Rehab - Psikologi

10
Manfaat Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba terhadap Kondisi Psikis (Mantan) Pecandu Tri Wahyu 1 1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta ABSTRAK Latar belakang. Narkoba (NAPZA) telah lama menjadi permasalahan diberbagai kalangan di berbagai belahan dunia. Mulanya pemakai hanya iseng atau coba- coba, semakin lama semakin menjadi penyalahguna dan pecandu. Efek yang ditimbulkan oleh narkoba juga tidak ringan, serta mempengaruhi fisik dan perilaku maupun psikis pengguna. Program terapi dan rehabilitasi pun sangat diperukan untuk memulihkan kondisi pengguna seperti semula, dengan harapan adanya perbaikan yang mendasar dalam pola hidup, pemikiran, dan kondisi psikis (mantan) pengguna. Presentasi kasus. Penulis menyajikan kasus dari seorang pria berusia 25 tahun yang pernah menjadi seorang pecandu narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) semenjak dia duduk di bangku SMP (12 tahun) dan sekarang telah menjalani proses terapi dan rehabilitasi selama 8 bulan. Diskusi. Penyalahgunaan NAPZA dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan berbagai macam gangguan, baik fisik maupun psikis (perilaku). Dengan pemakaian yang kronis, pecandu akan berisiko besar terkena gangguan psikotik seperti skizofren dan sindrom amotivasional. Untuk itu, terapi dan rehabilitasi harus dijalani secara berkesinambungan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis serta perilaku (mantan) pecandu, sehingga dapat memiliki komitmen untuk hidup sehat dan hubungan psikososial yang baik. Kesimpulan. Dengan adanya rehabilitasi kejiwaan terhadap pecandu narkoba, diharapkan adanya perubahan perilaku dan psikis ke arah yang lebih matang sehingga membentuk pribadi yang lebih matang. 1

Transcript of Rehab - Psikologi

Page 1: Rehab - Psikologi

Manfaat Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba terhadap Kondisi Psikis (Mantan) Pecandu

Tri Wahyu1

1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas YARSI, Jakarta

ABSTRAK

Latar belakang. Narkoba (NAPZA) telah lama menjadi permasalahan diberbagai kalangan di berbagai belahan dunia. Mulanya pemakai hanya iseng atau coba-coba, semakin lama semakin menjadi penyalahguna dan pecandu. Efek yang ditimbulkan oleh narkoba juga tidak ringan, serta mempengaruhi fisik dan perilaku maupun psikis pengguna. Program terapi dan rehabilitasi pun sangat diperukan untuk memulihkan kondisi pengguna seperti semula, dengan harapan adanya perbaikan yang mendasar dalam pola hidup, pemikiran, dan kondisi psikis (mantan) pengguna.

Presentasi kasus. Penulis menyajikan kasus dari seorang pria berusia 25 tahun yang pernah menjadi seorang pecandu narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA) semenjak dia duduk di bangku SMP (12 tahun) dan sekarang telah menjalani proses terapi dan rehabilitasi selama 8 bulan.

Diskusi. Penyalahgunaan NAPZA dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan berbagai macam gangguan, baik fisik maupun psikis (perilaku). Dengan pemakaian yang kronis, pecandu akan berisiko besar terkena gangguan psikotik seperti skizofren dan sindrom amotivasional. Untuk itu, terapi dan rehabilitasi harus dijalani secara berkesinambungan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikologis serta perilaku (mantan) pecandu, sehingga dapat memiliki komitmen untuk hidup sehat dan hubungan psikososial yang baik.

Kesimpulan. Dengan adanya rehabilitasi kejiwaan terhadap pecandu narkoba, diharapkan adanya perubahan perilaku dan psikis ke arah yang lebih matang sehingga membentuk pribadi yang lebih matang.

1

Page 2: Rehab - Psikologi

LATAR BELAKANG

arkoba atau NAPZA (narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan atau psikis seseorang (pikiran, perasaan, dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.[1]N

Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN), bekerja sama dengan Puslitkes Universitas Indonesia tentang penyalahgunaan narkoba di Indonesia (2008), menunjukkan bahwa jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia diperkirakan sebanyak 3,1 juta sampai 3,6 juta orang (1,99%) dari tota seluruh penduduk Indonesia yang beresiko terkena Narkoba di tahun 2008 (usia 10-59 tahun) atau dengan nilai tengah sebanyak 3.362.527 orang. Dari sejumlah penyalahguna tersebut, terdistribusi atas 26% coba pakai, 27% teratur pakai, 40% pecandu bukan suntik, dan 7% pecandu suntik (IDU).[2]

Penggunaan dan pengedaran narkoba merupakan polemik yang tidak asing lagi di dunia kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, maupun di bidang lainnya dalam kehidupan dewasa ini. Pengedaraan maupun penggunaan obat-obat terlarang ini sudah merambah luas di berbagai kalangan masyarakat, dengan berbagai macam faktor yang mendasari. Kebanyakan penggunaan NAPZA berawal dari coba-coba (experimental use), kemudian berlanjut ke pemakaian rekreasional, pemakaian sosial (social use), pemakaian situasional (situasional use), penyalahgunaan (abuse), hingga pada akhirnya ketergantungan (addicted).[3,4] Ketika pengguna (pasien) sudah mulai ketergantungan, berbagai macam gejala yang merugikan akan timbul, termasuk ketika pengguna putus obat. Di sini lah peran keluarga, masyarakat, dokter dan tim medis lainnya, serta pemerintah dan negara berupaya keras untuk mengatasi polemik ini, terutama dalam hal memulihkan dan menjauhkan penderita dari ketergantungan: pencegahan (prevention), terapi pemulihan, dan rehabilitasi. Dengan diberikannya program terapi dan rehabilitasi kepada para pengguna, mereka dapat memperbaiki pola hidup, pola pikir, hubungan sosial, dan memberpaiki psikis/kejiwaan mereka ke arah yang lebih baik dan lebih sehat; walaupun sebagian dari mantan-pengguna masih memiliki gejala sisa post-rehabilitasi, seperti psikosis dan skizofrenia.[5]

Kematian juga merupakan salah satu risiko yang sangat berbahaya pada kasus penyalahgunaan narkoba. Umumnya kematian ini disebabkan oleh overdosis, komplikasi penyakit HIV/AIDS dan hepatitis C, kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan.

PRESENTASI KASUS

Seorang pria, 25 tahun, telah menjalani program terapi dan rehabilitasi drug abuse selama 8 bulan (April-November 2010). Riwayat penggunaan obat-obatan sebelumnya pada pasien dimulai ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP, usia 12 tahun), dengan alasan hanya sekedar coba-coba. Kondisi keluarga dan ekonomi pasien sebelumnya harmonis dan berkecukupan, hanya saja kondisi lingkungan tempat dia tinggal yang berperan cukup besar mempengaruhinya. Awalnya pasien hanya sekedar mencoba mengkonsumsi obat-obatan yang bisa dibilang ‘cukup ringan’, seperti ganja. Kemudian, pasien mulai kecanduan dan demi ‘kenikmatan’ yang lebih, pasien meningkatkan ‘level’ obat yang akan dikonsumsinya, yaitu putau. Putau memiliki efek yang cukup kuat dan harga pasaran yang cukup mahal. Pasien mengakui bahwa selama mengkonsumsi narkoba, dia lebih suka menyendiri, malas beraktivitas (lose of daily schedule), halusinasi, dan menjadi antisosial. Pasien mengaku cukup mengalami tekanan selama memakai obat-obatan ini, seperti tekanan dari keluarga yang menentang keras, tekanan ekonomi yang memaksanya terus mengeluarkan biaya untuk tetap memenuhi kebutuhannya akan obat-obatan, dan tekanan psikis.

2

Page 3: Rehab - Psikologi

Pada tahun 2005, pasien dimasukkan ke salah satu rumah sakit swasta untuk menjalani program terapi dan rehabilitasi keter-gantungan obat. Pasien hanya bertahan menjalani program selama 6-7 bulan, kemudian berhenti. Setelah keluar dari rumah sakit, pasien kembali mengkonsumsi narkoba karena faktor lingkungan yang tidak mendukung program rehabilitasi yang telah dijalaninya. Pasien juga mengakui bahwa dia pernah ditahan oleh pihak kepolisian selama 7 bulan karena terbukti menyimpan narkoba di kamarnya.

Selama menjalani masa hukuman di sel, pasien mengakui bahwa dia tidak pernah mengkonsumsi narkoba (sudden therapy), sehingga gejala putus obat mulai terasa dan sangat menyiksanya. Pihak kepolisian juga tidak memberikan terapi simtomatik untuk mengatasi gejala yang dirasakan oleh pasien.

Akhirnya setelah waktu berjalan sekian lama, pada April 2010, pasien memutuskan untuk mengikuti program penyembuhan ketergantungan obat di Unit Terapi dan Rehabilitasi BNN. Pasien mengakui bahwa selama menjalani program terapi dan rehabilitasi ini, sugesti-sugesti untuk kembali menggunakan narkoba muncul. Namun, dengan komitmen yang kuat, pasien ingin mengubah pola hidup, periaku, dan kondisi psikisnya ke arah yang lebih baik dan lebih sehat.

DISKUSI

Narkotika (menurut UU RI no. 22/1997) adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi). Contoh narkotika yang terkenal adalah ganja, heroin, kokain, morfin, dan amfetamin. Psikotropika, menurut Kepmenkes RI no. 996/MENKES/SK/VIII/2002, adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis yang bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada mental dan perilaku, contohnya adalah golongan stimulan seperti amfetamin (sering disebut speed, shabu-shabu, whiz, dan suph), ektasy (metamfetamin), fenfluramin, halusinogen, serta sedatif dan hipnotika (barbiturat, benzodiazepin). Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, atau bahan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang berpengaruh psikoaktif di luar narkotika dan psikotropika, meliputi minuman alkohol, inhalasi (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) yang mudah menguap, dan tembakau.[1,4]

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan, NAPZA atau narkoba dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu (1) golongan depresan (downer) adalah jenis narkoba yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh, yang membuat pemakainya menjadi tenang dan bahkan tertidur hingga tak sadarkan diri, seperti: opioid (morfin, heroin, kodein), sedatif, hipnotik, dan tranquilizer (anticemas); (2) golongan stimulan (upper) adalah jenis narkoba yang merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja, yang membuat pemakainya menjadi aktif, segar, dan bersemangat, seperti: amfetamin (shabu, ekstasi) dan kokain; (3) golongan halusinogen adalah jenis narkoba yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan, pikiran, menciptakan daya pandang yang berbeda, sehingga seluruh perasaan dapat terganggu, seperti kanabis (ganja).[1]

3

Page 4: Rehab - Psikologi

Rentang respons gangguan pengguna narkoba ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai berat. Indikator ini berdasarkan dari perilaku yang diperlihatkan oleh pengguna narkoba: (1) eksperimental: kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan oleh rasa ingin tahu dari seorang remaja, ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf coba-coba; (2) rekreasional: penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun, dan sebagainya; (3) situasional: mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri dan seringkali penggunaan ini dijadikan untuk pelarian atau mengatasi masalah yang dihadapi, misalnya pada saat stres atau frustasi; (4) penyalahgunaan (abuse): penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai digunakan secara rutin, minimal 1 bulan, dan sudah terjadi penyimpangan perilaku yang mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial, pendidikan, dan pekerjaan; dan (5) ketergantungan (addicted): penggunaan zat yang sudah cukup berat, dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan ketergantungan psikologis.[4]

Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat, yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan.[4] Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada masing-masing jenis zat.

Penyalahgunaan narkoba atau NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis yang dapat menyebabkan kematian karena perdarahan otak dan terhentinya pernapasan, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.

Intoksikasi narkoba dapat menyebabkan perubahan perilakuseperti rasa sensitif yang berlebihan terhadap rangsangan dari luar, derealisasi, kemampuan motorik yang menurun, waktu reaksi yang memanjang, dan euforia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penggunaan narkoba jenis kanabis (ganja) secara kronis dapat menyebabkan sindrom amotivasi (amotivational syndrome) dengan gejala seperti kepasifan, ketidakpedulian, gerak motorik yang melambat, berkurangnya minat untuk beraktivitas, kemampuan memori yang menurun, kelelahan, kemampuan menyelesaikan masalah yang menurun, dan apatis. Sindrom ini dapat berlangsung selama beberapa minggu. [6]

Kondisi-kondisi seperti yang telah dijelaskan di atas lah yang membuat pecandu narkoba semakin kehilangan ‘arah’ dalam berperilaku. Pada pemakaian awal (coba-coba), pemakai memang merasakan kesenangan sesaat; tapi semakin lama, semakin kecanduan, semakin besar risiko hilangnya daya gerak, perubahan perilaku, serta gangguan hubungan psikososial dengan lingkungan sekitarnya.

Di antara pasien pecandu narkoba sering terdapat komorbiditas psikiatrik yang sering menyulitkan penanganan pasien tersebut, terutama kelainan dengan gejala perilaku agresif, antara lain skizofrenia (agitasi dan paranoia), depresif psikotik (keinginan atau usaha bunuh diri atau membunuh orang lain/anggota keluarga), retardasi mental, conduct disorder pada anak-anak karena hilangnya pengendalian impuls, gangguan kepribadian (terutama borderline dan antisosial).[3]

Penelitian Belanda dewasa ini menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan kanabis atau marijuana (ganja), paling sedikitnya lima kali dalam hidup mereka, berpeluang meningkatkan risiko gejala psikosis secara signifikan.[7] Peninjauan yang diakukan oleh British Lung Association menyatakan bahwa ganja yang tersedia di jalanan sekarang memiliki kekuatan 15 kali lebih besar dibanding ketika ganja dijadikan bahan campuran rokok tiga dekade yang lalu.[7]

Ganja (bersama opium dan turunannya, kokain, heroin, dan beberapa jenis narkotika lainnya) termasuk ke dalam Narkotika Golongan 1, yang artinya hanya boleh digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan sama sekali tidak boleh digunakan dalam terapi apapun karena berpotensi sangat tinggi untuk mengakibatkan ketergantungan.[8]

4

Page 5: Rehab - Psikologi

Ganja memiliki banyak istilah di kalangan para pemakai atau junkies, seperti cimeng, rasta, ulah, gelek, budha stik, pepen, hawai, marijuana, dope, weed, hemp, hash (hasish), pot, joint, sinsemilla, grass, dan ratusan nama jalanan lain yang tersebar di seluruh dunia untuk penamaan ganja. Ganja, yang dalam bahasa latin dinamakan cannabis, mempunyai beberapa bentuk daun seperti tembakau yang berwarna hijau, ada yang berjari lima, tujuh, atau sembilan buah daun dalam setiap batang daunnya. Pada penelitian terakhir tentang ganja, ditemukan ada tiga jenis tanaman ganja, yaitu Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis ruderalis. Ketiga jenis tanaman ganja ini memiliki kandungan THC (tetra-hydro cannabinol). THC adalah zat psikoaktif berefek halusinasi dan ini terdapat dalam keseluruhan bagian tanaman ganja, baik daunnya, rantingnya, maupun bijinya. Karena kandungan THC ini, setiap orang yang menyalahgunakan ganja akan terkena efek psikoaktif yang sangat membahayakan. Jenis Cannabis indica mengandung THC paling banyak, disusul oleh jenis Cannabis sativa, dan Cannabis ruderalis yang mengandung THC paling sedikit.[8]

Pada penyalahgunaan ganja untuk pertama kali, pemakai akan segera mengalami gejala intoksikasi (keracunan), seperti jantung berdebar (denyut jantung bertambah cepat 50% dari sebelumnya), bola mata memerah (disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler pada bola mata), mulut kering (karena kandungan THC mengganggu sistem saraf otonom yang mengendalikan kelenjar air liur), nafsu makan bertambah (karena kandungan THC merangsang pusat nafsu makan di otak), dan tertidur (setelah bangun dari dari tidur, dampak fisik akan hilang).[8]

Gangguan psikis akibat penyalahgunaan ganja secara teratur dan berkepanjangan [6][8]

menyebabkan menurunnya kemampuan berpikir, membaca, berbicara, berhitung, dan bergaul, terganggunya fungsi psikomotor (gerakan tubuh menjadi lambat), kecenderungan menghindari kesulitan dan menganggap ringan masalah, tidak memikirkan masa depan, dan terjadinya sindrom amotivasional (tidak memiliki semangat juang).

Bisa dibayangkan bahwa betapa mengerikannya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba. Bahkan, untuk menghentikan seseorang yang telah menyalahgunakan ganja, terapi dan rehabilitasinya memiliki risiko yang cukup besar. Ketika terapi penghentian ganja dilakukan, gejala putus obat/zat akan muncul (withdrawal syndrome).

Sindrom putus obat[9] merupakan sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya, dengan gejala seperti insomnia (sulit tidur), mual/muntah, mialgia (nyeri otot), cemas, gelisah, mudah tersinggung, demam, berkeringat, nafsu makan menurun, fotofobia (takut cahaya), depresi, diare, kehilangan berat badan, dan tremor.[8][9] Dalam masyarakat luas, sindrom putus obat ini dikenal dengan sebutan ‘sakau’. Untuk mengatasi gejala ‘sakau’ ini, pecandu akan berusaha untuk mengkonsumsi kembali obat yang dia gunakan sebelumnya. Pecandu akan berusaha mendapatkan obat tersebut dengan cara apa pun, termasuk tindakan yang merugikan orang lain (tindakan kriminal).

Program terapi penyalahgunaan narkoba terdiri atas dua fase, yaitu (1) terapi detoksifikasi dan (2) terapi rumatan/pemeliharaan/rehabilitasi. Kedua terapi ini harus dilakukan secara berkesinambungan, sebab terapi detoksifikasi saja bukan merupakan terapi penyembuhan. Setelah penderita melewati fase kritisnya, maka dia harus menghentikan ketergantungannya melalu program terapi di atas. Penyembuhan secara medis untuk para pecandu narkoba sering menimbulkan kondisi relaps (kambuh).[9]

5

Page 6: Rehab - Psikologi

Detoksifikasi merupakan upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, yang dapat dilakukan dengan dua cara: (1) detoksifikasi tanpa substitusi, dimana pasien dengan ketergantungan obat yang berhenti menggunakan obat yang mengalami withdrawal syndrome tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala dari withdrawal syndrome tersebut—pasien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri; (2) detoksifikasi dengan substitusi, dimana obat-obat yang dikonsumsi pasien sebelumnya disubstitusi (diganti) dengan obat-obatan tertentu, kemudian dosis dari obat substitusi ini diturunkan secara bertahap hingga berhenti sama sekali—selama pemberian substitusi, obat-obatan untuk menghilangkan gejala simptomatik dapat diberikan, seperti obat penghilang rasa nyeri, mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus obat.[4]

Setelah pasien penyalahgunaan/ketergantungan narkoba menjalani terapi detoksifikasi dan konsultasi medik selama satu minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama dua minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya, yaitu program rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan nonmedis, psikologis, sosial, dan religi agar pengguna narkoba yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya adalah untuk pemulihan dan pengembangan pasien, baik secara fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Jenis program rehabilitasi yang disediakan juga bermacam-macam, meliputi rehabilitasi psikososial, rehabilitasi kejiwaan, rehabilitasi komunitas, dan rehabilitasi kegamaan. [4]

Dengan menjalani rehabilitasi, diharapkan pasien rehabilitasi yang semula berperilaku maladaptif dapat berubah menjadi adaptif, atau dengan kata lain menghilangkan sikap dan tindakan antisosial, sehingga pasien dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun pasien tekah menjalani terapi detoksifikasi, perilaku maladaptif tadi seringkali belum hilang, keinginan untuk menggunakan narkoba kembali (craving) masih sering muncul, beserta keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi berikutnya. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih diperlukan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi, baik secara individual maupun secara kelompok. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga, terutama keluarga broken home. Konsultasi keluarga perlu dilakukan agar dapat keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan narkoba (NAPZA).[4]

Namun, harus disadari bahwa hal yang tersulit yang sering dihadapi oleh profesional yang berkecimpung di bidang terapi dan rehabilitasi narkoba adalah sulitnya merubah perilaku pecandu yang berorientasi pada perilaku mencari narkoba. Sering kali mantan pecandu mengalami kekambuhan di tengah proses pemulihan, dengan faktor pencetus yang utama adalah rendahnya komitmen untuk pulih, yang tergantung pada kondisi psikologis dan kepribadian pecandu. Di samping itu, kasus penyalahgunaan narkoba merupakan kasus individual karena faktor pembentuk kepribadian sesorang berbeda sehingga karakter seorang individu akan berbeda dengan individu lainnya. Pendekatan yang dibutuhkan dalam terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu narkoba harus menggunakan pendekatan yang lebih personal dengan memanfaatkan kapasitas mental yang dimiliki pasien.[10]

Proses seluruh terapi maupun rehabilitasi ini akan berjalan sukses bila adanya komitmen yang kuat dari pecandu untuk lepas dari narkoba, yang didukung oleh keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitar. Sarana dan fasilitas tempat proses terapi dan rehabilitasi ini berlangsung juga memegang peranan yang cukup penting demi kesembuhan pasien dari kecanduan narkoba. Skrining rutin untuk memantau perkembangan gejala sisa gangguan psikotik, seperti skizofrenia, perlu dipertimbangkan; mengingat mekanisme dari narkoba adalah ‘menyerang’ sistem saraf pusat.

6

Page 7: Rehab - Psikologi

KESIMPULAN

Dengan adanya rehabilitasi kejiwaan, mantan pecandu narkoba dapat memperbaiki kepribadian, memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian dan pola pikir dalam bertindak, mengembalikan rasa percaya diri (self-confidence), serta memperbaiki hubungan psikososial.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan saran yang telah diberikan oleh DR. drh. Hj. Titiek Djannatun (koordinator penyusun Blok Elektif), dr. Hj. RW. Susilowati, MKes (koordinator pelaksana Blok Elektif), dr. Nasrudin Noor, SpKJ dan dr. Nunung Ainur Rahmah, SpPA (dosen pengampu dan dosen tutor bidang kepeminatan Ketergantungan Obat/Drug Abuse), dan Ibu Yasmi Malik beserta staf Unit Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido, Bogor, Jawa Barat.

7

Page 8: Rehab - Psikologi

Efek Rehabilitasi Ketergantungan Narkoba terhadap Kondisi Psikis (Mantan) Pecandu

DAFTAR PUSTAKA1. Badan Narkotika Nasional. Detail Artikel Litbang: Narkoba dan Remaja. 2009 May 14 [cited 2010

December 02]. Available from: http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelLitbang&op=detail_artikel_litbang&id=79&mn=2&smn=e

2. Badan Narkotika Nasional. Detail Artikel Litbang: Hasil Penelitian BNN dan Puslitkes UI tentang Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. 2009 October 08 [cited 2010 December 02]. Available from:http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelLitbang&op=detail_artikel_litbang&id=91&mn=2&smn=e

3. Defli. Makalah – Zat adiktif [Internet]. 2009 May 18 [cited 2010 November 26]. Available from:http://mklh7zatadiktif.blogspot.com/

4. Purba, Jenny Marlindawani dkk. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press

5. DA Treffert. Marijuana Use in Schizophrenia: A Clear Hazard. AJP [Internet]. 1978 [cited 2010 December 03]; 135: 1213-1215. Available from:http://ajp.psychiatryonline.org/cgi/content/abstract/135/10/1213

6. Peter F. Buckley, Jonathan M. Meyer. 2009. Medical Illness and Schizophrenia, second edition. United States of America: American Psychiatric Publishing, Inc.; Chapter 11, Substance Abuse and Schizophrenia. 275-291p.

7. International Mental Health Research Organization. Marijuana/Cannabis and Schizophrenia. 2009 [cited 2010 December 04]. Available from:http://www.schizophrenia.com/prevention/streetdrugs.html

8. Badan Narkotika Nasional. Detail Artikel Litbang: Mengenal Bahaya Penggunaan Ganja. 2010 June 28 [cited 2010 December 04]. Available from:http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelLitbang&op=detail_artikel_litbang&id=109&mn=2&smn=e

9. Mariya Mubarika. Kliping Narkotika dan Obat Terlarang. 2010 May 02 [cited 2010 December 04]. Available from: http://quit-clinic.com/brosur/info_penting_narkoba_quitclinic.pdf

10. BNP Jabar. Peran Psikolog terhadap Pecandu Narkoba. 2010 June 08 [cited 2010 December 05]. Available from: http://www.bnpjabar.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=370:peran-psikolog-terhadap-pecandu-narkoba&catid=53:artikel&Itemid=192

8