Makalah Restorasi Hutan MANGROVE
Embed Size (px)
description
Transcript of Makalah Restorasi Hutan MANGROVE

Makalah Restorasi Hutan
“Hutan Mangrove Di Pantai Depok, Kabupaten
Pekalongan, Jawa Tengah”
OLEH :
EKO FITRIONOD1B510169
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015

Kata Pengantar
Sebelum mengawali aktivitas hendaknya kita mengucapkan Bismillah,
agar segala aktivitas yang kita lakukan berjalan dengan baik dan lancar.
Selanjutnya, mari kita panjatkan Puji syukur kepada Allah SWT, karena
atas rahmat dan karuniaNya kita dapat merasakan dan menikmati hidup yang
penuh berkah, terutama penulis dapat membuat dan menyusun makalah ini. Selain
itu, Shalawat serta salam kita panjatkan kepada Junjungan Besar kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga dan juga para sahabat yang senantiasa
menemani dan mendukung Beliau, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dalam makalah ini penulis ingin membahas tentang Hutan Mangrove,
dimana banyak pihak yang mengabaikan keberadaannya. Disamping itu, penulis
menyadari bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan
salah, oleh karena itu, penulis memohon maaf dan maklum serta selalu
mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca yang budiman serta para pembimbing yang bijak.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
masayarakat umum dan khususnya bagi penulis, serta dapat menambah ilmu juga
memperluas wawasan kita.
2

Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang…………………………………………………………….4
1.2. Rumusan Masalah…………………………………………….
………………..6
1.3. Tujuan…………………………………………….…………………6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Isi…………………………………………………….………………7
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan……………………………………………………………24
3.2 Saran………………………………………………………………..24
3.3 Daftar Pustaka……………………………………………………...25
3

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akhir-akhir ini semakin banyak masalah yang timbul disebabkan oleh
antropogenik, khususnya tentang lingkungan. Antropogenik adalah istilah yang
umum dipakai untuk menyatakan segala sesuatu yang terjadi di alam karena
campur tangan manusia (efek, proses,obyek dan material), kejadian tersebut
sebagai lawan kata dari kejadian alami.
Sangat disayangkan banyak pihak-pihak yang belum menyadari arti dari
keberadaan dirinya di muka bumi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam Al
Qur’an “Sesungguhnya hendak aku jadikan khlaifah di muka bumi ( Al
Baqarah ayat 30)”, “Orang yang merusak lingkungan berati telah melanggar dan
memerangi perintah Allah SWT dan RasulNya dan telah berbuat kerusakan
di muka bumi yang berdampak pada kerusakan fasilitas umum (lingkungan)
yang menjadikan kebutuhan dasar hidup semua makhluk di muka bumi”.
(Arie Budiman & Ahmad Jauhar Arief, 2007, p 244).
Oleh karena itu, penulis membuat makalah ini dengan harapan bahwa
masyarakat bisa menyadari betapa pentingnya menjaga kestabilan lingkungan
(ekosistem), sebab bila manusia terus melakukan tindakan atau perbuatan yang
berdampak langsung pada keseimbangan ekosistem, maka keseimbangan
ekosistem ini akan hancur, dan secara tidak langsung juga berdampak pada
kehidupan manusia itu sendiri.
Pada kesempatan yang baik ini, penulis akan membahas tentang Hutan
Mangrove atau Hutan Bakau. Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang
cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan
sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta
4

hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha),
Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk,
1999).
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan
hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau,
dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan
untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di
rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari
bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk
kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas,
arang).
Mangrove mempunyai kecenderungan membentuk kerapatan dan
keragaman struktur tegakan yang berperan penting sebagai perangkap endapan
dan perlindungan terhadap erosi pantai. Sedimen dan biomassa tumbuhan
mempunyai kaitan erat dalam memelihara efisiensi dan berperan sebagai
penyangga antara laut dan daratan, bertanggung jawab atas kapasitasnya sebagai
penyerap energi gelombang dan menghambat intrusi air laut ke daratan. Selain itu,
tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan habitat untuk perlindungan bagi hewan-
hewan muda dan permukaannya bermanfaat sebagai substrat perlekatan dan
pertumbuhan dari banyak organisme epifit (Nybakken.1986).
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran
dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran
ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan
lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta
mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
5

tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan
evolusi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Hutan Mangrove ?
2. Apa saja fungsi dari Hutan Mangrove ?
3. Permasalahn apa saja yang terjadi pada Hutan Mangrove?
4. Apa saja dampak yang di timbulkan dari permasalahan tersebut ?
1.3. Tujuan
Untuk menjelaskan definisi dari Hutan Mangrove, fungsi dari Hutan Mangrove
tersebut, keanekaragaman yang berada dalam ekosistem Hutan Mangrove,
permasalahan yang di alami, dan dampak yang di timbulkan.
6

BAB II
PEMBAHASAN
Hutan Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu
jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang
surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat
pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat
mangrove.
Sebagian ilmuwan mendefinisikan, hutan mangrove adalah kelompok jenis
tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang
memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Sebagian lainnya
mendefinisikan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang
hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi atau bersifat alkalin) yang
hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
sub-tropis.
Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran
(polutan). Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan
polutan, misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis
Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan
penelitian Saefullah tahun 1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina
terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm, Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur
tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan
berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian
hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan.
Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang
peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini
7

sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari
ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu
menopang keanekaragaman jenis yang tinggi.
Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai
kondisi tempat tumbuhnya, (1) seperti adanya kelenjar garam pada golongan
secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai
tanggapan terhadap lingkungan yang salin, (2) system perakaran yang khas, dan
lentisel debagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi
daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang
tinggi.
Hutan mangrove mempunyai tiga fungsi utama bagi kelestarian sumber
daya, yakni : (1) Fungsi fisik, hutan mangrove secara fisik menjaga dan
menstabilkan garis pantai serta tepian sungai, pelindung terhadap hempasan
gelombang dan arus, mempercepat pembentukan lahan baru serta melindungi
pantai dari erosi laut/abrasi (green belt). (2) Fungsi biologis adalah sebagai tempat
asuhan (nursery ground), tempat mencari makanan (feeding ground) ) untuk
berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang, tempat
berkembang biak (spawning ground), sebagai penghasil serasah/zat hara yang
cukup tinggi produktivitsnya, dan habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia,
mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan
sumber plasma nutfah. (3) Fungsi ekonomi yakni kawasan hutan mangrove
berpotensi sebagai tempat rekreasi (ecotourism), lahan pertambakan, dan
penghasil devisa dengan produk bahan baku industri. ( Saparinto, Cahyo. 2007)
Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap
zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah
organik, dan sebagainya. Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan
gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan
hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan
gelombang yang terus menerpanya.
8

Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan
mangrove dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti
tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk (2003).
Pratikto melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan - Banyuwangi
mampu mereduksi atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan
pantai tersebut. Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga
menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan,
dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan
tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut.
Selain itu, Hutan Mangrove juga merupakan potret ekosistem yang miliki
keanekaragaman hayati yang banyak di dalamnya. Keanekaragaman hayati
tersebut membentuk hubungan yang erat dan saling menjaga satu sama lain,
layaknya keluarga besar, serta menjadi contoh potret keluarga yang harmonis.
Mereka menghasilkan akar panggung mana proyek di atas lumpur dan air
untuk menyerap oksigen. Terendam di air asin dan sampai berlutut di lumpur,
tanaman di Rawa Mangrove memiliki cara cerdas untuk mengatasi lingkungan
mereka. Tanaman mangrove membentuk komunitas yang membantu untuk
menstabilkan bank dan garis pantai dan menjadi rumah bagi berbagai jenis hewan.
Disamping itu Hutan Mangrove juga memiliki manfaat yang lain, yaitu
menyediakan buffer untuk negeri itu, bakau juga berinteraksi dengan laut.
Sedimen terperangkap oleh akar mencegah pendangkalan habitat laut yang
berdekatan di mana air keruh mungkin membunuh karang atau padang rumput
melimpahi lamun. Selain itu, tanaman bakau dan sedimen telah terbukti untuk
menyerap polusi, termasuk logam berat. Mangrove juga sangat efektif dalam
menyimpan karbon.
Bila diamati dan dipahami dengan baik, Hutan Mangrove mempunyai
banyak manfaat yang mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Namun,
manusia selalu merasa belum puas dan ingin mendapatkan lebih banyak
9

keuntungan, sehingga menggunakan segala upaya untuk memperoleh keuntungan
yang besar walaupun harus merusak ekosistem Hutan Mangrove.
Kerusakan hutan mangrove di Indonesia mencapai 70% dari total potensi
mangrove yang ada seluas 9,36 juta hektare. Yaitu 48% atau seluas 4,51 juta
hektare rusak sedang dan 23% atau 2,15 juta hektare dalam kondisi rusak berat.
Seperti yang telah diutarakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel
Muhammad dalam keterangannya ketika membuka Jambore Mangrove di
Pantai Depok, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Jumat (19/3), ia
mengatakan bahwa kerusakan sebagian besar hutan mangrove di Indonesia
diakibatkan oleh ulah manusia, baik berupa konversi mangrove menjadi
pemanfaatan lain seperti pemukiman, industeri, rekreasi dan lain sebagainya
Seperti contoh kasus yang terjadi di daerah Sumatera Utara yaitu adanya
pengalihan fungsi lahan hutan mangrove menjadi tambak masyarakat dan
dikonversi lagi menjadi lahan kelapa sawit. Seperti yang sudah kita ketahui Hutan
mangrove atau bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau,
terletak pada garis pantai dan dipengaruhi pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh
khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan
organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di
sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang
dibawanya dari hulu.
Hal-hal utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain,
(1) Tekanan penduduk untuk kebutuhan ekonomi yang tinggi sehingga
permintaan konversi mangrove juga semakin tinggi. Penduduk disini lebih
mementingkan kebutuhannya sendiri-sendiri dibandingkan kepentingan ekologis
dan kepedulian akan dampak lingkungan hidup. Banyaknya pihak yang tidak
bertanggung jawab juga dengan meminta untuk mengkonversi lahan mangrove
tapi setelah dikonversi lahan tersebut mereka tidak menindak lanjutinya. Mereka
lebih paham bahwa manfaat dengan dikonversinya hutan mangrove menjadi
tambak dan lahan kelapa sawit akan lebih menguntungkan padahal kalau ditinjau
10

secara keuntungan jangka panjang hutan mangrove akan lebih bermanfaat.
(2) Perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat
sektoral. Dari sini kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan
mengakibatkan terjadinya perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak
pada masa yang akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang
konversi dan fungsi ekosistem mangrove. (3) Hutan rawa dalam lingkungan
yang asin dan anaerob di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang
marginal atau sama sekali tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun
karena kebutuhan lahan pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka
hutan mangrove dianggap sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah
memusnakan ekosistem mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek yang
negatif teradap perikanan di perairan pantai sekitarnya.
Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di
Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut.
Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit
malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya
pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan
meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal
pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan
oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa
mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih
tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak
yang masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana
kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun
ikan).
Dampak ekologis secara umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem
mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah
11

mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang selalu
meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin
jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai
makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian guguran daun
mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi (Romimohtarto dan
Juwana 1999).
Gambar Rantai Makanan Detritus
Gambar Rantai Makanan Detritus
12

Rantai makanan detritus dimulai dari proses penghancuran luruhan dan
ranting mangrove oleh bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus.
Hancuran bahan organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting
(nutrien) bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993).
Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove dapat
juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu ditambahkan oleh
Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa bakteri dan fungi tadi
dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata.
Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang
selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan
hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang
dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya
saja spesies monyet dan bangau mungkin tidak aka ada lagi karena spesies ikan
yang ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan
kimia dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus
biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan berubah dan berkurang.
Ternyata dengan adanya lahan perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan
menurunkan tingkat kualitas tanah sebagai salah satu indikator dan pemegang
peranan penting didalam ekosistem apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis
yang dimilikinya. Juga akan terjadi pendangkalan perairan pantai karena
pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap
dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove yang asalnya tempat
pemijahan ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi dan bahkan tidak
berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan. Sebagaimana kita ketahui bahwa lahan
tersebut secara struktur akan berubah dan mungkin tercemar oleh bahan-bahan
kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk lahan kelapa sawit. Sehingga
dengan melihat tingkat degradasi dan konversi pada areal hutan mangrove
tersebut maka harus direncanakan suatu penelitian untuk mengetahui dan
mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi mangrove yang telah
dilakukan. (Anonim, 2009)
13

Dari situ kita tahu bahwa dengan adanya lahan konversi baik itu menjadi
tambak atau pun lahan perkebunan kelapa sawit. Ternyata akan merusak ekositem
mangrove dan akan mengubah struktur kimia fisika dan fungsi ekologisnya yaitu
rantai makanan, rantai energy dan siklus biogeokimianya. Seharusnya kita
menyadari dan menyadarkan masyarakat akan fungsi dan peranan masing-masing
ekosistem karena untuk ke depannya alam ini akan merugikan kita apabila kita
merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan kelapa sawit akan
menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang ditimbulkan akan
merugikan. persepsi yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang
kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi
untuk keperluan lain harus diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut
tidak dikoreksi, maka masa depan hutan mangrove Indonesia dan juga hutan
mangrove dunia akan menjadi sangat suram.
Oleh karena itu, diperlukan solusi yang dapat menolong ekosistem Hutan
Mangrove tersebut dari segala ancaman. Berikut adalah beberapa solusinya:
Pertama, Keterlibatan/partisipasi Masyarakat. Peran serta atau keterlibatan
masyarakat dalam upaya pengembangan wilayah, khususnya rehabilitasi hutan
mangrove sangan penting dan perlu dilakukan. Pemerintah baik pusat maupun
daerah harus memberikan kesempatan pada masyarakat untuk ikut serta terlibat
dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Selanjutnya masyarakat perlu
diberikan bimbingan dan penyuluhan tentang arti pentingnya hutan mangrove
pada kehidupan ini terutama kehidupan di masa yang akan datang.
Masyarakat harus tahu bahwa keberhasilan merehabilitasi hutan mangrove
akan berdampak pada adanya peningkatan pembangunan ekonomi- khususnya
dalam bidang perikanan, pertambakan, industri, pemukiman, rekreasi dan lain-
lain. Kayu tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan dan
kayu bakar, bahan tekstil dan penghasil tanin, bahan dasar kertas, keperluan
rumah tangga, obat dan minuman, dan masih banyak lagi lainnya. Hutan
mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut
ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi misalnya untuk menahan ombak, menahan
14

intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur
dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah
baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di
bidang perikanan dan garam.
Kedua, Supremasi Hukum Lingkungan yaitu Undang-undang no 32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Setelah masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan, pengembangan hutan mangrove
dan diberi penyuluhan atau wawasan mengenai arti pentingan lingkungan hutan
mangrove, maka pemerintah harus menindaklanjuti dengan menegakkan hukum
sesuai dengan ketetapan undang-undang yang berlaku. Masyarakat baik
perorangan maupun berkelompok atau perseroan harus ditindak tegas bilamana
melakukan pelanggaran. Selama ini yang terjadi adalah di samping pemerintah
kurang dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat,
aspek penegakan hukum pun sangat lemah. Apalagi jika yang melanggar seorang
pejabat atau pengusaha kaya. Sering kali si pelanggar dapat dengan mudah
terbebas dari jeratan hukum.
Pada akhirnya banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan keberadaan
hutan mangrove, dengan ini masyarakat, khususnya masyarakat pesisir harus turut
diberdayakan dalam usaha pelestarian maupun rehabilitasi hutan mangrove. Baik
dengan memberikan peningkatan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
ekosistem hutan mangrove, maupun dengan turut memberdayakan masyarakat
dalam usaha rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Di samping itu, juga supremasi
hukum harus ditegakkan agar program-program pemerintah yang telah di
rencanakan dan dilaksanakan dapat berjalan lancar dan berhasil guna. Pemerintah
dan masyarakat harus bersinergi dalam mengelola dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup khususnya kelestarian hutan mangrove yang kita punya ini. Tak
ada lagi kesalahpahaman antara pemerintah dan masyarakat, semuanya harus
bersama-sama bertanggung jawab sebagai upaya melaksanakan undang-undang
no 32 tahun 2009. (*)
15

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ekosistem Hutan Mangrove sangat berperan penting terhadap kehidupan
makhluk hidup. Bila keseimbangan ekosistem Hutan Mangrove terganggu
ataupun dengan sengaja dirusak, maka secara langsung hal tersebut akan
berdampak pada kelangsungan hidup makhluk hidup, baik manusia, tumbuhan
maupun hewan, sebab beberapa makhluk hidup bergantung pada ekosistem Hutan
Mangrove.
Selain itu, bila Hutan Mangrove di alih fungsikan menjadi tambak, lalu
dialih fungsikan lagi menjadi perkebunan kelapa sawit, hal itu tidak dapat
memberikan investasi yang lama disebabkan salinitas diwilayah tersebut sangat
tinggi, dan juga jenis tanah yang digunakan sebagai perekebunan tersebut kurang
cocok untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa
sawit,serta hal itu hanya akan menurunkan kualitas tanah.
Dan juga, bila ekosistem Hutan Mangrove terusik, secara tidak langsung
akan berdampak pada ekosistem yang lain, karena ekosistem yang satu dengan
yang lain saling memiliki keterkaitan atau hubungan. Disamping itu, flora fauna
yang hidup dalam ekosistem tersebut dapat terganggu pertumbuhan dan
perkembangannya, dan yang paling parah flora fauna tersebut punah. Bila hal itu
terjadi, maka manusia pun akan merasakan dampaknya sendiri.
3.2 Saran
Ada beberpa saran atau solusi yang dapat membantu menjaga dan
memelihara ataupun membudidayakan Hutan Mangrove, yaitu : 1) Mengharidi
pertemuan kota dan menyambaikan suara keberatan atas pembangunan
mengganggu habitat satwa liar maupun suatu ekosistem, 2) Pelajari semua tetang
pentinganya Rawa Mangrove, dan membuat orang lain terkesan mengenai
pentingnya Rawa Mangrove terhadap keanekaragaman hayati di Bumi,
16

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Hutan Mangrove. Di akses pada tanggal 30 September 2011 di
http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=NjkxOQ
Anwar, Chairil dan Hendra Gunawan. 2011. Diakses pada tanggal 15 september
2011 di
www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf
FAO. Management and Utilization of mangroves in Asia Pasific. FAO Environmental Paper 3, FAO, Rome. 1983 Hutching, P and P.Saenger. Ecology of Mangroves. University of Queensland,London. 1987 Mann, K.H. Ecology of Coastal Waters. Second Edition. Blackwell Science. 2000 Saenger, P. E.J, Hegerl, and J.P.S. Davie. Global Status of Mangrove Ecosystems.
17