Refrat Forensik Dm Sidoarjo 2
description
Transcript of Refrat Forensik Dm Sidoarjo 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Visum et Repertum (VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering
diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada
tubuh manusia. Visum et Repertum (VeR) merupakan alat bukti dalam proses
peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga
harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan1.
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan
dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawat darurat mencapai 50-
70%2. Dibandingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus
penganiayaan yang mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering
terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai
alat bukti di depan pengadilan1,3.
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR
perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka4. Dari aspek hukum, VeR
dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat
memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat
tergantung pada latar belakang individual dokter seperti pengalaman,
keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan kedokteran berkelanjutan dan
sebagainya1. Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi
fisik, psikis, sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka
1
pendek, ataupun jangka panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan
penting bagi hakim dalam menentukan beratnya sanksi pidana yang harus
dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan5.
Untuk itu, pengetahuan dan penentuan Kualifikasi Luka oleh dokter
sangatlah penting bagi pihak berwajib untuk menentukan berat ringannya,
hukuman terdapat tersangka. Karena itu, dalam referat ini, kami akan membahas
tentang “Kualifikasi Luka Dalam Visum Et Repertum”
1.2 Rumusan Masalah
Apa saja Kualifikasi Luka dalam Visum et Reepertum ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui kualifikasi luka dalam Visum Et Repertum
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Apa yang dimaksud dengan Visum Et Repertum
2. Mengetahui jenis luka dalam Visum Et Repertum
3. Mengetahui derajat luka dalan Visum Et Repertum
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Visum et Repertum
Visum Et repertum adalah surat keterangan yang memuat kesimpulan
pemeriksaan yang telah dilakukannya, misalnya atas mayat seorang untuk
menentukan sebab kematian dan lain sebagainya, keterangan mana yang
diperlukan hakim dalam suatu perkara. Suatu keterangan dokter tentang apa yang
dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap
seseorang yang luka atau meninggal dunia (mayat) yang diakibatkan oleh
kejahatan9.
Bagian-bagian Visum Et Repertum :
1. Pro Justisia
Kata ini dicantumkan disudut kiri atas dan dengan demikian, VeR tidak
perlu bermaterai.
2. Pendahuluan
Bagian ini memuat antara lain:
a. Identitas pemohon Visum et Repertum
b. Identitas dokter yang memeriksa/ membuat Visum et Repertum
c. Tempat dilakukannya pemeriksaan
d. Tanggal dan jam dilakukannya pemeriksaan
e. Identitas korban
3
f. Keterangan dari penyidik mengenai cara kematian, luka, dimana
korban dirawat, dan waktu korban meninggal.
g. Keterangan mengenai orang yang menyerahkan atau mengantar
korban pada dokter dan waktu saat korban diterima di Rumah sakit.
3. Pemberitaan
Yang dimaksud dalam bagian ini:
a. Identitas korban menurut pemeriksaan dokter berupa umur, jenis
kelamin, tinggi dan berat badan, serta keadaan umumnya.
b. Hasil pemeriksaan berupa kelainan yang ditemukan pada korban
c. Tindakan-tindakan atau operasi yang telah dilakukan.
d. Hasil pemeriksaan tambahan atau hasil konsultasi dokter lain
4. Kesimpulan
Bagian ini berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa,
mengenai hasil pemeriksaan sesuai dengan pengetahuannya yang sebaik-
baiknya.
5. Penutup
Memuat kata “Demikianlah Visum et Repertum ini dibuat dengan
mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan
tanda tangan, nama lengkap/NIP dokter.
2.2 Definisi Luka
Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya
suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti
4
trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.
Bentuk dari luka berbeda tergantung penyebabnya, ada yang terbuka dan
tertutup. Salah satu contoh luka terbuka adalah insisi dimana terdapat robekan
linier pada kulit dan jaringan di bawahnya. Salah satu contoh luka tertutup adalah
hematoma dimana pembuluh darah yang pecah menyebabkan berkumpulnya
darah di bawah kulit6.
2.3 Kualifikasi Luka
2.3.1 Kualifikasi Luka menurut KUHP
Kualifikasi Luka dapat berdasarkan :
a. Luka derajat pertama (luka golongan C) pada KUHP Pasal 352
Penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
(sebagai penganiayaan ringan).
b. Luka derajat kedua (Luka golongan B), pada KUHP Pasal 352 ayat
1
Penganiayaan yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian.
c. Luka derajat ketiga (Luka golongan A) pada KUHP Pasal 352 ayat
2, 353 ayat 3, 354 ayat 1, jo pasal 90 KUHP
Luka yang menyebabkan rintangan/halangan menjalankan jabatan,
pekerjaan, atau pencarian (penganiayaan yang menimbulkan luka
berat).
5
Kata ‘Penganiayaan’ merupakan istilah hukum dan tidak dikenal
dalam istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya
menimbulkan luka, maka dalam kesimpulan visum et repertum kata
penganiayaan diganti dengan kata ‘LUKA’. Dengan demikian
kualifikasi luka menjadi :
a. Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
b. Luka yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian.
c. Luka yang tergolong luka berat.
Menurut KUHP Pasal 90, maka ‘luka berat’ berarti :
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian.
3. Kehilangan salah satu panca indera
4. Mendapat cacat berat.
5. Menderita sakit lumpuh
6. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
6
Kualifikasi luka harus diselesaikan dengan salah satu dari tiga
jenis tindak pidana yang telah disebutkan, yaitu :
1. Penganiayaan ringan (Pasal 352)
2. Penganiayaan sedang (Pasal 351)
3. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (Pasal 90)
2.3.1.1 Luka Ringan
Penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan atau jabatan.
Pasal 352
1. Lain dari hal tersebut dalam pasal 353 dan 354
penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan
untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan dipidana sebagai
penganiayaan ringan dengan pidana penjara selama-
lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat
ribu lima ratus rupiah. Pidana itu dapat ditambah
sepertiganya bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya atau yang dibawah
perintahnya.
2. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dapat dipidana.
Tindak pidana ini disebut penganiayaan ringan. Yang
masuk dalam pasal ini adalah penganiayaan yang tidak
7
menyebabkan sakit (walaupun menimbulkan rasa sakit dan
tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan jabatan
atau melakukan pekerjaan sehari-hari.
Perbuatan itu misalnya menempeleng kepala,
walaupun perbuatan itu menimbulkan rasa sakit pada si
penderita, namun tidak menyebabkan ia menjadi sakit dan
dapat menjalankan jabatan serta dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari. Sebaliknya, melukai jari kelingking
seorang pemain biola, walaupun kecil namun bila
perbuatan tersebut dapat menyebabkan si pemain biola
tidak dapat bermain orkestra, satu-satunya profesi yang
dapat ia jalankan, ini tidak dapat digolongkan
penganiayaan ringan.
2.3.1.2 Luka Sedang
Termasuk dalam kualifikasi luka ini adalah bila
korban menjadi sakit tetapi dapat sembuh dengan
sempurna dan terhalang untuk melakukan jabatan atau
pekerjaan sehari-hari tetapi tidak selamanya.
Pasal 351
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
8
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang
bersalah diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana.
Undang-undang tidak menjelaskan apa arti
sesungguhnya dari ‘penganiayaan’. Menurut
yurispundensi, arti penganiayaan adalah perbuatan
sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit
atau luka. Dan menurut ayat (4) pasal ini, masuk dalam
pengertian penganiayaan ialah perbuatan dengan
sengaja merusak kesehatan orang, misalnya :
Perbuatan yang menimbulkan perasaan tidak
enak misalnya mendorong orang terjun ke dalam
kubangan air sehingga basah, menyuruh orang
berlari di terik matahari dan sebagainya.
9
Perbuatan yang menimbulkan rasa sakit
misalnya mencubit, memukul, menempeleng dan
sebagainya.
Perbuatan yang menimbulkan luka misalnya
mengiris, memotong, menusuk dengan benda
tajan dan sebagainya.
Perbuatan yang dapat merusak kesehatan
misalnya menyiram seseorang dengan air aki.
Semuanya dilakukan dengan sengaja dan tidak
dengan maksud yang pantas atau perbuatan yang
melewati batas yang diizinkan. Seorang dokter yang
mencabut gigi pasiennya, tidak dapat dikatakan
menganiaya karena perbuatan dokter itu mempunyai
maksud baik yakni mengobati si sakit. Seorang bapak
yang menghajar anaknya yang nakal dengan cara
memukul pantatnya, walaupun menimbulkan rasa sakit
terhadap si anak, tidak dapat dikatakan sebagai
menganiaya karena perbuatan tersebut bermaksud
mencegah agar anaknya tidak nakal lagi. Walaupun
demikian, apabila perbuatan tadi dilakukan dengan cara
yang melebihi batas yang diizinkan misalnya dokter gigi
yang mencabut gigi pasien tanpa menggunakan obat
10
pemati rasa maka akan dianggap sebagai sebuah
penganiayaan.
2.3.1.3 Luka Berat
Menurut pasal 90 KUHP yang dimaksud luka berat
adalah penyakit ataupun luka yang tidak dapat
diharapkan akan sembuh sama sekali atau mendatangkan
bahaya maut. Dengan sembuh diartikan fungsi alat tubuh
kembali 100%. Misalnya lengan patah. Meskipun pada
kulit didapatkan parut dan anatomis tidak seperti semula
tetapi agak bengkok, fungsi kembali 100% lengan
dianggap sembuh. Bahaya maut haruslah ditinjau dari
keadaan korban pada waktu diperiksa untuk pertama kali
dan keadaan pada waktu perawatan pasca operasi.
2.3.2 Kualifikasi Luka Pada Kecelakaan Lalu lintas
Menurut Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009 tentang
lalulintas dan angkutan jalan, kecelakaan lalulintas dapat
digolongkan menjadi :
1. Kecelakaan lalulintas ringan yaitu kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang (Pasal
229 ayat (2)). Dan dalam penjelasan ayat ini disebutkan luka
ringan adalah luka yang mengakibatkan korban sakit dan tidak
11
memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang
dikualifikasikan dalam luka berat.
2. Kecelakaan lalulintas sedang yaitu kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau
barang (Pasal 229 ayat 4).
3. Kecelakaan lalulintas berat yaitu kecelakaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat (Pasal
229 ayat 4). Sedang dalam penjelasan ayat ini menyebutkan
bahwa luka berat adalah luka yang mengakibatkan korban salah
satu dibawah ini:
a. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali
atau menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu meneruskan untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan
c. Kehilangan salah satu panca
d. indera.
e. Menderita cacat berat/lumpuh.
f. Terganggunya daya pikir selama (empat) minggu lebih
g. Gugur/ matinya kandungan seorang perempuan.
h. Luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
lebih dari tiga puluh hari (30) lebih.
12
2.3.3 Kualifikasi Luka Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
a. Kekerasan fisik
Adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. (Pasal 6)
b. Kekerasan psikis
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
(Pasal 7)
c. Kekerasan seksual :
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut;
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. (Pasal 8)
13
2.3.3.1 Ketentuan Pidana
a. Ketentuan Pidana Kekerasan fisik Terhadap Rumah
Tangga Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2004
pasal 44:
1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh
sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00
(empat puluh lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
14
ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah).
b. Ketentuan Pidana Kekerasan psikis Terhadap Rumah
Tangga Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2004
Pasal 45:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana
dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan
juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,
15
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
c. Ketentuan Pidana Kekerasan seksual Terhadap Rumah
Tangga Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2004
Pasal 46 :
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
betas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47 :
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam
rumah tangganya melakukan hubungan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau
denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua betas juta
rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
16
Pasal 48
Dalam hat perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka
yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-
kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1
(satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin
dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling
sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)
dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
d. Ketentuan Aduan Undang-undang
Pasal 51
Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.
Pasal 52
17
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.
Pasal 53
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya merupakan delik aduan.
e. Hak-Hak Korban diatur dalam Undang-Undang No. 23
tahun 2004 Bab IV Pasal 10 Korban berhak
mendapatkan:
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak Iainnya, baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis;
3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
18
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
5) Pelayanan bimbingan rohani.
f. Perlindungan Terhadap Korban diatur dalam Undang-
Undang No. 23 tahun 2004 Bab VI Pasal 16 :
1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak mengetahui atau menerima
laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian
wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban.
2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari
sejak korban diterima atau ditangani.
3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam terhitung sejak pemberian perlindungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
g. Pemulihan Terhadap Korban diatur dalam Undang-
Undang No. 23 Bab VII Pasal 39 Untuk kepentingan
pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
1) Tenaga kesehatan;
19
2) Pekerja sosial;
3) Relawan pendamping; dan/atau
4) Pembimbing rohani.
h. Ketentuan Pidana Berdasarkan KUHP
Kualifikasi luka dibahas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yaitu bab XX pasal 351 dan 352 serta bab IX
pasal 90:
Pasal 351
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang
bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima
tahun
3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun
4) Dengan penganiayaan disamakan dengan sengaja
merusak kesehatan
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana
Pasal 352
1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
20
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencahariaan, diancam, sebagai penganiayaan ringan,
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pidana dapat
ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau
menjadi bawahannya.
2) Percobaan untuk melakukan ini tidak dipidana
Pasal 90
Luka berat berarti :
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, atau yang
menimbulkan bahaya maut
2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencahariaan
3) Kehilangan salah satu panca indera
4) Mendapat cacat berat
5) Menderita sakit lumpuh
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
7) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
21
2.3.4 Kualifikasi Luka Pada Anak
Menurut Undang-undang perlindungan anak no 23 tahun 2002
Pasal 80:
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta
rupiah).
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
22
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh jutarupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa,melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas)tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
23
BAB III
KESIMPULAN
Kualifikasi Luka menurut KUHP
A. Luka derajat pertama (luka golongan C) pada KUHP Pasal 352
B. Luka derajat kedua (Luka golongan B), pada KUHP Pasal 352 ayat 1
C. Luka derajat ketiga (Luka golongan A) pada KUHP Pasal 352 ayat 2, 353
ayat 3, 354 ayat 1, jo pasal 90 KUHP
Kualifikasi Luka Menurut UU Lalulintas
Menurut Undang-undang RI nomor 22 tahun 2009
a. Kecelakaan lalulintas ringan (Pasal 229 ayat (2)).
b. Kecelakaan lalulintas sedang (Pasal 229 ayat 4).
c. Kecelakaan lalulintas berat (Pasal 229 ayat 4).
Kualifikasi Luka Menurut KDRT
Diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004
A. Kekerasan fisik. (Pasal 6)
B. Kekerasan psikis (Pasal 7)
C. Kekerasan seksual (Pasal 8)
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Herkutanto. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR) kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD). JPMK. 2005;8(3):163-9.
2. Atmadja DS. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan di rumah sakit. Prosiding ilmiah Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan dan Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.
3. Herkutanto. Kualitas visum et repertum perlukaan di Jakarta dan faktor yang mempengaruhinya. Maj Kedokt Indon. 2004;54 (9):355-60.
4. Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu forensik dalam penegakan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar, 2003.
25
5. Herkutanto, Pusponegoro AD, Sudarmo S. Aplikasi trauma-related injury severity score (TRISS) untuk penetapan derajat luka dalam konteks mediklegal. J I Bedah Indones. 2005;33(2):37-43.
6. Pusponegoro AD, 2005. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, De Jong W, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, h. 66-88.
7. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU RI No. 23 tahun
2004. Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia.
8. Soesilo, R. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan Ulang Kesepuluh. Poelita Bogor.
9. Idries, AM, 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi Hukum. Jakarta: Sagung Seto.
26