REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan...
Transcript of REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan...
i
REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN
MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
PROSIDING
SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN
9 OKTOBER 2014
Editor:
Ir. A. Thomas, MP.
Lis Nurrani, S.Hut.
Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Penelitian Kehutanan Manado
ii
ISBN 978-602-96800-8-9
PROSIDING
SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN
“REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN
MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA”
Manado, 2014
Terbit Tahun 2015
Foto Sampul oleh:
Ady Suryawan
Arif Irawan
Hendra S. Mokodompit
Harwiyaddin Kama
Tata letak dan desain sampul:
Hendra S. Mokodompit dan Lulus Turbianti
Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manado
Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado - Sulawesi Utara
Telp. 085100666683
Email: [email protected]; [email protected]
Website: www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id
Dicetak oleh:
IPB Press
iii
KATA PENGANTAR
Seminar dengan tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” diselenggarakan bertepatan dengan
ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara. Adapun tujuan dari
dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi tukar pendapat serta
informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil penelitian dalam rangka
restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga melibatkan para pembuat
kebijakan, ilmuwan, praktisi dan stakeholders lainnya dalam rangka
menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan Indonesia.
Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan hutan
Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja sehingga
menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun
kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada umumnya
berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang tidak
produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan melakukan
kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan produksi
yang memiliki ekosistem penting.
Prosiding ini memuat 10 judul materi yang dibahas dan 2 materi penunjang
serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada penyaji
materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang
telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar.
Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Mei 2015
Kepala BPK Manado
TTD
Ir. Muh. Abidin, M.Si.
iv
TIM PENYUNTING
Penanggung Jawab : Ir. Muh. Abidin, M.Si.
Redaktur : Rinto Hidayat, S.Hut.
Editor : Ir. A. Thomas, M.P.
Lis Nurrani, S.Hut.
Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.
Sekretariat : Lulus Turbianti, S.Hut.
Hendra Susanto Mokodompit
Rinna Mamonto
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................... v
Laporan Penyelenggaraan ............................................................ viii
Sambutan Kepala Badan Litbang ................................................. x
Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara ............. xiv
Rumusan ................................................................................... xvii
Restorasi Ekosistem Hutan
Martina A. Langi ................................................................................. 01-08
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya Bagi
Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Lis Nurrani dan Supratman Tabba ......................................................... 09-26
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza
Untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi
Retno Prayudyaningsih ........................................................................ 27-42
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan
DAS Lintas Kabupaten
Kristian Mairi, Iwanuddin, dan Isdomo Yuliantoro .................................. 43-62
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah (RLKT) Berbasis Perilaku Petani
(Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA Tondano)
Hengki Djemie Walangitan ................................................................... 63-82
Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer)
dari Anakan Hasil Permudaan Alam
Arif Irawan dan Ady Suryawan ............................................................. 83-92
Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan
Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat
Ady Suryawan dan Arif Irawan ............................................................. 93-106
vi
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng)
pada Tempat Sapih Politub dan Polibag
Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan ..................................................... 107-112
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon
Nurlita Indah Wahyuni ........................................................................ 113-124
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon
Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho .................................................. 125-132
PRESENTASI NARASUMBER TAMU
Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung dan Keanekaragaman Hayati
Ria Saryanthi ...................................................................................... 133-144
Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel
Syaiful Habib ...................................................................................... 145-164
vii
LAPORAN PENYELENGGARAAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO
PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
MANADO 9 OKTOBER 2014
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang terhormat:
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
3. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian
Kehutanan
4. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan
5. Para Akademisi
6. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan
7. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
8. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini kita
semua dapat menyelenggarakan seminar “Rehabilitasi dan Restorasi
Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.
Seminar kita ini mengambil tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” menjadi semakin istimewa karena
diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun emas Provinsi Sulawesi
Utara. Adapun tujuan dari dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi
tukar pendapat serta informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil
penelitian dalam rangka restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga
melibatkan para pembuat kebijakan, ilmuwan, praktisi, dan stakeholders
lainnya dalam rangka menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan
Indonesia. Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan
hutan Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja
sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan
maupun kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada
umumnya berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang
tidak produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan
viii
melakukan kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan
produksi yang memiliki ekosistem penting.
Kementerian Kehutanan menerbitkan Permenhut No: SK.159/Menhut-
II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan Hutan Produksi yang
kemudian dirubah dengan Permenhut Nomor: P.61/Menhut-II/2008 tanggal
28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan
dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah
upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non
hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga
tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Melalui seminar ini
Bapak/Ibu akan mendengarkan paparan oleh para penyaji yang kompeten
dibidang rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan.
Hadirin dan peserta seminar yang berbahagia,
Adanya kerjasama yang baik antara panitia, peserta dan semua pendukung
acara seminar sehingga kegiatan ini dapat diselenggarakan pada hari Kamis,
9 Oktober 2014 bertempat di Hotel Sintesa Peninsula. Seminar ini dihadiri
oleh 145 orang peserta, termasuk 8 orang pemakalah dari 6 instansi.
Tamu undangan yang terhormat,
Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang
Kehutanan yang berkenan membuka seminar ini, Kepada Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara dan Kepala UPT lingkup Kementerian
Kehutanan yang telah menghadiri seminar ini. Terimakasih juga kami
ucapkan kepada Universitas Sam Ratulangi, Burung Indonesia, TBI dan PT.
Antam atas pertisipasi dan kerjasama sehingga seminar ini dapat teraksana
dengan lebih baik. Tidak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada
seluruh pemakalah dan tamu undangan yang telah mendukung
berlangsungnya kegiatan ini dari awal hingga akhir dan kepada semua
panitia penyelenggara seminar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado yang
telah menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga
pada berlangsungnya acara pada hari ini. Akhir kata semoga hasil dari
seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun
Sulawesi Utara ini diharapkan mampu membuka dan meningkatkan
wawasan kita bersama akan pentingnya rehabilitasi dan restorasi kawasan
hutan, serta meningkatkan kerjasama berbagai sektor dalam mewujudkan
pengelolaan hutan lestari.
ix
Demikian laporan penyelenggaraan seminar ini, semoga Allah SWT
senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua.
Billahit Taufiq wal Hidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado TTD Ir. Muh. Abidin, M.Si NIP 19600611 198802 1 001
x
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN
MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
MANADO, 9 OKTOBER 2014
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang saya hormati:
1. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian
Kehutanan
3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan
4. Para Akademisi
5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan
6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat
hadir untuk mengikuti acara seminar “Rehabilitasi dan Restorasi
Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan selamat hari jadi ke 50 Provinsi
Sulawesi Utara, 23 September 2014, teriring doa serta harapan semoga
Sulawesi Utara ke depan mengalami pertumbuhan ekonomi pesat yang
berkeadilan dan bisa mensejahterakan masyarakatnya.
Hadirin yang saya hormati,
1. Tema seminar ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mendukung
rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan yang diarahkan sebagai
kontribusi bagi pembangunan Provinsi Sulawesi Utara. Upaya ini harus
direalisasikan berdasarkan pada kondisi terkini. Apabila telah kita ketahui
bahwa luas kawasan hutan di Sulut ini berkisar 814.579 ha, dan
berdasarkan data terbaru, luas lahan kritis di Provinsi Sulawesi Utara
265.540 ha. Ternyata sebagian besar lahan kritis ( 251.724 ha) termasuk
di dalam kawasan, dan hanya 13.816 ha di luar kawasan. Maka makin
jelaslah bahwa dalam konteks rehabilitasi dan restorasi kita harus tetap
bekerja keras.
xi
2. Pada forum seminar ini saya juga ingin menekankan bahwa upaya
rehabilitasi dan restorasi tidak cukup hanya dengan diskusi dan
menghasilkan formulasi rumusan saja, tetapi harus ditindaklanjuti secara
sistematis untuk implementasinya. Era pemerintahan sekarang ini adalah
era kerja keras dan berorintasi pada pelaksanaan. Orientasi
pembangunan sebagai agenda prioritas Presiden dan Wakil Presiden
terpilih yang tertuang dalam NAWA CITA, yaitu menghadirkan negara
dalam kehidupan masyarakat kemandirian, mensejahterakan, dan
melakukan revolusi mental. Oleh karena itu format kegiatan rehabilitasi
dan restorasi yang menjadi pokok bahasan hari ini harus dirancang agar
bisa memberikan benefit yang sebesar-besarnya untuk rakyat melalui
peningkatan produktivitas. Upaya rehabilitasi dan restorasi tanpa
dibarengi dengan upaya peningkatan produksi tidak akan pernah berhasil
untuk diaplikasikan, dan justru akan selalu menjadi beban penerintah. Di
sisi lain bila upaya rehabilitasi dan restorasi harus dilaksanakan ditempat
yang terdegradasi, maka kegiatan ini harus dipandang sebagai subsidi
untuk peningkatan produksi.
Para peserta yang berbahagia,
1. Pada kesempatan ini saya ingin mengemukakan fokus kegiatan penelitian
kehutanan yang sejalan dengan cita-cita pemerintahan baru nanti yang
menjadi mandat Badan Litbang Kehutanan beserta jajaran Unit Pelaksana
Teknis di bawahnya yaitu; 1) Energi terbarukan 2) Kedaulatan pangan, 3)
Konservasi dan rehabilitasi, 4) Perubahan iklim, dan 5) KPH.
2. Di sektor energi terbarukan Litbang kehutanan telah menghasilkan IPTEK
yang dikemas dalam bentuk mikrohidro yaitu hasil listrik dari air kepada
masyarakat. Selain itu telah dihasilkan pula biodisel dari tanaman
nyamplung (Callophyllum inophyllum) dan akhir-akhir ini telah dihasilkan
Carbonsphere nano porous untuk baterai lithium sekunder yang
digunakan pada mobil listrik.
3. Di bidang kedaulatan pangan, melalui pendekatan bentang alam yang
terintegrasi (integrated landscape) telah dilakukan riset agroforestry.
Namun riset ini perlu terus ditingkatkan agar diperoleh formula atau
teknologi yang memberikan benefit untuk peningkatan produktivitas
pertanian dan pangan, memperbaiki hutan dan memberikan keuntungan
bagi petani.
4. Selain agroforestry, upaya penangkaran satwa juga dapat dipandang
sebagai kegiatan yang sangat menjanjikan untuk memperkuat
xii
kemandirian pangan, misal penangkaran rusa. Selain rusa, penangkaran
satwa yang prospektif dan relevan untuk SULUT adalah penangkaran
anoa. Untuk memberikan masukan IPTEK kepada masyarakat, maka
dipandang perlu membangun breeding centre of anoa di Balai Penelitian
Kehutanan Manado.
5. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah isu perubahan iklim.
Sektor kehutanan mempunyai peran penting dalam pengurangan laju
degradasi dan deforestasi lahan melalui kegiatan rehabilitasi dan
restorasi. Disamping itu, salah satu upaya yang telah dan sedang
dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah melakukan moratorium
ijin usaha pengelolaan hutan di hutan primer, dan menata kembali
kawasan hutan yang open akses. Dengan Skema REDD+ yang telah
dilakukan ini diharapkan dapat mengurangi laju emisi sekitar 26 %
dengan kegiatan BAU (Bussines As Usual). Dalam hal ini sektor kehutan
diharapkan dapat menyumbang pengurangan emisi sebesar 14 %. Di
Provinsi Sulawesi Utara dengan kegiatan rehabilitasi dan reklamasi lahan
yang sangat intensif, diharapkan dapat berperan dalam laju penurunan
emisi gas rumah kaca.
Saudara peserta seminar yang kami hormati,
1. Disamping perlunya prioritas kegitan di sektor kehutanan tersebut, maka
orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difokuskan untuk
memfungsikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai satuan
pengelolaan terkecil. Tujuan KPH adalah tertatanya kawasan hutan
produksi/lindung/konservasi dalam unit-unit kelestarian usaha yang
rasional dan menguntungkan. Jadi, seluruh KPH yang sudah terbentuk
harus didorong oleh semua pihak, menuju pada tujuan yang sama, agar
dapat berfungsi penuh dalam berproses mencapai tujuannya.
2. Bagian yang penting adalah mensejahterakan masyarakat sekitar hutan.
Semua program rehabilitasi hutan dalam kawasan hutan negara dan
diatas lahan rakyat sudah saatnya menggunakan bibit tanaman yang
cepat tumbuh dan bernilai ekonomi tinggi, lebih baik lagi
mengembangkan bibit Tanaman Unggulan Lokal (TUL). Pemerintah
daerah bersama dengan pihak swasta sudah mulai membangun konsep
Industri Kehutanan dan Pemasaran hasil Hutan Terpadu dengan
melibatkan aktif masyarakat.
xiii
3. Dari uraian saya dapat disimpulkan bahwa, kegiatan rehabilitasi dan
restorasi di kawasan hutan di Provinsi Sulut harus menjadi kegiatan pra
kondisi yang memungkinkan upaya lain dapat berjalan dengan baik, dan
memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan prakondisi yang berupa
pemulihan kawasan hutan, dan dilakukan pada kawasan KPH, saya yakin
sektor kehutanan di provinsi ini akan dapat memberikan manfaat yang
sebesar besarnya bagi masyarakat.
Peserta yang berbahagia,
Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, seminar ini
secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya,
semoga seminar ini berlangsung dengan baik dan lancar.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kepala Badan Litbang Kehutanan TTD Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc
xiv
SAMBUTAN
KEPALA DINAS KEHUTANAN SULAWESI UTARA
PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN
MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
MANADO 9 OKTOBER 2014
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang terhormat:
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup
Kementerian Kehutanan
3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan
4. Para Akademisi
5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan
6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional
7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua
Syallom,
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat
bersama-sama hadir dalam seminar “Rehabilitasi dan Restorasi
Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.
Hadirin yang berbahagia,
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan
selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, tanah nyiur melambai yang indah
kepada semua peserta seminar, pemakalah, dan semua hadirin yang saya
hormati.
Peserta seminar yang saya hormati,
Saya sangat mengapresiasi seminar ini yang diselenggarakan dalam
menyongsong ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara tercinta ini. Seperti
kita ketahui bersama, Provinsi Sulawesi Utara telah banyak melakukan
pembangunan wilayah yang tentunya meninggalkan efek negatif terhadap
kawasan hutan baik berupa penurunan luas kawasan hutan, kerusakan
ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati yang terkandung di
xv
dalamnya. Penyelenggaraan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan
dilakukan secara terus-menerus dan menjadi salah satu fokus kegiatan
kehutanan untuk menjaga keseimbangan ekologi, khususnya dalam hal
penyedia sumber air, pencegah banjir, tanah longsor, dan sedimentasi.
Rehabilitasi dan restorasi hutan adalah kebutuhan mendesak yang harus
dilakukan untuk memperbaiki kawasan hutan, serta mengembalikan fungsi
hutan sebagai penyangga wilayah beserta ekosistemnya.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
Adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus menjaga kelestarian alam
ini, salah satunya melalui pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan
lestari yang baik pada saat ini juga telah melibatkan masyarakat sebagai
stakeholder, bukan hanya sebagai obyek semata. Pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan telah banyak dilakukan di Sulawesi
Utara dan telah mulai menampakkan hasil yang menggembirakan.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian kawasan hutan,
meningkatnya luasan kawasan hutan yang telah direhabilitasi adalah tolak
ukur dari awal keberhasilan pengelolaan hutan yang telah kita lakukan. Kita
tentu tidak dapat berpuas diri dengan capaian tersebut, sebaliknya kita
harus terus berjuang untuk meningkatkan pengelolaan kawasan hutan demi
tercapainya kesejahteraan bersama. Pada masa kini, pengelolaan hutan
tidak cukup dilakukan secara tradisional tetapi juga harus dilakukan
penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Para pemakalah yang saya hormati,
Seminar ini merupakan upaya awal dalam pengelolaan kawasan hutan
berbasis IPTEK. Saya berharap, hasil dari seminar ini tidak berhenti pada
tataran diskusi dan perumusan saja, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam
pengelolaan hutan yang sesungguhnya dan dapat dilakukan transfer
informasi berbasis IPTEK tersebut kepada masyarakat umum, khususnya di
Provinsi Sulawesi Utara.
Peserta seminar yang berbahagia,
Ucapan selamat saya ucapkan kepada seluruh panitia pelaksana seminar
dari Balai Penelitian Kehutanan Manado, yang telah mempersiapkan seminar
ini dari awal hingga terselenggara dengan baik pada hari ini. Semoga
seminar ini dapat meningkatkan wawasan dan kerjasama antar lembaga
xvi
dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan
masyarakat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara TTD Ir. Herry Rotinsulu NIP. 19591018 198903 1 007
xvii
RUMUSAN
Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,
penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang
berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka
Seminar yang bertema “REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN
HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA” yang
diselenggarakan pada 9 Oktober 2014 di Manado, merumuskan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kegiatan rehabilitasi dan restorasi lahan atau kawasan hutan tidak dapat
lepas dari 3 aspek utama yaitu aspek ekologis, aspek ekonomi, dan aspek
sosial budaya.
Aspek ekologis menjadi aspek utama yang perlu diperhatikan. Bagaimana
kegiatan pengelolaan termasuk juga kegiatan rehabilitasi dan restorasi
harus memperhatikan faktor lingkungan, habitat dll.
Dalam kegiatan pembangunan kehutanan selain memperhatikan aspek
ekologis juga harus bisa memberikan efek ekonomi terutama bagi
masyarakat sekitar kawasan. Selama ini kegiatan pembangunan
kehutanan dianggap kurang memberikan dampak yang positif bagi
masyarakat.
Aspek sosial budaya: aspek sosial budaya adalah aspek yang seringkali
dilupakan. Penentuan kebijakan harus melibatkan partisipasi masyarakat.
2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tidak perlu membuat institusi baru
tetapi yang diperlukan adalah membangun kesepahaman dari institusi
yang ada. Dengan kata lain pengelolaan harus dilakukan secara terpadu
antara berbagai pihak terkait.
3. Kegiatan rehabilitasi lahan pada areal hutan bekas tambang yang dikelola
oleh perusahaan besar pada umumnya sudah cukup baik dan telah
melakukan tahapan-tahapan rehabilitasi yang sesuai dengan ketentuan.
Yang masih menjadi masalah adalah lahan tambang yang dikelola oleh
perusaan-perusahaan kecil, hal ini mungkin disebabkan oleh biaya yang
cukup besar untuk melakukan rehabilitasi seperti yang disyaratkan.
4. Dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi perlu mengutamakan
pemanfaatan spesies lokal yang mampu beradaptasi dengan lahan
marjinal. Kegiatan rehabilitasi tidak hanya cukup membuat lahan kembali
tumbuh vegetasi tetapi juga harus mampu mengembalikan fungsi dari
lahan atau kawasan tersebut.
xviii
5. Kegiatan produksi pada lahan hutan harus memikirkan fauna yang ada di
dalamnya. Kegiatan pra kondisi menjadi hal yang sangat penting,
sehingga ke depannya kegiatan rehabilitasi dan restorasi mampu
mengembalikan kondisi fauna ke kondisi sebelumnya.
6. Kearifan lokal masyarakat yang positif bisa dimanfaatkan untuk
mendorong kegiatan rehabilitasi dan restorasi kawasan kehutanan.
Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya
pembangunan kehutanan secara berkesinambungan,hanya dapat
dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama
berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya.
7. Eksplorasi (penebangan/pertambangan) di kawasan hutan perlu
meninggalkan/menyisakan spot-spot lahan yang tidak terganggu agar
proses rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan di kemudian hari bisa
berjalan lebih cepat.
8. 4 faktor yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan rehabilitasi dan
restorasi adalah:
a. Kondisi aktual lahan
b. Status hutan
c. Regulasi pemerintah
d. Tata ruang dan perencanaan wilayah
9. Fokus badan litbang kehutanan ke depan adalah menyelenggarakan
penelitian kehutanan yang mendorong pemanfaatan energi baru,
kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, dan perubahan iklim,
sosial ekonomi dan kebijakan. Litbang kehutanan harus punya
sumbangsih terhadap pemecahan masalah tersebut.
10. Dalam hal mendorong pemanfaatan energi baru yang terpulihkan, Badan
Litbang melalui kegiatan penelitiannya telah memperoleh informasi 4
jenis kayu penghasil biomas dengan nilai kalor tinggi yaitu: akor,
kaliandra, gamal dan lamtoro gung. Keempat jenis kayu tersebut dapat
ditanam dilahan kritis di Sulawesi Utara, sebagai tanaman yang sekaligus
mengurangi luasan lahan kritis dan membantu mengurangi krisis energi
yang ada pada saat ini.
Dirumuskan di : Manado
Pada Tanggal : 9 Oktober 2014
xix
Tim Perumus:
1. Dr. Ir. Johan Rombang, M.Sc.
2. Dr. Nur Sumedi, S.Pi, MP
3. Dr. Fabiola R. Saroinsong, S.P., MAL
4. Ir. Syarif Hidayat, M.Sc.
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
1
Restorasi Ekosistem Hutan1
Martina A. Langi2
I. Latar Belakang dan Rasionalisasi
Berbagai kegiatan “pembangunan” yang memicu terjadinya operasi
pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran
hutan, invasi dan extensifikasi lahan pertanian, ekstensifikasi fungsi produksi
hutan, perkebunan industri, perladangan berpindah, transmigrasi, operasi
penambangan padatan-minyak-gas ternyata berjalan paralel dengan
terjadinya degradasi atau kemerosotan fungsi hutan, terutama di wilayah
hutan tropis. Explorasi sumber-sumber alam “menemukan” fakta bahwa
hutan mengandung pula potensi industri lain seperti nikel, emas, tembaga,
batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu saja bersentuhan
dengan kepentingan publik.
Dalam hal ini tak dapat tidak, pengelolaan harus dilakukan secara
terpadu serta “taat ekologis”. Dengan kata lain, perencanaan serta
implementasinya harus komprehensif, dapat dimonitor, dan bertanggung
jawab. Akan tetapi, dalam prakteknya keterpaduan antara berbagai pihak
yang terkait belum juga mencapai bentuk yang optimal dalam aspek
manajerial, apalagi taat azas ekologis. Antar berbagai unit kerja dalam
sektor yang sama pun (sebagai contoh: Kehutanan) masih rentan konflik,
terlebih lagi antar sektor. Inilah salah satu tantangan kita yang nyata.
Sementara itu, degradasi hutan yang mengancam: (a) produktivitas
sandang-pangan-papan; (b) keamanan hidup bermasyarakat dari bencana
lingkungan; serta (c) kenyamanan atas berbagai jasa lingkungan terus
terjadi dalam laju yang memprihatinkan. Beberapa indikator teknis terhadap
permasalahan di atas adalah a.l.
berkurangnya komposisi komunitas hutan secara signifikan;
terjadinya kerusakan/eliminasi fungsi ekosistem;
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi Manado,
email :[email protected]
2 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
bertambahnya limpasan permukaan serta laju erosi tanah yang
mengakibatkan pemiskinan hara tanah, sedimentasi, dan kontaminasi;
berkurangnya biodiversitas spesies lokal;
menurunnya kualitas habitat satwa liar;
menurunnya daya tangkap air hujan;
berubahnya bentangan alam (natural landscape).
Selanjutnya, kondisi lahan yang juga sering ditemui setelah kegiatan
penambangan dalam hutan adalah bukaan hutan yang luas serta
menyebabkan hilangnya fungsi ekologis tajuk dan perakaran yang sangat
penting. Jika dibiarkan, lahan cenderung menjadi marginal sehingga sulit
ditanami. Dampak lainnya adalah berkurangnya biodiversitas (dengan
rusaknya habitat). Tanah akan kehilangan topsoil (dan sub-soil) yang relatif
lebih subur, dan konsekuensinya produktivitas tanah akan semakin
bergantung pada inputs dari luar (pupuk sintetis). Dampak serius lainnya
akibat berbagai kegiatan ekstraksi adalah labilnya tanah, sehingga
memperbesar peluang terjadinya erosi dan longsor, sekaligus memperkecil
peluang survival dari permudaan hutan.
Membuka mata terhadap berbagai dampak destruktif di atas, upaya
pemulihan fungsi-fungsi hutan sudah harus menjadi prioritas. Pada
prinsipnya laju pemulihan harus sedapatnya mengimbangi laju degradasi
fungsi hutan agar kemorosatan yang tak terkendali tidak perlu teralami.
Beberapa bentuk dan metode pemulihan (rehabilitasi, remediasi) ekosistem
hutan telah dikenal dan diimplementasikan dalam skala yang berbeda-beda.
Secara mendasar semua dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan
yakni yang bersifat Reklamasi serta Revegetasi. Reklamasi melibatkan
kegiatan civil engineering serta berhubungan dengan pemulihan kondisi
tanah hingga cocok untuk ditanami. Adapun revegetasi menginisiasi
tahapan-tahapan ekologis hutan seperti mengakomodasi percepatan suksesi
komunitas hutan; dan termasuk di dalamnya a.l.:
restorasi (penanaman yang menjamin terbentuknya struktur dan fungsi
hutan mendekati kondisi awal)
reboisasi/reforestasi (penghutanan kembali dalam kawasan hutan
negara)
aforestasi (penanaman di luar kawasan hutan negara menggunakan
tanaman hutan)
penghijauan (dilakukan di luar kawasan hutan negara, menggunakan
tanaman umum menurut kebutuhan masyarakat).
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
3
H G F E D C B A
Restorasi dilaksanakan jika kerusakan telah sampai pada taraf struktur
dan fungsi suatu ekosistem, umumnya terjadi akibat operasi penambangan,
peristiwa kebakaran, perambahan, pemukiman, tsunami, gempa, dan
sebagainya. Taruhan atas kegagalan restorasi sungguh besar. Berbagai
FUNGSI hutan yang bernilai vital seperti habitat flora dan fauna, sumber
genetik, kestabilan tanah-air-iklim, gudang keanekaragaman hayati,
topangan dasar bagi kelangsungan sumber daya alam lainnya, jaminan
terhadap berbagai siklus kimia penting untuk kehidupan, dan penarik-
simpan Karbon yang akselerasi emisinya sekarang ini tengah mengancam
peradaban dunia.
II. Implementasi Restorasi Hutan
Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Terdapat
beberapa pendekatan seperti penanaman pengayaan (enrichment planting),
penerapan teknik silvikultur yang teruji di tapak yang dituju (site-specific),
pemilihan jenis yang tepat secara ekologis (species-site matching),
akseptabilitas sosial-ekonomi, hingga jejaring profesional yang kesemuanya
akan membangun pendekatan yang tersistem, makro, dan berjangka
panjang. Setidaknya empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum
upaya restorasi dilakukan:
1) Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa;
2) Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau
konservasi);
3) Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.);
4) Tata ruang dan perencanaan wilayah.
Selanjutnya, kegiatan revegetasi dapat mengikuti prosedur berikut.
A. seleksi jenis lokal
E. teknik penanaman
B. produksi bibit F. pemeliharaan
C. persiapan lokasi G. monitor dan evaluasi
D. pengkondisian tanah
H. pelatihan
4 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pertimbangan jenis tanaman. Jenis-jenis pohon/vegetasi lokal sangat
direkomendasikan karena kelompok ini telah teruji adaptasinya terhadap
kondisi tanah serta iklim lokal (Lamb et al. 2005). Demikian pula
ketahanannya terhadap hama dan penyakit setempat. Kompilasi manfaat
lainnya berdasarkan penelitian di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa
penggunaan spesies lokal dapat mengurangi peluang meledaknya populasi
hama dan gulma; sekaligus meminimasi kontaminasi identitas genetik.
Sekalipun demikian, kendala yang sering ditemui mengenai jenis-jenis lokal
adalah terbatasnya informasi ekologis dan teknik silvikultur jenis-jenis
tersebut (dibandingkan dengan jenis-jenis industri komersil yang beredar);
disamping itu bibitnya pun biasanya tidak tersedia di pasar benih.
Sebagai pegangan, dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal,
beberapa hal berikut penting dipertimbangkan:
relatif cepat tumbuh
dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara
laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi
dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati)
mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan
low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan
pertumbuhan mudah dikelola
sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi)
Berikut ini jenis-jenis pohon yang telah teruji dapat ditanam pada
lahan marjinal bekas tambang dengan pH tanah rendah (2,8 – 5,5);
kekompakan tanah tinggi; status hara sangat rendah, CEC rendah, dsb.
(Setiadi 2012).
1. Acacia auriculiformis 19. Eugenia spp. 2. Acacia crassicarpa 20. Eusideroxcylon swagerii 3. Acacia mangium 21. Ficus spp. 4. Agathis spp. 22. Ficus benyamina 5. Aleurites mollucana 23. Fragea fragrans 6. Alstonia scholaris 24. Glyricidia sepium 7. Anthocephalus cadamba 25. Gmelina arborea 8. Antidesma bunius 26. Hevea braziliensis 9. Arenga pinata 27. Hibiscus tiliacues 10. Artocarpus sp. 28. Leucaena leucocephala 11. Cananga odorata 29. Macaranga hypoeleuca 12. Casia turangensis 30. Mallotus spp. 13. Casuarina equisetifolia 31. Melalueca leucadendron 14. Cratoxylon spp. 32. Melastoma spp.
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
5
15. Duabanga mollucana 33. Michelia champaka 16. Dyera constulata 34. Nauclea spp. 17. Enterolobium sp. 35. Octomeles sumatrana 18. Erytrhina spp. 36. Paraserianthes falcataria 37. Parkia roxburgii 42. Tectona grandis 38. Peronema canesten 43. Trema orientalis 39. Sena siamea 44. Tricospermum burretii 40. Shorea spp. 45. Vitex pubecens 41. Syzigium spp.
Pertimbangan media tumbuh. Pelaku restorasi mutlak mengenali serta
mengelola sifat-sifat tanah sebagai media tumbuh.
Sifat fisik tanah menyangkut tekstur (ukuran partikel),
kesarangan/porositas, kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar,
kekompakan tanah yang dapat menghambat pertumbuhan akar,
kelengasan (kandungan air), suhu permukaan, dst.
Sifat kimia tanah yang penting dikuasai adalah ketersediaan hara,
reaksi tanah (status pH), kapasitas tukar kation (CEC), mineral
beracun, dsb.
Sifat biologi tanah mencakup tutupan vegetasi, kandungan karbon,
populasi serta aktivitas mikroba tanah.
Perbaikan tanah (soil amendments) selalu dibutuhkan untuk
memperbesar peluang keberhasilan revegetasi dalam berbagai bentuknya.
Tindakan yang terkait di dalamnya a.l. aplikasi tanah organik (topsoil),
pupuk, kompos, lime, humic acid, bio-enzim, bio-remedy, mikoriza, tera
buster/brik untuk memecah tanah. Soil amendments menjadi sangat
strategis dalam setiap upaya restorasi hutan karena secara langsung dapat
memperbaiki:
pengembangan jaringan akar
ketersediaan mineral yang tadinya terikat
kapasitas pertukaran kation
kapasitas penyerapan air
pemanfaatan hara
populasi dan aktivitas mikroba tanah
ketersediaan hara makro.
Selanjutnya “manipulasi” lingkungan dapat dilakukan untuk menjamin
kegiatan mikroba tanah dalam menyediakan hara (makanan) secara
semakin mandiri. Tanah kompak yang didominasi oleh komposisi tanah liat
6 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
tentu akan membuat akar sulit berkembang; dalam hal ini air mudah
tergenang sehingga akar mudah layu atau membusuk. Cara yang sering
digunakan dalam upaya restorasi adalah teknologi riping atau
penggemburan tanah menggunakan alat mekanik agar tanah menjadi
remah, diikuti dengan pembuatan drainase untuk menghilangkan genangan
air. Penggemburan tanah dapat pula dilakukan secara kimiawi, yakni
dengan menggunakan humid acid (contoh “terrabric”), namun hal ini harus
dilakukan secara seksama mempertimbangkan aspek dosis serta aspek
finansial. Kondisi fisik lainnya yang sering ditemui adalah suhu permukaan
tanah, terutama pada lahan bekas tailing dan surpentin. Kondisi ini sering
mengancam akar tanaman untuk berkembang. Jika ini terjadi maka
penambahan bahan organik sebagai soil conditioner menjadi salah satu opsi
strategis.
Selanjutnya karakteristik kimia tanah menjadi isu penting terutama jika
lahan tersebut merupakan kawasan bekas tambang. Aspek-aspek penting
yang menjadi perhatian adalah keasaman tanah ( kadar pH), CEC, EC, dan
ketersediaan hara. Ketika keasaman tanah tinggi, banyak unsur penting
berada dalam keadaan terikat sebagai senyawa (tidak “siap pakai” oleh
perakaran). Penambahan zat kapur (phoelime dll.) dapat dilakukan jika
dana memungkinkan, cara lainnya yang lebih terjangkau adalah penggunaan
terra buster. Selain dapat menghemat biaya, penggunaannya lebih fleksibel
dan langsung ke sasaran misalnya dapat langsung diaplikasikan di daun atau
bagian tanaman lainnya. Pendekatan lainnya adalah dengan menanam
jenis-jenis pionir yang tahan asam seperti johar dan bungur.
CEC/KTK. Standar nilai CEC yang ideal adalah 16. Sehingga jika bekas
tambang akan direstorasi maka salah satu usaha yang dilakukan adalah
dengan memperbaiki KTK nya. Peningkatan nilai KTK melalui penambahan
bahan organis, menambah mineral tanah, dan menggunakan geolite. Jika
semua usaha di atas tidak memungkinkan, maka dapat mengggunakan terra
buster yang dapat menyebabkan tanah dengan CEC sangat rendah pun
dapat mengikat pupuk yang diberikan (tidak loss).
Guna menumbuhkan tanaman dalam kegiatan restorasi keberadaan
unsur hara esensial sangat penting dan keberadaaannya harus terjamin,
seimbang, dan kontinu. Unsur hara esensial tidak bisa digantikan dengan
unsur yang lain, a.l. N yang terdapat dalam urea (NO3= dan NH4-), unsur P
dalam TSP dalam bentuk PO4+ dan HPO4-, K dalam KCl (K+, Cl=), Ca+,
Mg+, Ni+,Cu+, Z+, dan S. Keberadaan unsur-unsur tersebut harus kontinu,
untuk itu keberadaan mikroba menjadi vital. Saat ini terdapat mikroba yang
Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi
7
diproduksi bukan di alam yaitu “terra remed” yang merupakan bahan
organik mengandung mikroba dan stimulannya.
Kriteria keberhasilan. Keberhasilan upaya restorasi hutan dapat dilihat
melalui berbagai indikator seperti tingginya laju seedling survival (di atas 80
%); pertumbuhan normal dan tidak terinterupsi; jaringan perakaran tumbuh
meluas; penutupan tajuk relatif cepat, berstratifikasi, dan beragam;
tingginya produksi serta dekomposisi serasah; permudaan terjadi secara
alami; terbentuknya habitat yang memadai untuk wildlife; lahan stabil,
aman, serta minim erosi [lihat skema berikut].
KEMAMPUAN
BERADAPTASI
KEBERLANJUTAN
STRUKTUR
TEGAKAN
KESTABILAN
LAHAN
• keberhasilan
pertumbuhan
semai > 80 %
• pertumbuhan
umum: normal
dan berlanjut
• pengembangan
akar: ekstensif
• biodiversitas (index
shannon, species
richness)
• kolonisasi alami
(kelimpahan)
• konservasi hara
(dekomposisi
serasah)
• wildlife status
(species richness)
• kerapatan
tanaman: 800-
1000/ha
• struktur tajuk:
3-5 strata
• tutupan tajuk:
60-70 %)
• komposisi jenis:
pioner 40 %,
primer 50 %,
wildlife 10 %
• kelerengan:
<300
• status erosi: di
bawah standar
minimal
setempat
• kestabilan
lahan:
terkendali
Aspek legal pelaksanaan. Hal ini merupakan langkah yang tak kalah
penting, legalitas kawasan yang akan direstorasi harus dipastikan, demikian
pula aksesibilitas. Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan
berdasarkan Permenhut Nomor P.60/Menhut-II/2009 masih mengacu pada
aspek penataan lahan, aspek erosi dan sedimentasi, serta aspek revegetasi
dan penanaman pohon. Sebelumnya dikenal pula Peraturan Menteri
Kehutanan P.03/Menhut-V/2004 tentang formulasi kebijakan dan
kelembagaan yang meliputi pembatasan penggunaan sumberdaya lahan
melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek
penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan
kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta
menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat
8 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Selanjutnya
kebijakan lainnya yang terkait dengan restorasi hutan a.l.
PP 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
PP 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.
PerMenHut (revisi) no. 18 tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan.
PerMenHut (revisi) no 4 tahun 2011 tentang Pedoman Reklamasi.
PerMenhut no 60 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan
Reklamasi Hutan.
PerMenESDM no 18 tahun 2008 tentang Rencana Reklamasi dan
Rencana Penutupan Tambang
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Dan Perhutanan Sosial Nomor : P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis
DAFTAR PUSTAKA Kartawinata, K., S. Riswan, A.N. Ginting, dan T. Puspitojati. 2001. An Overview of
Post-Extraction Secondary Forest in Indonesia. Center for Social Economic Research and Development, Forest Research and Development Agency (Forda), Ministry of Forestry Indonesia.
Lamb, D., P.D. Erskine, and J.A. Parrotta. 2005. Restoration of degraded tropical forest landscapes. Science 310:1628-1632.
Sayer, J., U. Chokkaligam, dan J. Poulsen. 2011. The restoration of forest biodiversity and ecological values. Springer, Berlin.
Setiadi, Y. 2012. Rehabilitat [presentation material]. Fakultas Kehutanan IPB,
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
9
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya
Bagi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe
Lolobata1
Lis Nurrani dan Supratman Tabba2
ABSTRAK
Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan kawasan dengan
potensi keragaman hayati yang tinggi baik jenis-jenis pohon komersial maupun
fauna yang eksotik dan endemik serta keberadaan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kontribusinya terhadap
pendapatan masyarakat. Kajian ini juga mengidentifikasi kebijakan-kebijakan
dalam pemanfaatan HHBK. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu
pengamatan lapangan, wawancara dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan
terhadap tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN, Kepala Desa,
Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara purposive random
sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa HHBK yang berkontribusi secara
signifikan terhadap pendapatan masyarakat yaitu penyadapan getah Agathis
dammara dan budidaya Myristica fragrans. Jenis HHBK yang intensif
dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain sagu (Metroxylon sagoo), daun woka
(Livistona rotundifolia), talas (Xanthosoma sp.), rotan (Calamus sp.), bambu
(Bambusa spp.), pandan (Pandanus sp.) dan tumbuhan obat. Kebijakan terkait
pemanfaatan HHBK antara lain TNAL mengizinkan masyarakat memanfaatkan
getah A. dammara karena dianggap tidak merusak lingkungan, melaksanakan
sosialisasi mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari. Selain ini melaksanakan
kursus pencegahan kebakaran dan membentuk masyarakat peduli api
mengingat habitat A. dammara sangat rentan terhadap kebakaran serta usulan
zona tradisional terhadap sebagian wilayah yang terdapat potensi dan
pemanfaatan HHBK.
Kata kunci: HHBK, kebijakan, Taman Nasional Aketajawe Lolobata
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan
Mapanget Kota Manado; Telp (0431) 3666683 email : [email protected]
10 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
I. PENDAHULUAN
Kekayaan sumber daya alam hayati Taman Nasional Aketajawe
Lolobata (TNAL) tidak hanya terbatas pada potensi jenis-jenis pohon
kemersial dan keragaman faunanya saja. Kawasan ini juga menawarkan
wisata budaya dan pengetahuan tradisional, dimana TNAL merupakan
tempat bagi komunitas tradisional Suku Togutil dalam menjalani kehidupan.
Suku Togutil adalah komunitas masyarakat berkarakteristik unik namun
memiliki eksotisme budaya dan kearifan lokal dalam mempertahankan
kelestarian TNAL (Nurrani dan Tabba, 2011). Selain itu pada kawasan ini
juga terdapat potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat beragam
jenisnya. Umumnya sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar
TNAL memanfaatkan beragam jenis HHBK untuk berbagai keperluan.
Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNAL masih sangat
tinggi khususnya pada pemanfaatan hasil hutan kayu, perburuan satwa liar
dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (Nurrani dan Tabba, 2013).
Keberadaan TNAL sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang
ada disekitarnya, sebab kawasan ini menjadi peyangga kehidupan. Sebagian
besar masyarakat sangat mengantungkan hidupnya pada kekayaan hayati
TNAL berupa HHBK, umumnya sumber daya tersebut dikonsumsi sendiri
namun pada jenis-jenis tertentu ada yang dijual.
Potensi besar yang terkandung pada kawasan dan belum teridentifikasi
dengan baik menyebabkan pengelolaan HHBK cenderung masih terabaikan,
disisi lain karena banyaknya jenis sehingga sulit menentukan prioritas
pengelolaan. Hal ini penting dilakukan untuk kelestarian kawasan konservasi
mengingat pengalihan energi manusia dari pola merusak hutan ke
pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan dan hambatan pada pemulihan
hutan (Prayitno, 2009). Penelitian ini dilakukan pada kawasan TNAL dengan
tujuan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang banyak dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kontribusinya terhadap pendapatan.
Selain itu kajian ini untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dalam
pemanfaatan HHBK.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada TNAL yang keselurahan arealnya
merupakan wilayah kawasan Hutan Aketajawe di Provinsi Maluku Utara.
Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada Hutan Akejawi di Desa
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
11
Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur yang
merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III
Subaim. Dua Sampel lainnya yaitu Hutan Bukit Durian di Desa Gosale
Kecamatan Oba Utara dan Hutan Tayawi di Dusun Tayawi Desa Koli
Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Weda. Penelitian ini dimulai
dengan kegiatan survei pada bulan April serta pelaksanaan pada Bulan Juni
dan Oktober 2013.
Gambar 1. Lokasi penelitian
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan TNAL,
peta indikatif usulan zonasi. Alat yang digunakan antara lain, GPS, tally
sheet, kamera, plaging tab, kuesioner, papan data, baterai A2, baterai A3,
spidol permanen, dan alat tulis menulis.
C. Rancangan Penelitian
Jenis-jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu
kombinasi teknik observasi (pengamatan lapangan), wawancara secara
mendalam (indepth interview), dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan
terhadap beberapa tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN,
Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara
purposive random sampling. Data primer yang diperlukan antara lain Potensi
12 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
HHBK yang terdiri dari jenis dan manfaat. Serta mengidentifikasi kebijakan
terkait HHBK dari institusi pemangku kawasan maupun pemerintah desa.
Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data sekunder yang
mendukung data primer dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya.
Dokumentasi data dilakukan dengan tally sheet untuk mengarahkan proses
kerja di lapangan serta memudahkan pengendalian data.
D. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana data potensi
dan nilai jual ditabulasi serta interaksi masyarakat dianalisis secara
deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemanfaatan HHBK Oleh Masyarakat
1. Pengolahan Sagu
Sagu (Metroxylon sagoo) merupakan potensi HHBK yang menjadi
primadona masyarakat Maluku sejak dahulu kala. Olahan makanan yang
umum dikonsumsi oleh masyarakat dari bahan dasar sagu antara lain
popeda, roti sagu (sagu lempeng) dan berbagai jenis penganan tradisional
Maluku Utara. Sagu menjadi bahan makanan pokok masyarakat Maluku
Utara terutama bagi mereka yang bermukim di wilayah pedesaan. Menurut
masyarakat bahwa meski mengkonsumsi banyak nasi namun hal tersebut
tidak akan mengeyangkan seperti halnya ketika mengkonsumsi makanan
dari olahan sagu. Jika tidak mengkonsumsi sagu masyarakat merasa tidak
memiliki energi cukup untuk beraktivitas dan terasa lebih cepat lelah serta
lemas ketika sedang bekerja. Dengan kata lain energi yang dihasilkan dari
mengkonsumsi sagu lebih tinggi dibandingkan dengan bahan karbohidrat
lainnya.
Selain dikonsumsi sendiri sagu dan produk olahannya juga dijual oleh
masyarakat, 1 kg sagu tumang dijual dengan harga Rp. 24.000 dan untuk 5
buah sagu lempeng dijual seharga Rp. 7.500 – Rp. 10.000. Sagu umum
ditemukan pada wilayah Maluku Utara khususnya pada Pulau Halmahera,
sagu merupakan jenis penghuni habitat hutan rawa. Pada kawasan TNAL
jenis ini biasanya ditemukan di sepanjang aliran sungai atau wilayah yang
memiliki kandungan air berlebih. Sagu merupakan salah satu jenis HHBK
yang intensif dipanen pada wilayah Tayawi, sebab sagu adalah makanan
pokok bagi Suku Togutil dan masyarakat asli Pulau Halmahera lainnya.
Umumnya jenis ini tumbuh berumpun dengan stratum yang jelas dari
anakan hingga tingkat yang lebih besar dan telah siap panen. Sagu
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
13
termasuk jenis famili palem yang mudah untuk dibudidayakan dan
dikembangbiakkan. Menurut Miftahorrachman et al. (1996) terdapat
sedikitnya lima jenis sagu yang diketahui tumbuh di Kepulauan Maluku yaitu
tuni, ihur, makanora, duri rotan dan molat.
Gambar 2. Sagu dan makanan tradisional olahannya
Sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan makanan tradisional
suku asli Pulau Halmahera. Tanaman khas asal Maluku ini potensial untuk
dikembangkan bukan hanya sebagai komoditi nasional tapi juga
internasional. Menurut Rostiwati et al. (2008) sebaran terluas hutan alam
sagu di Indonesia berada di Provinsi Papua dan Maluku, yang merupakan
pusat keragaman tertinggi di dunia. Selain sebagai bahan pangan
tradisional, sagu juga berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa,
dimana teknologi pengolahan bioethanol sagu telah banyak dan berhasil
dikembangkan oleh berbagai pihak.
2. Pemanfaatan Daun Woka
Woka adalah sebutan lokal masyarakat Maluku Utara untuk jenis Palem
Serdang (Livistona rotundifolia Mart). Woka merupakan salah satu jenis
palem dari famili Arecaceae dan masuk ke dalam ordo Arecales. Beberapa
sinonim nama daerah Woka antara lain dalam bahasa Jawa dikenal dengan
sebutan Serdang dan pada komunitas masyarakat Ambon disebut Salbu.
Secara morfologi woka dewasa nampak kokoh dengan batang lurus dan
besar, berwarna coklat, serta memiliki pelepah yang jatuh seperti pada
pelepah kelapa. Tinggi total bisa mencapai hingga 25-30 m, bentuk daun
membulat dengan pelepah daun bagian tepi berduri kasar dan berada pada
sisi-sisi pelepah tangkai daun. Woka umum ditemukan pada Kawasan TNAL,
jenis ini hidup diberbagai habitat dan tipe ekosistem dari hutan dataran
tinggi hingga hutan dataran rendah.
14 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Daun woka adalah HHBK yang sangat intensif dimanfaatkan dan lazim
digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara. Daun
ini banyak dipergunakan untuk membungkus makanan, bahan dasar atap
rumah ataupun untuk keperluan lainnya. Untuk membungkus makanan
biasanya menggunakan daun muda karena pada kondisi tersebut daun
masih sangat elastis dan anti lengket. Selain itu, daun woka juga dapat
dibuat sebagai media tempat makan atau piring tradisional yang
dipergunakan oleh petani pada saat berkebun ataupun pada saat masuk
hutan.
Berdasarkan informasi dari Masyarakat Akejawi bahwa daun woka
dipergunakan sebagai media tempat makan ketika pelaksanaan ritual adat
budaya masyarakat di Maluku Utara. Selain itu daun woka yang telah
dibentuk seperti mangkuk tersebut juga digunakan sebagai wadah untuk
menyajikan berbagai hidangan makanan saat prosesi ritual adat
berlangsung. Kondisi yang sama juga dapat dilihat ketika pelaksanaan
hajatan besar seperti syukuran dan pesta resepsi pernikahan. Sedangkan
pada masyarakat Desa Gosale daun woka biasanya dipergunakan sebagai
media untuk mengangkut potongan daging satwa hasil buruan dari dalam
hutan.
Gambar 3. Morfologi woka dan pemanfaatannya
Bagi Suku Togutil Tayawi daun woka memiliki peran vital dalam
kehidupan sehari-hari, daun ini diperuntukkan sebagai atap rumah
tradisional. Daun ini juga digunakan sebagai bahan dasar dinding, media
untuk memasak, media makan, media minum dan sebagai media untuk
mengangkut hasil buruan. Selain itu daun ini juga dapat digunakan sebagai
payung tradisional untuk berlindung dari hujan ketika berada didalam hutan.
Daun Woka merupakan HHBK multiguna yang umum digunakan oleh
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
15
masyarakat Sulawesi Utara sebagai pembungkus makanan khususnya
jajanan nasi kuning dan kue dodol (Tabba dan Nurrani, 2012).
3. Talas
Talas termasuk kategori tumbuhan bawah yang umum ditemukan pada
Desa-desa di sekitar zona peyangga TNAL. Tumbuhan ini bahkan dapat
ditemukan tumbuh di sekitar pemukiman Masyarakat Akejawi dan
Masyarakat Suku Togutil Tayawi. Terdapat dua jenis talas yang umum
ditemukan pada wilayah TNAL yaitu Colocasia esculenta dan Xanthosoma
sp. Talas digunakan sebagai bahan makanan tradisional pengganti
karbohidrat seperti halnya sagu oleh masyarakat Pulau Halmahera. Biasa
talas direbus dan disajikan sebagai makanan saat sarapan dan cemilan di
sore hari, sedangkan bagi masyarakat Suku Togutil talas termasuk salah
satu makanan pokok. Olahan lain dari talas yang menjadi kegemaran serta
kebiasaan masyarakat yaitu dibuat kolak dan kripik.
Batang Talas Colocasia esculenta dimanfaatkan oleh masyarakat Suku
Duri di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan sebagai sayur, namun
pengolahannya memiliki teknik khusus sebab jika salah mengolah maka
sayur tersebut akan terasa gatal. Colocasia esculenta memiliki potensi besar
untuk digunakan sebagai bahan pangan alternatif, seperti di Wamena Papua
digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan mie (Yulifianti dan
Ginting, 2013).
4. Tumbuhan Obat Tradisional
Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 81 jenis tumbuhan
hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan
tradisional. Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, 20 jenis pada
Desa Akejawi dan 46 jenis pada Dusun Tayawi (Nurrani et al., 2013).
Umumnya tumbuhan tersebut digunakan untuk pengobatan alergi dan luka
ringan (29 jenis); penyakit dalam dan peningkatan stamina tubuh (47 jenis);
penyakit kronis (12 jenis); serta penyakit akibat kekuatan mistik (3 jenis).
5. Buah-Buahan dan Sayuran
Kawasan TNAL juga menjadi sumber penghasil buah-buahan dan
sayuran bagi masyarakat. Sebagai tumbuhan penghasil protein nabati,
sayuran digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun
tidak jarang beberapa jenis sayuran seperti rebung bambu (Bambusa sp.),
kangkung (Ipomoea reptans), daun kasbi (Mannihot utilisima), daun batatas
(Ipomoea batatas) dan daun paku (Pterophyta sp.) diperjualbelikan oleh
16 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
masyarakat. Beberapa pasar tempat memperjualbelikan sayuran tersebut
yaitu pasar tradisional binagara di sekitar pemukiman Desa Akejawi dan
pasar woda di sekitar pemukiman Masyarakat Tayawi.
Tumbuhan paku merupakan herba yang banyak tumbuh dalam
kawasan hutan dan sangat sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
menu sayuran. Saat ini kebutuhan akan sayuran dari tumbuhan paku hanya
dapat diperoleh dari habitat alaminya di hutan. Tingginya minat masyarakat
terhadap sayuran tumbuhan paku sangat memungkinkan untuk segera
mengkaji mengenai prilaku jenis ini di alam,. Sehingga nantinya tumbuhan
paku dapat didomestikasi dan dikembangkan melalui teknik budidaya pada
lahan-lahan masyarakat agar dalam pemanfaatannya tidak perlu lagi
mengambil dari hutan (Oka dan Suhartono, 2014).
Masyarakat juga seringkali memanfaatkan buah-buahan seperti langsat
(Lansium domesticum), rambutan (Nephelum lappaceum) dan matoa
(Pometia pinnata) yang tumbuh pada daerah peyangga dan Kawasan
Tayawi. Selain untuk dikonsumsi sendiri dalam skala rumah tangga,
umumnya buah-buahan juga diperdagangkan pada pasar tradisional.
Gambar 4. Tumbuhan paku dan menu olahannya
6. Jenis HHBK Potensial Lainnya
Beberapa jenis HHBK yang sering kali dimanfaatkan oleh masyarakat
yaitu rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa spp.) dan pandan (Pandanus
sp.). Rotan banyak dicari oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian untuk
digunakan sebagai tali pengikat rumah dan perabot rumah tangga lainnya.
Selain digunakan sebagai tali masyarakat juga biasa memanfaatkan batang
rotan sebagai alat pemikul, karena jenis ini termasuk kategori keras namun
cukup lentur serta dibuat keranjang pengangkut (bika). Bambu
dimanfaatkan untuk membuat kerajinan alat rumah tangga seperti penapis
beras (susiru), ayakan untuk proses pembuatan sagu dan alat pengikat atap
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
17
rumbia. Sedangkan daun pandan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
baku kerajinan, peyadan dan pembungkus makanan serta dianyam untuk
keperluan atap rumah.
B. Nilai Ekonomi HHBK Bagi Masyarakat
1. Penyadapan Getah Kopal
TNAL merupakan wilayah di Provinsi Maluku Utara yang menjadi habitat
alamiah dan penyebaran Agathis dammara (Lambert) L.Rich, potensi
tersebut berada pada wilayah Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi.
Menurut Nurrani et al. (2014) Potensi A. dammara pada hutan bukit durian
sangat besar dengan kerapatan pohon berdiameter ≥ 20 cm dbh mencapai
± 86 pohon/ha di Hutan Bukit Durian, sedangkan kerapatan pohon di Hutan
Tayawi mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP pohon A. dammara
di Hutan Bukit Durian sebesar 56,47 %, kondisi ini didukung dengan
dominasi jenis sebesar 33,96 %, Frekuensi relatif 9,52 % dan Kerapatan
relatif 12,99 %. Sedangkan untuk hutan tayawi Dominasi A. dammara
sebesar 24,28 %, frekuensi relatif 12,50 %, kerapatan relatif 12,23 % dan
nilai INP sebesar 49,01 %.
Tingginya potensi A. dammara dimanfaatkan oleh dua komunitas
masyarakat berbeda sebagai sumber mata pencaharian yaitu Masyarakat
Desa Gosale di wilayah Hutan Bukit Durian dan masyarakat tradisional Suku
Togutil di wilayah Hutan Tayawi. Penyadapan dan pemanfaatan getah kopal
telah dilakukan dari sejak dahulu kala bahkan teknologi yang saat ini
masyarakat lakukan merupakan warisan dari para leluhur mereka. Kopal
merupakan sebutan untuk produk akhir dari getah yang disadap dari batang
tegakan A. dammara. Atas dasar itulah sebagian Masyarakat Gosale
mengklaim bahwa A. dammara yang berada di Hutan Bukit Durian
merupakan tempat leluhur mereka mencari nafkah dan saat ini secara
otomatis menjadi warisan terun temurun terhadap mereka.
Penyadapan getah damar memberikan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penjualan getah damar,
masyarakat Gosale memperoleh keuntungan antara Rp.18.900.000-
Rp.37.800.000 per tahun. Artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan
kontribusi sebesar 57,80 % - 86,22 % terhadap pendapatan total
masyarakat. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil hasil penjualan getah
damar berkontribusi sebesar 11,77 % - 30,17 % dari pendapatan total
masyarakat. Artinya bahwa masyarakat memperoleh keuntungan rata-rata
18 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Rp. 7.200.000-Rp. 43.200.000 pertahun dari hasil penjualan getah kopal
(Tabba dan Nurrani, 2014).
Gambar 5. Getah kopal hasil sadapan
2. Budidaya Pala (Myristica fragrans)
Pala adalah salah satu komoditi pertanian unggulan yang
dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan-lahan perkebunan di wilayah
Desa Gosale. Jenis ini menjadi primadona dan sumber pendapatan
penopang kebutuhan ekonomi masyarakat Gosale karena penguasaan
terhadap teknologi pembudidayaannya. Pala adalah tumbuhan asli
Kepulauan Maluku (Pulau Banda) yang tumbuh dengan baik di daerah tropis
pada ketinggian di bawah 700 m dpl, beriklim lembab dan panas, curah
hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata
(Nurdjannah, 2007). Pala termasuk salah satu jenis potensial yang
dikembangkan oleh sekitar 88,89 % masyarakat Desa Woda dengan sistem
penggunaan lahan kebun campuran (Nurrani et al., 2012). Dimana wilayah
tersebut merupakan daerah peyangga kawasan TNAL dan masyarakatnya
adalah suku asli Pulau Halmahera.
Gambar 6. Buah dan fuli pala
Saat ini harga pala berdasarkan satuan harga pasar di Kota Ternate
mencapai harga Rp 140.000/kg untuk buah pala kering sedangkan fulinya
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
19
mencapai kisaran harga Rp. 170.000-180.000/kg. Lahan masyarakat dengan
luas 1 ha mampu menghasilkan buah pala sebanyak 150-200 kg dengan
rata-rata umur pala antara 30-35 tahun. Sedangkan dalam 100 kg buah pala
kering akan menghasilkan 25-30 kg fuli, dengan demikian pemanfaatan
HHBK pala memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan masyarakat.
Tabel 1. Harga Jual Pala
No Produk Pala Berat (kg) Harga Pasar (Rp)
1 Buah Mentah 1 30.000
2 Buah Kering 1 140.000
3 Fuli 1 170.000-180.000
Sumber : Analisis Data Primer 2014
C. Potensi dan Prospek Pengembangan Gaharu
Gaharu merupakan HHBK yang telah dikenal secara luas dikalangan
masyarakat Indonesia bahkan komoditi ini menjadi salah satu produk
berkelas dunia. Potensi tegakan penghasil Gaharu pada TNAL banyak
ditemukan pada wilayah Hutan Akejawi, adapun jenis yang teridentifikasi
yaitu Aquilaria filarial Oken. Menurut Sumarna (2002) terdapat sekitar 16
jenis pohon yang dapat menghasilkan gaharu di Indonesia, enam jenis
tumbuh di wilayah Maluku dan tiga jenis diantaranya yang berkualitas baik
yaitu Aquilaria malaccensis, Aquilaria filarial dan Aetoxylon sympethallum
Berdasarkan analisis potensi diketahui bahwa pada tingkatan pohon,
tegakan penghasil gaharu telah langka bahkan sudah sulit ditemukan.
Namun potensi tersebut sangat dominan pada tingkatan tiang, pancang, dan
semai. Meski pada tingkatan tiang telah dapat memproduksi gaharu, namun
menurut masyarakat hasil produksinya tidak maksimal. Secara umum
karakteristik pemanfaatan komoditas HHBK oleh masyarakat di Desa Akejawi
dapat dilihat pada Tabel 2.
Ketika gaharu masih intensif dipanen biasanya masyarakat masuk
hutan satu bulan sekali untuk mencari gaharu kemudian memasarkannya
pada pengepul di Kota Ternate. Berdasarkan informasi masyarakat hingga
kini masih ada kelompok masyarakat tertentu yang masuk hutan untuk
mencari gaharu. Kelompok tersebut berasal dari luar Desa Akejawi dan akan
masuk hutan apabila ada pesanan khusus, sehingga intensitas masyarakat
pemanen gaharu tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Lokasi pencaharian
gaharu pun sangat jauh kedalam kawasan, karena untuk memperoleh hasil
sesuai target pesanan harus memasuki kawasan primer selama berhari-hari.
20 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Tingginya potensi tegakan penghasil gaharu pada kawasan TNAL
sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan jenis baik
dari sisi teknologi maupun budidaya. Pengembangan tersebut diperuntukkan
sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermukim
disekitar kawasan nantinya. Selain itu mendorong masyarakat untuk
melakukan pembudidayaan gaharu pada lahan-lahan tidur dan areal tidak
produktif di wilayah-wilayah penyangga kawasan. Kegiatan ini diharapkan
akan menjadi media pengalihan bagi masyarakat agar tidak melakukan
aktivitas negatif ke dalam kawasan TNAL.
Peningkatan teknologi berkaitan dengan okulasi gaharu yang lebih
modern untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal perlu
disosialisasikan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat metode
pemanenan akhir gaharu dengan cara ditebang. Sosialisasi tersebut
dipandang penting sebab jika potensi gaharu tersebut nantinya telah siap
panen maka masyarakat telah memperoleh cara-cara pemanenan yang lebih
konservatif. Melalui metode tersebut produksi gaharu diharapkan lebih
meningkat dengan hasil yang lebih maksimal, selain itu kuantitas dan
kualitas gaharu yang dihasilkan akan lebih banyak serta sortimen-sortimen
pemanenan yang akan terbuang dapat diminimalkan.
Bagi masyarakat Akejawi tumbuhan berkhasiat obat adalah sisi lain dari
manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan. Masyarakat
melakukan pengambilan tumbuhan pada saat sakit saja dan sesuai dengan
kebutuhan hingga sembuh. Metode pengambilannya pun sangat selektif
yaitu dengan cara dipetik, dikikis dan dipotong sesuai bagian tumbuhan
yang berkhasiat sebagai obat.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
21
Tabel 2. Karakteristik pemanfaatan HHBK oleh Masyarakat Akejawi
No Lokasi Bagian
yang
diman-
faatkan
Lokasi
Pemanfaatan
Frekuensi
pengam-
bilan
Volume
produksi per
tahun
Harga
(Rp/kg)
Metode
pemanfaatan
(ekstraksi –
pengolahan)
Jenis
produk
akhir yang
dihasilkan
Biaya
ekstraksi,
budidaya,
pengolahan
Sistem
pema-
saran
Permasa-
lahan, isu
di sekitar
terkait
pelesta-
rian HHBK
1. Hutan
Akejawi
Gaharu Hutan sekitar
Akejawi
1 bulan
sekali
Pohon
gaharu
sudah sulit
ditemukan,
yang ada
tinggal
anakan
yang belum
menghasil-
kan
- Tebang dan
potong
Bagian
kayu yang
mengan-
dung
gaharu
- Penge-
pul dari
ternate
Potensi
pohon
gaharu
telah
langka
bahkan
sulit
ditemui
Tumbu-
han obat
Hutan sekitar
Akejawi
Jika
dibutuh-
kan
(sakit)
saja
Sesuai
kebutuhan
hingga
sembuh
- Petik, kikis
dan potong
Bagian
tumbuhan
yang
berkhasiat
sebagai
obat
- - -
Sumber : Analisis data primer tahun 2013
22 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
D. Kebijakan Pemanfaatan Dan Pengelolaan HHBK
Kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan HHBK sangat penting
dilakukan mengingat tingginya intensitas masyarakat dalam
memanfaatkannya. Hal ini dipandang penting agar potensi tersebut dapat
dikelola secara berkelanjutan dan mencegah terjadinya eksploitasi secara
berlebihan serta membatasi ruang gerak bagi oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab dalam mengelola HHBK di alam. Dengan demikian
diharapkan tercapainya tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara
lestari dan meningkatnya taraf hidup masyarakat yang bermukim
disekitarnya. Secara umum kebijakan terkait pengelolaan HHBK yang
teridentifikasi dilapangan berasal dari institusi pengelola TNAL dan
pemerintah Desa setempat.
1. Kebijakan Institusi TNAL
Terhadap pemanfaatan HHBK yang dilakukan oleh masyarakat, Balai
TNAL sebagai institusi yang diberi kewenangan terhadap pengelolaan
kawasan telah melakukan beberapa alternatif solusi agar masyarakat
mendapat manfaat tanpa melakukan pengrusakan kawasan. Pimpinan TNAL
mengeluarkan kebijakan untuk mengizinkan masyarakat memanfaatkan
getah damar karena diasumsikan bahwa kondisi tersebut tidak merusak
lingkungan kawasan (tidak menebang pohon). Selain itu Balai TNAL telah
menyusun zonasi kawasan dimana sebagian dari wilayah yang terdapat
potensi dan pemanfaatan HHBK diusulkan sebagai zona tradisional.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai HHBK
Balai TNAL juga memfasilitasi masyarakat dengan melaksanakan sosialisasi
mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari pada bulan September 2013.
Sedangkan untuk perlindungan kawasan dilaksanakan kursus pencegahan
kebakaran hutan dengan membentuk masyarakat peduli api pada bulan
Desember tahun 2013, mengingat habitat pohon damar sangat rentan
terhadap kebakaran. Merancang kesepakatan bersama atau Momerandum of
Understanding (MOU) antara Balai TNAL dengan Pemerintah Kota Tidore
Kepulauan dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Kesultanan Tidore mengenai
pemanfaatan HHBK. Diharapkan pada tahun 2014 telah tercapai
kesepahaman mengenai permasalahan tersebut sehingga pengelolaan
kawasan secara lestari, arif dan bijaksana dapat terealisasikan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku secara baik.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
23
2. Kebijakan Pemerintah Desa
Pemerintah Desa sangat mendukung masyarakat untuk menyadap
getah damar, dukungan tersebut berupa ijin secara lisan. Beberapa asumsi
sebagai dasar dukungan pemerintah desa yaitu bahwa menyadap getah
damar dan teknologi penyadapannya merupakan warisan leluhur. Cara ini
juga dilakukan sebagai bagian dari program perangkat desa untuk
meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Selain itu Pemerintah Desa tidak
membebani atau memungut kontribusi pada masyarakat petani damar.
3. Kelembagaan
Secara umum belum ada kelembagaan khusus yang menangani terkait
hasil-hasil produksi panen masyarakat seperti badan usaha pemerintah
(koperasi), badan usaha daerah ataupun badan usaha yang dibentuk atas
prakarsa Pemda pada tingkat kecamatan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat. Pemasaran produk masih terpusat pada pengepul sehingga
masyarakat tidak memiliki nilai tawar terhadap produk yang dijualnya.
Dengan adanya badan usaha tersebut diharapkan masyarakat memiliki
alternatif lain untuk menjual produknya sehingga masyarakat turut andil
dalam menentukan harga. Badan usaha ini juga bertujuan sebagai media
untuk meningkatkan kualitas panen masyarakat dan sebagai alat kontrol
terhadap penentuan harga pasar.
E. Nilai Ekonomi dari Berburu
Selain mamanfaatkan HHBK masyarakat di lokasi penelitian khusunya
para petani damar juga sering berburu babi hutan (Sus scrofa) dan rusa
(Cervus timorensis) untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Daging rusa
biasanya diolah menjadi dendeng dan dijual dengan harga Rp. 20.000 – Rp.
25.000 per lembarnya (± 2 kg). Masyarakat juga seringkali
memperdagangkan Rusa yang masih hidup dengan harga jual berkisar
antara Rp. 500.000 - Rp. 1.200.000 per ekor. Sus Scrofa biasanya dijual
dalam kondisi hidup, harga babi remaja berkisar antara Rp. 200.000 - Rp.
500.000 sedangkan babi dewasa berkisar antara Rp. 750.000 - Rp
1.000.000.
Dalam sebulan terkadang masyarakat Desa Gosale dapat menangkap
sebanyak 3-5 ekor babi hutan, dari hasil buruan tersebut biasa sebanyak 2-3
ekor yang dijual dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Biasanya masyarakat
mengkonsumsi daging babi tersebut ketika berada di dalam hutan saat
melakukan penyadapan getah damar dan selebihnya dibawah pulang
kerumah. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil dapat menangkap
24 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
sebanyak rata-rata 10-16 ekor per bulan, dimana lima ekor dijual dan
selebihnya dikonsumsi sendiri. Untuk jenis rusa masyarakat biasanya hanya
dapat menangkap rata-rata satu ekor perbulannya, hal ini disebabkan
karena prilaku rusa yang sangat liar dan pergerakan yang sangat cepat
berbeda dengan babi yang cenderung lambat. Rusa ditangkap dengan cara
membuat perangkap tradisional yang oleh masyarakat setempat
menyebutnya dengan nama dodeso.
Ketika pengambilan data dilapangan teramati kawanan babi hutan
sebanyak ± 10 ekor yang terdiri dari empat ekor babi dewasa dan
selebihnya masih kecil. Selain Babi juga teramati dua ekor rusa yang terdiri
dari induk dan anak. Kedua jenis mamalia tersebut termasuk kategori satwa
yang sangat sensitif, hal ini terbukti ketika tim peneliti melakukan
perjumpaan saat berjalan menuju kawasan A. dammara. Ketika tersadar
teramati oleh tim peneliti maka kawanan babi dan rusa tersebut kemudian
berlari dengan cepat, bahkan hanya dengan hitungan detik kawanan
tersebut telah hilang dari pandangan mata. Cervus timorensis dan Sus
scrofa umum ditemukan dalam kawasan hutan di maluku Utara, kedua
mamalia ini merupakan jenis introduksi (Poulsen et al., 1999).
Gambar 7. Tengkorak babi hutan hasil buruan masyarakat Desa Gosale (kiri)
dan tengkorak babi hutan hasil buruan Masyarakat Dusun Tayawi
(kanan)
Phalanger ornatus atau yang oleh masyarakat Halmahera sebutan
dengan nama Kuso juga sering diburu untuk dikonsumsi. Telur Burung
Gosong (Megapodius freycinet) merupakan hasil ikutan satwa yang paling
banyak dicari oleh masyarakat karena memiliki harga jual yang cukup tinggi.
Selain itu telur ini banyak dikonsumsi pada tingkat rumah tangga untuk
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
25
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ukuran telurnya yang lebih
besar.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kawasan TNAL mendukung potensi HHBK yang secara substansial
memiliki peranan penting bagi kehidupan masyakat yang bermukim
disekitarnya. Komoditi HHBK menjadi pilar utama dalam membangun
perekonomian masyarakat lokal dan menjadi salah satu media untuk
menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem kawasan. Sebab kelestarian
kawasan juga ditentukan dari tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang
senantiasa bergantung dan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan.
Dukungan institusi TNAL terkait pemanfaatan HHBK oleh masyarakat
merupakan bentuk sinergi dalam pengelolaan kawasan secara arif dan
bijaksana namun tetap berada dalam tatanan hukum dan ketentuan yang
berlaku.
B. Saran
Meski telah mendapatkan metode kesepahaman pengelolaan kawasan
dengan masyarakat namun kegiataan pemanfaatan HHBK harus senantiasa
mendapatkan kontroling dan pengawasan secara periodik. Sebab perubahan
pola prilaku masyarakat yang sulit diprediksi mengingat adanya cukong dan
oknum yang senantiasa ingin memperoleh keuntungan besar dari hasil
hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Miftahorrahman., H. Novarianto dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity on sago (Metroxylon sp.) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium Sago : The Future Source of food and feed. Pp 79-95. Pekanbaru
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Karawang.
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2011. Kearifan suku togutil dalam konservasi Taman Nasional Aketajawe di wilayah Hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal (227-244).
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 30(1):227-244.
26 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Nurrani, L., Halidah, S. Tabba dan S. N. Patandi. 2012. Karakteristik kualitatif tipe penggunaan lahan di zona peyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 1(2):227-244.
Nurrani, L., S. Tabba, S. Shabri, Y. Kafiar, H.S. Mokodompit dan R. Mamonto. 2013. Kajian Daya Dukung Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Pengembangan Pemanfaatan Biodiversitas Secara Lestari di Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Laporan Hasil Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Manado.
Oka, N.P. dan Suhartono. 2014. Keanekaragaman jenis dan sebaran tumbuhan paku (pteridophyta) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Poulsen, Michael K., F.R. Lambert, dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Aketajawe : dalam konteks prioritas konservasi keanekaragaman hayati di Halmahera. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Bird Life International Indonesian Programme dan Loro Parque Fundacion. Bogor.
Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rostiwati, T., Y. Lisnawati, S. Bustomi, B. Leksono, D. Wahyono, S. Pradjadinata, R. Bogidarmanti, D. Djaenudin, E. Sumadiwangsa, N. Haska. 2008. Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor.
Sumarna, Yana. 2002. Budidaya Gaharu. PT. Niaga Swadaya. Jakarta.
Tabba, S. dan L. Nurrani. 2012. Jasa Hasil Hutan Non Kayu Daun Woka Bagi Masyarakat Sulawesi Utara. Majalah Silvika 71:227-244.
Tabba, S. dan L. Nurrani. 2014. Daya Dukung pemanfaatan getah Agathis dammara (lambert) L.rich terhadap masyarakat dan kelestarian Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Yulifianti, R dan E. Ginting. 2013. Talas Wamena sebagai Bahan Baku Mie Basah. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi. Disarikan dan Diedit oleh Eriyanto Yusnawan Ph.D. Malang.
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
27
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza
untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi” 1
Retno Prayudyaningsih2
ABSTRAK
Kegiatan penambangan pada umumnya merupakan penambangan terbuka
yang dilakukan melalui proses pembukaan lahan yang membersihkan
seluruh vegetasi, pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan
penimbunan. Pada akhirnya kegiatan penambangan meninggalkan lahan
dengan kondisi tanah tanpa lapisan top soil dan bahan organik. Ditinjau dari
persyaratan pertumbuhan tanaman, faktor-faktor yang menjadi pembatas
pada lahan tersebut adalah kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah rendah
karena kandungan unsur hara tersedia rendah, tanah yang padat, suhu
tanah tinggi, pH tanah yang ekstrim dan rendahnya diversitas mikroba
tanah. Faktor-faktor tersebut merupakan masalah yang harus dihadapi
dalam upaya pemulihan lahan bekas tambang. Salah satu alternatif untuk
memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat kegiatan penambangan adalah
melalui bioreklamasi yang memanfaatkan mikroba (fungi mikoriza). Fungi
mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang mempunyai
peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman terutama pada
kondisi lahan yang marginal seperti lahan bekas tambang. Aplikasi fungi
mikoriza pada kegiatan reklamasi dapat mempercepat keberhasilan
revegetasi, yang diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami
sehingga pada akhirnya pemulihan unsur dan fungsi ekologi akan tercapai.
Kata kunci: Lahan bekas tambang, mikoriza, revegetasi, bioreklamasi,
suksesi
I. Pendahuluan
Sektor pertambangan merupakan salah satu sumber devisa bagi
Indonesia. Setiap tahunnya usaha pertambangan menunjukkan
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16,5 Makassar, 90243,
telp. (0411) 554049, fax. (0411) 554058; e-mail: [email protected]
28 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
pertumbuhan yang pesat. Saat ini lebih dari 1500 perusahaan pertambangan
beroperasi di Indonesia (Mansur, 2011). Kegiatan penambangan umumnya
dilakukan dengan cara pembukaan hutan yang dilanjutkan dengan
pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-
kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan
berupa menurunnya kualitas tanah, rusaknya habitat satwa dan hilangnya
jenis-jenis flora/fauna endemik. Dengan demikian kegiatan penambangan
mempunyai 2 dampak yang bertolak belakang. Dampak yang pertama
adalah merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara, dan
dampak yang kedua adalah kerusakan lingkungan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2010 mengenai
reklamasi dan pasca tambang dinyatakan bahwa setiap pemegang IUP (Ijin
Usaha Penambangan) wajib melakukan reklamasi pada lahan bekas
tambangnya. Selanjutnya sesuai Permenhut No. 4 tahun 2011 mengenai
pedoman reklamasi hutan, dinyatakan bahwa kegiatan reklamasi lahan
hutan bekas penambangan di antaranya adalah penataan lahan, pengisian
kembali lubang di lahan-lahan bekas tambang, dan penaburan atau
pengolahan top soil. Reklamasi lahan bekas penambangan dengan
menimbun lahan bekas tambang menggunakan top soil dilakukan dalam
rangka membentuk atau menyiapkan tapak aman sehingga mendukung
perkembangan tumbuhan. Namun demikian, permasalahan timbul ketika
penimbunan tidak mengunakan top soil. Hal tersebut terjadi karena jumlah
material top soil tidak mencukupi kebutuhan penutupan lahan bekas
tambang, sehingga penimbunan menggunakan material yang ada seperti
limbah bahan galian ataupun limbah bekas olahan (tailing).
Lapisan permukaan tanah yang demikian tidak memenuhi persyaratan
sebagai tapak yang mendukung kolonisasi tumbuhan dari beberapa aspek
baik fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, tapak tidak mempunyai
lapisan/horizon tanah yang jelas, rusaknya struktur tanah, dan terjadi
pemadatan. Ditinjau dari aspek kimia, terjadi kekurangan bahan organik dan
unsur hara esensial. Sedangkan dari aspek biologi, terjadi penurunan
populasi dan tidak meratanya distribusi mikroba tanah.
Lahan yang mengalami kerusakan seperti lahan bekas tambang, secara
alami dapat pulih melalui proses suksesi alami. Suksesi merupakan proses
perubahan komunitas biotik yang saling menggantikan dan lingkungan fisik
menjadi berubah selama periode waktu tertentu setelah terjadi gangguan
(Krebs, 1972). Proses suksesi yang terjadi pada lahan bekas tambang
merupakan suksesi primer, karena terjadi pada areal dengan permukaan
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
29
terbuka dan kekurangan bahan organik, serta belum terjadi perubahan oleh
aktivitas organisme (Kimmin, 1997). Dengan demikian proses suksesi alami
berjalan lambat, terlebih lagi dengan karakter lahan bekas tambang yang
sangat ekstrim dan tidak mendukung perkembangan tumbuhan/komunitas
biotik yang mengolonisasi lahan tersebut.
Pada sisi lain upaya kegiatan reklamasi lahan bekas tambang juga
belum mencapai keberhasilan karena tidak disertai upaya untuk
memperbaiki kualitas tapak sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.
Selain itu kegiatan reklamasi yang dilakukan tidak memperhatikan urutan
komunitas biotiknya atau langsung menggunakan jenis-jenis tanaman dari
komunitas akhir seperti mahoni, atau jati. Hal tersebut tentu saja tidak
mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya sehingga proses
suksesi alamipun tidak berjalan dengan baik karena tidak terjadi pemulihan
unsur dan fungsi ekologinya.
Salah satu alternatif untuk memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat
kegiatan penambangan adalah melalui bioreklamasi. Bioreklamasi adalah
usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi melalui
proses-proses biologi dalam kawasan hutan yang rusak akibat kegiatan
penambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan
peruntukannya (Turjaman et al., 2009). Proses biologi yang dimaksud
adalah memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan tumbuh vegetasi
yang berasosiasi dengan mikroba. Menurut Weissenhorn et al. (1995),
suksesi yang dipercepat dengan melibatkan mikroba dan jenis tumbuhan
setempat yang terbukti cocok dengan kondisi lahan merupakan tantangan
yang harus dijawab dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Selanjutnya
menurut Smith dan Read (2008), keberhasilan rekamasi lahan bergantung
kepada pemahaman terhadap suksesi tanaman yang dipengaruhi oleh
komponen tanah yang dinamis, misalnya bahan organik dan komunitas
mikroba. Fungi mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang
mempunyai peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman dalam
proses suksesi. Dengan demikian bioreklamasi lahan bekas tambang yang
memanfaatkan fungi mikoriza untuk mempercepat keberhasilan revegetasi,
diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami yang terjadi
sehingga pada akhirnya pemulihan fungsi ekologi akan tercapai.
II. Karakteristik Lahan Bekas Tambang
Pada umumnya lahan bekas tambang mempunyai karakterisitik tanah
dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah baik secara fisik, kimia dan
30 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
biologi. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi perkembangan
tanaman yang selanjutnya juga akan menyebabkan proses suksesi alami
terhambat dan gagalnya kegiatan reklamasi. Untuk dapat mengatasi
masalah ini, maka karakteristik kimia, biologi dan fisik tanah lahan bekas
tambang perlu diketahui.
Pada lapisan tanah atas (top soil) terkandung berbagai unsur hara
makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Hilangnya top soil
akibat kegiatan penambangan merupakan penyebab utama buruknya
tingkat kesuburan tanah pada lahan bekas tambang. Kekahatan unsur hara
esensial seperti nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman
tanah (pH yang rendah dan tinggi) sebagai karakter kimia tanah yang
merupakan kendala umum yang ditemui pada tanah-tanah bekas kegiatan
pertambangan. Selain itu, lahan bekas tambang biasanya berupa campuran
dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara
tidak beraturan. Hal tersebut tentu saja semakin memperburuk kualitas
kimia tanah karena semakin bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan
unsur haranya.
Karakteristik kimia tanah pada lahan bekas tambang kapur misalnya
menunjukkan pH tanah tinggi (8,14), kandungan bahan organik (C-organik)
rendah, kandungan hara makro terutama N (0,12%), P tersedia (19,2 ppm)
dan K rendah. Kandungan kalsium (115,75 me/100g) yang sangat tinggi
menyebabkan tanah bersifat alkalis dan ketersediaan unsur hara makro
terutama fosfat menjadi rendah (Prayudyaningsih, 2008). Menurut
Hardjowigeno (2003), pada pH yang tinggi (alkalis) unsur P tidak dapat
diserap tumbuhan karena difiksasi oleh kalsium. Karakteristik kimia tanah
dari lahan bekas tambang emas menunjukkan kandungan C-organik (0,32
%) sangat rendah, unsur hara N (0,04 %) dan P tersedia (9,20 ppm) sangat
rendah, sementara kandungan kalsium (29,27) dan logam berat Pb (132
ppm) sangat tinggi (Setyaningsih, 2007). Karakteristik kimia tanah pada
lahan bekas tambang nikel menunjukkan pH tanah agak masam (6,44),
kandungan C organik (1,60 %) rendah, kandungan hara makro terutama N
(0,14 %) dan P tersedia (12,55 ppm) rendah (Jaya, 2011).
Hilangnya lapisan top soil dan serasah yang merupakan sumber karbon
untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama
buruknya kondisi populasi mikroba tanah (biologi tanah). Hal ini secara tidak
langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di
permukaan tanah tersebut. Jenis-jenis mikroba tanah yang memberikan
banyak manfaat diantaranya bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
31
fosfat, jamur dan bakteri dekomposer serta fungi mikoriza. Kepadatan spora
fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah di Bangka sangat rendah.
Lahan bekas tambang timah umur 11 tahun kepadatan sporanya 69 - 72 per
50 gram tanah dan 1 per 50 gram tanah pada lahan bekas tambang timah
umur 1 tahun (tidak bervegetasi) (Nurtjaja, 2008). Kerapatan fungi mikoriza
di lahan bekas tambang kapur juga tergolong rendah yaitu berkisar 19 – 116
buah spora per 100 gram sampel tanah (Prayudyaningsih, 2008). Demikian
juga kerapatan spora fungi mikoriza di lahan bekas tambang nikel (33 – 52
per 100 g tanah) rendah (Jaya, 2011).
Rusaknya struktur, tekstur, porositas dan kepadatan tanah sebagai
karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman disebabkan
oleh berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan. Kondisi tanah yang
kompak karena pemadatan berdampak negatif terhadap fungsi dan
perkembangan akar karena buruknya sistem tata air dan aerasi tanah. Akar
tidak dapat berkembang dengan sempurna sehingga fungsinya sebagai alat
absorpsi unsur hara akan terganggu. Akibatnya tanaman tidak dapat
berkembang dengan normal tetapi tetap kerdil dan tumbuh merana.
Rusaknya struktur dan tekstur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk
menyimpan dan meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air
permukaan menjadi tinggi.
III. Fungi Mikoriza dan Peranannya terhadap Pertumbuhan
Tanaman pada Lahan Bekas Tambang
Mikoriza adalah simbiosis mutualisme antara jamur tular tanah (non
patogen) dengan akar tanaman (Quilambo, 2003). Berdasarkan struktur
tumbuh dan cara kolonisasinya pada sistem perakaran tumbuhan inang,
mikoriza dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu Fungi Ektomikoriza
dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Sekitar 95 % jenis tumbuhan vascular
berasosiasi dengan fungi mikoriza, dimana 80 % nya membentuk asosiasi
dengan FMA, sedangkan sekitar 7 % - 10 % nya berasosiasi dengan fungi
ektomikoriza, terutama tanaman kehutanan dari jenis dipterokarpa (Shorea,
Diptetocarpus dan Hopea), pinus dan ekaliptus (Quilambo, 2003; Santoso et
al., 2003; Setiadi, 2006).
Lahan bekas tambang umumnya mempunyai kandungan hara dan air
yang rendah. Fungi mikoriza merupakan salah satu mikroorganisme tanah
yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sistem tanah –
tanaman (Duponnois et al., 2005). Fungi mikoriza dapat meningkatkan
penyerapan unsur hara P oleh tanaman. Aktivitas fosfatase juga meningkat
32 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
sehingga hidrolisis P organik juga meningkat. Selain itu juga meningkatkan
penyerapan unsur hara lain seperti NO3 (nitrat), Cu, Zn dan K (Smith dan
Read, 2008; Duponnois et al., 2005; Bertham, 2006). Fungi mikoriza juga
mempengaruhi penyerapan air sehingga memberikan ketahanan tanaman
terhadap kekeringan (Duponnois et al., 2005; Setiadi, 2006). Fungi mikoriza
yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi
jalinan hifa ekternal yang intensif, yang memperluas permukaan absorbsi
akar sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan
kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Smith dan Read, 2008;
Abbot dan Robson dalam Delvian, 2005; Harakarti, 2006). Tanaman
bermikoriza lebih tahan kekeringan daripada yang tidak bermikoriza dan
akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berakhir. Hal ini
dimungkinkan karena hifa fungi mikoriza masih mampu menyerap air dari
pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Penyebaran
hifa eksternal sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak
pada kondisi kekeringan (Bowen, 1980; Munyaziza et al. dalam Delvian,
2005). Selain itu, hifa fungi mikoriza berukuran diameter sepersepuluh
diameter rambut akar (Orcutt dan Nielsen, 2000) dan luas permukaan
penyerapan akar 80 kali lebih luas dibandingkan akar tidak bermikoriza
Bowen (1980). Dengan demikian hifa fungi mikoriza mampu mencapai
bagian tanah yang tidak dapat dicapai lagi oleh rambut akar, terutama pori
tanah yang kecil.
Selain mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan bekas
tambang, fungi mikoriza juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah
pada lahan bekas tambang umumnya mempunyai kepadatan tanah (bulk
density) tinggi yang menyebabkan terhambatnya penetrasi dan respirasi
akar. Fungi mikoriza dapat membentuk agregat tanah lebih baik dibanding
fungi tanah lain. Fungi mikoriza arbuskula mengeluarkan subtansi seperti
lem yang disebut glomalin (glikoprotein) yang mengikat partikel tanah
menjadi mikroagregat. Selanjutnya hifa fungi mikoriza dan akar tanaman
mengikat mikroagregat tanah menjadi makroagreagat tanah. Hal inilah yang
membuat tanaman bermikoriza sangat dibutuhkan pada rehabilitasi lahan
bekas penambangan karena agregasi tanah akan mempercepat penetrasi
air, memelihara kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dan
meningkatkan aerasi tanah (Mosse dan Hayman, 1980; Smith dan Read,
2008) tetapi mengurangi hambatan penetrasi dan respirasi akar.
Seringkali dilaporkan bahwa tanah-tanah pertambangan mengandung
logam-logam berat beracun (Cu, Zn, Ni, Fe, Co, Pb, Cd, dan Ba) dalam
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
33
konsentrasi tinggi. Golden dan Tinker dalam Delvian (2005) melaporkan
bahwa pada kondisi yang sangat masam, rerumputan yang bermikoriza
mengakumulasi Cu dan Ni dalam level yang tinggi dibanding tanaman yang
tidak bermikoriza sehingga disimpulkan bahwa simbion mikoriza harus
dipertimbangkan sebagai komponen dari toleransi tanaman terhadap logam-
logam berat yang toksik. Mekanisme simbiosis FMA dalam memperbaiki
toleransi tanaman terhadap logam berat diduga karena (a) terjadi
pengenceran unsur-unsur toksik dengan membaiknya serapan unsur hara
lainnya, (b) terjadi penangkapan logam-logam oleh polifosfat, yang
akumulasinya terjadi karena membaiknya status fosfor dalam fungi, dapat
menurunkan perpindahan unsur toksik ke tanaman sehingga terjadi
penurunan toksisitas, (c) simbiosis FMA memperbaiki pertumbuhan tanaman
sehingga tanaman meningkat toleransinya terhadap logam berat (Bertham,
2006).
Menurut Smith dan Read (2008), penting artinya mengetahui potensi
dan peran fungi mikoriza untuk pengelolaan lahan terdegradasi seperti lahan
bekas penambangan. Aplikasi fungi mikoriza perlu dilakukan pada lahan
yang memiliki propagul fungi mikoriza rendah. Penelitian menunjukkan
kepadatan spora fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah, kapur dan
nikel sangat rendah (Nurtjahya et al., 2006; Prayudyaningsih, 2008; Jaya,
2011 ). Selain itu hasil pengamatan kolonisasi FMA secara alami pada
tumbuhan pioner yang menginvasi lahan bekas tambang kapur
menunjukkan 21 jenis dari 22 jenis tumbuhan pioner berasosiasi dengan
FMA (Prayudyaningsih, 2011c). Pengamatan kolonisasi FMA di lahan bekas
tambang nikel menunjukkan 20 jenis tumbuhan yang tumbuh di lahan
tersebut berasosiasi dengan FMA (Jaya, 2011). Demikian juga pengamatan
kolonisasi FMA pada 22 jenis tumbuhan di lahan bekas tambang batu bara
menunjukkan semua sampel berasosiasi dengan FMA (Turjaman et al.,
2009). Hal ini menunjukkan kolonisasi fungi mikoriza sangat diperlukan
untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tumbuhan pioner tersebut di
lahan bekas tambang.
Mosse et al. (1981) menyatakan bahwa fase bibit merupakan fase yang
sangat tergantung pada mikoriza. Inokulasi mikoriza pada bibit tanaman
terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan bibit. Inokulasi Fungi mikroza
indigen dari tanah bekas tambang kapur terhadap bibit bitti (Vitex cofassus),
pulai (Alstonia scholaris) dan jati (Tectona grandis) yang ditumbuhkan pada
media dari tanah bekas tambang kapur mampu meningkatkan pertumbuhan
34 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
tinggi (30-635 %), diameter batang (47-275 %), indek mutu bibit (140-829
%) dan serapan P (187-2313 %) dibanding pertumbuhan semai bitti yang
tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2009; Prayudyanigsih,
2013). Inokulasi FMA juga meningkatkan pertumbuhan semai mindi yang
ditumbuhkan pada media dari tanah bekas tambang emas. Pertumbuhan
tinggi semai mindi pada media tailing bekas tambang emas yang diinokulasi
FMA meningkat 22,4 % dan diameter 11,4 % dibanding yang tidak
diinokulasi (Setyaningsih, 2007). Dengan demikian inokulasi fungi mikoriza
pada bibit tanaman mampu menghasilkan bibit yang berkualitas karena
mempunyai pertumbuhan yang lebih baik sehingga mempunyai daya hidup
di lapangan yang lebih baik pula. Asosiasi fungi mikoriza dengan akar
tanaman mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Untuk itu
pengadaan bibit dari jenis tumbuhan yang sesuai dengan tapak dan
berasosiasi dengan fungi mikoriza merupakan salah satu kunci dalam
keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang. Menurut De La Cruz (1998)
dalam Setiadi (2006), asosasi fungi mikoriza dengan akar tanaman dapat
meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah
marginal seperti lahan bekas tambang sehingga aplikasi fungi mikoriza dapat
membantu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dan marginal seperti lahan
bekas pertambangan.
IV. Aplikasi Teknologi Bioreklamasi Fungi Mikoriza pada
Revegetasi Lahan Bekas tambang
Seiring dengan berjalannya waktu, pada lahan-lahan yang mengalami
kerusakan seperti lahan bekas tambang akan terjadi proses suksesi alami.
Namun proses suksesi alami akan berlangsung dalam kurun waktu yang
panjang, terlebih lagi suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer. Oleh
karena itu, kegiatan revegatasi yang dilakukan pada lahan bekas tambang
sebaiknya tidak hanya bertujuan untuk penghijauan tetapi juga mampu
memfasilitasi tahapan suksesi alami sehingga proses suksesi dapat
dipercepat.
Kehadiran fungi mikoriza sebagai salah satu komponen komunitas
mikroba tanah mempengaruhi koeksistensi dominan tumbuhan, struktur
komunitas dan kemajuan suksesi vegetasi pada lahan yang rusak (Puschel
et al., 2007) seperti lahan bekas tambang. Dengan demikian diduga fungi
mikoriza mempunyai peran penting bagi keberhasilan pertumbuhan tanaman
dalam proses suksesi vegetasi di lahan bekas tambang. Kehadiran fungi
mikoriza mempengaruhi kolonisasi vegetasi di lahan bekas tambang (Busby
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
35
et al., 2011). Namun, populasi FMA di lahan bekas tambang rendah dan
distribusinya tidak merata sehingga tidak semua tumbuhan pioner herba dan
perenial awalnya berasosiasi dengan FMA (Nurtjahja, 2008;
Prayudyaningsih, 2008; Jaya, 2011; Singh dan Jamaluddin, 2011; Cohen-
Fernandez, 2012). Rendahnya populasi FMA dan menurunnya infektivitas
menghambat mineralisasi dan imobilisasi hara, sehingga akan menghambat
pembentukan tanaman dan proses suksesi ekologi pada akhirnya (Singh dan
Jamauddin, 2011). Untuk itu input teknologi bioreklamasi fungi mikoriza
diperlukan agar keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan bekas tambang
meningkat (Ervayenri, 2005; Puchel et al., 2006; Setyaningsih, 2007;
Prayudyaningsih et al., 2009; 2010; 2011a; 2012).
Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada revegetasi lahan
bekas tambang sebaiknya juga sejalan dengan kaidah-kaidah yang
diisyaratkan oleh hukum alam (tahapan proses suksesi alami). Tahap
pertama dalam revegetasi lahan bekas tambang adalah penanaman cover
crop untuk memperbaiki kondisi mikroklimat setempat sehingga mendukung
kehidupan mikroorganisme yang berperan aktif dalam proses dekomposisi
dan pembentukan bahan organik tanah. Jenis tumbuhan cover crop yang
dapat digunakan adalah jenis rumput-rumputan dan legum. Penggunaan
legum cover crop juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur nitrogen
tanah karena akar tanaman legum berasosiasi dengan bakteri Rhizobium.
Selain itu, penanaman cover crop juga meningkatkan kandungan bahan
organik tanah. Banyaknya bahan organik dapat menurunkan suhu tanah dan
meningkatkan kelembaban tanah. Selain itu bahan organik merupakan
sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Meningkatnya kandungan
bahan organik pada tanah di lahan bekas tambang akan menyebabkan
aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik
adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Hasil penelitian di lahan bekas
tambang menunjukkan adanya peningkatan jumlah populasi bakteri dan
jamur setelah 3 bulan dilakukan revegetasi dengan tanaman cover crop jenis
Mucuna sp. dan Centrocema pubescen (Prayudyaningsih dkk., 2010).
Tahap kedua adalah penanaman jenis pioner (nurse plant) dan
pembelukaran. Jenis-jenis pioner lokal dan legum (fiksasi N) dapat
mempercepat keberhasilan revegatasi. Tumbuhan pioner mempunyai sistem
perakaran yang lebih dalam dan volume perakaran yang lebih luas.
36 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Demikian juga dengan pertumbuhan tajuknya sehingga menyumbangkan
seresah yang lebih besar. Adanya ruang tumbuh yang lebih besar baik di
bawah dan di atas tanah maka kehidupan mikrofauna, mikroflora dan
mikroorganismenyapun lebih komplek sehingga proses dekomposisinya juga
lebih intensif.
Penanaman pioner jenis Sesbania sericea di lahan bekas tambang
kapur, selain meningkatkan jumlah populasi bakteri dan jamur tanah,
bahkan meningkatkan kualitas kimia tanah dimana kadar unsur hara makro
(N, P, dan K) mengalami perubahan harkat dari sangat rendah menjadi
rendah (Prayudyaningsih dkk., 2010). Walaupun kualitas kimia tanahnya
masih tergolong rendah. Revegetasi tanaman pioneer menambah
sumbangan bahan organik ke tanah sehingga berpengaruh pada
ketersediaan unsur hara. Terlebih lagi dengan inokulasi fungi mikoriza yang
meningkatkan pertumbuhan tanaman pioneer, maka menghasilkan biomassa
yang lebih banyak. Banyaknya biomassa akan menyumbangkan bahan
organik yang lebih banyak pula. Pada akhirnya kandungan unsur hara
tersedia juga meningkat dan kualitas tanahpun ikut meningkat.
Tahap ketiga adalah penanaman jenis cepat tumbuh atau fast growing
seperti sengon dan eukaliptus. Tahap keempat adalah penanaman jenis
klimaks atau slow growing seperti meranti, jati, bitti atau eboni yang sesuai
dengan kondisi setempat. Namun demikian tahap ketiga dan keempat ini
dapat dijadikan satu tahap tergantung dari perkembangan kondisi tapak
yang telah terbentuk. Pada prinsipnya setiap tahap yang diterapkan
bertujuan untuk memfasilitasi kondisi tempat tumbuh bagi tahap
selanjutnya.
Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza dapat dimulai sejak
penanaman cover crop apabila alat yang tersedia cukup memadai yaitu
dengan teknik hidroseeding. Namun apabila tidak, aplikasi fungi mikoriza
dilakukan pada saat penanaman jenis pioner dan jenis akhir atau target.
Aplikasi fungi mikoriza dilakukan pada tahap pembibitan sehingga
diharapkan bibit yang dihasilkan merupakan bibit yang berkualitas dan tahan
terhadap kondisi lapangan yang ekstrim seperti lahan bekas tambang.
Tanaman bermikoriza mempunyai resistensi terhadap kondisi hara rendah
dan kekeringan yang biasanya merupakan kondisi yang umum dijumpai
pada lahan bekas tambang. Dengan demikian asosiasi mikoriza akan
meningkatkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman pada kegiatan
revegetasi lahan bekas tambang.
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
37
Inokulasi fungi mikoriza pada tanaman pioneer jenis Sesbania sericea di
lahan bekas tambang kapur meningkatkan pertumbuhan tanaman. Inokulasi
fungi mikoriza, mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman S.
sericea pada umur 3 sampai 21 bulan di lapangan sebesar 4-13 %,
pertumbuhan diameter meningkat sebesar 5-14% dan kadar P daun
meningkat sebesar 3-27 % dibanding tanaman yang tidak bermikoriza
(Prayudyaningsih dkk., 2010; Prayudyaningsih dkk., 2011a; Prayudyaningsih
dkk., 2011b Prayudyaningsih dkk., 2012). Lebih cepatnya pertumbuhan
tanaman S. sericea yang diinokulasi fungi mikoriza akan menghasilkan
biomassa lebih banyak pula. Dengan demikian juga akan menyumbangkan
bahan organik ke tanah yang lebih banyak dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kualitas tanah (Prayudyaningsih dkk., 2010).
Setiap tahapan seral pada proses suksesi bertujuan untuk
menfasilitasi/menyiapkan tapak aman bagi tahap seral selanjutnya. Hasil
penelitian di lahan bekas tambang kapur menunjukkan penanaman jenis
cover crop mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan tanaman
pioner (S. sericea) dan selanjutnya keberhasilan pertumbuhan tanaman
pioner mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan jenis
selanjutnya yaitu tanaman bitti (Vitex cofassus). Inokulasi fungi mikoriza
diharapkan lebih mendukung pertumbuhan tanaman sehingga meningkatkan
survival tanaman dan membantu menyiapkan tapak aman bagi sere
selanjutnya. Inokulasi Fungi mikoriza terbukti meningkatkan pertumbuhan
tinggi tanaman bitti umur 3 – 18 bulan di lapangan sebesar 8 – 14 %,
diameter batang sebesar 8 – 9 % dan kadar P daun sebesar 3 – 13 %
dibanding tanaman yang tidak bermikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2011a;
Prayudyaningsih dkk., 2012)
Fungi mikoriza juga memiliki sinergisme dengan mikroorganisme lain.
Untuk tanaman leguminose keberadaan fungi mikoriza sangat diperlukan
karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh
bakteri Rhizobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan.
Keberadaanya juga bersifat sinergis terhadap bakteri pelarut fosfat dan
dekomposer (selulolitik). Berdasarkan kemampuannya tersebut maka fungi
mikoriza dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba
potensial di sekitar tanaman. Keberadaan mikroba tanah potensial dapat
memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan
hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur
38 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat
memperbaiki struktur tanah.
Menurut Smith dan Read (2008), dalam revegetasi lahan bekas
tambang, FMA memengaruhi komposisi komunitas tanaman yang dibangun.
Komunitas jamur yang kompleks memacu kompleksitas komunitas tanaman
bermikoriza sehingga menghasilkan biomassa tanaman yang tinggi. Dengan
kata lain lebih banyak jenis tanaman yang mampu bertahan hidup dan total
karbon organik yang terfiksasi meningkat. Inokulasi FMA pada bibit
dibutuhkan untuk menjamin pembentukan dan ketahanan hidup FMA karena
penyebaran secara alami dari FMA pada lahan kritis/bekas tambang sangat
lambat.
Penanaman dengan bibit yang diinokulasi mikroba dapat mempercepat
proses regenerasi alami pada lahan bekas tambang (Singh dan Jamaluddin,
2011). Dengan demikian interaksi antara tanaman dengan FMA diduga tidak
hanya mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang diinokulasi tetapi juga
mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya dan perbaikan
kondisi tapak lahan bekas tambang kapur secara umum sehingga pada
akhirnya mempercepat proses suksesi alami. Dengan kata lain input
teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada pembentukan pertanaman di
lahan bekas tambang berfungsi sebagai katalis (memberikan efek katalitik)
sehingga proses suksesi alami dapat dipercepat. Pada akhirnya pemulihan
unsur dan fungsi ekologi yang menjadi tujuan dari reklamasi lahan bekas
tambang akan terwujud.
V. PENUTUP
Kegiatan penambangan meninggalkan lahan bekas tambang dengan
karakteristik tapak tanpa top soil, tingkat kepadatan tanah tinggi, miskin
hara, pH ekstrim dan populasi mikorba tanah rendah yang menyebabkan
terhambatnya perkembangan vegetasi alami. Sampai saat ini upaya
pemulihan lahan bekas tambang (reklamasi) hanya memfasilitasi jenis
target, belum banyak diarahkan pada fasilitasi tapak untuk perkembangan
komunitasi biotik selanjutnya.
Aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada lahan bekas tambang dapat
mempercepat keberhasilan revegetasinya. Fungi mikoriza tidak hanya
meningkatkan pertumbuhan tanaman tetapi juga dapat meningkatkan
kualitas tanah lahan bekas tambang baik secara fisik, kimia dan biologi
tanahnya. Dengan demikian aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada
revegetasi lahan bekas tambang tidak hanya sekedar memfasilitasi tanaman
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
39
target tetapi juga memfasiltasi perkembangan tapak sehingga dapat
memacu proses suksesi alaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Bowen GD. 1980. Mycorrhizal Roles in Tropical Plants and Ecosystem. Di dalam : Mikola P (ed). Tropical Mycorrhiza Research. New York: Clarendon Press. hlm 166 – 185.
Bertham, Y.H. 2006. Intreraksi mikoriza arbuskula dengan tanaman pangan dan hortikultura. dalam Workshop Mikoriza: Teknik Baru Bekerja Dengan Cendawan Mikoriza. Bogor.
Busby, R.R., D.L. Gebhart, M.E. Stromberger, P.J. Meiman dan M.W. Paschke. 2011. Early seral plant species‟ interactions with an arbuscular mycorrhizal fungi community are highly variable. Applied Soil Ecology 48:257 – 262.
Cohen-Fernandes, A.C. 2012. Reclamation of a Limestone Quarry to a Natural Plant Community. Dissertation. Departemen of Renewable Resources. University of Alberta.
Delvian, 2005. Aplikasi cendawan mikoriza arbuskula dalam reklamasi lahan kritis pasca tambang. Jurusan Kehutanan Fakultas pertanian. Universitas Sumatra Utara Medan. http: // library . usu . ac . id / download / fp / hutan-delvian . pdf.
Duponnois, P., A. Colombet., V. Hien and J. Thioulouse. 2005. The fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosecea. Journal of Soil Biology and Biochemistry 37:1460-1468.
Ervayenri. 2005. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Tanaman Indigenous untuk Revegetasi Lahan Tercemar Minyak Bumi. Disertasi .Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademik Press.
Harakarti, PDM. 2006. Interaksi tanaman inang dengan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja Dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia.
Jaya, I.K. (2011). Aplikasi Mikoriza Arbuskula dengan Merevegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di Kabupaten Kolaka (Tesis). Makassar. Universitas Hasanuddin. (Tidak dipublikasikan).
Krebs, C.J. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution Abudance. Harper International Edition. Singapore.
Kimmin, J.P. 1997. Forest Ecology. Prentice – Hall, Inc. New Jersey.
Mansur,I. 2011. Konsep dan contoh implementasi green mining untuk pembangunan berkelanjutan. Workshop: Benarkah Tambang Mensenjahterakan ? Telaah Sulawesi Tenggara menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Tidak dipublikasikan
Mosse, B and D.S. Hayman. 1980. Mycorrhizal in Agricultural Plants. dalam: Tropical Mycorrhiza Research. Ed. Mikola.P. Clarendon Press Oxford. New York. 211-226.
40 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Mosse, B., D.P.Stribley and F. Le-Tucon.1981. Ecology of Mycorrhizae and Mycorrhizal Fungi. Adv. Microb. Ecology 5:137-210.
Nurtjahca, E. 2008. Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.
Orcutt DM and Nielsen ET. 2000. Physiology of Plants Under Stress : Biotic Factor. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Prayudyaningsih, R. 2007. Efektivitas mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan bibit bitti (Vitex cofassus Reinw). Dalam: Prosiding Seminar NAsional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza Untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Bogor. 17 – 21 Juli 2007. SEAMEO BIOTROP. Bogor
Prayudyaningsih, R. 2008. Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa dan Efektivitasnya Terhadap Pertumbuhan Semai Kersen (Muntingia calabura L.). Tesis. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Tidak dipublikasikan
Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha.2009. Efektivitas Inokulum Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dari Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa terhadap Pertumbuhan 5 jenis semai. Laporan Hasil Penelitian. Balai Kehutanan Makassar. Tidak dipublikasikan
Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan
Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan.
Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2011a. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan.
Prayudyaningsih, R. 2011b. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan Sesbania sericea di lahan bekas tambang kapur PT Semen Tonasa, Prosiding Ekspose BPK Makassar, Hasil-Hasil litbang mendukung Kemanfaatan Hutan, Makassar 27 Oktober 2011, ISBN 978-979-3145-92-1.
Prayudyaningsih, R. 2011c. Status Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa. Dalam: Prosiding Seminar Nasional “Benarkah Tambang Mensejahterakan? Telaah Sulawesi Tenggara Menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Kendari. 24 – 25 Juni 2011. SEAMEO BIOTROP. Bogor.
Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2012. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan
Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih
41
Prayudyaningsih, R. 2013. Pertumbuhan semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis dan Muntingia calabura yang diinokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada media tanah bekas tambang kapur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallaceae 3(1). April 2004. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar.
Puchel, D., J. Rydlova dan M. Vosatka. 2007. Mycorrhiza Influence Plant Community Structure in Succession on Spoil Bank. Basic And Applied Ecology 8:510-520.
Quilambo, O. 2003. The Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae Symbiosis. African Journal of Biotechnology 2(12):539-546
Santoso, E., M. Turjaman., Y. Sumarna. 2003. Adopsi teknologi perakaran tanaman dalam menunjang keberhasilan GERHAN. Laboratorium Mikrobiologi Hutan,P3H&KA. Bogor.
Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azerdarach Linn.) pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasi).
Setiadi, 2006. Pengembangan cendawan mikoriza arbuskula untuk merehabilitasi lahan marginal. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia.
Singh, A.J dan Jamaluddin. 2011. Status and Diversity Arbuscular Mycorrhizal Fungu and its Role in Natural Regeneration on Limestone Mined Spoils. Biodiversitas 12(2):107-111.
Smith, S.E dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Ed ke-3. Academic Press. California.
Turjaman, M., I.R. Sitepu, R.S.B.Irianto, E. Santoso. 2009. Aplikasi teknologi biorehabilitasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk mempercepat keberhasilan di lahan bekas tambang. Makalah Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian: Iptek untuk Kesejahteraan Masyarakat Belitung. Tanjung Pandan, 11-12 Agustus 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak diterbitkan
Weissenhorn, I., C. Levyal. and J. Berthelin. 1995. Bioavailability of heavymetals and abundance of arbuscular mycorrhizal (AM) in soil polluted by atmospheric deposition from a smelter. Biol.Fertil. Soil.
42 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
43
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Lintas Kabupaten1
Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro2
ABSTRAK
Penelitian Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten dirancang untuk
mengidenfikasi lembaga/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten, mengkaji tupoksi lembaga/institusi terkait, mengkaji peraturan
perundangan yang terkait pengelolaan DAS, mengkaji sistem perencanaan
pengelolaan DAS lintas kabupaten. Hasil kajian berupa data dan informasi digunakan
sebagai bahan untuk memformulasi sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang
fungsional yang dapat diterima semua pihak. Pengumpulan data primer
menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah para pemangku
kebijakan di semua institusi yang terlibat baik di lembaga eselon II, III, dan IV serta
tokoh kunci NGO yang konsern dengan pengelolaan DAS. Teknik wawancara adalah
deep interview (wawancara mendalam) menggunakan kuesioner dan tape recorder.
Jumlah responden sebanyak 42 pejabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk
lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah
bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk
kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan
bersama (colaborative) seperti forum DAS atau LKPDAS (Lembaga Koordinasi
Pengelolaan DAS) tingkat Provinsi. Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di
daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung
ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi
sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk
membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS di lintas kabupaten.
Kata kunci: Kelembagaan, DAS .
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan
batas administrasi pemerintahan tidak selalu kompatibel. Oleh karena DAS
merupakan kesatuan sistem alami dari hulu, tengah sampai daerah hilirnya
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Kota
Manado Telp. 0431-3666683
44| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan. Untuk itu
diperlukan tindakan kolektif semua pengguna sumberdaya untuk mengelola
proses hidrologis agar memperoleh produktivitas maksimum seluruh sistem
DAS. Dengan demikian kesepakatan antar stake holders tentang peraturan
akses sumber daya, alokasi, dan kontrol menjadi hal yang sangat penting
dalam pengelolaan DAS (Steins dan Edwards 1999a dalam Kerr, 2007).
Pada tataran inilah institusi atau lembaga pengelola DAS menjadi
prasyarat utama dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu
penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji kelembagaan yang tepat agar
tujuan pengelolaan DAS bisa terwujud. Mengingat hingga sekarang belum
ada institusi yang menjadi pemegang otoritas dalam pengelolaan DAS baik
di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat nasional.
Payung hukum pengelolaan DAS sesungguhnya sudah ada terutama
setelah terbitnya PP No. 37 tahun 2012. Pemerintah Daerah juga sudah
mulai menindak lanjuti peraturan tersebut dengan menerbitkan Perda yang
mendukung pengelolaan DAS. Juga sudah terbentuk Forum DAS di hampir
seluruh provinsi di Indonesia yang surat keputusannya ditandatangani oleh
Gubernur di masing-masing provinsi. Namun faktanya hingga sekarang
payung hukum tersebut berserta turunannya belum terimplementasi secara
riil di lapangan. Program pengelolaan DAS terpadu baru sampai pada produk
peraturan perundangannya dan belum sampai pada tahap implementasi
sesuai dengan maksud peraturan perundangan tersebut. Implementasi
pengelolaan DAS selama ini masih dilaksakanakan secara parsial dan bersifat
sektoral. Belum mengacu pada prinsip pengelolaan DAS yaitu “one river
one plan one management” dan KISS (Koordinasi, Integrasi,
Sinkronisasasi dan Sinergitas) diantara pemangku kepentingan. Oleh karena
itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh akar masalah penyebab sulitnya
implementasi pengelolaan DAS terpadu dari sisi perspekftif kelembagaan
birokrasi.
B. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem
kelembagaan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang selaras dengan
sistem pemerintahan otonomi daerah berdasarkan hierarki sistem
pengelolaan DAS yang meliputi wilayah lintas provinsi.
Sasaran yang dibidik dalam penelitian ini adalah menemukan suatu
sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas provinsi.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
45
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian Sistem kelembagaan pengelolaan DAS dilaksanakan mulai
dari tahun 2012 s/d 2013. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan sesuai
dengan lokus penelitian yaitu di DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara dan
DAS Limboto di Provinsi Gorontalo dengan sasaran pada instansi pemerintah
tingkat propinsi dan LSM tingkat provinsi serta Forum DAS dan DSDA tingkat
kabupaten.
B. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey. Teknik pengumpulan data
primer adalah wawancara secara mendalam (deep interview) dengan
menggunakan kuesioner dan perekam suara. Sedangkan teknik
pengumpulan data sekunder adalah menghimpun data-data yang relevan
dari instansi/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik dengan cara
mengkopi maupun dengan cara mencatat langsung.
Data primer yang menyangkut pandangan, saran, usul dan pendapat
mengenai struktur kelembagaan, mekanisme kerja kelembagaan, sistem
pendanaan, sistem koodinasi dan payung hukum/legalitas kelembagaan
dalam rangka mendapatkan suatu konsep kelembagaan yang baik untuk
mencapai kelembagaan pengelolaan DAS terpadu dalam wilayah kabupaten
dominan. Data sekunder yang dikumpulkan dari instansi responden adalah
struktur organisasi, AD/ART, TUPOKSI, program dan rencana kegiatan/aksi,
PERDA, SK Gubernur, laporan kegiatan SKPD dan UPT Pusat, serta data
statistik Kabupaten Dalam Angka, Provinsi Dalam Angka dll.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (contents analysis)
khususnya untuk data sekunder. Contents analysis menyangkut Peraturan
perundang-undangan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
Perencanaan Pengelolaan DAS terpadu. Teknik analisis lain yang digunakan
adalah analisis stakeholder (stkeholder analysis) untuk keperluan
mengetahui sejauh mana tingkat kepentingan dan wewenang tiap institusi
dalam pengelolaan DAS. Untuk menganalisis data primer mengenai
preferensi responden digunakan analisis sebab-akibat terutama soal masalah
kelembagaan DAS terpadu hubungannya dengan peraturan yang relevan di
era desentralisasi.
46| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
III. HASIL PENELITIAN
A. Institusi Pengelola DAS
Kelembagaan merupakan unsur utama dalam pengelolaan DAS terpadu,
karena tanpa kelembagaan maka semua program dan kegiatan pengelolaan
DAS tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Oleh karena itu
Kementerian kehutanan memprakarsai embrio kelembagaan DAS terpadu.
Sejak tahun 2003 Departemen Kehutanan (Dephut) cq. Dirjen RLPS, cq.
BPDAS terus mensosialisasikan kelembagan DAS terpadu dan membentuk
secara sistematis mulai dari pusat, provinsi sampai ke kabupaten. Hasilnya
adalah terbentuknya Forum-forum DAS yang meliputi hampir seluruh
provinsi di Indonesia. Dalam perkembangannya, mulai tahun 2010 sampai
sekarang ini oleh Kementerian Kehutanan cq. Dirjen Bina Pengelolaan DAS
dan Perhutanan Sosial cq. BPDAS telah menginisiasi lagi lembaga koordinasi
pengelolaan DAS terpadu yang disebut LK-PDAS baik di tingkat nasional,
provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.
Hasil penelusuran ke semua instansi di tingkat kabupaten diperoleh
stakeholder pengelola DAS. Penentuan stakeholder pengelola DAS di tingkat
kabupaten didasarkan pada tupoksi dan program kerja yang berhubungan
dengan pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil analisis tupoksi dan program
kerja instansi pemerintah maka dapat diklasifikasikan institusi pengelola DAS
kedalam dua kategori yaitu stakeholder utama dan stakeholder penunjang.
Stakeholder utama adalah institusi teknis yang tupoksinya dan program
kerjanya sangat erat dan berhubungan langsung dengan kegiatan di lapang.
Sedangkan stakeholder penunjang adalah institusi yang non teknis yang
tupoksi dan program kerjanya berhubungan dengan pengelolaan DAS tapi
tidak melakukan secara intens kegiatan di lapang.
Berikut ini adalah stakeholder utama dan penunjang dalam pengelolaan
DAS.
Tabel 1. Stakeholder Pengelolaan DAS Tondano dan DAS Limboto
No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang
1 Sulawesi Utara 1. BPDAS Tondano
2. Forum DAS
3. Dinas Kehutanan
4. BWS-1 Manado
5. Bappeda Provinsi
6. BLH
7. Dinas Pertanian, Perkebunan
dan peternakan
1. BALITBANGDA
2. BPN
3. PLN
4. PDAM
5. Perguruan Tinggi
(UNSRAT, dll)
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
47
No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang
8. Dinas Kelautan dan
perikanan
9. Dinas PU Provinsi
10. Dinas Pariwisata
2 Gorontalo 1. BPDAS Tondano
2. Forum DAS
3. Dishuttamben
4. BWS-2 Gorontalo
5. BLH
6. Bappeda Provinsi
7. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Perkebunan
8. Dinas peternakan dan
perikanan
9. Dinas PU Provinsi
10. Dinas Pariwisata
1. BAPPPEDA/BALIHRIS
TI
2. BPN
3. PLN
4. PDAM
5. Perguruan Tinggi
(UNG, UG)
B. Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui minat/kepentingan
dan peranan masing-masing stakeholder dan wewenang mereka dalam
pengelolaan DAS. Keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang
kompleks dan terkait dengan banyak pihak, bergantung pada pemahaman
yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (pihak terkait). Ada
delapan teknik analisis stakeholder menurut Bryson (2003), diantaranya
adalah teknik Power versus Interest Grids yang digunakan pada penelitian
ini. Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matrix dua kali
dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan
Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut.
Interest adalah minat atau kepentingan stakeholder terhadap
pengelolaan DAS. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi.
Power adalah kekuasaan/wewenang stakeholder untuk mempengaruhi atau
membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan DAS. Berikut ini disajikan matriks analisis stakeholder pengelola
DAS.
48| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
A. Subject
- Forum DAS/LK-PDAS**
- LSM dan masyarakat yang
peduli terhadap
pengelolaan DAS*
- Akademisi/Perguruan
Tinggi**
B. Players
- BPDAS*
- BWSS I dan II*
- Dishut Kabupaten*
- Dinas PU Kabupaten*
- Dinas Pertanian dan
perkebunan**
- Dinas Perikanan dan
pariwisata**
- Balitbangda**
- BPLH/BLH Kab**
D. Crowd
- Masyarakat umum
C. Contest setter
-Bappeda/Bappelitbangda**
Power
Keterangan : * = sangat penting ** = penting
Gambar 1. Matriks analisis stakeholder (kedudukan stakeholder dalam
pengelolaan DAS)
Gambar 1 menunjukkan bahwa kuadran subjek merupakan kelompok
stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi namun memiliki kewenangan
dan pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan DAS. Kelompok
stakeholder ini terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kegiatan
pelestarian lingkungan, pengambil manfaat dari sumberdaya alam dalam
DAS, akan tetapi stakeholder ini tidak memiliki kewenangaan dalam
pengambilan keputusan ataupun perencanaan dalam kebijakan program
pengelolaan DAS. Kelompok masyarakat menjadi salah satu stakeholder
kunci yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam
karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari kelestarian DAS,
Namun secara kewenangan mereka memiliki kekuatan rendah dalam
menentukan kebijakan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu keberadaan
forum DAS baik Forum DAS Limboto maupun Tondano dianggap tidak
mempunyai kewenangan dan pengaruh yang besar dalam kegiatan
pengelolaan DAS karena forum ini hanya sebatas tempat bertukar pikiran
dan diskusi yang tidak didukung oleh payung hukum yang jelas. Yang
Inte
rest
High
Low High
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
49
termasuk kedalam subyek dalam pengelolaan DAS ini adalah Forum DAS
dan Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS serta akademisi.
Kuadran players merupakan kelompok stakeholder yang memiliki
tingkat minat/kepentingan dan kewenangan yang tinggi dalam mewujudkan
keberhasilan pengelolaan DAS. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi
memiliki otoritas yang tinggi dalam perumusan kebijakan, perencanaan serta
penganggaran dalam pengelolaan. Selain itu stakeholder tersebut juga
memiliki peran mengorganisir, mengkoordinasikan serta mensinkronkan
program kegiatan dalam pengelolaan DAS. Stakeholder yang termasuk
dalam kategori players antara lain :
a. BPDAS Bone-Bolango/ Tondano
b. Dinas Kehutanan Provinsi
c. Dinas Kehutanan Kabupaten.
d. Dinas Pertanian
e. BLH
f. Balitbangpedalda
g. Dinas PU Prop/Kab
Stakeholder yang masuk dalam kuadran contest setter memiliki
minat/kepentingan yang rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses
penentuan kebijakan. Tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan
terselenggaranya perencanaan pembangunan di daerah, memiliki
minat/kepentingan yang rendah karena dalam perencanaan belum
mendorong secara optimal pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, pengaruh
yang tinggi karena perguruan tinggi melakukan penelitian, melakukan
ekspose hasil penelitian yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan.
a. Bappeda Provinsi
b. Universitas/Perguruna Tinggi
c. Bappppeda Kabupaten
Sedangkan stakeholder yang masuk dalam kuadran crowd memiliki
pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula. Dengan adanya
stakeholder yang masuk dalam crowd ini menghambat terwujudnya
pengelolaan.
C. Sistem Pendanaan Kelembagaan Pengelolaan DAS Terpadu
Pada akhirnya keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila
program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat
diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk keperluan tersebut dukungan
penganggaran merupakan kebutuhan mutlak. Dari uraian latarbelakang di
50| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
atas telah dikemukakan bahwa salah satu kendala tidak berjalannya konsep
pengelolaan DAS terpadu adalah dukungan dana yang tidak jelas. Oleh
karena itu diperlukan kajian untuk menyusun sistem pendanaan yang tepat
sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.
Berdasarkan ketersediaan dana, maka hampir dipastikan bahwa untuk
kepentingan teknis pengelolaan DAS Tondano, kabupaten minahasa sangat
tergantung dengan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi maupun
pemerintah pusat dan luar negeri. Sebab anggaran daerah yang bersumber
dari DAU, 70-80 % hanya habis untuk pembiayaan belanja pegawai.
Berdasarkan hal itu, dengan memandang DAS Tondano dan DAS
Limboto sebagai DAS Strategis nasional dengan Danau Tondano dan Danau
Limboto didalamnya maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan
perhatian yang serius terhadap upaya pelestarian DAS khususnya di hulu.
Yang berjalan selama ini adalah; program pembantuan pemerintah pusat
terhadap upaya pelestarian DAS langsung dilaksanakan oleh instansi terkait
dengan Kementerian pemberi program dan tentunya akan mengikuti
standard dan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian yang bersangkutan
karena pertanggungjawabannya pun kepada Kementerian bersangkutan.
Yang menjadi permasalahan adalah karena kadang-kadang program
pembantuan tersebut tidak sinkron dengan program pembangunan yang
disusun oleh pemerintah daerah.
Bila memandang DAS Tondano dan DAS Limboto berdasarkan letak
administrasinya serta peran DAS Tondano bagi pembangunan Sulawesi
utara dan DAS Limboto di Gorontalo, maka pemerintah provinsi bertanggung
jawab penuh dan berkewajiban memberikan perhatian bagi penyelamatan
DAS Tondano dan DAS Limboto. Yang dirasakan oleh pemerintah Kabupaten
Minahasa dan Kabupaten Gorontalo adalah bahwa pemerintah provinsi
belum ada perhatian khusus dan terkesan membiarkan tanggung jawab
pelestarian DAS bahkan hasil retribusi dari PLN dan PDAM serta perusahaan
air minum lainnya yang langsung maupun tidak langsung menggunakan
sumberdaya air DAS Tondano tidak jelas pembagian dan peruntukannya.
Padahal kewenangan pemungutan retribusi ditangani oleh pemerintah
provinsi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD di tingkat kabupaten
bahwa mekanisme pendanaan dalam rangka pengelolaan DAS yang
memungkinkan bisa dilaksanakan sekarang ini adalah sebagai berikut:
- Menggunakan skema DIPA di masing-masing SKPD teknis yang
bersumber dari APBD. Kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
51
bahwa dana APBD sangat terbatas sedang program prioritas daerah
sangat banyak khususnya untuk sektor infrastruktur, pertanian,
kesehatan dan pendidikan.
- Anggaran tugas pembantuan dari pusat/kementerian berupa DAK
(Dana Aloksi Khusus). Skema ini bagi daerah sangat memungkinkan
karena disamping bisa mengeleminir keterbatasan dana daerah juga
koordinasi pusat dan daerah bisa terjalin dengan baik. Hal ini sudah
dibuktikan dalam implementasi GERHAN di lapangan. Kelemahan
skema ini hanya melibatkan kementerian tertentu saja dan SKPD
tertentu saja. Belum melibatkan semua pemangku di dalam DAS.
- Anggaran dari UPT Kementerian seperti dana dari Kemenhut cq.
BPDAS; dari Kemen. PU cq. BWS; dana dari Kemeneg. Lingkungan
Hidup, cq BLH. SKPD siap memfasilitasi dan membantu di daerah.
- Anggaran dari lembaga donor dan pihak ketiga.
Menurut pandangan dan pendapat pimpinan SKPD bahwa yang paling
penting adalah sumber dananya jelas dulu, baru membahas siapa, berbuat
apa, dimana, kapan, bagimana dalam suatu DAS tertentu. Bila ini semua
jelas maka tentu KISS dalam konsep pengelolaan terpadu dengan sendirinya
akan terwujud karena KISS merupakan dampak dari berjalannya kegiatan
kolaboratif.
D. Keterkaitan RPDAS Terpadu dengan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata
cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang
dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah. Secara ringkas sistem perencanaan pembangunan
nasional berdasarkan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hierarki sistem perencanaan pembangunan nasional
No Tingkat Nasional Tingkat Daerah
(Provinsi dan
Kabupaten/ kota
Kementerian
dan
Lembaga
SKPD Periode
1 RPJP Nasional RPJP Daerah 20 tahun
2 RPJM Nasional RPJP Daerah Rentra-KL Rentra-
SKPD
5 tahun
3 RKP RKPD Renja-KL Renja-
SKPD
1 tahun
52| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Proses penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan
melalui urutan kegiatan sebagai berikut:
a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. Penyiapan rancangan rencana kerja;
c. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)
d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Adapun penyusun dan pengesahaan sistem perencanaan pembangunan
nasional seuai dengan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Penyusun dan pengesahan perencanaan pembangunan nasional di
berbagai level pemerintahan
No Level
Pemerintahan
Jenis Perencanaan
(Periode)
Penyusun Penetapan/
Pengesahan
1 Nasional RPJP-Nas
(20 tahun)
Menteri/Kepala
Bappenas
Undang-undang
RPJM -Nas
(5 tahun)
sda PERPRES
RKP(1 tahun) sda PERPRES
2 Kementerian/
Lembaga (KL)
RENSTRA- KL
(5 tahun)
Menteri/kepala
lembaga
sektoral
Peraturan
Pimpinan
Kementerian/
Lembaga
RENJA - KL
(1 tahun)
sda Peraturan
Pimpinan
Kementerian/
Lembaga
3 Daerah
( Provinsi dan
Kebupaten/
kota)
RPJP-Daerah
(20 tahun)
Kepala
Bappeda
PERDA
RPJM-Daerah
(5 tahun)
sda Peraturan
Kepala Daerah
RKPD
( 1 tahun)
sda Peraturan
Kepala Daerah
4 SKPD (Provinsi
dan
Kabupaten/
Kota)
RENSTRA SKPD
(5 tahun)
Kepala SKPD Peraturan
Pimpinan SKPD
RENJA SKPD
(1 tahun)
sda Peraturan
Pimpinan SKPD
Setelah RKP ditetapkan dan disahkan maka RKP menjadi pedoman
Penyusunan RAPBN oleh DPR. Demikian pun dengan RKPD menjadi
pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
53
Berdasarkan hierarki, proses penyusunan dan penetapan rencana
pembangunan nasional bila dikaitkan dengan RPDAS terpadu maka hingga
saat ini belum masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
Oleh karena itu bila RPDAS terpadu bisa diterapkan secara nasional maka
RPDAS tersebut harus masuk dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional sebagaimana diatur dalam UU no. 25 tahun 2004 yang selama ini
dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Sesungguhnya RPDAS terpadu dapat diakomodasi dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional kerena dalam pasal 1 UU no. 25 tahun
2004 disebutkan bahwa Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah
sekumpulan rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan
Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, daerah,
atau kawasan. Program kewilayahan dan lintas wilayah dimaksud sangat
sesuai dengan program pengelolaan DAS. Untuk itu maka hanya dibutuhkan
usaha berupa mekanisme pengaturannya agar RPDAS masuk dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional karena perangkat peraturan
perundang-undangan memungkinkan untuk itu.
Untuk tingkat kabupaten/kota, RPDAS harus masuk dalam RPJP daerah,
RPJM daerah dan RKPD. Dengan demikian maka akan dapat dituangkan
dalam Renstra dan Renja SKPD agar bisa terimplementasi secara formal. Bila
hal ini sudah berjalan maka kendala mengenai RPDAS tidak diakomodir oleh
Pemda dan sumber pendanannya yang dialami selama ini dapat tereleminir.
E. Respon Pemda terhadap RPDAS Terpadu
Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam analisis ini adalah
mengapa Pemda terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu yang telah
dibuat oleh kementerian kehutanan cq. BPDAS Tondano di Sulut dan BPDAS
Bonebolango di Gorontalo. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti
menggunakan pendekatan kajian peraturan perundangan yang berlaku dan
pendapat para pimpinan stakeholder pengelola DAS di Kabupaten Minahasa,
Bolmong, dan Kabupaten Gorontalo.
Bila ditinjau dari segi peraturan perundangan-undangan bahwa sistem
perencanaan pembangunan di daerah mengacu pada UU no. 25 tahun 2004.
Dengan demikian maka semua program pembangunan di daerah termasuk
mengenai program pengelolaan DAS terpadu seharusnya masuk dalam
proses penyusunan dan penetapan RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja
SKPD. Namun dalam kenyataannya bahwa proses penyusunan RPDAS
terpadu ternyata terpisah dengan proses penyusunan rencana
54| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
pembangunan di daerah. Penyusunan RPDAS terpadu disusun oleh
Kementerian Kehutanan cq. BPDAS. Dengan demikian maka posisi pemda
dalam hal mengakomodasi RPDAS sangat sulit karena bila RPJP, RPJM,
RPKD, Renstra dan Renja SKPD telah ditetapkan sedangkan RPDAS hendak
masuk maka hal ini tidak memungkinkan.
Hal ini sangat terkait dengan alokasi pendanaan karena dalam UU no
25 tahun 2004 juga telah diatur bahwa bila RKPD telah ditetapkan dan
disahkan maka RKPD tersebut menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh
DPRD. Konsekuensinya bila RPDAS tidak masuk dalam RKPD maka tentu
tidak akan mendapat alokasi anggaran dari APBD. Dengan demikian maka
RPDAS tidak bisa dijalankan oleh SKPD dengan menggunakan APBD.
Hal inilah yang mengakibatkan sikap Pemda/SKPD terkesan sulit
mengadomodasi RPDAS terpadu. Dengan kondisi demikian sikap SKPD
hanya menunggu bila program dan kegiatan RPDAS terpadu dilengkapi
dengan dana dari inisiator itu sendiri, posisi SKPD siap membantu
mengimplementasikannya. Bila inisiator mengharapkan dana dari APBD
maka hal ini sulit terealisasi.
F. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS
Dalam menentukan dan mengembangkan bentuk kelembagaan
pengelolaan DAS, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.
Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada
pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004). Secara
umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono dan Iwanuddin, 2008):
a. Bentuk kelembagaan Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap
individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang
itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi
otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan
kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak
(Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu
masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara,
salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang
kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem
polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hierarki,
maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan
sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks.
b. Bentuk kelembagaan Monocentric; dalam kelembagaan ini otoritas
terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
55
dibawah komando dari pusat. Kelebihan sistem ini adalah bersifat
sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river,
one plan and multi management. Ada arahan yang jelas dari pusat.
Kelemahan kelembagaan Monocentric, antara lain pengelolaan DAS
hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan
mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan
adalah kerjasama dari mereka.
c. Bentuk kelembagaan gabungan Polycentric dan Monocentric;
kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga
Polycentric dengan Monocentric, artinya masing-masing pihak
mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan
dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan
dan pedoman monitoring dan evaluasi.
Dari tiga bentuk kelembagaan yang disebutkan di atas maka bentuk
lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS
terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan
Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan
Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative), baik dengan
membentuk lembaga baru atau memanfaatkan kelembagaan yang sudah
ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi)
merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam
pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini.
Secara faktual untuk mendapatkan suatu kelembagaan pengelolaan
DAS yang baik dan diakui oleh semua pihak tidak bisa instan. Lembaga
bukanlah blue print karena bersifat dinamis. Seiring dengan waktu maka
sambil jalan dengan kegiatan di lapang, lembaga yang mengawal kegiatan
tersebut akan mengalami proses penyempurnaan. Untuk itu lembaga
pengelolaan DAS terpadu dirancang agar bisa mengikat semua pemangku
DAS. Sebagai langkah awal perlu dibuat prototipe lembaga pengelolaan DAS
terpadu yang legitimate. Artinya bahwa perlu suatu “payung hukum” yang
mengikat semua pemangku berupa peraturan perundangan-undangan serta
turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya. Dengan demikian
maka kendala utama yang selama ini dirasakan soal koordinasi, integrasi,
sinkronisasi, sinergitas (KISS) yang lemah dan sulit terlaksana serta
dukungan dana yang tidak jelas bisa tereleminasi. Disamping itu slogan
“siabudiba” (siapa, berbuat apa, dimana, dan bilamana) dalam pengelolaan
56| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
DAS akan lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik. Prakondisi
pembentukan prototipe kelembagaan DAS terpadu adalah:
- Adanya peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai
pedoman dalam menjalankannya yang bersifat mengikat semua
pemangku DAS
- Memanisme penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu harus link
dengan proses perencanaan di Pemda/SKPD sebagai bagian dari
pemangku DAS. Dengan demikian dihasilkan perencanaan yang dapat
dijalankan oleh semua pemangku, baik itu intansi pusat maupun instansi
daerah.
- Hal yang paling krusial adalah adanya dukungan dana yang jelas,
kontinu, legal dan akuntabel.
Bila prakondisi diatas sudah dilakukan maka berlanjut kepada
pembentukan Prototipe Kelembagaan DAS terpadu. Prototipe Kelembagaan
DAS terpadu bisa berjalan secara baik bila:
- Ada issu pokok yang menjadi prioritas penanganan
- Ada role of the game yang jelas
- Kualifikasi SDM yang memadai
- Ada sumber dana yang jelas, kontinu dan legal.
G. Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah
Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh
strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan
berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas
terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola DAS secara berkelanjutan masih
lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity
building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat
ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya
konflik antar wilayah adalah :
1. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan
Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis
yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional.
Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik
ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.
Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS
dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim hujan di bagian hilir, dan
meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat menurunkan kualitas air
aliran sungai di hilirnya.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
57
Masalah ketidakmerataan dan ketidakefisienan penggunaan alokasi SDA
yang mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik
antar daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung
menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya
sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu
terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian
sumberdaya serta memicu konflik.
Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu
saling terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam
pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar
kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem
pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada
upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan
ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah
otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk menyusun langkah-
langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan
pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama
antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya
perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada
setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.
Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan
melakukan negosiasi politik antar daerah yang didasarkan pada adanya
kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA, sehingga alokasi dan
distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.
Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk
Badan Kerjasama antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999).
Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan daerah harus
mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak
dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan
penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Provinsi.
Apabila kerjasama antar Provinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus
dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan provinsi juga mencakup
kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam
pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika
pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat
membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Provinsi.
58| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Membangun Sistem Legislasi yang Kuat
Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan
memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik)
apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi
dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan
mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran
legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
a. Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya
yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat
organisasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan
DAS berkelanjutan.
b. Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan
menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah
c. Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan
dalam DAS dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip
pengelolaan DAS berkelanjutan.
Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam
hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti
lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan
degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan (authorities)
kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undang-
undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,
pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian
konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan
sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan
sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources
development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan
kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan
pengelolaan DAS.
3. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.
Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks,
rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan
dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa
yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana
individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
59
instrumen yang mengatur antar individu. Institusi sebagai modal dasar
masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang
mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku
tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas
anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak
secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi
faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya
(Kartodihardjo et al., 2000).
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat
kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan
(jurisdiction boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan
aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan
sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi
pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan
dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang
diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas
yang dimilikinya.
Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan
prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi
pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.
Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan
kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di
Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki
peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat
keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama
proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia
sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara
lain adalah masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau
mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.
Duplikasi program akan menyebabkan ketidakefisienan anggaran
berupa pemborosan dan mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program,
serta ketidakjelasan rentang kewenangan pengelolaan DAS. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum menerapkan
60| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga
tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one
river one plan belum diimplementasikan secara menyeluruh.
4. Meningkatkan Kualitas SDM
Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum
masih rendah dan terdapat kesenjangan di seluruh daerah otonom.
Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat yang
melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA
secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.
Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat
apa yang harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi
degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas lahannya. Para
penyuluh pun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai
untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi
atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwenang
menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep yang
menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam
suatu DAS.
Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara
terus menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/SDM dalam
pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana
diseluruh DAS dan daerah otonom.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Bentuk kelembagaan yang paling sesuai dalam pengelolaan DAS lintas
kabupaten saat ini adalah kelembagaan kolaboratif baik itu berupa
Forum DAS atau Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS).
Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD.
Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung
ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-
PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi
antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan
kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten.
2. Forum/Lembaga Koordinasi DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan
DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh
lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah
daerah (SKPD) sesuai kewenangan dan tupoksinya masing-masing.
Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro
61
3. Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun harus masuk
dalam tahapan dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan
nasional sesuai dengan UU. No.25 tahun 2004 yaitu melalui
MUSRENBANGDA.
4. Program pengelolaan DAS terpadu mau tidak mau harus masuk dalam
program pembangunan nasional jangka panjang dan menengah (RPJP
& RPJM) sehingga dapat dijalankan di level kabupaten maupun provinsi
(sikron dengan RKPD) dan disyahkan oleh pejabat yang berotoritas
tinggi agar mendapat legitimasi yang kuat dan dapat diikuti instansi
SKPD dan instansi vertikal kementerian teknis.
5. Optimalisasi peran dan fungsi Forum DAS atau LK-PDAS sangat
ditentukan oleh dukungan intansi pemerintah terutama soal kebijakan
dan pendanaannya.
6. Sumber perdanaan pengelolan DAS terpadu untuk SKPD adalah APBD
dan dana tugas pembantuan dari pusat berupa DAK serta pihak
ketiga/lembaga donor, sedangkan UPT kementerian bersumber dari
APBN.
7. Semua sumber pendanaan untuk pengelolaan DAS dikoordinasikan
melalui forum DAS atau LK-PDAS untuk mensinkronkan dengan
kegiatan agar prinsip one river, one plan, multi manajemen bisa
terealisasi.
8. Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan
melalui peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi
: (a) membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom
dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang kuat;
dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam
pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui
pelatihan (training).
B. Saran
1. Keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan
perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan
ditingkat tapak. Untuk itu dukungan penganggaran yang jelas dan
kontinyu dari institusi yang terlibat merupakan kebutuhan mutlak
sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.
2. Perlu ada suatu pilot project implementasi pengelolaan DAS terpadu
dimana dalam satu DAS prioritas tertentu semua unsur terkait terlibat
melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS secara bersama-sama sesuai
62| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dengan tupoksi dan rencana kerjanya dalam satu bingkai rencana untuk
membuktikan sejauh mana keterpaduan seperti dalam konsep
pengelolaan DAS terpadu dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bryson, J,M. 2003. ”what to do when stakeholder matter; a guide to stakeholder identification and analysis techniques. University of minnoseta
Kementerian Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT.
Kementerian Kehutanan –a. 2001. Eksekuitf. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta.
Kementerian Kehutanan –b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta.
Kementerian Kehutanan dan Perkebunan RI. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). P2SE. Bogor
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS danKonservasi Tanah. K3SB. Bogor.
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Kerr, John. 2007. “Watershed management; Lessons from common property theory”. International Journal of The Commons 1(1):89-109. publisher: Igitur Utrecht Publishing & Archiving Services For IASC.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri; Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum, No.19 tahun 1984 – No.059/Kpts-II/1984 – No.124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas.
Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS: Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (Pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja). Prosiding Penelitian Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
63
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi
Tanah ( RLKT ) Berbasis Perilaku Petani
(Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA
Tondano)1
Hengki Djemie Walangitan2
ABSTRAK
Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi seringkali diabaikan dalam perumusan
kebijakan akibatnya program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) tidak
sepenuhnya diadopsi dan terimplementasi secara berkelanjutan. Penelitian ini
dilakukan untuk mendeskripsikan keragaan usahatani konservasi serta menganalisis
kebijakan RLKT yang bersesuaian dengan perilaku petani di Daerah Tangkapan Air
(DTA) Danau Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan
usahatani konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik.
Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi, dan luas aset lahan kering
dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga berbeda secara signifikan
antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis perilaku tersebut maka strategi
perbaikan kualitas konservasi tanah dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai
berikut : (1) sub DTA bagian timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata
dengan tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian barat
adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan ternak sapi
(jagung-strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA selatan dirancang dalam
sistem agroforestry basis tanaman hortikultura. Penanaman pohon penghasil
serasah/bahan organik untuk menjamin kesehatan tanah dalam jangka panjang.
Kata kunci: perilaku, keragaan, agroforestry
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano memiliki peran vital
dan strategis bagi perekonomian wilayah. Fungsi ekonomi dan ekologis
tersebut telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi
Sulawesi Utara, melalui manfaat langsung (tangible) dan tidak langsung
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan
Manado, Manado 9 Oktober 2014. 2
Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Unsrat Manado; Jln. Kampus Unsrat Kleak
Manado 95115 phone 0431-862768 fax 0431-86278; Email: hengki [email protected].
64| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
(intangible). Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan eksistensi
ekosistem DAS Tondano khususnya pada wilayah DTA Danau Tondano
dilakukan dengan menetapkan DAS Tondano sebagai satu diantara 22 DAS
prioritas di Indonesia pada Tahun 1984, selanjutnya pada tahun 2012
pemerintah mempertegas status DAS Tondano sebagai DAS strategis
nasional.
Upaya pengelolaan DAS Tondano telah dimulai jauh sebelum negara
Indonesia merdeka yaitu melalui kegiatan relokasi penduduk di sekitar
danau ke wilayah baru dalam program kolonisasi sekitar tahun 1930-an.
Rehabilitasi lahan telah dilakukan sejak Repelita I, melalui program
penyelamatan tanah dan air (Inpres Reboisasi dan Penghijauan Tahun
1976–1998) hingga program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (GNRHL) tahun 2003–2009. Realisasi program GNRHL di wilayah DAS
Tondano sejak tahun 2003 hingga tahun 2005 meliputi 93 lokasi hutan
rakyat dan 37 lokasi reboisasi (BPDAS Tondano, 2008).
Sasaran rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada kawasan
budidaya DAS Tondano tercantum dalam dokumen Rencana Pengelolaan
DAS Terpadu (RPDAST) Tahun 2008 adalah sebagai berikut : (1)
memperbaiki kualitas lahan (kesuburan biologis dan kimia) dalam
mendukung produktivitas pertanian berkelanjutan, (2) menurunnya laju
erosi tanah pada lahan pertanian hingga pada kategori sangat ringan, (3)
meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam upaya
mengimplementasikan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam sistem usaha
tani, dan (4) terwujudnya sistem pemanfaatan lahan pertanian
berdasarkan kemampuan lahan untuk mendukung pemanfaatan lahan yang
lestari (BPDAS Tondano, 2008).
Lebih lanjut diuraikan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan
konservasi tanah dan air dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS
terpadu adalah sebagai berikut : (1) mengintegrasikan sistem konservasi
tanah dan air dalam program revitalisasi pertanian yang dicanangkan
pemerintah, (2) mengembangkan sistem usahatani ramah lingkungan
seperti pertanian organik dan usahatani konservasi, (3) revitalisasi peran
penyuluh pertanian, (4) membatasi konversi lahan pertanian produktif
untuk tujuan non produksi pertanian, dan (5) menciptakan nilai tambah
produk pertanian dengan mengembangkan industri-industri yang berbasis
hasil pertanian.
Menurut Soemarno (2004), terdapat dua sub sistem yang harus
dipelajari dalam rangka pengembangan kebijakan RLKT secara
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
65
berkelanjutan yaitu : (a) sosio-sistem, ditelusuri melalui pola hidup
masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, pendapatan
perkapita dan tingkat kepedulian terhadap potensi sumberdaya alam dan
lingkungannya, serta (b) tekno-sistem, ditelusuri berdasarkan aspek
penggunaan tanah baik untuk penerapan teknologi budidaya, industri,
maupun pemanfaatan lainnya yang erat kaitannya dengan konservasi
tanah.
Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya konservasi
tanah pada tingkat usahatani secara berkesinambungan, hanya dapat
dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama
berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya konservasi
masyarakat suatu wilayah. Pagiola (1998) mengatakan bahwa tanpa
pemahaman yang jelas mengenai alasan petani mengadopsi konservasi
tanah dalam sistem penggunaan lahan tidak mungkin membuat kebijakan
yang tepat bagi terlaksananya sistem usahatani konservasi secara
berkelanjutan.
Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi dalam farming sistem telah
menjadi bahan kajian yang menarik pada beberapa tahun terakhir. Hal ini
terkait dengan fenomena adanya perbedaan yang sangat mencolok
produktivitas lahan antara negara maju dan negara berkembang. Demikian
juga dalam konteks lokal, sering dijumpai perbedaan produktivitas dan
kesejahteraan petani pada suatu agroekosistem yang sama. Kajian perilaku
usahatani konservasi berkaitan dengan apa yang dilakukan pada masa lalu,
masa sekarang dan apa yang mereka rencanakan untuk dilakukan pada
masa yang akan datang. Menurut Silalahi (2010) kajian perilaku
mempertanyakan siapa mengerjakan apa, kapan, dimana dan mengapa.
Wujud aktual sistem usahatani termasuk teknik konservasi tanah yang
diterapkan petani pada suatu wilayah dan waktu tertentu dapat menjadi
gambaran perilaku petani.
Studi keragaan usahatani konservasi sebagai potret perilaku petani
umumnya menggunakan pendekatan logit atau probit (Pereira, 2010).
Model logit dan probit pada prinsipnya hanya menilai keragaan konservasi
tanah dengan melihat apakah petani mengadopsi atau tidak mengadopsi
(adopters or non-adopters) terutama teknik konservasi mekanis. Pada
kenyataannya berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat adopsi
teknologi konservasi sangat bervariasi baik mekanis maupun vegetatif. Oleh
sebab itu penilaian tingkat adopsi harusnya yang mencakup semua
parameter konservasi tanah dalam model intensitas adopsi yang dinyatakan
66| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dalam bentuk nilai indeks keragaan tidak hanya dalam model logit dan
probit.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan untuk
mengeksplorasi keragaan usahatani konservasi pada lahan kering berlereng
di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Tondano sebagai wujud aktual
perilaku petani dan menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan
perbaikan kualitas konservasi tanah dan air untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan.
B. Tujuan Penelitian
Secara spesifik penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis keragaan
usahatani konservasi sebagai wujud aktual perilaku petani dalam
menerapkan konservasi tanah dan air, (2) menganalisis hubungan antara
aspek sosial ekonomi dengan keragaan usahatani konservasi di DTA Danau
Tondano, dan (3) Mengelaborasi perilaku usahatani konservasi dalam
rangka pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air secara
berkelanjutan.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau
Tondano wilayah DAS Tondano Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi
Utara. Secara geografis wilayah studi terletak antara 10 06' - 10 20' LU dan
1240 45' - 1240 58' BT, terletak pada ketinggian 700-1000 m dpl dengan
luas 18.466,95 ha. Berdasarkan administrasi pemerintahan wilayah studi
mencakup 9 kecamatan yang terdiri atas 69 desa. Wilayah studi terbagi atas
tiga sub DTA yaitu: sub DTA bagian Timur Danau, sub DTA bagian Barat
dan sub DTA bagian Selatan. Secara spasial wilayah studi disajikan pada
Gambar 1. Dari aspek sosial budaya ke tiga wilayah sub DAS mewakili tiga
sub etnis di Minahasa. Sub Etnis Tolour di sub DAS Timur dan sebagian
besar DTA Barat, sub etnis Tontemboan di DTA Selatan dan sub etnis
Tombulu di daerah penggunungan DTA Barat.
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dimulai pada bulan Agustus 2010
hingga bulan Mei 2011.
B. Metode Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan pengamatan
lapangan. Unit analisis sosial ekonomi adalah rumah tangga petani lahan
kering di daerah hulu pada beberapa zona agroekosistem di DTA danau
Tondano. Penentuan sampel ditetapkan dengan metode cluster sampling.
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
67
Wilayah studi dibagi atas tiga wilayah pertanian lahan kering berdasarkan
jenis tanaman budidaya dominan serta perbedaan fisik lahan (lereng dan
tekstur tanah) sebagai gambaran perbedaan agroekosistem.
Sampel diambil dengan teknik kombinasi antara stratified sampling
dan cluster sampling (Siregar, 2010). Pada setiap zona tersebut ditetapkan
desa-desa sampel secara proporsional selanjutnya di tingkat desa sampel
responden ditetapkan secara purposif sesuai dengan nama pemilik yang
telah disurvey kebunnya.
Penentuan Jumlah sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus
(Parel et al., 1973) sebagai berikut :
n =
………………………………………………………….(1)
dimana,
n : jumlah responden yang akan diambil
N : Jumlah seluruh unit populasi (Nh1 + Nh2 + Nh3 = Jumlah petani lahan
kering pada masing-masing zona/cluster)
z : nilai variable random (dikehendaki signifinance level 95%, maka z = ,960)
d : Maksimum error yang masih diterima 10 %, maka d = 0,10
p : proporsi perkiraan yang bisa dijangkau adalah 50 % sehingga p = 0,5
Jumlah responden pada masing masing zona ditetapkan dengan rumus
sebagai berikut :
N1 =
…………………………………………………………….…….….(2)
dimana,
n1 : Jumlah sampel yang diambil pada kluster ke 1
Nh1 : Jumlah unit populasi pada cluster 1
n : jumlah seluruh sampel yang diambil berdasarkan rumus
Selanjutnya jumlah sampel untuk cluster/zona 2 dan 3 dihitung sebagai
berikut :
N2 =
; N3 =
………………………………………..(3)
68| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Hasil perhitungan jumlah sampel pada setiap cluster berdasarkan
persamaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan jumlah responden rumah tangga (RT) tani.
Wilayah DTA Jumlah RT % RT Tani Jumlah RT Tani (Nhi)
Jumlah RT Contoh
Sub DTA Selatan (N-i)
9961 80 7968 48
Sub DTA Barat (N2)
5426 75 4069 24
sub DTA Timur (N3)
5172 80 4137 25
Jumlah (N) 19659 - 15030 97 Keterangan : Jumlah rumahtangga tani diperoleh dari data kecamatan dalam angka tahun 2010
C. Analisis Data
Penilaian keragaan usahatani konservasi dilakukan dengan metode
skoring dan pembobotan terhadap komponen usahatani konservasi yang
menggambarkan efektifitas pengelolaan tanah dan tanaman serta perlakuan
lainnya dalam mengendalikan erosi dan perlindungan kesuburan tanah.
Unsur sub sistem usahatani meliputi jenis tanaman dan sistem penanaman
(pengaturan ruang), persentase tanaman permanen, pemupukan dan
pemberian mulsa. Sedangkan sub sistem konservasi tanah meliputi
terasering dan intensitas pengolahan tanah.
Metode penilaian keragaan usahatani konservasi tanah dibuat dengan
memodifikasi cara penilaian dan pembobotan tingkat adopsi teknologi
konservasi yang dikembangkan Departemen Kehutanan (1998) dalam
Pedoman Penyusunan RTL-RKLT serta metode Penilaian Keberhasilan
Reklamasi Hutan (Lampiran 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor
P.60/Menhut-II/2009). Secara garis besar pembobotan setiap indikator dan
kriteria disajikan pada Tabel 2.
Selanjutnya nilai keragaan usahatani konservasi tanah pada suatu unit
usahatani dihitung dengan rumus berikut :
∑
................................................................(4)
dimana,
KTAi = Nilai keragaan konservasi tanah dan air suatu unit
usahatani/kebun ke i
Tsi = Total skor penilaian kriteria i
Nmi = Nilai maksimum kriteria i
N = Jumlah kriteria
Bi = Bobot untuk kriteria I
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
69
Nilai interval kelas untuk penentuan kriteria ditentukan melalui
pengurangan nilai skor tertinggi dikurangi nilai skor terendah dibagi jumlah
kriteria :
dimana,
I = Interval Kelas
Nt = Nilai skor tertinggi
Nr = Nilai Skor terendah
K = Jumlah kriteria
Analisis data menggunakan statistik deskriptif untuk mengekplorasi
perbedaan keragaan konservasi tanah antar wilayah sub DTA dan statistik
non parametrik (Rank Spearman) digunakan untuk analisis korelasi antara
keragaan dengan faktor sosial ekonomi. Analisis tersebut menggunakan
paket program SPSS 18.
Tabel 2. Metode penilaian keragaan konservasi tanah pada satuan unit
usahatani lahan kering
kriteria indikator Parameter Standar penilaian Nilai Bobot
nilai
1. Perlakuan Mekanis 40
Efektivitas pengendalian erosi secara mekanis
Bentuk, ukuran dan kesesuaian dengan Lereng
a. Tanpa teras
b. teras sederhana
c. teras gulud baik
d. Teras bangku
0
1
2
3
25
Intensitas
pengolahan
tanah
Pengolahan
tanah
(frekwensi
pengolaha
tanah/ta-
hun)
a. Intensif
b. Agak intensif
c. Minimal
d. Tanpa olah tanah
0
1
2
3
15
2. Perlakuan Agronomis 60
Tingkat penutupan
lahan oleh tanaman
Komposisi
tanaman
permanen dan
tanaman
semusim yang
dinyatakan
dalam
persentase
a. 1-25
b. 26-50
c. 51-75
d. 76-100
1
2
3
4
25
70| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
kriteria indikator Parameter Standar penilaian Nilai Bobot
nilai
Pengaturan
ruang
tanaman dan
sistem
penanaman
a. Penanaman
memotong kontur
b. Tanam acak
c. Sistem penanaman
teratur menurut
kontur
0
2
A4
15
Pemeliharaan
kesuburan tanah
Tingkat
penggunaan
Pemupukan
organik dan
anorganik
a. Tanpa pupuk
b. Pupuk
c. Pupuk anorganik
0
2
A
10
Pemberian
mulsa
a. Tanpa mulsa
b. Mulsa anorganik
c. Mulsa organik
0
2
4
10
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kuantifikasi Keragaan Usahatani Konservasi
Secara umum keragaan konservasi tanah di wilayah studi ditentukan
oleh jenis komoditas utama yang dibudidayakan, kondisi lereng dan sifat
fisik tanah (khususnya tekstur dan struktur). Fenomena ini dapat dijelaskan
melalui social judgment theory (Pareira 2011). Asumsi teori tersebut adalah
bahwa alternatif yang dipilih petani ditentukan oleh persepsi. Persepsi
tersebut dibentuk oleh kondisi lingkungan serta pengalaman petani. Wujud
aktual bentuk konservasi tanah yang diaplikasikan dilapangan
menggambarkan perilaku petani.
Berdasarkan hasil inventarisasi dan pengamatan lapangan sistem
usahatani di DTA Danau Tondano, dapat dibedakan dalam 3 bentuk yaitu
(1) usahatani tanaman semusim berteras (hortikultura dan palawija), (2)
usahatani tanaman perkebunan campuran (cengkeh+pangan+buah-buahan)
dan (3) usahatani tanaman kayu-kayuan (hutan rakyat).
Hasil analisis keragaan rentang nilai keragaan maksimum bernilai 80
dan minimum bernilai 27,9. Nilai Indeks keragaan maksimum bila pada
suatu unit usahatani dari aspek konservasi secara mekanis menerapkan
terasering yang sesuai, pengolahan tanah minimal, dan dari aspek
vegetatif/agronomis penggunaan lahan sesuai lereng (perbandingan
tanaman semusim dan tanaman permanen (pohon), terdapat pengaturan
tanaman yang ideal serta ada upaya pemeliharaan kesuburan tanah seperti
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
71
penggunaan pupuk organik dan anorganik yang berimbang dan penggunaan
mulsa alamiah.
Nilai skor minimum adalah kondisi sebaliknya, dimana usahatani yang
dilakukan tanpa terasering, penggunaan lahan tidak sesuai lereng,
pengaturan tanaman dalam ruang lahan tidak teratur serta tidak ada upaya
pemeliharaan kesuburan tanah (pemberian mulsa dan bahan organik),
walaupun terdapat penanaman pepohonan di lahan milik.
Nilai keragaan konservasi tanah selanjutnya diklasifikasikan dalam 3
(tiga) kategori berdasarkan persamaan (4) yaitu keragaan Baik (Indeks
>75.96), Keragaan sedang (indeks 52 - 75.96), dan keragaan jelek
(indeks < 52 ).
Tabel 3. Keragaan Konservasi Tanah Menurut Wilayah sub DTA
Kategori keragaan
Wilayah SUB DTA Total
Barat Selatan Timur
...Jumlah unit usaha Tani...
Baik 0 1 1 2
Sedang 7 27 18 52
Jelek 13 2 1 16
T
ot
al
20 30 20 70
Hasil analisis
Selanjutnya dilakukan analisis Chi-Square untuk mengetahui apakah
terdapat perbedaan nilai keragaan konservasi tanah pada setiap sub DTA.
Hasil uji Pearson Chi-Square (Tabel 4) didapatkan nilai X2 hitung > X2 tabel 4
(005) dengan probabilitas (p 0.00 < 0.05) dengan berarti bahwa terdapat
perbedaan sangat signifikan tingkat persepsi masyarakat di 3 (tiga) wilayah
sub DTA.
Tabel 4. Hasil analisis Chi-Square perbedaan keragaan usahatani konservasi tanah menurut wilayah sub DTA.
Statistik uji Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 28.505a 4 .000
Likelihood Ratio 27.367 4 .000
N of Valid Cases 70 a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .57.
Kualitas konservasi secara mekanis dalam bentuk terasering ada
hubungannya dengan jenis tanaman yang dibudidayakan, kondisi lereng,
tekstur dan kedalaman tanah. DTA Selatan didominasi tanah tekstur
lempung berpasir dengan kedalaman tanah >100 cm dengan lereng landai
hingga agak curam, sangat cocok untuk budidaya tanaman palawija dan
72| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
hortikultura. Petani di sub DTA Selatan telah menerapkan sistem terasering
guludan kategori cukup baik pada usahatani palawija (jagung dan kacang-
kacangan) demikian juga pada usahatani hortikultura.
Sebaliknya di DTA Barat lahan berlereng didominasi oleh tekstur tanah
liat berbatu halus sampai kasar. Kondisi fisik tanah tersebut membatasi
pilihan jenis tanaman yang dibudidayakan serta memiliki kendala dalam
mengembangkan sistem teras yang lebih baik. Tanaman yang banyak
dibudidayakan di DTA Barat adalah jagung dan kacang tanah dengan sistem
terasering sederhana dengan kategori jelek.
Gambar 18. Perbedaan keragaan usahatani konservasi pada setiap wilayah
Sub DTA
Unsur pohon sebagai tanaman permanen merupakan komponen
penting dalam sistem usahatani konservasi karena berpengaruh pada
proses biofisik dan biokimia tanah dan sangat menentukan kesehatan tanah
(Subhrendu and Mercer, 1996). Keputusan petani menanam pohon memiliki
tujuan sederhana. Umumnya berorientasi pada tujuan ekonomi, estetika
dan tujuan lingkungan (pengendalian erosi dan peneduh). Di sub DTA
bagian barat, pohon ditanam sebagai tanaman tepi dan sebagian besar
adalah ditanam untuk kebutuhan kayu bakar seperti gamal (Glirisidia sp.)
dan jeunjing (Caliandra sp.), sedangkan di sub DTA Selatan, pohon ditanam
lebih teratur baik sebagai pohon peneduh, penyubur tanah juga untuk
tujuan ekonomi yaitu untuk kayu bangunan dan kayu bakar. Sebaliknya di
sub DTA Timur, pohon untuk penghasil kayu perkakas seperti nantu
(Palaqium sp.) dan cempaka (Magnolia campaca) sebagian besar ditanam
sebagai sisipan di antara tanaman cengkeh atau dalam bentuk hutan
tanaman monokultur (hutan rakyat).
Penanaman pohon sebagai bagian dari sistem usahatani yang
bertujuan agar kesuburan tanah tetap terjaga telah dipahami secara baik
oleh petani hortikultura di DTA Selatan khususnya di daerah lahan kering
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
73
berlereng (Desa Tumaratas, Toure dan Noongan). Berdasarkan hasil
wawancara petani secara sengaja menanam pohon kanonang (Cordia
blancoi) diantara tanaman hortikultura (tomat) untuk tujuan peneduh
sekaligus konservasi tanah khususnya terkait dengan bahan organik tanah.
Pohon kanonang pada dasarnya memiliki kualitas kayu yang tidak
cocok untuk dijadikan bahan bangunan, namun tumbuh subur dan tahan
pangkas. Pohon tersebut ditanam dengan jarak sekitar 10 x 10 m dan pada
saat telah tumbuh dipangkas secara periodik mengikuti pola rotasi tanam.
Pada saat tanaman akan diolah kembali untuk penanaman pada rotasi
berikutnya pohon tersebut dipangkas dan hasil pangkasan dibiarkan selama
beberapa hari hingga daun rotok kemudian kayunya diambil sebagai kayu
bakar.
Inovasi agroteknologi petani di DTA selatan tergolong maju, tingkat
adopsi teknologi produksi pertanian terlihat dari penggunaan pupuk
anorganik dan organik yang diaplikasikan lewat daun, penggunaan
pestisida, herbisida serta teknik konservasi tanah sistem teras dengan
konstruksi tergolong baik. Bahkan petani melakukan eksperimen untuk
mencoba hal-hal baru (mencampur berbagai pupuk yang tidak
direkomendasikan secara umum) untuk mendapatkan produksi tertinggi
walaupun secara ekonomi merugikan. Sebaliknya di DTA Timur dan Barat
inovasi teknologi relatif lambat dilihat dari jenis komoditas yang terbatas
pada budidaya tanaman jagung dan cengkeh yang merupakan komoditas
tradisional di wilayah tersebut.
Pilihan jenis pohon yang ditanam dalam kaitan dengan rehabilitasi
lahan di DTA Danau Tondano juga dipengaruhi oleh aspek sosial budaya.
Walangitan (2007) melakukan wawancara terhadap 250 responden dalam
rangka monitoring dan evaluasi aspek sosial ekonomi dan budaya
pengelolaan DAS Tondano. Hasil survey (Tabel 5), diperoleh informasi
bahwa tanaman yang paling disukai petani sebagai pohon penghijauan
adalah cempaka (Magnolia campaca) yaitu sebesar 45,16 % dari
responden, diikuti tanaman mahoni (Switenia macrophyla) sebesar 29,03 %
dan nantu (Palaqium sp.) sebesar 11,69 %.
Tabel 5. Jenis-jenis pohon yang disukai masyarakat untuk kegiatan
penghijauan dan reboisasi di DAS Tondano
Jenis Pohon Jumlah responden Persentase (%)
Cempaka (M. campaca) 112 45,16
Mahoni (S. macrophllya) 72 29,03
Nantu (Palaqium sp.) 29 11,69
74| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Jenis Pohon Jumlah responden Persentase (%)
Buah-buahan 21 8,67
Rotan (Calamus sp.) 1 0,40
Aren (Arenga pinnata) 2 0,80
Jati (Tectona grandis) 3 1,20
Jenis lainnya 9 3,62
Jumlah 248 100
Penerapan usahatani konservasi dengan teras guludan dengan kualitas
sedang sampai baik , dijumpai pada usahatani hortikultura di Kecamatan
Langowan dan Tompaso (sub DTA bagian Selatan). Lahan dengan
kemiringan lereng > 25 % ditanami sayur-sayuran dan bedengannya dibuat
searah kontur dengan lebar bedeng bervariasi tergantung kemiringan lahan.
Namun demikian, aplikasi terasering tersebut belum dilengkapi dengan
saluran pembuangan, sehingga erosi dan runoff yang terjadi masih cukup
besar.
Teras tradisional adalah bentuk teras paling umum diaplikasikan petani
terutama dalam usahatani jagung pada lereng > 8 %. Bentuk teras
sederhana terbentuk karena pengolahan tanah yang menggunakan cangkul
rumput ditimbun membentuk teras searah garis kontur dengan jarak 50-75
cm atau dengan membajak searah garis kontur sehingga membentuk
terasering sederhana. Tanaman jagung ditanam di antara barisan teras
tersebut dan pada saat penyiangan guludan tersebut dipindahkan sebagai
bumbunan di bawah barisan tanaman jagung.
Kebiasaan jenis alat pertanian yang digunakan diduga mempengaruhi
bentuk teras. Petani di DTA Selatan menggunakan tembilang (sekop) dalam
mengolah tanah dan merupakan ciri khas petani di wilayah Selatan.
Sebaliknya petani di wilayah DTA Timur dan sub DTA Barat menggunakan
cangkul. Perbedaan alat yang digunakan berimplikasi pada cara mengolah
tanah. Husain dkk. (2006) melaporkan bahwa cara pengolahan tanah
dengan menggunakan cangkul dalam pembuatan teras pada usahatani
hortikultura di areal model mikro DAS Rurukan mengakibatkan terjadi tillage
erosion yaitu tanah bagian lereng atas suatu unit usahatani berpindah ke
bagian bawah. Dengan demikian permukaan tanah di lereng bagian atas
mengalami degradasi baik fisik maupun kimia tanah.
Penggunaan tembilang (sekop) sebagai alat pengolahan tanah dan
pemeliharaan tanaman hortikultura oleh petani di DTA Selatan tidak
menyebabkan tillage erosion karena tanah hanya di bolak-balik pada areal
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
75
olah. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa petani sadar bahwa sisa
tanaman dan gulma bila telah dibenamkan akan menjadi sumber hara dan
dapat mempertahankan kesuburan tanah. Praktek sistem usahatani
konservasi tersebut menguntungkan baik dalam pengendalian erosi, juga
dalam pengelolaan bahan organik tanah yang berasal dari humifikasi gulma
yang dibenamkan dalam tanah pada saat pemeliharaan tanaman.
Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa menunjukkan bahwa 98 %
responden sudah mengaplikasikan sistem terasering dalam sistem
usahatani. Teras tradisional umumnya diaplikasikan pada usahatani jagung.
Bentuk teras tersebut dijumpai pada lahan datar hingga curam. Sedangkan
teras guludan diaplikasikan pada usahatani sayuran serta usahatani kacang
tanah.
Tabel 6. Hasil wawancara bentuk konservasi tanah secara mekanis
diaplikasikan responden Di DTA Danau Tondano
Bentuk Konservasi tanah mekanis Jumlah responden Persentase (%)
Teras Tradisional 68 70.10
Teras Bangku 4 4.12
Terasering guludan 23 23.71
Tanpa teras 2 2.00
Jumlah 97 100
Sumber : Hasil survey 2011
B. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keragaan
Usahatani Konservasi
Analisis korelasi (Rank Spearman) untuk mengetahui faktor sosial
ekonomi yang mempengaruhi keragaan konservasi tanah. Hasil analisis
korelasi dan tingkat signifikansi masing-masing faktor sosial ekonomi
dimaksud secara rinci disajikan pada Tabel 7. Dari tabel tersebut
menunjukkan bahwa keragaan konservasi tanah berkorelasi positif dengan
faktor karakteristik diri responden yaitu umur dan persepsi serta kondisi aset
rumah tangga tani yaitu : luas sawah, luas hutan rakyat, dan luas lahan
kering.
Faktor umur responden berkorelasi positif dengan keragaan usahatani
konservasi. Pengaruh faktor umur tersebut dapat diinterpretasi bahwa
makin bertambah umur akan diikuti oleh bertambanya pengalaman bertani
serta keearifan dan tanggungjawab dalam pemanfaatan lahan pertanian
secara lestari. Namun sebaliknya Nngo Chi dan Yamada (2002) melaporkan
bahwa faktor umur berpengaruh negatif terhadap penerapan teknologi baru
76| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
karena petani berumur lebih tua cenderung mempertahankan kebiasaan
bertani yang telah berlangsung lama.
Tabel 7. Hasil analisis korelasi keragaan konservasi tanah dengan faktor
sosial ekonomi responden
Faktor Sosial Ekonomi Koefisien Korelasi Sig. Keterangan
Umur 0.295" 0.007 Sangat signifikan
Pendidikan 0.191 0.133 Tidak signifikan
JATK -0.95 0.90 Tidak signifikan
Luas Sawah 0.328" 0.03 Sangat signifikan
Luas lahan kering 0.232" 0.27 Signifikan
Luas hutan rakyat 0.284" .0.007 Sangat signifikan
Persepsi 0.280** 0.350 Sangat signifikan
Pen.non pertanian 0.61 .0.307 Tidak signifikan
Pengeluaran non Pertanian 0.030 0.403 Tidak signifikan
Keterangan : *. Correlation is significant at the 0.05 level (1 -tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Tingkat pendidikan nampaknya tidak memiliki hubungan dengan
keragaan usahatani konservasi. Hal ini disebabkan karena rata-rata tingkat
pendidikan formal petani di wilayah studi sudah tergolong baik, ditambah
lagi dengan informasi yang dapat diterima dari berbagai media pendidikan
informal maupun aktivitas penyuluhan yang dilakukan. Walaupun dalam
beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor pendidikan memberi
pengaruh yang sangat signifikan pada adopsi teknologi pertanian
sebagaimana dilaporkan Sumantri dan Sukiyono (2011) dan Hossein and
Ajoudani (2012).
Luas lahan kering berkorelasi positif dengan keragaan usahatani
konservasi. Responden yang memiliki lahan kering lebih luas cenderung
mengaplikasikan konservasi tanah dan air pada lahan usahanya lebih baik
dibandingkan dengan responden yang memiliki lahan sempit. Dari hasil
pengamatan di lapangan petani yang memiliki lahan kering yang luas
menanami sebagian lahannya dengan pepohonan selain sebagai investasi
jangka panjang juga disebabkan oleh keterbatasan biaya dan tenaga kerja
untuk mengolah lahan yang luas.
Faktor luas hutan rakyat yang dimiliki responden sangat signifikan
berkorelasi positif dengan keragaan usahatani konservasi, umur, luas sawah
dan luas lahan kering. Responden yang memiliki sawah memiliki persepsi
yang lebih baik tentang hubungan antara keberlangsungan produksi
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
77
usahatani sawah dengan ketersediaan air, sebaliknya terdapat pemahaman
bahwa ketersediaan air yang kontinyu merupakan prasyarat untuk
menjamin produktivitas lahan sawah. Alasan tersebut menjadi dasar untuk
melakukan penanaman pohon/rehabilitasi lahan. Dengan demikian temuan
dari penelitian ini sejalan dengan Teory of Planned Behavior (Pereira,
2011). Tindakan konservasi tanah didasarkan pada alasan sosial ekonomi
untuk mempertahankan produktivitas padi sawah dan persepsi seseorang
terhadap pentingnya konservasi tanah bagi perlindungan kesuburan lahan
sebagai asset rumahtangga tani dan manfaat yang diberikan bagi
pelestarian ekosistem danau Tondano. Kedua alasan tersebut membentuk
keyakinan petani untuk bertindak dalam wujud perilaku usahatani
konservasi tanah.
Persepsi yang telah terbangun tentunya melalui suatu proses baik
melalui pendidikan formal maupun informal. Aktivitas penyuluhan dan
kampanye pelestarian DAS Tondano yang telah dilakukan sejak
ditetapkannya DAS Tondano sebagai DAS Prioritas pada tahun 1980-an.
Tingkat kepedulian individu petani terhadap pentingnya pelestarian
ekosistem DAS Tondano tergolong tinggi, hal ini dapat dilihat dari
bertambahnya animo masyarakat untuk menanam pepohonan di tanah milik
serta meningkatnya kesadaran akan pentingnya mejaga kebersihan
lingkungan pemukiman. Hampir di semua desa di wilayah DTA Danau
Tondano saat ini tergerak secara mandiri maupun lewat program
pemerintah untuk menanam pohon.
C. Implikasi Hasil Penelitian dalam Pengembangan Kebijakan RLKT
Aspek persepsi dan perilaku manusia merupakan sifat inheren yang
pada dasarnya bersifat dinamis dan tidak mudah dipahami secara
menyeluruh, namun aspek tersebut dapat dinilai dari wujud tindakan.
Keragaan usahatani konservasi adalah bentuk atau wujud tindakan yang
dengan mudah dapat dinilai. Tindakan ini dilakukan secara sadar oleh petani
pada suatu tempat dengan kondisi lahan tertentu. Wujud usahatani
konservasi di lapangan bervariasi mulai dari bentuk sederhana berdasarkan
kebiasaan turun temurun hingga bentuk ideal yang merupakan hasil dari
proses adopsi.
Hasil penelitian perilaku usahatani yang telah diuraikan di atas
disimpulkan bahwa keragaan usahatani konservasi yang sedang
berlangsung saat ini secara kualitatif sudah cukup memadai. Namun
perilaku tersebut harus terus didorong kearah yang lebih produktif, efektif
78| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dan efisien. Tingkat pendidikan dan pengaruh budaya konservasi
masyarakat serta kontribusi kebijakan dan program pemerintah yang
dilakukan selama ini di wilayah DTA Danau Tondano telah berhasil
meningkatkan persepsi dan memperbaiki keragaan konservasi tanah yang
ada.
Dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DTA Danau
Tondano dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor internal diantaranya adalah
tekanan penduduk, tingkat penguasaan teknologi pertanian, ekspektasi
hidup, pola konsumsi dan lainnya. Sedangkan dari aspek eksternal
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja
non pertanian serta kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian.
Sebagai contoh, kebijakan pengembangan infrastruktur pertanian
(penyediaan irigasi dan jalan kebun) pada kawasan pertanian hortikultura di
DTA Selatan telah terbukti mampu mengurangi tekanan penduduk terhadap
lahan kawasan hutan lindung. Dimana dengan kebijakan tersebut telah
berhasil meningkatkan produktivitas lahan, sekaligus memperbaiki
pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja. Dilain pihak lahan
dalam kawasan hutan lindung yang dahulunya sudah dikonversi menjadi
lahan pertanian, ditinggalkan dan akhirnya secara suksesif berubah kembali
menjadi hutan belukar dan hutan sekunder sehingga fungsi hidrologi dapat
dipulihkan.
Wilayah DTA Danau Tondano terbagi atas tiga sub DTA yang
menggambarkan perbedaan faktor biofisik yang tergambar dalam
perbedaan kelas kemampuan lahan. Perbedaan faktor biofisik lahan
menghasilkan perbedaan perilaku usahatani konservasi. Pendekatan yang
lebih spesifik dalam perencanaan pengelolaan DAS khususnya pada wilayah
DTA Danau Tondano harus dilakukan agar program pelestarian hutan tanah
dan air lebih efektif dan efisien.
Berdasarkan temuan dari penelitian ini baik aspek sosial, ekonomi
maupun aspek biofisik, maka pendekatan yang spesifik untuk sub DTA
Timur adalah bagaimana merancang pola usahatani konservasi lahan kering
berbasis pohon tanpa meninggakan fungsi produksi pangan dalam jangka
pendek. Sebaliknya untuk wilayah DTA Selatan pola usahatani berbasis
tanaman semusim (tegalan palawija dan hortikultura) dirancang dalam
sistem agroforestri agar kesehatan tanah terutama kandungan bahan
organik tanah dapat dipertahankan untuk mendukung pertanian
berkelanjutan.
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
79
Di wilayah sub DTA Barat kebijakan perbaikan konservasi tanah
dilakukan secara bertahap menuju sistem usahatani yang lebih produktif
stabil dan lestari dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
petani. Kebijakan diarahkan pada perbaikan penutupan lahan oleh vegetasi
(konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput pada lahan yang rawan
erosi. Kebijakan pengelolaan lahan berkelanjutan yang dimaksud
diwujudkan dalam bentuk pengembangan usahatani terpadu berbasis
ternak sapi tanpa mengabaikan produksi pangan dan fungsi pengendalian
erosi. Pola yang sesuai untuk daerah tersebut adalah pengembangan strip
rumput hijauan ternak diantara pertanaman jagung khususnya pada lahan
dengan kelas kemampuan IVL3. Untuk mendukung usahatani konservasi
basis ternak tersebut dan memudahkan diadopsinya teknologi konservasi
yang ditawarkan maka perlu dilakukan kegiatan yang bersifat prakondisi
sebagai berikut :
a. Pengembangan demplot usahatani terpadu ternak sapi dan penanaman
rumput.
b. Penyuluhan dan pendampingan sistem pemeliharaan ternak sapi yang
baik;
c. Mengembangkan skema kredit usahatani terpadu yang berbunga rendah;
d. Menyiapkan sarana pendukung untuk menjamin perawatan kesehatan
ternak.
Rumah tangga tani merupakan subjek sekaligus objek dari hasil
skenario dalam penelitian ini. Untuk menjalankan solusi usahatani
konservasi tersebut petani dihadapkan pada kendala pembiayaan terutama
pada tahap investasi. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana skenario ini
dapat dilaksanakan dengan kebijakan skema kredit usahatani konservasi
sebagaimana yang pernah dijalankan pemerintah pada tahun 1990-an.
Beberapa penelitian terkait dengan pemberian kredit usahatani konservasi
tersebut menunjukkan prospek dan layak secara ekonomi, sebagaimana
dilaporkan Setiawan (1987) dalam perencanaan agroforestri di DAS Konto
Jawa Timur dan Tatuh (1986) dalam pengembangan usahatani konservasi
lahan kering di hulu DAS Citanduy Jawa Barat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan usahatani
konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik.
Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi dan luas aset
lahan kering dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga
80| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
berbeda secara signifikan antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis
perilaku tersebut maka strategi perbaikan kualitas konservasi tanah
dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai berikut : (1) sub DTA
bagian Timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata dengan
tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian Barat
adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan
ternak sapi (jagung - strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA
Selatan dirancang dalam sistem agroforestri basis tanaman hortikultura.
Penanaman pohon penghasil serasah/bahan organik untuk menjamin
kesehatan tanah dalam jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengelolaan DAS Tondano. 2008. Rencana Pengelolaan DAS Tondano Terpadu. Laporan perencanaan kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano. Manado.
Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Kep. Dirjen RLL no.041/Kpts/1998. Jakarta.
Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :P.60/Menhut-II/2009. Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan dan Reklamasi Hutan. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
Ngoc Chi, T.T., and Yamada R. 2002. Factors affecting farmers' adoption of technologies infarming sistem: A case study in Omon district, Can Tho province, Mekong Delta. Omonrice 10: 94–100.
Pagiola, S. 1998. Economic Analysis of Incentives for Soil Conservation. Environment Department, World Bank1 the World Association of Soil and Water Conservation, the International Board for Soil Research and Management, and the Soil and Water Conservation Society of Thailand.
Parel C.P., G.C. Caldito, P.L. Ferrer, G.G. De Gusman, C.S. Sinsioco, R.H. Tan. 1973. Sampling and Procedures. http://eprint.icrisat.ac.in/13228/1/P23036.pdf diakses tgl 30 januari 2015
Pereira, M. A. 2011. Understanding adoption and non-adoption of technology: a case study of study of innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Thesis the Degree of Doctor of Philosophy. Lincoln University. Christchurch-New-Zealand. http://researcharchive.lincoln.ac.nz/. Diakses tanggal 31 januari 2015
Hosseini, S. J. and Zahra A., 2012 Affective factors in adopting organic farming in Iran. Annals of Biological Research 3(1):601-608.
Husain, J., Hengki W., dan Nordi W. 2006. Perencanaan Pengelolaan Model DAS Mikro Rurukan sub DAS Tondano SWP DAS Tondano. Laporan penelitian
Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan
81
kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano p 221. Tidak dipublikasi.
Setiawan, B. 1987. Perencanaan Model Agroforestry di Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto Kabupaten Malang JawaTimur. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Silalahi, U. 2010. Metode Penelitian Sosial. PT.Refika Aditama. Bandung. p 518.
Siregar, H. 2006. Social - Economic reasons to soil conservation : An econometric analysis on cross-setion Lore Lindu Data. Jurnal Agro Ekonomi 24(1):1-20.
Siregar, S., 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Dilengkapi Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta. Cetakan ke -1. p 323
Subhrendu I. P and D. E. Mercer. 1996. Valuing soil conservation benefits of agroforestry practices. Southeastern Center for Forest Economics Research, Research Triangle Park, NC. FPEI Working Paper No. 59. 21 p.
Sumantri B., K. Sukiyono. 2011. Persepsi dan Perilaku konservasi lahan pada berbagai kemiringan dan dampaknya pada produksi usahatani sayuran. Studi kasus di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Bumi 11(1):138-146.
Sumarno. 2004. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengembangan Sumberdaya Hutan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.
Tatuh, J. 1986. Kredit untuk Usaha Konservasi Tanah dan Pengembangan Usahatani Lahan Kering di Bagian Hulu DAS Citanduy. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.
Walangitan, H. D. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Tondano. Hasil penelitian kerjasama PSL Unsrat dan BP-DAS Tondano. Tidak dipublikasikan. p 95.
82| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
83
Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer)
dari Anakan Hasil Permudaan Alam1
Arif Irawan dan Ady Suryawan2
ABSTRAK
Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6 jenis
anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Sulawesi. S.
asamica tergolong rekalsitran, pengadaan bibit yang tepat adalah
pemanfaatan cabutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik
pembibitan cabutan alam anakan S. assamica. Percobaan Faktorial dengan
rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan faktor
pemotongan daun, penyungkupan dan lama waktu simpan cabutan. Jumlah
ulangan 3 (tiga) dengan populasi persampel sebanyak 20 bibit. Parameter
yang diamati adalah persen hidup pada 2 bulan di persemaian. Perlakuan
penyungkupan berpengaruh nyata terhadap persen hidup S. assamica
dengan nilai rata-rata persen hidup mencapai 91,67 %. Pemotongan daun
tidak berpengaruh nyata dalam kondisi penyungkupan. Persen hidup
berdasar perlakuan penyimpanan cabutan secara nyata menurun pada hari
ke 13 dan dibawah 70 %.
Kata Kunci: Shorea assamica, permudaan alam, meranti, dipterocarpaceae
I. PENDAHULUAN
Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6
(enam) jenis anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di
Sulawesi (Pitopang et al., 2008). Tinggi pohon jenis ini dapat mencapai
hingga 55 m dengan diameter (dbh) 150 cm, bentuk batang lurus dan
silindris dengan banir yang dapat mencapai tinggi 3,5 m. Kayu meranti putih
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota
Manado; Telp : (0431) 3666683 Email: [email protected]
84| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dapat digunakan sebagai bahan venir, kayu lapis, papan partikel, lantai,
bangunan, perkapalan, dan mebel (Martawijaya et al., 2005).
Menurut Atmoko (2011) pembangunan hutan tanaman
Dipterocarpaceae masih mengalami kendala pada ketersediaan benih
berkualitas dan jumlahnya. Hal ini disebabkan karena benih famili
Dipterocarpaceae bersifat rekalsitran, sehingga tidak dapat disimpan dalam
waktu lama. Selain itu menurut Yasman dan Smits (1988) jenis family
Dipterocarpaceae mengalami masa berbuah yang cukup bervariasi yaitu tiap
4–5 tahun atau bahkan ada yang memiliki waktu berbuah hingga 13 tahun.
Menurut Halawane (2010) untuk jenis rekalsitran, alternatif budidaya
yang tepat adalah dengan cara cabutan dan diperlukan penyungkupan untuk
persen hidup lebih tinggi. Waktu yang dibutuhkan untuk sistem cabutan
hingga bibit siap ditanam 4–5 minggu dengan kriteria cabutan berdaun 2–5
helai atau tinggi cabutan kurang dari 20 cm (Nurhasybi et al., 2010). Bibit
hasil cabutan dapat digunakan untuk bahan riset sebagaimana Omon (2006)
menggunakan hasil cabutan S. parvifolia untuk pembuatan stek dengan
persen hidup mencapai 90 %. Namun teknik cabutan untuk jenis selain
Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana dan S. platyclados
masih harus dikaji (Adman, 2011).
Kelebihan perbanyakan dengan cara ini adalah bibitnya telah tumbuh
dan tersedia di alam, waktu yang dibutuhkan dalam pembibitan relatif
singkat. Sementara itu kelemahannya adalah diperlukan keahlian dan
perlakuan khusus dalam pelaksanannya (Kemenhut dan JICA, 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pembibitan jenis meranti
putih (S. assamica) di persemaian yang meliputi pengaruh perlakuan
pemotongan daun dan perlakuan penyungkupan serta pengaruh waktu
simpan cabutan terhadap persen hidupnya di persemaian.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni–Agustus 2014 di Persemaian
Balai Penelitian Kehutanan Manado yang terletak di Kecamatan Mapanget
Kota Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan
suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 %. Rata-rata
curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika,
2011).
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
85
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit cabutan
meranti putih (S. assamica) yang berasal dari Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara (Sulawesi Utara), media tanam (tanah top soil), sarlon
net dengan intensitas pencahayaan 65 %, label plastik, dan polibag.
Peralatan yang digunakan antara lain luxmeter, thermohygrometer, gembor,
spidol permanen, gunting stek, plastik sungkup, dan alat tulis.
C. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
2 (dua) jenis uji coba yaitu uji coba pengaruh perlakuan pemotongan daun
dan pengaruh penyungkupan serta uji coba pengaruh waktu simpan.
Anakan alam S. assamica dari lapangan yang telah diseleksi dengan
tinggi 10 cm dan memiliki sepasang daun dibagi pada masing-masing uji
coba. Pada ujicoba pengaruh perlakuan pemotongan daun dan pengaruh
penyungkupan dilakukan dengan membandingkan persen hidup antara daun
yang dipotong dan tidak dipotong serta membandingkan antara bibit yang
disungkup dan tidak disungkup. Pemotongan daun dilakukan dengan
mengurangi 3/4 daun yang ada dengan menyisakan 1/3 nya. Selanjutnya
penyungkupan dilakukan dengan memberikan sungkup setengah lingkaran
menggunakan plastik transparan dan memberikan naungan tambahan
berupa sarlon net. Perbandingan kondisi lingkungan antara bibit yang
disungkup dan tidak disungkup ditampilkan pada Lampiran 1. Sedangkan
pada uji coba pengaruh waktu simpan, cabutan disimpan dalam plastik
kedap udara untuk selanjutnya akan disapih (tanpa pemotongan daun)
sesuai waktu yang ditentukan yaitu 2, 5, 9, 13, 17, dan 21 hari setelah
dicabut dari lantai hutan. Masing-masing perlakuan pada kedua uji coba
diulang sebanyak 3 (tiga) kali dan tiap ulangan terdiri dari 20 bibit.
Dua bulan setelah disapih, dilakukan pengamatan persen hidup pada
kedua uji coba dengan rumus sebagai berikut :
Persen hidup =
x 100%
D. Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji coba pengaruh
perlakuan pemotongan daun dan pengaruh penyungkupan adalah
Percobaan Faktorial dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Sedangkan pada uji coba waktu simpan cabutan, rancangan yang
86| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang terkumpul
dianalisis dengan uji F dan yang menunjukkan perbedaan nyata dilakukan
uji lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Duncan (Duncan Multiple
Range Test).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji F untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemotongan daun
dan penyungkupan serta pengaruh waktu simpan ditampilkan pada lampiran
2. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan pemotongan
daun, penyungkupan dan interaksi keduanya serta perlakuan waktu simpan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup cabutan meranti
putih.
1. Perlakuan Pemotongan Daun dan Penyungkupan
Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup tertinggi pada
perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji lanjut perlakuan pemotongan daun
No Perlakuan Rata-Rata Persen
Hidup (%) Taraf 5%
Grouping
1. Potong daun 70,83 A 1
2. Tanpa potong daun 58,33 B 2
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
95%
Berdasarakan Tabel 1 dapat diketahui bahwa cabutan dengan
perlakuan pemotongan daun memiliki nilai persen hidup yang lebih baik
dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemotongan daun. Uji lanjut DMRT
menunjukkan bahwa kedua perlakuan memiliki persen hidup yang berbeda
nyata. Persen hidup bibit cabutan paling tinggi diperoleh dari perlakuan
pemotongan daun yaitu sebesar 70,83 %, sedangkan tanpa pemotongan
daun hanya 58,33 %.
Pemotongan 3/4 bagian daun pada cabutan meranti putih dilakukan
untuk mengurangi penguapan (evaporasi) agar tidak kehilangan tekanan
tugor secara cepat yang mengakibatkan keringnya jaringan tumbuhan.
Semakin banyak daun, maka evaporasi akan semakin tinggi karena bidang
permukaan dari tanaman yang akan terpapar oleh sinar matahari lebih luas.
Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa transpirasi adalah peristiwa
evaporasi air dari tumbuhan termasuk gerakan air melalui seluruh kesatuan
tanah–tumbuhan–atmosfir. Evaporasi mengakibatkan tambahan air dalam
tumbuhan diserap melalui batang dan akar dalam bentuk kolom yang
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
87
kontinu. Pada fase awal pembibitan dengan teknik cabutan organ akar
belum dapat melakukan fungsinya secara optimal, sehingga langkah
pemotongan daun diharapkan dapat menjaga ketersediaan air dalam
tanaman.
Daniel et al. (1987) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan semai adalah faktor
ketersediaan air. Air memiliki peran sangat penting dalam tanaman, karena
tanpa air tanaman akan mati akibat kekeringan dan menyebabkan sel-sel
tanaman menjadi kering dan metabolisme sel menjadi sangat terganggu.
Selanjutnya untuk mengetahui rata-rata terbaik dari perlakuan
penyungkupan dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Uji lanjut perlakuan penyungkupan
No Perlakuan Rata-Rata Persen
Hidup (%) Taraf 5 % Grouping
1. Penyungkupan 91,67 A 1
2. Tanpa penyungkupan 37,50 B 2
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
95%
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan penyungkupan
plastik dengan tambahan naungan memberikan nilai persen hidup lebih baik
jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyungkupan. Keduanya
diketahui berbeda secara statistik, dengan nilai persen hidup berturut-turut
adalah 91,67 % dan 37,50 %. Hasil penelitian Rayan (2008) menyimpulkan
bahwa dari 4 jenis Dipterocapaceae yang diberikan sungkup sederhana
setengah lingkaran akan memberikan tingkat hidup bibit yang tinggi hingga
93,96 %.
Beberapa manfaat penyungkupan dalam penanganan bibit cabutan
antara lain menjaga kelembaban udara, menciptakan kondisi panas yang
merata dan mengurangi tingkat penguapan (evaporasi) pada tanaman.
Penggunaan sungkup dan penambahan naungan yang telah dilakukan dapat
menurunkan tingkat kelembaban dan suhu secara efektif. Berdasarkan hasil
pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban didalam
sungkup selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu dan kelembaban
diluar sungkup. Smits (1990) menyatakan bahwa faktor kelembaban
memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan pembibitan melalui
cabutan semai alami. Penambahan naungan dilakukan untuk mengurangi
intensitas cahaya yang masuk. Intensitas cahaya merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat penguapan pada tanaman. Intensitas
88| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
cahaya yang tinggi akan mendorong kenaikan suhu, sehingga akan
meningkatkan laju evapotranspirasi tanaman, sehingga proses kehilangan
air akan semakin cepat. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara
proses evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi.
Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju
transpirasi, juga dapat mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah
karena daya evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam
pengambilan air dan nutrisi. Hal ini sebagaimana Irwanto (2006), proses
evaporasi dari semai dapat dikurangi dengan penggunaan naungan.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara perlakuan pemotongan
daun dan penyungkupan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Uji lanjut perlakuan interaksi pemotongan daun dan penyungkupan
No Perlakuan Rata-Rata
Persen Hidup (%)
Taraf 5%
Grouping
1. Tanpa potong daun*Penyungkupan 93,33 A 1
2. Potong daun*Penyungkupan 90,00 A 1
3. Potong daun*Tanpa penyungkupan 51,67 B 2
4. Tanpa potong daun*Tanpa
penyungkupan
23,33 C 3
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
95%
Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan
yang memiliki rata-rata persen hidup tertinggi adalah perlakuan tanpa
pemotongan daun*penyungkupan. Nilai persen hidup dari perlakuan
interaksi ini adalah sebesar 93,33 %. Persen hidup pada interaksi tersebut
secara statistik tidak memberikan hasil terbaik karena memiliki nilai yang
tidak berbeda dengan interaksi antara pemotongan daun*penyungkupan (90
%). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh pemotongan daun tidak
memberikan pengaruh signifikan terhadap persen hidup cabutan meranti
putih yang berada dalam sungkup. Sedangkan pada perlakuan tanpa
penyungkupan, perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh yang
nyata. Persen hidup perlakuan interaksi pemotongan daun*tanpa
penyungkupan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan perlakuan interaksi
tanpa pemotongan daun*tanpa penyungkupan.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaruh paling utama
dalam usaha pembibitan cabutan meranti putih adalah faktor perlakuan
penyungkupan. Kondisi kelembaban yang tinggi dan cenderung konstan
dapat mempertahankan persen hidup cabutan meranti di persemaian.
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
89
Hendromono dan Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor yang menunjang
keberhasilan pembibitan, baik pengakaran stek maupun menumbuhkan
cabutan adalah diperlukannya kelembaban lebih dari 80 %. Selain itu Smits
(1990) juga menyatakan bahwa semakin tinggi kelembaban maka
keberhasilan cabutan juga akan semakin besar.
2. Perlakuan Waktu Simpan
Secara umum bahan cabutan tidak dapat disimpan dalam jangka waktu
terlalu lama, sehingga usaha perbaikan metode penyimpanan untuk
mengurangi penurunan daya tumbuhnya menjadi sesuatu yang penting.
Melalui perlakuan lama waktu simpan diharapkan akan tercapai suatu
keadaan cabutan pada berbagai tingkat ketersediaan cadangan karbohidrat.
Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup terbaik pada
perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji lanjut perlakuan waktu simpan
No Perlakuan Rata-Rata Persen Hidup (%) Taraf 5% Grouping
1. 2 hari 93,33 A 1
2. 5 hari 81,67 A 1
3. 9 hari 73,33 A 1
4. 13 hari 71,67 A 1
5. 17 hari 30,00 B 2
6. 21 hari 1,67 C 3
Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa waktu simpan untuk
cabutan meranti putih terbaik adalah selama 2 hari (93,3 %) dan terus
mengalami penurunan hingga waktu simpan selama 21 hari (1,67 %). Hasil
uji lanjut tersebut juga menyatakan bahwa waktu simpan hingga 13 hari
menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan waktu simpan
sebelumnya.
Secara fisiologis pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertumbahan
ukuran dan berat kering. Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
cabutan dapat dikategorikan sebagai faktor dalam dan faktor luar. Faktor
dalam terdiri dari umur cabutan, cadangan makanan, dan kandungan air
dalam cabutan. Sedangkan faktor luar terdiri dari cahaya, suhu dan
kelembaban.
Perlakuan penyimpanan akan berpengaruh nyata terhadap kondisi
fisiologi dan biokimia suatu tumbuhan, sehingga akan didapat titik kritis
pada waktu tertentu untuk dapat mempertahankan daya hidup (Rohandi
90| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dan Widyani, 2010). Cabutan yang disimpan akan mengalami stres air
karena transpirasi tetap berlangsung dengan menggunakan air yang ada
dalam sel, sehingga akan mengalami defisit air. Selama penyimpanan
cabutan aktif melakukan metabolisme, energi yang digunakan untuk
kegiatan tersebut berasal dari cadangan yang terdapat dalam akar. Semakin
lama tanaman disimpan, maka energi dan cadangan makanan yang
digunakan akan semakin banyak, sehingga saat penyapihan terdapat
cabutan yang telah kehilangan daya tumbuh akibat kekurangan energi atau
cadangan makanan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Perlakuan penyungkupan berpengaruh nyata dalam teknik pembibitan
jenis meranti putih.
2. Perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh secara nyata pada
kondisi lingkungan tanpa penyungkupan, sedangkan pada kondisi
dengan penyungkupan perlakuan pemotongan tidak memberikan
pengaruh yang nyata.
3. Penyimpanan cabutan meranti putih lebih dari 13 hari tidak dianjurkan
karena semakin menurunkan persen hidupnya (dibawah 70 %).
B. Saran
Perlu dilakukan teknik penyimpanan cabutan meranti putih (S.
assamica) menggunakan beberapa media penahan kelembaban (kapas,
serbuk gergaji, sabut kelapa, kertas koran, atau pelepah pisang) untuk
meningkatkaan lama waktu simpan cabutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adman, B. 2011. Pengaruh bahan kemasan dan waktu penyimpanan bahan stek terhadap persentase berakar stek Shorea johorensis dan S. smithiana. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8(20):97-109.
Atmoko, T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (korth.) Burck di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA 5(2):21-36.
Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Manado. 2011. Laporan Tahunan Curah Hujan.
Daniel, T., John, W., dan Helms, A., 1978. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono, D. (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Halawane, J. E. (2010). Pengaruh sungkup sederhana terhadap keberhasilan cabutan anakan eboni (Diospyros pilosanthera dan Diospyros sp.) di persemaian. Sintesis Hasil Penelitian Hutan Tanaman 2010, 375 - 378.
Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan
91
Hendromono & R. Effendi. 2002. Pembangunan Persemaian Dipterocarpaceae. Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.
Irwanto .2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp. di Persemaian.[Tesis].Institut Pertanian Bogor.
Kemenhut dan JICA.2014. Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi. Jakarta
Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A.Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Nurhasybi, Hero Dien PK, M. Zanzibar, Dede J. Sudradjat, Agus A. Prmono, Buharman, Sudrajat, dan Suhariyanto. 2010. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Omon, R. M. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek meranti merah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3(2):129 -138.
Pitopang, R. Khaerruddin, I. Tjoa, A. Burhanuddin, I,F. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di Sulawesi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah & Herbarium Celebence Universitas Taduluko
Rayan. 2008. Pengaruh sungkup setengah lingkaran dan sungkup kotak terhadap persentase hidup cabutan anakan alam jenis Dipterocarpaceae di persemaian. JurnaL DIPTEROKARPA VOL 2(1).
Rohand, A dan Widyan, N. 2010. Dampak penurunan kadar air terhadap respon fisiologis dan biokimia propagul Rhizophora apiculata Bl. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(4):167-179.
Smits.W.T.M. 1990. Pedoman Sistem Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Asosiasi Panrl Kayu Indonesia. Jakarta.
Yasman, I dan W.T.M. Smits, 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda.
92| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Lampiran 1. Rata-rata kelembaban, suhu dan intensitas cahaya di dalam
dan luar sungkup
Di dalam sungkup Di luar sungkup
Kelembaban
(%)
Suhu
(celcius)
Intensitas
cahaya (lux)
Kelembaban
(%)
Suhu
(celcius) Intensitas
cahaya (lux)
75 29,46 3.617 62,89 33,16 30.408
Lampiran 2. Hasil analisis ragam teknik pembibitan meranti putih (S.
assamica)
Sumber Keragaman db Jumlah
Kuadrat F hitung
Uji Coba Pemotongan daun dan
Penyungkupan
Pemotongan daun
Penyungkupan
Pemotongan daun*penyungkupan
Uji Coba Waktu simpan
Waktu simpan
1
1
4
5
468,75
8802,09
752,09
18556,94
10,71*
201,19*
17,19*
24,52*
Keterangan : * = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5% tn = tidak berpengaruh nyata
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
93
Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan melalui Pembangunan Hutan
Tanaman Rakyat1
Ady Suryawan dan Arif Irawan2
ABSTRAK
Sulawesi Utara memiliki lahan kering kritis mencapai 776.913 ha (53 %).
Rehabilitasi secara vegetatif perlu dilakukan karena dinilai memiliki
keuntungan secara ekonomi dan ekologis. Kebijakan revitalisasi sektor
kehutanan telah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.
Adanya Persemaian Permanen Kima Atas memiliki tujuan meningkatkan
minat masyarakat untuk menanam. Tujuan tulisan ini untuk memaparkan
data-data kuantitatif dan deskripsi tentang peran persemaian permanen
terhadap kegiatan rehabilitasi di Sulawesi Utara. Data diperoleh dengan
merekapitulasi produksi dan distribusi bibit. Hasil kajian menyimpulkan
beberapa poin antara lain : 1) Produksi dan distribusi bibit mencapai
2.500.015 didominasi dengan jenis tanaman lokal unggulan, 2) Diperkirakan
sedikitnya 2.008,04 ha lahan milik pribadi dan areal perlindungan setempat
telah dilakukan penanaman, 3) Keberadaan persemain permanen menjadi
sumber referensi di Sulawesi Utara tentang pembibitan tanaman hutan,
lokasi pendidikan lingkungan dan study banding, 4) Masyarakat lokal telah
berinisiatif mengembangkan penanaman campuran. Hal ini dapat
menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan infiltrasi.
Kata Kunci : rehabilitasi, hutan rakyat, persemaian permanen.
I. PENDAHULUAN
Hasil rekapitulasi lahan agak kritis hingga sangat kritis di Sulawesi Utara
mencapai 776.913 ha (53 %) (Wahyuni, 2012). Kondisi berkurangnya
tutupan lahan baik di hutan negara maupun lahan milik masyarakat telah
menyebabkan bencana banjir, longsor dan kekeringan. Selain itu kontribusi
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota
Manado; Telp : (0431) 3666683 e-mail : [email protected]
94| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Sektor Kehutanan dalam pembangunan nasional mengalami penurunan
akibat pasokan bahan baku industri yang berkurang. Arah kebijakan dalam
pengelolaan hutan dan kehutanan saat ini adalah rehabilitasi lahan
terdegradasi dan konservasi sumberdaya hayati dengan mengikutsertakan
masyarakat secara aktif dalam setiap kegiatan. Rehabilitasi secara vegetatif
memiliki keuntungan antara lain dapat melindungi struktur tanah dan kinetik
hujan, melindungi terhadap aliran permukaan, dan memperbesar kapasitas
infiltrasi (Njurumana et al., 2008).
Visi revitalisasi sektor kehutanan berprinsip pada 3 (tiga) prinsip utama
yaitu pro poor untuk mengentaskan kemiskinan, pro job untuk menciptakan
lapangan pekerjaan, dan pro growth untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Sejak tahun 2007 Kementerian Kehutanan mencanangkan Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) mana implementasinya diatur dalam Kepmenhut No.
P.55/Menhut-II/2011. Program ini berjalan mulus pada beberapa daerah,
namun sebagian lain mengalami kendala baik teknis maupun secara
administrasi. Hutan rakyat memegang peranan penting dalam kegiatan
rehabilitasi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan
kayu rakyat (Widiarti dan Prajadinata, 2008)
Upaya BPDAS PS dalam meningkatkan minat masyarakat untuk
menanam yaitu dengan memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan
bibit yang berkualitas melalui pembangunan 50 persemaian permanen yang
tersebar di Indonesia (BPDAS, 2013). Salah satunya yaitu Persemaian
Permanen Kima Atas yang dibangun pada tahun 2011. Persemaian ini
merupakan hasil kerjasama antara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tondano dan Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Tujuan tulisan ini untuk memaparkan data-data kuantitatif dan deskripsi
tentang peran persemaian permanen terhadap kegiatan rehabilitasi di
Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi acuan dalam mereboisasi dan
rehabilitasi lahan khususnya di Sulawesi Utara.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Persemaian Permanen Kima Atas dan Kabupaten
Minahasa Utara. Waktu Penelitian Januari 2012 sampai dengan Agustus
2014.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah Berita Acara Serah Terima (BAST)
distribusi bibit, produksi bibit dan tanaman dilapangan di Kabupaten
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
95
Minahasa Utara. Sedangkan alat yang digunakan antara lain Tally Sheet dan
Kamera.
C. Prosedur Kerja
Penelitian diawali dengan melakukan rekapitulasi jumlah bibit yang
diproduksi dan didistribusi berdasarkan berita acara serah terima (BAST)
bibit. Berdasarkan BAST, dilakukan peninjauan lapangan terhadap bibit yang
telah didistribusikan ke masyarakat untuk mengetahui kondisi tanaman
dilapangan. Peninjauan atau monitoring dilakukan terhadap 30 masyarakat
yang telah mengambil bibit dalam 2 tahun terakhir di Kabupaten Minahasa
Utara. Kajian dilakukan secara deskriptif berdasar data yang diperoleh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Persemaian dan Produksi Bibit
Persemaian Permanen Kima Atas berlokasi di Kelurahan Kima Atas,
Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Lokasi persemaian berada pada titik
kordinat Lintang Utara antara 1o 0, 56185 s/d 1o 0, 5632 (N) dan Bujur
Timur antara 124o 0,9010 s/d 124o 0,9022 (E) dengan luas keseluruhan
sekitar 2,5 ha. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan
suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan
rata-rata curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan
Geofisika, 2011).
Sarana dan prasarana yang digunakan dalam operasional pelaksanaan
persemaian pemanen antara lain : Mother Plan Greenhouse, Production
House, Rooting Area, dan Open Area. Mother Plan Greenhouse merupakan
area sumber tunas yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk produksi
cutting/stek. Total jumlah produksi bibit dari tahun 2011 hingga tahun 2013
adalah 2,5 juta bibit yang terdiri dari 13 jenis tanaman. Produksi bibit
dilakukan secara generatif, dengan benih diperoleh dari sumber benih yang
telah disertifikasi oleh BPTH Makassar. Hasil rekapitulasi data produksi bibit
tersaji pada Gambar 1 di bawah ini.
96| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Keterangan Asal : 1. Minahasa, 2. Minahasa Utara, 3. Jawa,
4. Bolaangmongondow, 5. Manado.
Gambar 1. Produksi bibit per jenis per tahun persemaian permanen kima
atas
Berdasarkan Gambar 1, telah terjadi peningkatan produksi bibit yang
cukup tinggi pada jenis cempaka dan jabon merah. Cempaka dan jabon
merah merupakan jenis asli dari Sulawesi Utara dengan sebaran di
Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Jenis cempaka wasian
merupakan jenis unggulan lokal yang memiliki nilai cultural historis serta
benilai ekonomi cukup tinggi bagi masyarakat Sulawesi Utara. Sedangkan
jabon merah sangat diminati oleh masyarakat karena masa panennya yang
cukup singkat (5-6 tahun). Sehingga dilakukan peningkatan produksi
terhadap 2 jenis tersebut seiring dengan pencanangan Gerakan Masyarakat
Menanam Cempaka dan Jabon (Gemastacempabon) oleh Gubernur Sulut
pada Tahun 2012.
Peningkatan produksi bibit yang signifikan pada jabon merah
merupakan hasil dari penelitian selama 2 tahun. Penelitian dimulai dari
pemilihan buah, ekstraksi benih, pemilihan benih, penaburan, penyapihan
20112013
CempakaWasi
an(Elmerelli
aovali
s)
Nantu
(Palaquiu
msp)
Mahoni
(Swetaniasp)
JatiPutih(Gmelinaarborea)
Jabon
putih
(Anthocepalu
scadamba)
Trembesi(Samaneasaman)
Sengon
(Paraserianthe
sfalcataria
)
Jabon
merah
(Anthocepalu
smacrophyllus)
Pakoba
(Tricalysi
aminahasa
e)
Kayumani
s(Cinnamomumsp.)
Matoa(Po
metia
pinnata)
Durian
(Durio
sp.)
Duku(Lansiumdomesticum)
2011 150.0 120. 125.0 35.0 210. 50.0 310.0
2012 165.0 190.0 190.0 95.00 160.0 65.00 100.0 16.00 7.000 10.00 1.000 1.000
2013 217.8 35.00 83.60 76.51 118.2 17.66
asal 1 1 1 2 3 3 3 4 1 1 5 1 1
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
97
hingga pemeliharaan di persemaian yang pada awalnya telah mengalami
berbagai kegagalan. Hingga pada tahun 2013 akhirnya didapatkan teknik
pembibitan yang tepat dari pemilihan buah hingga bibit siap tanam di
lapangan. Sedangkan tantangan pada pembibitan cempaka antara lain : sifat
benih rekalsitran, disukai hama seperti semut dan tikus, penyapihan dan
pemeliharaan di persemaian. Teknik pembibitan kedua jenis ini telah
dipublikasikan dan dilakukan alih teknologi kepada masyarakat melalui
berbagai kesempatan sebagaimana dipaparkan oleh Halawane et al. (2011),
Yudohartono (2013), Hidayah dan Irawan (2012), Irawan et al. (2012),
Irawan dan Suryawan (2013) dan bimbingan teknis yang tidak
dipublikasikan.
Sedangkan untuk jenis jabon putih dan sengon mengalami penurunan
produksi dan berhenti diproduksi pada tahun 2013. Hal ini sengaja dilakukan
karena kedua jenis ini merupakan jenis introduksi dari Jawa, yang secara
produktivitas belum diketahui secara pasti dibandingkan jenis asli.
Begitupula dengan jenis trembesi yang sudah tidak diproduksi lagi, karena
merupakan jenis introduksi, masyarakat juga enggan menanam karena
dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi, cabang mudah rapuh dan
merusak jalan.
B. Distribusi Bibit
Bibit didistribusikan ke masyarakat secara gratis dengan prosedur
sebagai berikut : 1) Pemohon melengkapi berkas yang berisi : a) surat
permohonan yang ditujukan kepada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tondano, berisi tentang identitas pemohon, luas lahan yang tersedia, jumlah
dan jenis bibit yang dibutuhkan dan mengetahui kepala desa, b) Fotokopi
identitas (KTP), c) Denah lokasi penanaman. 2) Berkas dikirim ke Kantor
BPDAS Tondano setelah mendapat disposisi kemudian di bawa ke
Persemaian Permanen Kima Atas, 3) Pemohon mengambil sendiri bibit
sesuai permohonan, mengisi berita acara serah terima dan memberikan
dokumentasi penanaman sebagai bentuk pertanggung jawaban bibit yang
diberikan.
Berdasarkan hasil rekapitulasi bibit yang telah tersalurkan per
september 2014 sebanyak 2.500.015 bibit. Hasil rekapitulasi distribusi bibit
per tahun berdasar kabupaten/kota penerima ditunjukkan Gambar 2.
98| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per Tahun
Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per tahun
Berdasarkan Gambar 2, dari 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara
hanya Kabupaten Sitaro yang belum pernah mendapatkan bibit dari
persemaian. Jumlah Kabupaten/Kota penerima bibit pertahun mengalami
penurunan, dimana tahun 2012 dan 2013 terdistribusi ke 12
kabupetan/kota, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 10 kabupetan/kota
yang mengambil bibit. Pada tahun 2013, Kabupaten Bolaang Mongondow
Timur, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara dan Bolaang
Mongondow Selatan, distribusi bibit sudah dilayani oleh persemaian
permanen BPDAS Tondano di Toraout (PP Toraout), Kabupaten Bolaang
Mongondow.
Berdasar Kabupetan/Kota, distribusi bibit didominasi oleh Kota Manado,
Kabupatan Minahasa Utara dan Minahasa dengan total distribusi selama 3
tahun berturut-turut yaitu 844.071 (33 %), 725.302 (29 %) dan 477.603
2744 3200 10105 10200 10700 24250 25550 38580 52660 86185
301347
438679
350 2.500 3.700 5.000 12.500 12.764 20.407 52.070 56.140
259.126 269.859 296.214
514 1.541 4.110 12.330 14.282 29.233 42.436
109.178 132.292
154.096
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
99
(19 %). Berdasarkan BAST, dominasi distribusi bibit berdasarkan
administratif ini disebabkan penyaluran dilakukan melalui kantor
pemerintahan yang ada di Kota Manado antara lain : Lantamil, Kodim, Balai
Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Penelitian Kehutanan
Manado, Sekolahan dan Universitas, LSM, BUMN dan Swasta yang ada di
Manado. Lebih jelasnya instansi penerima disajikan pada Gambar 3 di bawah
ini.
Gambar 3. Distribusi bibit per instansi penerima per tahun
Gambar 3 menunjukkan bahwa distribusi paling tinggi dilakukan kepada
masyarakat secara perorangan atau pribadi yaitu 1.141.069 (45,6 %),
kemudian Intansi Pemerintah 456.700 (18 %) dan Aparat TNI – Polri
sebanyak 235.000 (9,3 %). Sedangkan Kelompok Tani Hutan atau KTH
sebesar 191165 (7,6 %). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi
Utara secara mandiri sangat peduli terhadap lingkungan atau kebun-kebun
yang masing kosong.
3400 18640 22944 26900 27600 78650 119975 218510
487581
370 2500 2510 3200 14995 20636 71700 90555 91525
125861 148740
418038
6.820 22.640 24.470 28.320 40.815 51.050 90.450
235.450
swasta sekolah Aparat lsm kth KeagamaanPemerintah pribadi
100| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Luas lahan milik masyarakat penerima bibit berkisar antara 1-35 ha/
orang. Masyarakat mulai sadar dengan kebutuhan kayu dan harga per m3
yang meningkat, adanya jenis yang cepat panen dan berkualitas, sehingga
sebagian masyarakat telah merelakan kebun kelapa untuk diganti dengan
tanaman kehutanan. Pertimbangan yang diambil yaitu dalam jangka waktu
12 tahun tanaman kehutanan sudah dipanen 2 kali sedangkan kelapa baru
belajar berbuah.
Gencarnya promosi tentang persemaian permanen yang menyediakan
bibit gratis merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan distribusi.
Dibawah kendali BPDAS Tondano dan BPK Manado promosi berjalan sukses.
Salah satu skenario yang mudah ditangkap masyarakat adalah bahwa dalam
1 ha dengan jarak tanam 5x4 maka akan ada 500 batang tanaman, semisal
1 tanaman menghasilkan 1 m3 kayu dengan harga kayu minimal 1 juta maka
dalam jangka 5 tahun akan didapat panen 500 juta.
C. Kondisi Tanaman di Lapangan
Monitoring dilakukan hanya di Kabupaten Minahasa Utara (Minut),
dengan pertimbangan bahwa Minut merupakan lokasi distribusi terbesar ke
dua dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat secara pribadi. Hasil
monitoring didapat umur tanaman antara 1 bulan s/d 2 tahun. Namun ada
juga bibit yang belum ditanam disebabkan oleh mahalnya biaya
pembersihan lahan, pengangkutan, dan musim hujan. Berdasarkan hasil
survey biaya pembersihan dan penanaman untuk 1 ha, berkisar 3-6 juta
rupiah tergantung lokasi. Pengangkutan dilakukan menggunakan tenaga
manusia, grobak sapi, motor dan mobil. Sedangkan musim hujan di Sulawesi
Utara antara bulan oktober hingga mei.
Adanya penanaman pada lahan milik telah merubah tutupan lahan
kosong menjadi hutan sebagaimana Gambar 4 poin 1. Nampak perbedaan
kebun sengon dengan areal alang-alang yang menandakan bahwa 2 tahun
yang lalu lokasi kebun tersebut tidak jauh beda dengan kondisi alang-alang.
Bibit yang ditanam di kebun pribadi relatif lebih subur dan persen
keberhasilan lebih tinggi dibanding tanaman penghijauan. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh rasa kepemilikan, harapan akan keuntungan dan pengaruh
adanya sistem tumpang sari dengan palawija sehingga tanaman lebih
terawat. Tumpang sari umumnya dilakukan dengan jenis jagung, cabe,
pisang, empon-empong (jahe) dan kelapa sebagaimana mana poin 2, 5, dan
6 pada Gambar 4.
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
101
Keterangan : 1) Sengon umur 2 tahun di Air Madidi, 2). Cempaka 1,5 tahun di , 3)
Jabon merah 1 minggu di Talawaan, 4). Jabon putih 2 Tahun di
Wori, 5). Jabon putih 1 tahun, 6). cempaka 6 bulan di Wori, 7).
Jabon 6 bulan di Wori, 8). Bibit belum ditanam di Talawaan, 9).
Kebun campuran sengon, Jabon dan Gmelina umur 5 bulan di Wori,
10). Penghijauan jalan di Kikavser, 11) Penghijauan Jalan di
Likupang dan 12). Penghijauan sempadan sungai di Talawaan.
Gambar 4. Kondisi tanaman hasil distribusi di Kabupaten Minahasa Utara
D. Kajian Dampak Persemaian Permanen Terhadap Sektor Kehutanan
Hasil evaluasi selama 3 tahun terhadap pendistribusian bibit dan
kunjungan ke lokasi persemaian, menunjukkan antusiasme masyarakat
Sulawesi Utara akan adanya persemaian permanen dan bibit gratis cukup
1 2 3
7 8 9
10 11 12
4 5 6
102| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Pemerintah 52%
LSM 1%
Sekolah
42%
Swasta
5%
Pemerintah 18%
LSM 4%
Sekolah
76%
Swasta
2%
tinggi. Diketahui hampir seluruh lapisan masyarakat pernah mendapatkan
bibit secara gratis untuk ditanam di lingkungannya. Lokasi persemaian juga
digunakan sebagai lokasi belajar untuk mengenal dunia kehutanan baik
untuk siswa maupun masyarakat secara umum.
Gambar 5. Diagram persentase pengunjung tahun 2012 (a) dan 2013 (b).
Berdasarkan catatan pengunjung hingga akhir 2013 sebagaimana
tergambar pada Gambar 5, terdapat sedikitnya 737 orang pengunjung baik
lokal maupun manca negera. Persentase pengunjung yaitu 68 % sekolahan,
26 % pemerintah, 2,9 % LSM dan 2,5 % Swasta. Sebuah terobosan untuk
menggugah kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar dan
merubah cara pandang akan pentingnya manfaat hutan sejak dini.
Jumlah masyarakat Sulawesi Utara yang bekerja di bidang agro
(pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan) menurut BPS (2013)
mencapai 333.103 orang atau 34,5 %. Jumlah ini merupakan potensi dalam
melakukan rehabilitasi lahan-lahan kosong sekaligus memberikan tambahan
pengahasilan dari sektor kehutanan. Pengetahuan dan kesadaran
masyarakat akan prospek hutan tanaman dan pentingnya hutan perlu
disebarluaskan sejak dini. Menurut penelitian Supangat et. al. (2002) dalam
Rahmayanti (2012) kecenderungan petani memilih jenis tanaman kehutanan
untuk kebun antara lain karena bibitnya tidak membeli (41 %), pemasaran
bagus 38 %), nilai jual tinggi (17 %) dan tradisi (4 %). Berdasarkan
penjelasan tersebut nampak bahwa dengan bibit gratis, memiliki jual cukup
tinggi dan adanya usaha pemerintah daerah untuk mendirikan pabrik kayu
a b
Total 171 orang Total 566 orang
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
103
di Sulut merupakan faktor utama yang mempengaruhi keinginan menanam
kayu kehutanan.
Menurut Asir (2012) masyarakat Sulut telah membudidayakan tanaman
kehutanan di areal kebun kelapa. Hasil penelitian menunjukkan sistem ini
tidak menurunkan produktifitas kopra dari kepala, justru pada waktu panen
akan didapat keuntungan 2-5 kali lebih besar modal. Selain itu dapat
mengurangi curah hujan sebagai air limpasan yang dapat menimbulkan
erosi pada tanah miring. Tanaman yang dapat dicampur dengan kelapa
antara lain cempaka, mahoni, dan nyatoh. Setelah 6 tahun rata-rata
diameter tanaman kehutanan berkisar 21-31 cm dan tinggi 6-20 meter,
volume rata-rata per hektar 65,46 m3 (cempaka), 194,86 m3 (nantu) dan
257,73 m3 (mahoni). Menurut Widiarti dan Prajadinata (2008) karakteristik
penutupan lahan pada sistem kebun campuran mendekati ekosistem hutan
berdasarkan tutupan tajuknya dan secara ekologis akan lebih baik dibanding
kebun homogen. Produktivitas lahan akan lebih tinggi bila dilakukan
penanaman campuran yang terdiri dari kayu-kayuan, buah-buahan /
tanaman industri, dan tumbuhan bawah tahan naungan.
Penanaman yang bersifat rehabilitasi pada lahan non milik dilakukan
oleh kelompok masyarakat seperti atas nama desa, Lembaga Swadaya
Masyarakat, kelompok pencinta alam, kelompok tani hutan, kelompok
keagamaan, instansi pemerintah dan aparat keamanan. Rehabilitasi
dilakukan pada sempadan sungai, jalan, mata air dan areal hutan lindung.
Jumlah bibit yang terdistribusi untuk tujuan rehabilitasi lahan non milik +
337.650 (13 %) berdasar data rekapitulasi distribusi ke LSM, aparat,
sekolah, universitas dan BUMN. Bibit yang terdistribusi tersebut sedikitnya
akan dapat menutup lahan seluas 182,33 ha dengan tingkat keberhasilan 60
% dan jarak tanam 3x3 meter. Sedangkan penutupan hutan pada lahan
milik perorangan diperkirakan akan dapat mencapai 1.825,71 ha dengan
keberhasilan 80 % dan jarak tanam 4 x 5 meter. Berdasarkan uraian Asir
(2012) hal ini akan dapat menurunkan laju erosi tanah mengingat topografi
Sulawesi Utara dominan berbukit-bukit. Selain itu dengan pemanfaatan
lahan secara optimal di bawah tegakan akan berpengaruh terhadap
menurunnya konversi lahan hutan, mengurangi konflik tata batas hutan
rakyat dan hutan lindung (HB et al. 2012).
Menurut Njurumana et. al. (2008) upaya rehabilitasi dengan pola hutan
rakyat memerlukan dukungan pemerintah pada beberapa sektor antara lain
: 1) Kebijakan yaitu keberpihakan peraturan rehabilitasi yang dapat
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan fungsi ekologis
104| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
secara sinergis. Pola pendekatan dengan cara meningkatkan kualitas tapak
melalui hutan rakyat, hutan campuran dan agroforestry sehingga akan
menciptakan diversifikasi pendapatan masyarakat. 2) Aspek Sosial dan
Ekonomi mempertimbangkan mata pencaharian, ternak dan kebutuhan
kayu. Adanya ternak dan kebutuhan kayu merupakan ancaman terhadap
tanaman muda, belum lagi adanya kebiasaan membakar lahan untuk
pertanian. Strategi yang digunakan adalah pengembangan hutan rakyat
yang berbasis inisiatif lokal, sehingga akan mudah disosialisasikan karena
sudah mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal.
Kondisi masyarakat Sulawesi Utara yang menyadari pentingnya hutan
perlu dibarengi dengan keseriusan pemerintah daerah dalam membina
petani kehutanan. Menurut Yumi et. al. (2011) petani memerlukan
pembelajaran dalam mengelola hutan rakyatnya, sehingga diperlukan
peningkatan kompetensi baik teknis maupun manajerial tentang pengelolaan
hutan berkelanjutan. Pemerintah sangat diharapkan dalam hal pembentukan
kelembagaan dan pendampingan baik melalui penyuluh maupun
pendampingan yang melibatkan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Produksi dan distribusi bibit mencapai 2.500.015 bibit. Keberhasilan
pembibitan cempaka dan jabon telah menjadikan persemaian
permanen sebagai sumber referensi pembibitan kedua jenis tersebut.
2. Diperkirakan hasil distribusi bibit yang dilakukan telah ditanam pada
areal kebun pribadi dan areal perlindungan setempat (mata air,
sempadan sungai, penghijauan jalan) seluas 2.008, 04 ha.
3. Antusiasme masyarakat terhadap persemaian permanen mengalami
peningkatan selama 2 tahun, hal ini merupakan peluang untuk
mentransformasi peluang usaha dan pentingnya manfaat hutan bagi
kehidupan, serta teknik dalam budidaya tanaman kehutanan.
4. Masyarakat secara inisiatif telah melakukan budidaya secara campuran.
Model ini dapat menjadi model rehabilitasi lahan kosong yang tepat
karena terbukti mampu menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan
infiltrasi. Penyediaan bibit unggul gratis, jaminan pemasaran, nilai jual
perlu diusahakan bersama. Pemerintah Daerah perlu mengeluarkan
kebijakan rehabilitasi yang dapat memfasilitasi kebutuhan dasar
masyarakat. Strategi yang dikembangkan yaitu hutan rakyat yang
Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan
105
berbasis inisiatif lokal akan mudah disosialisasikan karena sudah
mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal.
B. Saran
1. Perekonomian di sektor kehutanan di Sulawesi Utara akan mampu
menaikan PAD dengan jalan pemerintah segera membangun industri
kayu dengan jalan menarik investor maupun UPTD.
2. Masyarakat perlu didampingi dalam pengelolaan hutan dan lingkungan
sekitar, sehingga disamping masyarakat mendapat keuntungan dengan
kebun tanaman, areal perlindungan setempat seperti mata air, sempadan
sungai dan jalan raya pun akan terlindungi dengan vegetasi.
Pendampingan dapat berasal dari penyuluh maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Swasta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman. 2012. Kebijakan pembangunan kehutanan bidang perbenihan tanaman hutan, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitasi dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Asir, L. O. 2012. Analisis finansial kombinasi tanaman kayu-kayuan dengan pertanaman kelapa (Cocos nucifera) di Sulut (Studi Kasus di Kecamatan Mapanget Kota Manado), dalam Prosiding Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
BPS. (2014, September 20). Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Sulawesi Utara Tahun 2013. Retrieved from Badan Pusat Statistik Propinsi SUlawesi Utara: http://sulut.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=14
Halawane J. E., H. N. Hidayah dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
HB, A.R., Nurhaedah, dan E. Hapsari. 2012. Kajian strategi optimalisasi pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi SUlawesi Selatan. Jurnal peneltian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9(4):216-228.
Hidayah, H. N. dan A. Irawan. 2012. Kesesuaian media sapih terhadap persentase hidup semai jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil). dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Irawan, A. dan A. Suryawan. 2013. Pengaruh aplikasi zat pengatur tumbuh (Rooton-F) terhadap respon pertumbuhan stek pucuk cempaka wasian, dalam Prosiding Nasional Optimasi Silvikultur I dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Silvikultur Indonesia, (pp. 165 - 171). Makasar.
106| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Irawan, A., H. N. Hidayah dan J. E. Halawane. 2012. Pengaruh tingkat kerapatan naungan pada beberapa kelompok pemupukan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian (Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy) di persemaian, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.
Njurumana G. N. D., B. A. Victoria dan Pratiwi. 2008. Potensi pengembangan mamar sebagai model hutan rakyat dalam rehabilitasi lahan kritis di Timor Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(5):473-484.
Rahmayanti, S. 2012. Respon masyarakat terhadap pola agroforestri pada hutan rakyat penghasil pulp. Mitra Hutan Tanaman 7(2): 39-50.
Wahyuni, N. I. 2012. Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan di Sulawesi Utara dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. pp. 49-60
Widiarti A. dan S. Prajadinata. 2008. Karakteristis hutan rakyat pola kebun campuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(2):145-156.
Yudohatono, P. T. 2013. Potensi dan penanganan benih jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) dari provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman 6(1):21-27.
Yumi, Sumardjo, D.S. Gani, B.S. Sugihen. 2011. Model pengembangan pembelajaran petani dalam mengelola hutan rakyat lestari : Kasus di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 8(3):196-210.
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
107
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)
H.Keng) pada Tempat Sapih Politub dan Polibag1
Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan2
ABSTRAK
Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan
pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang
berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan
pengangkutan bibit ke lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih politube
dan polibag. Bibit cempaka umur satu minggu setelah perkecambahan
disapih menggunakan media top soil pada wadah politube dan polibag. Pada
umur empat bulan dilakukan pengamatan pertumbuhan bibit meliputi persen
hidup (%), tinggi (cm), dan diameter (cm). Jumlah bibit pada masing-
masing perlakuan adalah 96 bibit sehingga jumlah total bibit yang diamati
adalah 192 bibit. Dari hasil pengamatan dan analisis menggunakan uji t,
diketahui bahwa pertumbuhan bibit cempaka pada politub menghasilkan
pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan
cempaka pada polibag. Parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada
politube dan polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan 119 %.
Kata Kunci : cempaka, politube, penyapihan
I. PENDAHULUAN
Cempaka (Magnolia elegans. (Blume) H. Keng) adalah salah satu dari
beberapa jenis kayu cempaka yang dikenal di Sulawesi Utara (Kinho &
Irawan, 2011). Kayu ini memiliki klasifikasi kelas awet II dan kelas kuat III,
berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400-500 kg/m3 (Langi, 2007). Kayu
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado ; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget
Kota Manado; Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]
108| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
cempaka memiliki serat yang halus, sehingga sangat sesuai digunakan
sebagai bahan baku industri meubel, kusen, alat musik, perahu, alat
olahraga, plywood, dll. Pada umumnya masyarakat Minahasa menggunakan
kayu cempaka sebagai bahan baku utama dalam pembuatan konstruksi
rumah panggung Minahasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan rumah
woloan.
Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan
pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang
berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan
pengangkutan bibit ke lapangan. Media tanam adalah salah satu faktor
eksternal yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Media tanam yang baik adalah media yang mampu menyediakan air dan
unsur hara dalam jumlah cukup bagi pertumbuhan tanaman. Durahim dan
Hendromono (2001) menyatakan bahwa untuk menghasilkan bibit yang
berkualitas diantaranya diperlukan media tanam yang kaya dengan bahan
organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman. Tempat bibit
yang lebih besar (polibag) akan membutuhkan lebih banyak media dan juga
ruang pada saat pengangkutan ke lapangan sehingga mempunyai efesiensi
yang lebih rendah dibandingkan tempat bibit yang lebih kecil (politube).
Padahal dengan menggunakan tempat bibit dengan kapasitas volume media
yang lebih kecil, pada umur tertentu performa pertumbuhan dan mutu
bibitnya mungkin telah memadai untuk siap tanam (Junaedi, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan bibit
cempaka pada tempat sapih politub dan polibag. Data dan informasi
pertumbuhan tersebut diperlukan sebagai bagian yang diperhitungkan
dalam pemilihan tempat sapih bibit yang paling sesuai dalam proses
pembibitan cempaka.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-November 2012 di Persemaian
Permanen BPDAS Tondano yang terletak di Kecamatan Mapanget Kota
Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan suhu
rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan rata-rata
curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika,
2011).
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
109
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih cempaka
yang berasal dari Kabupaten Minahasa Selatan, media tabur (pasir), media
sapih (tanah top soil), tempat sapih politube dengan volume 60 cm3 dan
tempat sapih polibag dengan volume 300 cm3. Peralatan yang digunakan
antara lain kaliper, penggaris, dan alat tulis.
C. Metode
Perkecambahan benih dilakukan pada bak plastik menggunakan media
pasir. Perkecambahan benih berlangsung pada 10 (sepuluh) hari setelah
penaburan dan bibit siap disapih 1 (satu) minggu setelahnya. Bibit disapih
pada tempat politube dan polibag menggunakan media tanah top soil.
Pada waktu bibit berumur 4 bulan dilakukan pengamatan parameter
pertumbuhan bibit yang meliputi persen hidup (%), tinggi (cm), dan
diameter (cm). Jumlah bibit pada masing-masing perlakuan adalah 96 bibit
sehingga jumlah total bibit yang diamati adalah 192 bibit.
D. Analisis Data
Untuk membandingkan perbedaan besaran parameter pertumbuhan
bibit cempaka pada tempat sapih politub dan polibag maka dilakukan uji t
dua sampel bebas.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perbandingan besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka pada
polibag dan politub menggunakan uji t ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka umur empat bulan di polibag dan politub
Parameter Pertumbuhan Bibit A Bibit B
Diameter (cm) 0,29 ± 0,003 0,20 ± 0,002 *
Tinggi (cm) 10,48 ± 0,20 4,77 ± 0,072 *
Persen hidup (%) 90,63 ± 1,80 96,88 ± 1,80 ns
Keterangan : Bibit A = Bibit di polibag; Bibit B = Bibit di politub; * = berbeda nyata
pada taraf uji 5% ; ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Penggunaan tempat sapih polibag dan politub memberikan nilai yang
berbeda nyata tehadap pertumbuhan diameter dan tinggi bibit, sedangkan
untuk parameter persen hidup tidak memberikan nilai yang berbeda nyata.
Hasil perhitungan perbedaan besaran parameter pertumbuhan bibit antara
tempat sapih politub dan tempat sapih polibag menunjukkan bahwa
perbedaan pertumbuhan diameter memiliki nilai yang lebih kecil
dibandingkan dengan perbedaan pertumbuhan tinggi bibit. (Tabel 2).
110| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Tabel 2. Perbedaan besaran pertumbuhan antara bibit cempaka di tempat
sapih polibag dengan politub
Parameter Pertumbuhan Besar Perbedaan
(cm) Presentase Perbedaan
Diameter 0,09 45 % Tinggi 5,71 119 %
Keterangan : Besar perbedaan = pertumbuhan bibit di polibag - pertumbuhan bibit
di politub
Pertumbuhan cempaka pada politub menghasilkan pertumbuhan yang
lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan cempaka pada polibag.
Perbandingan parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada politub
dengan tempat sapih polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan
119 % (Tabel 2).
Media berperan seperti halnya tanah di lapangan yakni berfungsi
sebagai ruang tempat tumbuh akar serta menyediakan air dan nutrisi bagi
tanaman/bibit. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas
media yang digunakan. Kualitas media dapat dicerminkan oleh kandungan
unsur hara yang dikandung dalam media. Dalam penelitian ini, kualitas
media tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit cempaka
pada polibag dan politub, karena media yang digunakaan adalah sama.
Selanjutnya kuantitas media dicerminkan oleh banyaknya (volume) media
yang disediakan untuk pertumbuhan bibit. Dengan volume media pada
tempat sapih polibag sebesar 300 cm, maka kuantitas medianya akan lebih
tinggi lima kali dibandingkan bibit pada tempat sapih politub (volume 60
cm). Hal ini mengakibatkan kuantitas ruang tumbuh, air dan nutrisi yang
disediakan untuk pertumbuhan bibit pada tempat sapih polibag lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan bibit pada tempat sapih politub. Hal tersebut
menyebabkan pertumbuhan diameter dan tinggi bibit cempaka pada polibag
lebih tinggi dibandingkan dengan bibit cempaka pada politub. Junaedi
(2010) dalam penelitiannya terhadap bibit jabon (Anthocephalus cadamba.
Miq) umur 4 bulan yang dicobakan pada tempat sapih polibag dan politub
juga menghasilkan nilai perbandingan yang tidak jauh berbeda.
Perbandingan pertumbuhan diameter yang dihasilkan adalah sebesar 50 %
dan pertumbuhan tinggi sebesar 199 %. Dalam penelitiannya yang lain,
Junaedi (2012) juga menyatakan bahwa media dalam polibag dengan
volume media 500 cm3 secara signifikan memberikan pertumbuhan lebih
baik pada bibit merawan asal sistem KOFFCO umur enam bulan
dibandingkan potray (potray kotak volume 350 cm3 dan potray bulat 300
cm3).
Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan
111
Penggunaan polibag sebagai tempat sapih bibit sudah banyak dilakukan
dan merupakan tempat yang paling umum digunakan karena memiliki harga
jual yang relatif murah dan mudah diperoleh. Komaryati dan Gusmailina
(2010) menyatakan bahwa keunggulan penggunaan tempat sapih polibag
dibandingkan dengan tempat sapih politub adalah pertumbuhan akar
tanaman yang ada dalam polibag lebih leluasa berkembang dibandingkan
dengan akar tanaman yang berada dalam politub. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa dalam hasil penelitiannya tempat sapih polibag memberikan
kelebihan tinggi dan diameter pada Eucalyptus urophylla sebesar 7,57 cm
dan 0,24 cm daripada politub. Sedangkan pada Eucalyptus pellita, polibag
memberikan kelebihan tinggi dan diameter sebesar 7,62 cm dan 0,37 cm.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bibit cempaka pada tempat sapih politub memiliki pertumbuhan yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan bibit cempaka pada
tempat sapih polibag.
B. Saran
Perlu dilakukan aplikasi penggunaan media lain serta penambahan
pupuk yang sesuai sehingga dapat menghasilkan bibit cempaka yang
memiliki pertumbuhan lebih optimal pada tempat sapih politub.
DAFTAR PUSTAKA
Durahim dan Hendromono. 2001. kemungkinan penggunaan limbah organik sabut kelapa sawit dan sekam padi sebagai campuran top soil untuk media pertumbuhan bibit mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan 628:13-26.
Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Melton Putra. Jakarta
Hendromono. 2003. Kriteria peniliaian mutu bibit dalam wadah yang siap tanam untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4(1):11-20. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta
Junaedi, A. 2012. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit merawan (Hopea odorata roxb.) asal sistem KOFFCO di polibag dan potray. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 6(1). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.
Junaedi, A. 2010. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di polibag dan politub. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(1). Pusat Litbang Produktifitas Hutan. Bogor.
Langi, Y.A.R. 2007. model penduga biomassa dan karbon pada tegakan hutan rakyat cempaka (Elmrerillia ovalis) dan wasian (Elmerrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Thesis. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
112| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Kinho, J. dan Mahfudz, 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Kinho, J. dan A. Irawan. 2011. Studi keragaman jenis cempaka berdasarkan karakteristik morfologi di Sulawesi Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal 61-78
Komarayati, S dan Gusmailina. 2010. Pengaruh Media dan Tempat Tumbuh terhadap Pertumbuhan Anakan Eucalyptus urophylla dan Eucalyptus pellita.
Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 1999. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab (jilid 1). Jurusan Statistik, FMIPA-IPB. Bogor.
Pratisto. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
113
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon1
Nurlita Indah Wahyuni2
ABSTRAK
Kebutuhan akan data perubahan stok karbon hutan yang memenuhi syarat
pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting and
Verification, MRV) merupakan salah satu alasan dilakukannya desain ulang
Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory, NFI). Sehingga dari
satu data inventarisasi bisa diperoleh beberapa informasi sekaligus seperti
potensi tegakan, struktur dan komposisi vegetasi serta biomasa dan karbon
hutan. Tulisan ini akan memaparkan tentang korelasi Indeks Nilai Penting
(INP) suatu jenis pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya.
Kajian dilakukan di SPTN III Maelang, Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone. Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik,
sedangkan INP diperoleh dengan menghitung parameter penyusun INP yaitu
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).
Uji korelasi menggunakan data biomasa dan INP satu jenis pohon yang
sama. Berdasarkan hasil analisis vegetasi Alangium javanicum memiliki INP
tertinggi sebesar 29,34 %. Sedangkan jenis pohon dengan rata-rata
biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan biomasa sebesar
96,53 Mg/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01 menunjukkan bahwa
INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan nilai korelasi sebesar
0,752 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara INP dengan
biomasa.
Kata kunci: korelasi, indeks nilai penting, biomasa, pohon
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan
Mapanget Manado Telp. 0431-3666683; Email: [email protected]
114| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
I. PENDAHULUAN
Dalam rangka pengumpulan data dan informasi terkait sumber
daya hutan, khususnya stok kayu dan penyebarannya, Kementerian
Kehutanan telah menerapkan Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest
Inventory, NFI) sejak tahun 1990-an. Kurang lebih 3000 plot contoh
telah dibuat dan dimonitor, yang tersebar secara sistematik di seluruh
wilayah Indonesia. Sebagian dari plot contoh juga telah dilakukan
pengukuran ulang (re-enumerasi). Terkait dengan inventarisasi Gas Rumah
Kaca (GRK), plot-plot contoh ini merupakan sumber potensi data yang
baik untuk pendugaan stok karbon hutan dan perubahannya. Terlebih
dengan adanya syarat pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement,
Reporting and Verification, MRV) untuk menghitung seberapa besar
penurunan emisi (Ruslandi, 2012).
Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang selalu
dilaksanakan dalam pengelolaan hutan baik di kawasan produksi maupun
konservasi. Secara umum, inventarisasi bertujuan untuk memperoleh
informasi dan memantau kondisi sumberdaya hutan. Data yang diperoleh
dalam inventarisasi antara lain topografi, jenis tanah, curah hujan, jenis
pohon, dimensi pohon (diameter, tinggi, lebar tajuk), jumlah spesies pada
tiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon), serta kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Inventarisasi di awal kegiatan
dapat memberikan informasi awal kondisi hutan, sedangkan inventarisasi
secara berkala dapat menggambarkan pertumbuhan tegakan dan hasil kayu
(growth and yield) (Simon, 2007). Data hasil inventarisasi ini selain
digunakan untuk mengetahui potensi tegakan, juga untuk mengetahui
kondisi vegetasi dengan cara menganalisis struktur dan komposisi vegetasi
dalam pengolahan data lebih lanjut yaitu analisis vegetasi.
Analisis vegetasi biasa dilakukan untuk mempelajari komposisi jenis dan
struktur vegetasi pada satu wilayah. Dalam analisis vegetasi, terdapat dua
parameter yang biasa digunakan yaitu parameter kuantitatif dan parameter
kualitatif. Analisis vegetasi akan menjawab jenis tumbuhan yang dominan
dan memberi ciri utama komunitas hutan. Ukuran dominansi vegetasi
dinyatakan dalam beberapa parameter antara lain biomasa, penutupan
tajuk, luas basal area, indeks nilai penting dan perbandingan nilai penting
(Indriyanto, 2010).
Dalam proses hidupnya, vegetasi hutan melakukan proses fotosintesis
(metabolisme) untuk petumbuhan dan penambahan biomasa. Biomasa
diperoleh dari hasil proses fotosintesis tumbuhan dan berguna untuk
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
115
menambah massa tumbuhan. Dalam ekosistem hutan, biomasa
dideskripsikan sebagai jumlah energi yang terikat per satuan luas per satuan
waktu pada tiap tingkat trofik dan dapat digambarkan dalam piramida
biomasa (Indriyanto, 2010). Sedangkan dalam perubahan iklim khususnya di
sektor kehutanan, biomasa erat kaitannya dengan jumlah gas
karbondioksida (CO2) yang diserap dan disimpan oleh tumbuhan. Biomasa
didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada
suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas
(Brown, 1997).
Biomasa pohon merupakan penyusun utama biomasa dalam tegakan
hutan. Penghitungan biomasa pohon dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
secara langsung (destruktif) dan tidak langsung (non-destruktif). Metode
destruktif dilakukan dengan memanen seluruh bagian pohon, mengeringkan
dan menimbang berat biomasanya. Sedangkan dengan metode non-
destruktif, biomasa pohon diperoleh dari persamaan alometrik dengan
menggunakan variabel diameter dan tinggi baik persamaan spesifik tiap
jenis maupun persamaan umum (Sutaryo, 2009).
Salah satu data yang dihasilkan dalam inventarisasi hutan adalah
diameter (d) atau diameter setinggi dada (dbh). Data diameter ini antara
lain dapat digunakan untuk menghitung volume pohon (penaksiran potensi
tegakan), Indeks Nilai Penting (INP) dalam analisis vegetasi hutan, serta
penghitungan biomasa pohon dengan menggunakan persamaan alometrik.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang korelasi INP suatu jenis pada fase
pertumbuhan pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya. Sehingga
dari data INP dapat diketahui jenis pohon apa yang menyimpan biomasa
terbesar.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan September 2012 di kawasan
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Seksi Pengelolaan Taman Nasional
(SPTN) III Maelang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi
Utara.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini
terdiri dari tegakan hutan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
di SPTN III Maelang. Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan data
di lapangan antara lain peta kerja, tali rafia, tali tambang, plastik spesimen,
116| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
gunting tanaman, timbangan digital, pita ukur, Global Positioning System
(GPS), pita penanda, tally sheet , alat tulis dan perangkat lunak analisis
statistik.
C. Prosedur Penelitian
Pengumpulan data untuk menghitung INP dan mengetahui jumlah
biomasa tersimpan diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di
lapangan. Total dibuat sebanyak 30 plot ukur biomasa yang ukurannya
mengacu pada Hairiah dan Rahayu (2007), yaitu 1 plot berukuran 5x40 m
(pohon dengan diameter 5-30 cm) dan 29 plot berukuran 20x100 m (pohon
berdiameter >30 cm). Data yang dikumpulkan adalah nama jenis dan
diameter (dbh) setiap pohon di dalam plot.
D. Analisis Data
Analisis data meliputi data hasil pengukuran untuk memperoleh nilai
biomasa tiap pohon serta penghitungan Indeks Nilai Penting (INP).
Penghitungan biomasa pohon dilakukan secara non destruktif melalui
persamaan alometrik. Berdasarkan data curah hujan di lokasi penelitian,
sebesar 1.200-2.000 mm/tahun, maka digunakan persamaan alometrik zona
lembab yang telah dikembangkan oleh Brown (1997)
dimana: Y = biomasa per pohon (kg) dan D = dbh (cm).
Sedangkan INP tiap jenis pohon diperoleh dengan menghitung
parameter penyusun INP yaitu Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR)
dan Dominansi Relatif (DR). Persamaan untuk menghitung KR, FR, DR dan
INP terdapat dalam Tabel 1. Kerapatan menyatakan jumlah satu jenis
individu dalam plot pengukuran. Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah
jumlah plot pengukuran tempat ditemukannya suatu jenis dari sejumlah plot
pengukuran yang dibuat. Frekuensi menggambarkan tingkat penyebaran
jenis dalam ekosistem yang dipelajari. Dominansi merupakan nilai luas
bidang dasar individu pohon, sedangkan dominansi relatif persentase bidang
dasar suatu jenis terhadap jumlah bidang dasar seluruh jenis. Sebagian
besar kajian dan pustaka merumuskan INP sebagai penjumlahan dari
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).
Biomasa dan INP dihitung pada setiap jenis pohon yang ditemukan
dalam plot. Untuk mengetahui adanya korelasi antara biomasa dan INP satu
jenis pohon yang sama, digunakan uji korelasi Spearman dengan bantuan
perangkat lunak analisis statistik.
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
117
Tabel 1. Persamaan untuk menghitung Indeks Nilai Penting
No Faktor Persamaan Keterangan
1. Kerapatan
Relatif
K-i : Kerapatan
jenis ke-i
KR-i : kerapatan
relatif setiap
jenis ke-i
terhadap
kerapatan total
2. Frekuensi
Relatif
F-i : frekuensi
jenis ke-i
FR-i : frekuensi
relatif setiap
jenis ke-i
terhadap
frekuensi total
3. Dominansi
Relatif
D-i : dominansi
jenis ke-i
DR-i : dominansi
relatif setiap
jenis ke-i
terhadap
dominansi total
4. Indeks Nilai
Penting
Sumber: Indriyanto (2007)
118| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) secara geografis
terletak antara 0⁰20‟ – 0⁰51‟ LU dan 123⁰06‟ – 123⁰18‟ BT, serta masuk
dalam wilayah dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dari luas
keseluruhan 287.115 ha, seluas 117.115 ha (62,32 %) berada di Sulawesi
Utara dan 110.000 ha (37,68 %) termasuk dalam wilayah Gorontalo.
Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, wilayah TN BNW termasuk dalam tipe
iklim A, B dan C, dengan curah hujan rata-rata antara 1.700-2.200 mm per
tahun dan suhu rata- rata antara 20 ⁰C-28 ⁰C. Sedangkan topografi kawasan
ini sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat dan
berbukit terjal dengan ketinggian antara 50 – 1.970 m dpl. Beberapa tipe
hutan yang terdapat di dalamnya adalah hutan lumut, hutan hujan
pegunungan rendah, hutan hutan dataran rendah dan hutan sekunder (BTN
BNW, 2006). Lokasi pengambilan data terletak pada kawasan SPTN III
Maelang, kawasan di Puncak Biyango (600 m dpl) dan Kayu Lawang (700-
1000 m dpl).
A. Indeks Nilai Penting dan Biomasa Pohon
Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan peran suatu tumbuhan di dalam
komunitas. Makin besar INP suatu jenis tumbuhan, maka makin besar pula
peranan jenis tersebut di dalam komunitas yang diukur. Jika INP merata
pada banyak jenis, dapat dikatakan keanekaragaman hayati di komunitas
tersebut semakin tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, ditemukan
terdapat 58 jenis pohon dalam plot pengukuran. Jumlah jenis pohon ini lebih
sedikit bila dibandingkan dengan kajian yang dilakukan oleh Irawan (2011)
yaitu sebanyak 98 jenis. Walaupun kajian tersebut juga dilakukan dalam
kawasan TN BNW, namun berbeda lokasi dan tipe hutan yang terletak lebih
tinggi serta termasuk hutan primer.
Jenis- jenis pohon yang ditemukan dalam plot pengukuran sebagian
besar merupakan jenis yang sering ditemukan di dalam hutan di Sulawesi
Utara. Karena lokasi penelitian merupakan hutan alam, maka pohon yang
berada dalam plot cukup beragam. Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis
pohon dengan INP tertinggi sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum.
Sedangkan pohon dengan INP terendah adalah Pangium edule dan Ficus sp.
dengan INP masing-masing sebesar 0,25 %. Bahkan hanya terdapat 11 jenis
pohon dengan INP > 10, hal ini menunjukkan tegakan tersebut tidak
didominasi oleh beberapa jenis pohon saja. Meski untuk membuktikan hal
tersebut perlu dilakukan perhitungan Indeks Dominansi dan Indeks
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
119
Keanekaragaman. Nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR),
Dominansi Relatif (DR) dan INP masing-masing jenis pohon terdapat Tabel
2.
Jenis pohon dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum
soulattri dengan biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Sedangkan pohon dengan
biomasa terkecil 0,04 ton/ha adalah jenis Albizia lebeck. Jika nilai biomasa
tiap jenis pohon disusun dengan urutan terbesar hingga terkecil, maka
dapat dilihat bahwa hanya 21 jenis pohon dengan rata-rata biomasa > 10
ton/ha. Penyusunan INP dan rata-rata biomasa dari nilai terbesar hingga
terkecil menunjukkan pohon dengan INP tertinggi tidak secara otomatis
memiliki biomasa tertinggi. Misalnya jenis pohon dengan INP tertinggi
adalah A. javanicum namun rata-rata biomasanya 88,65 ton/ha, atau
terbesar kedua setelah C. soulattri yang berada pada urutan keempat
dengan INP sebesar 15,61 %.
Tabel 2. Indeks Nilai Penting dan biomasa pohon dalam plot pengukuran
No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
1 Alangium javanicum 4.85 12.74 11.75 29.34 88.65
2 Meliosma nitida 3.81 7.82 7.73 19.36 41.78
3 Myristica fatua 4.16 5.94 6.16 16.26 63.56
4 Calophyllum soulattri. 3.99 4.6 7.02 15.61 96.53
5 Cratoxylum celebicum 4.16 6.64 3.46 14.25 50.86
6 Psychotria sp. 4.51 5.94 2.7 13.15 30.88
7 Ardisia villosa 2.95 2.73 5.64 11.32 30.60
8 Canarium indicum 3.64 3.48 4.17 11.28 26.33
9 Syzygium glomeratum 3.47 4.07 3.7 11.23 67.99
10 Dillenia suffruticosa 4.16 2.62 4.27 11.06 65.65
11 Mangifera sp. 3.47 3.85 2.75 10.07 12.72
12 Polyalthia glauca 3.64 4.07 1.98 9.69 12.40
13 Pterospermum spp. 2.43 2.78 3.22 8.43 56.02
14 Palaqium obtusifolium 3.47 2.09 2.09 7.64 25.24
15 Talauma candolei 1.39 1.18 4.88 7.45 85.80
16 Turpinia sphaerocarpa 3.64 2.46 1.23 7.33 8.81
17 Drypetes longifolia 2.77 2.94 1.18 6.9 6.57
18 Bischoffia javanica 1.56 0.96 4.02 6.54 17.03
120| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
19 Sandoricum koetjape 2.77 1.98 0.78 5.54 4.07
20 Aglaia tomentosa 2.43 2.3 0.58 5.31 0.25
21 Agathis philippensis . 1.21 1.07 2.71 4.99 16.24
22 Vitex cofassus 0.17 1.34 3.31 4.83 62.86
23 Eugenia sp. 1.21 1.23 2.23 4.68 20.25
24 Iilex cymosa 2.08 1.55 0.8 4.43 2.44
25 Zyzygium sp. 2.95 1.07 0.33 4.35 0.06
26 Knema sp. 1.39 1.66 0.99 4.04 6.87
27 Podocarpus neriifolius 1.21 0.48 1.87 3.57 13.06
28 Garcinia deodalanthera 2.08 0.86 0.33 3.26 8.40
29 Heritiera sp. 1.56 0.7 0.87 3.12 3.29
30 Pometia pinñata 1.73 0.64 0.72 3.09 2.91
31 x5* 1.39 0.91 0.26 2.55 1.43
32 Ailanthus integrifolia 1.21 0.59 0.68 2.49 3.45
33 Celtis sp. 1.56 0.43 0.21 2.2 2.09
34 Cananga odorata 1.04 0.7 0.46 2.19 2.76
35 Ficus sp. 1.21 0.59 0.21 2.01 1.29
36 Gnetum sp. 1.91 0.05 0.03 1.99 1.36
37 Tetrameles nudiflora 0.35 0.21 1.37 1.93 5.93
38 Hibiscus tiliaceus 1.04 0.59 0.19 1.82 3.28
39 Pterospermum spp. 0.87 0.21 0.61 1.69 2.60
40 x3* 0.17 1.18 0.24 1.59 3.08
41 Ficus sp. 0.69 0.16 0.14 0.99 6.31
42 Bischoffia javanica 0.17 0.05 0.55 0.77 2.41
43 Artocarpus sp. 0.52 0.16 0.05 0.73 0.40
44 Merintek* 0.35 0.11 0.21 0.67 48.82
45 Alstonia 0.35 0.11 0.19 0.64 8.43
46 Aglaia sp. 0.35 0.11 0.15 0.6 6.47
47 Spondias amara 0.35 0.11 0.08 0.53 2.02
48 Paraseriantes falcataria 0.35 0.16 0.02 0.53 0.04
49 Pete* 0.35 0.11 0.06 0.52 2.59
50 x2* 0.35 0.11 0.03 0.48 1.08
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
121
No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)
Biomasa (Mg/ha)
51 Ternstroemia elongata 0.17 0.05 0.2 0.43 9.04
52 Garuga floribunda 0.35 0.05 0.01 0.41 0.07
53 Koordesiodendron
celebicum 0.17 0.05 0.12 0.34 0.46
54 Macaranga sp. 0.17 0.11 0.05 0.33 0.25
55 x1* 0.17 0.05 0.1 0.33 4.48
56 x6* 0.17 0.05 0.03 0.26 0.11
57 Pangium edule 0.17 0.05 0.02 0.25 0.06
58 x4* 0.17 0.05 0.03 0.25 0.08
Sumber: diolah dari data primer
Keterangan: FR=Frekuensi Relatif, KR= Kerapatan Relatif, DR= Dominansi Relatif
Jenis pohon diurutkan berdasarkan INP terbesar hingga terkecil
* jenis pohon yang tidak teridentifikasi nama ilmiahnya
B. Korelasi Indeks Nilai Penting dengan Biomasa
Analisis korelasi merupakan salah satu metode untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua peubah, besarnya diukur dengan sebuah
bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Nilai koefisien korelasi ini
berkisar antara 1 sampai -1, yang diartikan apabila nilai r mendekati 1 atau -
1, dapat dikatakan hubungan antara dua peubah tersebut semakin kuat.
Sedangkan bila r mendekati 0, maka hubungan antara dua peubah semakin
lemah. Koefisien positif atau negatif menunjukkan hubungan searah (bila X
naik maka Y naik) dan terbalik (bila X naik maka Y turun) antara dua peubah
(Walpole, 1982).
Hasil analisis korelasi antara INP dengan biomasa pohon menunjukkan
INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa (taraf nyata 0,01) dengan
nilai korelasi sebesar 0,752 seperti tertera dalam Gambar 1 dan Tabel 3. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara INP dengan
biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding
dengan biomasa. Pada Gambar 1 terlihat sebagian besar data terkelompok
di kiri bawah dan beberapa data terpencar menjauhi garis imajiner.
Sedangkan garis imajiner bernilai positif dengan kemiringan dari sudut kiri
bawah ke kanan atas, yang berarti INP berasosiasi positif terhadap biomasa
pohon.
122| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Gambar 1. Diagram pencar korelasi antara INP dengan biomasa pohon
Meskipun menurut hasil perhitungan, pohon dengan INP dan biomasa
tertinggi merupakan jenis berbeda. Lebih lanjut dapat ditelaah dari
persamaan untuk menghitung biomasa pohon dan INP. Biomasa pohon
dihitung menggunakan persamaan Brown (1997)
, di mana Y adalah biomasa per pohon (kg) dan D merupakan
diameter setinggi dada (cm). Sedangkan INP merupakan penjumlahan dari
Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).
Kerapatan menunjukkan jumlah individu yang ditemukan, frekuensi
menunjukkan intensitas ditemukannya suatu jenis atau penyebaran jenis
tersebut dan dominansi menunjukkan dominansi suatu jenis terhadap
komunitas yang diamati.
Dari persamaan untuk menghitung INP dan biomasa pohon terdapat
satu data yang sama, yaitu data diameter pohon. Dalam perhitungan INP,
peubah diameter digunakan untuk menghitung dominansi dari luas bidang
dasar (basal area) dengan persamaan . Penyusunan ulang
data dengan mengurutkan DR dari nilai terbesar hingga terkecil
-
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00
Bio
mas
a (t
on
/ha)
INP (%)
Rata-ratabiomasa(ton/ha)
Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni
123
menunjukkan beberapa pohon memiliki DR yang berbanding lurus dengan
INP dan biomasa. Jenis-jenis pohon tersebut antara lain Alangium
javanicum, Meliosma nitida, Calophyllum soulattri, Myristica fatua dan
Ardisia villosa.
Tabel 3. Korelasi Indeks Nilai Penting (INP) dengan biomasa pohon
INP Biomass
Spearman's rho INP Correlation Coefficient 1.000 .752**
Sig. (2-tailed) . .000
N 58 58
Biomass Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Total biomassa dan stok karbon yang tersimpan dalam ekosistem hutan
sangat bervariasi di antara tipe dan kondisi hutan. Hasil kajian yang
dilakukan oleh Krisnawati dkk (2012) menyebutkan pool karbon pada
biomassa di atas permukaan tanah merepresentasikan proporsi terbesar dari
total stok karbon, yaitu antara 53,6 % sampai dengan 70,6 %. Sedangkan
pohon (DBH ≥ 10 cm) merupakan komponen yang memberikan kontribusi
stok karbon terbesar
pada ekosistem hutan, yaitu dari 44 % sampai 65 %. Bervariasinya
proporsi ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi jenis
yang berkorelasi erat dengan kerapatan kayu, khususnya kerapatan kayu
pohon-pohon besar dengan volume kayu yang besar.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis pohon dengan INP tertinggi
sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum. Sedangkan jenis pohon
dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan
biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01
menunjukkan bahwa INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan
nilai korelasi sebesar 0,752. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
signifikan antara INP dengan biomasa yang bernilai positif, yang berarti
peningkatan INP sebanding dengan biomasa. Terdapat satu peubah yaitu
diameter pohon yang sama-sama digunakan untuk menghitung biomasa dan
124| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
dominansi dalam INP. Sehingga besar biomasa secara tidak langsung
berkorelasi dengan dominansi jenis pohon tersebut.
B. Saran
Kajian ini hanya dilakukan pada tingkat pohon yang berada pada
tegakan hutan alam di SPTN III Maelang TN Bogani Nani Wartabone. Hasil
analisis korelasi mungkin akan berbeda bila dilakukan kajian pada lokasi dan
jenis tegakan yang lain serta penggunaan persamaan alometrik yang
berbeda. Sedangkan untuk mengetahui struktur dan komposisi tumbuhan
perlu dilakukan analisis vegetasi pada tiap fase pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting)
Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2006. Revisi Zonasi Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a Primer. FAO Forestry Paper – 134. FAO, Rome.
Hairiah K., S. Rahayu. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77 p.
Irawan, A. 2011. Keterkaitan struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa di kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara. Info Balai Penelitian Kehutanan Manado 1(1). Manado
Krisnawati, H., W.C. Adinugroho, R. Imanuddin, dan S. Hutabarat. 2014. Pendugaan Biomassa Hutan untuk Perhitungan Emisi CO2 di Kalimantan Tengah: Pendekatan komprehensif dalam penentuan faktor emisi karbon hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan.
Kehutanan, Bogor, Indonesia. Ruslandi. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat Provinsi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP. Jakarta.
Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan biomasa: sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.
Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
125
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh
(Palaquium obtusifolium Burck) Umur 6 Bulan
di Bitung, Sulawesi Utara1
Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho2
ABSTRAK
Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman asli
Indonesia bernilai ekonomi dan memiliki berbagi kegunaan. Jenis ini sudah
banyak dikembangkan oleh masyarakat, namun sampai saat ini penggunaan
benih berkualitas masih sangat minim sehingga tegakan yang dihasilkan
memiliki produktivitas dan kualitas yang rendah. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan
tinggi dan diameter dari tanaman uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian
Batuangus. Objek penelitian ini adalah tanaman uji keturunan nyatoh umur
6 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap Berblok yang terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak
tanam yang digunakan 4 x 5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara
genetik faktor famili berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman nyatoh umur 6 bulan, taksiran nilai heritabilitas famili
(h²f) pertumbuhan tinggi adalah 0,54 dan diameter 0,47. Taksiran nilai
heritabilitas individu (h²i) pertumbuhan tinggi 0,28 dan diameter 0,21.
Korelasi genetik (rG) antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter adalah
0,74 dan korelasi fenotipe (rP) adalah 0,72.
Kata kunci : nyatoh, uji keturunan, heritabilitas dan korelasi genetik.
I. PENDAHULUAN
Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman
asli Indonesia yang tumbuh pada tanah berawa dan pada tanah kering
dengan ketinggian 20 - 500 m dpl. Jenis ini termasuk dalam famili
Sapotaceae dan memiliki daerah sebaran di seluruh Indonesia. Kayu nyatoh
dikenal dengan berbagai nama yang berbeda-beda di berbagai daerah di
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado,
95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683; Email : [email protected]
126| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Indonesia seperti: balam, bengku, sau payo (Sumatera); Getah perca,
jengkot, kawang dan tanjungan (Jawa); katiau, margetahan (Kalimantan);
nantu, kume, nato, sodu-sodu (Sulawesi); Siki, gofiri, arupa (Maluku) dan
maneo keaaf (Nusa tenggara) Martawijaya dkk. (2005).
Nyatoh termasuk dalam klasifikasi klas kuat II dan klas awet IV sampai
V, (Martawijaya dkk., 2005). Kayu nyatoh banyak digunakan untuk berbagai
kebutuhan seperti: bahan baku konstruksi, papan, lantai dan panel. Menurut
Mandang dan Suhendra (2003), kayu nyatoh dapat dijadikan alternatif
bahan pembuatan pensil yang cukup potensial. Secara umum kayu nyatoh
juga digunakan sebagai bahan veneer, meubelair, kertas bungkus (kraft
paper) dan bahan konstruksi rumah (Samingan, 1982). Kayu nyatoh di
Sulawesi Utara banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah
adat minahasa yang dikenal dengan sebutan rumah Woloan.
Pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembuatan rumah Woloan sampai
saat ini tidak hanya berasal dari hutan-hutan alam yang tersebar di Sulawesi
Utara, tapi juga berasal dari hutan-hutan rakyat yang dikembangkan oleh
masyarakat. Tegakan nyatoh banyak ditemukan hampir pada setiap hutan
rakyat, kebun campuran dan hutan keluarga (hutan pasini) di kabupaten
Minahasa Utara (Kema), Kabupaten Minahasa (Kaima, Kapataran, Tondano),
Kabupaten Minahasa Selatan (Tareran, Kapoya), Kabupaten Bolaang
Mongondow (Bantik, Otam), dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan
(Molibagu). Namun demikian, sampai saat ini produktivitas kayu nyatoh
yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman masih belum dapat
mencukupi kebutuhan kayu untuk rumah Woloan secara khusus dan
permintaan masyarakat di pasaran pada umumnya. Hal ini disebabkan
karena permintaan kayu di pasaran dan permintaan kayu bagi industri
rumah Woloan yang terus mengalami peningkatan, sementara potensi kayu
nyatoh di hutan alam terus mengalami penurunan dan benih yang
digunakan selama ini untuk mendukung tindakan budidaya lewat
pembangunan hutan tanaman masih bersumber dari tegakan benih
teridentifikasi, bahkan sebagian besar masih berasal dari hutan rakyat atau
hutan alam yang kurang berkualitas sehingga produktivitas tegakan yang
dihasilkan juga rendah.
Demplot kebun benih nyatoh yang telah dibangun merupakan salah
satu upaya yang dilakukan dalam rangka menyediakan benih unggul untuk
meningkatkan produktivitas hutan tanaman nyatoh yang akan dibangun.
Penggunaan benih unggul terutama benih hasil pemuliaan diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas tanaman nyatoh. Menurut Zobel dan Talbert
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
127
(1984) menyebutkan bahwa kegiatan pemuliaan bertujuan untuk
memaksimalkan perolehan genetik untuk sifat-sifat tertentu seperti
persentase hidup tanaman, kecepatan pertumbuhan, bentuk batang,
kemampuan adaptabilitas dan sifat-sifat lain yang diinginkan. Salah satu
kegiatan pemuliaan yang dapat dilakukan adalah melalui uji keturunan yang
selanjutnya diharapkan dapat dikonversi menjadi Kebun Benih Semai (KBS).
Dalam upaya tersebut, Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun
2012 telah membangun uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian Batuangus,
Bitung, Sulawesi Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan tinggi dan diameter dari
tanaman uji keturunan nyatoh yang telah dibangun.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan sejak Desember 2012 sampai
Juni 2013 di Hutan Penelitian Batuangus, Kelurahan Kasawari, Kecamatan
Aertembaga, Kota Bitung Sulawesi Utara seluas 2,5 ha.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kaliper, meteran,
mistar, altimeter, GPS, Thermohigrometer, peta tanaman, tally sheet dan
alat tulis-menulis. Bahan penelitian yaitu tanaman uji keturunan nyatoh half-
shib umur 6 bulan.
C. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Blok Design) yang
terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak tanam yang digunakan 4
x 5 m. Informasi mengenai asal usul famili-famili yang diuji ditampilkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Informasi asal famili-famili uji keturunan nyatoh
No Asal Famili Jumlah Famili
Lintang (LS) Bujur (BT)
Ketinggian Tempat (mdpl)
1. Bantik 6 000 54‟ 1240 06‟ 11
2. Kapataran 11 010 09-010 10‟ 1250 01‟ 17-48
3. Kaima 17 010 22-010 23‟ 1250 01‟ 115-243
4. Kapoya 3 010 15‟ 1240 39‟ 308-313
5. Molibagu 2 000 23‟ 1230 59‟ 40-43
6. Tadoy 6 000 54‟ 1240 06‟ 11
128| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
D. Analisis Data
Data hasil pengukuran selanjutnya ditabulasi dan dianalisis
menggunakan program SAS ver 19. Jika terdapat perbedaan yang nyata
akan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Model matematis yang digunakan untuk uji keturunan half-sib dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + Ri + Fj + BFij + εijk
Keterangan :
Yijk : Pengamatan pada individu pohon ke-k, dari famili ke-j
dalam blok ke-i
µ : Rerata umum
Ri : Pengukuran Blok ke-i
Fj : Pengukuran Famili ke-j
BFij : Pengaruh Interaksi blok ke-j pada famili ke-i
Fi : efek famili ke-i
εijk : eror random
Besarnya faktor genetik terhadap variabel total dianalisis dengan
menghitung nilai heritabilitas individu dan famili dengan menggunakan
persamaan Zobel and Talbert (1984) sebagai berikut :
Heritabilitas Individu
Heritabilitas family
⁄
⁄
Keterangan :
= Heritabilitas individu
= Heritabiltas famili
= Komponen varians famili
= Komponen varians interaksi famili dan blok
= Komponen varians error
Sedangkan untuk mengetahui korelasi antar genotipe menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
129
√
Keterangan :
= Korelasi genetik
=Komponen kovarian antar dua sifat
= Komponen varian aditif untuk sifat x
= Komponen varian aditif untuk sifat y
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Variasi Genetik Pertumbuhan Tinggi dan Diameter.
Salah satu faktor yang sangat penting dalam program pemuliaan pohon
yaitu adanya variabilitas di antara famili yang diuji. Informasi mengenai
variabilitas yang terjadi pada berbagai sifat yang ditampilkan oleh pohon
dapat diketahui dengan melakukan analisis varians terhadap sifat-sifat yang
diukur. Sifat-sifat yang diukur dalam penelitian ini adalah sifat pertumbuhan
(tinggi dan diameter). Menurut Nai‟em (2004), faktor yang menyebabkan
terjadinya variasi antara pohon adalah perbedaan genetik antar pohon,
perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan interaksi antara keduanya.
Analisis varians yang dilakukan terhadap sifat-sifat yang diukur
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil analisis varians sifat tinggi dan diameter tanaman nyatoh uji keturunan Half-sib di Hutan Penelitian Batuangus.
Parameter yang diukur
Sumber Variasi
Derajat bebas
Kuadrat Rerata
A. Diameter Blok 4 0,034 **
Fam 44 0,570 **
Blok*Fam 174 0,006 ns
Error 568 0,006
B. Tinggi Blok 4 0,072 ns
Fam 44 0,224**
Blok*Fam 174 6,751 ns
Error 568 0,030
Keterangan :
ns = tidak signifikan
** = signifikan pada taraf uji 0,05
130| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Berdasarkan hasil analisis varians pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
pada umur 6 bulan, faktor famili berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan tinggi dan diameter, sedangkan faktor blok signifikan terhadap
sifat diameter dan tidak signifikan terhadap sifat tinggi. Interaksi antara sifat
tinggi dan diameter tidak signifikan terhadap sifat tinggi maupun diameter.
Hasil analisis varians yang signifikan dari faktor famili terhadap sifat
pertumbuhan tinggi dan diameter menunjukkan bahwa tanaman nyatoh
umur 6 bulan yang diuji telah menunjukkan variabilitas secara genetik
terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang diuji. Menurut
Wright (1976), selain pengaruh faktor genetik, faktor yang mempengaruhi
keragaman geografis adalah besarnya pebedaan lingkungan. Keadaan
ekologis lingkungan yang berperan penting antara lain: iklim, tanah, cahaya
matahari dan ketinggian tempat.
B. Heritabilitas
Heritabilitas diartikan sebagai perbandingan antara besarnya varians
genetik dengan varians total di dalam suatu populasi, dimana varians total
adalah penjumlahan antara varians genetik dengan varians lingkungan,
(Wright 1976; Zobel dan Talbert, 1984; Fins et al. 1991). Menurut
Hardiyanto (2010), heritabilitas merupakan proporsi variasi dalam populasi
yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara individu atau parameter
yang mengkuantifikasikan seberapa besar suatu sifat dikendalikan oleh
faktor genetik. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter ditampilkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Taksiran nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman uji keturunan Half-sib nyatoh umur 6 bulan di Hutan Penelitian Batuangus.
Sifat Heritabilitas
h²i h²f
Tinggi 0,28 0,54
Diameter 0,21 0,47
Hasil yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa taksiran nilai
heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan
dengan taksiran nilai heritabilitas individu. Hal ini sesuai dengan Zobel dan
Talbert (1984), yang menyebutkan bahwa nilai heritabilitas famili biasanya
lebih besar dari nilai heritabilitas individu, karena pendugaan nilai
heritabilitas famili didasarkan pada nilai rata-rata famili dari sejumlah
Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho
131
individu, sehingga pengaruh lingkungan dapat diperkecil, terutama bila
jumlah tree-plotnya besar. Sedangkan antara sifat tinggi dan diameter
menunjukkan bahwa sifat tinggi memiliki taksiran nilai heritabilitas yang
lebih tinggi, baik pada taksiran nilai heritabilitas famili maupun taksiran nilai
heritabilitas individu. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor genetik yang
mempengaruhi pertumbuhan sifat tinggi lebih besar diwariskan induk
dibandingkan dengan sifat diameter. Menurut Hardiyanto (2010), Taksiran
heritabilitas hanya berlaku bagi suatu populasi tertentu dan terdapat pada
suatu lingkungan tertentu dan pada saat waktu tertentu.
Hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
heritabilitas individu sifat tinggi 0,28 dan diameter 0,21 sedangkan
heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter 0,54 dan 0,47. Hal ini
menunjukkan bahwa baik heritabilitas individu maupun heritabilitas famili
untuk sifat tinggi dan diameter termasuk dalam kategori moderat atau
sedang, hal ini didasarkan pada Cotteril dan Dean (1990), yang
menyatakan bahwa nilai heritabilitas individu (h²i) ≤ 0,1 (rendah); 0,1 – 0,3
(moderat/sedang); > 0,3 (tinggi), sedangkan untuk nilai heritabilitas famili
(h²f) ≤ 0,4 (rendah), 0,4-0,6 (moderat/sedang); lebih dari 0,6 (tinggi).
C. Korelasi Genetik
Korelasi genetik menggambarkan hubungan secara genetik antara sifat
atau karakter dari suatu jenis tanaman. Nilai korelasi yang positif (+)
menggambarkan hubungan yang searah antara kedua sifat yang diamati
dan sebaliknya. Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan
diameter pada uji keturunan nyatoh umur 6 bulan adalah 0,74 dengan nilai
positif (+) dan masuk dalam kategori tinggi, dengan demikian hal ini
mengindikasikan bahwa gen yang berperan dalam meningkatkan
pertumbuhan tinggi tanaman juga berperan dalam pertumbuhan diameter
tanaman. Dalam program pemuliaan apabila korelasi yang dihasilkan searah
dan bernilai positif (+) akan sangat bermanfaat dalam melakukan seleksi.
Hal ini disebabkan karena berdasarkan nilai korelasi yang demikian
menyeleksi suatu sifat, akan langsung menyeleksi sifat yang lainnya. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa, seleksi berdasarkan sifat diameter akan
ikut menyeleksi sifat tinggi seperti dikemukakan oleh Hardiyanto (2010).
IV. KESIMPULAN
1. Faktor famili berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman uji keturunan nyatoh umur 6 bulan.
132| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Nilai heritabilitas famili dari parameter pertumbuhan yang ditaksir lebih
tinggi dibandingkan dengan nilai heritabilitas individu.
3. Korelasi genetik antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter yang
dihasilkan lebih tinggi dari korelasi fenotip dengan nilai korelasi genetik
(rG) adalah 0,74 dan korelasi fenotipe 0,72.
DAFTAR PUSTAKA
Falconer, D.S. 1960. Introduction to Quantitative Statistics. The Ronald Press Co. New York.
Lamadji. 1982. Pendugaan Heritabilitas F3 dan F4 dalarn Penambahan Kuantitas dan Kualitas Hasil Kedelai (Glycine ma L. Men). Laporan Penelitian Tahun ke-11. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jember.
Mandang, Y.I., Suhendra, H. 2003. Sifat-Sifat Kayu Nyatoh (Palaquium Obtusifolium Burck.) Sehubungan dengan Kemungkinan Penggunaannya sebagai Bahan Bilah Pensil. Buletin Hasil Hutan 21(1): 1-14.
Martawaijaya, A., Kartasujana I., Kadir, K., dan Prawira S.A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Samingan, T. 1982. Dendrologi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Setiadi, D. 2010. Taksiran Parameter Genetik untuk Pertumbuhan dan Kelurusan Batang Uji Keturunan Araucaria cunninghamii Umur 5 Tahun di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(3). BBPBPTH, Yogyakarta.
Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Wright, J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. London: Academic Press.
Zobel, B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvment. New York: John Wiley dan Sons.
133
PRESENTASI NARASUMBER TAMU
134 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
135
Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung
dan Keanekaragaman Hayati
Ria Saryanthi Head of Communication and Knowledge Center
Burung Indonesia
136 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
137
138 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
139
140 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
141
142 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
143
144 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
145
Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel
Syaiful Habib PT. Antam (Persero) Tbk
146 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
147
148 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
149
150 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
151
152 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
153
154 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
155
156 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
157
158 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
159
160 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
161
162 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
163
164 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
165
DISKUSI
SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN
MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA
Beberapa hal yang dapat dikutip dari Sambutan Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, meliputi:
1. Membangun hutan dapat diilustrasikan dengan membangun sebuah
rumah. Membangun rumah itu sangat sulit. Lebih sulit adalah
merehabilitasi rumah itu. Dan lebih sulit lagi kita memelihara dan
menjaga rumah itu agar nyaman dihuni.
2. Ke depan bidang kehutanan memiliki modal dan kekuatan yang baik
karena negara ini dipimpin oleh presiden dengan latar belakang
pendidikan kehutanan. Dan juga didukung oleh Ketua MPR yang
merupakan mantan menteri kehutanan. Sehingga ke depan
permasalahan kehutanan akan menjadi isu yang penting.
Mudah-mudahaan seminar hari ini bisa memberikan sumbangsih
pemikiran dalam memecahkan permasalahan rehabilitasi dan restorasi
kawasan hutan di Sulawesi Utara.
3. Menyongsong 50 tahun kehutanan Dinas kehutanan bersama-sama
dengan rekan-rekan rimbawan se-sulawesi Utara menyusun sebuah buku
Kiprah kehutanan 50 tahun Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi
inspirasi bagi teman-teman yang bekerja di bidang kehutanan.
Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang
Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Persoalan rehabilitasi dan restorasi itu hal yang sangat penting bukan
hanya bagi kita tapi juga bagi dunia. Salah satu masalah utama dalam
kaitannya dengan rehailitasi dan restorasi ini adalah permasalahan data
yang seringkali berbeda-beda. Dari tahun ke tahun luas lahan kritis terus
bertambah, sehingga seolah-olah intervensi pemerintah dalam kaitannya
rehabilitasi lahan tidak terasa. Padahal seharusnya dengan adanya intervensi
pemerintah dalam kaitannya rehabilitasi akan mengurangi luasan lahan
kritis. Luas lahan kritis di Sulut sebesar 251.724 ha. Sebagian besar lahan
kritis berada di kawasan hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi
Terbatas. Padahal di kawasan tersebut seharusnya mendapat perlindungan
yang tegas dari permasalahan tersebut.
166 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Selama 5 tahun terakhir ini dana 30 Trilyun tidak ada dampak bagi
kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan apakah proyek-
proyek pembangunan itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
Selain itu untuk pembangunan sektor kehutanan ke depan diupayakan
selaras dengan program dan visi misi presiden terpilih. Bagi program-
program yang belum sesuai dengan visi misi presiden agar disesuaikan.
Badan Litbang memiliki peran yang penting bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kegiatan penelitian juga perlu
melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dengan masyarakat. Fokus
Badan Litbang meliputi upaya-upaya penelitian kehutanan mendorong
energi baru, kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, perubahan
iklim, sosial ekonomi dan kebijakan.
Berikut adalah beberapa contoh sumbangsih Badan Litbang Kehutanan
yang dapat diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat:
Pada sektor energi terbarukan Badan Litbang telah menghasilkan
teknologi mikro hidro, biodisel, baterai litium nano teknologi.
Terkait krisis energi. Litbang kehutanan harus bisa memberikan
sumbangsih dalam pemecahan permasalahan krisis energi tersebut.
Banyak pembangkit listrik di Indonesia kurang lebih 240 tempat
menggunakan biodisel. Dengan adanya teknologi blower dari PLN,
maka bidang kehutanan diharapkan mampu menyuplai bahan bakar
untuk teknologi tersebut. Gambarannya adalah 2 mega watt=300 ha
tanah. Dengan banyaknya luasan lahan kritis di Sulut, jika dijadikan
lahan produktif maka akan mampu untuk memenuhi kebutuhan
energi.
Orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difungsikan KPH
sebagai satuan unit terkecil pengelola hutan. KPH yang sudah
terbentuk agar didorong bersama agar mampu untuk menghasilkan.
Upaya penangkaran satwa penting untuk konservasi flora fauna.
Selain itu dapat digunakan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Misalnya penangkaran rusa.
Pemerintah daerah dan swasta harus memikirkan konsep industri
kehutanan
Presentasi Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc (Keynote speaker)
Berbagai kegiatan pembangunan yang memicu terjadinya operasi
pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran
hutan, invasi dan dll ternyata berjalan paralel dengan terjadinya degradasi
atau kemerosotan fungsi hutan. Explorasi sumber-sumber alam
167
“menemukan” fakta bahwa hutan mengandung potensi industri lain seperti
nikel, emas, tembaga, batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu
saja bersentuhan dengan kepentingan publik
Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Setidaknya
empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum upaya restorasi
dilakukan:
1. Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa;
2. Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau
konservasi);
3. Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.);
4. Tata ruang dan perencanaan wilayah.
Dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal, beberapa hal berikut penting
dipertimbangkan:
1. Relatif cepat tumbuh.
2. Dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara.
3. Laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi.
4. Dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati).
5. Mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan.
6. Low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan.
7. Pertumbuhan mudah dikelola.
8. Sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi).
Diskusi Sesi I
Pertanyaan
1. Nur semedi
Pada era rehabilitasi dan konservasi, pengalaman kasus di Kalimantan
Timur. Hutan yg tersisa tekanannya sudah sangat berat. Overlap antara
sawit dan pertambangan jika ditambahkan bisa melebihi luasan daratannya.
Di samboja, banyak pertambangan baik besar maupun kecil, yang
bermasalah adalah pertambangan skala kecil. Hampir tidak ada reklamasi.
Oleh karena itu reklamasi bekas tambang yang dilakukan adalah yang
murah meriah. Kalau dibiarkan akan ada suksesi sendiri. Yang kita lakukan
untuk mempercepat reklamasi tidak hanya untuk menghijaukan tetapi juga
untuk memulihkan fungsi hutannya, biodiversitasnya dll. Yang perlu
diperhatikan bagi peneliti rehabilitasi bekas tambang adalah tidak hanya dari
aspek teknisnya tetapi juga dari aspek ekonomisnya.
168 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Sudiyono
Bapak Syaiful Habib: terkait dengan reklamasi atau rehabilitasi lahan
bekas tambang ada yang perlu diperhatikan yaitu pra operasional.
Bagaimana penanganan terhadap vegetasi sebelum operasi. Karena itu
menjadi referensi sebelum dilakukan restorasi. Selain itu juga bagaimana
Penanganan terhadap satwa.
Bu retno: kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan fungi perlu ditingkatkan
dengan sponsor. sehingga mikoriza atau fungi bisa dikemas lebih baik. Agar
masyarakat awam lebih mudah mengenali dan dapat mudah untuk
digunakan bagi masyarakat luas.
3. Iwanuddin
Apakah jamur itu permanen atau tidak.
Apakah penggunaan hidrojel dalam rehabilitasi lahan bekas tambang
memiliki efek negatif atau tidak?
Terkait dengan penggunaan kokomes dalam kegiatan rehabilitasi lahan
bekas tambang. Bagaimana pengelolaannya.
Jawaban:
1. Habib
Keberhasilan reklamasi tidak hanya diukur dari keberhasilan menanam
vegetasinya seperti trembesi, sengon dll tetapi juga pulihnya fungsi hutan.
PT. ANTAM juga telah mengajak tim independen untuk menilai keberhasilan
reklamasi. Di antam juga sudah mulai menggunakan mikoriza, Pengelolaan
top soil dan sub soil. Pengelolaan satwa yang telah dilakukan adalah
konservasi rusa timur bekerjasama dengan UNHAS.
Kokomes masih mendatangkan dari luar terutama dari jawa tengah dan
jogja. Rencana ke depan akan dilakukan swakelola dgn masyarakat.
2. Bu Retno
Permasalahan bekas tambang khususnya tambang kecil atau liar, apalagi
peti, lahan yang ditinggalkan rusak dan beracun.
Fungi mikoriza bisa diterapkan pada tambang-tambang kecil. Agen hayati
sifatnya aktif. Sekali simbiosis dengan tanaman selamanya akan ada terus.
Biaya yang dikeluarkan pun cukup murah. Satu bibit hanya butuh 5 gram. 1
kg untuk 200 bibit. 1 ha butuh 5 kg. BPK Makassar sudah memproduksi
dijual 25 ribu per kilogram. Isomik MK1.
Hidrojel bentuknya tepung. Tidak mengandung bahan kimia. Bisa menyerap
air sampai 3 kali lipat. Efeknya tidak mengandung bahan kimia. Hanya
169
sebagai penyerap air. Mampu mempertahankan kelembaban. Di lahan bekas
tambang sangat ekstrim, kita membantu untuk diawal pertumbuhan.
Hidrojel 2-3 tahun terdekomposisi.
Diskusi Sesi II
Pertanyaan
1. Forum DAS ternate
Apakah suku togutil itu hidupnya nomaden. Suku togutil memanfaatkan
talas secara langsung tidak mungkin sempat untuk mengolah. Kedepan
ketika melakukan penelitian di sana agar melepaskan identitas diri. Dan
melihat dari sudut pandang suku asli.
Perangkat pendukung forum DAS Tondano. Forum DAS diperkuat
pondasinya AD/ART nya. Agar bisa mengajukan APBD.
Forum DAS bukan hanya simbol tapi lebih berperan
2. Pak Nur Semedi
Pada kawasan bekas tambang, adanya spot-spot yang tersisa dapat
mempercepat proses pemulihan kawasan. Maka perlu kiranya revisi
tentang permenhut pinjam pakai, agar jangan dihabiskan semua (terbuka
semua).
Agroforestry antara sengon dan cengkih perlu dikembangkan
Penataan kelembagaan forum DAS
3. Bapak Modi
Kelembagaan Pengelolaan DAS tondano bukan hal abstrak, sudah nyata.
Karena sudah ada SK Gubernur dan aturan lainnya.
Mengubah perilaku atau mengikuti perilaku masyarakat?
Jawaban
1. Ria
Perlunya baseline dalam diskusi terbaru di Gorontalo
Burung memang indikator lingkungan yang baik. Karena burung memiliki
korelasi yang erat dengan jenis-jenis yang lain. Misal untuk melihat kualitas
air bisa kita lihat jenis-jenis burungnya. Burung hidup di berbagai habitat.
Ada beberapa lokasi yang disebut key biodiversity area. Ada beberapa lokasi
yang penting untuk keanekaragaman hayati, dan salah satunya Sulawesi
Utara baik darat dan laut.
170 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
2. Pak Hengki
Studi pada unit kebun menggambarkan perilakunya.
Potensi masyarakat sebagai dasar dan indikator untuk
pengembangannya.
Kearifan lokal berkembang seiring waktu.
Das Tondano di daerah tangkapan air telah ada sejak lama, tetapi respon
masyarakat berbeda.
Idealnya menuju agroforestry tetapi belum maksimal,
Di daerah timur Sulut (sub etnis tulour) petani dan aktivitas danau
pengolah hasil kayu.
Dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi harus memperhatikan prilaku
dasar. Jadi program-program pemberdayaan yang mengena dengan
perilaku masyarakat.
3. Lis Nurrani
Tidak semua suku Togutil hidup nomaden, ada beberapa yang sudah hidup
menetap. Contoh di tajawi dll.
4. Kritian Mairi
Forum DAS seharusnya membawa keterpaduan.
Forum DAS yang bertransformasi menjadi LKPDAS hanya menjadi macan
ompong. Ditakuti karena substansinya ada akademisi, kepala UPT dll.
Forum DAS hanya konsultan saja. Think thank saja. Bukanlah sebuah
lembaga yang membawa keterpaduan pengelolaan.
171
TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR
WAKTU ACARA
08.00-08.30 Registrasi
08.30-08.35 Pembacaan Doa
08.35-08.45 Laporan Penyelenggaraan
08.45-09.05 Sambutan dan Ucapan Selamat Datang Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
09.05-09.35 Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan
09.35-09.45 Keynote Speech Dr. Ir. Martina A. Langi, M.Sc, Ph.D Universitas Sam Ratulangi
09.45-10.00 Coffee Break
10.00-10.15 Pemakalah dari TBI Indonesia
Moderator : Dr. Ir. Mahfudz, MP
10.15-10.30 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
10.30-10.45 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar
10.45-11.00 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
11.00-12.00 Diskusi
12.00-13.00 ISHOMA
13.00-13.15 Pemakalah dari Burung Indonesia
Moderator : Dr. Ir. JS. Tasirin, M.Sc
13.15-13.30 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
13.30-13.45 Pemakalah dari Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
13.45-14.00 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado
14.00-14.15 Pemakalah dari PT. Antam
14.15-15.30 Diskusi
15.30-15.45 Coffee Break Panitia
15.45-16.00 Pembacaan Rumusan dan Penutupan Tim Perumus
172 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
173
DAFTAR PESERTA SEMINAR
No Nama Instansi
1 Prof. San Afri Awang Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
2 Syaiful Habib PT. Aneka Tambang
3 Syarif Hidayat Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan
4 Mahfudz Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
5 Safrudin M. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan
6 Adang Sopandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
7 Iwanuddin Balai Penelitian Kehutanan Manado
8 C. Nugroho Sekretariat Badan Litbang Kehutanan
9 Edyson M. Selamatkan Yaki
10 Herry Rotinsulu Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
11 Muh. Abidin Balai Penelitian Kehutanan Manado
12 Suud B Bakorluh Prov. Gorontalo
13 Eva B. Sinaga Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
14 Esti R. Catiti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan
15 Tini Hartiningsih Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
16 Retno Prayudyaningsih Balai Penelitian Kehutanan Makassar
17 Supratman Tabba Balai Penelitian Kehutanan Manado
18 Lis Nurrani Balai Penelitian Kehutanan Manado
19 Kritian Mairi Balai Penelitian Kehutanan Manado
20 Arif Irawan Balai Penelitian Kehutanan Manado
21 Nur Sumedi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Solo
22 C.H.V. Lakumpoh Dinas Kehutanan Kab. Talaud
23 Ishak Ismail Balai Penelitian Kehutanan Manado
24 Yusuf T. Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Prov. Sulawesi Utara
174 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No Nama Instansi
25 Verico N. PT. Tirta Investama
26 Diah Irawati Balai Penelitian Kehutanan Manado
27 Selvie Lasut
28 Harju M. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado
29 Servie Katuuk Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
30 M.Y.M.A. Sumakud Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
31 M.J. Rumondor Universitas Sam Ratulangi
32 Syamsuddin Hadju Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
33 Nur Asmadi Balai Penelitian Kehutanan Manado
34 Ir. Sudiyono Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
35 Abdul Halim Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
36 Yermias Kafiar Balai Penelitian Kehutanan Manado
37 Rachman Balai Penelitian Kehutanan Makassar
38 Harwiyaddin Kama Balai Penelitian Kehutanan Manado
39 Jafaruddin Balai Penelitian Kehutanan Manado
40 Syamsir Shabri Balai Penelitian Kehutanan Manado
41 Jafred E. Halawane Balai Penelitian Kehutanan Manado
42 M. Saparis Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango
43 J.I. Kalangi Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
44 Sahyudin Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
45 Askhari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
46 Santiago P. Balai Taman Nasional Bunaken
47 Novita Tandi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
48 Adampe A. Soni Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulawesi Utara
49 Meiyer F.M.B. Dinas Kehutanan Kab. Minahasa Utara
50 Moody C.K. Balai Penelitian Kehutanan Manado
175
No Nama Instansi
51 Ani Mariani Balai Penelitian Kehutanan Manado
52 Desly R.M. Balai Penelitian Kehutanan Manado
53 Elsye Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado
54 Masrum Balai Penelitian Kehutanan Makassar
55 Rantje Lilly Worang Universitas Manado
56 Muji Rahayu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tomohon
57 I Made Same Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
58 Rumce Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
59 Johanes Wiharisno Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
60 Hemobicas R. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
61 Micron R. Binambuni Dinas Kehutanan Kab. Sitaro
62 Yopi Golioth Forum DAS
63 Moudy Gerungan TELAPAK
64 Obed Edom Balai Penelitian Kehutanan Manado
65 Ir. Reynold P. Kainde Fak. Pertanian Universitas Sam Ratulangi
66 Franky Tampi, SE Dinas Kehutanan Perkebunan Kab. Minahasa Tenggara
67 Boy A. Marpaung Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo
68 Martina Langi Program Sudi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
69 Ria Saryanthi Burung Indonesia
70 Yenny P. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado
71 Sammy Manado Post
72 Meike T. Kompas TV Manado
73 Nur Asmadi Balai Penelitian Kehutanan Manado
74 Willy Nur Effendi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
75 Melky R. Senewa Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
176 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No Nama Instansi
76 Domianus Manaya Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
77 Eko W. Handoyo Balai Taman Nasional Bunaken
78 Johan Rombang Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi
79 F.B. Saroinsong Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi
80 Manina Korompis Dinas Pertanian Manado
81 Rini L. Rauli Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
82 Manuel P.W. Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
83 Agnes Indawardhani Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
84 Nani Nurcahyawati Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
85 F. Reni N. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
86 Gatot S. Balai Taman Nasional Bunaken
87 Yanuar Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
88 W. Talemo Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa
89 Melkianus S. Dwi Balai Penelitian Kehutanan Manado
90 Hanif Nurul H. Balai Penelitian Kehutanan Manado
91 Ady Suryawan Balai Penelitian Kehutanan Manado
92 Dwi Yardhi F. Macaca Nigra Project
93 Stephan M. Lenteg Macaca Nigra Project
94 Jafaruddin Balai Penelitian Kehutanan Manado
95 Ari Subiantoro Balai Taman Nasional Bunaken
96 Christny F. E. Rompas FMIPA/UNIMA
97 Elvie Nelwan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kota Bitung
98 M. Arba'in Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo
99 FR. Oman R. Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
100 Didi Hotel Sintesa Peninsula
101 Hengki Walangitan Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi
102 Aswady Wumu Dinas Pertanian, Kehutanan, dan
Ketahanan Pangan Kota Bitung
177
No Nama Instansi
103 Aris Sutjipto Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
104 Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado
105 Y. B. Tri Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara
106 Erwin H. Putra Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
107 Wahyu. B Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
108 William Tengker Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
109 Petrus Pajan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
110 Rudy Bedjo Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara
111 Allcas Tanusu Balai Taman Nasional Bunaken
112 Puji Hari Purnomo Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
113 Pamekas Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano
114 Novlin Surentu Manado Post
115 Christiany T. Manado Post
116 Bil Languju Kompas TV
117 Nina Sudarwati Balai Penelitian Kehutanan Manado
118 Rini L. Ramli Bakorluh Manado
119 Imanuel Bakorluh Manado
120 Nova I. Bakorluh Manado
121 Fifi S Bakorluh Manado
122 Nur Fatmah Balai Penelitian Kehutanan Makassar
123 Handrik L. Balai Penelitian Kehutanan Makassar
124 Hendra S. M. Balai Penelitian Kehutanan Manado
125 Novita E. Losu Balai Penelitian Kehutanan Manado
126 Ferry F. Balai Penelitian Kehutanan Manado
127 Albert Lala Balai Penelitian Kehutanan Manado
128 Steven K. Balai Penelitian Kehutanan Manado
129 Felicia Mangiri Balai Penelitian Kehutanan Manado
130 Lulus Turbianti Balai Penelitian Kehutanan Manado
131 Henri S. Balai Penelitian Kehutanan Manado
178 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
No Nama Instansi
132 Ester Balai Penelitian Kehutanan Manado
133 Nurhayati S. Balai Penelitian Kehutanan Manado
134 Rifai Balai Penelitian Kehutanan Manado
135 Yusran Balai Penelitian Kehutanan Manado
136 Margaretta Christita Balai Penelitian Kehutanan Manado
137 Bambang Setiyono Balai Penelitian Kehutanan Manado
138 Rudy Suryadi Balai Penelitian Kehutanan Manado
139 Jony Mura Balai Penelitian Kehutanan Manado
140 Ventje Runtuwarow Bakorluh Prov. Sulawesi Utara
141 Sumarno Balai Penelitian Kehutanan Manado
142 Roviyana V. Bakorluh Gorontalo
143 Yohanis Balai Penelitian Kehutanan Manado
144 Tinus Sanda Liling Balai Penelitian Kehutanan Manado
145 Rinto H. Balai Penelitian Kehutanan Manado