu terbawa dalam arus setting
lingkungan sosialnya, tetapi merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan
secara terus menerus dan dibentuk kembali dalam atau oleh aktifitas manusia
melalui pengertian yang kemudian diekspresikan sendiri oleh agen.
Dijelaskannya, cara berpartisipasi atau cara bertindak dalam konteks kehidupan
sosial, mencakup cara mematuhi aturan (rule) dalam struktur sosial. Sehingga
peraturan merupakan haluan dalam media (strukture) sekaligus tolak ukur dan
stimulator dilakukannya berbagai tindakan dan praktek sosial. Sehingga
menguatkan asumsi atas hubungan dan saling ketergantungan antara struktur
dan aktor (individu), struktur dengan tindakan dan agensi, di mana struktur
memungkinkan adanya tindakan, sebagai media dan pada saat yang sama
struktur merupakan outcome reproduksi tindakan. Berlanjut pada praktek dan
20
aktifitas sosial di mana aturan (rule) sebagai alat dan bahkan struktur
sendiri menjadi sarana dilakukannya aktifitas sosial.21
2. Teori Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa latin “demos” (rakyat) dan kratos
(pemerintahan). Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk
pemrintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.22
Menurut Larry Diamond,
dalam suatu demokrasi harus ada jalan yang banyak bagi rakyat untuk
mengekspresikan kepentingan dan keinginan mereka tidak hanya untuk
mempengaruhi kebijakan, tetapi juga untuk secara terus menerus memantau dan
mengontrol pelaksanaan kekuatan negara. Untuk melibatkan rakyat dalam
pembuatan kebijakan dan mengontrol kekuasaan negara, lembaga-lembaga
demokratis seperti partai politik, parlement, sistem pemilihan umum dan
pemisahan kekuasaan harus dibentuk. Memilihara demokrasi terkait dengan
pembuatan lembaga dan mekanisme demokrasi yang mampu memenuhi tuntutan
rakyat. Suatu rezim demokratis akan mempertahankan legitimasinya hanya bila
mampu memenuhi kepentingan materi dan ideal dari rakyat. Legitimasi
karenanya merupakan unsur penting dalam menjamin kelangsungan rezim
demokratis.
Suatu demokrasi yang terkonsolidasi, menurut Juan J. Linz dan Alfred
Stepan, tercapai ketika tiga kriteria tambahan tercapai. Secara tindakan, tidak ada
21 http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-164-468991295-tesiscontent.pdf
22 Kabul Budiyono, Teori dan Filsafat Ilmu Politik ( Bandung: Alfabeta, 2012), hal. 153.
21
lembaga atau aktor penting yang menggunakan sumber daya yang signifikan
berupaya untuk mencapai sasaran dengan menciptakan rezim non-demokratis atau
menggunakan kekerasan. Secara sikap, mayoritas besar penduduk percaya bahwa
prosedur dan lembaga demokratis merupaakn “satu-satunya permainan” untuk
mengatur secara kolektif kehidupan dalam masyarakat. Secara konstitusional,
kekuatan pemerintah maupun non-pemerintah bertekad untuk menyelesaikan
konflik lewat hukum, prosedur dan lembaga tertentu yang diakui proses
demokratis.
Sautu demokrasi terkonsolidasi bukan sebagai akhir dari perjalanan politik
suatu masyarakat, tetapi sebagai proses interaksi diantara lima arena yang terus
berjalan yakni sebagai berikut:
1. Kelompok yang mengorganisasi diri atau masyarakat sipil yang hidup.
2. Suatu masyarakat politik yang secara khusus mengatur diri untuk mengimbangi
hak pemimpin yang memiliki legitimasi untuk menjalankan kekuasaan atas
kekuatan publik dan aparat negara.
3. Aturan hukum yang menjamin tingkat tertentu otonomi dan kemerdekaan
masyarakat sipil dan politik
4. Suatu birokrasi negara yang melindungi hak-hak penduduknya dan memberi
pelayanan mendasar untuk semua penduduk
5. Kelompok ekonomi yang menjadi penengah antara negara dan pasar.23
23
Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck. Demokrasi di Indonesia Teori
Dan Praktek (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 2-4.
22
3. Perubahan Sosial
Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian
dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua
bagiannya yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya,
bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi.
Sebagai contoh dikemukakannya perubahan pada logat bahasa Aria setelah
terpisah dari bahasa induknya, akan tetapi perubahan tersebut tidak
mempengaruhi organisasi sosial masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut lebih
merupakan perubahan kebudayaan ketimbang perubahan sosial. Ruang lingkup
perubahan kebudayaan lebih luas. Sudah barang tentu ada unsur-unsur
kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi perubahan-perubahan
dalam kebudayaan tidak perlu mempengaruhi sistem sosial.
Seorang sosiolog akan lebih memperhatikan perubahan kebudayaan yang
bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial serta yang mempengaruhinya.
Pendapat tersebut dapat dikembalikan pada pengertian sosiolog tersebut tentang
masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat menurut Kingsley Davis, adalah sistem
hubungan dalam arti hubungan antara organisasi-organisasi, dan bukan hubungan
antara sel-sel. Kebudayaan dikatakan mencakup segenap cara berfikir dan
bertingka laku, yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti
menyampaikan buah fikir secara simbolis dan bukan oleh karena warisan yang
berdasarkan keturunan. Apabila diambil defenisi kebudayaan dari Tylor- yang
mengatakan bahwa kebudayaan adalah suatu kompleks yang mencakup
23
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan setiap
kemampuan serta kebiasaan manusia sebagai warga masyarakat, maka perubahan-
perubahan kebudayaan adalah setiap perubahan dari unsur-unsur tesebut.24
Wilbert Moore mendefenisikan perubahan sosial sebagai perubahan
penting dari struktur sosial dan yang dimaksud dengan struktur sosial adalah
pola-pola perilaku dan interkasi sosial. Moore memasukkan kedalam defenisi
perubahan sosial berbagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai, dan
fenomena kultural. Jelaslah, defenisi demikian itu serba mencakup. Defenisi
yang lain juga mencakup bidang bidang yang sangat luas, perubahan sosial
didefenisikan sebagai variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial,
pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial, serta setiap modifikasi pola antar hubungan
yang mapan dan standar perilaku25
Perubahan sosial dan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa
bentuk, yaitu:
1. Perubahan lambat dan perubahan cepat
Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu lama, dan rentetan-
rentetan perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat,
dinamakan evolusi. Evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa
rencana atau kehendak tertentu. Perubahan tersebut terjadi karena usaha-
24
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta; PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 308-309. 25
Robert H. Lauer. Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2001), hal. 4.
24
usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan,
keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan-perubahan tersebut, tidak
perlu sejalan dengan rentetan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah
masyarakat yang bersangkutan.
2. Perubahan kecil dan perubahan besar
Perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang
terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa perubahan
langsung atau berarti bagi masyarakat misalnya perubahan mode pakaian.
Sebaliknya suatu proses industrialisasi yang berlangsung pada masyarakat
agraris misalnya, merupakan perubahan yang akan membawa pengaruh
besar pada masyarakat. Pelbagai lembaga-lembaga kemasyarakatan akan
ikut terpengaruhi misalnya hubungan kerja, sistem milik tanah, hubungan
kekeluargaan, stratifikasi masyarakat dan seterusnya.
3. Perubahan yang dikehendaki (Intended-change) atau perubahan yang
direncanakan (Planed Change) dan perubahan yang tidak dikehendaki
(Unintended-Change) atau perubahan yang tidak direncanakan
(Unplaned-Change)
Faktor- faktor yang menyebabkan perubahan perubahan sosial dan
kebudayaan, pada umumnya dapat dikatakan bahwa mungkin
sumbernya ada yang terletak di dalam masyarakat itu sendiri dan ada
25
yang letaknya dari luar. Sebab-sebab yang bersumber dalam
masyarakat itu sendiri antara lain adalah:
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk
pertumbuhan penduduk yang sangat cepat di pulau Jawa
menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat,
terutam lembaga-lembaga kemasyarakatan.
b. Penemuan- penemuan baru
Suatu proses sosial dan kebudayaan yang besar, tetapi yang
terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, adalah Inovasi
atau Innovation. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru,
jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar ke beberapa bagian
masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan baru tersebut diterima,
dipelajari dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan.
c. Pertentangan (conflict) masyarakat.
Pertentangan masyarakat mungkin pula menjadi sebab
terjadinya perubahan sosial dan kebudayaan. Pertentangan-
pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau
antara kelompok dengan kelompok.
d. Terjadinya pemberontakan atau Revolusi
Revolusi yang meletus pada oktober 1917 di Rusia telah
menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar negara Rusia yang
26
mula-mula mempunyai bentuk kerjaan absolut berubah menjadi
diktator proletariat yang dilandaskan pada doktrin Marxis.26
4. Teori Struktural Fungsional
Menurut pendekatan fungsional yang dianut Talcot Parsons dan para
pengikutnya, perubahn-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi
secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner.
Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya terjadi dalam
bentuk luarnya saja. Sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan
dasarnya tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan sosial tersebut
pada dasarnya timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan yaitu:
penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial terhadap perubahan yang
datang dari luar ( Entra Syistemic change ). Pertumbuhan melalui proses diferensiasi
struktural dan fungsional, dan penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.
Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan sistem sosial adalah
konsensus antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu.
Faster mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi berlangsungnya
perubahan. Umumnya perubahan sosial ekonomi berawal dari perubahan yang
berlangsung dikalangan atas seperti para elite politik, ekonomi dan kalangan
intelektual, kemudian menyebar ke lapisan bawah di lingkungan masyarakat yang
26
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 318-329.
27
lebih tradisional untuk seterusnya mengimbas ke kalangan masyarakat pedesaan.
Menurut Foster, inovasi budaya dikalangan elite memiliki prestise yang terkait
dengan para elite tersebut. Hal ini menjadi pendorong bagi penyebaran ide dan pola
tingkah laku mereka kepada kalangan bawah secara luas, karena itu Foster melihat
kota tempat para elite berada merupakan titik pusat dari perubahan yang
berlangsung.27
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha mengungkapkan
gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks melalui pengumpulan data
dan latar alami dengan berlandaskan pada logika disiplin keilmuan penulis yakni
ilmu politik. Dalam penelitian kualitatif tidak ditemukan adanya angka-angka
yang dianalisis menggunakan alat statistik, melainkan data diperoleh dari
berbagai sarana dilakukan oleh penulis. Metode penelitian pada penelitian ini
adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Tujuan dalam penelitian
diskriptif adalah membuat deskripsi atau menggambarkan fakta-fakta. Adapun
lokasi objek penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gowa. Penulis melakukan
penelitian di Kabupaten tersebut karena di Kabupaten Gowa akar budaya lokal
27
Abdul Azis Albone, Dkk. Dinamika kehidupan Beragama Muslim pedesaan
(Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badang Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Depertemen Agama RI, 2003), hal. 25-26.
28
siri’ lahir dan berkembang. Hal ini untuk mengetahui relevansi dan aktualisasi
budaya lokal tersebut dalam mewujudkan politik lokal yang demokratis.
2. Sumber Data
a. Data primer
Data primer nantinya digunakan oleh penulis yang didapat dari sumber
informan yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan
oleh peneliti. Data ini akan diperoleh melalui wawancara dengan informan yang
menjadi subyek dalam penelitian ini.
Data primer ini antara lain:
1) Catatan hasil wawancara
2) Hasil observasi ke lapangan secara langsung dalam bentuk catatan
tentang perilaku (verbal dan non verbal, serta percakapan/conversation)
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diambil dari buku teks, internet, jurnal, dan
surat kabar. sehingga peneliti hanya mencari dan mengumpulkan. Data sekunder
didapatkan di tempat kumpulan informasi seperti perpustakaan umum UIN Alauddin
Makassar, KPU Kabupaten Gowa, Dinas Parawisata dan Kebudayaan Kabupaten
Gowa, dari salah satu kandidat calon Bupati Gowa di Pilkada tahun 2015 dan
sebagainya.
29
3. Teknik Pegumpulan Data
a. Metode Observasi
Metode Observasi adalah kegiatan seharian manusia dengan menggunakan
pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti
telinga, penciuman, mulut dan kulit. Penulis pada penelitian ini menggunakan metode
Observasi sebagai meotode pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan
terhadap suatu objek lalu melalukan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal
tertentu yang diamati.
b. Metode Wawancara
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara yang sebelumnya telah dirancang dalam instrumen penelitian. Peneliti
melakukan wawancara dengan beberapa informan yaitu:
1) Budayawan lokal Kabupaten Gowa 1 orang
2) KPUD Kabupaten Gowa 3 orang
3) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa 1 orang
4) Tim sukses salah satu kandidat calon bupati pada Pilkada Kabupaten Gowa
tahun 2015 sekaligus pengurus partai Demokrat Kabupaten Gowa 1 orang
5) Keluarga kerajaan Gowa 1 orang
6) Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa 1 orang
30
Teknik wawancara yang digunakan penulis dalam penelitian ini ada dua
macam yang pada dasarnya berbeda sifatnya yaitu: Pertama, wawancara untuk
mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan
informasi. Kedua, wawancara untuk mendapatkan keterangan tentang diri pribadi,
pendirian atau pandangan dari individu yang diwawancarai. Wawancara sifat pertama
yang penting adalah memilih orang yang mempunyai keahlian tentang pokok
wawancara.28
Menggunakan kedua teknik wawancara tersebut peneliti berharap dapat
menghasilkan data sebanyak-banyaknya, serta memperoleh informasi yang lengkap
dan efektif sesuai dengan keadaan sebenarnya.
c. Metode Dokumentasi
Dokument berupa data-data penting seperti yang terdapat dalam surat-surat,
catatan harian (journal) kenang-kenangan (memories), laporan-laporan monument
artefak, foto, tape dan lain-lain.29
. melalui metode dokumentasi peneliti
mengumpulan data melalui peninggalan tulisan berupa arsip-arsip, buku-buku, surat
kabar, majalah, agenda dan lain-lain sebagai bukti yang menunjukkan peristiwa atau
kegiatan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tentang gambaran pengamalan
budaya lokal ketika Pilkada Kabupaten Gowa tahun 2015. Alat yang digunakan
dalam dokumentasi penelitian ini adalah kamera untuk mengambil gambar (foto)
28
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia,
1983), hal, 163. 29
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, hal, 163.
31
proses wawancara dengan maksud memperoleh informasi yang dibutuhkan. Hasil
dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder yang melengkapi
atau mendukung data primer hasil wawancara tentang aktualisasi konsep budaya siri’
serta relevansinya terhadap terciptanya politik lokal yang demokratis ( Studi Kasus
Pilkada Serentak Kabupaten Gowa Tahun 2015 ).
Metode Analisis Data
Metode analisis digunakan penulis untuk proses penyusunan dalam
mengkategorikan data, mencari pola dengan maksud memahami maksudnya.30
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian bersifat Analisis dekriptif.
Analisis deskriptif adalah analisis yang tidak berdasarkan perhitungan angka
melainkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang digunakan secara deskriptif.
Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis data
kualitatif, dengan tahapan sebagai berikut :
a. Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari data-
data di lapangan. Reduksi data merupakan bagian dari proses analisis yaitu suatu
analisis untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal
yang tidak penting, serta mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan
akhir ditarik.
30
S. Nasution, Metode Riset (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1998), hal. 32
32
Proses analisis data dilakukan secara sistematik dan serempak. Mulai
dari proses pengumpulan data, mereduksi, mengklasifikasi, mendskripsikan dan
penyajian serta kesimpulan dan interpretasi semua informasi yang secara data
serta secara selektif telah terkumpul.31
b. Penyajian Data
Penyajian yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah bentuk teks
naratif. Penyajian data berbentuk sekumpulan informasi yang tersusun dalam life
history sehingga dapat ditarik kesimpulan. Penyajian data dilaksanakan agar
sajian data tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Bentuk penyajian data
dalam penelitian ini akan disajikan secara naratif sesuai dengan pemaparan yang
ditampilkan dalam pembahasan hasil penelitian.
c. Menarik Kesimpulan (Verifikasi)
Kesimpulan merupakan tinjauan terhadap catatan yang telah dilakukan
di lapangan, sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah usaha untuk
mencari atau memahami makna, keteraturan, pola - pola, penjelasan, alur sebab-
akibat atau proposisi. Dalam penelitian ini penarikan kesimpulan dilakukan
berangkat dari Bagaimana pemahaman dan pengamalan budaya siri’, siapakatau
dan sipakalbbiri’ di Kabupaten Gowa, serta apa relevansinya terhadap
pemerintahan lokal di Kabupaten Gowa terkhusus pada penyelenggaraan Pilkada
Tahun 2015. Untuk kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan hubungan
31
Matthew B Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI
Press, 1992), hal. 10-17.
33
keterkaitan antara keduanya. Apabila ketiga tahapan tersebut telah selesai
dilakukan, maka kemudian diverifikasi.
34
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Gowa
1. Letak dan Geografis
Kabupaten Gowa adalah kabupaten yang berada di daerah selatan dari
Sulawesi Selatan yang merupakan daerah otonomi sendiri. Di sebelah Utara
berbatasan dengan kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto sedangkan di bagian
Baratnya berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.32
Menurut data dari BPS Kabupaten Gowa Tahun 2015, wilayah
administrasi Kabupaten Gowa terdiri dari 18 Kecamatan dan 167 desa/ Kelurahan
dengan luas sekitar 1.883.33 Km2 atau sama dengan 3,01 persen dari luas
wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar
merupakan dataran tinggi yaitu sekitar 72, 26 persen dan sisanya 27,74 persen
berada di dataran rendah. Ada 9 wilayah kecamatan yang merupakan dataran
tinggi yaitu Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolopao, Parigi, Bungaya,
Bontolempangan, Tompobulu‟ dan Biringbulu‟. Dari luas total Kabupaten Gowa
35,30 persen mempunyai kemiringan tanah di atas 40 derajat yaitu pada wilayah
32 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015.
35
Kecamatan Parangloe, Tinggimoncong, Bungaya, dan Tompobulu. Kabupaten ini
memiliki enam gunung dan yang tertinggi adalah Gunung Bawakaraeng.33
Peta Kabupaten Gowa
Agar lebih jelas tentang gambaran umum kecamatan yang ada dalam wilayah
Kabupaten Gowa berdasarkan komposisi luas dan jarak dari Sungguminasa sebagai
Ibukota Kabupaten Gowa dapat dilihat pada tabel berikut ini:
33 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015.
36
Table 1 Luas Daerah Tiap Kecamatan di Kabupaten Gowa
No Kecamatan Ibukota
Kecamatan
Jarak
dari
Ibukota
Kab.
(Km)
Luas
Kecama-
tan
(Km2)
% Thd
Luas
Kab.
1. Bontonompo Tamallayang 16 30,39 1,61
2. Bontonompo
Selatan Pabundukang 30 29,24 1,55
3. Bajeng Kalebajeng 12 60,09 3,19
4. Bajeng Barat Borimatangkasa 15,80 19,04 1,01
5. Pallangga Mangalli 2,45 48,24 2,56
6. Barombong Kanjilo 6,5 20,67 1,10
7. Somba Opu Sungguminasa 0,00 28,09 1,49
8. Bontomarannu Borongloe 9 52,63 2,79
9. Pattallassang Pattallasssang 13 84,96 4,51
10. Parangloe Lanna 27 221,26 11,75
11. Manuju Bilalang 20 91,90 4,88
12. Tinggi Moncong Malino 59 142,87 7,59
13. Tombolo Pao Tamaona 90 251,82 13,37
14. Parigi Majannang 70 132,76 7,05
15. Bungaya Sapaya 46 175,53 9,32
16. Bontolempangan Bontoloe 63 142,46 7,56
17. Tompobulu Malakaji 125 132,54 7,04
18. Biringbulu Lauwa 140 218,84 11,62
JUMLAH 1.883,33 100
Sumber: BPS Kabupaten Gowa. Gowa Dalam Angka Tahun 2015
37
Tabel diatas menunjukkan bahwa luas keseluruhan Kabupaten Gowa
1.883,33 KM2 dan Kecamatan terluas berada pada Kecamatan Tombolo Pao
dengan luas 251,82 KM2 sedangkan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan
Bajeng Barat dengan luas 19,04 KM2. Dengan menggunakan tabel diatas akan
mempermudah penulis sekaligus pembaca untuk memahami luas dan letak tiap-
tiap Kecamatan di Kabupaten Gowa yang berpengaruh terhadap kondisi sosial,
ekonomi, budaya dan perilaku politik masyarakatnya.
Kabupaten Gowa dilalui oleh banyak sungai yang cukup besar yaitu ada
15 sungai. Sungai dengan luas daerah aliran yang terbesar adalah sungai
Jeneberang yaitu seluas 881 kilometer persegi dengan panjang 90 kilometer. dan
daerah pertemuannya dengan Sungai Jenelata dibangun Waduk Bili-bili.
Keuntungan alam ini menjadikan Kabupaten Gowa kaya akan bahan galian, di
samping tanahnya yang subur. Kecamatan yang memiliki luas wilayah paling luas
yaitu Kecamatan Tombolo Pao yang berada di dataran tinggi, dengan luas 251,82
Km2 (13,37 persen dari luas wilayah Kabupaten Gowa). Sedangkan kecamatan
yang luas wilayahnya paling kecil yaitu Kecamatan Bajeng Barat, yang luasnya
hanya 19,04 Km2 (1,01 persen). Berdasarkan bentuk topografi yang sebahagian
besar berupa dataran tinggi, wilayah Kabupaten Gowa dilalui oleh 15 sungai
besar dan kecil yang sangat potensial sebagai sumber tenaga listrik dan untuk
pengairan. Salah satu diantaranya sungai terbesar di Sulawesi Selatan adalah
sungai Jeneberang. Pemerintah Kabupaten Gowa yang bekerja sama dengan
38
Pemerintah Jepang, telah membangun proyek multifungsi DAM Bili-Bili di atas
aliran sungai Jeneberang dengan luas ± 2.415 Km2 yang dapat menyediakan air
irigasi seluas ± 24.600 Ha, komsumsi air bersih (PAM) untuk masyarakat
Kabupaten Gowa dan Makassar sebanyak 35.000.000 m3 dan untuk pembangkit
tenaga listrik tenaga air yang berkekuatan 16,30 Mega Watt.34
2. Iklim dan Cuaca
Seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, di Kabupaten Gowa hanya
dikenal dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Biasanya musim
kemarau dimulai pada bulan Juni hingga September, sedangkan musim hujan
dimulai pada bulan Desember hingga Maret. Keadaan seperti itu berganti setiap
setengah tahun setelah melewati masa peralihan, yaitu bulan April-Mei dan
Oktober-Nopember. Curah hujan di Kabupaten Gowa yaitu 2.467 mm dengan
suhu 27,125°C. Curah hujan tertinggi yang dipantau oleh beberapa stasiun/pos
pengamatan terjadi pada bulan Desember yang mencapai rata-rata 676 mm,
sedangkan curah hujan terendah pada bulan Juli - September yang bisa dikatakan
hampir tidak ada hujan.35
3. Jumlah penduduk
Kabupaten Gowa termasuk kabupaten yang memiliki jumlah penduduk
terbesar ketiga di Sulawesi Selatan setelah Kota Makassar dan Kabupaten Bone.
34 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015. 35 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
39
Berdasarkan hasil Susenas 2014, penduduk Kabupaten Gowa tercatat sebesar
709.386 jiwa. Persebaran penduduk di Kabupaten Gowa pada 18 kecamatan
bervariasi. Hal ini terlihat dari kepadatan penduduk per kecamatan yang masih
sangat timpang. Untuk wilayah Somba Opu, Pallangga, Bontonompo,
Bontonompo Selatan, Bajeng dan Bajeng Barat, yang wilayahnya hanya 11,42
persen dari seluruh wilayah Kabupaten Gowa, dihuni oleh sekitar 54,45 persen
penduduk Gowa. Sedangkan wilayah Kecamatan Bontomarannu, Pattallassang,
Parangloe, Manuju, Barombong, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya,
Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu, yang meliputi sekitar 88,58 persen
wilayah Gowa hanya dihuni oleh sekitar 45,55 persen penduduk Gowa. Keadaan
ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor keadaan geografis daerah tersebut.
Bila dilihat dari kelompok umur, penduduk anak-anak (usia 0-14 tahun)
jumlahnya mencapai 31,12 persen, sedangkan penduduk usia produktif mencapai
63,18 persen dan penduduk usia lanjut terdapat 5,70 persen dari jumlah penduduk
di Kabupaten Gowa. Berdasakan jenis kelamin dari total jumlah penduduk
Kabupaten Gowa adalah terdapat 348.706 laki-laki dan 360.680 perempuan.36
36 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
40
Tabel. 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Kecamatan
Jenis Kelamin Rasio
Jenis
Kelamin Laki Perempuan Jumlah
Bontonompo
Bontonompo Sel
Bajeng
Bajeng Barat
Pallangga
Barombong
Somba Opu
Bontomarannu
Pattalassang
Parangloe
Manuju
Tinggimoncong
Tombolo Pao
Parigi
Bungaya
Bontolempangan
Tompobulu
Biringbulu
19.650
14.141
33.037
11.832
55.997
18.726
75.577
16.796
11.699
8.709
7.129
11.572
14.465
6.071
7.815
6.016
13.916
15.558
21.480
15.312
33.838
12.464
57.420
19.207
76.339
17.052
11.715
9.125
7.599
11.794
14.039
6.811
8.636
6.682
14.937
16.445
41.138
29.453
66.875
24.296
113.417
37.933
151.916
33.858
23.414
17.834
14.728
23.366
28.504
12.882
16.778
12.689
28.853
32.003
91
92
98
95
98
97
99
98
100
95
94
98
103
89
94
90
93
95
Jumlah 2014
Total 2013
2012
2011
2010
348.706
339.575
329.673
324.021
320.793
360.680
351.734
340.792
335.492
332.148
709.386
691.309
670.485
659.513
352.941
97
97
97
97
97
Sumber: BPS Kab. Gowa, Gowa Dalam Angka Tahun 2015
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Kabupaten Gowa
pada tahun 2014 sebanyak 709. 386 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki, rasio perbandingan keduanya adalah
97 dari jumlah total laki-laki 348.704 jiwa sedangkan jumlah total perempuan
360.680 jiwa. Jumlah penduduk perempuan yang lebih banyak dibandingkan
penduduk laki-laki di Kabupaten Gowa sangat kontradiktif dengan keterlibatan
41
politik yang didominasi oleh kaum laki-laki. Data diatas menunjukkan bahwa
keterlibatan perempuan dalam lanskap politik di Kabupaten Gowa tidak seimbang
antara jumlah dan keterlibatannya dalam berpolitik.
4. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kabupaten Gowa
Berdasarkan hasil angka sementara Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun
2015, tercatat bahwa dari penduduk berumur 10 tahun ke atas yang dari
Kabupaten Gowa sekitar 16,86 persen tidak pernah sekolah, 18,82 persen yang
masih sekolah dan 64,32 persen sudah tidak bersekolah lagi. Jumlah pendidikan
formal dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi adalah taman Kanak-
Kanak sebanyak 254, Sekolah Dasar (SD) 408, Sekolah Luar Biasa (SLB) 5,
Madrasah Ibtidaiyah 77, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 100,
Madrasah Tsanawiyah (MTS) 54, Sekolah Menengah Umum (SMU) 40,
Madrasah Aliyah (MA) 33, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 15, dan
Universitas 5.37
Sudah menjadi kesadaran kita bersama bahwa pendidikan saat ini
memegang peranan yang sangat penting di dalam menentukan masa depan suatu
bangsa. Sehingga pembangunan dibidang pendidikan ini sudah seharusnya
mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak.
37 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
42
Tabel. 3 Tingkat Pendidikan Berdasarkan Jenis Kelamin
NO Tingkat Pendidikan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 SD/MI/Sederajat 58.184 70.070 128.254
2 SMP/MTS/Sederajat 42.234 37.825 80.059
3 SMA/SMK/MA/Sederajat 47.856 47688 95.544
4 D3 1.483 3.118 4.601
5 S1/S2/S3 11.432 11.304 22.736
Jumlah 2014
Total
161.189 170.005 331.194
Sumber: BPS Kab. Gowa, Gowa dalam Angka 2014
Tabel diatas menunjukkan bahwa dari jumlah total penduduk laki-laki
Kabupaten Gowa sebanyak 348.706 jiwa hanya 161.189 yang berpendidikan
sedangkan dari jumlah total penduduk perempuan sebanyak 360.680 jiwa hanya
170.005 yang berpendidikan, jika dirata-ratakan sebanyak 50 persen yang tidak
berpendidkan. Tingkat pendidikan menjadi sangat penting karena pendidikan sangat
berpengaruh terhadap perilaku politik sebuah masyarakat38
.
38 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
43
Tabel. 4 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang
ditamatkan
STATUS PENDIDKAN
LAKI-
LAKI
Male
PEREMPUAN
Female
TOTAL
Total
TIDAK PERNAH SEKOLAH
SD/MI
SLTP/MTS/Sederajat
SLTA/MA/Sederajat
DIPLOMA I KE ATAS
TIDAK BERSEKOLAH LAGI
24.232
23.266
15.455
16.946
9.384
186.733
37.667
20.304
16.576
15.440
10.546
190.751
61.898
43.570
32.031
32.031
19.929
377.484
Jumlah/Total 2014
2013
2012
2011
2010
276.014
265.205
253.198
241.466
254.799
291.283
281.461
236.252
251.797
268.177
567.289
546.666
471.450
493.263
522.976
Sumber: BPS Kab. Gowa, Gowa Dalam Angka 201439
5. Visi, Misi dan Tujuan
Visi Pembangunan Daerah yaitu “Terwujudnya Gowa yang handal dalam
peningkatan kualitas hidup masyarakat dan penyelenggara pemerintahan”.
Sejalan dengan Visi yang telah ditetapkan dan dengan memperhatikan kondisi
obyektif yang dimiliki Kabupaten Gowa, dirumuskan misi Kabupaten Gowa, sebagai
berikut :
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada hak-hak
dasar masyarakat.
2. Meningkatkan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi.
39
Badan Pusat Satatistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
44
3. Meningkatkan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat.
4. Meningkatkan penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik.
5. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada kelestarian
lingkungan hidup.
Tujuan sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kabupaten Gowa terhadap
pengelolaan ruang kota yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pada tahun
2012 telah terbit Peraturan Daerah Kabupaten Gowa Nomor 15 Tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gowa Tahun 2012-2032. Peraturan Daerah
Kabupaten Gowa Nomor 15 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Gowa Tahun 2012-2032 dikatakan bahwa tujuan penataan ruang
Kabupaten Gowa adalah untuk mewujudkan ruang wilayah Kabupaten Gowa yang
terkemuka, aman, nyaman, produktif, berkelanjutan, berdaya saing dan maju dibidang
pertanian, industri, jasa, perdagangan dan wisata melalui inovasi, peningkatan
kualitas sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan mendukung fungsi Kawasan
Strategis Nasional (KSN) Perkotaan Mamminasata.40
40 Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Tahun 2015
45
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Relevansi Budaya Lokal Siri’ Terhadap Terwujudnya Politik Lokal
(Pilkada) Yang Demokratis Di Kabupaten Gowa
Pemilihan kepala daerah secara langsung memperoleh legitimasi
sebagai dasar hukum dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 amandemen keempat
yang mensyaratkan pemilihan kepalah daerah dilaksanakan secara demokratis.
Pemilihan secara langsung diyakini sebagi mekanisme yang lebih demokratis
dibandingkan pemilihan secara perwakilan oleh DPRD. Fakta menunjukkan
bahwa sejumlah daerah, pemilihan kepala daerah justru menjadi ajang
pertarungan kepentingan dan pertarungan kapital antara DPRD, partai politik,
dan para kandidat kepala daerah. Hal inilah yang semakin menguatkan
tuntutan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara langsung.
Revisi UU No. 22 Tahun 1999 yang termuat dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang pemerintahan daerah menjadi landasan normatif bagi penerapan
pemilihan kepala daerah secara langsung. Salah satu perubahan yang cukup
signifikan ditegaskan dalam pasal 24 ayat (5) UU 32 Tahun 2004, bahwa
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan, selanjutnya dalam pasal 22 ayat
3 ditegaskan bahwa Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun
46
2004 sampai juni 2005 harus mengangkat pejabat kepala daerah dan
pemilihan kepala daerah secara langsung serentak dilaksanakan bulan Juni
2005. Sedangkan, kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan
Januari 2009 sampai dengan bulan Juli 2009, diselenggarakan pada bulan
Desember 2008 untuk menghindari benturan dengan pemilu legislatif dan
pemilu presiden pada tahun 2009.41
Jika berpatokan pada pilkada di Kabupaten Gowa yang
diselenggarakan berdasarkan prosedur UU No. 32 Tahun 2004 yaitu secara
langsung maka layak dikatakan menuju politik lokal yang benar-benar
demokratis sesuai dengan yang disampaikan oleh bapak Arif Budiman S.Sos
selaku Komisioner KPU Kabupaten Gowa Divisi Sosialisasi dan Sumber
Daya Manusia:
“Proses demokrasi memang begitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Dari rakyat itu, bagaimana caranya menentukan pemimpin
sesuai pilihannya, yah itu tadi melalui pilkada langsung. Bukan dari
rakyat saya perintahkan perwakilanku untuk saya. proses yang seperti
ini sebenarnya tidak murni demokrasi meskipun di Indonesia pernah
seperti itu”42
Hasil wawancara tersebut dapat diartikan bahwa Pilkada Kabupaten
Gowa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2015, jika berpatokan
hanya pada sebatas proses bahwa rakyat akhirnya memiliki kebebasan secara
langsung dapat memilih pemimpin sesuai kehendak sendiri maka praktek
41 Dede Mariana, Demokrasi dan Politik Desentralisasi (Bandung: Graha Ilmu, 2007), hal. 37-38. 42
Wawancara dengan Bapak Arif Budiman S.sos, Komisioner KPU Kabupaten Gowa Divisi
Sosialisasi dan Sumber Daya Manusia pada tanggal 7 Oktober 2016.
47
demokratis secara murni memang demikian. Terlepas dari banyak hal yang
kemudian melanggar atau mencederai prosedur-prosedur pilkada mulai dari
pencalonan sampai pada penetapan hasil pilkada.
Pilkada langsung merupakan salah satu langkah maju dalam
mewujudkan demokrasi di level lokal. Tip O‟Neill menyatakan bahwa all
Politics is Local yang dapat dimaknai bahwa demokrasi di tingkat nasional
akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat
lokal nilai-nilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya,
demokrasi di tingkat nasional akan bergerak kearah yang lebih baik apabila
tatanan, instrument dan konfigurasi kearifan serta kesatuan politik lokal lebih
dulu terbentuk. Hal ini berarti kebangkitan demokrasi politik di Indonesia
secara ideal dan aktual diawali dengan pilkada langsung,
Pendapat yang diutarakan oleh O‟Neill diatas sejalan dengan argumen
yang dijelaskan oleh Robert Bates bahwa untuk memahami lebih dalam
mengenai lanskap politik di Negara berkembang maka para ilmuan, analisis,
pemerhati, dan pengamat harus lebih memperhatikan dan mencurahkan
perhatiannya pada realita politik di level lokal. Pengertian yang lebih
kongkret, Bates mengatakan bahwa arsitektur politik nasional dibentuk oleh
lanskap politik lokal yang amat dipengaruhi oleh pilihan bebas para aktor
48
politik individual maupun kelompok yang pada akhirnya membentuk suatu
sistem dan struktur tersendiri dalam suatu masyarakat.43
Pilkada langsung adalah sebuah proses untuk menciptakan politik
lokal yang lebih demokratis, meskipun pilkada langsung telah
diselenggarakan hampir seluruh wilayah di Indonesia, tidak berarti menjadi
indikator telah tercapainya suatu tatanan kehidupan berbangsa dan politik
yang demokratis. Masih banyak masalah yang diidentifikasi selama proses
pemilihan kepala daerah. Permaslah-permasalah tidak hanya berlangsung
pada tahap persiapan, namun juga terjadi pada tahap pelaksanaan pilkada.
Cita-cita untuk menuju pemerintahn lokal yang demokratis ada banyak faktor
yang sejatinya berperan penting didalamnya temaksud budaya lokal dan
orientasinya terhadap demokratisasi.
Ada dua pandangan yang berbeda tentang perkembangan atau
dinamika nilai-nilai demokrasi dalam budaya politik lokal masyarakat
indonesia. Pertama, budaya politik demokratis tidak memiliki akar dalam
budaya masyarakat Indonesia. Kedua, nilai-nilai demokrasi dengan berbagai
varianya telah tumbuh sejak lama di Indonesia seiring dengan dinamika
budaya lokal masyarakat.44
Sama halnya dengan relevansi konsep budaya siri’
43 Leo Agustinus, Pilkada dan dinamika politik lokal (Yogyakarta: Pusataka
Pelajar, 2009), hal. 17-18 44 Siti Zuhro, Dkk. Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai
Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Bali
(Yogyakarta: Ombak, 2009), hal. 1-2.
49
terhadap terwujudnya politik lokal (pilkada) yang demokratis di Kabupaten
Gowa, penulis menemukan adanya dua pandangan yang berbeda, di satu sisi
ada yang berpendapat bahwa nilai-nilai siri’ sangat Kompatebel dengan
budaya siri‟ dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa nilai-nilai siri tidak
kompatable dengan demokrasi berikut uraiannya:
1. Budaya Siri’ Kompatebel Dengan Demokrasi
Pendapat pertama yang mengatakan bahwa nilai-nilai demokrasi
dengan berbagai variannya telah tumbuh sejak lama di Indonesia seiring
dengan dinamika politik lokal masyarakat. Terkhusus pada nilai-nilai siri’
dianggap sangat relevan dengan konsep demokrasi karena nilai-nilai
demokrasi sudah tumbuh dalam sukma nilai-nilai siri’ seperti yang
disampaikan oleh Bapak Muh. Jufri Tenri Bali Daeng Pali selaku pengamat
budaya serta sejarawan Balla Lompoa sebagai berikut:
“Siri’ sangat relevan dengan kondisi sosial, termasuk politik namun
saat ini secara umum seolah-olah nilai-nilai siri di masyarakat sudah
mulai menghilang, itu karena adanya faktor modernitas berupa
pembaharuan yang tidak terarah sehingga sepertinya kita belum
menemukan jati diri berupa kepedulian dan kebersamaan45
Menurut yang disampaikan melalui wawancara di atas menegaskan
bahwa sukma demokrasi tumbuh sejak lama dalam budaya lokal di Indonesia
yakni pada budaya lokal siri’, yang menjadi hambatan belum terwujudnya
45
Wawancara dengan Bapak Muh Jufri Tenri Bali Daeng Pali, Sejarawan dan
Pengamat Budaya Balla Lompoa Gowa pada tanggal 13 oktober 2016.
50
politik lokal yang demokratis meskipun pada dasarnya dikatakan bahwa nilai-
nilai demokrasi sejak lama tumbuh di Kabupaten Gowa dengan melekat pada
sukma budaya siri’ adalah karena pada dasarnya terjadi desakan zaman
berupa modernitas yang tidak terarah dan terkontrol sehingga menjadikan
sebagian orang tidak memahami konsep dan nilai-nilai siri’ sebagaimana
makna yang sesunguhnya.
Sebuah cara dalam usaha melihat konteks nilai-nilai demokrasi relevan
dengan nilai-nilai lokal siri’ maka menulis pertama-tama beranjak dari
defenisi demokrasi versi Joseph Schumpeter dalam buku klasiknya
Capitalism, socialism, dan Democracy. Dalam buku tersebut Schumpeter
mengatakan bahwa demokrasi kehendak rakyat dan kebaikan bersama.
Pernyataan ini harus dimaknai dalam dua pengertian. Pengertian pertama
demokrasi sebagai kehendak rakyat. Sudah dapat dipastikan bahwa demokrasi
akan terwujud manakala kehendak rakyat yang mayoritas dapat dipenuhi oleh
pemerintah yang berkuasa dengan relatif baik, karena itu pengertian ini
sebenarnya hendak mengatakan dari mana sumber demokrasi itu berasal atau
lebih kongktitnya dari mana kekuasaan itu berada. Defenisi ini sejalan dengan
makna harfiah asal demokrasi yakni pemerintahan (kratos) oleh rakyat
(demos).
Pengertian kedua dari demokrasi, dalam pemaknaan yang disampaikan
oleh Schumpeter adalah sebagai kebaikan bersama (common good). Merujuk
51
pada ide awal pembentukan negara dikatakan bahwa kebaikan bersama
kolektif warga masyarakat. Karena itu, menurut Schumpeter, tujuan sistem
pemerintahan demokratis ialah menciptakan kebaikan bersama yang
diterapkan melalui kontak politik. Jalan menuju hal tersebut tentu saja dengan
kaedah demokratis, yang didalamnya terdapat mekanisme yang mampu
menempatkan individu dalam memperoleh kekuasaan (untuk membuat
keputusan kolektif) melalui perjuangan kompetisi demokratis dalam rangka
merengkuh suara-suara pemilih.46
Defenisi tentang demokrasi yang dipaparkan oleh Schumpeter diatas
sangat relevan dengan konsep siri’ yang disampaikan oleh Bapak Muh. Jufri
Tenri Bali Daeng Pali selaku Sejarawan dan Pengamat budaya balla Lompoa
Gowa
“Siri itu kalau berdasarkan asal kata bisa diartikan sebagai rasa
malu, namun dalam pengertian yang luas siri’ berarti harga diri untuk
memperlihatkan jati diri yang sesungguhnya yang didalamnya
terdapat nilai-nilai humanis terhadap diri sendiri, orang lain dan
masyarakat luas dengan tujuan kebaikan bersama, jadi siri itu lebih
kepada nilai-nilai luhur,47
Berdasarkan wawancara diatas bahwa nilai-nilai kebaikan secara
kolektif dalam konsep demokrasi juga terdapat dalam nila-nilai siri‟ yaitu
nilai humanis untuk kebaikan bersama. Hal inilah yang dijadikan alasan
46 Leo Agustinus, Pilkada dan dinamika politik lokal (Yogyakarta: Pusataka Pelajar,
2009), hal. 39-40. 47
Wawancara dengan Bapak Muh Jufri Tenri Bali Daeng Pali, Sejarawan dan
Pengamat Budaya Balla Lompoa Gowa pada tanggal 13 oktober 2016.
52
bahwa konsep demokrasi secara nilai memiliki relevansi dengan konsep siri’
di Kabupaten Gowa.
Wujud pilkada demokratis di Indonesia secara jelas dipaparkan dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima
tahun sekali. Berdasarkan isi dari UUD 1945 secara gamblang menjelaskan
bahwa di dalam konsep demokrasi terdapat nilai-nilai bebas, rahasia, jujur dan
adil. Hal ini senada dengan hasil wawancara bersama Bapak Syaiful S.Hi
Daeng Pasese selaku Wakil Sekretaris Umum DPC partai Demokrat
Kabupaten Gowa sekaligus Tim pemenangan nomor urut 1 pasangan Andi
Maddusila Usman dan Wahyu Permana Kaharuddin di Pilkada Gowa Tahun
2015.
“ketika seorang penyelenggara memiliki nilai budaya siri berupa
malu jika tidak adil dan tidak jujur maka saya yakin dan percaya ini
demokrasi akan sukses persoalan apapun yang dilakukan oleh
kandidat dan constituen untuk mencederai demokrasi, itu bisa
diatasi48
.
Hasil wawancara diatas menjelaskan bahwa menurut narasumber
prinsip-prisip demokrasi terkait asas keadilan dan kejujuran dalam ranah
pilkada lokal di Kabupaten Gowa bisa di topang dengan konsep nilai-nilai
48 Wawancara dengan Bapak Syaiful S.HI Wakil Sekretaris Umum DPC partai
Demokrat Kabupaten Gowa sekaligus tim sukses nomor urut 1 pasangan Andi Maddusila
Usman dan Wahyu Permana Kaharuddin di Pilkada Gowa Tahun 2015 pada tanggal 14
oktober 2016.
53
siri’. Pernyataan yang di sampaikan oleh Bapak Syaiful S.HI Daeng Pasese
lebih menekankan bahwa nilai-nilai siri’ berupa malu berbuat tidak adil dan
tidak jujur harus dimiliki oleh para elit atau penyelenggara, hal ini senada
dengan teori struktural fungsional Talcot Parsons bahwa perubahan-perubahan
di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual melalui
penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. Kemudian
pengikutnya Faster menambahkan bahwa umumnya perubahan sosial
ekonomi berawal dari perubahan yang berlangsung dikalangan atas seperti
para elite politik, ekonomi dan kalangan intelektual, kemudian menyebar ke
lapisan bawah di lingkungan masyarakat yang lebih tradisional untuk
seterusnya mengimbas ke kalangan masyarakat pedesaan.
Rencana menuju pilkada yang demokratis di Kabupaten Gowa jika
berpatokan dengan teori Talcot Parson dan Faster, maka penanaman nilai-
nilai siri’ berupa konsep kejujuran dan keadilan demi tercapainya
kesejahteraan dan kebaikan secara kolektif, menjadi hal yang sangat penting
dan harus diprioritaskan kepada para elit politik seperti penyelenggara
Pilkada, para kandidat dan komponen terkait lainnya. Para elit harus paham
betul dan mengaktulisasikan konsep siri’ karena dimulai dari paraelit maka
kalangan bawah atau non elit secara sengaja ataupun tidak disengaja, dipaksa
atau tidak, mereka akan turut mengaktualisasikan budaya siri’ yang memiliki
relevansi kuat terhadap terciptanya politik lokal yang demokratis.
54
2. Budaya Siri’ Tidak Kompatebel Dengan Demokrasi
Penulis menemukan adanya pendapat lain yang mengatakan bahwa
budaya siri’ tidak relevan dengan konsep demokrasi, oleh karena itu untuk
menguraikan hal tersebut penulis memaparkan telebih dahulu makna yang
terkandung dalam konsep demokrasi. Demokrasi adalah proses negosiasi.
Demokrasi adalah instrument sosial yang mencerminkan sikap kerelaan untuk
memberi dan menerima dalam suatu komunitas sosial, tempat dimana
kepentingan perorangan diolah dalam konteks dan logika kebersamaan. Maka
kemudian yang dikedepankan adalah dimensi bersama bukan individualistik.
Egoisme menjadi pudar ketika berhadapan dengan kepentingan yang lebih
besar. Hak-hak perorangan menjadi gamang saat komitmen kebersamaan
mulai disemai. Oleh karena itu, sikap akomodatif, partnership, sportifitas
kearifan dan kooperatif harus menjadi sukma yang menyemangati prinsip
kesetaraan yang berkeseimbangan. Sebaliknya sikap arogansi, egoisme, dan
tindakan main hakim sendiri merupakan kusta yang harus dihindari.
Jika berpatokan pada konsep diatas untuk melihat tingkat relevansi
antara nilai-niai Siri’ dengan konsep demokrasi, maka penulis menemukan
adanya pandangan yang mengatakan bahwa siri’ tidak relevan dengan konsep
demokrasi sesuai dengan hasil wawancara bersama Bapak Lukman S.E selaku
Kepala Sub Bagian Teknis Pemilu dan Hupmas KPUD Kabupaten Gowa
sebagai berikut:
55
“Tindakan memprotes itu adalah bagian dari usaha kerja keras sampai
batas terakhir yang bisa di lakukan, dan saya kira nilai-nilai siri begitu,
berjuang sampai akhir artinya keteguhan dan kegigihan.49
Berdasarkan hasil wawancara di atas mengindikasikan bahwa konsep
demokrasi tidak relevan atau sejalan dengan nilai-nilai siri’. konsep demokrasi
yang mengedepankan sikap akomodatif, partnership, sportifitas yang artinya
setiap penyelenggaraan pilkada siapapun kandidatnya harus siap kalah dan siap
menang, sementara di sisi lain konsep siri’ mengindikasikan adanya nilai-nilai
yang mengharuskan setiap individu harus berjuang sampai batas terakhir yang
bisa dilakukan bahkan sekalipun nyawa harus jadi taruhannya. Nilai-nilai yang
berambisi dalam konsep siri’ bisa menjadi ancaman terhadap tuntutan sikap
sportifitas dalam konsep demokrasi.
Pandangan lain yang juga mengindikasikan bahwa konsep siri’ tidak
relevan dengan konsep demokrasi adalah yang disampaikan oleh Bapak Drs.
Yusran Iring M.M selaku Kepala Seksi Pengembangan Budaya Daerah Dinas
Parawisata Dan Kebudayaan Kabupaten Gowa sebagai berikut:
49
Wawancara dengan Bapak Lukman S.E., Kepala Sub Bagian Teknis Pemilu dan
HUPMAS KPUD Kabupaten Gowa pada tanggal 10 Oktober 2016.
56
“kalu Konsep Siri’ kita bawah ke pilkada, kita bisa melihat bahwa yang
kalah saja berusaha untuk menang apalagi yang memang sudah
dikatakan menang, yang kalah saja berusaha mencari pembenaran
apalagi yang menang jelas mi itu, padahal kedua-duanya ini bisa
dikategorikan memiliki nilai-nilai siri yakni sikap mempertahankan yang
dianggap benar.50
Berdasarkan wawancara tersebut mengindikasikan bahwa jika nilai-nilai
siri’ semata-mata dimaknai sebagai usaha mempertahankan kebenaran yang sifat
subyektif maka siri’ tidak relevan dengan konsep demokrasi. Secara tidak
langsung pernyataan dari narasumber diatas menjelaskan bahwa konsep siri’
dalam pemaknaanya tidak serta merta relevan dengan konsep demokrasi karena
setiap orang memberikan pemahaman yang berbeda-beda tentang makna siri’
tergantung dari situasi, kebutuhan, dan kondisi indivudu tersebut.
B. Aktualisasi Budaya Siri’ di Pilkada Serentak Kabupaten Gowa Tahun
2015
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku.
Kebudayaan adalah sebutan persamaan (commony dominator) yang menyebabkan
perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya, karena memiliki
kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan perbuatan orang yang
lain dalam situasi tertentu, dan mengambil tindakan yang sesuai. Menurut ahli
antropologi berkebangsaan Inggris A.R. Radcliffe-Brown sekaligus pendiri aliran
Struktural-Fungsioanal beserta pengikutnya mengatakan bahwa setiap kebiasaan
50 Wawancara dengan Bapak Yusran Iring M.M., Kepala Seksi pengenmbangan
Budaya Daerah Dinas Parawisata Dan Kebudayaan Kabupaten Gowa pada Tanggal 11
oktober 2016.
57
dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang berfungsi
untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan sehingga masyarakat
tersebut dapat tetap lestari51
.
Berdasarkan pernyataan A.R. Radcliffe-Brown mengindikasikan budaya
lokal di Kabupaten Gowa menjadi hal penting dalam membentuk struktur dan
perilaku masyarakat, tidak terkecuali dalam dunia politik. Kabupaten Gowa yang
masyarakatnya mayoritas suku Makassar memiliki nilai-nilai budaya lokal yang
dikenal dengan istilah siri‟. Penulis menjabarkan konsep siri’ untuk melihat
aktualisasi siri’ dalam konteks perpolitikan lokal, lebih terkhusus pada pilkada
serentak tahun 2015 di Kabupaten Gowa sebagai berikut.
Siri’ memiliki dua nilai sebagai makna esensial. Pertama, Siri’ sebagai
harga diri (dignity) dalam ukuran nilai aktual yang dipandang sepadan dengan
harga diri, adalah kelayakan dalam kehidupan sebagai manusia yang diakui dan
diperlakukan sama oleh setiap orang terhadap sesamanya. Orang yang tidak
memperoleh perlakuan yang layak dari sesamanya itu merasa harga dirinya
dilanggar. Kedua, siri’ sebagai keteguhan hati dalam ukuran-ukuran kenyataan
hidup, seseorang yang dipandang mempunyai keteguhan hati atau dalam kalimat
bahasa Makassar disebut tu tinggi siri’na adalah seseorang yang mampu
menentukan sikap sesuai dengan kebenaran dari ketetapan hati nuraninya yang
benar, tidak mudah terombang ambing oleh desakan atau ancaman dari luar
51 William A. Haviland, Antropologi, ( Jakarta: Erlangga, 1982), hal. 332-333
58
dirinya. Termasuk dalam kelompok ini, mereka yang disebut kuat imannya, teguh
kepribadiannya, dan sejenisnya.
Mempertahankan harga diri atau keteguhan hati dalam kehidupan
masyarakat adalah termasuk perbuatan terpuji karena itu seseorang yang berbuat
demikian harus membayarnya dengan nyawa, dalam kalimat bahasa Makassar
disebut tu mate nisantangi. Dalam kenyataan empiris kehidupan sosial dewasa ini
sikap menghargai bukan lagi semata-mata menjadi konsep monopoli orang
Makassar tetapi sudah terbuka menjadi milik setiap orang yang cenderung
mempertahankan kebenaran dan menyatakannya tanpa ragu-ragu52
.
Teori strukturasi Anthoni giddens menyatakan bahwa hubungan pelaku
(agency) dan struktur merupakan dualitas dan bukan dualisme yaitu adanya
hubungan dualitas timbal balik agen dan struktur yang di dalamnya terdapat
hubungan tindakan aktor dan struktur yang saling mengandaikan dan
mempengaruhi. Penulis memposisikan nilai budaya Siri’ sebagai struktur dan
masyarakat Gowa secara umum sebagai aktor, oleh karena itu sejatinya
aktualisasi nilai-nilai siri’ berpengaruh terhadap tingkat Pilkada Gowa tahun 2015
yang lebih demokratis.
Penulis dalam melihat aktualisasi konsep budaya siri’ di Kabupaten Gowa
tahun 2015 menggunakan pemetaan dengan melihat dua hal yaitu sebagai berikut:
52
Abu Hamid, Dkk. Siri Dan Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis Makassar Mandar
Toraja ( Makassar: Pustaka Refleksi, 2009) hal. 59-60.
59
1. Aktualisasi Siri’ dalam Pemilukada
Secara substansi berdasarkan pada pembahasan sebelumnya penulis bisa
menjastifikasi bahwa sukma demokrasi sangat relevan dengan nilai-nilai siri’, namun
dengan terjadinya banyak pelanggaran-pelanggaran saat pilkada tahun 2015
Kabupaten Gowa sekaligus dijadikan indikator oleh penulis bahwa tidak
teraktualisasikannya konsep dan nilai-nilai siri’ sebagai penopang terhadap
terciptanya politik lokal (pilkada) yang demokaratis di Kabupaten Gowa. Ada
beberapa masalah yang terjadi di pilkada Gowa tahun 2015 yakni terdiri atas:
a. Tidak akuratnya penetapan data pemilih,
Tidak akuratnya data pemilih merupakan masalah yang mendasar dan
hampir seluruh pilkada mengalami ketidakakuratan data pemilih dan pada
sebagian daerah menimbulkan gelombang protes dan demonstran dari
masyarakat, pada pilkada Gowa Tahun 2015 masalah yang demikian terjadi
sebagai mana informasi yang penulis peroleh dari hasil wawancara bersama
dengan Bapak Syaiful S.HI Daeng Pasese selaku Wakil Sekretaris Umum Partai
Demokrat Kabupaten Gowa sebagai berikut:
60
“Analisis dari kajian kami bahwa dari 680 TPS di seluruh Kabupaten
Gowa, itu yang dimainkan. itu berarti 68 persen. Mohon maaf, Andai
saja hal seperti ini tidak terjadi maka partisipasi pemilih kemarin hanya
40 persen lebih, banyak surat undangan yang tidak sampai, dan syarat
bagi yang tidak mendapat surat undangan maka boleh dengan KTP, lalu
apa yang terjadi tetap saja dipersulit di TPS jika itu bukan pendukungnya
Adnan.53
Berdasarkan hasil wawancara tersebut membenarkan adanya proses
memanipulasi data pemilih oleh penyelenggara pilkada untuk memenangkan
pasangan nomor urut 5 yakni pasangan Adnan Purichita Ikhsan Yasin Limpo
(APIYL). Terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara dalam hal
ini KPUD maka sekaligus menjabarkan bahwa tidak diaktulisasikannya salah satu
nilai-nilai siri’ yaitu sifat adil, yakni hilangnya rasa malu karena tidak berlaku
adil.
Seperti yang disampaikan sebelumnya bahwa ketidakakuratan data
pemilih pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes dan demonstran
dari masyarakat. Pasca rekapitulasi di tingkat kabupaten oleh KPUD Kabupaten
Gowa, kemudian menyatakan kemenangan pasangan nomor urut 5, massa
pendukung pasangan nomor urut 1 yakni pasangan Andi Maddusila Usman
dengan Wahyu Permana Kaharuddin mendatangi KPUD memprotes agar
penetapan pemenangan nomor urut 5 tersebut dibatalkan dengan alasan terjadinya
53
Wawancara dengan Bapak Syaiful S.HI Wakil Sekretaris Umum DPC partai
Demokrat Kabupaten Gowa sekaligus tim sukses nomor urut 1 pasangan Andi Maddusila
Usman dan Wahyu Permana Kaharuddin di Pilkada Gowa Tahun 2015 pada tanggal 14
oktober 2016.
61
pelanggaran terhadap data pemilih. Gelombang protes yang dilakukan massa
pendukung sering kali menimbulkan minimal rasa ketakutan, melanggar hak-hak
umum, dan bahkan sampai pada pengrusakan fasilitas umum, seperti yang
disampikan oleh Bapak Arif Budiman S.Sos selaku Komisioner KPUD
Kabupaten Gowa Devisi sosialisasi dan SDM sebagai berikut:
“Yang melahirkan konflik bukan masyarakat tapi calon yang kompa-
kompai (menghasut) masyarakat untuk datang demo KPU, kompai-
kompai masyarakat dengan memberi uang 100 ribu untuk datang
membakar KPU, semua itu bukan murni kehendak masyarakat, tapi
masyarakat yang diperalat oleh calon karena ketidakpuasannya, karena
tidak terpilih54
.
Terjadinya tindakan memprotes hasil pilkada tersebut dibenarkan oleh
pihak KPUD lainnya melalui wawancara bersama Ibu Asmawati S.H selaku
Bagian Hukum KPUD Kabupaten Gowa:
“Kemarin itu Massa bertahan sampai jam 10 malam, sampai-sampai
kantor KPUD dijaga sama polisi, saya saja terpaksa pulang lewat
belakang diantar sama polisi. Jadi massanya tetap bertahan di depan
sampai jam 10 malam, sementara kami jam 8 malam sudah pulang lewat
belakang. Kalau saya pribadi dari kaca mata hukum jelas ini melanggar,
apalagi jika ada yang dirusak tapi ini bukan domain kami, kan ada pihak
kepolisian yang tangani itu.55
Berdasarkan wawancara di atas hal yang menarik untuk dilihat adalah
bahwa proses demonstrasi dengan menebar ketakutan terhadap orang lain jelas
merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai siri’. Tindakan
54 Wawancara dengan Bapak Arif Budiman S.Sos, Komisioner KPU Kabupaten
Gowa Divisi Sosialisasi dan Sumber Daya Manusia pada tanggal 7 Oktober 2016. 55
Wawancara dengan Ibu Asmawati S.H bagian Hukum KPUD kabupaten Gowa
Pada Tanggal 10 oktober 2016.
62
memprotes KPUD dinilai bertentangan dengan nilai-nilai siri’ karena tidak mau
menerima kekalahan, sekaligus menggunakan cara yang tidak sesuai prosedur
yang berlaku.
Bapak Muh. Jufri Tenri Bali Daeng Pali selaku pengamat budaya serta
sejarawan Balla Lompoa memandang adanya pemakanaan yang berbeda-beda
tentang konsep siri‟ sebagai berikut.
“Telah terjadi degradasi mengenai pemahaman nilai-nilai siri oleh
masyarakat secara umum tetapi yang jelas siri ’itu berbicara tentang
kebaikan bersama dan tidak melanggar hak-hak orang lain. Jadi bukan
mempertahankan siri’ jika merusak milik umum.56
Menurut apa yang disampaikan melalui wawancara di atas menegaskan
bahwa selain aktualisasi siri’ yang belum diterapkan di pilkada tahun 2015,
memang pada dasarnya bagi sebagian orang konsep siri’ tidak dipahami sesuai
makna yang sesungguhnya.
b. KPUD yang tidak netral.
Ketidaknetralan KPUD dalam penyelenggaraan pilkada disebabkan oleh
faktor jangkauan wilayah pilkada hanya se-propinsi atau kabupaten/kota. Faktor
kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara pilkada dengan pasangan calon
mempengaruhi tingkat kenetralan penyelenggara. Selain dari pada itu yang
sangat dominan kekuasaan yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh instansi
56
Wawancara dengan Bapak Muh Jufri Tenri Bali Daeng Pali, Sejarawan dan
Pengamat Budaya Ballak Lompoa Gowa pada tanggal 13 oktober 2016
63
manapun maupun pengadilan. Ketidaknetralan oleh KPUD sebagai penyelenggara
pilkada Kabupaten Gowa Tahun 2015, dikatakan terjadi sebagaimana yang
disampaikan oleh Bapak Syaiful S.HI Daeng Pasese selaku Wakil Sekretaris
Umum Partai Demokrat Kabupaten Gowa sebagai berikut:
“Kaca mata politik saya, terkhusus di Kabupaten Gowa sudah menjadi
budaya dan rahasia publik sebenarnya ketika anda mau menang
berkoalisilah dengan KPU, sehingga apapun yang kami lakukan ujung-
ujungnya mentok ji pada saat gugatan, sudah 3 kali kami bersengketa
mulai dari tahun 2005. Jadi dari kacamata saya, yang menang di pilkada
2015 ibarat kata berkoalisilah dengan KPU. Bayangkan saja siapa yang
bisa mengacak data pemilih, kan KPU. Demokrasi sudah terlaksana
tetapi cita-citanya jauh, secara prosedur ia tapi cita-cita belum.57
Apa yang disampaikan melalui wawancara tersebut menggambarkan
keberpihakan KPUD Kabupaten Gowa terhadap salah satu calon dalam pilkada
Gowa tahun 2015. Ketidaknetralan oleh pihak KPUD sebagai penyelenggara
Pilkada jelas merupakan perilaku melanggar nilai-nilai siri’ sekaligus nilai-nilai
demokrasi pada asas kejujuran dan keadilan.
c. money politics
Pelanggaran yang paling menonjol adalah pasangan calon memberikan
sejumlah uang kepada parpol untuk dapat dicalonkan sebagai pasangan calon
dalam pelaksanaan pilkada. Hal ini menimbulkan persoalan apabila bakal calon
tersebut tidak terpilih oleh parpol dan menuntut pengembalian uangnya namun
57 Wawancara dengan Bapak Syaiful S.HI Wakil Sekretaris Umum DPC partai
Demokrat Kabupaten Gowa sekaligus tim sukses nomor urut 1 pasangan Andi Maddusila
Usman dan Wahyu Permana Kaharuddin di Pilkada Gowa Tahun 2015 pada tanggal 14
oktober 2016.
64
sulit dibuktikan karena tidak adanya tanda bukti penerimaan. Pelaksanaan
pilkada mengindikasiskan terjadi politk uang (money Politics) dalam pengerahan
massa maupun memberi sejumlah barang atau sembako yang dapat dinilai
dengan uang kepada masyarakat. Terjadinya praktek money politics dibenarkan
oleh pihak KPUD Kabupaten Gowa melaui wawancara bersama Bapak Arif
Budiman S.Sos selaku Komisioner KPUD Kabupaten Gowa Devisi Sosialisasi
dan SDM sebagai berikut:
“Biasanya praktek bagi-bagi uang ataupun sembako berlangsung saat
masa-masa tenang kampanye yaitu sekitar satu minggu sebelum hari H
pencoblosan.58
Berdasarkan wawancara diatas penyelenggara pilkada membenarkan
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh para kandidat calon Bupati Gowa
berupa bagi-bagi uang beserta barang-barang lain. penulis melihat ada dua hal
yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai siri’. Pertama, dari kandidat yang
berbuat tidak jujur, dan yang kedua para konstituen yang rela menggadaikan hak
suaranya demi imbalan uang dan lain-lain sebagainya.
d. mencuri star kampanye,
banyak pasangan calon yang belum memasuki tahapan pelaksanaan
pilkada pada masa kampanye telah memasang iklan di media cetak dan
58
Wawancara dengan Bapak Arif Budiman S.sos, Komisioner KPU Kabupaten
Gowa Divisi Sosialisasi dan Sumber Daya Manusia pada tanggal 7 Oktober 2016.
65
elektronik, spanduk, poster, baliho, dan stiker-stiker yang dibagikan kepada
masyarakat, namun tidak mendapat tindakan tegas dari KPUD.
e. Dukungan PNS yang tidak netral
Penulis melihat dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang
memihak salah satu pasangan calon dalam kampanye dan banyak terjadi
memberi dukungan kepada daerah yang mengikuti kembali pilkada (incumbent)
di lain sisi memang ada upaya bagi incumbent untuk memanfaatkan para pejabat
dan staf pemda untuk membantu menggalang massa dan mencari dana untuk
kepentingan kampanye apabila tidak dipenuhi akan diancam dengan mutasi atau
pencopotan jabatan, seperti yang terjadi pada Pilkada Gowa tahun 2015 terjadi
praktek PNS yang tidak netral dalam berbagi sektor seperti yang disampaikan
oleh Bapak Syaiful S.HI Daeng Pasese selaku Wakil Sekretaris Umum Partai
Demokrat Kabupaten Gowa sebagai berikut:
“Saya menjastifikasi bahwa semua kepala dusun adalah timnya Adnan,
saya ada bukti dan faktanya. Semua kepala desa, semua camat, semua
kepala dinas, next ASN ( Aparatur Sipil Negara ) sampai panwaspun
seperti itu.59
Berdasarkan wawancara diatas penulis melihat bahwa keberpihakan PNS
dalam mendukung kandidat yang statusnya sebagai incumbent adalah bukan
59 Wawancara dengan Bapak Syaiful S.H.i Wakil Sekretaris Umum DPC partai
Demokrat Kabupaten Gowa sekaligus tim sukses nomor urut 1 pasangan Andi Maddusila
Usman dan Wahyu Permana Kaharuddin di Pilkada Gowa Tahun 2015 pada tanggal 14
oktober 2016.
66
semata-mata murni kemauan PNS tersebut, tetapi karena adanya semacam
tekanan yang diterimanya dari calon yang masih memiliki power secara
birokrasi, misalnya ancaman mutasi sehingga mau atau tidak terjadilah praktek
politik birokrasi di penyelenggaraan pilkada. Tidak menutup kemungkinan ada
juga keberpihakan PNS murni sebagai kehendak sendiri karena ada jabatan
strategis yang diinginkan jika kandidat yang didukung terpilih.
f. pelanggaran kampanye dalam pengerahan massa
pelanggaran kampanye yang paling menonjol adalah pelanggaran lalu
lintas, terutama pengguna sepeda motor yang digunakan tiga orang dan tanpa
helm, penggunaan kendaraan instansi pemerintah, pengerahan massa anak-
anak, dan melakukan kampanye hitam (black campaign) terhadap lawannya.
Hal ini sering didahului dengan laporan kepada pihak kepolisian bahwa
pasangan calon tertentu telah melakukan tindak pidana, sehingga tidak layak
untuk dicalonkan.
2. Bupati Sebagai Produk Pilkada
Penulis tidak hanya melihat aktualisasi siri’ pada saat berlangsungnya pilkada
tetapi penulis juga melihat aktualisasi nilai-nilai siri’ dari pemimpin yang dihasilkan
sebagai produk pilkada, oleh karena itu untuk mengawalinya penulis berpatokan pada
UU No.32 tahun 2004. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No.32 Tahun
2004 sama dengan apa yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, yang menjadi
perbedaan UU No. 32 Tahun 2004 lebih memperjelas dan memepertegas hal-hal yang
67
sudah diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan tujuan untuk menutupi
kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999, terutama
mengenai hubungan antar pemerintah pusat dan daerah, antara Provinsi dengan
Kabupaten/kota serta antara sesama daerah Kabupaten /Kota. Hubungan ini berkaitan
dengan masalah kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.60
Secara umum UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah
banyak membawa kemajuan bagi daerah dan juga bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat karena pemerintah daerah diberi wewenang yang luas mengelolah
kekayaan daerah untuk dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah, namun di sisi lain UU No. 22 Tahun 1999 dalam
pelaksanaannya juga telah menimbulkan dampak negatif antara lain tampilnya kepala
daerah sebagai raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang yang dimiliki.61
Pilkada Kabupaten Gowa yang diselenggarakan pada tanggal 9 Desember
tahun 2015 menjadikan pasangan nomor urut 5 yakni pasangan Adnan Purichta
Ikhsan Yasin Limpo dengan Abdul Rauf Mallagani karaeng Kio‟ sebagai Bupati
Gowa terpilih periode 2016-2021. Mendekati satu tahun pasca pelantikan sebagai
pasangan Bupati Gowa terpilih, penulis melihat adanya upaya oleh pasangan Bupati
dan Wakil Bupati Kabupaten Gowa untuk menjadi raja-raja kecil didaerah.
60 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 4. 61
Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung, hal.2-3.
68
Upaya Bupati Gowa untuk menjadi raja atau penguasa mutlak di kabupaten
Gowa adalah dengan disahkannya perda LAD (lembaga Adat Daerah). LAD yang di
Sahkan menjadi perda pada tanggal 15 Agustus tahun 2016 merupakan bentuk nyata
dari upaya Bupati Gowa menjadi raja dengan menggunakan kekuasaan yang
diberikan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dalam hal ini membuat Undang-
undang atau peraturan daerah (Perda), seperti yang penulis peroleh melaui wawancara
bersama bapak Muh. Taslim S.H M.H selaku kepala bagian hukum dan perundang-
undangan Kabupaten Gowa sebagai berikut:
“jadi kami dibagian hukum ini posisinya sebagai penghubung atau jembatan
antara pemerintah Kabupaten Gowa dengan DPRD terkait mengenai
pembuatan perda. Kadang kala raperda sebelum jadi perda di usulkan oleh
DPRD begitupun sebaliknya kadang dari PEMDA atau Bupati, kemudian
kami fasilitasi untuk dirapatkan apakah pantas atau tidak, disahkan menjadi
Perda. Terkhusus perda LAD ini memang murni usulan dari Bupati Gowa.62
Berdasarkan hasil wawancara diatas penulis memaknainya bahwa perda LAD
memang murni usulan Bupati Gowa sebagai upaya selain berkuasa secara birokrasi
pemerintahan, juga upaya menguasai kondisi sosial budaya di Kabupaten Gowa.
Lawan politik terkuat pasangan bupati Gowa terpilih saat pilkada tahun 2015 adalah
nomor urut 1 yakni Andi Maddusila Usman berpasangan dengan wahyu Permana
Kaharduddin. Andi Maddusila Usman yang notabene adalah keturunan raja Gowa
sekaligus diangkat sebagai raja Gowa yang yang ke 37 seperti yang disampaikan oleh
62
Wawancara dengan bapak Muh. Taslim S.H M.H selaku kepala bagian Hukum
Kabupaten Gowa pada tanggal 4 November 2016.
69
Bapak Andi Makmun Bau Tayang Karaeng Bontolangkasa selaku kakak ipar Andi
Maddusila Usman, suami dari kakak kandungnya yakni Andi Mirna sebagai berikut:
“Andi Maddusila Usman memang sudah diangkat menjadi raja Gowa yang
ke 37 dan diakui oleh semua keluarga kerajaan oleh karena itu semua urusan
kerajaan kami serahkan kepada beliau, lagian saya juga sudah tua, bicara
saja agak susah.63
Status raja Gowa yang dimiliki oleh Andi Maddusisla Usman dianggap
sebagai ancaman oleh Bupati Gowa terpilih. Lahirnya perda LAD secara tidak
langsung menghilangkan status Andi Maddusisla Usman sebagai Raja Gowa sesuai
dengan isi LAD Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 3 yang berbunyi ”Bupati
adalah Bupati Gowa sebagai ketua lembaga adat Daerah yang menjalankan
fungsi dan peran sombaya64” berdasarkan isi tersebut secara otomatis Andi
Maddusila Usman tidak lagi memiliki kekuasaan atau power di kerajaan Gowa.
Konflik sebagai dampak dari lahirnya perda LAD adalah pecahnya bentrok
antara satpol PP Gowa, selaku perpanjangan tangan Bupati Gowa Adnan Purichta
IYL yang baru-baru saja dilantik menjadi ketua lembaga adat daerah Gowa yang
menjalankan fungsi-fungsi sombaya dengan massa dari Andi Maddusila raja Gowa
terbaru. Konflik semakin memuncak dengan dibobolnya brangkas benda pusaka
63 Wawancara dengan Bapak Andi Makmun Bau Tayang Karaeng Bontolangkasa
selaku kakak ipar Andi Maddusila Usman, suami dari kakak kandungnya yakni Andi Mirna
pada Tanggal 4 November 2016 64 Lembaran daerah Kabupaten Gowa Tahun 2016 nomo 05 tentang Penataan
Lembaga Adat dan Budaya Daerah, Bagian Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat
daerah Kabupaten Gowa tahun 2016
70
Gowa di Balla Lompoa oleh tim yang dipimpin oleh wakil Bupati Gowa Abdul Rauf
Mallagani, karena kunci brangkas dipegang oleh Maddusila.65
Melihat kondisi ini penulis memaknai bahwa di Kabupaten Gowa unsur-unsur
Budaya dijadikan sebagai alat politik untuk memperoleh keuasaan yang mutlak demi
menjadi raja-raja kecil di daerah. Selain itu terkhusus mengenai aktualisasi siri’
penulis memandang bahwa konflik yang terjadi dengan lahirnya perda LAD
mengindikasikan bahwa budaya musyawarah duduk bersama, saling menghargai dan
menghormati yang terhimpun dalam makna siri’ tidak diaktulisasikan, justru
sebaliknya yang ditunjukkan adalah sifat-sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai
siri’ seperti sikap arogansi, egoisme, dan tindakan main hakim sendiri.
Perilaku yang melanggar nilai-nilai siri’ semakin dipertegas lagi berdasarkan
wawancara bersama Bapak Andi Makmun Bau Tayang Karaeng Bontolangkasa
selaku kakak ipar Andi Maddusila Usman suami dari kakak kandungnya yakni Andi
Mirna sebagai berikut:
“saya mengetahui LAD sesuai yang di sampaikan oleh media karena tidak
ada sama sekali pemberitahuan dari pihak pemerintah Kabupaten Gowa,
yang jelas saya pahami bahwa isi Perda LAD mengatakan Bupati
menjalankan fungsi-fungsi Sombaya namun yang saya tidak pahami fungsi-
fungsi sombaya yang seperti apa. Kalu dulu sombaya itu bisa di katakan king
of the king (raja di atas raja).66
65
Tribun Gowa.com 66 Wawancara dengan Bapak Andi Makmun Bau Tayang Karaeng Bontolangkasa
selaku kakak ipar Andi Maddusila Usman, suami dari kakak kandungnya yakni Andi Mirna
pada Tanggal 4 November 2016
71
Hasil wawancara diatas secara tidak langsung menjelaskan bahwa budaya
mapatabe’ perwujudan dari sifat saling menghargai tidak diaktualisasikan lagi. Pihak
kerajaan merupakan bagian terpenting dari Perda malah tidak diminta pendapatnya
padahal pihak PEMDA berdalih bahwa tujuan dari disahkannya perda LAD untuk
memelihara cagar budaya lokal di Kabupaten Gowa, Jika memang dengan niat sperti
itu seharusnya pihak Pemda dan Pihak kerajaan saling bekerjasama tanpa ada satu
pihak yang mendominasi.
72
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan judul Relevansi dan
Aktualisasi konsep Budaya Siri’, Terhadap Terciptanya Politik Lokal Yang
Demokratis ( Studi Kasus Pilkada Serentak Tahun 2015 Di Kabupaten Gowa ).
yang telah diuraikan, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Relevansi Budaya siri’ terhadap terciptanya politik lokal (pilkada)
yang demokratis di Kabupaten Gowa. Penulis menemukan ada dua pendapat yang
berbeda terkait mengenai tingkat kerelevansian antara budaya siri’ dengan konsep
demokrasi yaitu sebagai berikut:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa budaya siri’ kompatebel dengan
konsep demokrasi. Yang menjadi alasan dari pendapat ini sehingga mengatakan
bahwa nilai-nilai siri’ relevan dengan konsep demokrasi adalah karena secara
substansi nilai-nilai demokrasi sudah tumbuh dalam sukma nilai-nilai siri’. nilai- nilai
yang dimaksud adalah nilai-nilai kebaikan secara kolektif dalam konsep demokrasi
juga terdapat dalam nila-nilai siri‟ yaitu nilai humanis untuk kebaikan bersama.
Alasan kedua adalah prinsip-prisip demokrasi sesuai dengan isi UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dengan jelas memaparkan bahwa Wujud
pilkada yang demokratis di Indonesia adalah pemilihan umum harus dilaksanakan
73
secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pendapat ini menjadikan landasan bahwa asas keadilan dan kejujuran dalam ranah
pilkada lokal di Kabupaten Gowa bisa di topang dengan konsep nilai-nilai siri’. yaitu
berupa rasa malu berbuat tidak adil dan tidak jujur harus dimiliki oleh para elit atau
penyelenggara.
Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa budaya siri’ tidak kompatebel
dengan konsep demokrasi. Konsep demokrasi yang mengedepankan sikap
akomodatif, partnership, sportifitas yang artinya setiap penyelenggaraan pilkada
siapapun kandidatnya harus siap kalah dan siap menang, sementara di sisi lain
jika nilai-nilai siri’ semata-mata dimaknai sebagai usaha mempertahankan
kebenaran yang sifatnya subyektif maka konsep siri’ dalam pemaknaanya tidak
serta merta relevan dengan konsep demokrasi karena setiap orang memberikan
pemahaman yang berbeda-beda tentang makna siri’ tergantung dari situasi,
kebutuhan, dan kondisi indivudu tersebut. Bahkan konsep siri’ bisa dimaknai
mempertahankan pendapat subyektifnya secara total sekalipun nyawa harus jadi
taruhannya. Nilai-nilai yang berambisi dalam konsep siri’ bisa menjadi ancaman
terhadap tuntutan sikap sportifitas dalam konsep demokrasi.
2. Nilai-nilai budaya siri’ tidak diktualisasikan pada pilkada serentak Kabupaten
Gowa tahun 2015. Penulis membagi dua hal dalam melihat aktualisasi nilai-
nilai siri’ yaitu tidak teraktualisasikannya nilai-nilai siri’ saat berlangsungnya
74
pemilukada dengan indikator terjadi banyak pelanggaran saat pilkada tahun
2015 yaitu sebagai berikut.
. Tindakan-tindakan brutal berupa menebar ancaman dan ketakutan
kepada KPUD Kabupaten Gowa, berniat membakar KPUD, merusak fasilitas
umum, dan membuat kemacetan di jalan poros lintas Kabupaten-Kota
(Makassar-Gowa-Takalar). KPUD Kabupaten Gowa yang tidak netral, money
politics, mencuri star kampanye, dukungan PNS yang tidak netral, dan
pelanggaran kampanye dalam pengarahan massa kampanye.
Selanjutnya pemimpin yang dihasilkan sebagai produk pilkada adalah
pemimpin yang menjadikan budaya lokal sebagai alat politik untuk menjadi
raja-raja kecil didaerah demi berkuasa secara mutlak. Lahirnya Perda LAD
adalah upaya nyata yang melahirkan konflik sekaligus mengindikasikan
bahwa budaya musyawarah duduk bersama, saling menghargai dan
menghormati yang terhimpun dalam makna siri’ tidak diaktulisasikan.
B. SARAN
Berdasarkan pada kesimpulan hasil penelitian tentang relevansi dan
aktualisasi konsep budaya Siri’ terhadap terciptanya politik lokal yang demokratis
(studi kasus pilkada serentak tahun 2015 di Kabupaten Gowa ), maka penulis
mengemukakan saran sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah, para elit politik
dan pengurus partai politik di Kabupaten Gowa, yaitu:
1. Hasil penelitian diharapkan menjadi pertimbangan bagi pemerintah
Kabupaten Gowa terkhusus Dinas Parawisata dan Kebudayaan Kabupaten
75
Gowa dalam melihat potensi budaya nilai-nilai siri’ terhadap kehidupan sosial
masyarakat Gowa yang lebih beradab secara umum dan kehidupan berpolitik
yang demokratis secara khusus. Selanjutnya hasil penilitian juga diharapkan
dapat menjadi pertimbangan bagi Dinas pendidikan untuk menjadikan nilai-
nilai siri’ sebagai salah satu bahan pembelajaran di sekolah sebagai upaya
mempertahankan budaya lokal yang memiliki nilai-nilai positif.
2. Pemerintah, elit politik dan pengurus partai politik diharapkan dapat
menjunjung tinggi nilai-nilai siri’ sebagai penopang dalam upaya
mewujudkan politik lokal yang demokratis, salah satu cara adalah
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep siri’ pada setiap
penyelenggaraan pilkada pada masa yang akan datang. Pengenalan dan
pengamalan konsep siri’ bisa menjadi prioritas bagi para pengurus partai
politik dalam proses kaderisasi untuk mencetak kader-kader politik yang
memiliki siri’ atau harga diri berupa rasa malu apabila bertindak tidak jujur,
tidak adil, dan melanggar hak-hak kepentingan umum.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Agustinus, Leo. Pilkada dan dinamika politik lokal Yogyakarta: Pusataka Pelajar,
2009.
Albone, Abdul Azis. Dkk. Dinamika kehidupan Beragama Muslim pedesaan Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badang Litbang Agama dan Diklat Keagamaan
Depertemen Agama RI, 2003.
Asshegaf, Rifqi Zabadi. Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara (
studi tentang Peran Jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya Dan H.
Amir Hamzah Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008), Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta : sebuah skripsi, 2013.
Budiyono, Kabul, Teori dan Filsafat Ilmu Politik Bandung: Alfabeta, 2012.
David Marah dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik Bandung:
Nusamedia,2010.
Fahri Rezki Rahman, Aktualisasi nilai Budaya local dalam kepemimpinan
pemerintahan di kota palopo. Universitas Hasanuddin Makassar: Sebuah
Skripsi, 2013.
Giddens, Anthoni. Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyrakat Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hadinata, Bob Sugeng Dan Schuck, Christoph. Demokrasi di Indonesia Teori Dan Praktik
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Hamid, Abu Dkk. Siri Dan Pesse’ Harga Diri Manusia Bugis Makassar Mandar Toraja
Makassar: Pustaka Refleksi, 2009.
Haviland, William A. Antropologi Jakarta: Erlangga, 1982.
Hikmat, Mahi M. Komunikasi Politik Teori Dan Praktek Dalam Pilkada Langsung
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011.
Karim, Syahrir. Politik Desentralisasi Membangun Demokrasi Lokal, Makassar:
Alauddin University Press , 2012.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Yogyakrta: Djambatan,
1979.
77
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia,
1983.
Lauer, Robert H. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2001.
Lembaran daerah Kabupaten Gowa Tahun 2016 nomo 05 tentang Penataan Lembaga Adat
dan Budaya Daerah, Bagian Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat daerah
Kabupaten Gowa tahun 2016
Mariana, Dede. Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Bandung: Graha Ilmu 2007.
Matthew B Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI
Press, 1992.
Maulana, HB. Amiruddin, Demi Makassar, Makassar: Global Publishing, 2001.
Muhammad Yusuf, Andi. Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik di
Kabupaten Wajo” Universitas Hasanuddin Makassar: Sebuah Skripsi, 2012.
Moein MG, Andi. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar Sirik Na Pacce Ujung
Pandang: Mapress 1988.
Nasution, S. Metode Riset, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1998.
Noor,Isran. Politik Otonomi Daerah, Jakarta: Profajar Jurnalism, 2013.
Poerwanto, Hari. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada,
2004.
Sofianto, Yuwanto Arif. Kontribusi Budaya Politik Lokal Dalam Demokratisasi
(Kajian Budaya Politik dan Demokrasi Lokal Pascareformasi di Kecamatan
Banyumanik Kota Semarang)”.
Wahyuni, Perilaku Beragama, Studi Sosiologi Terhadap Asimilasi Agama dan
Budaya Di Sulawesi Selatan, Makassar: Alauddin University Press,2003.
Wismulyani, Endar. Jejak Islam di Nusantara, Cet 1, Klaten: Cempaka Putih, 2008.
Yustian Driyartana, Edwin, Kedudukan Partai Politik Lokal Di Nanggroe Aceh
Darussalam Ditinjau Dari Asas Demokrasi. Universitas Sebelas Maret
Surakarta: Sebuah Skripsi.
78
Zuhro, R. Siti Dkk, Demokrasi Lokal: Perubahan Dan Kesenambungan Nilai-Nilai
Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan
Bali, Yogyakarta: Ombak, 2009.
http://www.muslimedianews.com/2015/05/tradisi-menurut-al-quran-as-
sunnah.html#ixzz4D08lzILV
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-164-468991295-tesiscontent.pdf
Muh}ammad ibn Isma>’i>l Abu> ‘Abdillah al-Bukha>ri> al-Ju’fi>, S}ah}ih} al-Bukha>ri>, Juz III,
Cet. I; Da>r T{u>qi al-Naja>h, 1422 H.
Muslim ibn al-H{ajja>j al-H{asan al-Qusyai>riy al-Naisa>bu>riy, S{ah}ih} Muslim, Juz III,
Beirut: Da>r Ih}ya> al-Turas\ al-‘Arabi> t.th.
79
LAMPIRAN
DAFTAR WAWANCARA
NO
NAMA
PROFESI
WAKTU
1
Arif Budiman S.sos Komisioner KPUD Kab. Gowa
Divisi Sosalisasi dan Sumber
Daya Manusia.
7 Oktober 2016
2
Muh. Jufri Tenri Bali
Daeng Pali
Sejarawan dan Pengamat
Budaya Lokal Balla’ Lompoa
Gowa
13 Oktober 2016
3
Syaiful S.Hi Wakil Sekretaris Umum DPC
Partai Demokrat Kabupaten
Gowa
14 Oktober 2016
4
Lukman S.E Kepala Sub Bagian Teknis
Pemilu dan HUPMAS KPUD
Kabupaten Gowa
11 Oktober 2016
5
Yusran Iring M.M Kepala Seksi Pengembangan
Budaya Daerah Dinas
Parawisata Dan Kebudayaan
Kabupaten Gowa
11 Oktober 2016
6
Asmawati S.H Bagian Hukum KPUD
Kabupaten Gowa
10 Oktober 2016
7
Muh. Taslim S.H, M.H Kepala Bagian Hukum
Kabupaten Gowa
4 November 2016
8 Andi Makmun Bau Tayang
Karaeng Bontolangkasa
Pemangku Adat Sekaligus
Keluarga Kerajaan Gowa
4 November 2016
Wawancara dengan Kepala Sub Bagian Teknis Pemilu dan Hupmas KPUD
Kabupaten Gowa
Wawancara dengan Komisioner KPU Kabupaten Gowa Divisi Sosialisasi dan
Sumber Daya Manusia.
Wawancara dengan Kepala Seksi Pengembangan Budaya Daerah Dinas
Parawisata Dan Kebudayaan Kabupaten Gowa.
Wawancara dengan Pengamat Budaya Serta Sejarawan Balla Lompoa
Kabupaten Gowa
Wawancara dengan Wakil Sekretaris Umum Partai Demokrat Kabupaten
Gowa
Wawancara dengan Keluarga Kerajaan Gowa.
Wawancara dengan kepala bagian Hukum dan Perundang-Undangan
Kabupaten Gowa.
RIWAYAT HIDUP
Ardiansyah, lahir di Dusun Japing Desa Sunggumanai
Kecamatan Pattalassang Kabupaten Gowa pada tanggal 29
Agustus 1993. Anak pertama dari pasangan Ayahanda bernama
Bohari daeng Manye‟ dan Ibunda bernama Saharia daeng
Memang, dari tiga orang bersaudara.
Pendidikan yang pernah ditempuh adalah SD Inpres Japing Kab.
Gowa (2006), MTS/SMP Pesantren Guppi Samata Kab. Gowa (2009 ), SMA Negeri
02 Sungguminasa Kab. Gowa (2012). Dan pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai
mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Jurusan Ilmu Politik
pada Fakultas Ushuluddin Filsafat Dan Politik kemudian selesai pada tahun 2016.
Penulis dapat menyelesaikan pendidikannya atas rahmat Allah Swt dan
dukungan serta doa dari kedua orang tua dengan memilih judul “Relevansi dan
Aktualisasi Konsep Budaya Siri’ Terhadap Terciptanya Politik Lokal yang
Demokratis pada PILKADA serentak tahun 2015 di Kabupaten Gowa”.